• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cerpen-Cerpen Pemenang Hadiah Majalah Sastra di Tengah Pertentangan Ideologi Politik 1960-an

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Cerpen-Cerpen Pemenang Hadiah Majalah Sastra di Tengah Pertentangan Ideologi Politik 1960-an"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Cerpen-Cerpen Pemenang

Hadiah Majalah Sastra 1961—1963

di Tengah Pertentangan Ideologi Politik 1960-an

Inung Imtihani, Sunu Wasono

Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

E-mail: inungimtihani@gmail.com

Abstrak

Skripsi ini membahas cerpen-cerpen pemenang Hadiah Majalah Sastra 1961—1963 beserta persoalan penolakan dari dua pemenang kategori cerpen terhadap Hadiah Majalah Sastra 1962. Persoalan yang melingkungi majalah Sastra tersebut tidak dapat dilepaskan dari pertentangan ideologi politik yang terjadi pada paruh awal dasawarsa 1960-an. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan pendekatan sosiologi sastra. Hasil penelitian membuktikan bahwa cerpen-cerpen pemenang Hadiah Majalah Sastra memiliki kekuatan dan kekhasan tersendiri yang membuatnya layak dianugerahi hadiah tersebut. Selain itu, penolakan terhadap hadiah tersebut lebih dilatarbelakangi oleh sentimen pribadi pengarang dan perbedaan ideologi politik.

Kata kunci: majalah Sastra; cerpen; Hadiah Majalah Sastra; pertentangan ideologi politik

The Short Stories Awarded by Sastra Magazine 1961—1963 in the Midst of Political Ideology Conflict of the 1960’s

Abstract

This undergraduate thesis discusses short stories awarded by Sastra Magazine in 1961—1963 along with a problem regarding the refusal of two award-winning authors of short stories category towards the awards given by Sastra Magazine in 1962. This issue which surrounds the Sastra Magazine cannot be separated from the political ideology conflict occurred in early half of 1960’s. Qualitative method and literary-sociological approach are applied to analyze the data. The findings show that short stories awarded by Sastra Magazine possess their own strength and uniqueness that deserve the awards. Moreover, the refusal of those awards was just a matter of personal sentiment and the difference of political ideology.

Keywords: Sastra Magazine, short stories, Sastra Magazine Award, political ideology conflict

Pendahuluan

Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu bentuk karya sastra tidaklah dapat diabaikan keberadaannya. Rosidi (1959: IX) menyebutkan bahwa cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide. Perbedaan antara roman dengan cerpen terutama terletak pada penggarapan ide atau gagasannya. Di dalam cerpen, semuanya harus dipusatkan pada suatu ide pusat. Cerpen turut mengambil peranan penting dalam perkembangan sastra Indonesia, terutama pada kurun waktu 1950-an sampai 1960-an. Jika pada masa-masa sebelumnya cerpen tidak dianggap

(2)

begitu bernilai, bentuk cerpen justru mendominasi kesusastraaan Indonesia pada dua dekade tersebut. Pembicaraan mengenai perkembangan cerpen yang begitu pesat sehingga dianggap sebagai bentuk karya sastra yang penting dan sejajar dengan novel atau roman tidak dapat dipisahkan dari peran majalah.

Salah satu majalah yang terbit pada tahun 1960-an yang memberikan perhatian besar terhadap perkembangan cerpen di Indonesia adalah majalah Sastra. Majalah Sastra merupakan majalah kesusastraan yang terbit pada 1 Mei 1961. Majalah tersebut terbit sebagai kelanjutan majalah Kisah, majalah pertama di Indonesia yang mengkhususkan diri memuat cerita-cerita pendek. Majalah Sastra terbit dengan semangat yang sama dengan yang diusung majalah Kisah, yaitu memberikan sumbangan terhadap perkembangan cerpen di Indonesia. Namun, pada perkembangannya kemudian, jenis-jenis karangan yang dimuat dalam majalah

Sastra menjadi semakin beragam. Selain cerpen, majalah Sastra memuat pula kritik, esai,

puisi, kisah bersambung, dan drama.

Dalam jajaran redaksi majalah Sastra terdapat Bambang Munhari sebagai direksi, H.B. Jassin sebagai pemimpin redaksi, M. Balfas sebagai sekretaris redaksi, D.S. Moeljanto sebagai penyelenggara redaksi, Ekana Siswoyo, Toha Mochtar, Tatang M., Zaini, dan A. Wakidjan sebagai ilustrator, dan Dasimoen sebagai tata usaha. Keberadaan H.B. Jassin sebagai pemimpin redaksi majalah Sastra turut membuat majalah Sastra memegang peranan penting dalam perkembangan kesusastraan Indonesia di tahun-tahun awal 1960-an. Bagaimanapun, tidak dapat dimungkiri bahwa Jassin adalah kritikus yang berpengaruh dan sangat disegani pada tahun-tahun tersebut. Pendapat-pendapatnya banyak didengar oleh para sastrawan, terutama sejak ia memperkenalkan nama Chairil Anwar kepada khalayak sastra Indonesia. surat pribadi Jassin yang dihimpun oleh Eneste menjadi buku bertajuk

Surat-Surat 1943—1983 (1984) pun menunjukkan peran Jassin yang begitu intens dalam membina

perkembangan kesusastraan Indonesia sejak tahun 1940-an.

Selain keberadaan Jassin, hal lain yang membuat majalah Sastra memiliki peran penting dalam perkembangan kesusastraan Indonesia di tahun 1960-an adalah diselenggarakannya Hadiah Majalah Sastra oleh redaksi. Hadiah tersebut diberikan dalam bentuk uang sebagai apresiasi terhadap para sastrawan yang karangan-karangannya dimuat dalam majalah Sastra dan dianggap terbaik oleh redaksi. Pemberian hadiah sastra oleh suatu majalah dapat dikatakan merupakan sesuatu yang masih sangat jarang pada tahun 1960-an dan juga pada masa-masa sebelumnya. Sastra barangkali adalah satu-satunya majalah yang pada tahun 1960-an mampu memberikan penghargaan sastra kepada para pengarang. Untuk itu, pembicaraan mengenai Hadiah Majalah Sastra menjadi penting terkait dengan peran majalah

(3)

Sastra dalam perkembangan kesusastraan Indonesia di tahun 1960-an. Dalam hal ini,

penelitian kemudian difokuskan kepada cerpen-cerpen pemenang Hadiah Majalah Sastra 1961—1963.

Penelitian ini pada dasarnya tidak hanya membicarakan karya, tetapi juga persoalan sosial-politik yang terjadi di seputar majalah Sastra. Pembicaraan mengenai cerpen-cerpen pemenang Hadiah Majalah Sastra tidak dapat dilepaskan dari penolakan beberapa pengarang atas Hadiah Majalah Sastra 1962. Dari enam pengarang cerpen yang dianugerahi Hadiah Majalah Sastra, dua pengarang menyatakan menolak hadiah tersebut. Dua pengarang itu adalah Motinggo Boesje dan Virga Belan. Penolakan itu di antaranya terkait dengan pertentangan ideologi politik yang mengemuka pada tahun 1960-an. Dalam majalah Sastra turut terekam jejak-jejak pertentangan antara sastrawan Lekra dan sastrawan yang berseberangan ideologi dengannya. Situasi politik yang demikian itu sedikit banyak ikut memberi warna pada majalah Sastra. Hal tersebut menjadi salah satu persoalan yang dibicarakan dalam penelitian ini.

Berdasarkan hal-hal yang telah diungkapkan di atas, penelitian ini terutama bertujuan menjelaskan unsur-unsur intrinsik delapan cerpen pemenang Hadiah Majalah Sastra 1961— 1963 dan menjelaskan latar belakang terjadinya penolakan Hadiah Majalah Sastra 1962 oleh dua pengarang cerpen yang dinobatkan sebagai pemenang. Jassin (yang dikutip oleh Eneste, 1988: 53) telah mengungkapkan bahwa “Kesusastraan dalam majalah dan surat kabar tak dapat tidak harus dimasukkan dalam usaha penyelidikan sejarah Kesusastraan Indonesia Modern, suatu pekerjaan yang belum lagi mendapat penyelidik khusus ditugaskan untuk itu.” Pernyataan Jassin tersebut menegaskan pentingnya penelitan terhadap sastra majalah di Indonesia. Di samping berangkat dari pernyataan Jassin tersebut, penelitian ini juga penting untuk dilakukan mengingat belum adanya penelitian khusus mengenai majalah Sastra.

Tinjauan Teoretis

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan yang pertama digunakan untuk mengetahui unsur intrinsik dan kekuatan cerpen-cerpen pemenang Hadiah Majalah Sastra 1961—1963. Sementara itu, pendekatan kedua digunakan untuk mengetahui latar belakang penolakan dua penulis cerpen yang dinobatkan sebagai pemenang Hadiah Majalah Sastra tahun 1962. Penolakan tersebut tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai majalah Sastra sebagai suatu penerbit yang memiliki kriteria dan ideologi tertentu dalam memilah karya-karya yang masuk. Selain itu,

(4)

pertentangan ideologi politik di masa itu juga turut mewarnai peristiwa penolakan Hadiah Majalah Sastra 1962.

A. Pendekatan Intrinsik

Untuk melihat keunggulan delapan cerpen pemenang Hadiah Majalah Sastra 1961—1963, cerpen-cerpen tersebut mula-mula perlu dilihat sebagai suatu karya yang otonom. Wellek dan Warren (1989: 157) menyatakan bahwa “Penelitian sastra sewajarnya bertolak dari interpretasi dan analisis karya sastra itu sendiri. Sebab bagaimanapun juga, kita tertarik untuk membahas pengarang, lingkungan sosial, dan proses sastra, karena adanya karya sastra.” Selain itu, terkait dengan penilaian terhadap suatu karya sastra, Wellek dan Weren (1989: 317) juga menyebutkan bahwa “Orang harus menghargai sastra sebagai sastra itu sendiri; orang harus memberi penilaian terhadap sastra dengan mengacu pada tingkatan nilai sastra itu sendiri”. Bertolak dari pernyataan tersebut, analisis cerpen dengan pendekatan intrinsik dalam penelitian ini dilakukan.

Pendekatan intrinsik dalam penelitian ini berfokus pada tokoh dan penokohan, latar, dan tema. Unsur lain seperti alur hanya dibicarakan jika unsur tersebut tampak menonjol di dalam cerpen. Wellek dan Warren (1989: 283) menyatakan bahwa kritikus yang menganalisis novel pada umumnya membedakan tiga unsur pembentuk novel, yaitu alur, penokohan, dan latar. Tema cerita secara keseluruhan dapat diketahui dengan melihat ketiga unsur tersebut. Di samping itu, Hudson (1913: 171) menyebutkan, “Plot, characters, dialogue, time and place of

action, style, and a stated or implied philosophy of life, then, are the chief elements entering into the composition of any work of prose fiction, small or great, good or bad.” Dari kutipan

tersebut diketahui bahwa unsur yang terpenting dalam komposisi cerita rekaan menurut Hudson adalah alur, penokohan, dialog, latar, gaya, dan pandangan atau filosofi hidup. Dari kedua pendapat di atas, tampak bahwa unsur penokohan, latar, dan tema termasuk unsur yang terpenting di dalam cerita rekaan. Ketiga unsur itulah yang terutama dibicarakan di dalam analisis intrinsik.

1. Tokoh dan Penokohan

Seperti yang diungkapkan Sudjiman (1988: 16), tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Berdasarkan fungsinya di dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral dapat dibedakan lagi menjadi tokoh utama atau tokoh protagonis dan tokoh lawan atau tokoh antagonis. Sudjiman menyebutkan, “Tokoh yang memegang peran pimpinan

(5)

disebut tokoh utama atau protagonis (Sudjiman, 1986: 61). Protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan.” Sementara itu, tokoh antagonis adalah lawan dari protagonis. Selanjutnya, yang dimaksud dengan tokoh bawahan menurut Grimes (yang dikutip oleh Sudjiman, 1988: 19) adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.

Tokoh berkaitan erat dengan penokohan. Forster (1978: 96) menjelaskan bahwa penokohan adalah cara penyajian tokoh-tokoh yang diciptakan untuk menggerakkan cerita. Tidak berbeda jauh dengan Forster, Sudjiman (1988: 23) juga menekankan bahwa yang dimaksud dengan penokohan ialah penyajian watak tokoh dan citra tokoh. Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh lain. Menurut Hudson, terdapat dua metode dalam mengungkapkan penokohan, yaitu metode langsung atau metode analitis dan metode tidak langsung atau metode dramatik. Berikut ini kutipan penjelasan Hudson.

In regard to what is more specifically understood as characterisation—that is, the psychological side of it—the principal thing to remember is, that the conditions of the novel commonly permit the use of two opposed methods—the

direct or analytical, and the indirect or dramatic. In the one case the novelist

portrays his characters from the outside, dissects their passions, motives, thoughts and feelings, explains, comments, and often pronounces authoritative judgment upon them. In the other case, he stands apart, allows his characters to reveal themselves through speech and action, and reinforces their self-delineation by the comments and judgments of other characters in the story.

(Cetak tebal oleh II, Hudson, 1913: 192—193) Dari kutipan di atas diketahui bahwa pada dasarnya, dalam metode langsung atau metode analitis, pengarang melukiskan tokoh-tokoh ceritanya dengan memaparkan secara langsung, menjelaskan, memberi komentar atau pendapat mengenai watak tokoh-tokoh tersebut. Sementara itu, dalam metode tidak langsung atau metode dramatik, pengarang tidak menjelaskan watak tokoh cerita secara langsung, melainkan menampilkannya melalui hal-hal lain seperti ucapan dan tindakan tokoh itu sendiri maupun tokoh lain di dalam cerita.

2. Latar

Hudson (1913: 209) menyatakan bahwa latar ialah waktu dan tempat terjadinya peristiwa. Ia pun menyebutkan, “In this term we include the entire milieu of a story –the manners,

customs, ways of life, which enter into its composition, as well as its natural background or environment.” Dari kutipan tersebut diketahui bahwa latar meliputi pula aspek-aspek seperti

(6)

kebiasaan, adat, dan gaya hidup. Sementara itu, menurut Wellek dan Warren (1989: 290), latar adalah lingkungan, dan lingkungan—terutama interior rumah—dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Hal ini menyaran pada keterkaitan yang erat antara latar dan penokohan.

Hudson (1913: 209) menyebutkan bahwa latar dapat dibedakan menjadi latar sosial dan latar material. Latar sosial di antaranya meliputi gambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial, adat kebiasaan, dan cara hidup. Sementara itu, latar fisik meliputi tempat terjadinya peristiwa dalam wujud fisiknya, seperti bangunan, alam, dan sebagainya. Dalam cerita rekaan yang realistis, latar harus selaras dengan penokohan yang realistis. Unsur-unsur tersebut secara bersama-sama mencerminkan kondisi tertentu dalam kehidupan yang sesungguhnya. 3. Tema

Sudjiman (1988: 50) menyebutkan bahwa tema ialah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. Tema dapat diketahui dengan melihat unsur-unsur lain di dalam cerita, seperti tokoh dan penokohan, latar, dan alur. Tema berkaitan erat dengan amanat cerita. Sudjiman (1988: 57) menyebutkan bahwa amanat adalah suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui sebuah karya sastra. Penelaahan terhadap tema dan amanat penting untuk dilakukan agar diketahui maksud yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya tersebut.

B. Pendekatan Sosiologis

Selain pendekatan intrinsik, penelitian ini memanfaatkan pula pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dalam studi sastra digunakan untuk menelaah kaitan antara karya sastra dan masyarakat. Wellek dan Warren (1989: 111) mengklasifikasikan hubungan antara sastra dan masyarakat ke dalam tiga lingkup pembahasan. Yang pertama ialah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Dalam hal ini, sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang di luar karya sastra. Yang kedua ialah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat di dalam karya sastra dan kaitannya dengan masalah sosial. Pembicaraan ini menyaran pada hubungan antara fiksi dan kenyataan. Yang terakhir ialah pembicaraan mengenai pembaca dan dampak sosial karya sastra.

Sementara itu, Escarpit (2005) banyak berbicara mengenai sosiologi penerbitan. Ia menyebutkan bahwa “semua fakta sastra menyiratkan adanya penulis, buku, dan pembaca, atau, secara umum dapat dikatakan: pencipta, karya, dan publik.” Dengan melihat bahwa

(7)

setiap fakta sastra merupakan bagian dari seni sekaligus juga teknologi dan usaha dagang, ia membagi pembahasan sosiologi sastra ke dalam persoalan produksi, distribusi, dan konsumen. Penerbitan termasuk dalam kegiatan distribusi. Menurut Escarpit (2005: 74), penerbit memiliki fungsi memilih, membuat (fabriquer), dan membagikan. Ketiga kegiatan tersebut membentuk suatu siklus yang saling berkaitan. Penerbit, lebih khusus lagi editor atau pemimpin redaksi berperan penting dalam mengkoordinasikan kegiatan, memberi makna, dan mengambil tanggung jawab. Lebih lanjut, Escarpit menegaskan bahwa harus ada seseorang, baik itu direktur, penasihat, maupun administrator, untuk memberikan sifat pribadi dan terpadu pada kegiatan penerbitan.

Selanjutnya, dalam kaitan antara sastra dan politik, Damono (1999: 59) menjelaskan bahwa politik memang tidak bisa dipisahkan dari sastra. Ia mendefinisikan politik sebagai tindakan atau kegiatan yang dipergunakan untuk mendapatkan kekuasaan dalam negara, masyarakat, atau lembaga. Ia menambahkan pula bahwa politik merupakan tindakan atau kegiatan yang menjamin bahwa kekuasaan dilaksanakan dengan cara tertentu. Dari pendapat Damono tersebut, setidaknya dapat diketahui bahwa hubungan sastra dan politik cukup erat. Keduanya saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan.

Dari pendapat-pendapat di atas, setidaknya dapat disimpulkan bahwa sastra terkait erat dengan penerbitan dan ideologinya serta kondisi politik pada masa kemunculannya.

Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sugiyono (2008: 1) menjelaskan metode kualitatif dalam kutipan sebagai berikut.

Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Data penelitian ini adalah majalah Sastra 1961—1964 yang didapatkan dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Cerpen-cerpen pemenang Hadiah Majalah Sastra tahun 1961—1963 dibaca secara menyeluruh untuk kemudian dianalisis dengan pendekatan intrinsik sesuai kerangka teori. Kutipan-kutipan yang sesuai dari cerpen-cerpen tersebut digunakan untuk menjelaskan unsur intrinsik cerpen. Analisis intrinsik cerpen-cerpen ini kemudian digunakan untuk mendukung pembacaan sosiologis terkait dengan peristiwa

(8)

penolakan Hadiah Sastra 1962. Di dalam penelitian ini, judul karangan dan kutipan dari majalah yang masih menggunakan ejaan lama ditulis sebagaimana aslinya.

Cerpen-Cerpen Pemenang Hadiah Majalah Sastra 1961—1963

Terdapat delapan cerpen yang menjadi fokus penelitian, yaitu “Di Tengah Padang” karya A. Bastari Asnin (pemenang pertama tahun 1961), “Discharge” karya Bur Rasuanto (pemenang kedua tahun 1961), “Rapat Perdamaian” karya B. Soelarto (pemenang ketiga tahun 1961), “Pertundjukan” karya Bur Rasuanto (pemenang pertama tahun 1962), “Nasehat untuk Anakku” karya Motinggo Boesje (pemenang kedua tahun 1962), “Pangeran Djakarta” karya Virga Belan (pemenang ketiga tahun 1962), "Di Pondok Saldju” karya Nh. Dini (pemenang kedua tahun 1963) dan “Laki-Laki Berkuda” karya A. Bastari Asnin (pemenang ketiga tahun 1963). Berikut ini analisis singkat terhadap delapan cerpen pemenang Hadiah Majalah Sastra 1961—1963.

A. “Di Tengah Padang”

Cerpen ini mengangkat tema yang sederhana, yaitu tentang kehidupan manusia di daerah perburuan. Melalui tema yang sederhana itu, Bastari Asnin ingin menyampaikan amanat mengenai keadilan, yaitu bahwa manusia pasti akan menerima akibat dari perbuatannya di masa lalu. Tokoh yang ditampilkan adalah tiga bersaudara Mangku, Rusad, dan Kipa dengan Mangku sebagai tokoh utama. Selain itu, ada pula Sibar sebagai tokoh antagonis. Kehidupan di daerah perburuan dengan latar dan penggambaran watak tokoh-tokohnya yang khas menunjukkan orisinalitas cerpen Bastari Asnin. Kekuatan cerpen Bastari Asnin di antaranya terletak dalam caranya merangkai alur cerita yang penuh suspensi. Hal ini dapat dikatakan jarang ditemukan di antara karya-karya lain yang dimuat di majalah Sastra 1961. Inilah agaknya yang membuat karya Bastari Asnin tampak paling menonjol di antara karya-karya lainnya.

B. “Discharge”

Cerita ini menampilkan tema tentang nasib kaum buruh. Tokoh utama yang ditampilkan adalah Kasdi, seorang buruh pabrik kilang minyak yang hidupnya penuh dengan kesulitan. Kehidupan buruh dengan ketidakberdayaannya melawan penindasan-penindasan di pabrik digambarkan secara rinci. Hal ini didukung oleh penggunaan istilah-istilah khusus yang sering digunakan di dalam maskapai minyak, seperti discharge, crude still, naphtha, cracking,

(9)

tersebut menunjukkan orisinalitas cerpen Rasuanto. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa cerpen ini ditulis dengan observasi yang cukup mendalam. Unsur-unsur intrinsik dalam cerpen ini saling terjalin secara koheren. Secara keseluruhan, amanat yang terkandung di dalam cerpen ini adalah bahwa memperlakukan manusia secara sewenang-wenang dan mengeksploitasi manusia lain untuk kepentingan pribadi adalah perbuatan yang tercela. Sikap-sikap yang tercela seperti demikian harus terus dilawan.

C. “Rapat Perdamaian”

Cerpen ini mengangkat tema persoalan hidup masyarakat di masa revolusi yang penuh ironi dan ketimpangan. Melalui cerpen ini, Soelarto ingin menyampaikan gagasan yang penting mengenai perdamaian. Cerpen ini mengandung amanat bahwa niatan untuk memanfaatkan manusia lain demi ambisi pribadi adalah suatu hal yang tercela dan upaya mewujudkan perdamaian pada dasarnya harus diawali dengan hal-hal yang sederhana serta dekat dengan keseharian.

Tokoh-tokoh yang ditampilkan adalah Ketua RK I, Ketua RK II, Ketua RK III, dan Lurah. Unsur-unsur berupa penokohan dan latar terjalin secara koheren dalam mengungkapkan tema tentang kehidupan masyarakat di masa revolusi. Cerpen ini terutama menonjol terkait dengan cara Soelarto menyajikan ironi kepada pembaca. Ironi tersebut muncul dalam latar, tokoh-tokoh, dan peristiwa di dalam cerita.

D. “Pertundjukan”

Cerpen ini mengangkat tema tentang penindasan manusia. Tokoh utama dalam cerpen ini adalah Brahim Alu, seorang pribumi yang jago bersilat. Ia bertarung melawan tokoh antagonis Algojo Belanda. Latar yang ditampilkan adalah sebuah desa kecil di Palembang pada masa penjajahan Belanda. Latar, tokoh, dan peristiwa terjalin secara koheren dalam mengungkapkan tema tersebut. Rasuanto juga berhasil menyajikan sebuah cerita dengan unsur suspensi yang kuat. Dengan akhir cerita yang terbuka, Rasuanto seolah-olah ingin mengajak pembaca untuk mempertanyakan kembali arti kemanusiaan. Secara keseluruhan, cerpen ini mengandung amanat bahwa penindasan manusia atas manusia lainnya bukanlah suatu perbuatan yang manusiawi dan harus ditentang.

E. “Nasehat untuk Anakku”

Berbeda dari cerpen-cerpen lain yang memenangkan Hadiah Majalah Sastra, cerpen ini hadir dalam bentuk surat. Tema yang diungkapkan di dalam cerita ini bertumpu pada persoalan kehidupan di masa revolusi. Cerpen ini menghadirkan tokoh Ayah dan tokoh

(10)

Teman Ayah. Melalui kedua tokoh tersebut, gambaran mengenai kehidupan di tahun-tahun awal 1960-an menjadi lebih jelas. Kedua tokoh tersebut juga menguatkan tema tentang persoalan hidup pada masa revolusi. Latar yang ditampilkan adalah Jakarta pada masa revolusi. Gambaran masyarakat yang dilanda kecemasan dan ketakutan, harga bahan makanan pokok yang melambung tinggi, dan sumber daya alam yang belum diolah secara maksimal diungkapkan dengan baik melalui penggambaran latar, penokohan, dan dialog antartokoh. Motinggo cukup piawai menyampaikan persoalan-persoalan itu dengan cara yang halus dan jauh dari tendensi untuk menghakimi. Pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui cerpen ini pada dasarnya adalah bahwa dalam kehidupannya, manusia harus selalu berupaya mencari kebenaran.

F. “Pangeran Djakarta”

Cerpen ini menampilkan tema persoalan masyarakat di masa revolusi. Cerita ini memang tampak sederhana. Untuk mendukung kesederhanaan itu, maka tokoh-tokoh yang ditampilkan pun hanya disebut dengan Tukang Obat, Si Perempuan, dan Si Suami. Peristiwa yang ditampilkan pun bukan peristiwa besar, hanya tentang seorang Tukang Obat yang berjualan di jalanan Tanjung Priok di malam hari. Namun, justru di sinilah letak kelebihan cerpen ini. Melalui hal-hal yang sederhana, Belan menyuguhkan potret masyarakat dari kelas sosial bawah pada masa revolusi dengan terperinci. Unsur-unsur cerita berjalin secara koheren. Deskripsi yang terperinci tentang latar dan penokohan membuat cerita tersebut tampak hidup. Pengungkapan tema yang bertumpu pada persoalan masyarakat di masa revolusi didukung oleh diketengahkannya tokoh Tukang Obat yang gemar beretorika mengenai berbagai persoalan di masa revolusi tersebut. Secara keseluruhan, amanat yang ingin dikemukakan di dalam cerpen ini adalah bahwa menipu orang lain untuk kepentingan diri sendiri bukanlah suatu perbuatan yang bernilai luhur.

G. "Di Pondok Saldju”

Cerpen ini menampilkan tema tentang persoalan perempuan. Tokoh yang diketengahkan dalam cerpen ini adalah dua perempuan, Rachel dan Raymonde. Kehadiran kedua tokoh tersebut sekaligus menguatkan tema cerita. Latar cerita adalah sebuah desa di Genewa pada musim dingin. Kehadiran latar yang identik dengan salju dan musim dingin mendukung peristiwa-peristiwa penting yang dialami Rachel di dalam hidupnya. Latar ini juga mendukung suasana intim yang hadir dalam interaksi antartokoh. Unsur-unsur di dalam cerita saling terkait satu sama lain secara fungsional.

(11)

Cerpen ini menjadi menarik karena mengangkat persoalan perempuan yang masih jarang diangkat dalam cerpen-cerpen di tahun-tahun awal 1960-an. Dengan gaya penceritaan yang ringan, Nh. Dini mampu mengemukakan persoalan tentang seorang perempuan yang mencoba melawan konvensi moral pada masanya dengan sikap yang dewasa. Tidak tampak adanya tendensi untuk menghakimi ataupun adanya ambisi untuk menyampaikan gagasan-gagasan pribadi di dalam cerpen ini. Cerita mengalir membawa pembaca menyelami dunia batin perempuan dan menghayati kembali persoalan-persoalan hidup yang harus dihadapinya sebagai seorang perempuan. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa seorang perempuan sudah seharusnya mampu memilih jalan hidupnya sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Dalam cerpen ini, tampak bahwa tokoh Rachel akhirnya memutuskan untuk melepaskan diri dari Alain. Ini mengisyaratkan kemerdekaan sekaligus kekuatannya sebagai seorang perempuan.

H. “Laki-Laki Berkuda”

Cerpen ini mengangkat tema tentang perjuangan memerangi pelacuran. Tokoh utama yang ditampilkan adalah seorang lelaki berkuda yang misterius yang berusaha memperbaiki keadaan di kotanya dengan memindahkan para pelacur ke tempat-tempat yang jauh dan terpencil serta memberinya rumah. Secara keseluruhan, amanat yang disampaikan di dalam cerita ini adalah bahwa manusia harus terus memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dengan apapun yang dimilikinya sekalipun hasilnya tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan. Teknik penceritaan di dalam cerpen ini, seperti juga cerpennya yang telah dibicarakan sebelumnya, penuh dengan kejutan dan ketegangan.

Penolakan Hadiah Majalah Sastra 1962

Penolakan Motinggo Boesje dan Virga Belan pada dasarnya tidak terlepas dari peran dan posisi majalah Sastra dengan H.B. Jassin sebagai pemimpin redaksinya. Pendirian-pendirian Jassin memberi kekhasan tersendiri pada majalah Sastra dan karya-karya yang dimuat di dalamnya. Bagaimanapun, Jassin adalah kritikus yang berpengaruh dan disegani. Seperti telah disebutkan di awal, pendapat-pendapatnya banyak didengar oleh para sastrawan Indonesia. Banyak sastrawan yang menjadi lebih diakui kedudukannya ketika karya-karyanya telah dibicarakan oleh Jassin.

Dalam kedudukan Jassin yang demikian, dapat dipahami jika keputusan Jassin dalam memberi penghargaan seperti melalui Hadiah Majalah Sastra memancing respons dari pihak-pihak lain. Ada pihak-pihak-pihak-pihak atau orang-orang yang berseberangan dalam hal pendirian dengan

(12)

Jassin. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa tahun-tahun awal 1960-an adalah masa yang penuh dengan ketegangan. Dalam kondisi tersebut, tidak mengherankan jika kemudian pihak-pihak yang merasa tidak nyaman dengan Jassin muncul dan memberikan pengaruh. Kondisi itulah yang agaknya memicu munculnya penolakan Hadiah Majalah Sastra.

Terbitnya Sastra pada tahun 1961 hingga 1964 membuat majalah ini tidak dapat dilepaskan dari konflik ideologi yang mengemuka pada tahun-tahun tersebut. Arief Budiman (yang dikutip oleh Sambodja, 2010: 3) mengungkapkan bahwa sejak berdirinya Lekra pada 17 Agustus 1950, politik masuk sedemikian dalam ke tubuh sastra Indonesia, karena kebijakannya di bidang sastra adalah “Politik adalah panglima”. Memasuki tahun 1960-an, pertentangan ideologi di antara para sastrawan Indonesia tampak semakin meruncing. Sambodja (2010: 3) menyebutkan bahwa pada 1960-an, sastrawan Indonesia mengkristal menjadi empat kelompok, yaitu sastrawan Lekra, sastrawan Manikebu, sastrawan yang berafiliasi pada partai politik, dan sastrawan independen. Dari keempat kelompok tersebut, masih dari keterangan Sambodja, perseteruan meruncing menjadi dua kelompok, yaitu kubu sastrawan Lekra yang mengusung paham realisme sosialis dan konsep “seni untuk rakyat” dan kubu sastrawan Manifes Kebudayaan yang mengusung paham humanisme universal dan konsep “seni untuk seni”.

Redaksi majalah Sastra pada dasarnya memang telah menempatkan diri pada posisi yang berseberangan dengan Lekra sejak awal penerbitannya. Dalam kata pengantar majalah

Sastra tahun pertama, redaksi telah menyatakan bahwa majalah Sastra tidak berpolitik.

Redaksi menegaskan bahwa Sastra tidak bernaung di bawah partai atau lembaga kebudayaan mana pun. Sastra mengusung humanisme universal dan mengutamakan kemerdekaan seniman dalam berkarya. Dengan menyatakan diri enggan tunduk pada politik, secara tidak langsung redaksi telah menempatkan dirinya dalam kubu yang berlawanan dengan Lekra yang memegang prinsip “Politik adalah panglima”. Terlebih lagi dengan meyakini paham humanisme universal, Sastra jelas tidak sejalan dengan Lekra yang mengusung realisme sosialis.

Jassin menerangkan makna humanisme universal yang diyakininya dan yang sekaligus menjadi jiwa majalah Sastra dalam kata pengantar Sastra tahun keempat.

Jang dimaksud dengan humanisme ialah nilai-nilai perikemanusiaan jang baik-baik dan mestinja bersifat universil, sama bagi seluruh dunia, seperti jang sedjak djaman purba diusahakan mentjapai dan memeliharanja oleh pemuka-pemuka agama dan filosof-filosof moral. Humanisme universil menghendaki nilai-nilai kemanusiaan jang tinggi, jang luhur. […] Humanisme universil inginkan nilai-nilai. Apakah jang harus kita pertahankan kalau bukan nilai-nilai?

(13)

Bukan sekedar nilai jang terikat pada waktu dan tempat, tapi nilai jang mengatasi ruang dan waktu, nilai-nilai jang abadi. […] Humanisme universil mentjari nilai-nilai kemanusiaan jang berlaku bagi segala manusia.

(Cetak tebaloleh II, Jassin dalam Sastra No. 1 Th. IV, 1964: 4) Bagi Jassin, humanisme universal menjunjung tinggi perikemanusiaan dan nilai-nilai yang berlaku abadi. Ia tidak memihak. Namun, bagi budayawan Lekra, humanisme universal agaknya tampak sebagai suatu paham yang utopis, abstrak, tidak konkret. Moeljanto dan Ismail menuliskan bahwa Bakri Siregar, yang termasuk dalam kelompok Lekra, pernah berbicara tentang hal ini dalam ceramah sastra di Yogyakarta pada 30 September dan 1 Oktober 1961. Berikut ini kutipan pembicaraan Bakri Siregar.

Lekra menolak humanisme universal, karena konsepsi humanisme universal ini merupakan konsepsi yang antirevolusi. Ini tidak berarti bahwa menolak humanisme. Yang ditolak oleh Lekra ialah humanisme yang abstrak, yang menamakan dirinya universal.

Lekra menerima humanisme, tetapi humanisme yang konkret. Humanisme universal adalah humanisme abstrak yang tidak memihak; tetapi humanisme konkret memihak rakyat banyak. Ini adalah humanisme yang mengabdi kepada rakyat pekerja, buruh, dan tani.

(Cetak tebal oleh II, Siregar yang dikutip oleh Moeljanto dan Ismail, 1995: 39) Dari kutipan tersebut, tampak bahwa Lekra menginginkan kemanusiaan yang konkret, yang memihak pada rakyat banyak. Pengertian rakyat bagi Lekra hanyalah melingkupi mereka yang termasuk kaum pekerja, buruh, dan tani. Mereka agaknya telah mereduksi pengertian rakyat yang pada dasarnya tidak hanya terdiri dari kelompok kaum pekerja, buruh, dan tani tersebut.

Karena perbedaan ideologi itu, Sastra menjadi incaran kritik Lekra dan para pendukungnya. Kritik kelompok Lekra terhadap majalah Sastra bermula dari dimuatnya cerpen Soelarto yang berjudul “Tanah” (Sastra No. 5 Th. I) dan “Rapat Perdamaian” (Sastra No. 6 Th. I) yang ternyata kemudian justru menjadi pemenang Hadiah Majalah Sastra 1961.

Dimuatnya dua cerpen tersebut membuat Sastra dicap reaksioner oleh Lekra yang menganggap diri mereka revolusioner. Reaksioner mengandung pengertian menentang kemajuan atau pembaruan dan bersifat berlawanan dengan tindakan revolusioner. Moeljanto (dalam Moeljanto dan Ismail, 1995: 40) menyebutkan bahwa anggapan reaksioner yang dialamatkan Lekra terhadap dua cerpen tersebut dimuat dalam kolom “Teori & Realitet” dalam lembaran kebudayaan “Lentera” Bintang Timur. Jika melihat pada cerpen “Rapat Perdamaian” yang dibicarakan dalam analisis intrinsik, tampak bahwa cerita ini sesungguhnya justru berpihak kepada rakyat. Agaknya cerpen ini menjadi sasaran kritik bukan karena

(14)

mengandung gagasan-gagasan yang bersifat reaksioner, tetapi lebih karena disinggungnya “komunis” di dalamnya. Berikut ini penulis kutipkan kembali paragraf yang kemungkinan besar telah mengusik kelompok Lekra.

— Dunia sekarang sedang ditjekik ketakutan jang dahsjat. Takut akan timbulnja Perang Dunia ke III. Perang nuklir jang akan melikwidir seluruh umat manusia dari atas bumi. Perang nuklir jang biadab itu akan petjah akibat propokasi dan napsu-angkara kaum imperialis dan……..

— Komunis! tukas ketua RK-III dengan suara jang empuk tenang. — Eh bukan. Kaum kolonialis, saudara. Kolonialis dengan ismenja. Tentang komunis, saja kira kita tidak memusuhi komunis dan komunissmenja. Komunis anti imperialis anti kapitalis anti kolonialis! (nadanja meninggi berapi) Komunisme bersemangatkan pelopor kedjalan sosialisme. Dan kita sekarang sedang menudju kepembentukan masjarakat sosialistis…

— Sosialisme Indonesia tapi lho, sela ketua RK-II sambil menghirup wedang kopi.

(Cetak tebal oleh II, Soelarto, Sastra No. 6 Th. I, 1961: 23) Sejak kemunculan dua cerpen tersebut, Sastra terus mendapat tekanan dari kelompok sastrawan Lekra dan pendukungnya.1 Setelah cerpen Soelarto, yang menjadi sasaran berikutnya adalah Hadiah Majalah Sastra 1962.

A. Penolakan Motinggo Boesje

Berdasarkan surat penolakan Motinggo yang dimuat dalam “Lentera”, lembaran kebudayaan Bintang Timur, 10 Februari 1963, Motinggo cenderung mempersoalkan kriteria yang digunakan Jassin di dalam pemilihan karya-karya pemenang Hadiah Majalah Sastra. Ia menolak Hadiah Majalah Sastra dengan alasan tidak dapat menerima ukuran penilaian Jassin yang tidak jelas. Motinggo bahkan mengatakan Jassin memberikan hadiah tersebut seperti orang pulang judi dalam keadaan mengantuk. Ketidakjelasan penilaian Jassin terutama diterangkan Motinggo dengan merujuk pada naskah Bastari Asnin yang memenangkan

                                                                                                                         

1  Tekanan-­‐tekanan  inilah  yang  kemudian  membuat  sastrawan  yang  sering  berhimpun  di  sekitar  majalah  Sastra  

pada  akhirnya  mencetuskan  Manifes  Kebudayaan  pada  17  Agustus  1963.  Manifes  Kebudayaan  pada  dasarnya   menekankan   pada   kebebasan   berkarya   dan   menolak   dominasi   politik   atas   karya   seni   yang   diusung   Lekra   (Yahaya  Ismail,  1970).  Hampir  semua  penandatangan  Manifes  Kebudayaan  adalah  sastrawan  dan  budayawan   yang   sering   menulis   di   majalah   Sastra.   Mereka   adalah   H.B.   Jassin,   Trisno   Sumardjo,   Wiratmo   Soekito,   Zaini,   Bokor   Hutasuhut,   Goenawan   Mohamad,   A.   Bastari   Asnin,   Bur   Rasuanto,   Soe   Hok   Djin,   D.S.   Moeljanto,   Ras   Siregar,   Hartojo   Andangdjaja,   Sjahwil,   Djufri   Tanissan,   Binsar   Sitompul,   Taufiq   A.G.   Ismail,   Gerson   Poyk,   M.   Saribi  Afn.,  Poernawan  Tjondronagoro,  dan  Boen  S.  Oemarjati.  Sejak  pemuatan  naskah  Manifes  Kebudayaan,   suasana  politis  dalam  majalah  Sastra  terasa  semakin  kuat.  Pada  tahun  penerbitannya  yang  ketiga  dan  keempat,   Sastra   semakin   sering   memuat   karangan-­‐karangan   yang   bernada   politis.   Karangan-­‐karangan   tersebut   di   antaranya   adalah   “Sastra   Revolusioner”   (Sastra   No.   9/10   Th.   III)   yang   ditulis   Wiratmo   Soekito,   “Kebebasan   Pengarang  dan  Masalah  Tanah  Air”  (Sastra  No.  11/12  Th.  III)  yang  ditulis  oleh  Iwan  Simatupang,  dan  “Seribu   Slogan  dan  Sebuah  Poesi”  (Sastra  No.  11/12  Th.  III)  buah  pikir  Goenawan  Mohamad.  

(15)

Hadiah Majalah Sastra tahun 1961 (cerpen “Ditengah Padang”). Naskah tersebut dikatakan Motinggo pernah ditolak oleh Jassin. Namun, ketika Bastari Asnin mengirimkannya kembali di kesempatan yang lain, Jassin menerimanya dan naskah tersebut bahkan memenangkan hadiah sastra. Motinggo tidak dapat menerima hal ini.

Cerpen Bastari Asnin, jika dilihat dari segi intrinsik, pada dasarnya terbukti layak dimuat di majalah Sastra dan layak dimenangkan dalam Hadiah Majalah Sastra 1961. Dengan demikian, alasan penolakan Motinggo Boesje dengan menyinggung cerpen Bastari Asnin perlu ditelaah kembali. Setelah ditelusuri lebih jauh, Motinggo Boesje ternyata menolak hadiah tersebut karena sentimen pribadinya yang berkaitan dengan kritik Jassin terhadap karya dramanya, “Malam Jahanam”. Hal ini tampak dalam kutipan surat pribadi Motinggo kepada Jassin tertanggal 2 Desember 1969 berikut ini.

Tjuma saja chawatir wartawan Berita Yudha membuat kekeliruan mengenai alinea berita itu, dimana dikatakan disitu bahwa saja telah “menjerang habis2an” Pak Jassin, jang menurut hemat saja tentu Pak Jassin ingat adalah peristiwa penolakan Hadiah Sastra jang sudah Pak Jassin ketahui bahwa dari fihak saja adalah pembalasan sentimen pribadi karena H.B. Jassin mengkritik Malam Djahanam, bukan? Dus, bukan persoalan Manifes.

(Cetak tebal oleh II, Surat Motinggo Boesje, 1969) Suratnya kepada Jassin tersebut sekaligus memberikan informasi mengenai keanggotaan Motinggo dalam LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional)2, serta sikap politiknya pada tahun 1960-an. Pada awalnya, mengingat Motinggo termasuk sebagai anggota LKN, penulis menduga bahwa penolakan Motinggo terkait dengan perseteruan ideologi politik di tahun 1960-an. Namun, dari surat tersebut barulah diketahui bahwa ia sesungguhnya bersimpati pada Manifes Kebudayaan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penolakan Motinggo lebih disebabkan oleh faktor perbedaan pandangannya dengan Jassin mengenai ukuran penilaian terhadap karya sastra. Motinggo menolak karena yang memberikan penghargaan adalah Jassin, orang yang pernah mengkritik drama Malam Jahanam dan menyatakan keheranannya mengenai pemenangan drama tersebut dalam Hadiah Majalah Budaya 1958.

B. Penolakan Virga Belan

                                                                                                                         

2   Lembaga   Kebudayaan   Nasional   (LKN)   merupakan   anak   organisasi   Partai   Nasional   Indonesia   (PNI).   Sebagai  

anak  organisasi  PNI,  LKN  menjunjung  tinggi  Pemimpin  Besar  Revolusi  (PBR)  Soekarno.  LKN  sangat  mendukung   Manifesto   Politik,   USDEK   (UUD   1945,   Sosialisme   Indonesia,   Demokrasi   Terpimpin,   Ekonomi   Terpimpin,   dan   Kepribadian   Indonesia),   dan   ide   Nasakom   (Nasionalis-­‐Agama-­‐Komunis)   yang   digagas   oleh   Soekarno.   LKN   dipimpin  oleh  sastrawan  kenamaan,  Sitor  Situmorang,  dan  berafiliasi  pada  Lekra.  

(16)

Berdasarkan surat penolakan Virga Belan yang dimuat bersamaan dengan surat penolakan Motinggo Boesje dalam “Lentera” Bintang Timur, 10 Februari 1963, ia mengutarakan secara terus terang bahwa penolakannya didasarkan kepada kecurigaan politik terhadap majalah Sastra. Berikut kutipan surat Virga Belan.

Sebagai seorang yang mempunyai pandangan politik saya mencurigai, bahwa

Sastra di samping menampilkan karya-karya sastra yang baik, juga

mengemukakan beberapa buah sajak, cerita-pendek maupun esai yang memiliki tendensi atau manipulasi-manipulasi politik antirevolusi atau anti-Nasakom lewat media kesusastraan.

(Belan, Moeljanto dan Ismail, 1995: 424) Perlu diketahui bahwa Virga Belan adalah Ketua Seksi Sastra pada Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Ia adalah salah seorang kritikus yang turut melancarkan kritik dan kecaman terhadap cerpen Soelarto yang dimuat di majalah Sastra. Salah satu karya Soelarto yang ia kecam adalah cerpen “Rapat Perdamaian” yang menjadi pemenang ketiga Hadiah Majalah Sastra 1961. Majalah Sastra dikatakannya antirevolusi dan anti-Nasakom karena telah memuat karangan-karangan yang tidak berpihak pada politik dan salah satu unsur Nasakom, salah satunya adalah cerpen Soelarto tersebut. Cerpen Soelarto dikatakan oleh Virga Belan mengandung hasutan terhadap unsur Komunis.

Cerpen “Rapat Perdamaian”, jika dilihat dari unsur intrinsiknya, pada dasarnya sama sekali tidak mengandung hasutan terhadap unsur komunis seperti yang dituduhkan Virga Belan. Cerpen tersebut hanya mengungkapkan persoalan masyarakat di masa revolusi tanpa terlihat adanya tendensi untuk memunculkan kebencian terhadap komunis. Dari salah satu tulisan Virga Belan yang bertajuk “Kontra Revolusi jg Bersendjatakan ‘Seni utk Katjaukan Kepertjajaan Rakjat” (Suluh Indonesia, Rabu, 27 Februari 1963), tampak bahwa kritik Belan tidak lagi objektif didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan kesusastraan, tetapi telah menjadi sangat terpengaruh dengan ideologi politik yang diyakininya.

Sebelum peristiwa penolakan Hadiah Majalah Sastra, Virga Belan termasuk cukup produktif memuatkan karya-karyanya di dalam majalah Sastra. Namun, Virga Belan kemudian secara mengejutkan menolak Hadiah Majalah Sastra 1962 dan sejak saat itu berbalik seolah-olah begitu memusuhi Sastra. Pernyataannya dalam “Sekilas lagi tentang Humanisme Universal” yang dimuat dalam Berita Indonesia 10 November 1963 menegaskan ideologi politiknya dan keinginannya untuk melenyapkan lawan-lawannya.

Tugas seniman, sastrawan, budayawan, sarjana, kaum intelegensia sekarang secara keseluruhannya adalah mendukung tujuan revolusi, bukan hanya

(17)

menentang paham ‘humanisme universal’ itu sebagai bahan benalu yang memakai label kemanusiaan untuk merongrong tujuan revolusi, tetapi harus

menghancurkannya dan menghabiskan riwayatnya dari tanah air kita buat masa

ini.

(Belan, Moeljanto dan Ismail, 1995: 47) Sejak penolakan Hadiah Majalah Sastra 1962, Virga Belan memang tidak pernah lagi memuatkan tulisan-tulisannya di majalah Sastra kecuali satu tulisan yang—berdasarkan keterangan Virga Belan—dimuat tanpa seizinnya. Dari uraian mengenai penolakan Virga Belan ini, jelas bahwa penolakannya dilatarbelakangi oleh ideologi politik yang berseberangan dengan majalah Sastra.

Kesimpulan

Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan. Dari analisis intrinsik, tampak bahwa kedelapan cerpen tersebut memiliki kelebihan dalam hal unsur-unsur intrinsiknya. Dalam kedelapan cerpen tersebut, penokohan, latar, dan alur terjalin secara koheren dalam mengungkapkan tema pada masing-masing cerpen. Cerita-cerita yang ditampilkan memang cenderung sederhana, tetapi sederhana tidak berarti identik dengan kualitas yang rendah. Justru dari yang sederhana itu muncul kekhasan yang menandai cerpen-cerpen yang muncul di tahun 1960-an awal, khususnya yang dimuat di majalah Sastra.

Dua cerpen Bastari Asnin, “Ditengah Padang” dan “Laki-Laki Berkuda”, menampilkan unsur suspensi yang kuat. Kedua cerpen tersebut juga menampakkan kekhasan dalam hal latar tempat dan latar sosial berupa daerah perburuan. Unsur suspensi yang kuat dapat ditemukan pula di dalam cerpen “Pertundjukan” karya Bur Rasuanto. Selain mengandung unsur suspensi, cerpen tersebut juga mengandung deskripsi latar dan tokoh yang terperinci. Deskripsi yang terperinci itu ditampakkan pula dalam cerpen Rasuanto yang berjudul “Discharge”. Cerpen “Discharge” mengangkat kehidupan buruh di pabrik kilang minyak dengan penggambaran latar sosial yang kuat. Sementara itu, cerpen “Pangeran Djakarta” karya Virga Belan, “Rapat Perdamaian” karya B. Soelarto, dan “Nasehat untuk Anakku” karya Motinggo Boesje menonjol dalam hal tema yang aktual di tahun awal 1960-an, yaitu tentang berbagai persoalan masyarakat yang muncul di masa revolusi. Terakhir, cerpen “Dipondok Saldju” karya Nh. Dini juga menonjol dalam hal tema, yaitu tentang perempuan dengan permasalahan-permasalahannya. Latar peristiwa yang dipilih Nh. Dini, yaitu Eropa, juga menjadi daya tarik tersendiri di dalam cerpen ini.

(18)

Selanjutnya, cerpen-cerpen tersebut juga menampilkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal sebagaimana yang dimaksudkan oleh H.B. Jassin. Di dalam cerpen “Ditengah Padang” karya Bastari Asnin terkandung nilai keadilan. Melalui cerpen tersebut Asnin mengungkapkan bahwa manusia pasti akan mendapatkan balasan dari perbuatannya di masa yang telah lalu. Selanjutnya, cerpen “Discharge” menyampaikan kepada pembaca bahwa menyiksa dan mengeksploitasi manusia lain untuk kepentingan diri sendiri bukanlah suatu hal yang terpuji. Cerpen “Rapat Perdamaian” juga mengandung nilai yang serupa dengan yang ditampilkan dalam cerpen “Discharge”. Hanya saja, nilai tersebut ditampilkan dengan cara yang berbeda dan cenderung lebih sederhana. Cerpen “Rapat Perdamaian” mengungkapkan bahwa memanfaatkan warga kampung untuk meraih tujuan pribadi adalah perbuatan yang tercela. Cerpen tersebut juga mengandung pesan bahwa upaya mewujudkan perdamaian dunia harus dimulai dari hal-hal sederhana dan dari diri sendiri.

Sementara itu, dalam cerpen “Pertundjukan”, Bur Rasuanto kembali mengungkapkan bahwa penyiksaan terhadap manusia lain bukanlah nilai yang terpuji. Sikap penjajah yang menginjak-injak hak-hak bangsa lain tidak dapat diterima sebagai suatu sikap kemanusiaan yang luhur. Selanjutnya, cerpen “Nasehat untuk Anakku” mengungkapkan perjuangan manusia dalam mencari nilai kebenaran. Melalui cerpen tersebut, Motinggo ingin menyampaikan bahwa di dalam hidupnya, manusia harus selalu berupaya untuk mencari nilai-nilai kebenaran. Cerpen “Pangeran Djakarta” mengungkapkan bahwa menipu orang lain untuk kepentingan diri sendiri bukanlah suatu perbuatan yang bernilai luhur. Cerpen “Dipondok Saldju” mengungkapkan persoalan perempuan yang mencoba melawan konvensi moral pada masanya. Terakhir, cerpen “Laki-Laki Berkuda” mengisahkan perjuangan manusia melawan keburukan di sekitarnya. Melalui cerpen tersebut Bastari Asnin menyampaikan bahwa manusia harus selalu memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dengan apapun yang dimilikinya.

Dengan demikian, tampak bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam delapan cerpen tersebut adalah nilai-nilai kemanusiaan yang universal sifatnya. Perjuangan manusia untuk meraih keadilan, mencari kebenaran, melawan keburukan, dan memperoleh kemerdekaan adalah perjuangan yang menampilkan nilai-nilai luhur. Perjuangan manusia yang demikian akan selalu muncul dalam berbagai bentuk, di setiap zaman, dan di berbagai tempat di dunia. Secara intrinsik, kedelapan cerpen ini layak mendapatkan penghargaan Hadiah Majalah

Sastra, terutama karena cerpen-cerpen tersebut menampilkan dengan baik nilai-nilai

kemanusiaan yang universal seperti yang diinginkan oleh redaksi. Hal inilah yang membuat redaksi Sastra memenangkan karya-karya tersebut.

(19)

Kesimpulan selanjutnya terkait dengan kasus penolakan Hadiah Majalah Sastra 1962. Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penolakan dipicu oleh peran dan posisi majalah Sastra dengan Jassin sebagai redakturnya. Pemberian Hadiah Majalah

Sastra pada dasarnya dilandasi oleh niat baik untuk memberikan apresiasi terhadap hasil

karya sastra yang dianggap terbaik oleh redaksi. Namun, pemberian hadiah sastra ini ternyata memicu penolakan dari beberapa pengarang. Dalam hal ini perlu ditekankan keberadaan Jassin sebagai pemimpin redaksi yang memberi warna khas pada penerbitan majalah Sastra dengan pendirian-pendiriannya, baik yang terkait dengan penilaian kesusastraan maupun yang terkait dengan ideologi politik.

Motinggo menolak terutama karena yang memberikan penghargaan adalah Jassin, orang yang pernah mengkritik drama Malam Jahanam dan menyatakan keheranannya mengenai pemenangan drama tersebut dalam Hadiah Majalah Budaya 1958. Sementara itu, Virga Belan menolak karena ideologi politiknya berseberangan dengan ideologi majalah Sastra. Dengan Jassin sebagai pemimpin redaksinya, semangat yang melandasi penerbitan majalah Sastra adalah semangat “tidak berpolitik” dan semangat kemanusiaan seperti yang terkandung dalam paham “humanisme universal”. Ideologi itulah yang ditentang oleh Virga Belan. Dengan melihat pada kasus penolakan Hadiah Majalah Sastra, jelas bahwa kehidupan kesusastraan Indonesia di tahun-tahun awal 1960-an tidak dapat dilepaskan dari pertentangan ideologi politik di masa itu. Demikianlah beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini. Daftar Referensi

Asnin, A. Bastari

1961 “Ditengah Padang”. Sastra, No. 2 Th. I, Juni, hlm. 6—8 dan 30. 1963 “Laki-Laki Berkuda”. Sastra, No. 7/8 Th. III, hlm. 11—12. Belan, Virga

1962 “Pangeran Djakarta”. Sastra, No. 1 Th. II, hlm. 24—26.

1963 “Kontra Revolusi jg Bersendjatakan ‘Seni utk Katjaukan Kepertjajaan Rakjat”.

Suluh Indonesia, Rabu, 27 Februari.

1963 “Sebuah Pernjataan buat Sastra”. Bintang Timur, 20 Oktober 1963. Boesje, Motinggo.

1962 “Nasehat untuk Anakku”. Sastra, No. 4 Th. II, hlm. 3—4.

1969 “Surat Pribadi kepada H.B. Jassin tertanggal 2 Desember 1969”. Disimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Damono, Sapardi Djoko

1999 Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus. Dini, Nh.

1963 “Dipondok Saldju”. Sastra, No. 7/8 Th. III, hlm. 2—4. Eneste, Pamusuk

(20)

Escarpit, Robert

2005 Sosiologi Sastra (terj. Ida Sundari Husen). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Forster, E.M

1977 Cerita dan Segi-Segi Novel (terj. Lies Hidayat). Jakarta: Pusat Bahasa (stensilan). Hudson, William Henry

1913 An Introduction to the Study of Literature. London: George G. Harrap & Company.

Jassin, H.B

1961 “Kisah Terbit Kembali: Sebuah Kata Kegembiraan”. Sastra, No. 1 Th. I, Mei, hlm. 3.

1962 “Satu Tahun Sastra: Pernjataan Sikap dan Pertanggungdjawaban”. Sastra, No. 1 Th. II, hlm. 3—5.

1963 “Memasuki Tahun Ketiga”. Sastra, No. 1 Th. III, hlm. 5—6.

1964 “Masuk Tahun Keempat: Tahun Konfrontasi”. Sastra, No. 1 Th. IV, hlm. 4—6. 1984 Surat-Surat 1943—1983. Jakarta: Gramedia.

1985 Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.

1985 Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei IV. Jakarta: Gramedia. Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail

1995 Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk. (Kumpulan Dokumen

Pergolakan Sejarah). Bandung: Mizan dan HU Republika.

Rasuanto, Bur

1961 “Discharge”. Sastra, No. 8 Th. I, Desember, hlm. 3—6 dan 33—34. 1962 “Pertundjukan”. Sastra, No. 1 Th. II, hlm. 6—9 dan 30—31.

Rosidi, Ajip

1959 Tjerita Pendek Indonesia. Jakarta: Djambatan. Sambodja, Asep

2010 Historiografi Sastra Indonesia 1960-an. Jakarta: Bukupop. Soelarto, B.

1961 “Rapat Perdamaian”. Sastra, No. 6 Th. I, Oktober, hlm. 23—24. Sudjiman, Panuti

1988 Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sugiyono

2008 Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Wellek, Rene dan Austin Warren

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Gambar 17 Respon sistem referensi turun. Gambar 17 menunjukkan pengujian respon sistem model hipertermia pada perubahan setting point turun atau semakin kecil. Pada

Berdasarkan proses dilakukannya praktikum dengan judul ekstraksi benih dan pengeringan ada baiknya juga dilakukan pengujian terhadap daya kecambah benih tersebut hal ini

14 Penderita KPTN dengan morfologi tumor duktal invasif pada penelitian ini umum- nya memiliki usia >50 tahun, ukuran tumor yang besar (>2cm), derajat histologi

Pembinaan Sepakbola Usia Dini di Sekolah Sepakbola Kota Surakarta (Studi Kasus Aspek Organisasi, Manajemen dan Pembinaan Prestasi) tujuan utama dari penelitian

3. Guru mengingatkan siswa untuk menulis dengan mencantumkan apa yang dilakukan, dimana mereka melakukan kegiatan, siapa yang terlibat, kapan dilakukan,

Di samping kemudahan-kemudahan tersebut, disempurnakan juga ketentuan mengenai kewajiban bank untuk memelihara likuiditas minimum baik dalam rupiah maupun valuta

The results of the present study for investigating the structure and diversity of Iran’s pistachio exports market showed that the diversity in Iran’s pistachio target markets