• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Kronologi Timbulnya Prasangka dan Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa

Prasangka terhadap etnis Tionghoa merupakan salah satu penyebab timbulnya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Prasangka tersebut bukannya muncul tanpa sebab. Melalui fakta-fakta dalam sejarah, kita bisa menelusuri kronologi timbulnya prasangka terhadap etnis Tionghoa.

2.1.1. Kedatangan Etnis Tionghoa ke Indonesia

Menurut penulis, sebenarnya hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya pada umumnya berjalan dengan baik, misalnya etnis Jawa dengan etnis Tionghoa sendiri sebenarnya hidup dengan rukun berdampingan, sehingga bisa disimpulkan bahwa diskriminasi maupun gerakan anti Tionghoa sebenarnya adalah perbuatan oknum tertentu. Disini penulis akan menyajikan catatan Sejarah yang membuktikan hubungan baik antar Nusantara dengan Tiongkok.

Kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia pada mulanya (Abad IX, jaman Dinasti Tang) adalah untuk berdagang dan mencari kehidupan baru.(Setiono, 2002, hal.19) Pada masa pemerintahan Kaisar Hanming (Dinasti Han, 1-6 SM), Tiongkok telah mengenal Nusantara yang disebut Fanzi. (Setiono, 2002, hal.18) Banyak pendatang dari Tiongkok yang tertarik dengan kehidupan di Nusantara karena di Tiongkok memiliki iklim yang lebih keras dan banyak terjadi bencana alam dan peperangan.

Banyak sekali bukti Sejarah yang mengungkapkan hubungan antara Nusantara dan Tiongkok. Diantaranya:

1. Pada 1961 di Guangzhou (Canton) ditemukan sebuah batu bertulis yang telah berusia 900 tahun, yang menggambarkan persahabatan Nusantara-Tiongkok. Raja Wakaro dari Sumatera Timur memberikan sumbangan yang besar ketika berkunjung ke Canton. Sumbangan tersebut digunakan untuk memperbaiki kuil Dao yang rusak(Setiono, 2002, hal.19-20)

(2)

2. Berdasarkan catatan sejarah Melayu, anak pangeran dari Tiongkok menjadi raja di Palembang. Pada abad ke lima belas, kaisar Dinasti Ming mengirim delegasi persahabatan kepada raja Zulkarnaen dari kerajaan Malaka, disertai seorang puteri yang diiringi oleh 500 dayangnya.(Setiono, 2002,hal.21-22) 3. Pada Abad XV di masa Dinasti Ming (1368-1643), etnis Tionghoa dari Yunan

mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam terutama di Pulau Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Laksamana Zheng He/Sam Po Kong pada 1410 dan 1416, dengan armada yang dipimpinnya mendarat di Pantai Simongan, Semarang. Selain menjadi utusan Kaisar Zhudi dari Dinasti Ming untuk mengunjungi raja Majapahit juga bertujuan menyebarkan agama Islam.(Setiono, 2002, hal24)

Dari catatan sejarah yang penulis sajikan diatas, dapat diketahui bahwa pada awalnya hubungan antara etnis Tionghoa dan para penguasa dan penduduk di Nusantara terjalin dengan baik dan bahkan saling membantu dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Bahkan, hubungan antara Nusantara dan Tiongkok tidak hanya seputar perdagangan, tapi ada etnis Tionghoa yang datang ke Nusantara dengan tujuan menyebarkan agama Islam.

2.1.2. Timbulnya Prasangka dan Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa

Pada sub bab ini, penulis menyajikan catatan sejarah mengenai asal mula timbulnya prasangka dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.

Orang-orang Tiongkok yang lama sebelum kedatangan Belanda telah mempunyai hubungan baik dengan Nusantara sudah banyak yang mulai tinggal menetap. (Setiono, 2002, hal.71) Kemudian datanglah Belanda yang berusaha melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Nusantara, untuk memenuhi ambisinya, pada tanggal 20 Maret 1602 Belanda mendirikan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) (Setiono, 2002, hal.73-74)

Setelah dibentuknya VOC, Belanda mulai menggunakan sebagian orang Tionghoa untuk membantunya memenuhi ambisinya untuk menghancurkan Jayakarta dan mendirikan Batavia. Jan Pieterzoon Coen (1587-1629) Gurbernur Jenderal VOC membangun Batavia dengan bantuan orang-orang Tionghoa dari Banten pimpinan Souw Beng Kong. Etnis Tionghoa dibujuk dan diberi janji-janji

(3)

agar mau pindah dan memajukan perdagangan di Batavia. Coen sendiri menjalankan politik monopoli di segala bidang perdagangan dan melakukan blokade atas pelabuhan Banten. Jung-jung dari Tiongkok dilarang merapat ke pelabuhan Banten dan para pedagang Tionghoa dilarang memasuki Banten. Hubungan dagang antara Banten dan Tiongkok yang selama ini sangat erat terputus oleh Batavia. Akibatnya pelabuhan Banten menjadi sepi dan mati. (Setiono, 2002, hal.79)

Tidak benar bila mengatakan bahwa orang Tionghoa hanya memihak Belanda, karena ada juga etnis Tionghoa yang membantu pihak kerajaan di Nusantara. Seperti pada saat Sultan Agung menyelidiki kedudukan Belanda menggunakan seorang etnis Tionghoa sebagai mata-mata. (Toer, 1998, hal.144-145) Pada kenyataan sejarah diatas, penulis berargumentasi bahwa etnis Tionghoa sebenarnya mudah dimanfaatkan, digunakan sebagai alat, maka akibatnya etnis Tionghoa pula yang menjadi kambing hitam, menderita serangan dari kedua belah pihak yang memanfaatkannya.

Belanda menjalankan politik pecah belah untuk merusak hubungan antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi, antara lain dengan mengeksklusifkan tempat tinggal (Coppel, 1983, hal.28) Belanda juga membuat siasat Tanam Paksa dan para pengusaha Tionghoa dijadikan sebagai pedagang perantara, sehingga merusak kerukunan sosial tradisional sehari-hari yang telah ada.(Susanto, 1996, hal.18) Selain itu, Belanda juga memberi orang-orang Tionghoa hak untuk memungut pajak, menjual candu dan membuka rumah judi yang sangat merugikan penduduk setempat serta membagi-bagi kedudukan hukum penduduk Indonesia dengan dasar yang sangat rasial, yang antara lain menempatkan posisi etnis Tionghoa sebagai warga yang lebih tinggi kedudukannya dari warga golongan pribumi.

Untuk memajukan koloni dan perdagangannya, Belanda tak segan-segan melakukan cara yang tidak sehat bahkan kejam. Pelaut Belanda tidak segan-segan merampok jung-jung Tionghoa secara terang-terangan dan menahan awak kapalnya untuk kemudian dipaksa bekerja di Batavia. Tahun 1622, kapal-kapal Belanda menculik pria, wanita dan anak-anak di pantai Tiongkok Selatan dan menyiksa para tawanan tersebut dengan sangat kejam di kepulauan Pescadores.

(4)

Banyak yang meninggal sebelum tiba di Batavia dan kalau ingin bebas mereka harus bekerja keras terlebih dahulu untuk mengumpulkan uang tebusan. (Setiono, 2002, hal.80) Jadi bisa dibilang bahwa saat itu Belanda tidak hanya menjajah orang pribumi di Nusantara saja, namun juga sedang menjajah etnis Tionghoa, menyiksa dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.

Tahun 1740 terjadi pembantaian etnis Tionghoa di Batavia, yang digerakkan oleh VOC, sedangkan pada 25 Juli 1740 VOC mengeluarkan resolusi “bunuh atau lenyapkan”. Pembantaian terjadi karena VOC merasa merasa bahwa etnis Tionghoa yang mulai aktif dalam kegiatan perekonomian di Batavia merupakan ancaman.(Setiono, 2002)

Penulis menggunakan catatan sejarah diatas untuk membuktikan bahwa sebenarnya Belanda memandang hubungan harmonis antar etnis Tionghoa dan penduduk setempat sebagai suatu bahaya bagi niat mereka menguasai Nusantara. Dapat diketahui bahwa prasangka terhadap etnis Tionghoa sengaja dibuat oleh VOC. Diskriminasi terhdadap etnis Tionghoa serta perpecahan sebagai ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa adalah warisan dari penjajah Belanda.

2.2 Diskriminasi Dalam Berbagai Bidang Pada Masa Kemerdekaan Sampai Pasca Reformasi

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia timbul masalah baru, yaitu mengenai masalah kewarganegaraan. Undang-Undang Dasar 1945 yang dirancang oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada bulan-bulan terakhir pendudukan Jepang, ditetapkan bahwa “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang-orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Akibatnya, dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang pertama pada tahun 1946, kewarganegaraan diberikan secara otomatis kepada penduduk asli Indonesia tetapi tidak demikian dengan golongan penduduk lainnya kecuali apabila mereka dapat memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Kini kata asli tidak saja bermakna “pribumi, tempat kelahiran, asal,” tetapi juga memiliki pengertian “sejati, murni”. Karena itu baik kalimat maupun isi pokok undang-undang kewarganegaraan menekankan pandangan bahwa bangsa Indonesia yang sesungguhnya ialah

(5)

penduduk pribumi. Golongan penduduk lainnya memperoleh kewarganegaraan Indonesia dari bangsa Indonesia yang merupakan penduduk pribumi (Coppel, 1994, hal.23) Pada kenyataannya, etnis Tionghoa yang ingin meperjelas kewarganegaraannya sebagai warga Negara Indonesia, berusaha memenuhi persyaratan yang diajukan, namun dalam memenuhi persyaratan itu tak jarang menemui kesulitan, banyak oknum yang memanfaatkan kesempatan itu untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Berikut ini, penulis akan menyajikan contoh diskriminasi dalam berbagai bidang sejak masa kemerdekaan sampai pasca reformasi, yang merupakan cikal bakal salah satu dari masalah Tionghoa di Indonesia dan salah satu faktor ancaman terhadap persatuan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia :

2.2.1. Diskriminasi Dalam Hal Kewarganegaraan dan Ekonomi

Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang menyangkut masalah kewarganegaraan secara tak langsung juga menimbulkan masalah dalam bidang ekonomi, tempat tinggal, bahkan sampai merenggut nyawa. Contohnya :

- Pada masa Orde Lama, dari pihak pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri melanjutkan tindakan mendiskriminasi etnis Tionghoa yang diwariskan oleh Belanda. Diskriminasi juga merambah sampai bidang ekonomi, contohnya pada November 1959, Presiden Soekarno tiba-tiba menandatangani Peraturan Pemerintah No.10. Peraturan ini berisi larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada etnis Tionghoa) untuk berdagang eceran di daerah pedalaman, yaitu di luar ibukota. Sudah tentu peraturan yang rasialis ini sangat mengejutkan dan menggoncangkan sendi-sendi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia. Karena pada masa itu Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1958 belum dilaksanakan, sehingga terjadi kesimpangsiuran dalam menentukan yang mana asing dan yang mana WNI. Orang-orang Tionghoa asing dan etnis Tionghoa yang berdasarkan UU Kewarganegaraan Tahun 1946 telah menjadi warganegara Indonesia diusir oleh para penguasa militer di daerah-daerah. (Setiono, 2002, hal.791)

- Dengan dilaksanakannya PP-10, puluhan ribu orang Tionghoa terpaksa harus meninggalkan tempat usaha dan kediamannya di daerah pedalaman. Peraturan

(6)

yang sebenarnya hanya melarang berdagang eceran tetapi dalam pelaksanaannya juga melarang bertempat tinggal. Etnis Tionghoa dianggap semuanya berstatus dwikewarganegaraan atau asing, sehingga oleh pihak militer mereka dipaksa meninggalkan tempat kediamannya. Bukan hanya para pedagang tetapi yang tidak berdagang pun diusir. Tindakan yang paling buruk dilakukan pihak militer di Jawa Barat di bawah pimpinan Kolonel Kosasih. Berbagai insiden menyedihkan terjadi, seperti di Cimahi pada Juli 1960, seorang perempuan Tionghoa mati tertembak, karena ia bersama keluarganya mencoba bertahan dan tidak mau meninggalkan tempat kediamannya. Insiden ini menyebabkan Presiden Soekarno mengeluarkan instruksi kepada para penguasa militer agar tidak lagi memaksa orang Tionghoa meninggalkan tempat tinggalnya. Mereka yang terusir menimbulkan masalah tempat penampungan di kota-kota besar, karena pada umumnya mereka tidak mempunyai famili yang akan menampungnya.(Setiono, 2002, hal.792-793) - Pelaksanaan PP-10 juga menimbulkan dampak yang sangat negatif bagi

perekonomian negara. Daerah-daerah pedalaman yang ditinggalkan para pedagang Tionghoa mengalami kemunduran. Berbagai barang kebutuhan menjadi langka dan harganya membumbung tinggi. Produk-produk pertanian para petani bertumpuk dan tidak dapat dipasarkan. Ternyata jaringan distribusi yang ditinggalkan para pedagang Tionghoa tidak dapat segera diganti. Demikianlah peraturan yang sangat rasialis tersebut berakhir dengan sangat tragis dan merugikan semua pihak. (Setiono, 2002, hal.795)

Aksi-aksi anti Tionghoa semakin meningkat dengan tuntutan pengusiran orang Tionghoa WNA dari daerah tertentu. Di Lhoksumawe, Aceh, orang-orang Tionghoa diusir ke luar dari rumah mereka masing-masing dan dijemur di bawah sinar matahari selama lebih dari lima jam. Yang laki-laki dipaksa untuk membuka bajunya, kemudian tubuhnya disiram berbagai macam cat untuk ditulisi slogan-slogan anti Tionghoa setelah dipukuli terlebih dahulu. Di kota Medan, tembok-tembok penuh dengan corat-coret anti Tionghoa antara lain “Orang-Orang Cina pulang” dan “Sekali Cina tetap Cina”. Pada Agustus 1966, Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sumatera Utara menuntut agar sebelum akhir tahun semua warganegara

(7)

RRT diusir dari Sumatera Utara. Malahan KAPPI Sumatera Utara kemudian mengeluarkan pernyataan yang mendesak pemerintah agar mengusir seluruh orang Tionghoa/komunis dari Indonesia atau KAPPI sendiri yang akan bertindak. Bahkan, dalam rapat umum mahasiswa, 15 Oktober 1966, Pangdam Sumatera Utara Brigjen Sobiran Mochtar menyatakan bahwa demonstrasi-demonstrasi anti Tionghoa tidak cukup untuk mematahkan dominasi orang Tionghoa dalam perekonomian setempat. Para mahasiswa harus mempelopori menolak membeli atau menjual barang kepada orang Tionghoa dan secara aktif mengawasi toko-toko Tionghoa agar orang enggan berbelanja ke sana. (Setiono, 2002, hal.959)

Di samping itu setelah Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) intensitas kerusuhan anti-Tionghoa makin menjadi-jadi. Penjarahan, perusakan dan pembakaran rumah-rumah, toko-toko, sekolah-sekolah dan mobil-mobil milik orang Tionghoa terjadi di mana-mana. Kampanye dan berbagai aksi anti-Tionghoa, ditambah tindakan represif penguasa militer inilah yang menimbulkan kekuatiran dan trauma berkepanjangan dan menjadi salah satu sebab mengapa orang Tionghoa selama tiga puluh dua tahun mati-matian berusaha menghindari wilayah politik, dan memusatkan seluruh perhatian dan kegiatannya hanya di bidang bisnis.(Setiono, 2002, hal.955) Dari catatan sejarah ini, kita bisa mengetahui sebab mengapa orang Tionghoa sampai sekarang masih banyak yang memusatkan perhatian dan kegiatan di bidang bisnis, orang Tionghoa yang mudah menjadi kambing hitam sudah pasti merasa posisinya terancam dan lebih baik tidak ikut campur masalah politik yang sensitif.

Walaupun banyak orang Tionghoa yang menghindari dunia politik, namun bukan berarti dengan demikian posisinya menjadi aman. Orang Tionghoa tetap saja menjadi kambing hitam, bahkan dalam usaha perebutan kekuasaan. Contohnya adalah saat Soeharto pimpinan Angkatan Darat, berusaha merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno: Soeharto menggunakan kekuatan mahasiswa dan pemuda, dan cara yang paling mudah adalah menimpakan segala kesalahan (atas masalah kesulitan ekonomi) kepada orang Tionghoa, baik WNI maupun WNA yang dituduh menjadi pengacau dan parasit ekonomi. Orang Tionghoa yang dituduh menjadi kolone kelima, tukang timbun dan sama sekali tidak pernah peduli dengan kepentingan rakyat. Orang Tionghoa dituduh mempunyai loyalitas

(8)

ganda dan selalu berusaha mentransfer uangnya ke luar negeri. Pemilihan orang Tionghoa untuk dijadikan kambing hitam dengan pertimbangan bahwa mereka adalah golongan yang secara politis sangat lemah, tanpa perlindungan dan mudah dipermainkan.(Setiono, 2002, hal.955)

Kerusuhan berikutnya terjadi di Medan pada 10 Desember 1965. Konsulat RRT dihujani batu, jendela-jendelanya hancur dan 3 orang stafnya mengalami luka-luka. Ditengah aksi tersebut pihak keamanan melepaskan tembakan ke arah massa demonstran. Hal ini menimbulkan kemarahan massa yang mengira pihak konsulat lah yang melakukan penembakan tersebut. Massa demonstran dipimpin para kelompok Pemuda Pancasila kemudian mengamuk ke seluruh kota Medan. Mereka menjarah toko-toko dan kios-kios milik orang-orang Tionghoa dan melukai atau membunuh siapa saja yang berani melawan. Di jalan-jalan raya orang-orang Tionghoa diseret turun dari becak, mobil dan sepeda motor, kemudian ditikam dengan pisau atau sangkur. Diperkirakan sebanyak 2.000 orang menjadi korban.(Setiono, 2002, hal.956)

Akhir 1967 dan awal 1968 Gurbernur DKI Jaya, Letjen Ali Sadikin mengeluarkan ijin untuk membuka kasino dan menyelenggarakan judi Hwa Hwe di daerah DKI Jaya, dengan alasan mengumpulkan pajak yang dapat digunakan untuk pembangunan ibukota Disamping itu sebagai pelengkap kota metropolitan ratusan bar, night club, panti pijat dan tempat-tempat maksiat lainnya muncul dan bertebaran di berbagai tempat di ibu kota. Legalisasi perjudian ini menimbulkan dampak yang sangat negatif kepada penduduk Jakarta, terutama judi Hwa Hwe yang segera menjadi wabah yang melanda kota Jakarta dan meminta banyak korban. Di samping korban perjudian, banyak kehidupan rumah tangga yang menjadi berantakan karena menjadi korban para hostes night club tersebut. Ironisnya penguasa ibukota berikutnya dengan alasan yang sangat rasialis, merelokasi pusat kegiatan maksiat ke daerah China Town atau Pecinan. Di luar daerah Pecinan tidak dikeluarkan ijin untuk membuka kegiatan maksiat tersebut. Pusat-pusat perjudian dan maksiat kemudian menjalar ke seluruh kota besar di Indonesia. Penggunaan segelintir pengusaha etnis Tionghoa yang dijadikan kroni Presiden Soeharto dan tumbuhnya pengusaha perjudian dan maksiat lainnya, sudah tentu menimbulkan citra yang sangat negatif di hadapan rakyat Indonesia,

(9)

seolah-olah seluruh etnis Tionghoa sangat rakus, tidak bermoral dan hanya mengeruk kekayaan dengan melakukan hal-hal yang buruk dan merusak di Indonesia. (Setiono, 2002, hal.993-994)

Pada masa Orde baru, semakin sulit dan berbelit-belit bagi etnis Tionghoa untuk mendapatkan bukti kewarganegaraan Republik Indonesia. Masih banyak etnis Tionghoa yang telah tinggal menetap di Indonesia berpuluh-puluh tahun, namun masih belum mendapatkan status kewarganegaraan yang jelas. Bahkan banyak yang lahir di Indonesia namun tidak memiliki kewarganegaraan. Bagi yang memiliki banyak uang, tentu akan lebih mudah untuk mendapatkan surat bukti kewarganegaraan. Seperti penuturan Meliana seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta di Bandung: “Sejak saya lahir(1982), kedua orangtua saya telah memasukkan nama saya ke dalam kartu keluarga temannya, karena mereka belum bersatus WNI(Warga Negara Indonesia). Maka, supaya saya bersatus WNI, dinyatakanlah saya sebagai anak dari pasangan suami istri yang telah menjadi WNI. Keadaan demikian banyak sekali saya jumpai, baik itu dalam keluarga sendiri maupun yang dialami oleh teman-teman saya. Sehingga banyak anak etnis Tionghoa yang secara hukum adalah anak dari pasangan suami istri yang bukan orang tua kandungnya. Sedangkan kedua orang tua saya baru resmi menjadi WNI setelah runtuhnya rezim orde baru, karena saat itu pengurusan surat-surat menjadi lebih mudah bila dibandingkan dengan saat orde baru.” (9 November 2005)Keadaan yang demikian, selain menyebabkan kebingungan bagi si anak, juga akan mempersulit pengurusan surat-surat penting lainnya di kemudian hari.

Ada contoh kasus mengenai masalah kewarganegaraan yang mendatangkan kesulitan dalam bidang ekonomi, seperti yang dituturkan oleh Budi, karyawan perusahaan swasta di Gresik:”Pada masa orde baru, kakak perempuan saya harus bolak-balik ke Jakarta hanya untuk mengurus SBKRI. Sebab usaha yang akan dibukanya membutuhkan SBKRI sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi.”(12 November 2005). Lain hal-nya dengan apa yang dialami oleh seorang guru les privat yang bernama Ivan, dia menyatakan bahwa keluarganya tidak pernah menemui kesulitan dalam proses pembuatan surat penting, baik itu kewarganegaraan maupun untuk kepentingan usaha. Ivan mengatakan: “Itu semua karena kami kenal dengan orang dalam.” (7November2005) Yang dimaksud

(10)

dengan “orang dalam” adalah orang-orang dari pemerintahan. Ada cara tertentu yang harus diusahakan oleh etnis Tionghoa supaya memperoleh kemudahan dalam mengurus surat-surat penting, misalnya dengan menggunakan kekayaannya, koneksi, dan juga cara lainnya. Cara lain yang dapat digunakan lagi, contohnya seperti yang dikatakan oleh teman saya: “Orang tua memberikan saya nama Ratih, supaya tidak mengalami banyak kesulitan dalam mengurus surat-surat penting.” (7 November 2005) Maksudnya adalah , bila tetap menggunakan nama Tionghoa, maka akan jelas kelihatan bahwa dia adalah etnis Tionghoa, yang mana akan mempersulit proses mengurus surat-surat penting.

Pemerintah Orba seakan-akan mendorong etnis Tionghoa untuk hanya berkiprah di sektor swasta, khususnya perdagangan. Nonpri yang berprofesi sebagai pegawai negeri, staf bank-bank pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan semakin sedikit jumlahnya. Etnis Tionghoa semakin mahir berdagang. Semakin hebat dominasi etnis Tionghoa di bidang ekonomi, sehingga menimbulkan jurang perbedaan kaya miskin semakin meningkat.( Hamzah,1998, hal.89)

Dalam seminar yang diadakan Universitas Muhamadiyah (29 Mei 2004), Benny G.Setiono menyatakan: “Peristiwa 13-14 Mei 1998 yang telah meluluh-lantakkan ribuan ruko, toko, rumah tinggal, pusat pertokoan, bengkel, apartemen, supermarket, kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua, bahkan juga perkosaan terhadap perempuan-perempuan Tionghoa di Jakarta dan Solo merupakan puncak kehancuran martabat dan jati diri etnis Tionghoa di Indonesia. Selama pemerintahan rejim Orde Baru secara terus-menerus terjadi kerusuhan anarkis anti Tionghoa, namun kerusuhan Mei adalah puncak dari aksi kerusuhan tersebut. Banyak orang sebelumnya berpendapat bahwa kerusuhan anti Tionghoa tidak mungkin terjadi di Jakarta, tetapi menjelang keruntuhan rejim Orde Baru, puncak kerusuhan tersebut justru dibiarkan berlangsung oleh aparat keamanan di ibukota. Dengan kasat-mata seluruh dunia dapat menyaksikan bagaimana kerusuhan yang berlangsung selama dua hari penuh, dibiarkan oleh aparat keamanan tanpa melakukan suatu tindakan apapun. Jadi terbukti apa yang selama ini dikuatirkan, etnis Tionghoa memang dijadikan bumper dan tumbal keruntuhan rejim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Sungguh menyedihkan sekali

(11)

melihat etnis Tionghoa demikian tidak berdaya menghadapi segala penindasan terhadap dirinya. Yang bisa dilakukan hanya menyelamatkan diri untuk sementara waktu ke luar negeri, atau ke Bali dan Kalimantan Barat bagi mereka yang masih mempunyai uang, bagi yang tidak mempunyai uang sudah tentu hanya bisa pasrah atas semua kekerasan dan penderitaan yang menimpa dirinya tersebut. Etnis Tionghoa yang semasa pemerintahan rejim Orde Baru tampak seolah-olah demikian “gagahnya” ternyata hanya dalam waktu sekejap dapat dibuat tidak berdaya. Ini yang tidak pernah disadari oleh kebanyakan etnis Tionghoa di Indonesia. Mereka selama ini terlampau dinina-bobokan, seolah-olah rejim Orde Baru adalah segala-galanya, yang memberikan kemakmuran dan keamanan atas dirinya. Mereka selalu berusaha menghindari wilayah politik, seolah-olah politik adalah sesuatu yang sangat menakutkan. Mereka tidak menyadari bahwa tanpa turut bermain di wilayah politik, sebesar apapun kekuatan mereka di bidang ekonomi akan dengan mudah dibuat tidak berdaya. Memang oleh rejim Orde Baru peluang etnis Tionghoa untuk terjun ke wilayah politik sangat dibatasi. Sebaliknya segelintir etnis Tionghoa “dirayu” agar mau menjadi kroni dalam melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat menyengsarakan rakyat, yang akibatnya kita tanggung sampai saat ini.”(Partisipasi,n.d). Ketua INTI Jatim Aliptojo memberikan penjelasan bahwa peristiwa kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa selama ini adalah ulah dari oknum tertentu, sebab pada kenyataannya, banyak etnis Jawa yang memberikan pertolongan dan melindungi etnis Tionghoa saat peristiwa kerusuhan terjadi. Selain itu, dilihat dari kenyataan sehari-hari, pada umumnya antara etnis Jawa dengan etnis Tionghoa bisa hidup berdampingan dengan harmonis.(29 November 2005)

Berikut adalah contoh diskriminasi rasialis yang masih ada setelah masa reformasi:

Sejak rezim Gus Dur, warga keturunan Tionghoa yang bermukim di Indonesia bisa sedikit bernafas lega. Mereka bisa secara terang-terangan merayakan Tahun Baru Imlek. Bahkan, Tahun Baru Imlek telah diakui Negara dan menjadi hari libur nasional. “Sekarang lega sekali. Kalau dulu seperti warga Negara kelas dua,” ujar mantan pebulu tangkis nasional yang juga warga keturunan Tionghoa, Ivana Lie kepada reporter Indy Rahmawati di Pemusatan

(12)

Latihan Nasional, Cipayung, Jakarta Timur. Kendati begitu, menurut Ivana, kemerdekaan warga keturunan Tionghoa belumlah lengkap. Sebab sebagian besar dari mereka kewarganegaraannya tidak jelas. Mereka mendapat banyak rintangan dalam pengurusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). “Kita ingin diperlakukan seperti yang lain.” Ujar Ivana. Ivana mengaku mendapatkan SBKRI setelah empat tahun menjadi pebulu tangkis nasional dan telah mengharumkan nama Indonesia di berbagai ajang kompetisi bulu tangkis internasional. Sebelumnya, dia terpaksa menggunakan secarik kertas keterangan jika akan bertanding di luar negri. Ivana mengaku mendapatkan SBKRI stelah mengutarakan masalah tersebut pada Presiden Soeharto, pemimpin Negara yang kala itu berkuasa. “Waktu itu saya bilang belum punya Kartu Tanda Penduduk” ujar pebulu tangkis yang berjaya pada 1980-an. Pada 1982, Ivana memperoleh surat-surat yang menyatakan kejelasan tentang status kewarganegaraannya. Kendati sempat kecewa dengan pemerintah yang tak peduli dengan nasib kewarganegaraannya, sementara ia telah berjuang demi nama bangsa, Ivana mengaku tak pernah berpikir untuk berpaling dari negeri ini. Ia tetap sabar berjuang dan menunggu. “Ada perasaan sedih. Tapi saya cinta negara ini. Saya lahir di negeri ini, “ujar pelatih pelatnas untuk tunggal putri ini. Ivana memang sudah memperoleh SBKRI, namun dia masih sedih. Sebab, sebagian anggota keluarganya, bahkan pebulu tangkis nasional Hariyanto Arbi belum mendapatkan surat itu. Maklum, menurut Ivana, untuk medapatkan surat kewarganegaraan prosesnya sangat kompleks. Apalagi korupsi merajalela di dalamnya, sehingga memerlukan duit banyak. “Ada yang kena puluhan juta [rupiah],” ujar dia. Untuk mendapatkan surat keterangan kewarganegaraan, seseorang setidaknya harus berhadapan dengan 12 institusi, seperti meminta izin dari rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), kelurahan, kecamatan, kantor walikota, kantor gubernur, kepolisian, pengadilan, dan seterusnya. Nah, di setiap kantor ini, Anda harus merogoh kocek agar prosesnya berjalan dengan lancar. “Di setiap meja kita keluar duit,” kata Ivana. Ivana mungkin merupakan salah satu warga Negara keturunan Tionghoa yang beruntung. Sebab, sewaktu menginginkan SBKRI, dia adalah atlet yang berprestasi dan telah mengharumkan nama bangsa. Namun, nasib warga negara keturunan Tionghoa yang tak punya prestasi seperti Ivana Lie, akan lebih sulit dalam mendapatkan pengakuan dan kejelasan kewarganegaraan Indonesia.

(13)

Itulah sebabnya, Ivana bersama dengan Tan Joe Hok dan Imelda Gunawan datang dan meminta Komisi VII DPR RI untuk mencabut peraturan SBKRI, pada 21 Januari 2004 (www.liputan6.com/v.php?id=70723)

Setelah reformasi, masih ada sisa warisan diskriminasi rasialis yang masih belum hilang secara tuntas, yaitu masalah kewarganegaraan. Walaupun SBKRI sudah dihapuskan, namun masih ada saja pihak-pihak yang mengambil kesempatan demi keuntungan pribadi.

2.2.2. Diskriminasi Dalam Bidang Pendidikan dan Bahasa

Pada akhir Maret dan awal April 1966, berbagai kesatuan aksi yang di pelopori KAPPI mulai menduduki dan mengambil alih sekolah-sekolah Tionghoa. Mula-mula hal ini dilakukan di Jawa Barat disusul kemudian di Jakarta, Makassar dan Sumatera Selatan. Tindakan kesatuan-kesatuan aksi ini kemudian didukung oleh pihak militer yang mengeluarkan perintah penutupan sekolah-sekolah Tionghoa. Baru pada 19 Mei 1966, Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani mengumumkan keputusan kabinet bahwa seluruh sekolah asing di Indonesia dilarang, disusul Surat Keputusan Menteri PDK tanggal 6 Juli 1966 yang mengatur pelaksanaannya.(Setiono, 2002, hal.957) Kemudian pada tahun 1988 dikeluarkan Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan beraksara dan berbahasa Tionghoa. (Setiono, 2002, hal.986-987) Demikian penjelasan dari wakil ketua INTI Jatim, Gatot Seger Santoso :”Karena politik orde baru adalah politik asimilasi, berusaha menghapus atau menghilangkan identitas etnis Tionghoa. Diantaranya adalah: sekolah Tionghoa dihapuskan dan keharusan untuk mengganti nama, untuk menghapus identitas. Hal yang demikian sangat bertentangan dengan hak asasi manusia.”(29 November 2005) Padahal penggunaan bahasa Tionghoa justru bermanfaat, karena bahasa Tionghoa termasuk salah satu dari bahasa-bahasa yang penting di dunia.

2.2.3. Diskriminasi Dalam Bidang Budaya

Masa rezim orde baru pemerintahan Presiden Soeharto, diskriminasi rasialis pada etnis Tionghoa di Indonesia semakin memuncak. Ruang gerak etnis Tionghoa semakin dibatasi, bahkan dalam bidang budaya dan kesenian, etnis

(14)

Tionghoa tidak dapat mengekspresikan kekayaan budaya leluhur. Padahal kebudayaan etnis Tionghoa justru dapat semakin memperkaya keaneka-ragaman budaya Indonesia.

Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Pemasungan terhadap etnis Tionghoa kemudian dilanjutkan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.4555.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Klenteng (Setiono, 2002, hal.986-987)

Pada kenyataannya, merayakan hari raya Tionghoa seperti imlek, Duanwu, Qingming, sembahyang rebutan dan lain-lain, justru membawa pengaruh yang baik bagi budaya dan perekonomian Indonesia. Dalam merayakan hari raya tak jarang etnis Tionghoa juga melibatkan orang pribumi. Misalnya dalam permainan barongsai dan wayang potehi yang tidak hanya didominasi oleh etnis Tionghoa, namun etnis lainnya juga ikut berperan serta dalam kesenian ini, bahkan mereka bisa mencari nafkah melalui kesenian ini. Pelaksanaan sembahyang rebutan juga membawa manfaat bagi penduduk sekitar, sebab setelah pelaksanaan sembahyang, akan diadakan pembagian sembako dan pangan lainnya kepada penduduk yang kurang mampu.

2.2.4. Diskriminasi Dalam Bidang Agama

Sehubungan dengan diskriminasi dalam hal agama, wakil ketua INTI Jatim Gatot mengemukakan: “Diskriminasi terhadap penganut agama Konghucu sebenarnya juga merupakan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, sebab pada jaman orde baru mantan presiden Soeharto pernah menyatakan bahwa akar budaya tradisi Tionghoa adalah ajaran Konghucu.”(26 Desember 2005) Menurut penulis, dari pernyataan mantan presiden Soeharto tersebut bisa dihubungkan dengan usaha orde baru dalam menghapus identitas etnis Tionghoa, maka tidak mengherankan bila saat itu agama Konghucu tidak diakui sebagai agama.

Gatot mengatakan:”Sebenarnya asal terdapat penganut, Kitab Suci dan ritual sudah merupakan suatu agama. Dalam acara imlek 2005 yang diadakan oleh Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), presiden RI Susilo

(15)

Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa umat Konghucu silahkan memeluk dan menganut ajaran Konfusianisme, pemerintah tidak berhak ikut campur.”

Gatot menambahkan:”Diskriminasi terhadap penganut Konghucu antara lain adalah tidak memperoleh persaman hak sipil, penganut Konghucu masih menemui kesulitan dalam mencatatkan perkawinan di catatan sipil, khususnya daerah Surabaya. Yang lainnya adalah, sekarang di sekolah-sekolah tidak ada pelajaran agama Konghucu, padahal pada tahun 70-an pernah ada. Karena adanya diskriminasi pada masa orde baru itu menyebabkan banyak umat Konghucu yang beralih agama. walaupun masih ada sebagian kecil yang tetap menganut Konghucu.”(26 desember 2005)

Dulu, melalui UU No 1/PNPS/1965, Konghucu pernah diakui sebagai agama resmi yang dapat secara sah tumbuh di Indonesia. Namun, sejak diterbitkannya keputusan Mendagri No 221a 1975 yang mengacu pada Tap MPR No. IV/MPR/1978, maka agama Konghucu kembali dianggap sebagai agama liar, seperti keliaran agama Bahai, Sikh, Adat Karuhun Kuningan dan lain-lain. Karena tidak diakui sebagai sebuah agama, sebagai konsekuensinya maka Bahai, Konghucu, Sikh, dan sebagainya tidak berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan ajaran-ajaran-nya. Perlindungan hanya diberikan kepada

agama-agama yang diresmikan oleh negara(Pasal4 RUU KUB).(http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=509)

Pemerintah Orba memandang agama Konghucu sebagai dasar budaya Tionghoa, maka pada saat Orba, Konghucu tidak diakui sebagai agama. Sehingga bisa disimpulkan bahwa masalah ini berkaitan dengan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Sampai sekarang masalah agama Konghucu masih belum ada kejelasan, bahkan masalah ini sampai menyebabkan kesulitan bagi penganut Konghucu untuk mencatatkan perkawinan mereka di catatan sipil.

Referensi

Dokumen terkait

Ta otpornost se ispoljava u delu krune, odnosno na pojedinim skeletnim granama obolelih stabala. U tom delu krune, odnosno na skeletnim granama koje pokazuju sektorijalnu

Usai berkeliling ke sejumlah lantai Transmart MX Mall Malang, CT menggelar rapat terbatas dilobi ground floor (GF) dan berlangsung sekitar 10 menit.. lantai, dan setiap

Bagi Habermas, transformasi ruang publik secara radikal terjadi da- lam ruang publik masyarakat warga negara karena ruang publik ini mencakup kepentingan ekonomi, politik,

Sanksi hukum akan diberikan apabila BUMN yang berbentuk perseroan hanya melakukan PKBL saja atau TJSL saja, karena memang pada dasarnya BUMN yang berbentuk perseroan harus

Deskripsi Produk  Produk asuransi jiwa kredit yang memberikan manfaat asuransi berupa pembayaran uang pertanggungan yang jumlahnya menurun sesuai dengan sisa

4.1 Following support by the NO Board of Directors, the proposed Group COC eligibility requirements shall be sent to the Head of the Policy and Standards Unit at FSC

Terhadap ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf c, yakni adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, hal ini justru mengarahkan kepada apa

kualitas sebagai berikut : “Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang. memenuhi atau