• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN Bacillus spp. SEBAGAI AGENS BIOKONTROL UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN CABAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGGUNAAN Bacillus spp. SEBAGAI AGENS BIOKONTROL UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN CABAI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2087-7706

PENGGUNAAN Bacillus spp. SEBAGAI AGENS BIOKONTROL UNTUK

MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN CABAI

Utilization of Bacillus spp. As Biological Control Agents to Control

Fusarium Wilt Disease on Hot Pepper

ANDI KHAERUNI*), GUSNAWATY HS,

Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari

ABSTRACT

The use of Bacillus spp. Bacteria as biocontrol agents is one alternative disease control for Fusarium wilt Fusarium oxysporum f.sp. Lycopersici on chilli plant . this study aimed to determine the effectiveness of Bacillus spp. As a biocontrol agent in various ways of application to control Fusarium wilt disease in pepper in in-vivo. Experiments were prepared using two factor factorial in a completely randomized design (CRD). Factor 1 (Applications) consisted of levels, namely: application of biocontrol agent Bacillus spp. M11 isolates (B1), application of biocontrol agents Bacillus spp. isolates F133 (B2), and application biocontrol agent Bacillus spp. mix. M11 isolates and isolates F133 (B3). The second factor (time of inoculation/application) consisted 3 levels, namely: inoculating the seed (S1), inoculation of Bacillus spp. simultaneously with pathogen inoculation (S2), inoculation of Bacillus spp. one week after pathogen inoculation (S3), to see the effect of the two isolates of Bacillus spp. that the latent period, the biocontrol agents Bacillus spp. mix isolates M11 and F133, was the best treatment with the longest latency period of the disease (16 hsi), the best plant growth by plant height reached 57,39 cm, and the lowest disease incidence and severity were 12,96 % and 11,11 %, respectively interaction between agent Bacillus spp. mix. Isolates M11 and F133 at the time of application on seed significantly affected the incidence of disease and plat height.

Keyword: biocontrol agents, Bacillus spp., and Fusarium oxysporum f.sp. Lycopersici

1

PENDAHULUAN

Fusarium oxysporum f.sp lycopersici penyebab penyakit layu Fusarium merupakan salah satu patogen tular tanah yang cukup penting pada tanaman cabai. Patogen ini menyerang dari fase vegetatif sampai pada fase generatif dan menyebabkan tanaman menjadi layu dan kemudian tanaman mati (Setiadi 2000). Kerugian yang dialami akibat patogen ini, dapat semakin meningkat pada tanaman yang ditanam di lahan yang kering. Pada umumnya patogen ini dapat bertahan hidup meskipun ketersediaan air dalam tanah sangat kurang.

Selama ini upaya pengendalian penyakit layu Fusarium dilakukan dengan rotasi tanaman dan menggunakan pestisida kimiawi.

*) Alamat Korespondensi:

Email:akhaeruni@yahoo.com

Rotasi tanaman sering kali tidak efektif karena patogen dapat bertahan lama dalam tanah selama tidak ada inang. Pengendalian dengan fungisida memang cukup efektif, namun penggunaannya berdampak buruk pada lingkungan dan selalu memerlukan perlakuan ulangan yang dapat menyebabkan resistensi terhadap patogen. Oleh karena itu perlu dicari pengendalian yang lebih aman dengan mempertahankan kelestarian ekosistem agar tujuan pengendalian dapat mencapai sasaran tanpa menimbulkan dampak negatif, sehingga pengendalian secara biologi mulai dipertimbangkan.

Salah satu alternatif pengendalian penyakit tular tanah secara biologi ialah penggunaan sejumlah mikroorganisme seperti Trichoderma harzianum, Trichoderma viride, Gliocladium sp., Pseudomonas flourescens dan Bacillus sp. yang dapat menghasilkan senyawa anti fungi (Susanto et al. 2005). Kelompok

(2)

Bacillus memiliki keunggulan dibandingkan kelompok bakteri lain, karena bakteri ini menghasilkan endospora yang dapat bertahan pada temperatur tinggi (tahan panas) (Kim et al. 1997). Bakteri ini bisa juga diaplikasi pada benih untuk mencegah infeksi patogen tular tanah. Kelompok Bacillus ini juga menghasilkan berbagai senyawa penghambat dan antibiotik seperti tirotrisin, basitrasi dan polimiksin (Dwijoseputro 1985; Claus dalam Ernawati, 2003).

Dewasa ini penggunaan Bacillus spp sebagai agens biokontrol mulai banyak dilakukan karena mikroba ini mempunyai keunggulan seperti kemampuan untuk menghasilkan endospora sehingga mudah ditumbuhkan dan mampu bertahan dalam kondisi lingkungan yang ekstrim. Beberapa peneliti mengemukakan potensi bakteri kelompok Bacillus sebagai agens biokontrol anaara lain Bacillus polymyxa dan B. subtilis mampu mengatasi penyakit layu bakteri (Aspiras & Crus 1985). Untuk mendapatkan agens biokontrol yang potensial diaplikasikan di lapangan perlu dilakukan penelitian tentang kemampuan agens biokontrol tersebut beradaptasi dalam lingkungan yang berbeda.

Bacillus spp. M11 dan Bacillus spp. F133 adalah dua isolat bakteri Bacillus spp. dari rizosfer tanaman yang menunjukkan kemampuan penghambatan yang kuat secara in-vitro terhadap F. oxysporum f. sp. lycopersici (Tandrasasmita, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas Bacillus spp. sebagai agens biokontrol dengan berbagai cara aplikasi untuk mengendalikan penyakit layu Fusarium pada tanaman cabai secara in-vivo.

BAHAN DAN METODE

Isolat Bakteri dan Cendawan Patogen . Biakan murni Bacillus sp. isolat F133 dan M11 merupakan koleksi dari Laboratorium Teknologi DNA Universitas Atmajaya Jakarta, Fusarium oxysporum f.sp lycopersici meruapakan koleksi Laboratorium Unit IHPT Unhalu

Rancangan Penelitian. Percobaan ini disusun menggunakan faktorial dua faktor dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dimana faktor I (Aplikasi Bacillusis spp.) terdiri atas 3 taraf yaitu: Aplikasi agens biokontrol Bacillus spp. isolat M11 (B1), Aplikasi agens biokontrol

Bacillus spp. isolat F133 (B2) dan Aplikasi campuran agens biokontrol Bacillus spp. isolat M11 dan isolat F133 (B3). Sedangkan faktor II (waktu inokulasi/aplikasi) terdiri dari 3 taraf yaitu: Inokulasi pada benih (S1), Inokulasi Bacillus spp. bersamaan dengan inokulasi patogen (S2), Inokulasi Bacillus spp. satu minggu setelah diinokulasi patogen (S3). Kombinasi dari kedua faktor tersebut enghasilkan 9 kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 27 unit percobaan. Setiap unit terdapat 6 tanaman sehingga secara keseluruhan terdapat 162 tanaman. Sebagai pembanding disiapkan satu unit percobaan sebagai kontrol yaitu tanaman diinokulasi patogen tanpa diaplikasi agens biokontrol.

Persiapan tanah dan tanaman . Tanah yang digunakan adalah campuran tanah dan pupuk kandang steril dengan perbandingan 2 : 1 (v/v). Tanah ini kemudian dimasukkan ke dalam polibag berdiameter 20 cm (6 kg tanah per polybag). Benih cabai yang digunakan adalah varietas TIT SUPER LV yang diketahui rentan terhadap layu Fusarium. Benih cabai ini disemai dalam baki semai berisi campuran tanah pasir steril dengan perbandingan 2:1 (v/v), setelah berumur 30 hari benih cabai dipindahkan ke polybag.

Inokulasi patogen . F. oxysporum f.sp lycopersici yang digunakan sebagai sumber inokulum diperbanyak pada media beras steril. Selanjutnya diinokulasi pada saat tanaman berumur 7 hari setelah dipindahkan dari persemaian. Inokulasi dilakukan dengan cara: membuat lubang–lubang kecil disekitar tanaman kemudian biakan ditabur ke dalam lubang tersebut. Jumlah biakan patogen atau cendawan yang diinokulasi sebanyak 10 g/tanaman.

Aplikasi Agens Biokontrol. Biakan murni Bacillus sp. isolat M11 dan F133 diperbanyak dalam media Tryptic Soy Broth (TSB) 250 ml dalam gelas Erlemmeyer 500 ml dan dishaker selama 48 jam pada suhu ruang. Setelah itu suspensi larutan diencerkan dengan menggunakan air akuades steril dengan perbandingan 1:2 (v/v) dan digunakan sebagai suspensi agens biokontrol. Aplikasi agens biokontrol dilakukan sesuai perlakuan yaitu : S1, agens biokontrol diaplikasikan pada benih sebelum semai, dengan cara benih direndam dalam suspensi agens biokontrol semalam dalam cawan petri dan langsung

(3)

disemai. Perlakuan S2, yaitu agens biokontrol diaplikasi bersamaan dengan inokulasi patogen, sedangkan S3, agens biokontrol diaplikasi satu minggu setelah inokulasi patogen. Aplikasi agens biokontrol dilakukan dengan penyiraman suspensi biokontrol disekitar perakaran tanaman sebanyak 10 ml/tanaman.

Pengamatan. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah (1) periode laten, pengamatan periode laten dilakukan setiap hari setelah dilakukan inokulasi patogen dengan mengamati timbulnya gejala awal secara eksternal pada etiap perlakuan. (2) tinggi tanaman , tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang di atas permukaan tanah sampai ujung tanaman tertinggi yang dilakukan setiap minggu sejak tujuh hari setelah inokulasi patogen sampai berakhirnya waktu pengamatan. (3) kejadian penyakit , Perhitungan tingkat kejadian penyakit pada tanaman dilakukan dengan cara mengamati gejala eksternal pada tanaman. Perhitungan dilakukan setiap minggu setelah timbulnya gejala awal. Tingkat kejadian penyakit dihitung dengan menggunakan metode Abbolt dengan rumus sebagai berikut:

%

100

x

N

n

KP

Keterangan : KP = tingkat kejadian penyakit (%), n = jumlah tanaman layu yang diamati, N = jumlah tanaman yang diamati

(4) keparahan penyakit, tingkat keparahan penyakit diketahui berdasarkan kerusakan akar tanaman cabai pada akhir penelitian. Pengamatan dilakukan dengan cara membongkar tanaman kemudian perakaran dicuci secara hati-hati dan dinilai derajat infeksinya berdasarkan rumus sebagai berikut:

%

100

5 0 1 1

x

ZxN

xv

n

I

n

Keterangan:

I= tingkat keparahan penyakit (%),

n1= jumlah pembuluh yang ter serang pada setiap kategori serangan,

v1= nilai numerik masing–masing kategori serangan,

Z= nilai numerik kategori serangan tertinggi, N= jumlah berkas pembuluh yang diamati.

Nilai skala diskolorisasi setiap kategori serangan yang digunakan adalah (menurut INIBAP, 1994 dalam Asniah & Khaeruni, 2006) yaitu: 0 = tidak ada diskolorisasi pada berkas pembuluh, 1 = ada sedikit diskolorisasi, 2 = diskolorisasi sampai 1/3 berkas pembuluh, 3 = diskolorisasi 1/3 – 2/3, 4 = diskolorisasi lebih besar dari 2/3, 5 = berkas pembuluh penuh dengan diskolorisasi.

Analisis Data. Data hasil pengamatan setiap respon, kecuali periode laten, dianalisi dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), untuk perlakuan yang berbeda nyata pada analisis sidik ragam dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD) pada taraf kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Periode Laten . Pengamatan periode laten pada perlakuan jenis dan waktu aplikasi agens biokontrol yang berbeda pada tanaman cabai dilakukan dengan mengamati munculnya gejala layu dari setiap perlakukan secara mandiri. Hasil pengamatan terhadap periode laten tercepat dari perlakuan jenis biokontrol dan waktu aplikasinya yang dibandingkan dengan perlakuan tanpa agens biokontrol Bacillus sp (kontrol) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh perlakuan jenis agens

biokontrol (B) dan waktu aplikasi (P) secara mandiri terhadap periode laten tercepat penyakit layu Fusarium pada cabai

Perlakuan Periode

Laten (HSI) Jenis Agens Biokontrol

B1(Bacillus sp M11) 12

B2(Bacillus sp F133) 10

B3(Bacillus sp M11+F133) 16 Waktu Aplikasi Agen Biokontrol

S1(inokulasi pada benih) 10 S2(besamaan inokulasi

patogen) 15

S3(satu minggu setelah inokulasi patogen)

12

Kontrol 6

Keterangan : HSI=hari setelah inokulasi

Pada Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa periode laten tercepat terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 6 hari setelah inokulasi telah ditemukan tanaman yang menunjukkan gejala layu. Pada perlakuan jenis agens biokontol secara mandiri

(4)

menunjukkan bahwa perlakuan B3 yang terdiri atas campuran kedua agens biokontrol yang diuji memiliki periode laten terlama yaitu 16 hari setelah inokulasi, sementara periode laten tercepat selain tanaman kontrol terdapat pada perlakuan B2, kemudian diikuti perlakuan B1 yaitu masing-masing 10 dan 12 hari setelah inokulasi patogen.

Perlakuan waktu aplikasi agens biokontrol yang bersamaan dengan inokulasi patogen (S2) menunjukkan periode laten terlama yaitu 15 hari setelah inokulasi, peride laten ini lebih lambat jika dibandingkan dengan dua perlakuan lainnya masing-masing 12 dan 10

hari setelah inokulasi yang ditemui secara berurut pada perlakuan S3 dan S2.

Tinggi Tanaman. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh interaksi antar perlakuan jenis agens biokontrol dan waktu aplikasi yang berbeda terhadap tinggi tanaman terjadi pada pengamatan minggu ke 1, 2 dan 7 msi. Pada ketiga waktu pengamatan tersebut perlakuan B3S3 memiliki tinggi tanaman yang lebih baik dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, kecuali pada minggu kedua yang tidak berbeda nyata pada perlakuan B3S2 (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh interaksi agens biokontrol (B) dan waktu aplikasi (S) terhadap tinggi tanaman cabai

yang diinokulasi dengan F. oxysporum f.sp. lycopersicum Perlakuan

Interaksi

Rata-rata Tinggi tanaman (cm) pada minggu ke....

1 2 7 B1S1 40,36 d 59,55 c 151,10 f B1S2 33,03 g 52,52 d 172,63 b B1S3 34,83 f 52,85 d 150,85 f B2S1 40,55 d 61,52 c 155,10 e B2S2 49,55 c 67,57 b 173,62 b B2S3 37,75 e 55,32 d 167,12 c B3S1 40,48 d 56,20 d 163,63 d B3S2 51,50 b 75,15 a 170,78 b B3S3 53,12 a 76,07 a 180,08 a Kontrol 10,64 9,84 10,40

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak bea nyata pada Duncan’s Mutiple Range Test (DMRT) 95 %

Hasil pengamatan rata-rata tinggi tanaman pada setiap jenis perlakuan secara mandiri beserta hasil uji lanjut DMRTnya pada

pengamatan 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 hari setelah inokulasi patogen disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh perlakuan agens biokontrol (B) dan waktu aplikasi (P) secara mandiri terhadap tinggi

tanaman cabai yang diinokulasi dengan F. oxysporum f.sp. lycopersici Perlakuan Jenis Agens

Biokontrol 1 Rata-Rata Tinggi Tanaman (cm) pada pengamatan ke..MSI 2 3 4 5 6 7 B1 12,02 c 18,32 C 25,51 c 35,99 c 43,04 C 48,17 c 52,73 c B2 14,21 b 20,49 B 28,94 b 39,80 b 45,65 B 50,31 b 55,09 b B3 16,12 a 23,05 A 31,17 a 41,47 a 47,71 A 53,16 a 57,17 a Waktu Aplikasi S1 13,49 c 19,70 B 26,72 b 36,45 c 42,69 C 48,25 c 52,20 c S2 14,90 a 21,69 A 30,75 a 41,67 a 48,39 A 52,70 a 57,45 a S3 13,97 b 20,47 ab 28,15 b 39,13 b 45,32 B 50,68 b 55,34 b Kontrol 10,64 9,84 8,58 7,23 8,38 9,43 10,40 DMRT 0,05 : 2 = 2,92 0,41 1,45 1,96 1,88 1,49 1,74 1,47 3 = 3,07 0,43 1,52 2,06 1,97 1,57 1,83 1,55 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak bea nyata pada Duncan’s Mutiple Range Test

(5)

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa pada setiap waktu pengamatan jenis agens biokontrol perlakuan B3 (campuran isolat F133 dan M11) selalu memperlihatkan tinggi tanaman yang terbaik dan berbeda nyata dengan perlakuan agens biokontrol secara tunggal pada perlakuan B1 dan B2. Sedangkan pengamatan pada perlakuan waktu aplikasi secara mandiri menunjukkan bahwa perlakuan S2 juga selalu menunjukkan tinggi tanaman terbaik dan berbeda nyata dengan perlakuan S1 dan S3 pada semua waktu pengamatan.

Kejadian Penyakit. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara kedua perlakuan tidak berbeda nyata, namun secara mandiri, perlakuan jenis agens biokontrol berpengaruh tidak nyata terhadap kejadian penyakit layu Fusarium pada tanaman cabai pada pengamatan minggu ke-7, sementara perlakuan waktu aplikasi secara mandiri berbeda nyata pada pengamatan 3, dan ke-4. Uji rata-rata kejadian penyakit layu fusarium pada setiap perlakuan secara mandiri disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh perlakuan jenis agens biokontrol (B) dan waktu aplikasi (S) secara mandiri terhadap

kejadian penyakit layu Fusarium pada cabai Perlakuan

Jenis Agens Biokontrol Kejadian penyakit (%) pada minggu ke 1 2 3 4 5 6 7

B1 0,00 1.85a 3.75a 5.56a 14.81a 14.81a 14.81a

B2 0,00 1.85a 7.41a 12.96a 14.81a 16.67a 20.37a

B3 0,00 0.00a 3.70a 11.11a 11.11a 12.96a 12.96a

Perlakuan Waktu Aplikasi 1 2 3 4 5 6 7

S1 0,00 0.00a 0.00a 1.85a 11.11a 14.81a 14.81a

S2 0,00 1.85a 9.26a 9.26a 12.96a 12.96a 14.81a

S3 0,00 1.85a 5.56a 14.81a 16.67a 16.67a 18,51a

Kontrol 38,88 66,67 66,67 66,67 66,67 66,67 66,67

DMRT 2= 0,25 0,38 0,35 0,,35 0,35 0,38 3= 2,25 0,40 0,37 0,37 0,37 0,40 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak bea nyata pada Duncan’s Mutiple Range Test

(DMRT) 95 %

Walaupun analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata diantara perlakuan jenis agens biokontrol yang diujikan terhadap kejadian penyakit secara mandiri hanya terjadi pada akhir pengamatan, dimana perlakuan B3 memiliki kajadian penyakit terendah namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan B1. Secara keseluruhan terdapat kecenderungan kejadian penyakit pada perlakuan B3 selalu lebih rendah dibanding perlakuan B1 dan B2.

Sementara itu pada perlakuan waktu aplikasi secara mandiri, pengaruh yang berbeda nyata terhadap kejadian penyakit terdapat pada waktu pengamatan minggu ke 3 dan ke 4, namun terdapat kecenderungan bahwa perlakuan aplikasi biokontrol pada benih (S1) memperlihatkan kejadian penyakit yang terendah dibanding perlakuan lainnya, khususnya pada pengamatan minggu pertama hingga minggu keenam.

Keparahan Penyakit. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa baik interaksi

antara kedua perlakuan maupun secara mandiri, perlakuan jenis agens biokontrol dan perlakuan waktu aplikasinya tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu Fusarium pada tanaman cabai. Uji rata-rata kejadian penyakit layu fusarium pada setiap perlakuan secara mandiri disajikan pada Tabel 5. Hasil pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan jenis agens biokontrol B1 cenderung memiliki keparahan penyakit yang terendah dibanding perlakuan lainnya.

Pengamatan terhadap periode laten dilakukan dengan melihat gejala awal dari penyakit layu Fusarium. Menurut Snyder & Hansen (2007) gejala awal penyakit layu Fusarium ditandai dengan tulang-tulang daun sebelah atas menjadi pucat, tangkai daun merunduk dan tanaman menjadi layu. Gejala layu biasanya terlihat pada tanaman mulai dari daun bagian bawah dan anak tulang daun menguning.

(6)

Hasil pengamatan terhadap periode laten menunjukkan bahwa jenis agens biokontrol dan waktu aplikasi agens biokontrol terbaik adalah B3 (jenis agens biokontrol perlakuan Bacillus spp. M11 + F133) dan S2 (waktu aplikasi agens biokontrol bersamaan dengan inokulasi patogen) yang mana jenis agens biokontrol dan waktu aplikasi agens biokontrol mampu memperlambat munculnya gejala penyakit layu Fusarium pada tanaman

cabai, yaitu dengan periode laten terlama yaitu 16 dan 15 hari setelah inokulasi patogen. Perlakuan B3 mencapai periode laten terlama diduga karena perlakuan B3 yang merupakan gabungan dari agens biokontrol Bacillus. M11 dan F133 sehingga pengaruh sinergis yang lebih efektif menghalangi infeksi patogen terhadap tanaman.

Tabel 5. Pengaruh perlakuan jenis agens biokontrol (B) dan waktu aplikasi (S) secara mandiri terhadap keparahan penyakit layu Fusarium pada cabai.

Perlakuan Keparahan Penyakit

(%) 0,05 DMRT

Jenis Agens Biokontrol

B1(Bacillus sp M11) 11,11 a

2 = 0,90 3 = 0,40

B2(Bacillus sp F133) 12,09 a

B3(Bacillus sp M11+F133) 13,07 a

Waktu Aplikasi Agen Biokontrol

S1(inokulasi pada benih) 11.11 a

2 = 0,30 3 = 0,40 S2(besamaan inokulasi patogen) 12.90 a

S3(satu minggu setelah inokulasi patogen) 13.70 a

Kontrol 77.78

Lain halnya dengan pengaruh perlakuan waktu aplikasi (S) terhadap periode laten yang memperlihatkan bahwa pemberian agens biokontrol bersamaan dengan inokulasi patogen (S2) menunjukkan periode laten terlama dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini diduga pula disebabkan karena inokulasi agens biokontrol bersamaan dengan inokulasi patogen layu Fusarium menyebabkan terjadi interaksi antara patogen dan agens biokontrol, sehingga secara langsung terjadi kompetisi nutrisi dan ruang yang antara patogen dan agens biokontrol sebelum patogen melakukan infeksi pada tanaman.

Baker & Cook (1983) mengemukakan bahwa salah satu mekanisme pengendalian hayati patogen tular tanah melalui mekanisme kompetisi nutrisi dan ruang antara patogen dengan agens biokontrol, hal ini juga semakin mempertegas hasil penelitian Tandrasasmita (2006), yang menduga daya hambat yang kuat yang dimiliki oleh Bacillus sp F133 dan M13 melalui mekanisme kompetisi, karena kedua bakteri tersebut tidak menghasilkan enzim kitinase yang dapat menghambat perkembangan F. oxysporum f.sp. lycopersici melalui mekanisme antibiosis. Namun jika dibandingkan periode laten pada tanaman kontrol yang hanya 6 hari secara nyata

memperlihatkan bahwa aplikasi Bacillus M11 dan F133, mampu memperlambat munculnya gejala penyakit layu Fusarium pada tanaman cabai.

Hasil pengamatan kejadian penyakit menunjukkan bahwa pada tanaman yang diberi perlakuan agens biokontrol Bacillus M11 dan F133 serta campuran keduanya pada setiap waktu aplikasi mulai teramati pada minggu kedua setelah inokulasi patogen. Tanaman yang terserang penyakit dapat diketahui dengan adanya gejala layu yang ditimbulkan akibat aktifitas patogen ketika melakukan penetrasi ke jaringan tanaman. Cendawan Fusarium melakukan serangan pada jaringan tanaman dengan mengeluarkan toksin dan perkembangan patogen dalam jaringan vaskular tanaman menghambat translokasi air dan hara dari akar ke jaringan atas sehingga dapat menyebabkan kelayuan tanaman (Summerell et al. 2003).

Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan agens biokontrol B3 secara mandiri (Bacillus spp. M11 + F133) dan perlakuan waktu aplikasi agens biokontrol S1 (inokulasi patogen pada benih) dan S2 (waktu aplikasi agens biokontrol bersamaan inokulasi patogen) secara mandiri memperlihatkan persentase kejadian penyakit layu Fusarium terendah pada setiap waktu pengamatan, meskipun tidak berbeda nyata dengan

(7)

perlakuan lain kecuali perlakuan S1 berbeda nyata dengan perlakuan S2 dan S3 pada pengamatan 3 dan 4 msi. Hasil tersebut semakin menguatkan bahwa aplikasi agens biokontrol berupa campuran dua atau lebih isolat akan menyebabkan penghambatan penyakit layu Fusarium yang lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan agens biokontrol secara tunggal, karena disamping dapat memperlambat infeksi patogen juga dapat menekan kejadian penyakit.

Beberapa hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan hal yang sama bahwa pencampuran dua jenis agens biokontrol yang berbeda mampu menekan perkembangan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi agens biokontrol tersebut secara tunggal (Raupach & Klopper 1998;

Singh et al. 1998), sebagai contoh aplikasi agens biokontrol Paenibacillus sp. 300 dan Streptomyces sp 385 kejadian penyakit layu Fusarium pada tanaman timun hanya sekitar 19%, sementara jika kedua agens biokontrol tersebut diaplikasikan secara terpisah kejadian penyakit sekitar 35% untuk timun yang diberi Paenibacillus sp. 300 dan 70 % untuk timun yang diberi Streptomyces sp 385 (Singh et al. 1998). Namun secara umum terlihat bahwa kejadian penyakit pada tanaman yang diberi agens biokontrol F133 dan M11 baik secara tunggal maupun campuran keduanya pada waktu yang berbeda menunjukkan perkembangan penyakit sangat lambat, sementara pada tanaman kontrol perkembangan penyakit berlangsung sangat

cepat (Gambar 3).

Gambar 3. Perkembangan penyakit layu Fusarium pada setiap waktu pengamatan. Perlakuan jenis agens biokontrol(kiri), Perlakuan waktu aplikasi (kanan)

Hasil pengamatan pengaruh perlakuan agens biokontrol (B) dan waktu aplikasi (S) secara mandiri terhadap keparahan penyakit layu Fusarium pada tanaman cabai menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Nilai keparahan penyakit berkisar antara 11,11% hingga 13,70% pada perlakuan agens biokontrol dan waktu aplikasi yang berbeda. Jika keparahan penyakit pada perlakuan tersebut dibandingkan dengan keparahan penyakit pada tanaman kontrol yang mencapai 77,78%, maka hasil tersebut secara signifikan berbeda. Dwijoseputro & Claus dalam Ernawati (2003) mengemukakan bahwa Bacillus spp. menghasilkan berbagai senyawa penghambat dan antibiotik seperti Tirotrisin, Basitrasi dan Polimiksin oleh

karena itu mampu menekan cendawan atau bakteri lain dengan mekanisme antibiosis, kompetisi nutrisi atau parasitisme langsung.

Sebagai data tambahan pengaruh aplikasi agens biokontrol pada waktu berbeda dilakukan pengamatan terhadap tinggi tanaman. Hasil pengamatan tinggi tanaman pada Tabel 2, terjadi interaksi pada umur 1, 2, dan 7 msi terlihat bahwa perlakuan B3S3 lebih baik dari perlakuan lain dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan B2S2. Hal ini di sebebkan karena laju tinggi tanaman sejalan dengan periode laten yang mana semakin kecil pengaruh patogen terhadap tanaman semakin baik laju pertumbuhan tinggi tanaman, yang semakin jelas bila di bandingkan dengan kontrol yang hanya diinokulasi patogen tanpa

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1

2

3

4

5

6

7

S1 S2 S3 K 0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 2 3 4 5 6 7 B1 B2 B3 K

Waktu Pengamatan (minggu setelah inokulasi)

(8)

perlakuan agens biokontrol sehingga tinggi tanaman kontrol yang lebih rendah dari tinggi tanaman perlakuan lain.

Hasil penelitian terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa perlakuan jenis agens biokontrol B3 (Bacillus spp. M11 + F133) dan waktu aplikasi satu minggu setelah inokulasi patogen lebih baik dari pada perlakuan lain walaupun tidak terjadi interaksi yang nyata pada umur 3, 4, 5, dan 6 minggu setelah inokulasi patogen, namun terjadi pengaruh yang sangat nyata dengan jenis agens biokontrol terhadap tinggi tanaman cabai yang diinokulasi dengan F. oxysporum f.sp oxysporum secara mandiri dimana perlakuan jenis agens biokontrol B3 (Bacillus spp. M11 + F133) memberi pengaruh yang lebih baik terhadap tinggi tanaman dibanding dengan perlakuan jenis agens biokontrol lain. Begitu pula perlakuan waktu aplikasi agens biokontrol S2 (waktu aplikasi bersamaan dengan inokulasi patogen) berpengaruh sangat nyata dan lebih baik dari perlakuan waktu aplikasi agens biokontrol yang lain.

Hasil ini memberikan indikasi bahwa aplikasi agens biokontrol tidak hanya memperlambat periode laten dan menghambat perkembangan penyakit namun juga dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman, sehingga bakteri tersebut berpeluang digunakan sebagai inokulan yang dapat memacu pertumbuhan tanaman.

SIMPULAN

Penggunaan agens biokontrol campuran Bacillus spp. isolat M11 dan F133, merupakan perlakuan terbaik dengan periode laten penyakit terpanjang (16 hsi), pertumbuhan tanaman terbaik dengan tinggi tanaman mencapai 57,39 cm, serta kejadian dan keparahan penyakit terendah yaitu 12,96% dan 11,11%. Interaksi agens biokontrol campuran Bacillus spp. isolat M11 dan F133 dengan waktu aplikasi pada benih berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit dan tinggi tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Asniah, Khaeruni A. 2006. Pengaruh waktu aplikasi VA mikoriza dalam mengendalikan penyakit layu Fusarium (Fusarium oxysporum) pada tanaman tomat. Agriplus, 16(1):12-17

Aspiras RB, Cruz AR. 1985. Potential biological control of bacterial wilt in tomato and potato with Bacillus polymyxa FU6 and Pseudomonas flourescens, Di dalam: Persley GJ (ed.) Bacterial Wilt Disease in Asia and The South Pacific. Proc. International Workshop held at PCARRD, Los Banos, 8 – 10 Okt 1985. ACIAR Canberra. Hlm. 89 – 92.

Baker KF, dan Cook J, 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. APS Press The American Phytopathological Society. St Paul, Minnesota.

Ernawati. 2003. Potensi Mikroorganisme Tanah Sebagai Agent Biokontrol. Program Penelitian Pasca Sarjana/S3 IPB. Bogor. http:// tumoutou.net/702 07134/nml Ernawati.htm [1-11-2006].

Kim DS, Cook RJ, Weller DM. 1997. Bacillus sp. L324-92 for Biological Control of three root diseases of wheat grown with reduced tillage. Phytopathology 87 : 551-558. Kumalasari V. 2005. Pengaruh agen biokontrol

terhadap pertumbuhan Colletotrichum capsici (syd.) Butl. Et Bisby secara in-vitro dan mutu benih Cabai [Skripsi]. Fakultas Pertanian Institut Pertanian. Bogor.

Raupach GS, Kloepper JW. 1998. Mixtures of plant growth-promoting rhizobakteria enhance biological control of multiple cucumber patogens. Phytopathol. 88: 1158-1164.

Snyder WC dan Hansen HN. 2005. Tomat. Technical Support. Jakarta. http://www.iptek.net.id/ind/teknologi_pa ngan/index.php?mnu=2&id=2007

Singh P, P., Shin, CS., Park and Chung, YR. 1999. Biological control of Fusarium wilt of cucumber by chitinolitic bacteria.

Phytophatol. 89:92-99

Summerell BA., Saleh B., Leslie JF. 2003. A utilitarian approach to Fusarium identificationis. Plant Dis. 87:117-129 Susanto A, Sudharto PS, Purba RY. 2005.

Enhancing biological control of basal stem rot disease (Ganoderma boninense) in oll palm plantations. J Mycopathologia. 159:153 – 157.

Tandrasasmita OM. 2006. Penapisan dan identifikasi bakteri sebagai agens biokontrol Fusarium sp. [Skripsi]. Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta.

Gambar

Tabel 1.   Pengaruh  perlakuan  jenis  agens  biokontrol  (B)  dan  waktu  aplikasi  (P)  secara  mandiri  terhadap  periode  laten  tercepat    penyakit  layu  Fusarium  pada  cabai
Tabel 3.   Pengaruh perlakuan agens biokontrol (B) dan waktu aplikasi (P) secara mandiri terhadap tinggi  tanaman cabai yang diinokulasi dengan F
Tabel 3 di atas  menunjukkan bahwa pada  setiap  waktu  pengamatan    jenis  agens  biokontrol  perlakuan  B3    (campuran  isolat  F133  dan  M11)  selalu  memperlihatkan  tinggi  tanaman  yang  terbaik  dan  berbeda  nyata  dengan  perlakuan  agens  biok
Tabel 5. Pengaruh perlakuan jenis agens biokontrol (B) dan waktu aplikasi (S) secara mandiri terhadap  keparahan penyakit layu Fusarium pada cabai
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan stres kerja. 2) mengetahui tingkat stres pada pramuniaga. 3) mengetahui tingkat

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang peneliti lakukan, maka dapar ditarik kesimpulan bahwa secara umum ketersediaan sumber belajar mata pelajaran ekonomi siswa

Makanan yang ideal harus mengandung cukup bahan baku (energi) dan semua zat gizi esensial yakni komponen bahan makanan yang tidak dapat disintetis oleh tubuh

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan perbedaan hasil belajar siswa dengan pembelajaran yang menggunakan Media Flash dan pembelajaran tanpa

Tempat istirahat ( resting places ) nyamuk Culex sebagai vektor penyakit filariasis Wuchereria bancrofti di Kelurahan Banyurip Kecamatan Pekalongan Selatan Kota

Diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Pelaksanaan proses pembelajaran ekperiential learning berjalan sangat baik, hal ini terlihat dari siswa lebih antusias dalam

PAMASPAR merupakan suatu pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat dalam hal ini khususnya kepala keluarga sebagai perokok aktif yang mempunyai balita. Dimana

Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa belanja aparatur lebih tinggi dibandingkan dengan belanja publik (Roesman dan Dendis 2005). Perkembangan kondisi umum