• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

16 2.1 Pemasaran

Berbicara mengenai kegiatan pemasaran, maka kita berbicara pula mengenai kompleksnya kegiatan bisnis dewasa ini. Pemasaran merupakan suatu keseluruhan aktivitas menciptakan, mempromosikan dan menyalurkan produk baik barang maupun jasa kepada konsumen melalui unit-unit bisnis tertentu. Pemasaran dianggap sangat penting karena dalam pelaksanaannya, perusahaan berupaya menyampaikan informasi seputar produk dan atau perusahaan kepada konsumen sesuai dengan apa yang direncanakan oleh perusahaan itu sendiri.

Sukses atau tidaknya kegiatan bisnis suatu perusahaan juga dipengaruhi oleh baik buruknya kegiatan pemasaran dilaksanakan. Pemasaran akan terus berkembang sesuai dengan makin kompleksnya permasalahan bisnis yang ada. Kunci dari pencapaian tujuan pemasaran perusahaan adalah sebaik apa perusahaan dapat memahami kebutuhan dan keinginan dari konsumen yang ada di pasar.

2.1.1 Pengertian Pemasaran

Pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok yang dilakukan oleh perusahaan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, pengembangan perusahaan dan termasuk didalamnya pencapaian tujuan perusahaan baik tujuan profit maupun tujuan non-profitnya.

Pengertian pemasaran menurut Kotler dan Amstrong (2006:5) adalah: “Marketing is the process by which companies create value for

customers and build strong customer relationship in order to capture value from customer in return”.

Sedangkan menurut Asosiasi Pemasaran Amerika yang dikutip oleh Kotler (2009:6) mengemukakan bahwa:

“Pemasaran adalah suatu fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan dan menyerahkan nilai kepada pelanggan dan mengelola hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan para pemilik sahamnya”.

(2)

Dari dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemasaran merupakan kegiatan atau aktifitas yang mencakup perencanaan, pembuatan produk, promosi hingga bagaimana produk tersebut didistribusikan melalui proses pertukaran dengan tujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen.

2.1.2 Pengertian Manajemen Pemasaran

Manajemen pemasaran merupakan suatu ilmu yang mempelajari mengenai bagaimana kegiatan pemasaran ini dilaksanakan dengan benar. Dengan ilmu dari manajemen pemasaran ini, perusahaan dapat melakukan efisiensi biaya dan tujuan pemasaran itu sendiri dapat terlaksana secara lebih efektif.

Pengertian manajemen pemasaran menurut Shultz dalam Prof. Dr. Buchari Alma (2005:130), yaitu:

“Manajemen pemasaran adalah merencanakan, pengarahan dan pengaasan seluruh kegiatan pemasaran perusahaan ataupun bagian dari perusahaan”.

Sedangkan menurut Kotler (2009:6), yaitu:

“Marketing as art and science of choosing target market and getting, keeping and growing customers through creating, delivering and communicating superior customer value”.

Dari kedua definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen pemasaran mutlak dipelajari agar pelaksanaan kegiatan pemasaran dapat terlaksana secara baik. Sedangkan tujuan dari manajemen pemasaran adalah untuk memperngaruhi tingkat, jangkauan waktu dan komposisi permintaan sehingga dapat membantu perusahaan dalam mencapai tujuan pemasarannya.

2.2 Perilaku Konsumen

Permasalahan pemaran yang makin kompleks salah satunya didasarkan pada perilaku konsumen yang terus berkembang. Konsumen kini lebih cerdas dan menginginkan kesetaraan dengan perusahaan. Konsumen kini dapat menentukan

(3)

arah kegiatan bisnis suatu perusahaan melalui otoritasnya dalam berprilaku dan menciptakan pasar.

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Cornelisz, Steifie (2009:90), dalam usaha memasarkan produknya, badan usaha harus memperhatikan jenis kebutuhan konsumen. Perusahaan harus menyadari bahwa kebutuhan konsumen beraneka ragam, sehingga terdapat perbedaan perilaku antara individu satu dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, badan usaha harus memahami, mempelajari dan menganalisis perilaku konsumen yang dituju sehingga diperoleh pandangan yang lebih mendalam tentang konsumen dan dapat menilai kembali kebutuhan serta menanggapi dengan cepat kebutuhan tersebut.

Perusahaan dalam hal ini mutlak untuk mempelajari mengenai bagaimana konsumen berperilaku dan menanggapi eksistensi perusahaan di pasar melalui kehadiran produknya, atau lebih jauh lagi bagaimana perusahaan memasarkan produknya ke konsumen.

2.2.1 Pengertian Perilaku Konsumen

Pengertian perilaku konsumen menurut Leon G. Schiffman dan Leslie Lazar Kanuk (2007:6) adalah:

“Perilaku konsumen adalah citra individu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumberdaya mereka yang tersedia (waktu, uang, usaha) guna membeli barang-barang yang berhubungan dengan konsumsi”. Perilaku konsumen menurut Kotler (2009:201) adalah:

“Perilaku konsumen adalah memperlajari cara individu, kelompok dan organisasi memilih, membeli, memakai serta memanfaatkan barang, jasa, gagasan atau pengalaman dalam rangka memuaskan kebutuhan hasrat mereka”.

Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen mampu menggambarkan bagaimana konsumen baik secara individu maupun berkelompok membuat keputusan-keputusan dalam rangka mendapatkan, mengkonsumsi produk, termasuk didalamnya proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini.

(4)

Secara teoritis, setiap kali seseorang membeli produk, ia berharap bahwa produk yang dibelinya akan memberikan utilitas atau kegunaan maksimal. Artinya, setiap konsumen memiliki dasar rasional dan membuat pilihan rasional dalam proses pembelian suatu produk. Jika ternyata manfaat atau kegunaan dari produk berada di bawah ekspektasi konsumen, maka konsumen bisa saja meninggalkan produk tersebut dan menggantinya dengan produk sejenis dari merk yang berbeda. Maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa konsumen tidak loyal.

2.2.2 Loyalitas

Kegiatan pembelian barang dan atau jasa merupakan kegiatan yang lumrah terjadi sehari-hari dalam kegiatan bemasyarakat. Pihak-pihak yang melakukan pembelian ini kemudian dinamakan konsumen. Dalam upaya mendapatkan keuntungan, suatu perusahaan berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen dengan terlebih dahulu meneliti keputusan pembelian konsumen secara rinci untuk mengetahui apa yang konsumen ingin beli, dimana konsumen ingin melakukan pembelian, bagaimana dan berapa banyak konsumen ingin melakukan pembelian serta mengapa mereka melakukan kegiatan pembelian.

Hal ini terjadi secara terus menerus sehingga pembelian terhadap suatu produk mungkin dilakukan lebih dari satu kali. Konsumen dapat membeli produk yang sama namun dari merek yang berbeda dengan berbagai macam alasan. Namun demikian, meskipun banyak penelitian dilakukan untuk mempelajari bagaimana konsumen berperilaku, perusahaan seringkali mengalami hambatan dalam mempelajari uniknya individu konsumen yang melakukan pembelian atau menolak melakukan pembelian terhadap produknya.

Mahmud, Khaled (2012:26) mengutarakan bahwa loyalitas merupakan keputusan konsumen yang ditentukan oleh perlakuan perusahaan yang diekspresikan melalui perilaku, misalnya melalui kegiatan pembelian ulang pada merk yang sama. Dalam disiplin pemasaran, loyalitas menggambarkan komitmen yang kuat bagi konsumen untuk melakukan pembelian ulang.

(5)

Perilaku setelah pembelian suatu produk akan ditentukan oleh kepuasan atau ketidakpuasan konsumen. Pelanggan yang merasa puas dengan produk yang dikonsumsi nya memiliki kecenderungan untuk menjadi loyal dan sebaliknya, konsumen yang merasa tidak puas dengan kegiatan konsumsi produknya akan mencari produk lain yang mampu memuaskan keinginan dan kebutuhannya, dengan kata lain terjadilah customer switching behavior atau brand switching.

Setiap perusahaan pasti menginginkan loyalitas tercipta. Karena dengan demikian, perusahaan dapat memastikan bahwa produknya dapat dengan mudah diterima di pasaran akibat konsumen yang telah ada dan siap melakukan pembelian.

Menurut Tjiptono (2000:110), didefinisikan:

“Loyalitas adalah situasi dimana konsumen bersikap positif terhadap produk atau produsen dan disertai pola pembelian ulang yang konsisten”.

Sedangkan menurut Kartajaya (2003:126), loyalitas adalah:

“Manifestasi dari kebutuhan fundamental manusia untuk memiliki, men-support, mendapatkan rasa aman dan membangun keterikatan serta menciptakan emotional attachment”.

Dari dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa loyalitas merupakan bentuk dari perilaku konsumen yang positif dimana konsumen merasa bahwa kegiatan konsumsinya dari suatu produk memberikan manfaat yang sama atau bahkan diatas ekspektasinya. Kepuasan ini berakibat pada hubungan emosional antara konsumen dengan produk dan atau produsennya. Dengan demikian, akan ada perilaku-perilaku positif lainnya seperti konsumen yang melakukan pembelian ulang atau bahkan merekomendasikan produk yang digunakannya kepada orang lain.

Namun demikian, jika yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, dimana kegiatan konsumsi terhadap suatu produk menciptakan ketidakpuasan maka konsumen akan dengan mudah mengganti produknya ke produk sejenis dari merek yang berbeda (brand switching).

(6)

Junaidi dan Dharmmesta dalam Cornelisz (2009: 93) menyatakan bahwa terdapat tiga kriteria untuk menguji loyalitas, yaitu:

1. Struktur keyakinan (kognitif)

Informasi merk yang dipegang oleh konsumen (keyakinan konsumen) harus menunjuk pada merek yang dianggap superior dalam persaingan. 2. Struktur sikap (afektif)

Tingkat kesuksesan konsumen harus lebih tinggi dibandingkan merek saingan sehingga terdapat preferensi afektif yang jelas.

3. Struktur niat (konatif)

Konsumen harus mempunyai niat untuk membeli merek tertentu bukan merek lain ketika keputusan pembelian dilakukan.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka dapat teridentifikasi dan tergambar dengan jelas terhadap suatu produk. Tiga kriteria tersebut harus mendukung atau bersifat positif untuk mampu meyakinkan bahwa konsumen loyal terhadap produk perusahaan.

Loyalitas konsumen dapat didemonstrasikan melalui berbagai cara, misalnya dengan tetap melakukan pembelian pada merek yang sama. Kotler (2009:240) membedakan empat level status loyalitas pelanggan terhadap suatu merek dari yang tertinggi hingga yang terendah sebagai berikut:

1. Hard-core loyals : konsumen yang hanya membeli satu jenis merek. 2. Split loyals : konsumen yang loyal kepada dua atau tiga merek. 3. Shifting loyals :konsumen pindah loyalitas dari satu merek ke

merek lain.

4. Switchers : konsumen yang tidak menunjukan loyalitas pada merek manapun dan seringkali berpindah-pindah merek.

Pada kondisi pasar yang sangat kompetitif, mempertahankan konsumen merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan semua perusahaan yang menginginkan kemenangan di pasar baik secara profit maupun popularitas. Loyalitas konsumen terhadap suatu merek baik produk barang maupun jasa memang seringkali menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya perusahaan yang bermunculan dan

(7)

bergabung dalam suatu industri bisnis tertentu maka tidak terelakan lagi bahwa tingkat persaingan pun akan semakin meningkat.

Beragam variasi produk barang ataupun jasa yang ditawarkan oleh produsen ditambah dengan berbagai macam bentuk promosi yang disertakan dalam memasarkan produknya setidaknya akan membuat konsumen melakukan evaluasi dan melakukan perbandingan terhadap produk yang ditawarkan di pasaran. Bila dari hasil evaluasi dan perbandingan yang dilakukan oleh konsumen didapatkan bahwa manfaat lebih rendah dibandingkan dengan ekspektasi konsumen, maka besar kemungkinan untuk konsumen melakukan tindakan perpindahan merek (brand switching) kepada perusahaan lain. Hal inilah yang kemudian secara perlahan mendapatkan perhatian dari para pelaku bisnis yang berpendapat bahwa perilaku konsumen yang mudah berpindah merek (switching behavior) akan memberikan dampak pada kinerja perusahaan dalam jangka panjang.

2.3 Brand Switching

Menurut Hollis dalam Abisatya (2008:25), “A trusted brand is treasured asset, prized by its owners and envied by competitors” dimana merek adalah sebuah asset yang sangat penting bagi perusahaan yang harus dijaga kredibilitasnya di mata konsumen sehingga akan memberikan perbedaan dibandingkan merek lainnya. Perbedaan yang ditunjukan oleh merek-merek yang ada dalam pasar merupakan dasar terjadinya fenomena brand switching (perpindahan merek).

Konsumen sebagai pihak yang kemudian menikmati manfaat dari konsumsi suatu produk baik barang maupun jasa akan terus mencari produk yang mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya secara sempurna, atau setidaknya mampu memenuhi ekspektasinya terhadap produk bersangkutan. Proses pencarian inilah yang kemudian membuat konsumen akan dengan mudah mencoba produk dari merek-merek yang berbeda, sehingga fenomena brand switching tidak dapat terelakan lagi.

Dengan rentannya konsumen untuk berpindah merek, perusahaan sebagai pelaku bisnis kemudian memiliki tugas besar untuk mampu mempertahankan

(8)

konsumen melalui penyediaan produk yang memuaskan, baik dari segi kualitas, harga, pelayanan penjualan dan lain sebagainya. Perusahaan perlu pula untuk memahami konsumen secara lebih lanjut dalam artian perusahaan dituntut untuk peka terhadap perubahan gaya konsumsi konsumen terhadap produk yang dijualnya di pasaran.

Mengacu pada Kotler (2009:240), yang membedakan empat level status loyalitas pelanggan terhadap suatu merek, didapatkan kesimpulan bahwa semua pemasar akan selalu mencoba untuk menghindari level loyalitas konsumen yang paling rendah, yaitu switcher. Hal ini disebabkan adanya berbagai macam rangsangan dari pesaing untuk membuat konsumen melakukan kegiatan konsumsi produk pesaing, dimana makin meningkatkan kemungkinan konsumen untuk berpaling kepada merek pesaing dan meninggalkan merek yang lama, pembelian merek lain dari merek yang sering digunakan oleh konsumen disebut dengan brand switching. Perpindahan merek (brand switching) merupakan fenomena yang seringkali terjadi pada berbagai jenis pasar.

Dalam dunia bisnis, konsumen tidak hanya dapat berperilaku positif atau menguntungkan untuk pihak produsen, namun juga dapat berperilaku negatif. Perilaku negatif ini dapat ditunjukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah konsumen yang beralih menggunakan produk dari perusahaan pesaing. Hal ini lumrah terjadi di pasar, terutama pada pasar yang sangat kompetitif karena pada pasar ini, konsumen dihadapkan pada banyak sekali pilihan untuk kegiatan konsumsinya akan produk.

2.3.1 Pengertian Brand Switching

Menurut Hawkins and Mothersbaugh (2010:637), Brand Switching adalah: “Hasil dari ketidakpuasan konsumen akan suatu produk yang mengakibatkan konsumen melakukan penghentian pembelian produk pada suatu merk dan menggantinya dengan produk dari merk lain”.

(9)

Dalam jurnal berjudul Determinants Analysis of Customer Switching Behavior in Private Banking Sector of Pakistan, Bolton and Bronkhurst dalam Ghouri (2010:98), didefinisikan bahwa:

“Customer Switching Behavior adalah suatu keputusan pelanggan untuk menghentikan kegiatan pembelian atau kegiatan bisnis (sebagian atau keseluruhan) pada suatu perusahaan”.

Sedangkan menurut jurnal yang dijadikan referensi utama dalam penelitian ini yang berjudul Studi Tentang Perilaku Perpindahan Merk, Rifah (2010:121) mendefinisikan perpindahan merk sebagai berikut:

“Adalah suatu keadaan dimana konsumen berpaling dari suatu perusahaan dan melirik atau berpindah ke merek perusahaan lain”.

Reichheld & Sasser dalam Siddiqui (2011:364) mengatakan bahwa:

“Customer switching, customer exit atau customer defection merupakan suatu perilaku yang dapat didefinisikan sebagai tingkatan atau keadaan dimana konsumen telah mengganti produknya di masa lalu”.

Semua definisi diatas menggambarkan bahwa brand switching atau perilaku perpindahan merek oleh konsumen merupakan perilaku negatif dalam kegiatan bisnis, dimana konsumen memutuskan untuk menghentikan pembelian atau penggunaan produk suatu merk dan mulai menggantinya dengan menggunakan produk dari perusahaan atau merk lain.

Perpindahan merek oleh konsumen ini terjadi ketika konsumen memahami betul mengenai perbedaan signifikan antar merek yang berkompetisi di pasar tertentu. Konsumen dalam hal ini mengetahui banyak hal mengenai kategori produk yang ada. Para pemasar dengan demikian perlu untuk melakukan diferensiasi keistimewaan mereknya untuk menjelaskan merek tersebut.

Sebagai tindakan negatif yang tidak diharapkan terjadi, fenomena brand switching harus mendapatkan perhatian serius dari pemasar agar perusahaan dapat mempertahankan konsumen yang telah ada dan kemudian mampu menjangkau konsumen baru yang akan memberikan dampak positif baik secara profitabilitas maupun kemapanan dan popularitas perusahaan.

(10)

2.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Brand Switching

Perilaku perpindahan merk oleh konsumen ini merupakan permasalahan yang serius yang harus mendapatkan perhatian dari pelaku bisnis. Terjadinya perpindahan konsumen merupakan ancaman bagi bisnis dan menandakan bahwa produk dari perusahaan lain mampu memberikan daya tarik yang lebih dibandingkan produk dari perusahaan sendiri.

Perkembangan perubahan perilaku konsumen seperti ini menggambarkan pada kita bahwa dengan semakin berkembangnya zaman, maka permasalahan-permasalahan pemasaran akan semakin kompleks pula. Para pelaku bisnis harus mengetahui dengan betul faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya perilaku perpindahan merk ini agar perusahaan dapat memaksimalkan profit melalui pelanggan yang suportif.

Beberapa studi menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku perpindahan merek ini dalam prespektif yang berbeda. Namun demikian, kesemuanya memiliki arah yang sama dalam menjelaskan mengapa seorang atau sekelompok konsumen dapat melakukan pergantian merek pada produk yang dikonsumsinya.

Menurut Shukla dalam Mutyalestari (2009:38) mengungkapkan bahwa hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan dalam terjadinya brand switching adalah sebagai berikut:

1. Perceived quality (kualitas yang ditunjukan)

Dalam menciptakan sebuah produk dengan merek tertentu, pemasar diharuskan menunjukan kualitas dari merek. Kualitas dari merek yang dimaksud disini tidak hanya sebatas pada pengepakan ataupun tingkat kecacatan produk yang rendah, namun harga yang bersaing dan pelayanan yang diberikan menjadi standar bahwa merek tersebut berkualitas. Jika yang terjadi adalah kebalikannya, maka konsumen akan mencari merek lain yang lebih berkualitas.

2. Attractiveness of the product (daya tarik produk)

Setiap produk memiliki daya tarik masing-masing dimana ciri khas atas diferensiasi merek merupakan hal yang paling diunggulkan dalam

(11)

meningkatkan daya tarik. Kreatifitas penawaran dipercaya sebagai alat ukur yang tepat dalam meningkatkan daya tarik produk.

3. Variety of features (variasi fitur)

Adalah berbagai macam elemen-elemen yang ditawarkan oleh sebuah produk. Semakin menarik fitur yang dimiliki oleh produk pesaing, maka semakin besar kemungkinan konsumen akan beralih menggunakan produk merek pesaing.

4. Commitment (komitmen pelanggan)

Adalah tingkat loyalitas konsumen ditengah berbagai macam rangsangan dari para pesaing sebelum melakukan perpindahan. Semakin rendah tingkat komitmen atau loyalitas pelanggan, maka semakin besar pula terjadinya perpindahan merek (brand switching).

Del Hawkins dan David Mothersbaugh dalam bukunya yang berjudul Consumer Behaviour: Building Marketing Strategy Eleventh Edition (2010: 634) mengemukakan bahwa perilaku berpindahnya konsumen dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini:

1. Core Service Failure

Merupakan penyebab kepindahan konsumen karena kesalahan ataupun masalah teknis pada produk yang ditawarkan kepada konsumen. Hal ini dapat terjadi bila konsumen menderita kerugian karena terjadi kekeliruan karyawan misalnya pencatatan yang keliru oleh karyawan, diagnosa yang keliru dari dokter sebuah rumah sakit. Kejadian ini tentu akan membuat kecewa konsumen yang dapat saja berdampak munculnya keinginan untuk pindah ke perusahaan lain.

2. Service Encounter Failures

Merupakan berpindahnya konsumen disebabkan oleh kegagalan pelayanan. Penyebabnya karena sikap karyawan yang antara lain kurang perhatian, tidak sopan, tidak tanggap, dan kurang menguasai lingkup pekerjaannya. Apabila konsumen dilayani oleh karyawan yang tidak dapat memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi, maka konsumen akan terus mencari jawaban atas permasalahannya hingga ke penyedia jasa

(12)

lain. Bila penyedia jasa lain dapat memberikan solusi tersebut, maka besar kemungkinan konsumen akan memindahkan kepercayaannya kepada penyedia jasa tersebut.

3. Pricing

Menyebabkan konsumen beralih pada perusahaan lain karena harga yang dirasakan tidak dapat memberikan manfaat yang sesuai harapannya. 4. Inconvenience

Merupakan penyebab berpindahnya konsumen karena lokasi perusahaan yang tidak mudah dijangkau, kenyamanan ruang atau penggunaan produk, dan waktu menunggu untuk dilayani. Lokasi penyedia jasa yang strategis diharapkan semakin mempermudah konsumen untuk menerima layanan dari penyedia jasa, bila konsumen mengalami kesulitan, maka akan cenderung penyedia jasa yang mudah untuk dijangkaunya. Sedangkan untuk produk, produk harus nyaman digunakan dalam artian mampu memenuhi kebutuhan dasar penggunaan produk.

5. Responses to Service Failures

Merupakan terjadinya perpindahan konsumen karena kegagalan perusahaan dalam menangani keluhan konsumen.

6. Attraction by Competitors

Merupakan perpindahan konsumen karena kemenarikan perusahaan yang lain dibandingkan dengan perusahaan sebelumnya yang menyebabkan ketidakpuasannya. Kemenarikan ini dapat terjadi karena biaya yang dirasakan lebih murah, fitur pesaing lebih mumpuni ataupun pelayanan yang lebih baik.

7. Ethical Problems

Merupakan masalah yang berhubungan dengan moral, ketidakamanan, ketidaksehatan ataupun masalah perilaku yang berhubungan norma-norma sosial. Termasuk dalam kategori ini adalah perilaku yang tidak jujur yaitu memberikan janji-janji berupa pemberian hadiah, perilaku yang mengintimidasi misalnya pada nasabah nakal yang terlambat melakukan pembayaran sehingga pihak bank melakukan intimidasi agar nasabah

(13)

bersedia melakukan pembayaran. Rasa tidak aman juga dapat dirasakan konsumen karena identitas yang seharusnya menjadi rahasia disampaikan kepada pihak lain tanpa pesetujuannya.

8. Involuntary Switching

Yakni berpindahnya konsumen pada produk perusahaan lain karena ketidaksengajaan. Misalnya ada produk perusahaan lain yang lebih mudah dijangkau karena dealer nya pindah atau konsumen sekedar ingin coba-coba.

Berdasarkan beberapa literatur yang ada, disebutkan bahwa model yang dikemukakan oleh Del Hawkins dan David Mothersbaugh lebih cocok untuk digunakan dalam menganalisis terjadinya brand switching pada perusahaan jasa atau produk jasa. Tentunya, jasa dan barang merupakan dua hal yang berbeda dan memerlukan perlakuan yang berbeda pula. Kemudian ada pula model lainnya atau faktor penyebab terjadinya brand switching yang dikemukakan oleh pihak lainnya.

Perilaku perpindahan merk pada konsumen ini terjadi akibat beberapa faktor utama. Menurut jurnal berjudul Studi Tentang Perilaku Perpindahan Merk, Rifah (2010:121) mengatakan bahwa Customer Switching Behavior atau Brand Switching disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu ketidakpuasan konsumen (customer unsatisfaction), keinginan mencari variasi (variety seeking) dan pencarian informasi melalui media (media search). Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut bagaimana ketiga faktor ini mampu menyebabkan terjadinya perpindahan merkatau brand switching :

1. Customer Unsatisfaction (Ketidakpuasan Konsumen)

Alasan utama yang sering dialami oleh konsumen ketika mereka melakukan perpindahan merk adalah disebabkan konsumen mengalami ketidakpuasan (unsatisfaction) pada saat setelah produk dibeli (pasca beli).

(14)

2. Variety Seeking (Keinginan Mencari Variasi)

Kebutuhan mencari variasi (variety seeking) adalah perilaku konsumen yang berusaha mencari keberagaman merk diluar kebiasaan mereka. 3. Media Search (Pencarian Informasi Melalui Media)

Dalam era globalisasi seperti saat ini, pertukaran informasi dapat terjadi dengan sangat mudah. Media komunikasi yang makin canggih menjadi salah satu penyebabnya. Ketika suatu produk diinformasikan melalui media tertentu, konsumen dan atau calon konsumen kemudian didorong untuk memiliki keinginan untuk melakukan pembelian. Bagi konsumen yang telah memiliki suatu produk dan melihat iklan produk sejenis yang dijanjikan lebih baik, maka kecenderungan adanya proses perpindahan merk dapat terjadi.

Berdasarkan beberapa teori mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya brand switching di atas, penulis kemudian akan memilih teori terakhir yang diambil dari Studi Tentang Perilaku Perpindahan Merk, Rifah (2010:121) karena dianggap paling sesuai dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh beberapa ahli diatas dilakukan di luar negeri dan terjadi pada perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa sehingga jika penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Shukla dan Dell Hawkins dikhawatirkan tidak akan ada dukungan teoritis yang jelas.

Studi yang dilakukan oleh Rifah dilakukan di Indonesia dengan objek penelitian perusahaan-perusahaan operator selullar Indonesia. Selain itu, penelitian juga dilakukan paling akhir jika dilakukan pembandingan dengan dua teori lainnya. Penelitian yang tidak terpaut waktu terlalu jauh ini setidaknya dapat memberikan gambaran yang lebih faktual sehingga diharapkan mampu mensukseskan penelitian ini.

Selanjutnya, kajian teoritis lebih lanjut akan dilakukan dengan menggunakan teori dari Rifah ini dalam menerangkan analisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena brand switching.

(15)

2.3.2.1 Ketidakpuasan Konsumen (Customer Unsatisfaction)

McQuitty dalam Habib, Salleh dan Abdullah (2011: 138) mengatakan bahwa sejak awal, kepasan konsumen telah menjadi aspek penting dalam berjalannya aktifitas bisnis. Kepuasan konsumen dapat dijadikan pula sebagai indikator bahwa perusahaan mampu menyediakan produk baik barang maupun jasa yang memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen sesuai dengan ekspektasinya, bahkan lebih.

Menurut Kotler (2009:135)¸dewasa ini konsumen lebih terdidik dan lebih berpengetahuan. Mereka mempunyai sarana (misalnya internet) untuk memverifikasi klaim perusahaan dan mencari alternatif yang lebih unggul. Dengan kata lain, konsumen kini lebih sering melakukan pembandingan kinerja.

Jika kinerja produk lebih rendah daripada ekspektasi konsumen maka konsumen akan mengalami ketidakpuasan dan begitu pula sebaliknya. Konsumen akan membentuk harapan mereka berdasarkan pesan yang diterima dari produsen. Jika produsen melebih-lebihkan manfaat produk dan kenyataan yang terjadi tidaklah demikian atau harapan konsumen terlalu tinggi terhadap produk tersebut dan harapan itu tidak tercapai, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan konsumen. Ketidakpuasan konsumen dapat terjadi karena kualitas produk yang tidak sesuai dengan harapan konsumen, harga yang tidak sebanding dengan kualitas produknya atau kurangnya pelayanan yang diberikan.

Menurut Kotler (2009:138), secara umum:

“Kepuasan (satisfaction) adalah perasaan senang atau kecewa yang timbul karena membandingkan kinerja yang dipresepsikan produk (atau hasil) terhadap ekspektasi mereka. Jika kinerja gagal memenuhi ekspektasi, pelanggan akan tidak puas. Jika kinerja sesuai dengan ekspektasi, pelanggan akan puas. Jika kinerja melebihi ekspektasi, pelanggan akan sangat puas atau senang”.

Dalam teori yang dikemukakan diatas, terdapat pengertian mendalam mengenai kepuasan. Kepuasan merupakan hal positif sedangkan ketidakpuasan adalah hal yang negatif yang merupakan hasil dari penilaian pelanggan atas kinerja produk. Konsumen seringkali membentuk presepsi yang lebih

(16)

menyenangkan tentang sebuah produk dengan merek yang sudah mereka anggap positif.

Menurut Rifah (2010:122), ketidakpuasan tersebut bisa terjadi karena hal-hal berikut ini:

1. Kualitas Produk, terjadi karena kualitas produk yang tidak sesuai dengan yang diharapkan atau dijanjikan. Dengan kata lain, produk kurang berkualitas.

2. Harga, terjadi karena harga yang tidak sebanding dengan produk yang dijanjikan.

3. Pelayanan, terjadi ketika pelayanan dari perusahaan tidak memuaskan atau mengecewakan.

4. Janji-janji yang Tidak Ditepati, misalnya berkaitan dengan garansi. Semua itu bisa terjadi dan dialami konsumen dan dapat membuat konsumen mengalami ketidakpuasan dan beralih ke merk perusahaan lain.

Kotler (2009:143), mendefinisikan kualitas produk sebagai berikut: “Quality is the totality of features and characteristics of a product or service that bear on its ability to satisfy stated or implied needs.”

Maksud dari pengertian diatas adalah kualitas produk merupakan keseluruhan ciri serta sifat barang dan jasa yang berpengaruh pada kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan yang dinyatakan maupun tersirat. Semakin baik kemampuan yang dimiliki oleh suatu produk, maka semakin puas pula seseorarang terhadap produk yang ia pakai. Namun jika yang terjadi adalah hal yang berlainan, maka konsumen akan tidak puas dan berusaha mencari produk dari merek lain yang dianggap lebih berkualitas sehingga mampu memenuhi ekspektasinya dengan lebih baik. Jika sudah demikian, brand switching tidak dapat terelakan lagi untuk terjadi.

Kualitas produk pesaing yang lebih baik adalah ancaman bagi pemasar. Dengan kualitas produk dibawah para pesaing, sulit rasanya bagi perusahaan untuk mampu menjaga konsumennya tetap setia menggunakan produk. Dalam hal ini, peningkatan kualitas mutlak dilaksanakan agar kecenderungan terjadinya

(17)

brand switching dapat dihindari. Selain itu, pemberian informasi seputar produk juga harus disesuaikan dengan kualitas asli dari produk yang diinformasikan.

Informasi berlebihan yang tidak sesuai dengan kualitas produk bahkan dapat menjadi boomerang bagi perusahaan. Informasi positif yang berlebihan kemudian akan meningkatkan ekspektasi dari pelanggan, dan ketika pelanggan melakukan konsumsi terhadap produk yang ternyata kualitasnya berada di bawah ekspektasi awal mereka, maka pelanggan akan tidak puas dan beralih menggunakan produk dari merek pesaing.

Namun demikian, menurut Abisatya (2009) dengan berubahnya pola pikir konsumen terhadap suatu merk akibat berbagai macam tuntutan yang diinginkan konsumen sebagai dampak dari pengembangan sebuah merk, maka dapat disimpulkan bahwa konsumen tidaklah begitu mempermasalahkan kualitas produk sebuah merk melainkan mempermasalahkan kualitas dari merk itu sendiri.

Dalam jurnal yang sama, Abisatya (2009) mengatakan bahwa jika merk tersebut merupakan merk yang banyak digunakan orang, secara tidak langsung merk tersebut berkualitas sehingga konsumen tidak akan ragu lagi untuk membeli walau seperti apapun kualitas produk yang diberikan, begitupun sebaliknya, dikarenakan kunci dari loyalitas konsumen yang terus dipertanyakan oleh konsumen sejak dulu hingga kini adalah perbedaan yang mampu ditunjukan sebuah merk terhadap merk lain.

Selain itu, ketidakpuasan pelanggan juga dapat disebabkan oleh faktor harga. Menurut Kotler (2009:68), harga didefinisikan sebagai:

“Price is the amount of money charged for a product or service. More broadly, price is the sum of all the value that consumers exchange for the benefits of having or using the product or service”.

Maksud dari pengertian diatas adalah harga merupakan sejumlah uang yang dibebankan untuk sebuah produk baik barang maupun jasa. Secara lebih luas lagi, harga adalah keseluruhan nilai yang ditukarkan konsumen untuk mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap sebuah produk barang atau jasa.

(18)

Ketidakpuasan muncul ketika harga yang dibebankan oleh produsen tidak sesuai dengan manfaat yang didapat oleh konsumen melalui konsumsi produk yang bersangkutan. Secara historis, harga telah menjadi faktor utama yang mempengaruhi pilihan konsumen dalam pembelian suatu produk meskipun dalam beberapa dekade terakhir, faktor-faktor non-harga mulai menjadi faktor yang dipertimbangkan.

Pelayanan yang diberikan oleh perusahaan terkait dengan penggunaan produk juga dapat pula menjadi kunci puas atau tidak puasnya seseorang terhadap suatu merek atau brand. Kotler (2009:83) mendefinisikan pelayanan sebagai berikut:

“Setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan dengan pada sautu produk fisik sehingga pelayanan merupakan perilaku produsen dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen demi tercapainya kepuasan pada konsumen sendiri”.

Kualitas pelayanan yang baik adalah pelayanan yang dimulai dari kebutuhan konsumen dan berakhir pula pada presepsi pelanggan. Hal ini dapat diartikan bahwa kualitas yang baik bukanlah berdasarkan presepsi penyedia jasa atau perusahaan, melainkan berdasarkan presepsi pelanggan. Jika perusahaan mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan yang diinginkan oleh konsumen, maka kepuasan akan dicapai. Namun jika hal sebaliknya yang terjadi, konsumen akan menjadi tidak puas dan meninggalkan merek atau perusahaan bersangkutan dan mulai mencari perusahaan atau merek lain yang lebih mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Jika demikian, brand switching akan terjadi karena konsumsi suatu produk terhadap suatu merek telah digantikan oleh merek lainnya.

Hal lainnya yang dapat menyebabkan konsumen merasa tidak puas dan mencari kepuasannya pada merek lain adalah ketika janji-janji yang diberikan oleh perusahaan ternyata tidak dapat ditepati sebagaimana mestinya. Menurut Rifah (2010: 122), ketidakpuasan terjadi ketika pemberian janji-janji pemasar

(19)

yang tidak ditepati misalnya berkaitan dengan garansi pada produk-produk yang memerlukan keterlibatan tinggi, adanya penggantian peralatan gratis ketika produk yang dibeli mengalami kerusakan maupun kegiatan lainnya.

Beberapa perusahaan berpikir bahwa untuk dapat memperhatikan kepuasan pelanggan, perusahaan harus mencatat seberapa banyak ketidakpuasan konsumen terjadi. Menurut Kotler (2009:143), dari pelanggan yang menyampaikan keluhan (ketidakpuasan), antara 54% sampai dengan 70% akan membeli kembali dari perusahaan jika keluhan mereka diselesaikan. Angka tersebut bahkan dapat naik hingga 95% jika perusahaan berhasil menyelesaikan keluhan secara cepat.

Pelanggan yang menyampaikan keluhan pada suatu perusahaan dan keluhan mereka diselesaikan dengan memuaskan akan menceritakan perlakuan baik yang mereka terima tersebut rata-rata kepada 5 orang. Namun demikian, pelanggan yang tidak puas rata-rata menggerutu kepada 11 orang. Kotler (2009: 143). Jika masing-masing orang tersebut masih memberitahu orang lain lagi, jumlah orang yang mendapatkan berita buruk akan berlipat ganda.

Penelitian yang dilakukan oleh Kotler tersebut memberikan gambaran bahwa ketidakpuasan pelanggan harus dihindari oleh perusahaan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya brand switching. Namun demikian, sesempurna apapun rancangan dan implementasi sebuah program pemasaran, kesalahan selalu akan terjadi. Hal terbaik yang dapat dilakukan oleh perusahaan atau pemasar adalah mempermudah pelanggan menyampaikan keluhannya ketika dia atau mereka merasa tidak puas. Formulir saran, nomor bebas pulsa, situs Web dan alamat email memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah yang cepat.

Kepuasan konsumen merupakan hal penting yang harus mampu dicapai oleh perusahaan yang melakukan kegiatan bisnis dalam industri apapun. Ketika kepuasan ini tidak tercapai, dan ketidakpuasan konsumenlah yang dirasakan, maka konsumen akan mencari kepuasan dari produsen atau merek berbeda (brand switching).

(20)

Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh ketidakpuasan konsumen atau customer unsatisfaction maka penting bagi pemasar untuk dapat menangani pengalaman negatif ini secara tepat. Menurut Kotler (2009: 143), ada beberapa prosedur yang dapat dilakukan oleh pemasar untuk membantu menangani konsumen yang tidak puas agar tidak beralih pada penyedia produk lain atau pesaing sehingga kemungkinan terjadinya brand switching akan semakin kecil, yaitu antara lain sebagai berikut:

1. Membuka hotline gratis 7 hari, 24 jam (lewat telepon, faks atau email) untuk menerima dan menindaklanjuti keluhan pelanggan.

2. Menghubungi pelanggan yang menyampaikan keluhan secepat mungkin. Semakin lambat respons perusahaan, semakin besarlah ketidakpuasan yang akan menimbulkan berita negatif.

3. Menerima tanggung jawab atas kekecewaan pelanggan; jangan menyalahkan pelanggan.

4. Mempekerjakan orang layanan pelanggan yang memiliki empati.

5. Menyelesaikan keluhan dengan cepat dan mengusahakan kepuasan pelanggan. Sebagian pelanggan yang menyampaikan keluhan sesungguhnya tidak meminta kompensasi yang besar sebagai tanda bahwa perusahaan peduli.

Maka dari itu, ketidakpuasan konsumen memang sulit dihindari. Untuk dapat memperkecil kemungkinan terjadinya hal ini, perusahaan ada baiknya menjalankan prosedur-prosedur tersebut agar konsumen tidak beralih pada perusahaan lain.

Customer Unsatisfaction akan menyebabkan terjadinya Brand Switching apabila perusahaan tidak mampu menangani keluhan konsumen sebagai bentuk ketidakpuasannya dengan tepat. Namun, apabila perusahaan dapat menyelesaikan keluhan pelanggan secara memuaskan (bagi pelanggan), maka Brand Swithing oleh konsumen dapat diperkecil kemungkinannya.

(21)

2.3.2.2 Keinginan Mencari Variasi (Variety Seeking)

Selain ketidakpuasan konsumen, perilaku brand switching dapat pula terjadi karena konsumen semata-mata berkeinginan untuk mencari variasi. Dalam melakukan kegiatan konsumsi terhadap suatu produk, baik barang maupun jasa, konsumen seringkali menginginkan sesuatu yang baru yang jauh berbeda dengan apa yang biasa ia konsumsi. Variety seeking ini sering terjadi karena keterlibatan beberapa produk rendah. Perilaku variety seeking menurut Kahn, Kalwani dan Morizon yang dikutip oleh Rifah (2010:122) adalah :

“Kecenderungan individu-individu mencari keberagaman dalam memilih produk baik berupa barang maupun jasa pada suatu waktu yang timbul karena beberapa alasan yang berbeda. Perilaku ini sering terjadi pada beberapa produk dimana tingkat keterlibatan produk itu rendah, apabila dalam proses pembelian produk konsumen yang tidak melibatkan banyak faktor dan informasi yang harus ikut dipertimbangkan.”.

Keinginan atau kebutuhan mencari variasi merupakan bentuk keinginan konsumen untuk mencoba hal-hal yang baru yang jarang atau tidak pernah dikonsumsi. Menurut Schiffman dan Kanuk dalam Cornelisz (2009: 93), bahwa keinginan mencari variasi merupakan hal yang wajar bagi konsumen karena adanya faktor stimulus dari luar yang merangsang seseorang untuk cenderung mencoba produk-produk yang dinilai baru. Keinginan mencari variasi ini terus terjadi selagi di pasar banyak ditemukan produk sejenis yang seimbang dengan produk yang ditawarkan perusahaan.

Melalui keinginan mencari variasi ini, maka konsumen akan cenderung selalu membanding-bandingkan kinerja sebuah produk dengan produk sejenis lainnya. Dan melalui keinginan mencari variasi ini, kemungkinan besar akan memicu terjadi perpindahan pembelian dari sebuah produk ke produk lainnya. Junaidi dan Dharmmesta dalam Cornelisz (2009: 93) menambahkan bahwa keinginan mencari variasi ini muncul karna didukung oleh berbagai faktor, antara lain:

(22)

1. Persaingan yang ketat antar produk sejenis, sehingga setiap produk mempropagandakan untuk menjadi yang terbaik. Kondisi ini tentunya memungkinkan untuk mempengaruhi konsumen cenderung untuk mencoba hal baru.

2. Kualitas produk mengalami penurunan. Penurunan kinerja sebuah produk mendorong konsumen untuk mencari dan mencoba produk-produk yang dimungkinkan mampu memberikan sebuah kepuasan.

3. Karakteristik alamiah konsumen. Karakteristik alamiah konsumen adalah berbeda. Satu kelompok konsumen dimungkinkan mempunyai perilaku untuk selalu mencari dan mencoba-coba hal baru, meskipun produk yang telah dikonsumsinya juga mampu memberikan sebuah kepuasan.

Dalam teori yang disebutkan oleh Kahn, Kalwani dan Morizon, kecenderungan konsumen untuk melakukan pencarian variasi (variety seeking) sering terjadi pada produk yang memerlukan keterlibatan rendah. Hal ini terjadi karena dalam produk dengan keterlibatan yang rendah, konsumen tidak diharuskan melakukan pengorbanan yang tinggi baik secara finansial maupun hal lainnya untuk dapat melakukan konsumsi. Secara finansial, berarti konsumen tidak perlu mengeluarkan dana yang sangat tinggi untuk melakukan konsumsi. Sehingga, jika ternyata konsumsi terhadap produk dari merek yang baru tidak menyenangkan, maka hal tersebut tidak berpengaruh besar terhadap pengorbanannya. Namun ketika ternyata kegiatan pencarian variasinya membuahkan hasil yang baik, dimana produk merek barunya lebih baik dibandingkan dengan merek terdahulu, maka konsumen akan beralih menggunakan produk dari merek yang baru (brand switching).

Namun demikian, pada kenyataannya kecenderungan untuk mencari variasi juga tidak hanya terjadi pada produk dengan kategori keterlibatan yang rendah. Dalam jurnal yang sama oleh Sambandam dalam Rifah (2010:122), mengemukakan bahwa:

(23)

“Perilaku perpindahan merk tidak hanya timbul akibat dari perilaku pencarian variasi yang cenderung terjadi pada produk yang memerlukan keterlibatan rendah, tetapi juga terjadi pada produk yang memerlukan keterlibatan yang tinggi seperti pada pembelian produk otomotif dan elektronik. Dua macam produk ini termasuk kategori keterlibatan tinggi dalam proses pembeliannya, yang melibatkan faktor resiko yang harus dipertimbangkan”.

Dengan demikian, pada dasarnya keinginan mencari variasi ini dapat terjadi pada produk konsumsi apapun baik yang memiliki keterlibatan rendah maupun bagi produk yang memiliki keterlibatan tinggi. Pencarian variasi (variety seeking) ini dilakukan konsumen karena berbagai tujuan. Seperti dikutip dalam Rifah (2010: 122), tujuan konsumen mencari variasi atau keberagaman produk adalah untuk mencapai suatu sikap terhadap merk yang menyenangkan. Tujuan lain dari perilaku konsumen dalam mencari variasi ini dapat berupa:

1. Hanya Sekedar Mencoba Sesuatu yang Baru, dalam hal ini konsumen mencari variasi dengan tujuan untuk coba-coba tanpa mengetahui dengan jelas informasi seputar produk dari merk yang kemudian akan digunakan. Konsumen hanya ingin mencari variasi karena produk yang dipilih berbeda dengan produk yang digunakan sebelumnya.

2. Mencari Kebaruan Dari Sebuah Produk, dalam hal ini konsumen mencari variasi karena benar-benar ingin mengkonsumsi sesuatu yang baru yang belum didapatkannya dari konsumsi produk terdahulu. Dengan kata lain, konsumen telah memiliki informasi jelas mengenai kebaruan dari produk yang akan dipilihnya tersebut. Hal yang baru merupakan sesuatu yang menggiurkan bagi konsumen. Seperti disebutkan diatas, konsumen dapat melakukan pencarian variasi (variety seeking) karena dalam upayanya mencapai suatu sikap yang menyenangkan terhadap merek, hanya sekedar mencoba sesuatu yang baru dan mencari kebaruan dari sebuah produk.

(24)

2.3.2.3 Pencarian Informasi Melalui Media (Media Search)

Media masa kini memiliki peranan penting dalam banyak hal termasuk dunia bisnis dan pemasaran. Melalui media masa, pemasar berusaha menyampaikan informasi seputar nilai-nilai dari suatu produk kepada konsumen agar konsumen terdorong untuk melakukan kegiatan pembelian.

Menurut Hawkins and Mothersbaugh (2010:517), kemampuan konsumen dalam melakukan pencarian informasi seputar produk telah meningkat secara pesat sejak kemunculan internet. Internet memberikan kemudahan akses terhadap informasi seputar produk yang ingin dikonsumsi. Internet juga menjadi media yang ideal bagi pemasar untuk menyediakan informasi kepada konsumen. Namun demikian, pencarian informasi seputar produk oleh konsumen tidak hanya dilakukan melalui internet, melainkan juga melalui media massa lainnya.

Karena informasi kini banyak disampaikan melalui media masa, konsumen pun semakin berinisiatif untuk melakukan kegiatan pencarian terhadap informasi ini melalui media atau media search. Beberapa literatur menyebutkan bahwa kegiatan pencarian informasi melalui media ini dapat menyebabkan seseorang atau konsumen melakukan brand switching.

Menurut Srinivasan dan Ratchford dalam Rifah (2010:123), search merupakan:

“Suatu usaha (effort) yang ditujukan pada perolehan informasi dari lingkungan eksternal”.

Dan menurut Beatty and Smith dalam Rifah (2010:123), external search effort adalah:

“Derajat perhatian, presepsi dan usaha langsung (directed) terhadap perolehan data lingkungan atau informasi yang berhubungan pada pembelian spesifik dibawah pertimbangan.”

Pencarian informasi melalui media ini dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Pencarian media dapat berakibat semakin banyak informasi yang diperoleh oleh konsumen. Dengan semakin banyaknya informasi maka konsumen

(25)

bisa memperoleh gambaran terhadap suatu produk yang dikonsumsinya dan juga gambaran dari produk merek lain yang tidak sedang ia gunakan.

Dalam menentukan pilihan terhadap produk, konsumen seringkali melakukan perbandingan. Perbandingan dapat dilakukan antara produk baru yang belum dimiliki ataupun melakukan perbandingan antara produk yang telah digunakan dengan produk lain yang sejenis. Hawkins and Mothersbaugh (2010:517), mengatakan bahwa dalam melakukan evaluasi, konsumen akan melalui proses dimana konsumen diharuskan untuk mengumpulkan informasi mengenai produk yang dibandingkan.

Apabila produk yang selama ini dikonsumsi ternyata kurang baik jika dibandingkan dengan produk dari merek lain atau produk pesaing maka bisa jadi konsumen akan beralih pada merek pesaing. Menurut Sutrisna dalam Rifah (2010: 125), faktor-faktor yang menentukan pencarian informasi pada konsumen antara lain adalah sebagai berikut:

1. Keterlibatan konsumen yang tinggi, ketika konsumen merasa sangat terlibat dalam pembelian suatu produk, mereka akan sangat intens dalam mencari informasi dari berbagai sumber. Informasi itu kemudian membanding-bandingkan dengan proses evaluasi informasi. Tingkat keterlibatan yang tinggi terhadap pembelian produk ini karena konsumen merasa bahwa citra dirinya bisa direpresentasikan oleh produk itu. Jadi, produk-produk yang bisa merepresentasikan citra diri konsumen akan dibeli secara hati-hati dan memerlukan evaluasi merek yang hati-hati pula. 2. Mempunyai tingkat resiko yang tinggi, ketika konsumen merasa bahwa

resiko pembeli pada suatu barang akan muncul, maka konsumen akan lebih selektif dalam memilih merek. Selain itu, konsumen akan melakukan pencarian informasi yang banyak dan evaluasi yang hati-hati.

3. Pengetahuan atas produk yang rendah, misalnya ketika konsumen akan melakukan pembelian produk komputer terbaru pada umumnya konsumen kurang atau tidak mengetahui spesifikasi dan kemampuan komputer itu. Dalam ketidaktahuan itu konsumen akan berusaha mencari informasi

(26)

sebanyak-banyaknya baik melalui brosur iklan atau teknisi komputer yang telah dikenal.

4. Tidak ada tekanan waktu, konsumen yang tidak diburu waktu dalam pembelian produk akan mempunyai waktu luang yang banyak untuk melakukan pencarian informasi. Kondisi yang seperti itu sangat mungkin untuk kategori produk high involvement.

5. Produk dengan harga tinggi, semakin tinggi harga suatu produk, probabilitas pencarian informasi yang ekstensif semakin tinggi. Jika harga produk tinggi, manfaat ekonomi atas pencarian informasi juga akan tinggi. Pencarian informasi yang banyak akan mampu mengurangi resiko kerugian uang akibat pembelian produk yang salah.

6. Terdapat perbedaan produk, akan terjadi pencarian informasi yang lebih banyak jika merek-merek produk secara substansial berbeda. Untuk mendapatkan beberapa merek dari suatu produk misalnya skin care, alat-alat elektronik seperti televisi yang mana desain dan kualitasnya berbeda-beda, maka pencarian informasi akan lebih banyak dilakukan.

Konsumen dapat menggunakan beberapa sumber informasi dari lingkungannya. Menurut Assael dalam Rifah (2010:123), mengkategorikan sumber informasi kedalam 2 dimensi, yaitu sumber informasi personal dan impersonal. Berikut ini adalah penjabaran masing-masing dimensi dari media search :

1. Sumber Infomasi Personal

a. Sumber Informasi Personal yang Dapat Dikendalikan  Petugas Penjualan

 Pemasaran Jarak Jauh  Pameran Dagang

b. Sumber Informasi Personal yang Tidak Dapat Dikendalikan  Word of Mouth Marketing

2. Sumber Informasi Impersonal

a. Sumber Informasi Impersonal yang Dapat Dikendalikan  Iklan

(27)

 Tata Letak Toko  Promosi Penjualan  Pengemasan

b. Sumber Informasi Impersonal yang Tidak Dapat Dikendalikan  Berita dan Editorial

 Sumber netral seperti Majalah

Dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka konsumen yang merasa tidak puas dengan produk merek terdahulu akan mencari berbagai media untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya guna mendapatkan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya.

Referensi

Dokumen terkait

Jika Anda ingin memotivasi karyawan Anda dan menarik pelanggan dan investor dengan mudah, salah satu hal paling vital yang dapat Anda lakukan adalah memberi

Dilihat dari tabulasi silang penilaian hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dengan kejadian iritasi vagina saat menstruasi di SMP Negeri 8 Manado menunjukan

Secara absolut, tidak ada perbedaan pendapatan usahatani kedelai di Jawa dan luar Jawa selama lima tahun terakhir ini (Tabel 2). Hal ini dimungkinkan karena adanya laju

(2) Berita acara penyerahan pekerjaan hasil pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV A dan Lampiran IV B

Mencari artikel dari berbagai sumber yang terkait dengan teknik membaca cepat, kkemudian berikan kesimpulan dari hasil membaca Anda dengan teknik membaca cepat.. 

Bayangkan saja bagaimana katak dalam melakukan renangnya, dimana kaki dengan membuka bagian bawah fin kearah samping dan melakukan dorongan sampai kedua kaki

Yang membedakan proses sintesis kimia secara tradisional dengan proses secara kombinatorial adalah bahwa dalam proses dengan kimia kombinatorial, pereaksi (reaktan)

Fisioterapis melakukan asuhan fisioterapi dengan pendekatan penyelesaian masalah dan atau pemenuhan kebutuhan , menggunakan metode ilmiah, berpegang teguh pada sumpah dan kode