BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Regulasi Emosi
1. Emosi
Emosi menurut Goleman (Setyowati, 2005: 71) adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Kecenderungan untuk bertindak ini dibentuk oleh pengalaman kehidupan serta budaya. Emosi juga berarti seluruh perasaan yang kita alami seperti sedih, gembira, kecewa, semangat, marah, dan cinta. Sebutan yang diberikan kepada perasaan tertentu mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir mengenai perasaan itu, dan bagaimana ia bertindak.
Menurut Gross (2016: 4) emosi muncul ketika seseorang menghadiri suatu situasi dan melihatnya sebagai suatu yang relevan dengan tujuaannya. Berkaitan dengan masalah emosi, Gohm dan Clore (Sulistyaningsih 2013: 60) membagi emosi dalam dua bagian, yakni: (1) Emosi positif, yaitu merupakan reaksi emosi yang dapat memberi dampak menyenangkan bagi diri kita seperti ketenangan, rileks, gembira, bahagia, dan sebagainya; dan (2) emosi negatif, yakni merupakan reaksi emosi yang dapat memberi dampak tidak menyenangkan bagi diri kita seperti sedih, putus asa, marah, keinginan balas dendam, dan sebagainya. Berkaitan dengan masalah emosi yang negatif, Sulistyaningsih (2013: 61) menyebutkan bahwa banyak anak-anak Aceh yang mengalami masalah emosi yang negatif, tidak sedikit dari anak-anak tersebut yang memendam rasa marah dan keinginan balas dendam kepada orang yang telah membunuh orang yang dicintainya.
Pada tingkat antar individu, emosi membantu memberikan informasi kepada orang lain tentang keadaan internal seseorang dan adanya tujuan dari perilaku. Pertukaran informasi tersebut merupakan hal penting untuk menjalin hubungan bagi manusia dan sebagai penentu
dalam kesejahteraan sosial dan psikologis. Selain itu juga, fungsi dari emosi adalah mendapatkan wawasan tentang nilai-nilai pribadi seseorang yang merupakan faktor motivasi penting dalam pengambilan keputusan.
Jadi, emosi merupakan reaksi terhadap suatu perkara yang meliputi perasaan intens dengan ditunjukan kepada seseorang atau sesuatu. Emosi merupakan faktor psikologis yang dapat mengubah perilaku. Emosi terbagi menjadi dua bagian yaitu emosi negative dan emosi positif. Emosi negative merupakan reaksi yang meliputi perasaan dengan dampak yang tidak baik. Sedangkan emosi positif merupakan emosi yang memiliki dampak yang baik untuk kehidupan seseorang.
Berkaitan dengan emosi, Coleman dan Hammen (Sobur, 2013: 400) menyebutkan, setidaknya ada empat fungsi emosi. Pertama, emosi adalah pembangkit energy (energizer). Tanpa emosi, kita tidak sadar atau mati. Hidup berarti merasai, mengalami, bereaksi dan bertindak. Emosi membangkitkan dan memobilisasi energy kita. Kedua, emosi adalah pembawa informasi (messenger). Bagaimana keadaan diri kita dapat diketahui dari emosi kita. Ketiga, emosi bukan saja pembawa informasi dalam komunikasi interpersonal. Keempat, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita.
Santrock (Primana &Christopora, 2017: 193) membagi perkembangan emosi pada anak ke dalam 3 tahapan:
1. Expressing Emotions dimana pada tahap ini Self-awareness yaitu perlu berkembang terlebih dahulu sehingga Self-conscious emotion dapat dialami oleh anak ketika dirinya mampu untuk mengenali dirinya dan sadar dirinya berbeda dari orang lain. Self awareness merupakan kondisi dimana bayi menyadari bahwa mereka memiliki identitas yang dikenali, terpisah dan berbeda dengan yang lainnya diluar dirinya. Sedangkan Self Conscious emotion ialah kesadaran diri yang mencakup kesadaran dan rasa “aku”, misalnya rasa malu, empati dan iri.
2. Understanding Emotions dimana anak menyadari bahwa situasi tertentu cenderungmembangkitkan emosi tertentu, ekspresi wajah mengindikasikan emosi yang spesifik, emosi berpengaruh terhadap perilaku dan emosi dapat digunakan untuk mempengaruhi emosi orang lain.
3. Regulating Emotions dimana tahapan ini memegang peranan di dalam kemampuan anak untuk mengatur tuntutan dan konflikyang mereka hadapi ketika berinteraksi dengan orang lain. Manusia memiliki emosi dasar yaitu emosi negatif (termasuk di dalamnya sedih, takut dan marah) serta emosi positif yaitu senang.
Menurut Salovey (Saptoto, 2010:15) istilah kecerdasan emosi untuk menggambarkan sejumlah keterampilan yang berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain, serta kemampuan mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan dan meraih tujuan kehidupan.
Gross (2011:2) Perspektif emosi secara luas disepakati bahwa mengacu pada kumpulan keadaan psikologis yang mencakup pengalaman subjektif, perilaku ekspresif (misalnya wajah, tubuh, verbal) dan respon fisiologis perifer (misalnya detak jantung, nafas). Emosi juga merupakan fitur utama dalam setiap modelpsikologis pikiran manusia. Beberapa ahli teori melihat emosi sebagai yang ditandai oleh pola unik dan relatif konsisten dari respon subjektif, ekspresif dan fisiologis.
Model emosi dasar berpendapat bahwa kata emosi seperti marah, sedih dan takut merupakan nama mekanisme unik yang menyebabkan keadaan mental unik pula. Dalam pandangan ini, ada sejumlah keadaan biologis dasar yang unik dalam bentuk, fungsi dan penyebab dari keadaan lain seperti kognisi dan persepsi. Emosi adalah bangunan dasar pikiran yang tidak dapat diurai menjadi hal lain. Pada model emosi dasar, setiap emosi disebabkan oleh mekanisme khusus (program yang dapat mempengaruhi) yang menghasilkan pengalaman terkoordinasi, respon baru, perilaku
ekspresif (misalnya raut wajah) dan respon otonom dan neuroendokrin, Gross (2011:3).
Kemampuan seseorang dalam memaknai perasaan tindakannya merupakan wilayah kecerdasan emosional. Salovey dan Mayer (Setyowati, 2005: 71) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai : “himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosional ditandai dengan kualitas-kualitas: 1) empati 2) kemampuan mengungkapkan dan memahami perasaan 3) kemampuan mengendalikan amarah 4) kemandirian 5) kemampuan menyesuaikan diri 6) disukai orang lain 7) kemampuan memecahkan masalah antarpribadi 8) ketekunan 9) kesetiakawanan 10) keramahan; dan 11) sikap hormat.
Salah satu bagian dari kecerdasan emosi yang dapat dilatih adalah regulasi emosi, bahwa regulasi emosi adalah usaha untuk mengatur atau mengelola emosi atau bagaimana seseorang mengalami dan mengungkapkan emosi yang dapat mempengaruhi perilaku individu untuk mencapai tujuannya. Regulasi emosi mempunyai tujuan untuk meminimalkan dampak negatif dari masalah yang dihadapi dengan cara memonitor dan mengevaluasi pengalaman emosional.
Hurlock (Hidayati dkk, 2017:23) mengemukakan bahwa pengekspresian emosi sangatlah penting karena persiapan fisik dan mental untuk berinteraksi akan muncul apabila emosi dapat dilepaskan dengan cara yang benar. Berbagai cara mengekspresikan emosi secara terkendali itu tidak ada satupun yang sesuai dan menimbulkan kemarahan, sehingga peneliti menggunakan teknik sosiodrama agar siswa dapat mengekspresikan emosinya secara benar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang kompleks dari organisme karena emosi memiliki pengaruh terhadap fungsi-fungsi psikis seperti pengamatan, tanggapan dan pemikiran.
2. Regulasi Emosi
Seseorang tidak hanya memiliki emosi, tetapi juga perlu mengatur emosi mereka, dalam arti mereka perlu mengambil sikap terhadap emosi mereka dan menerima konsekuensi dari tindakan emosional mereka. Regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Gross (Habsyi, 2015:13) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah strategi yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan,memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif.
Gross (Anggraeny, 2014: 60) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah strategi yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif.
Menurut Thompson (Syahadat 2013: 24) yang mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses intrinsic dan ekstrinsik melalui pemantauan, pengevaluasian dan pemodifikasian, reaksi-reaksiemosi sesuai dengan tujuan dari individu yang bersangkutan.
Regulasi emosi yang dimaksud lebih kepada kemampuan individu dalam mengatur dan mengekspresikan emosi dan perasaan tersebut dalam kehidupan seharihari. Regulasi emosi diri ini lebih pada pencapaian keseimbangan emosional yang dilakukan oleh seseorang baik melalui sikap dan perilakunya.
Strongman (Alsa, Fitriani 2015:153) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses individu memengaruhi emosi yang dimilikinya, kapan mereka memilikinya, mengalaminya, serta mengekspresikan emosinya. Jadi
regulasi emosi dapat diartikan sebagai pemikiran atau peringatan yang dipengaruhi oleh emosi individu, bagaimana individu mengalami dan mengungkapkan emosinya.
Sementara itu, Gross (Imeldia, 2018: 17) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses yang digunakan untuk mengatur emosi apa yang dimiliki, kapan digunakan, dan bagaimana mengalami serta mengekspresikan emosi tersebut. Regulasi emosi mengacu pada serangkaian proses heterogen di mana emosi diatur. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Goldstein dan Naglieri (Imeldia, 2018: 17) yaitu regulasi emosi mengacu pada proses di mana individu memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi emosinya dalam rangka mengendalikan emosi yang mereka miliki, kapan mereka memilikinya, dan bagaimanamereka mengalaminya dan mengekspresikan emosi tersebut.
Menurut Gross (Kartika, 2004; 263)Regulasi emosi juga mempengaruhi pembentukan kepribadian dan menjadi sumber penting bagi perbedaan individu. Misalnya, seseorang tetap tenang walaupun dalam situasi tertekan, sedangkan individu ainnya siap „meledak‟ seperti gunung berapi. Gross juga melihat regulasi emosi sebagai penghubung ke pengertian yang lebih luas dari regulasi afeksi.
Regulasi emosi tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia. Kesadaran atau proses kognitif membantu individu mengatur emosi-emosi atau perasaan-perasaan, dan menjaga emosi tersebut agar tidak berlebihan. Regulasi itu sendiri adalah bentuk kontrol yang dilakukan seseorang terhadap emosi yang dimilikinya. Regulasi dapat mempengaruhi perilaku dan pengalaman seseorang. Hasil regulasi dapat berupa perilaku yang ditingkatkan, dikurangi, atau dihambat dalam ekspresinya.
Kemampuan untuk mengatur emosi atau regulasi emosi adalah dimensi yang sangat penting dari kecerdasan emosi. Anak yang mampu mengatur emosinya dengan baik maka akan mudah dalam mengontrol perilakunya dan perkataannya. Menurut Alarcon ( Pratiwi, 2018: 25) menyebutkan bahwa “Emotion Regulation (ER) has often been defined as the ability to initiate,maintain, and modulate emotional arousal in order to
accomplish individual goals and facilitate the adaptation to the social environment”. Berdasarkan pendapat di atas,regulasi emosi dapat diartikan sebagai kemampuan untukmengenali, memelihara, dan mengartikan suatu rangsangan emosional untuk mencapai tujuan individu dan memfasilitasi proses adaptasinya terhadap suatu lingkungan sosial. Pendapat ini menguatkan bahwa regulasi emosi sangat pentingperannya dalam kehidupan bersosialisasi. Kemampuan regulasi dapat mengarah kanseseorang melakukan adaptasidengan baikdengan orang di sekitarnya.
Secara sosial, emosi diregulasikan dengan cara mencari akses ke hubungan interpersonal dan sumber dukungan yang bersifat nyata. Sedangkan secara tingkah laku, emosi diregulasikanmelalui berbagai macam respon tingkah laku. Berteriak, menjerit, menangis atau menarik diri adalah contoh dari tingkah laku yang tampak untuk mengatur emosi yang bangkit sebagai respon terhadap rangsangan yang diberikan (Kartika, 2004: 164).
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah strategi yang digunakan individu dalam mengatur emosinya terkait dengan cara mereka merasakan, cara berpikir, mengatur perasaan serta kemampuan merespon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku dan nada suara).
3. Faktor yang mempengaruhi Regulasi Emosi
Emosi pada setiap individu dipengaruhi oleh berbagai faktor, begitupun dengan kemampuan individu untuk meregulasi emosi. Seperti yang dikemukakan oleh Hendrik (Habsyi, 2015: 17) regulasi emosi dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor lingkungan; lingkungan tempat individu berada termasuk lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Keharmonisan keluarga, kenyamanan di sekolah dan kondisi masyarakat yang kondusif akan sangat mempengaruhi perkembangan emosi.
b. Faktor pengalaman; Pengalaman yang diperoleh individu selamahidupnya
akanmempengaruhi perkembangan emosinya. Pengalaman selama hidup dalam berinteraksi denganorang lain dan lingkungan akan menjadi referensi bagi individu dalam menampilkan emosinya. c. Pola asuh orang tua; Pola asuh orang tua sangat bervariasi.Ada pola
asuh yang otoriter, memanjakan, acuh tak acuh dan ada juga yang penuh kasih sayang. Bentuk pola asuh itu akan mempengaruhi pola emosi yang dikembangkan individu.
d. Pengalaman traumatik; Kejadian masa lalu yang memberikan kesan traumatis akanmempengaruhiperkembangan emosi seseorang. Akibatnya rasa takut dan juga sikap terlalu waspada yang berlebihan akan mempengaruhi kondisi emosionalnya.
e. Jenis kelamin; Keadaan hormonal dan kondisi fisiologis pada laki-laki dan perempuan menyebabkan perbedaan karakteristik emosi antara keduanya.Laki-laki lebih tinggi emosinya daripada wanita, dan wanita ebih bersifat emosionalitas dari pada laki-laki karena wanita memiliki kondisi emosi didasarkan peran sosial yang diberikan oleh masyarakat sesuai jenis kelaminnya.Wanita harus mengontrol perilaku agresif dan asertifnya, tidak seperti peran sosial laki-laki. Hal ini menyebabkan timbulnya kecemasan-kecemasan dalam dirinya. Secara otomatis perbedaan emosional anatara pria dan wanita berbeda. Menurut Benner & Salovey (Habsyi; 2015: 19) mengatakan bahwa wanita lebih sering berusaha mencari dukungan sosial untuk menghadapi distress sedangkan pria lebih memilih melakukan aktifitas fisik untuk mengurangi distress.
f. Usia; Kematangan emosi dipengruhi oleh tingkat pertumbuhan dan kematangan fisiologis seseorang. Semakin bertambah usia, kadar hormonal seseorang menurun sehingga mengakibatkan penurunan pengaruh emosional seseorang.
g. Perubahan jasmani; yaitu perubahan hormon-hormon yang mulai berfungsi sesuai denganjenis kelaminnya masing-masing. Misalnya, perubahan kulit wajah yang awalnya bersih menjadi jerawatan.
h. Perubahan pandangan luar; Perubahan pandangan luar dapat menimbulkan konflik dalam emosi seseorang. Seperti: tidak konsistennya sikap dunia luar terhadap pribadi seseorang, membeda-bedakan wanita dan pria, dunia luar memanfaatkan kondisi ketidakstabilan seseorang untuk pengaruh yang negatif.
4. Aspek-aspek Regulasi Emosi
Menurut Gross (Primana & Christopora, 2017: ) ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu:
a. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat 15dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.
b. Engaging in goaldirected behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.
c. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan
individu untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.
d. Acceptance of emotional response (acceptance) ialah
kemampuan individu untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut.
Menurut Gross (2002:286) menyebutkan bahwa Emosi muncul ketika sesuatu terjadi yang penting bagi individu. Terkadang tujuan dapat menimbulkan emosi bersifat sementara. Di lain waktu, tujuan yang
menimbulkan emosi berasal dari nilai-nilai yang bertahan lama yang terkait dengan kesehatan, hubungan dekat, dan proyek-proyek penting yang berhubungan dengan pekerjaan. Mengingat bahwa emosi sering perlu diatur dalam keadaan seperti itu, maka penindasan dan penilaian ulang memengaruhi kemampuan individu untuk berkinerja baik secara kognitif. Adapun aspek Regulasi Emosi menurut Gross (2002) terdapat 2 yaitu: a. Cognitive Reappraisal, merupakan bentuk perubahan kognitif yang
melibatkan individu untuk mengubah cara berpikir tentang situasi yang dapat berpotensi akan memunculkan emosi sehingga mampu mengubah pengaruh emosionalnya.
Perubahan kognitif merupakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas dan intensitas emosi yang dihasilkan. Mengubah cara menilai peristiwa yang berpotensi menimbulkan emosi adalah salah satu contoh penting dari regulasi emosi yang berfokus pada anteseden yang ditunjukan untuk memodifikasi dampak emosional dari situasi tertentu.
Gross (2010:385) menjelaskan juga bahwa cognitive reappraisal adalah strategi regulasi kognitif yang melibatkan penafsiran situasi atau rangsangan yang memunculkan emosi dan mampu mengubah damapk emosionalnya. Menurut model regulasi emosi Gross (2010: 385) emosi dapat diatur pada waktu yang berbeda dalam proses generative emosi. Reappraisal dapat terjadi pada situasi ketika maknanya terbentuk atau beberapa saat setelah situasi yang mengancam atau stimulus telah ditemui untuk pertama kali. Penilaian ulang dianggap sebagai regulasi emosi yang efektif.
b. Expressive Suppresion, merupakan sebuah bentuk modulasi respon yang
melibatkan individu mengurangi perilaku emosi yang ekspresif ketika individu sudah dalam keadaan emosional.
Expressive Suppresion juga tidak akan membantu dalam mengurangi pengalaman emosi negatif, dengan demikian secara tidak langsung emosi negatif akan terus menumpuk dan tidak terselesaikan. Anak-anak dapat menggunakan startegi ini dalam meregulasi emosi
yang negative terhadap hubungan dengan teman sebaya maupun terhadap penilaian kepada diri sendiri.
5. Karakteristik Regulasi Emosi
Komponen regulasi diri dalam belajar pada pembelajar sendiri menurut Pintrich (Rachmah Dwi, 215: 60) terdiri dari: (1) Kontrol kognitif dan regulasi kognitif merupakan aktivitas kognitif dan metakognitif, (2) Regulasi motivasi mencakup upaya untuk mengatur berbagai keyakinan motivasi. (3) Regulasi perilaku merupakan aspek regulasi diri yang melibatkan upaya individu untuk mengontrol perilaku sendiri, dan (4) Regulasi terhadap konteks merupakan upaya untuk mengontrol konteks dalam menghadapi pembelajaran di kelas.
Menurut Santrock (Primana & Christopora, 2017: 24) menyebutkan bahwa membagi perkembangan emosi pada anak ke dalam tiga tahapan. Tahapan pertama adalah Expressing Emotions, dimana pada tahap ini self-awareness yaitu perlu berkembang terlebih dahulu sehingga self conscious emotion dapat dialami oleh anak ketika dirinya mampu untuk mengenali dirinya dan sadar dirinya berbeda dari orang lain. Self awareness merupakan kondisi dimana bayi menyadari bahwa mereka memiliki identitas yang dikenali, terpisah, dan berbeda dengan lainnya di luar dirinya. Sedangkan Self-conscious emotion ialah kesadaran diri yang mencakup kesadaran dan rasa akan „aku‟, misalnya rasa malu empati dan rasa iri. Tahap kedua ialah Understanding Emotions dimana anak menyadari bahwa situasi tertentu cenderung membangkitkan emosi tertentu, ekspresi wajah mengindikasikan emosi yang spesifik, emosi berpengaruh terhadap perilaku dan emosi dapat digunakan untuk mempengaruhi emosi orang lain. Tahap ketiga ialah Regulating Emotion dimana tahapan ini memegang peranan di dalam kemampuan anak untuk mengatur tuntutan dan konflik yang mereka hadapi ketika berinteraksi bersama orang lain. Manusia memiliki emosi dasar, yaitu emosi negatif (termasuk di dalamnya sedih, takut dan marah) serta emosi positif, yaitu senang.
Menurut Garnefski (Salamah, 2015: 60) mengatakan bahwa terdapat beberapa macam strategi-strategi untuk meregulasi emosi, yaitu :
a. Self blame disini mengacu kepada pola pikir menyalahkan diri sendiri. Beberapa penelitian menemukan bahwa self blame berhubungan dengan depresi dan pengukuran kesehatan lainnya. b. Blaming others mengacu pada pola pikir menyalahkan orang lain
atas kejadian yang menimpa dirinya.
c. Acceptance adalah mengacu pada pola pikir menerima dan pasrah atas kejadian yang menimpa dirinya. Acceptance merupakan strategi coping yang memiliki hubungan yang positif dengan pengukuran keoptimisan dan self esteem dan memiliki hubungan yang negatif dengan pengukuran kecemasan.
d. Refocus on planning mengacu pada pemikiran terhadap langkah apa
yang harus diambil dalam menghadapi peristiwa negatif yang dialami. Perlu diperhatikan kalau dimensi ini hanya pada tahap kognitif saja, tidak sampai ke pelaksanaan. Refocusing on planning merupakan strategi coping yang memiliki hubungan yang positif dengan pengukuran keoptimisan dan self-esteem dan memiliki hubungan yang negatif dengan pengukuran kecemasan.
Strategi regulasi emosi dapat juga merupakan strategi koping terhadap stress yang dialami seseorang. Ketika seseorang mengalami stress maka ia akan mencari sumber permasalahan dari stress tersebut kemudian mencoba menelaahnya untuk memberikan penilaian ulang yang lebih sesuai untuk akhirnya memilih strategi emosional yang lebih sesuai. Dengan kata lain, bahwa regulasi emosi merupakan akhir dari suatu proses koping.
7. Tahapan Regulasi Emosi
Kemampuan Regulasi emosi sudah ada diawal tahap perkembangan yaitu bayi dan anak-anak. Selama tahap preschool anak-anak mengembangkan kemampuan dan keahlian yang dapat membuat mereka mengontrol emosi dan perilaku untuk adaptasi sosial. Perkembangan
regulasi emosi pada masa anak-anak berkaitan dengan sosialisasi orang tua, temperamen anak, perkembangan kognitif, dan perkembangan social.
Model proses Regulasi Emosi menurut Gross (2002:282) bahwa regulasi emosi berfokus pada anteseden (antecedent) dan respon (response). Strategi yang berfokus pada anteseden merujuk pada hal-hal sebelum respon emosi diaktifkan sepenuhnya dan telah mengubah perilaku dan respon fisiologis. Contohnya ketika melihat wawancara kerja sebagai kesempatan untuk mempelajari lebih lanjut tentang perusahaan bukan sebagai ujian untuk memperoleh hasil lulus atau gagal. Strategi yang berfokus pada respon merujuk pada hal-hal yang kita lakukan ketika emosi sudah berlangsung atau ketika setelah menghasilkan respon dari emosi. Contoh regulasi yang berfokus pada respon adalah menjaga agar kecemasannya tidak terlihat ketika meninggalkan anak di sekolah TK untuk pertama kalnya.
Gambar diatas merupakan model proses regulasi emosi. Menurut model ini, emosi dapat diatur pada lima poin dalam proses generative emosi. (1) Pemilihan situasi (2) modifikasi situasi (3) penyebaran perhatian (4) perubahan kognitif dan (5) modulasi respon pengalaman, perilaku atau fisiologis. Empat yang pertama adalah fokus pendahuluan atau anteseden dan yang ke lima adalah respon yang di fokuskan. Jumlah opsi respon yang ditunjukkan pada masing-masing dari lima poin ini adalah arbitrer dan garis yang lebih jelas menunjukan opsi tertentu yang dipilih dalam contoh yang diberikan dalam teks.
Lima strategi regulasi emosi menurut Gross (2002:282) dapat diihat dalam bentuk skema di atas. Pertama, dari strategi regulasi ini adalah pemilihan situasi yang dilambangkan dalam gambar 1 menuju situasi satu (S1) yang lebih jelas daripada situasi (S2). Pemilihan situasi ini menngacu pada mendekati atau meghindari orang, tempat atau hal-hal tertentu untuk mengatur emosi. Misalnya dalam memutuskan untuk makan malam dengan seorang teman yang selalu membuat tertawa pada malam sebelum ujian (S1) daripada pergi ke tempat diskusi atau tempat belajar bersama siswa gugup lainnya (S2).
Seringkali, pemilihan situasi melibatkan kompromi yang rumit antara manfaat emosional jangka panjang dan jangka pendek. Sebagai contoh upaya seseorang yang pemalu untuk mengurangi rasa cemasnya dengan menghindari situasi social karena hal tersebut dapat memberikan bantuan untuk dirinya dalam jangka pendek dengan akibat isolasi social jangka panjang. Leary (Gross, 2002:283). Setelah dipilih, situasi dapat dirancang sedemikian rupa untuk mengubah dampak emosionalnya, menciptakan S1x, S1y, atau S1z. Hal ini merupakan modifikasi situasi yang juga telah disebut sebagai masalah yang dapat membedakan seseorang dalam mengatur kondisi strategi ( coping terfokus) Lazarus & Folkam (Gross, 2002: 283). Misalnya, melanjutkan dengan kasus ujian, jika berbicara dengan teman pada malam sebelum ujian kemudian seorang teman itu bertanya “apakah kamu siap untuk ujian?”. Maka dalam
menjawbnya dapat diperjelas dengan kalimat bahwa “Saya lebih senang membicarakan hal lain”.
Menurut Gross (2002: 283) menyebutkan bahwa Penyebaran perhatian juga mencakup upaya untuk berkonsentrasi secara intens pada topic atau tugas tertentu . setelah fokus pada pada aspek tertentu dalam situasi, perubahan kognitif mengacu pada pemilihan yang memiliki banyak makna. Misalnya, mungkin mengingatkan diri sendiri bahwa itu “hanya ujian” (m2) daripada melihat ujian sebagai ukuran nilai (m1). Perubahan kognitif sering digunakan untuk mengurangi respon emosional. Namun, dapat juga digunakan untuk memperbesar respon emosional dan bahkan untuk mengubah emosi itu sendiri. Misalnya mengubah kemarahan menjadi kasihan. Makna yang dutugaskan untuk situasi ini sangat penting karena sangat mempengaruhi kecenderungan pengalaman, perilaku dan respon fisiologis yang akan dihasilkan.
Pada akhrinya, modulasi respon merujuk pada upaya untuk mempengaruhi kecenderungan respon emosi ketika telah muncul. Modulasi respon diilustrasikan pada gambar 1 dengan mengurangi perilaku ekspresif. Dalam contoh kasus ujian, respon dapat berupa menyembunyikan rasa malu setelah gagal dalam ujian. Sasaran lain dari modulasi respon meliputi komponen emosi yang dipengaruhi pengalaman.
Gross (Imaldia, 2018: 18) mengemukakan bahwa lima tahapan regulasi emsoi pada individu diantaranya:
a. Situation selection, meliputi complex trade off antara manfaat emosional jangka pendek dan jangka panjang. Pemilihan situasi ini memengaruhi kehidupan emosional bayi dan anak kecil dengan kuat karena mereka kurang mampu memilih situasi untuk diri mereka sendiri. Pihak yang menggunakan strategi ini harus dapat memperkirakan kapasitaspengaturan diri penerima. Contohnya seorang yang pemalu akan memilih menjauhi situasi sosial.
b. Situation modification, direferensikan juga sebagai problem focused coping. adalah cara individu mengatur perhatiannya dalam suatu situasi untuk memengaruhi emosinya. Strategi ini memiliki dua bentuk utama,
yaitu distraksi dan konsentrasi. Distraksi adalah cara untuk meregulasi emosi dengan memfokuskan perhatian pada aspek lain dari suatu situasi atau mengalihkan perhatian dari situasi yang dialami. Konsentrasi adalah cara meregulasi emosi dengan memfokuskan perhatian pada fitur emosional suatu situasi. Contohnya satu hari sebelum ujian seorang teman bertanya apakah sudah siap untuk ujian, lalu individu menyatakan lebih memilih topik obrolan lain.
c. attentional deployment, digunakan untuk memilih aspek mana dalam situasi yang akan di fokuskan. Strategi perubahan kognitif adalah cara seseorang untuk merubah penilaiannya terhadap suatu situasi untuk mengubah makna emosionalnya, baik dengan merubah pemikirannya mengenai situasi tersebut atau mengenai kemampuan mengatur tuntutan yang ditimbulkan oleh situasi tersebut. Bentuk strateginya adalah penilaian kembali, yaitu merubah makna suatu situasi untuk merubah dampak emosionalnya.
d. Cognitive change, ketika individu memilih pemikiran terhadap sebuah situasi yang mempunyai beberapa aspek. Contoh ketika mendapatkan nilai dalam ujian individu dapat berpikir bahwa itu hanya ujian atau ujian merupakan tolak ukur kepintaran seseorang.
e. Response modulation adalah keadaan dimana individu mempengaruhi fisiologis, pengalaman, atau respon perilaku yang relatif langsung. Cara dari modulasi respon adalah dengan mengatur perilaku ekspresi emosi atau supresi ekspresif. Supresi adalah bentuk modulasi respon dimana individu menghambat perilaku ekspresi emosi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Regulasi emosi adalah proses dimana kita mempengaruhi emosi yang kita miliki, ketika kita memiliki emosi, dan bagaimana kita mengalami dan mengekspresikan emosi terdiri dari upaya aktif individu untuk mengelola keadaan emosi. Dalam arti luasnya, regulasi emosi merangkum regulasi semua bagian yang bermuatan emosional, termasuk suasana hati, stres dan pengaruh positif atau negatif. Regulasi emosi dapat ditumbuhkan dengan adanya pembelajaran regulasi diri.
Pembelajaran regulasi diri adalah memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan prilaku untuk mencapai suatu tujuan.
B. Emosi dan Regulasi Emosi Anak 1. Ciri masa Anak-anak
Pada mulanya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana individu relative tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Menurut Hurlock (2011: 108) menyebutkan bahwa selama periode yang panjang ini secara kasar sebelas tahun wanita dan dua belas tahun untuk pria, terjadilah sejumlah perubahan yang mencolok baik secara fisik maupun psikologis. Karena tekanan budaya dan harapan untuk menguasai hal-hal tertentu pada usia tertentu itu berbeda daripada usia yang lain, maka anak pada awal masa kanak-kanak agak berbeda dengan anak pada akhir periode ini.
Pada tahun-tahun awal anak, kemampuan regulasi emosi sangatlah sederhana sehingga sebagian besar regulasi emosi bayi dan anak-anak terjadi melalui orang lain. Regulasi merupakan serangkaian keterampilan dan kemampuan yang dapat di peroleh sepanjang umur. Persyaratan untuk memiliki mampu meregulasi emosi sangatlah luas. Regulasi emosi bermanfaat untuk menghentikan dan mengatur emosi yang muncul baik itu secara otomatis maupun spontan (tidak sadar) sebelum melakukan aksi dalam peristiwa tertentu. Regulasi emosi juga untuk mengendalikan emosi, mengatur penilaian, mengatur dan meredam reaksi fisiologis dengan melakukan relaksasi atau bernafas panjang. Selain itu, regulasi emosi sangat penting dalam kehidupan manusia, khususnya untuk mereduksi ketegangan yang timbul akibat emosi yang memuncak.
Hurlock juga menegaskan bahwa pada saat ini, secara luas diketahui bahwa masa kanak-kanak harus dibagi menjadi dua periode yang berbeda, awal dan akhir masa kanak-kanak. Periode awal berlangsung dar umur dua sampai enam tahun dan periode akhir dari umur enam sampai tiba saatnya anak matang secara seksual. Dengan demikian awal masa kanak-kanak dimulai sebagai penutup masa bayi- usia dimana ketergantungan secara
praktis sudah dilewati, diganti dengan tumbuhnya kemandirian dan berakhir di sekitar usia masuk sekolah dasar.
2. Tugas Perkembangan Emosi anak
Dalam kehidupan anak ada dua proses yang beroperasi secara kontinu, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Kartono (2007: 18) Kedua proses ini berlangsung secara interdependen, saling bergantung satu sama lainnya. Kedua proses itu tidak bisa dipisahkan dalam bentuk-bentuk yang murni berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi bisa dibedakan untuk maksud lebih mudah memahaminya.
Kartono (2007: 18) juga menjelaskan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan ialah perubahan secara fisiologis sebagi hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat, dalam passage (peredaran waktu) tertentu. Pertumbuhan dapat diartikan pula sebagai proses transmisi dari konstitusi fisik (resam tubuh, keadaan jasmaniah) yang harediter/ turun temurun dalam bentuk proses aktif secara berkesinambungan. Sedangkan perkembangan menurut Kartono (2007:20) ialah perubahan-perubahan psiko- fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam passage waktu tertentu.
Seorang anak berkembang, dimana adanya proses menambah keterampilan yang sudah diperoleh dan keterampilan baru menjadi dasar untuk mengoptimalkan prestasi dan penguasaan keterampilan. Sebagian besar anak-anak mengikuti pola yang sama. Juga, salah satu tahap perkembangan meletakkan dasar untuk tahap perkembangan berikutnya.
Le Doux, (Martini, 2012: 112) emosi adalah perasaan yang secara fisiologis dan psikologis dimiliki oleh anak dan digunakan untuk merespons terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya. Anak tidak berkembang secara otomatis, namun dipengaruhi oleh cara lingkungan memperlakukan mereka. Ketika anak memasuki lingkungan ”sekolah” non formal seperti taman kanak-kanak, maka ruang dan kesempatan untuk berinteraksi semakin luas.
Stimulasi yang diberikan oleh guru termasuk yang berpengaruh. Cara guru memberikan stimulasi terhadap anak adalah tergantung pada pemahaman guru terhadap stimulasi dan permahaman terhadap anak.
Menurut Tyson ( Alsa, fitriani: 2015:150) emosi dapat muncul ketika siswa berada dalam lingkungan akademisi seperti saat ujian, melakukan tugas yang melebihi batas kemampuan siswa, kegiatan belajar yang membosankan karena guru kurang memiliki keterampilan dalam mengajar, mendapat komentar dari guru, atau umpan balik yang membuat siswa tidak merasa nyaman. Emosi-emosi ini memengaruhi perilaku dan kemampuan kognitif.
Dalam fase ke empat yaitu ketika usia 9-11 tahun disebut masa sekolah rendah. Pada periode ini anak mencapai objektivitas tertinggi. Masa penyelidik, kegiatan mencoba dan bereksperimen yang distimulir oleh dorongan-dorongan meneliti dan rasa ingin tahu yang besar. Merupakan masa pemusatan dan penimbunan tenaga untuk berlatih, menjelajah dan bereksplorasi. Pada akhir fase ini anak mulai menemukan diri sendiri yaitu secara tidak sadar mulai berpikir tentang diri pribadi. Pada waktu itu anak sering kali mengasingkan diri.
Masa periode akhir kanak-kanak menurut Charlotte Buhler (Kartono, 2006: 28) menyebutkan berada di fase ke tiga yaitu usia 5-8 tahun yang merupaka masa sosialisasi anak. Pada saat ini anak mulai memasuki masyarakat luas (misalnya taman kanak-kanak, pergaulan dengan kawan-kawan sepermainan dan sekolah rendah). Anak mulai belajar mengenal dunia sekitar secara obyektif dan ia mulai belajar mengenal arti prestasi pekerjaan dan tugas-tugas kewajiban.
Perkembangan dapat diartikan sebagai proses transmisi dari konstitusi psiko-fisik herediter, dirangsang oleh faktor-faktor lingkungan yang menguntungkan dalam perwujudan proses aktif menjadi secara kontinu. Kartono kartini menjelaskan bahwa setiap fenomena atau gejala perkembangan anak merupakan produk dari kerja sama dan pengaruh timbal balik antara potensi alias hereditas dengan faktor-faktor lingkungan.
Menurut Gross & Thompson (Syahadat, 2013: 25) anak-anak mampu mengubah emosi negatifnya jika dilatih untuk melakukan penilaian emosi. Anak yang mampu menilai emosi yang dirasakan, termasuk mengetahui penyebabdan akibat yang muncul dari emosi negatif mempunyai pengaruh yang signifikanterhadap perubahan perilakunya.
Tugas-tugas akhir dari masa kanak-kanak menurut Havighurst dalam Hurlock ( 2011: 10) diantaranya:
a. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum.
b. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh.
c. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya. d. Mulai mengembangkan peran social pria atau wanita yang tepat. e. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca,
menulis dan berhitung.
f. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari.
g. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral dan tata dan tingkatan nilai.
h. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok social dan lembaga-lembaga.
i. Mencapai kebebasan pribadi.
Penguasaan tugas-tugas perkembangan tidak lagi sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua seperti pada tahun-tahun prasekolah. Sekarang penguasaan ini juga menjadi tanggung jawab guru-guru dan sebagian kecil juga menjadi tanggung jawab kelompok teman-teman. Misalnya pengembangan pelbagai keterampilan dasar seperti membaca, menulis, berhitung dan pengembangan sikap-sikap terhadap kelompok social dan lembaga-lembaga merupakan tanggung jawab guru dan orang tua. meskipun orang tua dapat membantu meletakkan dasar penyesuaian diri
anak dengan teman-teman sebaya, tetapi menjadi anggota kelompok memberi kesempatan yang besar untuk memperoleh pengalaman belajar dalam hal ini (Hurlock, 2011: 148).
Campos (Nurmalitasari, 2015: 105) mendefinisikan emosi sebagai perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu keadaan yang dianggap penting oleh individu tersebut. Emosi diwakilkan oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Emosi dapat berbentuk rasa senang, takut, marah, dan sebagainya.
Pada umumnya anak itu lebih emosional daripada orang dewasa. Pada usia sekolah dasar anak cepat merasa puas. Menurut Kartono (2007: 139) sifatnya, Optimis dan kurang dirisaukan oleh rasa-rasa penyesalan. Kepedihan, kesengsaraan dan kegembiraan orang lain kurang difahami/ dihayati oleh anak. Namun kalau ia takut merasakannya, maka perasaan tersebut tidak ditampakkannya sebab ia merasa segan, takut dan malu memaparkan perasaannya.
Kartono (2007:140) menjelaskan lebih lanjut bahwa perasaan intelektual anak pada periode ini sangat besar. Teka-teki silang, soal-soal matematik dan perhitungan yang pelik-pelik (terutama kalau hasilnya berupa angka-angka utuh) merupakan daya tarik besar untuk dipecahkan oleh anak; baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Sebaliknya, kehidupan emosionalnya belum begitu berkembang. Kriteria baik dan buruk, indah dan jelek, susila atau asusila, semua nilai ini dengan serta merta diperoleh anak dari orang tua dan orang dewasa.
Perkembangan emosi anak dapat dilihat dari perilaku lingkungan sosialnya, hal tersebut menyebabkan emosi bergitu erat kaitannya dengan sosial anak. Emosi dan sosial merupakan rangkaian proses pada anak-anak dalam memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk mengenali dan mengelola emosi mereka, menetapkan dan mencapai tujuan positif, menunjukkan perhatian dan kepedulian terhadap orang lain, membangun dan memelihara hubungan yang positif, membuat keputusan, bertanggung jawab, dan menangani situasi interpersonal efektif (Payton, Weissberg, RP,
Durlak, Dymnicki, Taylor, Schellinger & Pachan, M., 2008 (dalam Lisa, K. 2015)).
Menurut Jersild (1954) dalam Sobur (2003, 406) menyebutkan bahwa perkembangan emosi selama masa kanak-kanak terjalin sangat eratnya dengan aspek-aspek perkembangan yang lain. Setelah alat-alat indra anak menjadi lebih tajam, kecakapan anak untuk mengenal perbedaan-perbedaan dan untuk melakukan pengamatan pun menjadi lebih dewasa dan setelah ia lebih melangkah ke depan dalam segala aspek perkembangannya, jumlah peristiwa yang bisa membangkitkan emosinya pun kian bertambah besar.
Kebanyakan anak telah mengalami semacam pertentangan dalam dirinya, suatu perjuangan yang timbul dari kenyataan bahwa mereka tidak dapat mengelakkan diri dari perasaan marah, takut dan bahagia.
3. Regulasi Emosi Anak
Regulasi emosi bermanfaat untuk menghentikan dan mengatur emosi yang muncul baik itu secara otomatis maupun spontan (tidak sadar) sebelum melakukan aksi dalam peristiwa tertentu. Regulasi emosi juga untuk mengendalikan emosi, mengatur penilaian, mengatur dan meredam reaksi fisiologis dengan melakukan relaksasi atau bernafas panjang. Selain itu, regulasi emosi sangat penting dalam kehidupan manusia, khususnya untuk mereduksi ketegangan yang timbul akibat emosi yang memuncak.
Anak-anak belum mampu untuk mengontrol emosinya terutama emosi yang bersifat negatif. Emosi negatif yang dirasakan anak biasanya diungkapkan dengan cara yang tidak tepat, misalnya dengan melakukan perilaku agresif. Regulasi emosi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu anak memfasilitasi kebutuhan emosionalnya. Anak-anak perlu dilatih dan diberikan bekal keterampilan dalam hal meregulasi emosinya, sehingga anak akan mampu menilai emosi yang dirasakan, mengatur emosi serta mengungkapkan emosi positif dan negatif secaratepat. Anak-anak yang mampu melakukan regulasi emosi akan memunculkan perilakupositif dan tidak akan memunculkan perilaku agresifnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa regulasi emosi merupakan suatu pengaturan emosi di dalam diri yang dapat memahami dan memilih emosi yang dirasakan tanpa perlu menambah atau mengurangi emosi itu sendiri. Makin matangnya seseorang dia dapat mengatur emosinya dengan baik.
Sejalan dengan Salovey dan Mayer (Hughes, 2016 :19) menyatakan bahwa : “They further divided EQ into four emotional intelligence : perceiving emotions, integrating emotion into thought, understanding emotions, and managing emotions” kutipan tersebut menjelaskan bahwa kecerdasan emosi terbagi menjadi empat: memahami emosi, integrasi emosi ke dalam pikiran, memahami emosi, dan mengelola emosi.
Anak mampu mengekspresikan perasaannya walaupun harus memerlukan bantuan dan waktu untuk mengidentifikasi emosi anak. Karena jika kita berbicara mengenai emosi anak adalah sesuatu yang rumit. Hal tersebut memungkinkan anak tiba-tiba marah meledak ledak ataupun sebaliknya. (Raising Children Network, 2016). Namun karena hal tersebutlah, orang dewasa yang berperan sebagai pembimbing untuk membantu anak menemukan emosi yang sesuai dengan harapan masyarakat tempat ia melangsungkan kehidupannya.
Menurut Goleman (2001: 60) Emosi bersumber dari kata latin yakni “movere” artinya “menggerakan atau bergerak”. Pada dasarnya, emosi berkaitan erat dengan istilah perasaan. Perasaan adalah bagian dari setiap diri individu. Wujud perasaan yang sesungguhnya tidak dapat dilihat oleh siapapun meskipun oleh diri individu yang sedang mengalami perasaan itu sendiri.
Menurut Thompson & Goodman (Primana & Christophora, 2017:194) mengatakan bahwa Kemampuan meregulasi emosi meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan berbicara pada anak dimana bahasa berperan untuk memfasilitasi kapasitas anak untuk memahami, mengutarakan, merefleksikan, dan mengatur emosi pada diri anak. Anak mulai belajar untuk meregulasi diri khususnya untuk mengontrol perilaku
dan emosi mereka. Hubungan dengan anak lain menjadi hal yang lebih penting pada perkembangan sosial dan emosi anak pada masa prasekolah.
Regulasi emosi seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, sesuai dengan pernyataan menurut Goddman (Pratiwi, 2018: 28) bahwa “Kemampuan regulasi emosi merupakan kemampuan yang di transmisikan dari orangtua ke anak-anaknya.Mekanisme transmisi melalui (1) faktor keturunan (hereditas), (2) keberfungsian sistem syaraf, (3) frekuensi paparan lingkungan, dan (4) konteks situasi”. Seseorang dengan kemampuan regulasi emosi yang baik mampumengendalikan dorongan untuk tidak melakukan perilaku impulsif, sepertimembahayakan diri sendiri maupun orang lain, perilaku sembrono, saatdirinyamengalami tekanan emosional.
Kemudian menurut Thompson dan Meyer (Pratiwi, 2018: 30) “Several family factors that play a formative role in children emotionsocialization, including parental responses to their children’s affect, thefamily emotional climate and interparental functioning”. Beberapa faktor keluarga yang berperan penting dalam proses sosialisasi emosi anak yaitu diantaranya pengaruh respon orangtua terhadap emosi anak, suasana emosional di dalam keluarga, dan aspek-aspek pengasuhan orangtua.
Berdasarkan uraian pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi anak tidak hanya dipengaruhi oleh satu hal tetapi beberapa hal seperti faktor hereditas, yaitu keturunan yang berasal dari orangtua kandung dan faktor lingkungan yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat tempat anak bersosialisasi sehari-hari dengan orang lain serta situasi yang dihadapi anak pada suatu waktu. Selain itu, faktor kepribadian anak juga mempengaruhi regulasi emosinya. Anak dengan kepribadian sensitif dan moody biasanya akan kesulitan mengungkapkan emosi dengan tepat.
Regulasi emosi mencakup upaya untuk menerima emosi, kemampuan untuk mengendalikan perilaku impulsif dan kemampuan untuk menggunakan strategi regulasi emosi sesuai situasi secara fleksibel. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Simon&Nath (Hirmaningsih, 2019:90) menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam mengekspresikan emosi baik verbal maupun non-verbal sesuai dengan jenis kelamindalam pengekspresian emosi dihubungkan dengan perbedaan dalam tujuan laki-laki dan perempuan mengontrol emosinya. Perempuan lebih mengekspresikan emosi untuk menjaga hubungan interpersonal serta membuat perempuan tampak lemah dan tidak berdaya. Sedangkan laki-laki lebih mengekspresikan marah dan bangga untuk mempertahankan dan menunjukkan dominasi.
Menurut Crawford dkk (Suleeman & Ratnasari, 2017: 37) menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak menampilkan ketakutan dan kesedihan dibandingkan laki-laki yang lebih banyak menampilkan kemarahan. Perempuan juga lebih mudah dikenali emosinya dari ekspresi raut muka dan pengungkapan yang sering terucap. Perempuan mengharapkan dan menganggap bahwa mereka akan dirawat dan diperlakukan baik, sebaliknya juga mereka beranggapan bahwa mereka harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan (well being) orang lain, sehingga cenderung berekspresi apa adanya ketika berada dalam emosional yang tidak sesuai harapan dan anggapan mereka.
Ada perbedaan yang besar dalam hal dimana pengalaman emosional itu muncul Brody&Hall (Suleeman &Ratnasari, 2017:37) menyebutkan bahwa untuk perempuan, di lingkungan rumah merupakan tempat yang hangat dan menyenangkan sedangkan di luar rumah lebih dingin dan tidak bersahabat. Sedangkan untuk laki-laki, situasi diluar rumah lebih menantang dibandingkan di dalam rumah, sehingga urusan di luar rumah menjadi tanggung jawab laki-laki. Perbedaan ini dipengaruhi sosialisasi yang merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menghasilkan perbedaan emosi antara perempuan dan laki-laki.
Suleeman & Ratnasari (2017: 37) menjelaskan lebih lanjut mengenai pengaruh sosialisasi, pola asuh dan budaya juga berlaku terhadap perbedaan regulasi emosi pada perempuan dan laki-laki. Ditemukan bahwa sosialisasi yang umum dijalani individu untuk berperan sebagai laki-laki atau perempuan di masyarakatnya menyertakan juga pembiasaan dalam menampilkan emosi.
Hasil penelitian Suleeman & Ratnasari (2017: 38) terdapat perbedaan skor regulasi emosi secara umum pada perempuan dan laki-laki. Variable-variabel dalam penelitian yang dilakukannya adalah regulasi emosi dan jenis kelamin. Regulasi emosi memiliki dua dimensi, yaitu cognitive reappraisal dan expressive suppression. Variasi dari regulasi emosi ditentukan oleh tinggi rendahnya skor yang diperoleh melalui kuesioner regulasi emosi yang dikonstruksi oleh Gross dan John (2002). Variasi juga dilihat dari tinggi rendahnya skor pada setiap dimensi. Jenis kelamin variasinya terdiri dari perempuan dan laki-laki. Variable jenis kelamin selain merupakan kategori biologis-fisiologis, dianggap juga mewakili peran jenis kelamin yang dikonstruksi oleh budaya, termasuk pendidikan. Dari hasil t-test diketahui adanya perbedaan antara regulasi emosi secara keseluruhan antara perempuan dan laki-laki.
Dari penelitian-penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa perempuan lebih dapat melakukan regulasi emosi terhadap emosi marah, penghinaan dan jijik, sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan cemas. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui secara empiris perbedaan regulasi emosi pada laki-laki dan perempuan . sedangkan hipotesis yang dikemukakan adalah adanya perbedaan regulasi emosi pada laki-laki dan perempuan.
5. Layanan Bimbingan dan Konseling untuk Mengembangkan Regulasi Emosi
Prayitno (Utomo, 2018:34) mengatakan bahwa bimbingan dan konseling merupakan proses bantuan yang diberikan oleh seorang yang ahli kepada kepada individu agar individu tersebut dapat mengembangkan
kemampuan dirinya dan mencapai kemandirian yang bermuara pada teratasinya masalah tersebut. Pengembangan yang mengacu pada perubahan positif pada diri sendiri individu merupakan tujuan dari semua bimbingan dan konseling. Masalah-masalah yang dapat diselesaikan dalam bimbingan dan konseling meliputi empat bidang yaitu, bidang pribadi, social, belajar dan karir.
Kemampuan regulasi emosi siswa yang rendah merupakan masalah pribadi yang dialami oleh siswa yang akan berpengaruh pada masalah social, belajar dan karirnya. Hal ini tampak jelas dengan permasalahan dalam belajarnya yang juga akan berpengaruh pada karirnya. Untuk itu, sebagai bagian dari tujuan bimbingan dan konseling yaitu membantu siswa melakukan perubahan positif dengan cara memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya.
Salah satu bentuk pelatihan yang diberikan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan mengelola emosi adalah dengan melalui layanan bimbingan kelompok, yaitu dengan cara memberikan kesempatan kepada siswa untuk mau bersabar, mengemukakan pendapat, tidak memotong pembicaraan pada saat yang lain sedang mengemukakan pendapat, memahami dan belajar untuk berempati pada saat kegiatan bimbingan kelompok berlangsung.
Layanan bimbingan yang dilakukan berfokus pada pribai siswa dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi serta ragam permasalahan yang dialaminya. Penelitian yang dilakukan Triutomo (2017:21) menegnai layanan bimbingan konseling untuk mengembangkan regulasi emosi adalah dengan menggunakan layanan bimbingan kelompok dengan tenik permainan. Triutomo (2017:37) menjelaskan lebih lanjut bahwa bermain dapat memberikan kesempatan untuk menyalurkan agresif secara aman dan dengan demikian dapat mengekspresikan emosinya tanpa merugikan siapapun. Setelah melakukan penelitian, hasilnya menunjukan bahwa bimbingan kelompok teknik permainan sangat efektif untuk meningkatkan pengendalian emosi, mengingat kelbeihan dan kegunaan
teknik permainan yang sangat menunjang untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi siswa.
Layanan bimbingan dan konseling pada penelitian yang dilakukan oleh Irmayanti (2017: 6) menggunakan teknik bermain peran. Hasil penelitian menyebutkan bahwa teknik bermain peran efektif untuk meningkatkan regulasi emosi. Keefektifan bermain peran ini terlihat dari ungkapan siswa yang menyebutnya bahwa kegiatan yang dilakukan menyenangkan dan mereka dapat pula mengetahui cara yang tepat untuk mengatasi emosi ketika sedang berada dalam kondisi yang tidak diinginkan. Selain itu, perubahan perilaku dan respon emosi siswa selama proses pelaksanaan intervensi juga dapat dijadikan indikator efektifnya teknik bermain peran untuk meningkatkan regulasi emosi siswa.
Menurut Nurhuda (2017: 359) menyebutkan bahwa penggunaan metode expressive writing untuk meningkatkan regulasi siswa kelas VII E di SMP Negeri 2 Yogyakarta diungkapkan bahwa metode tersebut dapat meningkatkan regulasi emosi siswa pada skor pra tindakan sebesar 69.69 poin atau menjadi 91.60 poin. Hal ini dapat diterima dengan alasan bahwa selama proses expressive writing berlangsung siswa telah mampu menunjukan perubahan positif pada regulasi emosinya atau pada setiap aspek regulasi emosi telah menunjukan peningkatana. Selain itu, siswa mengalami perasaan yang lebih positif, penurunan perasaa negative serta ekspresi perilaku negative. Halini karena metode expressive writing adalah sebuah metode menulis yang melibatkan pikiran dan perasaan yang timbul daripengalaman hidup traumatik atau stress, teknik ini dapat membantu beberapa orang mengatasi dampak emosional dari peristiwa tersebut. Permasalahan regulasi emosi yang terjadi pada siswa diatasi dengan metode expressive writing karena mengandung proses konstruksi ulang terhadap masalah yang dialami individu, sehingga individu mampu merasionalkan masalah yang dihadapi siswa.
Layanan bimbingan konseling untuk mengembangkan regulasi emosi yang dilakukan oleh Febriyanti (2017:13) yaitu dengan mengembangkan buku panduan pelatihan. Beradasarkan penilaian dari ahli
materi dan calon pengguna diperoleh hasil presentase sebesar 96,6% untuk hasil uji validasi materi, dan presentase sebesar 97,3& untuk calon pengguna, dari hasil rata-rata aspekk memperoleh nilai sangat baik, artinya dapat dimanfaatkan dalam membantu siswa meningkatkan kemampuan regulasi emosi siswa.
Febriyanti (2017:14) menjelaskan lebih lanjut bahwa hasil validasi ahli media menyebutkan bahwa panduanpelatihan regulasi emosi yang dikembangkan mampu mengungkapkan dan menyampaikan materi secara teknis, menyampaikan informasi yang memadai baik dari segi gambar-gambar yang menarik siswa sehingga bisa menentukan nilai dan manfaatnya. Sementara itu untuk presentase penilaian yang diperoleh dari ahli validasi yaitu ahli media sebesar presentasi 87,5% untuk uji penilaian ahli media bahwa panduan pelatihan regulasi emosi sudah sesuai baik dari segi desain awal, standar teknis, dan penyajian materi.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa layanan bimbingan dan konseling memeiliki berbagai metode atau teknik untuk mengembanngkan regulasi emosi. Layanan yang digunakan untuk mengembangkan regulasi emosi diantaranya melalaui layanan bimbingan pribadi, bimbingan kelompok dnegan berbagai teknik atau metode diantaranya penggunaan metode sosiodrama, role playing. Sedangkan untuk bimbingan pribadi diantaranya menggunakan Expressive writing. Layanan bimbingan dan konseling dalam mengembangkan regulasi emosi juga dapat dilakukan dengan pembuatan panduan pelatihan regulasi emosi. Jadi, untuk melakukan pengembangan dalam regulasi emosi siswa, dapat dilakukan dengan berbagai teknik atau metode yang sesuai dengan kebutuhan dan responden dari penelitian.
6. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian terkait Regulasi Emosi anak telah dilakukan selama beberapa tahun sebelumnya. Penelitian dilakukan oleh Primana& Christopora (2017: 192) bahwa sebagian besar anak belum mampu meregulasi emosinya dengan baik. Terdapat tiga anak yang menunjukkan
perilaku berbicara menggunakan nada tinggi, berteriak, menarik atau mendorong saat terlibat konflik dengan teman sebaya. Dua anak menunjukan perilaku kecenderungan untuk berteriak, melompat-lompat, melempar benda saat mengalami kesulitan untuk kegiatan menolong diri sendiri. Serta empat anak lainnya menunjukan perilaku dan respon yang tepat sesuai dengan situasi. Perilaku menjadi referensi bagi orang tua untuk mengembangkan kemampuan regulasi emosi yang dapat dilakukan di rumah.
Primana & Christopora (2017:193) menyebutkan bahwa pelatihan emosi bertujuan untuk mengembangkan kompetensi emosi yang harus dimiliki oleh anak secara bertahap yaitu: emotional expressiveness,
emotional knowledge dan emotional regulation. Anak yang mengalami dan
mengekspresikan emosi yang relatif positif dibandingkan emosi negatif dinilai lebih tinggi oleh guru dalam hal keramahan dan asertif, serta memiliki nilai yang lebih rendah pada hal agresif dan kesedihan. Anak yang mampu mengidentifikasi ekspresi emosi dari wajah teman sebaya atau memahami emosi yang muncul dari situasi sosial yang umum terjadi lebih cenderung bereaksi secara prososial terhadap emosi yang ditampilkan oleh teman sebaya mereka.
Analisis yang dilakukan oleh Primana & Christopora (2017:193) mengungkapkan bahwa pelatihan regulasi emosi terhadap anak menunjukkan bahwa perilaku regulasi emosi mengalami peningkatan meskipun program pelatihan sudah tidak dilakukan. Berdasarkan hasil pengolahan data, program ini efektif untuk meningkatkan regulasi emosi anak. Keterlibatan guru dan orangtua berperan di dalam keberhasilan dari program ini mengingat anak masih sangat bergantung dengan lingkungan sekitarnya yakni keluarga dan sekolah.
Terdapat penelitian lain yang relevan mengenai regulasi emosi dilakukan oleh Hidayati (2017:225) yaitu hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan regulasi emosi siswa melalui layanan bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama dari kategori sedang menjadi tinggi pada indikator mengatur emosi, dari kategroi rendah menjadi sedang pada
indikator mengontrol emosi, dan coping stres dari sedang tetap sedang. Hal ini menunjukan adanya keefektifan dalam pemberian layanan bimbingan kelompok dengan menggunakan sosiodrama terhadap regulasi emosi siswa.
Penelitian lain mengenai pelatihan regulasi emosi telah dilakukan oleh Kapliani dewi (2015:13) kepada subjek penderita difabel yang bukan bawaan lahir. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan stres pada semua subjek setelah diberikannya pelatihan regulasi emosi. Hal ini membuktikan bahwa pelatihan regulasi emosi dapat menurunkan stres pada difabel bukan bawaan. Setelah mengikuti pelatihan regulasi emosi, subjek mampu mengelola emosi dengan baik dan mengekspresikannya dengan tepat. Subjek menerima keadaannya dan berpikiran positif sehingga dapat merasakan kebahagiaan dan terhindar dari stress.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Awalya (2017:31) menunjukan bahwa terjadi peningkatan regulasi emosi siswa melalui layanan bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama yaitu dari kategori sedang menjadi tinggi pada indicator mengatur emosi, dari kategori rendah menjadi sedang pada indikator mengontrol emosi, dan coping stress dari sedang menjadi sedang.