• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Kesehatan

2.1.1 Pengertian Perilaku Kesehatan

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme–Respon. Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2010):

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup adalah respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara

(2)

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2.1.2 Domain Perilaku

Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010):

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan orang lain, di dapat dari buku, surat kabar, atau media massa, elektronik. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour).

(3)

masalah yang dihadapi. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun melalui pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan yang bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan optimal.

2. Sikap (Attitude)

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2010).

Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih, dan sebagainya). Selain bersifat positif dan negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dan sebagainya). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang. Sebab sering kali terjadi bahwa seseorang dapat berubah dengan memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat berubah

(4)

dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya.

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak langsung dapat dilihat, tetapi dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok yaitu :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan, yaitu : 1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya : seorang ibu yang mengajak ibu yang lain untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan

(5)

tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Ciri-ciri sikap adalah :

1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya. Sifat ini membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus, atau kebutuhan akan istirahat.

2. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah-ubah pada orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek. Dengan kata lain, sikap itu dibentuk, dipelajari atau berubah senantiasa.

4. Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu tetapi juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

5. Sikap mempunyai segi motivasi dari segi-segi perasaan. Sifat ilmiah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang (Notoatmodjo, 2010).

(6)

Fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yakni :

1. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable artinya sesuatu yang mudah menjalar sehingga mudah pula menjadi milik bersama.

2. Sebagai alat pengatur tingkah laku. Seseorang tahu bahwa tingkah laku anak kecil atau binatang umumnya merupakan aksi-aksi yang spontan terhadap sekitarnya. Antara perangsang dan reaksi tidak ada pertimbangan tetapi pada orang dewasa dan yang sudah lanjut usianya, perangsang itu pada umumnya tidak diberi reaksi secara spontan akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang itu. Jadi antara perangsang dan reaksi terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu sebenarnya bukan hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang erat hubungannya dengan cita-cita orang, tujuan hidup orang, peraturan-peraturan kesusilaan yang ada dalam bendera, keinginan-keinginan pada orang itu dan sebagainya.

3. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari dunia luar sikapnya tidak pasif tetapi diterima secara aktif artinya semua pengalaman yang berasal dari luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia tetapi juga manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian lalu dipilih.

Sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan kepribadian seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak pernah terpisah dari

(7)

pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada objek-objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi sikap sebagai pernyataan pribadi. Apabila kita akan mengubah sikap seseorang, kita harus mengetahui keadaan sesungguhnya dari sikap orang tersebut. Dengan mengetahui keadaan sikap itu, kita akan mengetahui pula mungkin tidaknya sikap tersebut dapat diubah dan bagaimana cara mengubah sikap-sikap tersebut (Purwanto, 2009

3. Tindakan (Practice)

Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.

Suatu sikap belum optimis terwujud dalam suatu tindakan untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung/suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 2010). Tindakan terdiri dari empat tingkatan, yaitu :

1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon Terpimpin (Guided Response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.

(8)

3. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

4. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.1.3 Determinan Perilaku Kesehatan

Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) menganalisis faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu: faktor predisposisi (Predisposing factors), terdiri atas faktor pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai. Kedua, faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti ketersediaan sarana/fasilitas, informasi. Ketiga, faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok acuan, seperti petugas kesehatan, kepala kelompok atau peer group.

Didalam proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain: susunan saraf pusat, persepsi, emosi, proses belajar, lingkungan dan sebagainya. Perilaku diawali dengan dengan adanya pengalaman-pengalaman seseorang serta faktor-faktor di luar orang tersebut (lingkungan), baik fisik maupun non fisik. Kemudian pengalaman dan lingkungan tersebut diketahui, dipersepsikan, diyakini dan sebagainya sehingga menimbulkan

(9)

motivasi, niat untuk bertindak dan akhirnya terjadilah perwujudan niat yang berupa perilaku (Notoatmodjo,2010).

2.2 Pelayanan Kesehatan

2.2.1 Pengertian Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat (Leviana, 2013).

Pelayanan kesehatan masyarakat adalah bagian dari pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit dengan sasaran utamanya adalah masyarakat. Karena ruang lingkup pelayanan kesehatan masyarakat menyangkut kepentingan masyarakat banyak, maka peranan pemerintah dalam pelayanan kesehatan masyarakat umumnya adalah besar (Azwar, 2010).

Berkaitan dengan perilaku kesehatan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan, dapat menggunakan teori model Anderson (1968). Menurut Andersen dalam Ilyas (2003), model ini merupakan suatu model kepercayaan kesehatan yang disebut sebagai model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi adalah:

1. Karakteristik Presdisposisi

Karakter ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu memiliki kecenderungan menggunakan pelayanan kesebatan yang berbeda-beda

(10)

2. Karakteristik Kemampuan

Karakteristik kemampuan merupakan suatu keadaan dari kondisi yang membuat seseorang mampu untuk melakukan sebuah tindakan untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Berdasarkan sumbernya karakteristik kemampuan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sumber daya keluarga dan sumber daya masyarakat

3. Karakteristik Kebutuhan

Andersen meggunakan istilah kesakitan untuk mewakili kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Penilaian terhadap suatu penyakir merupakan bagian dari faktor kebutuhan, penilaian kebutuhan didapatkan dari 2 sumber yaitu penilaian individu dan penilaian klinik.

Teori Health Belief Model (HBM) berpendapat bahwa persepsi terhadap sesuatu lebih menentukan keputusan yang kita ambil dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya. Teori HBM oleh Rosenstock (1974) didasarkan pada empat elemen persepsi seseorang, yaitu:

a. Perceived susceptibility: penilalan indlvidu mengenai kerentanan mereka terhadap suatu penyakit.

b. Perceived seriousness: penilaian individu mengenai seberapa serius kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.

c. Perceived barriers: penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan fmansial, fisik, dan psikososial.

(11)

d. Perceived benefits: penilaian individu mengenai keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan.

2.2.2 Bentuk dan Jenis Pelayanan Kesehatan

Menurut pendapat Hodgetts dan Cascio (2003) bentuk dan jenis pelayanan kesehatan adalah :

1. Pelayanan Kedokteran

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi (institution), tujuan umumnya untuk perseorangan dan keluarga.

2. Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan masyarakat ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya bersama-sama dalam suatu organisasi, tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, serta sasaran utamanya untuk kelompok dan masyarakat. Sekalipun pelayanan kedokteran berbeda dengan pelayanan kesehatan masyarakat, namun untuk disebut sebagai pelayanan kesehatan yang baik, keduanya harus memiliki persyaratan pokok, syarat pokok yang dimaksud yang dimaksud adalah :

a. Tersedia dan berkesinambungan; syarat pokok pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat serta bersifat berkesinambungan. Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya adalah setiap saat dibutuhkan.

(12)

b. Dapat diterima dan wajar; syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang baik adalah dapat diterima (acceptable) oleh masyarakat serta bersifat wajar. Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik.

c. Mudah dicapai; syarat pokok yang ketiga pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah dicapai (accesible) oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja,dan sementara itu tidak ditemukan di daerah pedesaan, bukan pelayanan kesehatan yang baik.

d. Mudah dijangkau; syarat pokok keempat pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah dijangkau (affordable) oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan yang dimaksud disini adalah terutama dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan karena itu hanya mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja, bukan pelayanan kesehatan yang baik.

e. Bermutu; syarat pokok kelima pelayanan kesehatan yang baik adalah yang bermutu (quality). Pengertian mutu yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang

(13)

diselenggarakan, yang di satu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan (Azwar, 2010).

3. Pelayanan Kesehatan Menyeluruh dan Terpadu

Menyadari bahwa pelayanan kesehatan yang berkotak-kotak bukan pelayanan kesehatan yang baik, maka berbagai pihak berupaya mencari jalan keluar yang sebaik-baiknya. Salah satu jalan keluar tersebut adalah memperkenalkan kembali bentuk pelayanan kesehatan yang menyuluruh dan terpadu.

Pengertian pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan terpadu ada dua macam menurut (Somers, 2004), yaitu:

a. Pelayanan kesehatan yang berhasil memadukan berbagai upaya kesehatan yang ada di masyarakat yakni pelayanan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit serta pemulihan kesehatan. Suatu pelayanan kesehatan disebut sebagai pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan terpadu apabila kelima jenis pelayanan ini diselenggarakan secara bersamaan.

b. Pelayanan kesehatan yang menerapkan pendekatan yang menyeluruh (holistic approach) jika tidak hanya memperhatikan keluhan penderita saja, tetapi juga berbagai latar belakang sosial ekonomi, sosial budaya, dan sosial psikologi. 2.2.3 Tingkatan Pelayanan Kesehatan

Strata pelayanan kesehatan yang dianut oleh tiap negara tidaklah sama, dan secara umum strata pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yakni :

(14)

1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama

Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health services) adalah pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic health services) yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat serta mempunyai nilai strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan (ambulatory/out patient services).

2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua

Pelayanan kesehatan tingkat kedua (secondary healtth services) adalah pelayanan kesehatan tingkat lanjut, bersifat pelayanan rawat inap (in patient services) dan untuk menyelenggarakannya dibutuhkan tersedianya tenaga-tenaga spesialis.

3. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga

Pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah pelayanan kesehatan yang bersifat lebih kompleks dan umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga subspesialis. Pelayanan kesehatan akan dirasakan berkualitas oleh para pelanggannya jika penyampaiannya dirasakan melebihi harapan para pengguna layanan. Penilaian para pengguna jasa pelayanan ditunjukan kepada penyampaian jasa, kualitas pelayanan atau cara penyampaian jasa tersebut kepada para pemakai jasa (Leviana, 2013).

2.3 Mutu Pelayanan Kesehatan

2.3.1 Pengertian Mutu Pelayanan Kesehatan

Mutu pelayanan kesehatan adalah penampilan yang pantas atau sesuai (yang berhubungan dengan standar-standar) dari suatu intervensi yang diketahui

(15)

aman, yang dapat memberikan hasil kepada masyarakat yang bersangkutan dan yang telah mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dampak pada kematian, kesakitan, ketidakmampuan dan kekurangan gizi (Roemet dan Aguilar, WHO, 2008).

Pengertian mutu pelayanan kesehatan bersifat multi dimensional yaitu mutu menurut pemakai pelayanan kesehatan dan menurut penyelenggara pelayanan kesehatan (Azwar, 2006) dan dapat diuraikan sebagai berikut: dari pihak pemakai jasa pelayanan, pengertian mutu berhubungan erat dengan ketanggapan dan kemampuan petugas rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pasien dan komunikasi petugas dengan pasien, termasuk di dalamnya keramahan dan kesungguhan. Dari pihak rumah sakit sendiri, termasuk di dalamnya dokter, paramedis, derajat mutu terkait pada pemakai yang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Sistem manjemen disebutkan dengan bahasa lainnya adalah sistem mutu.

Perspektif lainnya yaitu sebagai budaya organisasi yang terdiri dari peradigma, keyakinan, nilai dasar, pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap dan perilaku dan karyawan yang berfungsi dalam tim atau suatu unit dari organisasi sejalan dengan siklus hidup produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan (Kolarik, 2005).

2.3.2 Unsur-Unsur Yang Memengaruhi Kualitas Pelayanan

Donabedian (2006) memperkenalkan tiga kategori pendekatan mutu yaitu struktur, proses dan keluaran sebagai indikator mutu.

a. Struktur (input) adalah seluruh kelengkapan yang diperlukan dalam pelayanan kesehatan yang meliputi:

(16)

1) Sumber daya material, seperti fasilitas peralatan dan dana 2) Sumber daya manusia, seperti jumlah dan kualifikasi tenaga 3) Struktur organisasi dan prosedur operasional baku.

b. Proses, adalah seluruh kegiatan yang betul-betul dilakukan dalam memberikan dan menerima pelayanan kesehatan yang meliputi kegiatan tenaga medis dalam upaya penegakan diagnosis dan dalam memberikan saran serta menerapkan penatalaksanaan pengobatan serta kegiatan atau upaya pasien dalam mencari dan mendapatkan pelayanan kesehatan.

Secara ringkas dapat dikemukakan yang dimaksud dengan proses meliputi: 1) Mutu pelayanan teknis dan pelayanan klinis

2) Mutu dari interaksi pasien dan pemberi jasa pelayanan (provider) 3) Ketepatan pelayanan

c. Keluaran (Output), adalah seluruh akibat dari pelayanan kesehatan terhadap status kesehatan pasien dan masyarakat termasuk peningkatan dari pengetahuan pasien dan perubahan dari perilaku pasien yang berpengaruh terhadap status kesehatan juga derajat kepuasan pasien terhadap pelayana kesehatan.

2.3.3 Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan

Menurut Zeithmal dan Barry (2009) menyimpulkan bahwa terdapat 10 dimensi dalam mutu pelayanan yaitu :

a. Fasilitas fisik (tangible)

Dimensi ini menyangkut tersedianya fasilitas peralatan, sumber daya manusia dan materi-materi untuk komunikasi.

(17)

b. Keandalan (reability)

Dimensi ini menyangkut kemampuan untuk melaksanakan atau memberikan pelayanan dengan kualitas yang sama setiap waktu dan memberikan pelayanan secara akurat.

c. Responsivitas (responsiveness)

Dimensi ini mencakup keinginan petugas untuk membantu pelanggan /pasien dalam memberikan pelayanan yang diminta.

d. Jaminan (assurance)

Dimensi ini mencakup adanya jaminan dari petugas dan perusahaan/rumah sakit atau Puskesmas terhadap pelayanan yang diberikan kepada pelanggan atau pasien seperti pengetahuan dokter dalam menetapkan diagnosa penyakit, keterampilan dokter petugas lainnya dalam kepercayaan terhadap pelayanan.

e. Empati (empathy)

Dimensi ini mencakup kemampuan petugas untuk merawat dan memberikan perhatian kepada pelanggan/pasien dan keluarganya, seperti memperhatikan khusus kepada setiap pelanggan/pasien tanpa membedabedakan statusnya, serta perhatian terhadap semua keluhan pelanggan/pasien dan keluarganya.

f. Komunikasi (communication)

Dimensi ini mencakup keinginan untuk mendengar keluhan pasien dan menjaga agar pelanggan tetap mendapatkan informasi yang up to date dalam bahasa yang mudah.

(18)

g. Kredibilitas (credibility)

Dimensi ini mencakup dapat dipercaya oleh pelanggan/pasien. Mereka berkeyakinan atas pelayanan yang telah diberikan, akan memberikan hasil yang mereka berikan.

h. Kompetensi (competence)

Dimensi ini mencakup dimilikinya keterampilan dari petugasyang dibutuhkan dalam melaksanakan pelayanan.

i. Tata krama (courtesy)

Dimensi ini mencakup kemudahan untuk memperoleh petugas kesehatan yang selalu memberikan penghormatan terhadap pelanggan/pasien.

j. Akses (access)

Dimensi ini mencakup kemudahan untuk memperoleh karyawan dan kemudahan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam menerima pelayanan.

Brown dalam pohan (2007), Layanan kesehatan yang bermutu sering dipersepsikan sebagai suatu layanan kesehatan yang dapat memberikan apa saja yang kita inginkan atau dapat juga disebut sebagai kepuasan pasien/konsumen semata-mata. Namun setelah membaca penjelasan diatas, pengertian yang demikian menjadi kurang tepat. Pengertian yang lebih tepat untuk layanan kesehatan yang bermutu adalah suatu layanan kesehatan yang dibutuhkan, dalam hal ini akan ditentukan oleh profesi layanan kesehatan, dan sekaligus diinginkan baik oleh pasien/konsumen ataupun masyarakat serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Pada penjelasan terdahulu disebutkan bahwa mutu barang atau jasa itu bersifat multidimensi, demikian pula dengan mutu pelayanan kesehatan.

(19)

2.4 Pelayanan Kesehatan Mayarakat di Puskesmas 2.4.1 Pengertian Puskesmas

Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) adalah suatu organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Menurut Kemenkes RI (2010) Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerja (Effendi, 2011).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat menjelaskan bahwa Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.

Program layanan kesehatan yang diberikan Puskesmas merupakan pelayanan yang menyeluruh yang meliputi pelayanan kuratif (pengobatan), preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua penduduk

(20)

dengan tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur, sejak dari pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia (Effendi, 2011).

2.4.2 Tujuan Puskesmas

Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Trihono, 2005).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat menjelaskan bahwa pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang:

a. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat;

b. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu; c. Hidup dalam lingkungan sehat; dan

d. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

2.4.3 Fungsi Puskesmas

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat menjelaskan bahwa Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung

(21)

terwujudnya kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugas tersebut Puskesmas menyelenggarakan fungsi yaitu untu :

a. Penyelenggaraan UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat) ingkat pertama di wilayah kerjanya; dan

b. Penyelenggaraan UKP (Upaya Kesehatan Perseorangan) tingkat pertama di wilayah kerjanya.

Dalam menyelenggarakan fungsi untuk penyelenggara UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat) ingkat pertama di wilayah kerjanya, Puskesmas berwenang untuk:

a. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan;

b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;

c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan;

d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor lain terkait;

e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat;

f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia Puskesmas; g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;

h. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan cakupan pelayanan kesehatan; dan

(22)

i. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan penyakit.

Dalam menyelenggarakan fungsi sebagai penyelenggara UKP (Upaya Kesehatan Perseorangan) tingkat pertama di wilayah kerjanya, Puskesmas berwenang untuk:

a. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara komprehensif, berkesinambungan dan bermutu;

b. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif;

c. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat;

d. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan pasien, petugas dan pengunjung;

e. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prinsip koordinatif dan kerja sama inter dan antar profesi;

f. Melaksanakan rekam medis;

g. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses pelayanan kesehatan;

h. Melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan;

i. Mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan

j. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem rujukan.

(23)

Puskesmas memiliki wilayah kerja yang meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografi dan keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas. Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka Puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yang disebut Puskesmas pembantu dan Puskesmas keliling. Khusus untuk kota besar dengan jumlah penduduk satu juta jiwa atau lebih, wilayah kerja Puskesmas dapat meliputi satu kelurahan. Puskesmas di ibukota kecamatan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan Puskesmas Pembina yang berfungsi sebagai pusat rujukan bagi Puskesmas kelurahan dan juga mempunyai fungsi koordinasi (Effendi, 2011).

Menurut Trihono (2005) ada 3 (tiga) fungsi Puskesmas yaitu: pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan yang berarti Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Disamping itu Puskesmas aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program pembangunan diwilayah kerjanya. Khusus untuk pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan Puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pusat pemberdayaan masyarakat berarti Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam

(24)

memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk sumber pembiayaannya, serta ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan. Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat setempat. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama berarti Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggungjawab Puskesmas meliputi :

1. Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi (privat goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk Puskesmas tertentu ditambah dengan rawat inap.

2. Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat disebut antara lain adalah promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa masyarakat serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.

Ada beberapa proses dalam melaksanakan fungsi tersebut yaitu merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri, memberikan petunjuk kepada masyarakat

(25)

tentang bagaimana menggali dan menggunakan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien, memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada masyarakat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak menimbulkan ketergantungan memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat, bekerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan program Puskesmas.

2.4.4 Peran Puskesmas

Puskesmas mempunyai peran yang sangat vital sebagai institusi pelaksana teknis, dituntut memiliki kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke depan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan dalam bentuk keikutsertaan dalam menentukan kebijakan daerah melalui sistem perencanaan yang matang dan realistis, tata laksana kegiatan yang tersusun rapi, serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Pada masa mendatang, Puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu (Trihono, 2005).

Puskesmas mempunyai peran yang sangat vital sebagai institusi pelaksana teknis, dituntut memiliki kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke depan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan dalam bentuk keikutsertaan dalam menentukan kebijakan daerah melalui sistem perencanaan yang matang dan realistis, tata laksana kegiatan yang tersusun rapi, serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Pada masa mendatang, Puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait

(26)

upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu (Effendi, 2009).

2.5 Infeksi Menular Seksual (IMS)

2.5.1 PengertianInfeksi Menular Seksual (IMS)

Infeksi Menular Seksual ( IMS ) adalah infeksi yang sebagian besar menular lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular. Hubungan seks ini termasuk hubungan seks lewat liang senggama, lewat mulut (oral) atau lewat dubur (Kemenkes RI, Kemensos, BKKBN, 2005).

IMS juga sering disebut penyakit kelamin atau penyakit kotor. Namun itu hanya menunjukkan pada penyakit yang ada di kelamin. Istilah IMS lebih luas maknanya, karena menunjuk pada cara penularannya. Tanda-tandanya tidak selalu ada di alat kelamin. Tanda-tandanya juga ada di alat penglihatan, , mulut, saluran pencernaan, hati, otak dan bagian tubuh lainnya. Contohnya HIV/AIDS dan Hepatitis B yang menular lewat hubungan seks, tetapi penyakitnya tidak bisa dilihat dari alat kelaminnya. Artinya, alat kelaminnya masih tampak sehat meskipun orangnya membawa bibit penyakit-penyakit ini (Kemenkes RI, Kemensos, BKKBN, 2005).

2.5.2 Jenis Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS)

IMS ada banyak sekali jenisnya. Beberapa diantaranya yang paling penting adalah Gonorrea (GO) atau kencing nanah, Klamidia, Herpes kelamin, Sifilis atau raja singa, jengger ayam, Hepatitis dan HIV/AIDS. HIV/AIDS termasuk yang paling berbahaya, tidak bisa disembuhkan dan merusak kekebalan tubuh manusia untuk melawan penyakit apapun. Akibatnya orang menjadi sakit-sakitan dan banyak yang meninggal karenanya. Sementara Herpes sering kambuh

(27)

dan sangat nyeri kalau kambuh. Pada Herpes yang diobati cuma gejala luarnya saja tetapi bibit penyakitnya akan tetap hidup didalam tubuh selamanya. Hepatitis juga tidak bisa disembuhkan akan tetapi ada jenis herpes tertentu yang bisa dicegah dengan imunisasi (Lelyana, 2006).

2.5.3 Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS)

Pemerintah pada saat ini sudah membuat program penanggulangan IMS dan HIV/AIDS dikabupaten/kota, dimana ada 6 (enam) program yang dilaksanakan yaitu (1) program Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) sebagai upaya komunikasi perubahan perilaku (KPP) atau Behavior Change Communication (BCC), (2) Program kondom 100%, (3) Program penanganan IMS, (4) Program Harm Reduction, (5) Program Voluntary Conseling and Testing (VCT) yaitu jumlah dan mutu pelayanan dan konseling dan testing sukarela, (6) Program perawatan, pengobatan dan dukungan pada ODHA. Salah satu program tersebut yang juga merupakan kerjasama pemerintah dengan LSM yang sangat populer di seluruh Indonesia dan sampai saat ini terus dikembangkan adalah program pelayanan klinik IMS dan VCT (KPA Nasional, 2005).

Upaya pencegahan dan penanggulangan IMS di tingkat pelayanan dasar masih ditujukan kepada kelompok resiko tinggi berupa upaya pencegahan dan penanggulangan IMS dengan pendekatan penyediaan fasilitas pelayanan khusus. Saat ini ditemui hamabatan sosiobudaya yang sering mengakibatkan ketidaktuntasan dalam pengobatannya. Sehingga menimbulkan komplikasi IMS yang serius seperti kemandulan, keguguran dan kecacatan janin (Kemenkes RI, Depsos, BKKBN, 2005).

(28)

Pedoman penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Dirjen PP & PL (2012), tentang kriteria yang digunakan dalam pemilihan obat untuk IMS yaitu angka kesembuhan tinggi (sekurang-kurangnya 90 -95 % diwilayahnya), harga murah, toksisitas yang masih dapat diterima, diberikan dalam dosis tunggal, cara pemberian peroral dan tidak merupakan kontra Indikasi pada ibu hamil, atau ibu menyusui. Kebijaksanaan dalam upaya penanggulangan IMS dan HIV/AIDS sebagai berikut:

1. Meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektor termasuk kerjasama internasional dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam penanggulangan IMS dan HIV/AIDS.

2. Meningkatkan desentralisasi dengan pendekatan pelayanan kesehatan dasar. 3. Pencegahan adalah fokus utama dengan diintergrasikan perawatan, dukungan

dan pengobatan.

4. Memperkuat aspek manajemen dan aspek hukum dan perundangan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan IMS dan HIV/AIDS termasuk aspek perlindungan dan kerahasian dan aspek pencehagan deskriminasi/ stigmanisasi penderita IMS dan HIV/AIDS.

5. Mengintegrasikan kegiatan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS dengan penyakit lainnya antara lain tuberkulosis.

2.5.4 Strategi Pengendalian Infeksi Menular Seksual (IMS)

Epidemi IMS dan HIV AIDS yang mengancam kesehatan dan kehidupan generasi penerus bangsa, yang secara langsung membahayakan perkembangan sosial dan ekonomi serta keamanan negara. Oleh karena itu upaya pengendaliaannya harus dilakukan sebagai upaya penting dan merupakan program

(29)

yang dilakasnakan secara terkoordinir dengan melibatkan berbagai pihak serta dengan memobilisasi sumberdaya yang intensif dari seluruh lapisan masyarakat untuk mempercepat dan memperluas jangkauan program. Upaya pengendalian yang dilaksanakan antara lain yaitu :

1. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan seks yang beresiko, semata-mata hanya untuk memutuskan rantai penularan IMS dan HIV

2. Pelaksanaan kegiatan program pengendalian IMS, HIV/AIDS menggunakan standar, pedoman dan petunjuk teknis yang diberlakukan departemen kesehatan.

3. Layanan kesehatan terkait IMS dan HIV/AIDS tanpa diskriminasi dan menerapkan prinsip keberpihakan kepada pasien dan masyarakat.

4. Upaya pengendalian IMS dan HIV/AIDS harus menghormati harkat dan martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender

5. Upaya remaja dan masyarakat umum diselenggarakan melalui kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi guna mendorong kehidupan yang lebih sehat

6. Upaya pengendalian IMS dan HIV/AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan , membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian HIV/AIDS.

7. Upaya pengendalian IMS dan HIV/AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berprilaku resiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok

(30)

masyarakat yang rentan termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV/AIDS (KPA, FHI, 2009).

Menurut Raharjo (2005) dalam Mardin Purba (2009) faktor-faktor yang memperlambat upaya mengurangi resiko penyebaran PMS adalah kurangnya akses penderita IMS kesarana pelayanan kesehatan, waktu buka klinik dan lokasi yang tidak strategis, keterbatasan biaya dalam membeli kondom di apotik, toko lain atau klinik, kurangnya rasa percaya diri, staf klinik yang memiliki sikap negative terhadap kegiatan seks dan penggunaan alat kontrasepsi atau karena ada larangan.

Ada beberapa strategi yang telah menunjukkan dampaknya terhadap penularan IMS di masyarakat jika hal ini diterapkan dengan tepat. Ini harus termasuk penapisan dan pengobatan secepatnya dari kelompok berisiko tinggi. Orang yang berisiko tinggi terkena IMS dan penularan infeksi berikutnya yang belum menerima pelayanan harus dicapai dengan intervensi ini dan harus dimasukkan ke dalam model pelayanan. Akses yang adekuat dalam memberikan pelayanan pada kelompok risiko tinggi dan pasien lain diperoleh dengan memprioritaskan pelaksanaan jam buka klinik yang tepat. Strategi untuk perubahan perilaku berkesinambungan dapat menjelaskan secara eksplisit unsur-unsur yang berhubungan dengan IMS (contoh pengenalan gejala, pentingnya dapat pengobatan segera, pentingnya menyelesaikan pengobatan, pentingnya pengobatan pasangan, interaksi antara IMS dan HIV, dll) harus dikembangkan dan dilaksanakan (Kemenkes RI, USAID dan FHI, 2007).

Untuk memilih strategi mana yang akan diterapkan, maka harus melaksanakan pengkajian dan analisa dari kelompok sasaran yang akan dilayani.

(31)

Ada beberapa langkah-langkah yang dapat diikuti untuk melaksanakan hal tersebut:

1. Menilai banyaknya IMS, pada kelompok di mana yang mana akan diberikan pelayanan kesehatan. Setiap program intervensi yng dilakukan harus membuat pemetaan kelompok sasaran yang akan mereka layani dengan baik. Registrasi populasi harus dibuat untuk kelompok ini. Dan harus diperbaharui secara teratur setiap bulan.

2. Menganalisa kesempatan untuk melakukan tindakan pencegahan pada kelompok beresiko. Strategi dan kegiatan berikut ini telah menunjukan adanya dampak terhadap penularan IMS dimasyarakat, jika diterapkan dengan tepat. Intervensi yang paling tepat untuk pelayanan IMS adalah intervensi yang mempunyai sasaran untuk mengurangi waktu infektivitas dari IMS. Kemampauan pelayanan IMS untuk menerapkan masing-masing kegiatan intervensi ini akan tergantung pada sumber yang mereka miliki, dan tingkat efisiensi serta pengorganisasian yang bisa mereka capai.

3. Mengembangkan kebijakan pencegahan dan menerapkan prosedur yang berdasar pada hasil penilaian dan analisa.

4. Menciptakan tujuan pencegahan, yang berdasar pada data yang dikumpulkan oleh pelayanan IMS pada langkah penilaian, analisa dan pengembangan kebijakan pencegahan

5. Mengevaluasi kemajuan dari tujuan pencegahan dengan cara mengkaji keefektifan dan cakupannya secara teratur (Kemenkes RI, USAID dan FHI, 2007).

(32)

2.6 Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)

2.6.1 Pengertian Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)

Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan diklinik IMS mencakup: (a) Melaksanakan kegiatan pencegahan seperti promosi kesehatan mengenai perilaku seks yang aman, (b) Melaksanakan pelayanan yang ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi, (c) Memberikan layanan pemeriksaan dan pengobatan bagi mereka yang telah tertular IMS, (d) Melaksanakan kegiatan penapisan untuk IMS Asintomatic bagi semua populasi yang beresiko secara rutin sedikitnya sekali setiap 3 ( tiga ) bulan, (e) Memberikan layanan konsling, pemeriksaan, dan pengobatan bagi pasangan tetap klin pekerja seks melalui sistem partner notification, (f) Menjalankan sistem monitoring dan surveilens, (g) Memberikan layanan KIE tentang mitos penggunaan obat-obat bebas untuk mencegah atau mengobati IMS (KPA Nasional, 2005 )

Maksud dan tujuan dari layanan IMS adalah untuk menjalankan fungsi kontrol dan menekan penyebaran IMS pada PSK perempuan, Pria, Waria, pelanggan PSK, dan pasangan seks tetapnya. (KPA Nasional, 2005).

2.6.2 Standar Minimum Klinik IMS

Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Klinik IMS yang dikembangkan melalui kerjasama Kemenkes RI, USAID dan Family Health International (2007) menyebutkan bahwa struktur di dalam klinik IMS harus mempunyai fungsi seperti hal berikut ini :

a. Ruang tunggu dan registrasi; b. Ruang pemeriksaan;

(33)

c. Laboratorium untuk memfasilitasi secepatnya diagnosa dan pengobatan pada pasien, sebaiknya ruang pemeriksaan dan laboratorium berdampingan tetapi dipisahkan dengan sebuah horden atau sekat;

d. Ruang pengobatan dan konseling. Setiap bangunan klinik harus dipelihara dengan baik untuk mendapatkan lingkungan yang nyaman, aman, dan hygienis. Setiap klinik harus memelihara peralatan kliniknya dalam keadaan bekerja dengan baik. Setiap waktu kewaspadaan universal untuk mencegah penularan infeksi melalui darah dan indikator lain untuk mengendalikan infeksi harus diterapkan.

Standar minimum klinik IMS telah dikembangkan untuk memperbaiki kualitas diagnosis dan pengobatan IMS secara keseluruhan. Dalam pelaksanaannya setiap klinik IMS harus sesuai dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Kegiatan pencegahan seperti promosi kesehatan mengenai perilaku seksual yang aman;

b. Pelayanan ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi; c. Kelompok inti misalnya pekerja seks, IDU;

d. Kelompok “penghubung” pelanggan mereka;

e. Pelayanan yang efektif yaitu pengobatan secepatnya bagi orang dengan gejala IMS;

f. Program penapisan dan pengobatan secepatnya untuk IMS dan yang tanpa gejala pada kelompok resiko tinggi yang menjadi sasaran;

g. Program penatalaksanaan mitra seksual; h. Sistem monitoring dan surveilen yang efektif;

(34)

i. Jika sebagai model klinik untuk klinik-klinik yang ada disekitarmya harus berusaha untuk melaksanakan pelayanan klinik IMS yang sama, dengan memberikan pelatihan yang sesuai pada klinik-klinik tersebut,\

j. Bentuk pelayanan IMS dan promosi yang diberikan harus berdasarkan pada pengetahuan dari kelompok sasaran dalam kebiasaannya mencari pengobatan (Kemenkes, USAID, FHI 2007).

2.6.3 Petugas Kesehatan di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)

Setiap klinik harus mempunyai staf yang ramah, client-oriented, tidak menghakimi dan dapat menjaga konfidensialitas atau kenyamanan dan kerahasiaan serta dapat melakukan fungsi-fungsi berikut ini dengan baik yaitu dalam hal :

1) Administrasi klinik, registrasi pasien, pencatatan dan pelaporan;

2) Anamnesis kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual, pemeriksaan fisik dan pengobatan;

3) Laboratorium berdasarkan tes diagnostik; 4) Konseling;

5) Memilihara standar klinik untuk penatalaksanaan IMS (Kemenkes RI, USAID, FHI 2007).

2.6.4 Pengelolaan Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)

Pengelolaan klinik infeksi menular seksual (IMS) mencakup hal-hal sebagai berikut, yaitu :

1. Pengelolaan Syndrom yang Disempurnakan (Enhanced Syndromic Management)

(35)

Semua klinik harus dapat menerapkan “Pengelolaan Syndrom yang disempurnakan” untuk IMS yang mencakup:

(a) Anamnesis kesehatan seksual yang baik;

(b) Pemeriksaan fisik yang benar dan adekuat (termasuk spekulum dan pemeriksaan bimanual dari saluran reproduksi pasien wanita, dan pemeriksaan rektum jika ada indikasi);

(c) Pemeriksaan laboratorium yang secepatnya, supaya hasil pemeriksaan tersedia sebelum pasien meninggalkan klinik;

(d) Pengobatan segera, langsung dan tepat, konseling dan tindak lanjutnya bagi setiap pasien.

2. Standar Pengobatan

Semua klinik harus mengelola IMS menurut “Prosedur Tetap Penatalaksanaan Penderita Penyakit Menular Seksual dengan Pendekatan Sindrom dan Laboratorium‟ yang diterbitkan oleh PPM&PLP (2004), atau terbitan revisi lanjutannya.

3. Obat-obatan dan bahan habis pakai

Semua klinik harus tetap menjaga adanya pengadaan obat-obatan utama yang dibutuhkan untuk pengobatan IMS yang tepat (seperti dalam „standar pengobatan‟), atau memiliki akses untuk obat-obatan ini melalui apotik setempat atau sumber lainnya. Pengadaan obat-obatan ini di klinik harus dijaga dengan seksama untuk memastikan adanya persediaan yang cukup dan berkesinambungan. Semua obat-obatan dan bahan habis pakai harus disimpan dengan tepat dan tidak melampui tanggal kadaluwarsanya. Semua klinik yang memberikan pengobatan antibiotik, khususnya melalui injeksi. intramuskular,

(36)

harus mempunyai perlengkapan yang cukup dan siap untuk menangani reaksi alergi atau anafilaktik.

4. Peralatan Klinik.

Setiap klinik harus menjaga agar peralatan klinik dalam keadaan bekerja dengan baik (Kemenkes RI, USAID dan FHI, 2007).

2.6.5 Strategi Dasar Intervensi Khusus untuk Klinik IMS di Indonesia Strategi dasar intervensi khusus untuk klinik IMS di Indonesia, dapat dilakukan melalui hal-hal berikut ini :

1. Kurangi waktu infektifitas untuk mencegah penularan dan komplikasi lebih lanjut melalui deteksi dini (penemuan kasu) dan pengobatan.

Tindakan intervensi yang dilakukan diantaranya yaitu :

(a) Penemuan kasus secara aktif melalui penapisan, pengawasan dan notifikasi pasangan;

(b) Memperbaiki akses yang efektif pada perawatan medis mencakup biaya, mutu, lokasi dan wakt;

(c) Meningkatkan kepekaan terhadap IMS dengan memperbaiki pengetahuan tentang gejala dan kebiasaan untuk mencari perawatan kesehatan;

(d) Enhanced Syndromic Management dari IMS misalnya memperpendek atau hilangkan waktu tunggu antara kunjungan keklinik IMS sampai pengobatan IMS.

2. Kurangi terkenanya infeksi dari orang yang rentan jika terpapar dengan mengurangi efisiensi penularan perpaparan.

Tindakan intervensi yang dilakukan diantaranya yaitu : (a) Tingkatkan penggunaan kondom;

(37)

(b) Kurangi praktek seksual yang beresiko misalnya hubungan seks melalui anal tanpa perlindungan;

(c) Kurangi faktor pendamping yang kritis misalnya obati IMS untuk mengurangi HIV;

(d) Promosi kebersihan alat genital misalnya mencuci sebelum dan sesudah berhubungan seksual.

3. Kurangi paparan dari orang yang rentan terhadap orang yang terinfeksi melalui modifikasi perilaku dari orang yang rentan, orang yang diketahui tekena infeksi dan perilaku orang yang berpotensi untuk terkena infeksi.

Tindakan intervensi yang dilakukan antara lain yaitu :

(a) Promosikan penundaan kegiatan seksual atau mengurangi angka pertukaran pasangan;

(b) Promosikan tes secara meluas seperti konseling dan tes HIV secara sukarela;

(c) Kembangkan dan promosikan pesan media dengan target orang yang terkena atau berpotensi terkena infeksi untuk melindungi pasangannya; (d) Promosikan kesehatan dan kebersihan alat genital;

(e) Kurangi paparan pada masyarakat yang melakukan seksual beresiko sangat tinggi dan ciptakan upaya-upaya pencegahannya (Kemenkes RI, USAID, FHI 2007).

(38)

2.7 Lelaki Seks Lelaki (LSL)

2.7.1 Pengertian Lelaki Seks Lelaki (LSL)

Terminologi Men Who Have Sex With Men atau MSM dimaksudkan untuk menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, tanpa memandang identitas seksual mereka. Ini digunakan karena hanya sejumlah kecil dari laki-laki terlibat dalam perilaku seks sesama jenis yang didefinisikan sebagai gay, biseksual atau homoseksual tetapi lebih tepat rnengidentifikasi diri menggunakan identitas dan perilaku lokal sosial dan seksual. Mereka tidak menganggap hubungan seksual mereka dengan laki-laki lain dalam terminologi identitas atau orientasi seksual. Banyak yang berhubungan seks dengan laki-laki mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual bukannya homoseksual atau biseksual, terutama bila mereka juga berhubungan seks dengan perempuan, menikah, hanya memainkan peran sebagai pihak yang penetratif dalam anal seks, dan/atau berhubungan seks dengan laki-laki demi uang atau kesenangan. LSL termasuk juga berbagai kategori dari laki-laki yang dapat dibedakan menurut pengaruh dari variabel seperti:

1. Identitas seksual mereka, tanpa memandang perilaku seksual (gay, homoseksual, heteroseksual, biseksual, dan transgender, atau persamaannya, dan identitas lain).

2. Penerimaan dan keterbukaan mereka akan identitas seksual mereka yang bukan mainstream (terbuka atau tertutup).

(39)

4. Alasan mereka memilih pasangan seksual tersebut (alami, pemaksaan atau tekanan, motivasi komersial, kesenangan atau rekreasi, dan/atau karena keberadaan di lingkungan yang semuanya laki-laki)

5. Peran mereka dalam praktik khusus (penetratif, reseptif, atau keduanya). 6. Identitas terkait gender mereka, peranan dan perilaku (laki-laki atau

perempuan, maskulin atau feminin/effeminate, bersebrangan pakaian (cross-dressing) atau berpakaian sesuai gender.

Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki menjadi terminologi yang populer dalam konteks HIV dan AIDS dimana ia digunakan karena menggambarkan perilaku yang menempatkan mereka dalam risiko terinfeksi. Telah menjadi perdebatan bahwa terminologi tersebut terlalu terfokus pada perilaku seksual dan tidak mencukupi pada aspek lain seperti emosi, hubungan, dan identitas seksual diantara mereka yang juga merupakan determinan dari infeksi. Beberapa organisasi dan individu lebih suka memakai teriminologi laki- laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, karena ia menunjukkan kelompok yang lebih luas dari sejumlah individu yang berhubungan seks dengan pasangan lain dari kelamin yang sama. Khususnya, ia tidak mempunyai batasan pada umur yang ditunjukkan dengan kata ”laki-laki”, dan karenanya termasuk juga anak-anak lelaki yang saling berhubungan seks dan juga hubungan seks antara laki-laki dewasa dengan anak lelaki (Demartoto, 2010).

(40)

2.7.2 Karakteristik Lelaki Seks Lelaki (LSL) LSL dapat termasuk yang berikut ini :

1) Laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan laki-laki lain. 2) Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain tapi sebagian besarnya

berhubungan seks dengan perempuan.

3) Laki-laki yang berhubungan seks baik dengan laki-laki maupun perempuan tanpa ada perbedaan kesenangan.

4) Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain untuk uang atau karena mereka tidak mempunyai akses untuk seks dengan perempuan, misalnya di penjara, ketentaraan.

Beberapa laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual atau biseksual kadang-kadang berhubungan seks dengan laki-laki untuk kesenangan, biasanya karena sulit mengakses perempuan. Sebagian laki-laki dapat berhubungan seks terutama dengan LSL transgender tanpa mengidentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual, terutama karena LSL transgender tidak dianggap sebagai laki-laki dalam kontek budaya mereka.

Ada sejumlah laki-laki yang lebih suka pada perempuan tapi berhubungan seks dengan laki-laki karena akses yang sangat terbatas kepada perempuan. Ini bisa disebabkan karena masyarakat yang konservatif yang dengan ketat membatasi segregasi antara laki-laki dan perempuan, atau berada pada lingkungan yang seluruhnya laki-laki dalam waktu yang lama, seperti di penjara, lingkungan militer, lingkungan buruh migran laki, dan institusi pendidikan khusus laki-laki. Karena sulit mengakses perempuan, laki-laki harus menyalurkan kebutuhan

(41)

seksual mereka dengan laki-laki lain, tanpa membuat mereka mengidentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual.

Banyak pekerja seks laki-laki di Asia sering mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual dan berhubungan seks dengan laki-laki terutama untuk mendukung mereka serta keluarganya. Mereka seringkali menikah atau mempunyai pacar perempuan atau pasangan seks perempuan. Namun ada juga sejumlah pekerja seks laki-laki yang benar mengindentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual dan berhubungan seks hanya dengan laki-laki.

Beberapa laki-laki lebih senang berhubungan seks hanya dengan laki-laki tapi tekanan untuk menikah dan membina keluarga membuat mereka berhubungan seks dengan perempuan. Sebagian lebih dengan laki-laki tetapi tidak menolak perempuan dan sebaliknya. Yang lain lebih senang berhubungan seks hanya dengan perempuan tetapi harus berhubungan seks denga laki-laki karena uang atau karena mereka tidak bisa mendapat akses ke perempuan. Posisi yang ambivalen dari individu transgender laki-laki perempuan menambah dimensi lain dari skenario ini (Demartoto, 2010).

(42)

2.8 Kerangka Teoritis Penelitian

Persepsi terhadap kerentanan dan keparahan penyakit, pertimbangan manfaat dan biaya melakukan tindakan kesehatan serta isyarat untuk bertindak dipengaruhi oleh :

a. Variabel demografi yaitu, usia, jenis kelamin, pekerjaan, latar belakang budaya.

b. Variabel sosio-psikologis yaitu kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial. c. Variabel struktural yaitu pengetahuan dan pengalaman masalah.

Health Belief Model (HBM) mencakup 4 (empat) komponen utama (Becker and Lewin, 1974), yaitu:

1. Percieved Susceptibility (Kerentanan yang dirasakan)

Merupakan persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit. Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Seseorang akan bertindak untuk mencegah penyakit bila ia merasa bahwa sangat mungkin terkena penyakit tersebut. Kerentanan yang dirasakan setiap individu berbeda tergantung persepsi tentang risiko yang dihadapi individu pada suatu keadaan tertentu.

2. Percieved Severity/Seriousness (Keseriusan/keparahan yang dirasakan) Merupakan pandangan individu tentang beratnya penyakit yang diderita. Pandangan ini mendorong seseorang untuk mencari pengobatan atas penyakit yang dideritanya. Keseriusan ini ditambah dengan akibat dari suatu penyakit misalnya, kematian, pengurangan fungsi fisik dan mental, kecacatan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial.

(43)

3. Percieved Benefit and Barriers (Persepsi manfaat dan hambatan-hambatan yang dirasakan)

Individu akan mempertimbangkan apakah alternatif itu memang bermanfaat dapat mengurangi ancaman penyakit, persepsi ini juga berhubungan dengan ketersediaan sumber daya sehingga tindakan ini mungkin dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari kelompoknya. Sementara persepsi rintangan (barriers) adalah persepsi terhadap biaya/aspek negatif yang menghalangi individu untuk melakukan tindakan kesehatan, misalnya mahal, bahaya, pengalaman tidak menyenangkan, rasa sakit.

4. Cues to Action (Isyarat untuk bertindak)

Ada faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut, isyarat dapat bersifat:

a) Internal, isyarat untuk bertindak yang berasal dari dalam diri individu, misal gejala yang dirasakan.

b) Eksternal, isyarat untuk bertindak yang berasal dari interaksi interpersonal, misal media massa, pesan, nasehat, anjuran, atau konsultasi dengan petugas kesehatan.

5. Kemampuan bertindak.

Kemampuan bertindak adalah kecendrungan untuk bertindak atau praktik. Untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.

(44)

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa health belief model adalah model kognitif yang menjelaskan dan memprediksi health behavior apa yang akan dilakukan dengan fokus pada belief individu akan percieved seriousness, percieved suspectibility, precieved benefits and barriers, dan cues to action.

Berdasarkan landasan teori tersebut maka kerangka teoritis dalam penelitian ini adalah :

(45)

2.9 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka teori diatas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini ialah :

Skema 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel demografis seperti umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan status perkawinan, serta variabel karakteristik LSL seperti mulai menjadi LSL, jumlah pasangan seksual yang dimiliki dan intensitas hubungan seksual dengan Variabel Demografis :

Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Pendapatan, dan

Status Perkawinan Kerentanan yang dirasakan terhadap infeksi penyakit menular seksual Keseriusan yang dirasakan terhadap infeksi penyakit menular seksual Manfaat dan hambatan yang dilihat dari pengambilan tindakan terhadap pemanfaatan layaan kesehatan Pemanfaatan layanan Puskesmas oleh LSL di Klinik IMS Puskesmas Teladan Medan Tahun 2016 Isyarat untuk bertindak : media massa, nasehat dari petugas kesehatan, teman, pasangan seksual Kemungkinan mengambil tindakan yang tepat

untuk pemanfaatan layaan kesehatan Variabel Karakteristik LSL : Mulai Menjadi LSL, Jumlah

Pasangan Seksual yang Dimiliki, dan Intensitas Hubungan Seksual

(46)

pasangan seksual berpengaruh pada variabel persepsi kerentanan yang dirasakan, persepsi keseriusan yang dirasakan, serta persepsi manfaat dan hambatan yang dirasakan. Apabila responden telah mengetahui manfaat dan hambatan yang dilihat dari pengambilan tindakan terhadap pemanfaatan layanan kesehatan maka akan adanya kemungkinan mengambil tindakan yang tepat untuk memanfaatkan layanan kesehatan di klinik IMS Puskesmas. Faktor isyarat bertindak mempengaruhi keseriusan yang dirasakan tehadap kejadian IMS. Dari semua variabel yang diukur dihubungkan dengan pemanfaatan layanan Puskesmas oleh LSL di Klinik IMS Puskesmas Teladan Medan tahun 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga dapat diatakan bahwa kepuasan pelanggan terhadap kinerja guru lulusan (outcome) respon atau tanggapan perasaan pelanggan setelah menerima layanan pendidikan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan oven gelombang mikro (oven microwave) dengan berbagai tingkat daya waktu terhadap mortalitas serangga Sitophilus zeamais

Namun dalam penyajian laporan sisa hasil usaha Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Swadaya Medika RS.Mohammad Hoesin Palembang belum memisahkan antara beban

Lingkungan eksternal merupakan situasi dan kondisi yang berada di luar perusahaan yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja

Berdasarkan hasil penelitian Marwata (2001) menguji perbedaan kinerja dan tingkat kemahalan harga saham antara perusahaan yang melakukan pemecahan saham dengan

Selain dari faktor kualitas layanan perusahaan juga harus melihat Risiko yang dirasakan yang menjadi faktor untuk mempertimbangkan penggunaan Go-Mobile dengan

untuk mengatur hanya user tertentu saja yang dapat mengakses data sesuai dengan yang dibutuhkan.  Level Sistem

- Pengumpulan data yang terkait dengan penjadwalan produksi yaitu jenis produk, jenis mesin yang digunakan, urutan pekerjaan, waktu produksi, jumlah permintaan