• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels Aspek botanis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels Aspek botanis"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels Aspek botanis

Taxus sumatrana termasuk ke dalam genus Taxus, famili Taxaceae dan

sub-divisi Gymnospermae. Di dunia internasional Taxus sumatrana dikenal dengan nama Sumatran yews atau Cemara sumatra. Habitus dari tanaman ini berbentuk semak sampai pohon dengan tinggi bisa mencapai 30 m. Daun berbentuk elip-lanset, berwarna hijau zaitun dengan ukuran panjang 1,8 – 3,0 cm, lebar 2.0 – 2.5 mm, dan tebal 200 – 275 µm. Warna kulit batang merah keabu-abuan dengan tebal kulit 0,5-0,8 cm. Bunga kerucut jantan biasanya tidak terlihat, sedangkan bunga kerucut betina berbentuk subsilindris dengan panjang 2 mm, lebar 1 mm. Buah berbentuk kerucut kaku dengan panjang 4 mm dan lebar 3 mm, mengerucut dari tengah ke puncak. Seluruh genus Taxus dikenal sebagai jenis yang berumur panjang bahkan pohon tertua di daratan Eropa dengan umur diperkirakan 3.000 – 4.000 dan berdiameter lebih dari 4 meter adalah Taxus

baccata (Spjut 2003).

Hampir semua jenis Taxus berumah dua (dioceous) hanya Taxus

canadensis merupakan tumbuhan berumah satu (monoceous). Bunga berukuran

kecil dan soliter dan tumbuh dari tunas aksilar. Kuncup bunga betina terdiri dari ovul tunggal yang dikelilingi oleh 5 kelopak bunga. Antesis diindikasikan dengan terdapatnya mikropolar pada oval yang terbuka, yang selanjutnya akan berkembang menjadi benih. Kuncup bunga jantan biasanya mengelompok di sepanjang bagian bawah percabangan. Bunga jantan memiliki 14 stamen, masing-masing dengan 5-9 mikrosporangia atau kantung polen. Polinasi terutama dilakukan oleh angin.

Sampai dengan saat ini tidak banyak informasi yang dapat diperoleh mengenai Cemara sumatra yang tumbuh di Indonesia baik dari segi ekologi maupun silvikultur. Gambar 1 berikut memperlihatkan pohon, batang dan daun Cemara sumatra yang ditanam di Kebun Raya Cibodas.

(2)

Gambar 1 Pohon, batang, dan daun Cemara sumatra.

Penyebaran, tempat tumbuh dan status ekologi

Cemara sumatra tumbuh di hutan sub tropis lembab dan hutan hujan pegunungan. Penyebaran alami jenis ini mencakup wilayah Afganistan, Tibet, Nepal, Bhutan, Burma, Vietnam, Taiwan dan Cina. Di Indonesia, Cemara sumatra tumbuh secara alami sebagai sub kanopi di hutan pegunungan ataupun punggung pegunungan di Pulau Sumatera dan Sulawesi pada ketinggian 1.400 – 2.300 mdpl (Spjut 2003). Di Taiwan, jenis ini dikenal sebagai jenis konifer yang terancam punah dengan pola penyebaran yang terpencar mengelompok (Huang et

al. 2008). Untuk Cemara sumatra yang tumbuh di Indonesia sampai dengan saat

ini belum dilaporkan adanya publikasi ilmiah aspek ekologi yang komprehensif tentang jenis ini. Adapun penyebaran jenis ini di Indonesia seperti terlihat pada Gambar 2.

Koleksi pribadi, 2006

(3)

Gambar 2 Penyebaran Cemara sumatra di Indonesia. (Sumber: http://www.conifer.org)

Keterangan : Titik merah mengindikasikan wilayah penyebaran Cemara sumatra di Indonesia

Produk perdagangan dalam dunia tumbuhan obat terdiri dari berbagai komoditas mulai dari bahan baku mentah (akar, kulit batang, daun dll) sampai dengan hasil ekstrak atau produk farmasi akhir yang sudah dikemas. Ekstrak Taxus baik berupa bahan kimia mentah, setengah dimurnikan atau senyawa aktif yang sudah dikemas dan siap dikonsumsi merupakan bentuk produk yang diperdagangkan luas di dunia. Tambahan anonasi #10 pada Apendix II CITES untuk Taxus sumatrana berimplikasi terhadapa mekanisme perdagangannya yaitu pelarangan perdagangan segala bagian pohon dan turunannya, kecuali biji dan produk farmasi akhir siap konsumsi (CITES 2007). Dengan demikian, pemenuhan bahan baku dalam pembuatan Taxol bertumpu hanya pada dua pilihan utama yaitu pembangunan hutan tanaman dan pemanfaatan bioteknologi dalam sintesis senyawa Taxol (kultur suspensi sel, kultur rambut akar, pemanfaatan kapang endofitik, teknik fermentasi sel tanaman).

Keragaman Genetik

Tingkat keragaman individu dalam populasi maupun antar populasi secara tidak langsung menggambarkan status keberadaan suatu jenis di alam. Tingkat keragaman yang rendah mengindikasikan penurunan dalam populasi efektif di alam akibat terjadinya inbreeding. Dalam hal ini, populasi dengan tingkat

(4)

keragaman genetik yang tinggi mempunyai peluang hidup yang lebih baik karena mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut Finkeldey (2005), keragaman genetik adalah suatu besaran yang mengukur variasi fenotype yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik.

Keragaman genetik dapat dibagi menjadi keragaman genetik di dalam populasi dan antar populasi dimana masing-masing memiliki besaran/parameter pengukuran. Keragaman genetik dalam populasi biasanya diukur dengan polimorfisme atau persentase lokus polimorfik, rata-rata jumlah alel per lokus, keragaman gametik, keragaman genetik dan rata-rata tingkat heterozigositas. Keragaman antar individu dalam suatu jenis merupakan hal yang penting karena keragaman materi genetik yang berbeda tersebut akan menggambarkan perbedaan tingkat adaptasi individu di dalam suatu jenis terhadap dinamika kondisi lingkungannya. Individu-individu dalam generasi tertentu yang memiliki tingkat adaptasi tinggi terhadap lingkungannnya akan mampu bertahan hidup dan menghasilkan individu-individu turunan untuk generasi selanjutnya. Keragaman genetik antar populasi dihitung dengan menggunakan parameter jarak genetik, diferensiasi, pengelompokan keragaman genetik, dan analisa gerombol (Hattemer 1991 dalam Siregar 2000; Yeh 2000)

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

Penanda genetik RAPD merupakan metode yang mendeteksi polimorfisme DNA dengan hasilnya berupa ada atau tidaknya amplifikasi di dalam sebuah lokus yang ditandakan dengan terbentuk atau tidaknya pita-pita DNA. Pada level genotipe, RAPD merupakan penanda dominan. DNA yang digunakan dalam teknik RAPD ini bisa DNA dari posisi manapun baik DNA inti, DNA kloroplas maupun DNA mitokondria. RAPD menggunakan prinsip kerja mesin PCR dan pertama kali digunakan dan dikembangkan oleh William et al. (1990) dengan menggunakan primer tunggal atau sekuen nukleotida pendek (10-20 mer) yang susunan basanya dibuat secara acak (Glaubitz & Moran 2000). Teknik RAPD banyak dipilih untuk menganalisis keragaman genetik dengan berbagai alasan antara lain tidak membutuhkan latar belakang pengetahuan tentang genom yang

(5)

akan dianalisis, tersedianya primer yang secara universal dapat digunakan untuk organisme prokariot maupun eukariot, mampu menghasilkan karakter yang relatif tidak terbatas jumlahnya, bahan-bahan yang digunakan relatif lebih murah, mudah dalam preparasi, dan relatif cepat memberikan hasil (Weissing et al. 1995).

Pemilihan teknik RAPD dalam menganalisis keragaman genetik telah dilakukan pada beberapa jenis Taxus diantaranya adalah Taxus bacata, Taxus

canadensis dan Taxus brevifolia. Teknik RAPD berhasil mendeteksi keragaman

klonal dalam populasi, struktur populasi, diferensiasi dan dinamika genetik populasi, serta mendeteksi pengaruh persilangan resiprokal terhadap terbentuknya kultivar/hybrid baru (Hilfiker et al. 2004; Collins et al. 2003). Meskipun teknik ini semakin berkembang dan banyak digunakan untuk analisis genetik pada berbagai jenis dalam genus Taxus namun sampai saat ini belum ada laporan penelitian mengenai penggunaan teknik RAPD untuk analisa genetik Cemara sumatra yang tumbuh di Indonesia.

Sistem Perbanyakan Vegetatif Stek

Didapatnya teknik perbanyakan yang paling sesuai terutama untuk jenis-jenis yang terancam punah dapat menjadi salah satu kontribusi yang sangat penting dalam upaya pelestarian jenis tersebut. Dari berbagai teknik perbanyakan yang ada, penyetekan merupakan metode yang paling populer dalam memperbanyak tanaman secara vegetatif (Maden 2003). Adapun menurut Balitbanghut (2007), beberapa alasan digunakannya perbanyakan vegetatif antara lain adalah : a) Memperoleh keturunan dari pohon induk yang memiliki keunggulan genetik. Hal ini berkaitan erat dengan program pemuliaan dari suatu jenis; b) Sulitnya mendapatkan pasokan benih suatu jenis; dan c) Perbanyakan vegetatif dinilai akan lebih efisien untuk diterapkan pada jenis-jenis tertentu.

Umumnya perbanyakan vegetatif jenis-jenis Taxus dilakukan dengan penyetekan. Persentase berakar cukup bervariasi antar kultivar atau antar jenis tergantung dari suhu, sistem dan mekanisme penyemprotan (misting), serta penggunaan hormon tumbuh seperti IBA atau NAA. Hasil pengamatan Echer (1988) dalam Kulkarni (2000) terhadap beberapa jenis Taxus diperoleh persentase berakar antara 63-100% sedangkan Chee (1995) dalam Kulkarni (2000)

(6)

melaporkan stek batang Taxus cuspidata yang diperlakukan dengan larutan IBA 0,2% + NAA 0,1% + Thiamine 0,08% memiliki persentase berakar 73,5%. Namun demikian tingkat keberhasilan stek berakar untuk jenis Taxus wallichiana sangat kecil yaitu 20-30% dengan waktu pembentukan akar yang panjang yaitu 3 bulan.

Penyetekan di rumah kaca pada kondisi ternaungi dengan suhu lapisan bawah polibag yang dikondisikan pada 21 oC dan kelembaban yang tinggi cukup berhasil untuk Taxus brevifolia, Taxus canadensis, Taxus globosa dan Taxus

floridana. Adapun sumber bahan stek adalah anakan alam yang berumur 1-2

tahun, panjang stek 10 - 20 cm, dan pencelupan dengan hormone IBA berkonsentrasi 5.000 – 10.000 ppm. Media yang digunakan adalah campuran

spaghnum peat moss, vermikulit kasar dan perlite atau pasir (Vance & Rudolph

2000).

Penelitian yang cukup menyeluruh dan intensif mengenai teknik penyetekan pada Taxus telah dilakukan untuk jenis Taxus canadensis. Pada jenis ini terindikasi bahwa penyetekan dapat dilakukan pada setiap musim namun biaya dan keberhasilan berakar stek bervariasi untuk tiap musimnya. Penyetekan dengan bahan stek dari pucuk yang tidak dorman dan masih aktif melakukan pemanjangan (bulan Mei-Juli) dapat menjadi sangat problematik karena bahan stek mudah pecah dan sulit dalam mempertahankan suhu dan kisaran kelembaban dalam rumah kaca selama musim panas. Bahan stek pada berbagai ukuran hampir semuanya mampu berakar, ukuran bahan stek yang dipilih lebih pada pertimbangan tipe dan ukuran kontainer atau polibag yang digunakan. Untuk kontainer persemaian berukuran 65 cm2 dengan masa tumbuh stek di rumah kaca sekitar 1 tahun maka ukuran panjang bahan stek yang direkomendasikan adalah 7,5 - 10 cm. Perakaran yang baik tumbuh tepat diatas nodul sehingga pemotongan bahan stek diatas nodul akan lebih baik dibandingkan pada bagian antar nodul.

Dibutuhkan waktu sekitar 12-16 minggu agar bahan stek membentuk kalus dan mulai membentuk perakaran. Suhu rumah kaca pada siang hari dipertahankan pada 22-25 oC dan 18 oC pada malam hari pada awal pembentukan akar. Untuk mempertinggi kemampuan berakar dilakukan pencelupan bahan stek ke dalam

(7)

IBA 0,8% bentuk serbuk. Sebaiknya dibuatkan lubang tanam terlebih dahulu pada media tumbuh untuk mengurangi pecah atau luka bahan stek. Bahan stek ditanamkan dengan kedalaman minimal 3,0 cm - 4,0 cm, media di sekitarnya dipadatkan dan pH media dipertahankan pada 5,5 cm - 6 cm (Yeates et al. 2005).

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan berakar stek. Salah satu faktor yang sangat signifikan untuk keberhasilan berakar adalah juvenilitas bahan stek dimana stek yang berasal dari ortet muda memiliki nilai persentase berakar lebih tinggi yaitu 70,8%, sedangkan stek dari ortet tua memiliki nilai persentase berakar 48,6 % (Mitchell 1997).

Meskipun telah dilaporkan beberapa upaya dan keberhasilan perbanyakan jenis-jenis Taxus melalui perbanyakan dengan stek, namun hingga saat ini belum ada publikasi ilmiah hasil penelitian yang serupa terhadap jenis Cemara sumatra.

Gambar

Gambar 1  Pohon, batang, dan daun Cemara sumatra.
Gambar 2  Penyebaran Cemara sumatra di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Program Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1 kependidikan agar menguasai kompetensi guru

Industri membangun jejaring lini produksi dan unsur penunjangnya di wilayah hulu bahan baku melalui pendirian miniplant, untuk menghasilkan produk semi jadi, baik dilakukan sendiri

Graf disini digunakan bukan untuk mencari alur tercepat dalam penyusunan dan eksekusi materi dan metode dalam kaderisasi, tetapi digunakan agar hasil akhir yang diharapkan

Identifikasi Mutu Fisik Beras dengan Menggunakan Teknologi Pengolahan Citra Digital dan jaringan Syaraf Tiruan.Jurnal pasca panen 10:2 hal 95-103. Badan Litbang pertanian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan mengoptimalkan temperatur pada deaerator untuk membantu mengurangi beban

pembelajaran kooperatif tipe NHT dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi garis dan sudut di kelas VII SMP Kristen Bala Keselamatan Palu. Desain penelitian

Perlakuan jahe merah dan pengeringan bahan 2 jam memiliki karakteristik terbaik, dengan total fenol yaitu 88,36 mg/kg, kandungan antioksidan yaitu 112,22 mg/kg GAEAC,

Telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tanggal, Oktober