INTENSI KOMPLAIN KONSUMEN DITINJAU DARI SIKAP ASERTIVITASNYA
Anne Fatma
Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Sahid Surakarta
Email : annefatma2011@yahoo.com
Abstract
Consumers complain is disappointing expression toward industry. This research aimed to find the correlation between assertively and consumers complain intensity. The hypothesis is to find correlations between assertively and consumers complain intensity of students. The population is students who stay in Yogyakarta. The sample is taken with random sampling, the collecting data methods used assertively scale and consumers complain intensity scale. The data analysis with product moment analysis shows that there is significant correlation between assertively and consumers complain intensity. The result is r=0.734 and p=0.000 (p<0.01), that means there are positive correlation between assertively and consumers complain intensity; more assertively and doing so consumers complain intensity. The assertively aspects can be good predictor of consumers complain intensity.
Abstrak
Komplain konsumen merupakan pengekspresian kekecewaan dan rasa tidak puas konsumen yang disampaikan pada pelaku usaha sebagai akibat dari tidak sesuainya harapan dengan kenyataan yang diterima. Usaha untuk memperjuangkan hak-hak konsumen terutama dilakukan dengan jalan komplain. Pribadi yang asertif tidak mempunyai hambatan dari dalam dirinya untuk melakukan komplain demi menegakkan hak-haknya sebagai konsumen dibandingkan dengan pribadi yang kurang asertif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asertivitas dengan intensi komplain konsumen. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara asertivitas dengan intensi komplain konsumen. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang tinggal atau kuliah di Yogyakarta. Teknik pengambilan sampling dalam penelitian ini adalah random sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala intensi komplain konsumen dan skala asertivitas. Berdasarkan perhitungan diperoleh hasil analisis data menunjukkan ada koefisien korelasi (r) sebesar 0,734 dengan p=0,000 (p<0,01) yang artinya terdapat hubungan yang positif yang sangat signifikan antara intensi komplain konsumen dengan asertivitas. Kesimpulan dari hasil penelitian adalah bahwa semakin tinggi asertivitas, maka semakin tinggi pula intensi komplain konsumen. Hal ini berarti bahwa variabel asertivitas dengan segala aspek di dalamnya dapat digunakan sebagai prediktor untuk mengukur intensi komplain konsumen.
PENDAHULUAN
Globalisasi perdagangan yang melanda dunia telah membawa dampak yang sangat besar pada segala aspek kehidupan, terutama di dunia usaha. Perdagangan bebas dan arus lalu lintas barang, jasa, dan modal yang telah melewati batas wilayah antar negara telah membuat dunia usaha berkembang pesat, tak terkecuali di Indonesia. Berbagai produk barang maupun jasa baik dari industri berskala kecil dan besar menyerbu pasar dan mengklaim diri sebagai yang terbaik. Kondisi ini memicu tingginya persaingan dalam pemasaran produk. Berbagai upaya dilakukan oleh pelaku usaha untuk menjaring dan mempertahankan konsumen sebanyak mungkin.
Semakin lama permasalahan konsumen semakin kompleks akibat perkembangan teknologi, industri, dan perdagangan yang semakin canggih. Sayangnya kemajuan ini tidak diimbangi dengan etika berusaha yang bertanggungjawab (Paramita, 1998). Terbukti masih banyak produk yang tidak aman, tidak benar takaran dan ukurannya,
produk yang mengandung polutan organik dan substansi berbahaya, komposisi bahan tidak seperti yang tercantum dalam kemasan, dan produk dengan informasi yang tidak
lengkap, ternyata masih
diperjualbelikan, produk jasa dengan layanan yang kurang baik, iklan yang
menjerumuskan konsumen,
penukaran uang kecil dengan permen, dan masih banyak lagi contoh-contoh praktek pelaku usaha yang merugikan konsumen. Perilaku konsumtif yang terbentuk karena strategi dan serangan pelaku usaha, serta kerugian lain akibat kelalaian, kecerobohan, atau kurangnya pengetahuan dari pelaku usaha, bahkan pelaku usaha kadangkala sengaja menipu dan mengelabui konsumen dalam memproduksi dan menawarkan produk (Kompas, 2000).
Kenyataannya, belum banyak perusahaan di Indonesia yang menempatkan konsumen sebagai sentral dari aktivitas bisnis mereka. Konsumerisme belum menjadi aktivitas demi kepentingan, keuntungan, dan kepuasan bersama
antara pelaku usaha dan konsumen (Wijayanto, 1998). Perlindungan terhadap hak-hak konsumen akan dapat berjalan dengan efektif jika terdapat keterlibatan antara tiga pihak yang mempunyai fungsi sentral serta masing-masing pihak dapat melakukan perannya secara konsekuen yaitu pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen (Paramita, 1998). Berarti bahwa pemerintah memberi batasan melalui undang-undang dan peraturan yang berperspektif konsumen, pelaku usaha wajib mentaati peraturan yang berlaku dan bertanggungjawab kepada konsumen, sedangkan konsumen harus berperan sebagai kontrol sosial terhadap perilaku pelaku usaha serta mampu bersikap kritis sehingga memiliki kekuatan menawar bagi pemerintah maupun pengusaha. Pada akhirnya akan dihasilkan suatu hubungan yang harmonis dan saling terkait antara pemerintah, konsumen, dan organisasi bisnis.
Konsumen perlu memperkuat diri melalui sikap kritis dalam upaya mengimbangi agresivitas pelaku
usaha. Kritis dalam menghadapi iklan dan janji-janji hadiah, memilih produk, serta belanja sesuai kebutuhan bukan atas rayuan pelaku usaha. Selain itu konsumen juga harus berani melakukan aksi komplain jika mendapatkan produk yang akan atau telah merugikan konsumen. Solidaritas konsumen dalam menghadapi strategi dan taktik pelaku usaha juga penting. Komplain merupakan salah satu usaha yang mencerminkan solidaritas konsumen, karena komplain konsumen bisa mencegah pelaku usaha untuk melakukan kecerobohan yang sama terhadap konsumen yang lain.
Sayangnya, kesadaran
konsumen untuk memperjuangkan hak-hak yang dimiliki baik secara langsung pada pelaku usaha maupun secara tidak langsung melalui media massa atau organisasi konsumen umumnya masih sangat terbatas di kalangan tertentu saja, misalnya masyarakat di kota-kota besar (Republika, 1999). Konsumen Indonesia dinilai masih kurang kritis dan kurang memiliki keberanian untuk komplain (Hadad dalam
Mangunwijaya dkk, 2000). Informasi keluhan konsumen di media cetak belum cukup menjadi prediktor seberapa jauh perilaku komplain konsumen (Wijayanto, 1998).
Konsumen Indonesia masih
tergolong pasif dan belum mampu mengimbangi usaha YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dalam memperjuangkan hak-hak konsumen di Indonesia (Dwiatmoko, 1996), karena selama 22 tahun ini masih terkesan jalan sendiri tanpa
konsumen dibelakangnya.
Masyarakat cenderung nrimo ketika menerima perlakuan yang kurang adil dari para pelaku usaha (Warta Konsumen, 1994). Kecenderungan konsumen untuk mengalah, mudah menyerah, dan menghindari konflik dengan pelaku usaha walaupun merugikan diri sendiri jelas sangat menguntungkan pelaku usaha dan
akan semakin menyudutkan
konsumen pada posisi yang lemah. Perlu dipertanyakan mengapa kondisi ini terjadi bahkan di kalangan konsumen yang sebenarnya tahu bahwa ia dirugikan, hak-haknya diabaikan, bahkan ia telah sengaja
ditipu. Mereka memilih untuk menarik diri dari kondisi yang merugikan tersebut dengan cara berhenti mengkonsumsi produk, atau beralih ke produk lain daripada menyampaikan keluhan kepada pelaku usaha yang bersangkutan apalagi kerugian dinilai tidak terlalu besar. Saluran untuk menyampaikan komplain sudah cukup banyak dan bervariasi; misalnya melalui media massa, YLKI, alamat yang tercantum pada produk, saluran telepon bebas pulsa (tolls-free) yang disediakan oleh perusahaan, bagian khusus perusahaan yang menangani komplain konsumen secara langsung, serta langsung pada pelaku usaha atau pada sumber penyebab ketidakpuasan jika memungkinkan.
Komplain merupakan usaha yang nyata dalam perjuangan hak-hak konsumen, oleh karena itu kerugian kecil maupun besar, komplain seharusnya dijadikan semacam spontanitas dalam keseharian konsumen.
Intensi komplain konsumen adalah besarnya keinginan atau kecenderungan konsumen untuk menyampaikan keluhan kepada pelaku usaha yang bersangkutan, dalam rangka memperjuangkan hak-haknya.
Intensi komplain konsumen dalam penelitian ini adalah kecenderungan komplain yang dimaksudkan sebagai usaha menegakkan hak-hak konsumen. Menurut Susilo (1991), hak dasar konsumen terdiri dari; hak atas keselamatan dan keamanan, memperoleh informasi, memilih, didengar, mendapatkan ganti rugi, serta memperoleh lingkungan hidup yang sehat dan bersih.
Intensi komplain konsumen ini diharapkan bisa digunakan untuk memprediksikan perilaku komplain konsumen dalam kehidupan sehari-hari, dengan didasari oleh pernyataan Engel (1995) bahwa intensi perilaku tertentu lebih dekat dalam meramaikan perilaku nyata tertentu daripada sikap terhadap perilaku tertentu.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi intensi komplain konsumen salah satunya dipengaruhi oleh pengetahuan individu akan
haknya sebagai konsumen
(Zumrotin, 1991). Semakin banyak informasi yang dimiliki konsumen terutama pengetahuan atas hak-haknya, maka ia akan semakin mudah melakukan komplain, misalnya ia tahu kapan haknya dilanggar, dan ia akan mempunyai persiapan yang matang jika argumentasi dibutuhkan. Menurut Micklizt (1998), konsumen yang – well-informed inilah yang mampu melindungi dirinya sendiri.
Menurut Wells dan Prensky (1996), kesediaan konsumen untuk komplain tergantung dari beberapa faktor, yakni: tingkat keterlibatan terhadap produk, perkiraan biaya dan keuntungan komplain, tingkat ketidakpuasan atau kekecewaan, persepsi terhadap tanggungjawab pelaku usaha, situasi dan kesempatan untuk komplain, serta latar belakang konsumen secara individual (pendidikan, gaya hidup, dan kepribadian).
Komponen intensi komplain konsumen adalah kecenderungan untuk menuntut: hak memilih; ganti rugi; dilayani dan diperlakukan dengan baik, jujur, dan tidak diskriminatif; mendapat informasi yang benar, jujur, dan jelas; serta
keamanan dan kenyamanan.
Komponen-komponen inilah yang akan menjadi dasar dalam membuat alat ukur intensi komplain konsumen.
Asertivitas menurut Taubman (1976) adalah kemampuan untuk menyatakan perasaan, keinginan, dan kebutuhan kita kepada orang lain serta mendapatkan penghargaan. Perilaku asertif digambarkan oleh Rathus (1982) sebagai perilaku yang
penuh keberanian dalam
mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya, berani membela hak-haknya yang sah, serta berani meolak permintaan-permintaan yang tidak beralasan.
Ciri-ciri asertivitas menurut Fensterheim dan Baer (1980) yakni: merasa bebas mengemukakan perasaan dan pendapatnya; dapat berkomunikasi dengan semua orang
baik yang dikenalnya maupun tidak; komunikasinya bersifat terbuka, langsung, terang, dan sesuai dengan situasi; mempunyai pandangan aktif tentang hidupnya yang berarti mau mencoba pengalaman baru dalam usahanya mendapatkan apa yang diinginkannya; bertindak dengan cara yang hormat dan menghargai dirinya sendiri; serta menerima keterbatasan dirinya tetapi berusaha untuk meraih tujuannya. Sedangkan menurut Rathus dan Nevid (1980)
faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan
asertivitas seseorang adalah; jenis kelamin, harga diri, usia, inteligensi, kebudayaan, tingkat pendidikan, tipe kepribadian, serta situasi tertentu di sekitarnya.
Asertivitas mendorong konsumen untuk menghargai haknya. Karena sikap positif terhadap komplain, maka kecenderungan untuk komplain juga tinggi. Asertivitas juga mempengaruhi ketegasan seseorang untuk menyikapi pengaruh orang lain dan tekanan sosial terhadap diri dan tindakannya, seberapa jauh ia merasa
berhak melakukan usaha untuk menghargai diri sendiri. Semakin ia tak mudah cemas dengan respon orang lain terhadap keinginannya
untuk komplain, maka
kemungkinannya terwujud menjadi perilaku juga semakin besar. Asertivitas yang tinggi mendorong perilaku asertif. Semakin sering konsumen melakukan perilaku asertif, maka ia akan semakin terlatih
berkomunikasi. Kemampuan
berkomunikasi tersebut selanjutnya menimbulkan rasa percaya diri dan keyakinan akan kemudahan perilaku tertentu, yaitu komplain.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik perumusan masalah yaitu, “Ápakah ada hubungan antara asertivitas dengan intensi komplain konsumen?” Berdasarkan tinjauan teoritis yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis yang diajukan untuk diuji kebenarannya adalah ada hubungan antara asertivitas dengan intensi komplain konsumen.
Penelitian ini mempunyai tujuan utama, yaitu untuk mengetahui hubungan antara
asertivitas dengan intensi komplain konsumen.
METODE
Variabel-variabel penelitian yang diteliti dan diuji sebab akibatnya dalam penelitian ini adalah variabel tergantung yaitu intensi komplain konsumen dan variabel bebas yakni asertivitas. Metode yang digunakan adalah kuantitatif, dengan teknik korelasi product moment dari Pearson.
Penelitian dilakukan terhadap mahasiswa yang tinggal atau kuliah di Yogyakarta serta berusia antara 18-25 tahun. Mahasiswa dinilai mempunyai pola konsumsi yang relatif lebih tinggi dibandingkan rata-rata masyarakat di sekitarnya (P&K dalam Dwiatmoko, 1996), sehingga mahasiswa merupakan konsumen dengan frekuensi belanja dan jumlah uang yang dibelanjakan termasuk tinggi dibandingkan dengan konsumen yang lain. Kondisi di atas sangat memungkinkan mahasiswa untuk mengambil keputusan komplain. Pengambilan data dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan skala; yakni Skala Intensi Komplain Konsumen dan Skala Asertivitas.
HASIL
Melalui uji normalitas sebaran dapat diketahui normal atau tidaknya penyebaran dari data variabel penelitian. Hasil uji normalitas sebaran dari variabel intensi komplain konsumen mengikuti normal (p=0,212) sedangkan variabel asertivitas mengikuti distribusi normal (p=0,916).
Analisis hubungan antar variabel menggunakan korelasi product moment dari Pearson menunjukkan adanya korelasi yang positif yang sangat signifikan antara asertivitas dengan intensi komplain konsumen, dengan nilai koefisien korelasi (r)=0,734; koefisien determinasi (r2)=0,539 dan nilai p sebesar 0,000. Semakin tinggi asertivitas maka akan semakin tinggi pula intensi komplain konsumen.
Mahasiswa di Yogyakarta ternyata mempunyai asertivitas sedang. Hal ini disebabkan karena lingkungan kemahasiswaan yang
mendukung bahkan menuntut untuk berani mengemukakan pendapat secara terbuka. Mahasiswa terkondisi untuk bergaul dan berkomunikasi degan banyak kalangan. Ada banyak sarana dan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan perilaku asertif misalnya; dalam kuliah, diskusi, dan seminar atau
organisasi. Kondisi ini
memungkinkan berkembangnya asertivitas, karena asertivitas bisa dipelajari, sesuai dengan pendapat Rathus dan Nevid (1980) bahwa asertivitas merupakan pola yang sebagian besar dipelajari individu di tempat individu mengembangkan diri. Individu yang sudah terbiasa merespon sesuatu secara asertif akan melakukan hal yang sama dalam segala macam situasi (Baer dalam Rakos, 1991).
Intensi komplain individu dipengaruhi oleh budaya konsumtif (Wells & Prensky, 1996). Faktor lain yang mempengaruhi adalah wawasan dan pengetahuan individu terhadap produk, penyesuaian diri dengan kelompok, faktor situasional, harga produk, dan lain sebagainya.
SIMPULAN
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Asertivitas berhubungan dengan intensi komplain konsumen. Tingkat asertivitas mahasiswa maupun intensinya sebagai konsumen adalah sedang.
2) Hubungan yang terjadi adalah bahwa semakin tinggi asertivitas seseorang, maka semakin tinggi pula intensi komplainnya sebagai konsumen. Sebaliknya, semakin rendah asertivitas seseorang, maka semakin rendah pula keinginannya untuk komplain. Hal ini ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi 0,738 (positif), dengan hubungan sangat signifikan (p<0,001), dan sumbangan efektif asertivitas terhadap intensi komplain konsumen mahasiswa sebesar 53,9%.
DAFTAR RUJUKAN
Baer, J. 1976. How to be Assertive Woman in Life, in Love, and on The Job. New York: New America Library Inc.
Dwiatmoko, E. 1996. Hubungan Harga Diri dengan Sikap
Terhadap Hak-Hak
Konsumen. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada. Engel, J.F., Blackwell, R.D., &
Miniard, P.W. 1993. Perilaku Konsumen. Jilid 2, Edisi ke-enam (Terjemahan). Jakarta: Binarupa Aksara.
Fensterheim, H. & Baer, J. 1988. Jangan Bilang Ya Jika Anda akan mengatakan Tidak (Terjemahan). Jakarta: Gunung Jati.
Mangunwijaya, J.B., dkk. 1999.
Reformasi Politik,
Kebangkitan Agama, dan Konsumerisme. Institut Dian/Interfide, Kompas, dan
Forum Wacana Muda
Yogyakarta. Warta
Konsumen; Edisi Oktober. Micklitz, J. 1998. Undang-Undang
bagi Konsumen Indonesia. Paramita, A.L. 1998. Pemberdayaan
Konsumen Menuju Konsumsi
yang Berkelanjutan.
Negosiasi; Edisi 1, Tahun XII.
Rathus, S.A. & Nevid. 1980. Behavior Therapy: Technique and Empirical Findings. New York: Academic Press.
Susilo, Z.K. 1996. Penyambung Lidah Konsumen. Jakarta: Puspa Swara.
Taubman, B. 1976. How to be Assertive Woman. New York:
Gulf and Western
Corporation.
Wijayanto, I.P.M. 1998. Perbaikan Layanan Intensi Konsumen untuk Menggunakan Layanan Penerbangan. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.