• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI RISIKO MASYARAKAT TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN DI PERMUKIMAN PADA WARGA RT 01 DAN RT 03, RW 001 KELURAHAN JAGAKARSA JAKARTA SELATAN TAHUN 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSEPSI RISIKO MASYARAKAT TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN DI PERMUKIMAN PADA WARGA RT 01 DAN RT 03, RW 001 KELURAHAN JAGAKARSA JAKARTA SELATAN TAHUN 2014"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI RISIKO MASYARAKAT TERHADAP BAHAYA

KEBAKARAN DI PERMUKIMAN PADA WARGA RT 01 DAN RT 03,

RW 001 KELURAHAN JAGAKARSA JAKARTA SELATAN TAHUN

2014

Siti Dirraya Telafiani1, Dadan Erwandi2

1. Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

2. Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok

E-mail : dirraya.telafiani@gmail.com

Abstrak

Kebakaran di lingkungan permukiman merupakan masalah yang sangat kompleks. Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta, jumlah kasus kebakaran di DKI Jakarta sepanjang tahun 2013 sampai bulan Oktober mencapai 739 kasus. Kejadian tersebut menimbulkan 36 korban jiwa dan 54 korban luka-luka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui informasi tentang gambaran persepsi risiko masyarakat terhadap bahaya kebakaran di daerah permukiman pada warga RT 01 dan RT 03, RW 001, Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan 2014. Jenis penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan kuantitatif, pengambilan data dilakukan dengan penyebaran kuisioner dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi risiko warga terhadap bahaya kebakaran di permukiman sudah baik. Namun pengalaman warga dalam menghadapi kebakaran masih kurang. Selain itu nilai bobot rataan pada variabel keadaan lingkungan tempat tinggal merupakan yang terendah dibandingkan variabel lainnya.

Risk Perception of Society Against Fire In Settlement On Citizens of RT 01 and RT 03, RW 001, Jagakarsa Sub- District In South Jakarta 2014

Abstract

Fires in residential environment is a very complex problem. Data from Jakarta Fire Department, the number of fires cases in Jakarta during the year 2013 to reach 739 cases in October. These events cause 36 fatalities and 54 injuries. This research aims to find out information about the image of public's risk perception against fire in settlement areas on the residents of RT 01 and RT 03, RW 001, Jagakarsa Sub-District, South Jakarta, 2014. The kind of research used is cross-sectional study with quantitative approach, data collect from distributed questionnaires and observation. The results showed that the citizens risk perception to fire incident in the settlements has been good. But the experience of citizens in the face of fires is still lacking. In addition the average weight value in the variable state of the neighborhood is the lowest compared to other variables.

(2)

PENDAHULUAN

Menurut Mehaffey dan Bert, kebakaran adalah suatu proses oksidasi yang cepat, reaksi eksotermis dimana bagian energi yang dilepaskan menyokong proses tersebut (Mehaffey dan Bert, 1997). Kebakaran adalah suatu fenomena yang terjadi ketika suatu bahan mencapai temperatur kritis dan bereaksi secara kimia dengan oksigen, sebagai contoh yang menghasilkan panas, nyala api, cahaya, asap, uap air, CO, CO2, atau produk dan efek lainnya

(Badan Standar Nasional, 2000). Kebakaran di lingkungan permukiman dan perumahan merupakan masalah yang sangat kompleks. Menurut data-data yang dihimpun oleh Dinas Kebakaran DKI, penyebab kebakaran di permukiman umumnya yaitu hubungan singkat atau instalasi listrik yang tidak aman, kompor atau peralatan memasak yang tidak aman, serta akibat perilaku penghuni seperti merokok sembarangan (Ramli, 2010). Berdasarkan data dari Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta, jumlah kasus kebakaran di DKI Jakarta sepanjang tahun 2013 sampai bulan Oktober mencapai 739 kasus. Kejadian tersebut menimbulkan 36 korban jiwa dan 54 korban luka-luka (Kompas.com, 2013).

Menurut Surtiani, potensi yang dapat ditimbulkan oleh permukiman kumuh adalah terjadinya kebakaran. Karakteristik hunian seperti kondisi rumah yang tidak sehat baik dalam hal pencahayaan, udara, dan serta jarak antar rumah yang sangat rapat menjadikannya rawan terhadap kebakaran. Api akan sangat mudah menjalar dari satu rumah ke rumah lain dengan sangat cepat. Kondisi tersebut diperparah dengan kondisi jalan yang sangat sempit pada permukiman kumuh. (Kompasiana, 2012). Hal tersebut membuat peniliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan persepsi masyarakat terhadap risiko bahaya kebakaran yang dapat terjadi pada pemukiman padat penduduk, khususnya di wilayah RT 01 dan 03 RW 001, Kelurahan Jagakarsa, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi risiko yang akan diteliti dalam penelitian ini dibagi menjadi faktor yang tidak lansgsung mempengaruhi persepsi risiko (variabel pendahulu), diantaranya adalah jenis kelamin, usia, dan pendidikan terakhir. Kemudian faktor yang secara langsung mempengaruhi persepsi risiko (variabel indepenen), yaitu pengetahuan, keadaan lingkungan tempat tinggal, dan keadaan lingkungan sosial.

TINJAUAN TEORITIS Persepsi

(3)

Setiap individu dalam kehidupannya sehari-hari akan menerima stimulus atau rangsangan yang berasal dari lingkungan berupa peristiwa, objek, informasi, dan lain-lain. Rangsangan yang berkaitan dengan individu tersebut akan diberi makna, yang kemudian proses pemberian makna itu dinamakan proses persepsi. Menurut Robbins (2003), persepsi adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka untuk memberi makna terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Robbins, diantaranya adalah:

1. Individu yang Memberikan Persepsi (Pelaku Persepsi)

Apabila individu melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya. Interpretasi tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik individual yang dimiliki, seperti :

a. Motivasi. Motivasi atau keinginan yag belum terpenuhi yang ada di dalam diri individu akan berpengaruh terhadap persepsi yang dimunculkan.

b. Ketertarikan (interest). Faktor perhatian individu dipengaruhi oleh kerterkaitan tentang sesuatu. Hal ini menyebabkan target persepsi yang sama dapat dipersepsikan berbeda oleh masing-masing individu.

c. Pengalaman. Pengalaman secara umum merupakan sesuatu yang pernah dialami oleh

individu. Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi seseorang untuk memutuskan rasa tertarik orang tersebut pada suatu target.

d. Sikap. Sikap individu terhadap suatu target yang dilihatnya dapat berbeda sesuai dengan ketertarikan dan kesenangan idividu tersebut dalam melihat suatu target.

e. Ekspektasi. Ekspektasi dapat menyebabkan distorsi terhadap target yang

dipersepsikan atau dengan kata lain seseorang aka mempersepsikan suatu target atau kejadian sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang tersebut.

2. Sasaran Dari Persepsi Atau Target

Target persepsi yang dipersentasikan dapat mempengaruhi apa yang dipersentasikan karakteristik orang yang dipersepsikan. Target dapat berupa benda, orang, dan peristiwa.

3. Situasi

Persepsi dapat dipengaruhi oleh kondisi atau situasi lingkungan sekitar. Contoh dari keadaan lingkungan seperti keadaan fisik (panas, dingin, cahaya, dll) dan sosial.

Sedangkan menurut Notoadmodjo (2010), persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

(4)

Faktor yang terdapat pada individu yang mempersepsikan stimulus yang muncul, sehingga mempegaruhi hasil intepretasinya. Hal tersebut menyebabkan persepsi dari setiap individu berbeda meskipun mereka mendapatkan stimulus yang sama.

a. Pengalaman / Pengetahuan. Merupakan faktor yang sangat berperan penting dalam

interpretasi stimulus. Perbedaan interpretasi dapat disebabkan oleh pengalaman di masa lalu dan pegetahuan atau informasi yang didapatkan tentang stimulus yang ada.

b. Kebutuhan. Kebutuhan individu terhadap suatu stimulus dapat mempengaruhi

interpretasinya.

c. Motivasi, merupakan interaksi antara perilaku dengan lingkungan sehingga dapat meningkatkan, menurunkan, atau mempertahankan suatu perilaku.

d. Emosi, akan mempengaruhi persepsi individu. Contohnya jika seseorang merasa takut pada api, maka dia tidak akan pernah menggunakan atau berhubungan dengan api.

e. Budaya. Persepsi individu pada anggota kelompok dengan latar belakang yang sama

akan berbeda. Namun, orang-orang yang berada diluar anggota kelompoknya akan dipersepsikan sama saja.

2. Faktor Eksternal

a. Kontras, berupa warna, ukuran, bentuk ataupun gerakan adalah hal yang dapat menarik perhatian dan interpretasi seseorang akan dipengaruhi persepsi.

b. Perubahan Intensitas. Perubahan suara, cahaya, suhu dapat menarik perhatian seseorang dan mempengaruhi persepsinya.

c. Pengulangan. Sesuatu yang dilakukan secara berulang dapat lebih mearik perhatian.

d. Sesuatu yang Baru. Hal-hal yang baru umumnya dapat lebih menarik perhatian dibandingkan dengan yang lama atau sudah kita ketahui sebelumnya.

e. Sesuatu yang Menjadi Perhatian Orang Banyak. Sesuatu yang menjadi perhatian banyak orang akan dapat menarik perhatian seseorang.

Persepsi Risiko

Persepsi risiko merupakan penilaian atau pandangan seseorang terhadap suatu bahaya yang akan dihadapinya. Termasuk kemampuan untuk mengatasi risiko yang mungkin akan terjadi, serta seberapa besar perhatian individu akan konsekuensinya. Menurut Wejnert (2000 dalam Botteril & Mazur, 2004) berbagai faktor yang mempengaruhi persepsi dan respon terhadap risiko antara lain karakteristik individu, karakteristik risiko, karakteristik konteks sosial dan lingkungan.

(5)

Kebakaran

Kebakaran dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian yang sangat fatal, baik kerugian berupa kehilangan materi bahkan nyawa seseorang. Menurut Wirawibawa (2005) dalam jurnalnya, kebakaran adalah suatu reaksi kimia termo yang disebabkan oleh tiga faktor, yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas. Menyatunya ketiga faktor tersebut akan menyebabkan persitiwa kebakaran yang menimbulkan panas, nyala api, asap, dan gas.

Gambar 1. Tetrahedron Api

Tetrahedron api memperlihatkan komponen-komponen yang diperlukan oleh api agar terus menyala. Bahan bakar (fuel) diperlukan untuk menyediakan sumber bahan reaksi eksotermik. Oksigen yang berada di udara, harus tersedia agar api dapat terus menyala, selain itu sumber panas (heat) juga harus ada. Panas ini dapat berupa nyala api, bunga api, ataupun suhu lingkungan yang panas. Terakhir, konsentrasi relatif dari uap bahan bakar dan oksigen yang tersedia harus tepat untuk memicu atau mempertahankan reaksi rantai kompleks yang melambangkan sifat kimia api (Mehaffey dan Bert, 1997).

Kebakaran di Permukiman

Menurut Sujatmiko (2012), sebagian kejadian kebakaran permukiman diakibatkan oleh faktor manusia, diantaranya karena ketidaktahuan, kecerobohan, ketidakpedulian, dan kelalaian. Hal tersebut menjadi lebih kompleks lagi dengan adanya kondisi:

1. Situasi dan Kondisi Lingkungan

a. Bangunan yang tidak memenuhi syarat, seperti bahan bangunan bermutu rendah, jarak antara bangunan sangat rapat, ruangan di sekitar bangunan sempit, peralatan/pemanfaaatan listrik tidak sesuai aturan, dan sarana proteksi kebakaran yang kurang memadai.

b. Sumber air yang langka, khususnya di permukiman padat penduduk.

c. Sarana dan prasarana kota seperti jalanan sempit di daerah permukiman padat penduduk, serta alat komunikasi yang terbatas dan sering terganggu.

d. Situasi lalu lintas macet sehingga menghambat laju kendaraan pemadam kebakaran.

2. Sosial Budaya

a. Tingkat kesadaran hokum masih rendah. b. Sikap gotong royong makin terkikis.

(6)

n =

c. Individualism semakin menonjol d. Kriminalitas tetap menonjol e. Sikap masyarakat yang lebih kritis

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif, desain studi cross sectional. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat, tujuannya untuk menjelaskan atau menggambarkan persepsi risiko warga serta melihat faktor dominan terkait persepsi risiko. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2014 dengan populasi seluruh warga dari RT 01 dan RT 03, di RW 001, Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Penelitian ditujukan pada warga yang banyak menghabiskan waktu di rumah atau tempat tinggalnya, seperti ibu rumah tangga, warga yang sudah lanjut usia dan pekerja wiraswasta. Penentuan besar sampel menggunakan rumus Slovin :

n = ukuran sampel N = ukuran populasi

e = batas toleransi kesalahan (5%)

Dari perhitungan yang telah dilakukan, jumlah sampel sebesar 158 responden. Instrument yang digunakan dalam penelitian adalah kuisioner yang sudah melalui tahap uji validitas dan reliabilitas. Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian terdiri dari :

1. Skala nominal, untuk instrument yang berbentuk pertanyaan langsung dengan skoring :  Jawaban (a) bernilai 1 (satu)

 Jawaban (b) berniai 0 (nol)

2. Skala likert untuk instrument berbentuk pernyataan. Pada penelitian ini pernyataan responden dinilai dalam skala 1 (satu) sampai 5 (lima).

Bentuk kuisioner untuk variabel pengalaman berupa pertanyaan pilihan. Nilai dari setiap pertanyaan adalah 0 dan 1, sehingga didapatkan rentang skala sebagai berikut:

Rentang skala = 0 – 1 = 0,5 2

Rentang skala untuk menentukan posisi variabel pengalaman sebagai variabel pendahulu yang mempengaruhi persepsi adalah:

Tabel 1 Posisi Keputusan Penilaian Variabel Pendahulu

(7)

0,00 - 0,50 Buruk 0,51 - 1,00 Baik

Bentuk kuisioner untuk variabel dependen dan independen adalah berupa pernyataan dengan skala likert yang dapat menunjukkan posisi persepsi risiko dari responden. Nilai bobot rataan yang akan diperoleh berada pada rentang 1 sampai 5. Berdasarkan dari nilai tengah antara 1 sampai 5, rentang skala untuk menentukan persepsi risiko dan variabel yang mempengaruhinya adalah 3. Sehingga rentang skala untuk menentukan posisi persepsi risiko dan variabel yang mempengaruhinya adalah :

Tabel 2 Posisi Keputusan Penilaian Variabel Dependen dan Independen

Nilai Bobot Rataan Keterangan

0,00 – 3,00 Buruk 3,01 – 5,00 Baik

HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum Karakteristik Responden

A. Distribusi Jenis Kelamin

Tabel 3 Data Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N %

Perempuan 126 79,75%

Laki-laki 32 20,25%

Total 158 100%

Berdasarkan data diatas, warga yang memenuhi kriteria sebagai sampel sebagian besar berjenis kelamin perempuan. Warga yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 126 orang dengan presentase sebesar 79,75%. Sedangkan warga yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 32 orang, dengan presentase sebesar 20,25%.

B. Distribusi Berdasarkan Usia

Tabel 4 Data Responden Berdasarkan Usia

Usia N %

Remaja (12-25 tahun) 33 20,89%

Dewasa (26 -44 tahun) 105 66,46%

Lanjut (45–62 tahun) 20 12,66%

Total 158 100%

Jumlah responden terbanyak berasal dari kategori usia dewasa (26-44 tahun) dengan jumlah 105 responden, atau sebesar 66,46% dari total keseluruhan jumlah responden. Jumlah responden paling sedikit berasal dari kategori usia lanjut (45-62 tahun), yaitu 12,66% atau

(8)

sebanyak 20 responden. Jumlah responden pada kategori usia remaja (12-25 tahun) adalah 20,89% atau sebanyak 33 responden.

C. Distribusi Pendidikan Terakhir

Tabel 5 Data Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Pendidikan Terakhir N %

Rendah (SD-SMP) 53 33,54%

Tinggi (SMA-Perguruan Tinggi) 105 66,46%

Total 158 100%

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 53 orang atau 33,54%. Responden yang memiliki pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA) sampai Perguruan Tinggi sebanyak 105 responden, dengan presentase 66,46%. Berdasarkan data dapat disimpulkan bahwa mayoritas warga di RT 01 dan RT 03 berpendidikan terakhir tinggi.

2. Distribusi Mean Berdasarkan Variabel Pendahulu Dengan Karakteristik Individu

A. Pengalaman Responden Menghadapi Kebakaran

Tabel 6 Pengalaman Responden Menghadapi Kebakaran

Karakteristik Individu Pengalaman Keterangan

Nilai Rerata

Bobot Rerata

Jenis Kelamin Laki-Laki 1,72 0,34 Kurang

Perempuan 1,64 0,33 Kurang

Usia Remaja 1,79 0,36 Kurang

Dewasa 1,63 0,33 Kurang

Lanjut 1,6 0,32 Kurang

Pendidikan Tinggi 1,73 0,35 Kurang

Rendah 1,51 0,30 Kurang

Total 1,66 0,33 Kurang Berpengalaman

Berdasarkan data pada tabel diatas menunjukkan bahwa warga laki-laki memiliki nilai bobot rataan sebesar 0,34 dan nilai rataan 1,72. Warga perempuan memiliki nilai bobot rataan dan rataan sebesar 0,33 dan 1,64. Kelompok usia remaja memiliki nilai bobot tertinggi dibandingkan kelompok usia lainnya, yaitu sebesar 0,36. Nilai bobot rataan warga yang berusia dewasa adalah 0,33 sedangkan warga yang berusia lanjut sebesar 0,32. Pada kategori pendidikan, besar nilai bobot rataan dari kelompok warga yang memiliki pendidikan terakhir

(9)

tinggi adalah 0,35 dengan nilai rataan sebesar 1,73, sedangkan kelompok warga yang berpendidikan rendah memiliki nilai bobot rataan 0,30 dengan nilai rataan 1,51. Total bobot rataan pada variabel pengalaman sebesar 0,33 dengan nilai rataan 1,66. Dapat disimpulkan bahwa seluruh warga RT 01 dan RT 03 kurang berpengalaman dalam menghadapi kebakaran, karena semua nilai bobot rataan berada dibawah 0,5.

3. Distribusi Mean Berdasarkan Variabel Independen Dengan Karakteristik Individu

A. Pengetahuan Berdasarkan Dengan Karakteristik Individu

Tabel 7 Distribusi Mean Variabel Pengetahuan Dengan Karakteristik Individu

Karakteristik Individu Pengetahuan Keterangan

Nilai Rerata

Bobot Rerata

Jenis Kelamin Laki-Laki 83,41 4,17 Baik

Perempuan 83,47 4,17 Baik

Usia Remaja 84,24 4,21 Baik

Dewasa 82,93 4,15 Baik

Lanjut 84,55 4,23 Baik

Pendidikan Tinggi 83,57 4,18 Baik

Rendah 82,32 4,16 Baik

Total 83,50 4,18 Pengetahuan Baik

Berdasarkan hasil pada tabel 7, baik warga perempuan maupun laki-laki memiliki nilai bobot rataan yang sama besar yaitu 4,17 dan masuk dalam kategori berpengetahuan baik. Warga yang berusia lanjut memiliki nilai bobot rataan paling tinggi dibandingkan kategori usia lainnya, yaitu sebesar 4,23. Nilai bobot rataan warga usia remaja sebesar 4,21, sedangkan warga berusia dewasa sebesar 4,15. Pada kategori pendidikan, warga yang memiliki pendidikan terakhir rendah memiliki nilai bobot rataan 4,16 dan warga yang memiliki pendidikan terkhir tinggi, sebesar 4,18. Seluruh warga pada kategori pendidikan terakhir memiliki pengetahuan yang baik mengenai kebakaran. Berdasarkan hasil pada table 7 dapat disimpulkan bahwa pengetahuan warga berdasarkan kategori jenis kelamin, usia, dan pendidikan terakhir termasuk dalam kategori berpengetahuan baik mengenai bahaya kebakaran (total nilai bobot rataan pada variabel pengetahuan diatas 3,00).

B. Keadaan Lingkungan Berdasarkan Dengan Karakteristik Individu

Tabel 8 Distribusi Mean Variabel Keadaan Lingkungan Tempat Tinggal Responden Dengan Karakteristik Individu

Karakteristik Individu Keadaan Lingkungan Keterangan

Nilai Rerata

Bobot Rerata

(10)

Kelamin Perempuan 35,16 3,20 Baik

Usia Remaja 35,70 3,25 Baik

Dewasa 35,20 3,20 Baik

Lanjut 34,70 3,15 Baik

Pendidikan Tinggi 35,74 3,25 Baik

Rendah 34,30 3,12 Baik

Total 35,21 3,20 Lingkungan Baik

Dari tabel 8 diatas terlihat besar nilai bobot warga berjenis kelamin laki-laki sebesar 3,24, sedangkan warga yang berjenis kelamin perempuan sebesar 3,20. Dapat disimpulkan bahwa untuk kategori jenis kelamin semua warga memiliki persepsi baik terhadap keadaan lingkungan. Warga yang berusia remaja memiliki niai bobot rataan, yaitu sebesar 3,25. Nilai bobot rataan warga yang berusia dewasa sebesar 3,20, sedangkan warga berusia lanjut nilai bobot rataannya adalah 3,15. Pada kategori pendidikan, kelompok warga yang memiliki pendidikan terakhir rendah memiliki bobot rataan 3,12 dan warga yang berpendidikan tinggi memiliki nilai bobot rataan 3,25. Apabila dilihat secara keseluruhan, dalam kategori keadaan lingkungan memiliki persepsi yang baik (nilai total bobot rataan sebesar 3,20 diatas 3,00).

C. Keadaan Lingkungan Sosial Berdasarkan Dengan Karakteristik Individu

Tabel 9 Distribusi Mean Variabel Keadaan Lingkungan Sosial Dengan Karakteristik Individu

Karakteristik Individu Keadaan Lingkungan Sosial Keterangan

Nilai Rerata

Bobot Rerata

Jenis Kelamin Laki-Laki 56,03 4,00 Baik

Perempuan 56,23 4,02 Baik

Usia Remaja 57,64 4,12 Baik

Dewasa 55,75 3,98 Baik

Lanjut 55,15 3,94 Baik

Pendidikan Tinggi 56,02 4,00 Baik

Rendah 56,63 4,04 Baik

Total 56,21 4,01 Lingkungan Baik

Tabel 9 diatas menunjukkan bahwa warga laki-laki memiliki nilai bobot rataan 4,00, sedangkan warga perempuan sebesar 4,02. Pada kelompok warga yang berusia lanjut memiliki nilai bobot rataan 3,94; warga berusia dewasa memiliki nilai bobot rataan 3,98; warga usia remaja memiliki niai bobot rataan 4,12. Secara umum, seluruh warga berusia remaja, dewasa, dan lanjut memiliki keadaan lingkungan sosial baik. Nilai bobot rataan warga berpendidikan terakhir rendah adalah 4,04 dan warga berpendidikan terakhir tinggi 4,00. Keduanya berada dalam kategori persepsi lingkungan sosial baik. Dari distribsi mean variabel keadaan lingkungan sosial responden, seluruh warga merasa bahwa keadaan lingkungan sosial mereka baik (nilai total bobot rataan 4,01).

(11)

4. Persepsi Risiko Berdasarkan Karakteristik Individu

Tabel 10 Distribusi Mean Persepsi Risiko Berdasarkan Karakteristik Individu

Karakteristik Individu Persepsi Risiko

Berdasarkan Karakteristik Individu

Rata-Rata

Dari Karakteristik Individu Nilai Rerata Bobot Rerata Keterangan Nilai Rerata Bobot Rerata Keterangan Jenis Kelamin Laki-Laki 175,09 3,89 Baik 174,98 3,89 Baik Perempuan 174,86 3,89 Baik

Usia Remaja 177,58 3,95 Baik

175,29 3,90 Baik

Dewasa 173,89 3,86 Baik

Lanjut 174,40 3,88 Baik

Pendidikan Tinggi 175,33 3,90 Baik

174,70 3,89 Baik

Rendah 174,06 3,87 Baik

Total 174,92 3,80 Baik 174,92 3,80 Baik

Persepsi risiko dari warga RT 01 dan RT 03 berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa warga laki-laki maupun perempuan memiliki persepsi risiko yang sama dengan nilai bobot rataan dari keduanya adalah 3,89 dan termasuk dalam kategori persepsi baik. Nilai bobot warga usia remaja adalah 3,95; warga usia dewasa 3,86; warga usia lanjut 3,88. Secara keseluruhan berdasarkan kategori usia, persepsi risiko warga terhadap bahaya kebakaran termasuk dalam kategori baik. Nilai bobot rataan warga berpendidikan rendah adalah 3,87 dan warga berpendidikan tinggi adalah 3,90. Persepsi risiko warga yang dinilai berdasarkan pendidikan terakhir secara umum memiliki persepsi risiko yang baik terhadap bahaya kebakaran di permukiman, karena nilai bobotnya sebesar 3,89.

5. Persepsi Risiko Berdasarkan Variabel Independen

Tabel 11 Distribusi Mean Persepsi Risiko Masyarakat Berdasarkan Variabel Independen

Variabel Rerata Keterangan

Nilai Rerata

Bobot Rerata

Pengetahuan 83,50 4,18 Baik

Keadaan Lingkungan Tempat Tinggal 35,21 3,20 Baik

Keadaan Lingkungan Sosial 56,21 4,01 Baik

(12)

Dari tabel 11 terlihat bahwa secara keseluruhan warga di RT 01 dan 03 memiliki persepsi risiko yang baik terhadap bahaya kebakaran di permukiman. Nilai total bobot rata-rata persepsi risiko adalah 3,80 (diatas 3,00). Pada penelitian ini, persepsi risiko dipengaruhi oleh tiga variabel dependen. Ketiga variabel tersebut adalah pengetahuan masyarakat terhadap bahaya kebakaran, kondisi lingkungan tempat tinggal responden, dan kondisi lingkungan sosial seperti pengaruh kerabat dan media massa. Berdasarkan ketiga variabel tersebut, terlihat bahwa urutan nilai bobot rata-rata mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah variabel keadaan lingkungan tempat tinggal dengan nilai bobot rata-rata 3,20. Kedua adalah variabel keadaan lingkungan sosial, dengan nilai bobot rata-rata sebesar 4,01. Ketiga yaitu variabel pengetahuan, dengan nilai bobot rata-rata sebesar 4,18.

PEMBAHASAN

1. Persepsi Risiko Berdasarkan Variabel Pendahulu Persepsi Risiko Berdasarkan Jenis Kelamin

Pada penelitian ini terlihat bahwa warga laki-laki maupun perempuan memiliki persepsi risiko yang sama besar terhadap bahaya kebakaran di permukiman. Sedangkan untuk variabel pengalaman menunjukkan bahwa warga laki-laki dan perempuan kurang berpengalaman dalam menghadapi kebakaran. Meskipun keduanya kurang berpengalaman, namun pengalaman warga laki-laki lebih baik dibandingkan dengan warga perempuan. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Slovic (1999); Finucane (2000), dalam Boteril & Mazur (2004), menunjukkan bahwa gender, ras, pandangan dunia politik, afiliasi, emosional, dan kepercayaan berpengaruh pada penilaian risiko. Perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi individu dalam menilai suatu risiko. Temuan dari penelitian persepsi risiko yang mengeksplorasi perbedaan antara jenis kelamin dan kelompok demografis semakin sering ditafsirkan dari perspektif budaya dalam hal konsep-konsep seperti marginalisasi dan eksklusi. Misalnya temuan bahwa perempuan lebih menolak risiko daripada laki-laki dijelaskan sebagai perbedaan persepsi keterlibatan dalam, akses terhadap risiko, dan proses pengambilan keputusan (Frewer, 2001; Pidgeon 1998, dalam Williamson & Weyman, 2005).

Persepsi Risiko Berdasarkan Usia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa warga pada kelompok usia remaja (12 sampai 25 tahun), usia dewasa (26 sampai 45 tahun), dan usia lanjut (46 sampai 65 tahun) memiliki persepsi risiko yang baik terhadap bahaya kebakaran di permukiman. Diantara ketiganya, kelompok usia remaja memiliki persepsi paling baik dibandingkan dengan kelompok usia

(13)

lainnya. Pidgeon (1998, dalam Williamson & Weyman, 2005) membuat laporan berdasarkan review yang dilakukan Sjöberg pada tahun 1995 dari berbagai studi untuk menentukan pentingnya variabel sosiodemografi (termasuk usia) terhadap persepsi risiko. Menurut Piaget dalam Williamson & Weyman (2005), ketika seseorang menginjak usia dewasa, tahapan perkembangan kognisi operasional formal dimana mereka sudah memperoleh kemampuan untuk berfikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia terus berkembang. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa usia dewasa memiliki persepsi risiko yang baik.

Persepsi Risiko Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Penelitian ini menunjukkan bahwa warga yang memiliki pendidikan terakhir rendah (SD sampai SMP) dan tinggi (SMA sampai Perguruan Tinggi) memiliki persepsi risiko yang baik terhadap bahaya kebakaran di permukiman. Meskipun keduanya memiliki persepsi risiko yang sama-sama baik, warga dengan pendidikan terakhir SMA sampai Perguruan Tinggi memiliki persepsi risiko lebih baik terhadap bahaya kebakaran di permukiman dibandingkan dengan yang berpendidikan terakhir SD sampai SMP. Pengetahuan warga RT 01 dan RT 03 berdasarkan pendidikan terakhir tergolong tinggi, karena rata-rata warga memiliki pendidikan terakhir SMA sampai Perguruan Tinggi. Menurut Notoadmodjo (2010), seseorang yang telah mendapat pengetahuan akan menyebabkan terjadinya perbedaan interpretasi dalam memandang suatu stimulus. Weyman & Kelly (1999, dalam Williamson & Weyman, 2005) menyatakan bahwa 'persepsi risiko Publik bukan tentang interpretasi individu dari bahaya, tetapi bahwa interpretasi ini sebagian dibentuk oleh persepsi kepercayaan dan kredibilitas di bidang ilmu pengetahuan, pemerintah dan institusi negara.

Pengalaman Warga Menghadapi Kebakaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh warga di RT 01 dan RT 03 kurang berpengalaman dalam menghadapi kebakaran. Meskipun kurang berpengalaman dalam menghadapi kebakaran, mereka memiliki persepsi risiko yang baik terhadap bahaya kebakaran di permukiman. Dapat dikatakan bahwa warga akan tetap waspada menghadapi kebakaran. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari ketua RT 01 dan RT 03, di wilayah RT mereka belum pernah terjadi kebakaran. Selain itu, warga di wilayah mereka juga belum pernah mendapatkan pelatihan dan penyuluhan ataupun sosialisasi mengenai kebakaran. Menurut keterangan dari RW 001 memang sudah ada penyuluhan, dan sosialisasi rutin mengenai kebakaran yang diadakan oleh pihak Kelurahan. Tetapi hanya beberapa RT saja yang diikutsertakan, RT 01 dan RT 03 sama sekali belum pernah mengikuti kegiatan tersebut.

(14)

Pengalaman kelompok usia remaja merupakan yang paling menonjol (tertinggi). Hal ini dikarenakan pada kelompok usia 12 sampai 25 tahun mendapatkan penyuluhan, pelatihan, dan sosialisasi mengenai bahaya kebakaran ketika berada di sekolah (pendidikan formal). Saat ini banyak penyuluhan, sosialisasi, dan pelatihan tanggap darurat yang dilakukan di sekolah-sekolah sehingga mempengaruhi pengalaman warga yang berusia remaja. Menurut Smith (1996), penentuan persepsi bahaya dan respon terhadap risiko bencana dengan cara yang berbeda sesuai dengan pemahaman pribadi mereka dan pengalaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heijmans (2001), menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti pengetahuan, pengalaman masa lalu, jenis kelamin, usia, menentukan suatu persepsi. Persepsi risiko masyarakat selanjutnya ditentukan oleh pengalaman yang mereka miliki di masa lalu. Hal tersebut menggambarkan bagaimana pengalaman masa lalu mempengaruhi persepsi risiko masyarakat.

2. Persepsi Risiko Berdasarkan Variabel Independen Pengetahuan Warga Mengenai Bahaya Kebakaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pengetahuan memiliki nilai bobot yang paling tinggi dibandingkan dengan variabel lainnya, artinya warga RT 01 dan RT 03 memiliki pengetahuan yang sangat baik mengenai kebakaran. Banyaknya jumlah warga yang berpendidikan tinggi (66,46%) berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan dapat mempengaruhi persepsi risiko seseorang, karena dapat diperoleh dari pendidikan formal, penyuluhan, sosialisasi, pelatihan, informasi dari media massa, dan informasi dari kerabat. Hasil ini juga didukung oleh David Krech (1962) yang berpendapat bahwa persepsi seseorang dipengaruhi oleh kerangka pengetahuan yang dimiliki yang diperoleh dari pendidikan, bacaan, penelitian, dan lain-lain. Meskipun berdasarkan keterangan dari ketua RT 01 dan RT 03 didapatkan informasi bahwa warga di tempatnya belum pernah mendapatkan penyuluhan, sosialisasi, dan pelatihan tanggap darurat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan dari responden berpengetahuan baik. Beberapa responden mengatakan bahwa pengetahuan mengenai kebakaran lebih banyak diperoleh dari kerabat dan media massa.

Keadaan Lingkungan Tempat Tinggal Responden

Seluruh warga di RT 01 dan RT 03 memiliki persepsi yang baik terhadap keadaan lingkungan tempat tinggal mereka, denga nilai bobot sebesar 3,20. Meskipun dalam observasi dan tanya jawab, kondisi lingkungan sangatlah buruk dan memiliki risiko kebakaran yang cukup tinggi. Ketika observasi ditemukan bahwa wilayah RT 01 dan RT 03 merupakan

(15)

kawasan permukiman padat penduduk dan kumuh, akses jalan di kedua wilayah sangatlah kecil dan hanya dapat dilalui kendaraan roda dua serta pejalan kaki jarak antar rumah sangatlah berdekatan dan rapat karena banyak terdapat kontrakan dan merupakan wilayah padat penduduk, material bahan bangunan tempat tinggal responden merupakan bahan mudah terbakar (misalnya rangka atap terbuat dari kayu dan dinding terbuat dari triplek). Berdasarkan tanya jawab yang dilakukan kepada responden dan Ketua RT setempat, diperoleh keterangan sebagai bahwa seluruh warga di kedua RT tersebut tidak pernah mendapatkan atau mengikuti penyuluhan/sosialisasi serta pelatihan mengenai tanggap darurat kebakaran, tidak dimilikinya sistem tanggap darurat dan organisasi SATLAKAR (Satuan Relawan Kebakaran) di wilayah tersebut, belum pernah terjadi kebakaran di wilayah RT 01 dan RT 03.

Walker et al (1998, dalam Williamson & Weyman, 2005) melaporkan bahwa sejumlah studi menunjukkan bahwa penduduk yang tinggal dekat dengan tingkat bahaya tinggi memperlihatkan kurangnya pemahaman mengenai lingkungan tempat tinggalnya, dibandingkan dengan mereka yang tinggal lebih jauh. Hal tersebut dapat mempengaruhi persepsi responden terhadap kondisi lingkungan tempat tinggalnya, sehingga mereka merasa tempat tinggalnya cukup aman. Selain itu, belum pernah terjadinya kebakaran juga mempengaruhi pandangan responden mengenai kondisi lingkungan tempat tinggalnya.

Keadaan Lingkungan Sosial Responden (Pengaruh Kerabat dan Media Massa)

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa responden memiliki kondisi lingkungan sosial yang baik. Artinya ada pengaruh dari kerabat dan media massa dalam transfer informasi mengenai aspek keselamatan dan risiko, serta bagaimana menghadapi keadaan darurat kebakaran. Individu sebagai makhluk sosial menjadikan mereka sebagai bagian dari suatu kelompok sosial, dimana mereka dapat saling berbagi pandangan, pengalaman, dan penilaian mengenai suatu risiko (Williamson & Weyman, 2005). Kelompok usia remaja (12 sampai 25 tahun) memiliki nilai bobot paling tinggi terhadap keadaan ligkungan sosial, dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Hal ini juga dipengaruhi oleh lebih mudahnya kelompok usia remaja untuk menerima informasi dari luar, terutama media sosial dan elektronik. Berdasarkan penelitian Williamson & Weyman (2005), persepsi risiko semakin menolak perspektif teoritis tunggal, terutama di mana persepsi risiko yang tidak melalui pengalaman langsung, tetapi dimediasi, misalnya melalui media massa. Ada indikasi bahwa masyarakat merespon liputan dari media secara lebih rasional dan aktif daripada yang diduga. Berdasarkan hasil penelitian oleh Schmidt (2004), media memiliki peran penting dalam

(16)

pembentukkan persepsi pada masyarakat. Masyarakat modern sangat dipengaruhi oleh media massa seperti televisi, surat kabar, majalah, radio, dan internet. Jika ada pemberitaan media mengenai suatu risiko, banyak orang yang tiba-tiba menjadi sadar akan hal itu dan mulai khawatir. Informasi mengenai risiko itu bisa saja menakutkan seseorang, bahkan ketika itu tidak mengandung suatu peringatan.

3. Persepsi Risiko Warga RT 01 dan RT 03

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa warga yang tinggal di RT 01 dan RT 03 memiliki persepsi risiko yang baik. Warga sudah merasa aman dan tidak terlalu khawatir akan terjadinya kebakaran di lingkungan tempat tinggalnya, karena mereka sudah cukup mengetahui dan memahami bahaya tersebut. Persepsi risiko dapat mempengaruhi perilaku warga dalam menghadapi suatu keadaan darurat di tempat tinggalnya. Berdasarkan penelitian variabel pengetahuan memiliki nilai bobot paling tinggi, sedangkan variabel keadaan lingkungan sosial memiliki nilai bobot tertinggi setelah pengetahuan, dan variabel keadaan lingkungan tempat tinggal memiliki nilai bobot terendah. Menurut Rohrmann (2008), persepsi risiko mengacu pada penilaian masyarakat dan evaluasi bahaya (fasilitas atau lingkungan) yang mungkin terkena bencana. Persepsi tersebut mengarahkan keputusan tentang penerimaan risiko dan pengaruh utama pada perilaku sebelum, selama dan sesudah bencana. Selain itu, bagaimana besarnya tingkat risiko, dan sejauh mana seseorang dapat menerima risiko, tergantung pada jenis bahaya, pengalaman pribadi, keyakinan dan sikap, serta pengaruh sosial yang beragam. Tidak pernah terjadinya kebakaran pada lokasi penelitian mempengaruhi persepsi responden terhadap kondisi lingkungannya.

Petts et al (2001, dalam Williamson & Weyman, 2005) menunjukkan bahwa antara media massa dan persepsi risiko memiliki hubungan tidak langsung. Media dirasakan memainkan peran yang lebih penting untuk interpretasi orang tentang suatu peristiwa ketika mereka memiliki lebih sedikit pengalaman langsung atau pengetahuan, sebuah temuan yang didukung oleh literatur yang lebih luas pada sosial komunikasi. Hasil penelitian dari Petts et al tersebut sesuai dengan hasil penelitian persepsi risiko masyarakat ini, dimana dalam penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari media massa. Sehingga persepsi risiko masyarakat terhadap bahaya kebakaran di permukiman adalah baik.

KESIMPULAN

(17)

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa meskipun warga di RT 01 dan RT 03 kurang berpengalaman dalam menghadapi kebakaran, persepsi risiko warga terhadap bahaya kebakaran di permukiman berada dalam kategori baik. Baiknya persepsi risiko warga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya seperti pengetahuan, keadaan lingkungan tempat tinggal, dan keadaan lingkungan sosial (pengaruh kerabat dan media massa). Pada penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan warga mengenai kebakaran menjadi faktor paling dominan saat menentukan baiknya persepsi risiko.

Kesimpulan Berdasarkan Tujuan Khusus

1. Persepsi risiko warga RT 01 dan RT 03 di RW 001, Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan berdasarkan karakteristik individu adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan jenis kelamin, persepsi risiko warga masuk dalam kategori baik dengan nilai bobot rataan sebesar 3,89. Warga laki-laki dan perempuan memiliki persepsi risiko yang sama baiknya, karena besar nilai bobot rataan yang sama.

b. Berdasarkan usia, persepsi risiko warga masuk dalam kategori baik dengan nilai bobot rataan sebesar 3,90. Warga usia remaja (12 sampai 25 tahun) memiliki persepsi risiko paling baik, dibandingkan dengan warga usia dewasa (26 sampai 45 tahun) dan usia lanjut (46 sampai 65 tahun).

c. Berdasarkan pendidikan terakhir, persepsi risiko warga masuk dalam kategori baik dengan nilai bobot rataan sebesar 3,89. Warga dengan pendidikan terakhir tinggi (SMA Sampai Perguruan Tinggi), memiliki persepsi paling baik dibandingkan dengan warga dengan pendidikan terakhir rendah (SD sampai SMP).

2. Warga RT 01 dan RT 03 di RW 001, Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan kurang berpengalaman dalam menghadapi kebakaran (nilai bobot rataan = 0,33).

3. Warga RT 01 dan RT 03 di RW 001, Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan memiliki persepsi risiko yang baik terhadap bahaya kebakaran di permukiman (nilai bobot rataan = 3,80).

4. Faktor dominan terkait persepsi warga yang baik terhadap bahaya kebakaran di permukiman, berdasarkan urutan nilai bobot rataan mulai dari yang paling rendah adalah : a. Keadaan lingkungan tempat tinggal responden, dengan nilai bobot rataan sebesar 3,20. b. Keadaan lingkungan sosial (pengaruh kerabat dan media massa), dengan nilai bobot

rataan sebesar 4,01.

c. Pengetahuan mengenai kebakaran, dengan nilai bobot sebesar 4,18.

(18)

Saran Untuk Warga Setempat :

1. Meningkatkan kesadaran akan keadaan lingkunganya terhadap risiko bahaya kebakaran di permukiman.

2. Penyebaran informasi yang lebih aktif dan merata dari para RT/RW/Petugas Kelurahan setempat, yang dapat dilakukan melalui penyuluhan dan sosialisasi.

3. Perlu diadakan pelatihan mengenai tanggap darurat kebakaran oleh Petugas Kelurahan setempat, agar warga memiliki pengalaman lebih baik lagi dalam menghadapi kebakaran. 4. Pada tiap RT perlu dibentuk SATLAKAR (Satuan Relawan Kebakaran) dengan anggota

masyarakat dan petugas Hansip setempat.

5. Perlu dibuat dan ditetapkannya suatu tempat sebagai titik berkumpul untuk evakuasi keadaan darurat.

Saran Untuk Pemerintah Kota :

1. Meninjau ulang serta mengkaji lebih dalam daerah potensi bahaya kebakaran, terutama wilayah permukiman padat penduduk dan kumuh.

2. Perlu dilakukan sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan tanggap darurat di setiap wilayah secara merata berdasarkan tingkat risiko bahaya.

3. Perlu diadakan penerapan dan edukasi mengenai mitigasi bencana, serta kesiapsiagaan darurat di setiap wilayah berdasarkan tingkat risiko suatu bahaya dan bencana.

4. Meningkatkan sistem kebakaran di setiap area permukiman, khususnya yang padat penduduk, karena terbatasnya akses jalan untuk mobil pemadam kebakaran.

DAFTAR REFERENSI

Anizar. 2009. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Ayu, Ambar Sulistyo. 2012. “Fenomena Kontrakan di Permukiman Kumuh” dalam Kompasiana (online) http://m.kompasiana.com/post/read/543375/2 (diakses tanggal 11 april 2014 pukul 19:58 WIB)

Badan Standar Nasional Indonesia, 2000.SNI 03-3985-2000 tentang Tata Cara Perencanaan, Pemasangan, dan Pegujian Sistem Deteksi dan Alarm Kebakaran untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan Gedung. Jakarta : Badan Standar Nasional Indonesia.

Botterill, Linda., Mazur, Nicole. 2004. Risk & Risk Perception, A Literature Review. Journal RIRDC Publication No 04/043.

(19)

Brushlinsky,N.N. et al. 2006. World Fire Statistic, Report N 10. Diunduh dari http://ec.europe.eu/consumers/cons_safe/presentation /21-02ctif.pdf. (Diakses pada tanggal 10 April 2014 pukul 10.00 WIB)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Profil kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Republik Indonesia.

Heijmans, A. 2001. ‘Vulnerability’: A Matter of Perception. University College of London : UK.

Kompas.com

http://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/04/1926143/Ini.Penyebab.Tingginya.Kebakaran .di.Jakarta (diakses tanggal 1 Mei 2014, pukul 15.50 WIB)

Mehaffey, James R. dan Joel L, Bert. 1997. Fire Protection, NIOSH Instructioal Module, Ohio: U.S Department of Health and Human Service. Diunduh dari http://www.cdc.gov/niosh/docs/2004-101/pcfs/FirePro.pdf. (Diakses pada tanggal 10 April 2014 pukul 09.14 WIB)

Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Ramli, Soehatman. 2010.Petunjuk Praktis Manajemen Kebakaran (Fire Management). Jakarta : Dian Rakyat.

Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Organisasi (Edisi ke-10). Jakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia.

Rohrmann, B. 2008. Risk Perception, Risk Attitude, Risk Communication, Risk Management: A Conceptual Appraisal. University of Melbourne: Australia.

Schmidt, M. 2004. Investigating Risk Perception: A Short Introduction.__: Vienna.

Siegrist, et.al. 2005. A New Look at The Psychometric Paradigm of Perception of Hazards. Risk Analysis, Vol.25, No.1.

Sjöberg, Lennart., Elin Moen Bjørg., and Rundmo, Torbjørn Explaining risk perception 2004.

An evaluation of the psychometric paradigm in risk perception research. Rotunde Norwegian University of Sciece and Technology, Departemen of Psychology: Trondheim Norway.

Sujatmoko, Riangga. 2012. Skripsi. Kejadian Kebakaran Permukiman Kota Bekasi Tahun 2010. Universitas Indonesia Kampus Depok, Depok: FKM-UI

Surtiani, E.E. 2006. "Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terciptanya Kawasan Permukiman Kumuh Di Kawasan Pusat Kota" Tesis Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro: Semarang.

(20)

Syailendra. 2012. “Ada 72 Titik Kumuh di Jakarta Selatan” dalam Koran Tempo (online) http://www.tempo.co/read/news /2012/11/02/083439323/ Ada-72-Titik-Kumuh-di-Jakarta-Selatan (diakses tanggal 11 April 2014 pukul 20.33 WIB)

Williamson, Julian & Andrew Weyman. Review of The Perception of Risk and Stakeholder Engagement. Health & Safety Laboratory: 2005

Wirawibawa. 2005. Kajian Penanggulangan Bahaya Kebakaran Pada Perumahan (Suatu Kajian Pendahuluan Di Perumahan Sarijadi Bandung). Universitas Udayana : Jurnal Permukiman Natah Vol. 03 No.1, Peb 2005: 1-61.

Gambar

Tabel 1 Posisi Keputusan Penilaian Variabel Pendahulu  Nilai Bobot Rataan                     Keterangan
Tabel 2 Posisi Keputusan Penilaian Variabel Dependen dan Independen  Nilai Bobot Rataan           Keterangan
Tabel 5 Data Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Tabel 8 Distribusi Mean Variabel Keadaan Lingkungan Tempat Tinggal Responden Dengan  Karakteristik Individu
+3

Referensi

Dokumen terkait