• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTUNJUKAN WAYANG DALAM RANGKA PEMBINAAN MORAL GENERASI MUDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTUNJUKAN WAYANG DALAM RANGKA PEMBINAAN MORAL GENERASI MUDA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUNJUKAN WAYANG DALAM RANGKA PEMBINAAN

MORAL GENERASI MUDA

Imam Sutardjo

Abstrak

Dalam pertunjukan wayang apabila dikaji dan diapresiasi ternyata penuh nilai karakter dan ajaran moral, yang meliputi nilai kearifan sosial, bela bangsa, pembinaan budi pekerti, rela berkorban demi kebenaran, persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga pertunjukan wayang merupakan ensiklopedi watak manusia, dan apabila digelar ‘dipentaskan’ mengandung nilai tontonan, tuntunan, dan tatananing agesang yang amat berguna untuk membangun dan mewujudkan karakter serta moral generasi muda..

1. Latar Belakang

Sebagian besar karya budaya tradisional, khususnya di Timur adalah bersifat ajaran, demikian pula wayang purwa juga sering dipandang sebagai sarana ajaran dengan memberikan model-model atau contoh tentang sifat dan perilaku hidup manusia dalam kedudukan baik dan buruk. Sehingga dalam pertunjukan wayang merupakan “ensiklopedi watak manusia”. Dengan kata lain sering dinyatakan bahwa pertunjukan wayang memberikan ajaran moral kepada kita, meskipun sebagai suatu karya seni yang bernilai tinggi, maka wayang memiliki kekayaan makna yang tidak habis-habisnya apabila dikaji. Pertunjukan wayang purwa yang mengambil cerita epos

Ramayana dan Mahabarata bukanlah bernilai historis, namun lebih berniali etis atau merupakan ajaran moral. Nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjunkan wayang tidak lain merupakan nilai esensial dalam kehidupan manusia, dengan harapan nilai-nilai itu dapat diresapi dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam dunia pewayangan dapat mendewasakan masyarakat pendukungnya berupa pembekalan konsepsi-konsepsi yang mudah dirasakan dan diresapkan, sehingga seseorang mampu menghadapi persoalan hidup dan kehidupan yang beraneka ragam. Filsafat pewayangan membuat para pendukungnya merenungkan hakikat hidup, asal dan tujuan hidup; hubungan gaib antara dirinya sendiri dengan Tuhan, serta kedudukan manusia dalam semesta yang gumelar ini. Pertunjukan wayang memberikan santapan rohani yang amat nikmat, memberikan kesegaran jiwa, dan meningkatkan kesadaran budi penggemarnya.

2. Pentingnya Pembinaan Moral

Moral adalah segi baik atau buruknya manusia sebagai manusia, maka pembinaan moral sesungguhnya merupakan soal yang mendalam dan tidak

(2)

mata praktis melainkan filosofis. Nilai-nilai moral itu beraneka ragam, yaitu kesetiaan, kemurahan hati, keadilan, kejujuran, dan sebagainya. Dengan ajaran moral tersebut dimaksudkan agar ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, baik lisan maupun tertulis yang tersirat dalam pertunjukan wayang itu dapat diterapkan dalam kehidupan, sehingga manusia dapat menjalani hidup dan kehidupan ini dengan baik, dan pada gilirannya dapat menjadi manusia yang berbudi luhur, baik atau utama (wicaksana). Masalah moral lebih menitikberatkan pada soal perbuatan manusia itu sendiri, maka pembinaan moral perlu ditanamkan kepada para generasi muda sebagai penerus bangsa dan dalam rangka membangun manusia seutuhnya. Moral merupakan pertanggungjawaban setiap manusia atas perbuatannya yang telah dilakukan dengan kesadaran (akal budi) dan kebebasan. Kesadaran dan kebebasan yang melahirkan tanggung jawab adalah aspek universal dan sifat hakiki manusia (Soebono, 1988).

Pembinaan generasi muda merupakan salah satu fase yang universal yang dihadapi oleh semua bangsa, karena masa muda adalah suatu fase dalam siklus kehidupan manusia. Fase ini berproses ke arah perkembangan dari perubahan-perubahan yang bersifat transisional. Dalam proses ini setiap individu generasi muda selalu berhadapan dengan tantangan-tantangan, baik dari proses pertumbuhan kepribadian maupun tantangan dari lingkungannya. Faktor lingkungan yang mempengaruhi proses pendewasaannya, berpangkal tolak dari lingkungan keluarga kemudian lingkungan masyarakat. Perubahan-perubahan sosial kultural yang bergerak amat cepat dalam abad modern ini sebagai akibat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, peledakan penduduk, krisis dunia dalam bidang ekonomi, moral, energi, dan lain-lain amat berperan dan merupakan tantangan yang dirasakan amat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan secara otomatis mempengaruhi perkembangan dan pendewasaan generasi muda, yang pada gilirannya fase ini menimbulkan berbagai permasalahan yang menonjol.

Permasalahan generasi muda itu dapat dilihat dari berbagai aspek sosial, antara lain aspek: sosial psikologi, ekonomi, politik, dan social budaya. Aspek sosial budaya amat penting untuk dianalisis lebih jauh, karena menyangkut hakikat kelangsungan bangsa dan negara. Kebudayaan merupakan endapan atau kristalisasi kegiatan dan karya manusia. Kebudayan adalah karya dan tanggung jawab manusia itu sendiri yang dilukiskan secara fungsional sebagai relasi terhadap rencana hidup kita sendiri, sehingga tampak sebagai suatu proses yang sedang dialami oleh umat manusia. Jadi perkembangan kebudayaan tidak terlepas dari manusia sendiri dalam menemukan dan menentukan strategi kebudayaan.

Tantangan dalam era global dewasa ini semakin kompleks, sehingga benturan-benturan nilai budaya tradisional dengan nilai-nilai budaya modern. Dalam menjawab berbagai tantangan itu perlu pertimbangan etis dan moral, sebab tanpa dua kendali atau filter tersebut; manusia tidak akan bertanggung jawab atas peran dan fungsi yang

(3)

dipercayakan Tuhan kepada manusia, yaitu sebagai homo significance, bahwa manusia diberi kemampuan memberi arti dan arah dalam hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, bahwa manusia diciptakan di dunia ini bertugas untuk menjadi wakil atau utusan Tuhan untuk mengolah alam semesta ini. Pembinaan moral generasi muda melalui seni tradisional pertunjukan wayang sangat diperlukan. Karena ditinjau dari segi pembangunan nasional, generasi muda merupakan sumber potensi bangsa yang harus dibina sebaik-baiknya dan terus-menerus, untuk mengantarkan pemuda-pemuda Indonesia ke masa depan sebagai generasi yang sehat, kuat, tangguh, bertanggung jawab, ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, cinta tanah air dan persatuan bangsa, demokratis, memiliki ketrampilan kerja serta berpandangan rasional yang dipadukan dengan ketinggian moral Pancasila.

Generasi muda adalah vital sensibility, yaitu bukan hanya suatu kekuatan fisik, tetapi juga dalam bentuk belief „keyakinan‟, idea „ide, gagasan‟, custom „adat-istiadat‟, dan estimation „perkiraan anggapan‟ (Soebono, 1988). Mengapa nilai-nilai

budaya tradisional perlu diberikan kepada generasi muda? Karena nilai-nilai merupakan konsep mengeni apa yang dianggap sebaiknya diadakan, diusahakan atau dituju; sedangkan norma-norma merupakan aturan-aturan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan dianggap harus ditaati dalam berbagai jenis hubungan.

3. Nilai-nilai Moral dalam Pertunjukan Wayang

Secara etimologis moral berasal dari kata mos (tunggal) atau mores (jamak) yang berarti adat atau cara hidup yang baik dan mapan. Adapun nilai-nilai moral yang terlihat dan terpancar dalam pertunjukan wayang adalah sebagai berikut.

1. Pemuda yang Ideal dan Berjiwa Patriotik

Nilai kepemudaan yang ideal secara umum selalu terdapat dalam pertunjukan wayang purwa, yaitu adanya tokoh satria yang diikuti abdi panakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Satria dilukiskan sebagai seorang tokoh pemuda yang bermoral atau berbudi luhur dan selalu mencari dan mempelajari serta meningkatkan berbagai macam ilmu pengetahuan lahir dan batin untuk kesempurnaan pribadinya dan menghadapi tugas pada taraf hidup berikutnya agar dapat mencapai kesempurnaan hidup. Setelah perang kembang, yaitu seorang satria itu mendapatkan bekal hidupnya, lalu berperang dan akhirnya dapat mengalahkan raksasa empat yang berwarna: merah, hitam, kuning, hijau. Maksudnya satria itu telah menemukan pribadinya, dapat menguasai diri pribadinya. Hal tersebut dapat dilukiskan para tokoh wayang berikut.

a. Raden Narayana atau Prabu Kresna

Narayana seorang anak raja Mandura Prabu Basudewa, tetapi semasa mudanya tidak mau tinggal di istana bersuka ria, berfoya-foya; melainkan ia suka bergaul dan berkenalan dengan seluruh pelosok masyarakat. Setiap mendengar ada guru termasyur didatanginya untuk ditimba ilmunya. Berkat

(4)

usahanya yang rajin, tekun dan cermat; ia berhasil mendapatkan senjata yang ampuh, ilmu yang dalam, serta dapat membawa kewibawaan bagi dirinya. Prabu Kresna memiliki 3 (tiga) senjata, yaitu: Kyai Cakrabaskara, Kembang Wijayakusuma, dan ilmu triwikrama. Akhirnya Prabu Kresna menjadi raja di Dwarawati yang bijaksana, berbudi bawa laksana, memikirkan nasib rakyatnya, serta selalu memberi teladan keutamaan hidup (moral). Sehingga para kawula atau rakyat dan negara menjadi aman tenteram, penuh kedamaian, jauh dari berbagai kejahatan.

b. Raden Kakrasana atau Prabu Baladewa

Kakrasana merupakan seorang pemuda yang keras hati, keras kemauan dan gagah perkasa. Semasa masih muda juga hidup di pedesaan (padhukuhan) Widarakandhang, hidup sebagai petani yang penuh lara lapa „suka duka dan

problem‟ kehidupan. Setelah Kakrasana mendapat nasihat dari pengasuhnya, yaitu Demang Antyagopa atau Sagopa; bahwa orang hidup itu harus selalu berbuat baik, suka menolong dan membantu terhadap sesama (moral), serta harus mendidik dan mendewasakan jasmani dan rohani. Kakrasana merasa gembira atas nasihat yang telah diberikannya, akhirnya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan hati untuk bertapa memohon kepada dewa agar diberi anugerah, bimbingan serta kesentosaan hati. Kakrasana menjalani pelatihan dan penggemblengan mental spiritual dengan bertapa di gua Argasonya di gunung Rewantaka. Akhirnya berkat ketekunan, keteguhan, rajin tak mudah putus asa; dia berhasil menerima tanda penghargaan dari dewa berupa senjata yang amat sakti bernama Kyai Nanggala atau Nenggala. Dalam dunia pedalangan, nenggala diberi arti secara kerata basa atau jarwa dhosok „keruntutan bumi akhir‟, yaitu nenging angga kang ala; maksudnya telah dapat menguasai diri pribadi dapat mengalahkan perbuatan hawa nafsu‟. Senjata Nenggala yang sungguh ampuh itu, ibaratnya jikalau dikenakan gunung jugrug „hancur‟, samodra menjadi asat „kering‟.

c. Raden Bratasena atau Bima

Seorang pemuda yang gagah perkasa, sentosa pribadinya tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan. Tindakannya tepat, sebab segalanya telah dipikirmat dengan cermat dan sungguh-sungguh. Bratasena seorang pemuda yang selalu rindu terhadap kebenaran dan patuh kepada guru, sehingga segala yang diyakini itu benar, ia tidak pernah melepaskan keyakinannya. Bima yakin bahwa guru itu pasti berbuat baik terhadap muridnya, maka Bima sangat hormat dan patuh kepada Resi Druna (guru Pandawa dan Kurawa). Bratasena suatu ketika meminta kepada guru Druna agar diberi wejangan atau nasihat tentang kebenaran ilmu sangkan paraning dumadi. Druna akan mengabulkan dan menjelaskan permintaan Bima, asalkan Bratasena dapat menemukan Tirta

(5)

Amerta yang terdapat di puncak gunung Reksamuka atau Candramuka, dan apabila tidak ditemukan harus dicari di dasar samodra Minangkalbu.

Biarpun sanak saudara melarang Bima untuk mencarinya, karena petunjuk Druna itu dianggapnya suatu tipu daya yang menyesatkan dan menyengsarakan; Bima tidak mau mundur sedikitpun, sebab dia telah yakin bahwa petunjuk Druna itu suatu kebenaran, tidak ada prasangka negatif sedikitpun terhadap guru Druna.

Berangkatlah Bima mencari Tirta Amerta dengan sepenuh hati tiada terlukiskan beratnya perjuangan lahir batin, dan marabahaya yang dihadapi. Berkat semangat, kesentosaan, dan perjuangannya yang penuh keikhlasan dan ketabahan, akhirnya Bima bertemu dengan Hyang Ruci Batara atau Dewa Ruci yang menggambarkan kebenaran sejati atau kebenaran abadi. Hanya kepada Dewa Rucilah Bratasena memberikan sembahnya dan bersikap tunduk patuh dengan segala penyerahan jiwa raganya. Setelah Bima berhasil ketemu dengan Dewa Ruci dan menerima wejangan tentang kebenaran hidup ini, Bratasena menjadi tokoh suci yang mumpuni bernama Bimasuci (satriya pinadhita), memiliki kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional.

d. Raden Premadi atau Arjuna

Premadi adalah satria panengah Pandawa dan tinggal di kasatrian Madukara. Arjuna seorang satria yang selalu mencari segala ilmu lahir batin kepada setiap guru yang masyur untuk mendapatkan keutamaan dan kesempurnaan. Ia selalu berbuat berbuat darma kepada seluruh isi dunia, tidak hanya rakyat biasa yang mendapat pertolongannya, tetapi para dewa pun sering minta pertolongan kepada Arjuna. Untuk menyempurnakan pribadinya itu Arjuna selalu berguru dan sering bertapa. Guru Premadi ada 2 (dua), yaitu Pandita Druna untuk mendapatkan ilmu teknik berperang, terutama keahlian memanah; dan Arjuna berguru kepada neneknya sendiri, yaitu begawan Abiyasa untuk mendapat ilmu kerohanian (spiritual). Dalam rangka penggemblengan atas pribadinya, Arjuna bertapa di gunung Indrakila di gua Witaraga, dan selam berpuasa Arjuna disuruh dewa untuk membunuh Raja raksasa di Imaimantaka Prabu Niwatakawaca. Akhirnya Arjuna berhasil membunuhnya dan mendapatkan senjata Kyai Pasopati dari Dewa Siwa sebagai tanda terima kasihnya, serta diberi hadiah bidadari sakethi (seratus ribu) kurang satu.

Arjuna dalam pertunjukan wayang memang beristrikan banyak, sehingga pandangan awam menganggap bahwa Arjuna dianggap satria don juan „mata keranjang‟. Pendapat ini penulis tidak setuju, karena wayang merupakan bahasa simbol hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, isteri-isteri Arjuna yang banyak tersebut juga diinterpretasikan secara simbolis. Wanita dalam kesastraan kuna adalah sebagai lambang rasa sejati, maksudnya kesenangan

(6)

hidup manusia akan terpenuhi apabila segala kebutuhannya tercukupi (drajat, pangkat, semat). Istri Arjuna tidak terhitung banyaknya, merata di seluruh penjuru dunia. Istilah isteri bemakna sebagai bagian hidup Arjuna, sehingga apabila hendak mengenal pribadi Arjuna perlu mengerti nama-nama istrinya (Herman Pratikto, tt). Pendek kata isteri Arjuna itu menunjukkan kepandaian, kesaktian, dan jabatan; apabila disejajarjan dengan zaman sekarang isteri Arjuna merupakan prestasi yang telah diperolehnya.

2. Berjiwa Patriotik atau Kepahlawanan

Satria dan pemuda yang berjiwa patriotik dalam pertunjukan wayang amat banyak digambarkan dan dicontohkan, di antaranya.

a. Raden Abimanyu

Satria dari Plangkawati, putra Raden Arjuna dan Dewi Wara Sembadra ini sangat pemberani dan berjiwa patriotik. Terbukti ketika perang besar Baratayuda, keluar ke medan pertempuran dan dikeroyok para Kurawa serta dibunuh oleh Jayadrata, dan gugurlah Abimanyu sebagai kusuma bangsa dalam membela bangsa dan negara daripada hanya bersuka ria dan bersembunyi di dalam isatana.

b. Adipati Karna

Beliau memilih memihak Kurawa untuk mengangkat dan membangkitkan perang di pihak Prabu Duryudana (salah dan serakah), karena Karna bersedia bertanding dengan adiknya yaitu Arjuna dan ikhlas bila dibunuhnya demi hancurnya angkara murka (Kurawa). Dalam peristiwa ini masing-masing menetapi tugas kewajiban atau darma satria daripada mereka berdamai, tetapi kejahatan tetap merajalela (pihak Kurawa). Sehingga dalam Buku Tripama

karya Mangkuinegara IV, Adipati Karna dijadikan salah satu teladan prajurit yang baik selalu membela negara.

c. Patih Suwanda dan Raden Kumbakarna

Raden Sumantri (Patih Suwanda) patih negara Maespati Prabu Harjunasasrabau, dan Kumbakarna, adik Raja Alengka Prabu Rahwana tersebut juga teladan kepahlawanan atau prajurit yang baik dalam membela bangsa dan negara, digambarkan oleh Mangkunegara IV dalam Serat Tripama.

3. Watak Sabar, Selalu berbuat Baik, Ikhlas, dan Pasrah

Perwatakan ini dipersonifikasikan pada diri Prabu Puntadewa Raja Amarta, yaitu seorang satria dan raja yang selalu berbakti dan mengagungkan Tuhan Yang Mahamulya. Dia menyerahkan keseluruhan hidupnya kepada Tuhan, dan karena penyerahannya yang total dan mutlak itu lahir batinnya tidak pernah menghalang-halangi kehendak orang lain atas dirinya. Kehendak tersebut tidak pernah dibedakan antara yang baik dan yang buruk, semua dilayaninya. Maka Prabu Puntadewa juga bernama Sang Ajathasatru, artinya tidak punya musuh. Meskipun

(7)

demikian di dalam dunia pedalangan belum pernah terjadi perbuatan keji yang dapat mencelakakan Puntadewa. Semua perbuatan jahat tertolak oleh senjatanya yang bernama Jamus Kalimasada yang benar-benar suradira jayaningrat lebur dening pangastuti (dapat mengalahkan kesombongan dan kecongkakan serta kekuatan lahiriah semata).

Prabu Puntadewa berdarah putih, simbol hati (rohaninya) telah bersih atau mutmainah, sehingga memiliki ajian Jamus Kalimasada atau Kalimah Syahadat

telah anjiwa, ambalung sungsum „menyatu‟ dalam dirinya, sehingga dzat Tuhan berhampir atau menyatu dalam dirinya. Sesuai firman Alloh S.W.T dalam hadist Hudsi, yang artinya: tidak akan dapat membuat zat-Ku, kecuali hati hamba-Ku yang bersih lunak dan tenang”. Dalam pandangan filsafat dinyatakan bahwa manusia merupakan percikan cahaya Tuhan. Karena Zat Tuhan telah berada dalam diri Prabu Puntadewa, maka berhasil mengalahkan ajian Candhabirawa, milik Prabu Salya Raja Mandaraka. Ajian tersebut berupa raksasa bajang „kecil‟, apabila dilawan dan dibunuh dengan kekerasan akan semakin sakti dan raksasa tersebut berlipat ganda menjadi banyak, sehingga amat menakutkan lawan. Namun berkat kesucian hati, kepasrahan total, dan kalimah Syahadat yang telah mengalir dalam dirinya, sehingga ajian Candhabirawa hancur lebur tiada bekas. Hal ini merupakan ajaran yang dikemas dalam simbol, bahwa nafsu serakah, kejam (jin, setan) akan hancur dengan kalimah Alloh yang dimiliki oleh seseorang yang berhati bersih tiada kesombongan sedikitpun dalam dirinya.

4. Jiwa Rohaniawan

Tokoh yang berjiwa rohaniawan juga ditemui dalam dunia seni pedalangan, yaitu Begawan Abiyasa atau Resi Wiyasa dari Pertapan Wukir Ratawu atau Saptaarga. Dia merupakan seorang brahmana yang arif dan bijaksana menguasai semua weda dari segala ilmu kebatinan. Ketika masih muda pernah menjabat raja di Astinapura memerintah dengan penuh keadilan dan kebijaksanaan. Setelah putra-putranya dewasa, dengan tulus ikhlas melepaskan tahta kerajaan kepada putranya, dan ia pergi dari lingkungan istana hidup di tempat yang sunyi, yaitu di asrama puncak gunung untuk memusatkan hidupnya mengharap kepada Illahi dengan suatu doa agar dunia ini tetap selamat atau mrih rahayuning jagad raya. Setiap cucu-cucunya mendapatkan masalah atau kesukaran, Resi Wiyasa selalu turun tangan memberikan petunjuk dan bantuan. Para putra dan cucu Pandawa selalu dididik, dibina ke arah perbuatan yang baik, santun, suka menolong, berbakti kepada orang tua, menghurmati sesama dan berbakti kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sehingga pada akhir hidupnya Resi Wiyasa meninggal dengan sempurna (husnul khotimah) dan dijemput oleh para dewa pulang ke alam baka dan di surga abadi.

5. Wanita atau Ibu Sejati

Tokoh ini digambarkan pada Dewi Pitra atau Dewi Kunti isteri Prabu Pandudewanata, isteri yang amat setia kepada suami dan benar-benar memikirkan

(8)

nasib para putranya. Dewi Kunti seorang janda dengan lima orang anak yang masih kecil-kecil (meskipun yang dua atau kembar, Sakula dan Sadewa adalah putra Dewi Madrim). Dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab seorang ibu dalam mengasuh dan membimbing putera-puteranya dengan penuh keikhlasan. Yang dicita-citakan tiada lain agar putera-puteranya itu menjadi genarasi atau menjadi orang yang berbudi luhur, berbakti dan membela terhadap nusa dan bangsanya. Segala fitnah dan derita dihadapi dengan ketabahan disertai keyakinan yang mendalam kepada kekuasaan Tuhan. Meskipun negara semakin maju, peranan wanita sangat dibutuhkan dalam membangun negara, tetapi emansipasi wanita atau gender hendaknya tetap berpijak pada kodrat seorang wanita. Karena ada peribahasa, “Wanita adalah tiang negara, apabila wanita baik jayalah negara; tetapi apabila para wanita rusak moralnya, hancur leburlah suatu negara”.

4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian sekilas dan contoh-contoh di atas jelaslah bahwa dalam pertunjukan wayang yang bersumberkan epos Ramayana dan Mahabarata ituamat sarat pandangan hidup, nilai-nilai karakter atau watak manusia dan pesan-pesan ajaran moral. Ajaran tersebut dapat digunakan dan salah satu sarana untuk membina moral, mental spiritual generasi muda berdasarkan jiwa serta budi pekerti kehidupan rakyat Indonesia, dalam membangun bangsa dan NKRI berdasarkan dasar Negara Pancasila dan UUD 1945. Berbagai ajaran tersebut sampai kepada kita atau tidak, semuanya bergantung pada kekayaan tafsir para penonton dalam pengalaman penghayatan, mengingat dalam sajian pertunjukan wayang dikemas dengan pemahaman multi interpretasi yang penuh makna ambiguitasmoral.

5. Daftar Pustaka

Anderson, Benedict R.O.G. 1976. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Pelayanan Rohani Mahasiswa Yogyakarta. Translation of Mythology and the Tolerance of the Javanese. Termuat dalam Modern Indonesia Project Southest Asia Program Departement of Asia Student: Cornel University.

Edi subroto dkk., 1991. Kajian Ikhwal Ajaran Moral dan Etika Serat Wedhatama Karya Mangkunegara IV dalam Proses Modernisasi. Laporan penelitian dana DPP 1990/1991. Surakarta: Fak. Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

Frans magnis Suseno. 1983. Etika Jawa dalam Tantangan. Yogyakarta: Kanisius.

(9)

Hardjowirogo. 1955. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementrian P dan K.

Harun Nasution. 1973. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Herman Pratikto. Tanpa Tahun. Wayang: Apa dan Siapa Tokoh-tokohnya. Jakarta: SKM Buana Minggu.

Imam sutardjo. 2008. Kajian Kebudayaan Jawa. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah– FSSR–UNS.

Koentjoroningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Mardiwarsito, L., 1981. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Nusa Indah Ende Flores

Soebono. 1988. “Peranan dan Tanggung Jawab Generasi Muda dalam Melestarikan Nilai-nilai Dasar Bangsa dan Negara” dalam Widya Bhawana. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Sri Mulyono. 1979. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung.

_________ , 1982. Wayang: Asal-usul Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung.

Referensi

Dokumen terkait

Kaitannya dengan tindakan diskresi yang dilakukan oleh penyidik terhadap suatu perkara pidana, diskresi tidak hanya mengedepankan hukum pidana secara formil yang sangat kaku

tiga orientasi makna dari penggunaan kata ‘maal’ dalam a l- Quran: Pertama, kekayaan, kepemilikan dan harta warisan pada hakekatnya adalah milik Allah bukan milik

Dalam artian kemungkinan berbeda dengan metode rukyah dalam penetapan awal bulan Qomariyah itu sedikit.seperti yang terjadi pada 1 Syawwal 1428 Persis dengan Nahdlatul Ulama’

Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana persepsi warga net pengguna Twitter pengikut akun Wariman terhadap seksualitas. Akun Twitter @Wariman_ adalah akun Twitter

Hasil penelitian menunjukkan persepsi mahasiswa S1 dan D3 Tata Busana Jurusan Kesejahteraan Keluarga terhadap kegiatan observasi PLI di dunia

Data yang diperoleh pada variabel perkecambahan dianalisis dengan deskriptif, sedangkan data yang diperoleh pada variabel pertumbuhan dianalisis dengan uji F pada taraf 5%

Pada saat ibu menyusui bayi, sebaiknya payudara yang masuk adalah bagian…c. Puting dan bagian hitam

Poin disini dapat di interpretasikan sebagai sebuah gambaran yang cukup menjelaskan bagaimana nilai – nilai identitas pada atlit olahraga muncul, yaitu dimana seseorang