• Tidak ada hasil yang ditemukan

"Bodhisattva Muncul dari Bumi"

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan ""Bodhisattva Muncul dari Bumi""

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PERHIMPUNAN BUDDHIS NICHIREN SHU INDONESIA

i y u - n o - B o s a t s u, a t a u

“Bodhisattvas Muncul dari Bumi.” Istilah ini sangat dikenal oleh semua orang yang melaksanakan O’daimoku, tetapi orang-orang dari sekte Buddhis lain tidak mengenal istilah ini. Ini disebabkan istilah Bodhisattva Muncul dari Bumi, baru pertama kali diungkapkan dalam Saddharma Pundarika Sutra, dalam Bab “Boddhisattva Muncul dari Bumi” Bahkan para Bodhisattva dan para Buddha yang berkumpul dalam pesamuan angkasa, atau yang disebut Koku-ye, tidak mengetahui tentang keberadaan Bodhisattva ini. Hanya Buddha Sakyamuni yang mengetahuinya. Ketika itu, Buddha Sakyamuni sedang mempertimbangkan tentang penyebarluasan Dharma setelah kemoksaanNya atau PariNirvana. Kemudian, Ia bertanya, “Siapa yang akan membabarkan Saddharma Pundarika Sutra ini di Dunia Saha? Sekarang adalah waktu yang tepat untuk melakukannya. Aku akan segera memasuki PariNirvana.”

Pada waktu itu, para Bodhisattva yang datang dari segala penjuru di alam semesta berkata kepada Sang Buddha, “Yang Maha

"Bodhisattva Muncul dari Bumi"

Nichiren Shonin Dan Semua Orang Yang

Mempertahankan O’daimoku Adalah

Oleh: YM.Bhiksu Jun-ichi Nakamura

Ilustrasi oleh: Hiroshige Katsu

(2)

Agung, Janganlah khawatir! Jika Engkau memberikan ijin kepada kami untuk melindungi, menjaga, membaca, menghafal, dan menyalin sutra ini, dan membuat persembahan kepada sutra ini, kami dengan sepenuh hati akan membabarkannya di Dunia Saha ini setelah kemoksaanMu.” Namun, Sang Buddha tidak memberikan kesempatan itu kepada mereka. Kutipan dari Saddharma Pundarika Sutra, “Tidak, putera yang baik! Aku tidak ingin kamu melindungi atau menjaga sutra ini.” Beberapa orang dari pesamuan menjadi bimbang, “Kenapa tidak?” Sehingga Sang Buddha menjelaskan kepada mereka,

“Karena disini terdapat Bodhisattva-mahasattvas berjumlah enam puluh ribu kali banyaknya pasir-pasir di Sungai Gangga dalam Dunia Saha ini.” Sang Buddha menginginkan para Bodhisattva yang tinggal dalam Dunia Saha ini yang akan membabarkan Dharma pada masa mendatang. “Oh, Aku tahu, pada awalnya memang sulit dimengerti. Sama seperti mereka, aku juga ingin memprotes Sang Buddha. Namun, Sang Buddha ingin membuat para Sangha mengerti tentang pikiranNya bahwa para Bodhisattva itu lahir di Dunia Saha, sehingga dapat membimbing orang-orang yang tinggal didalam dunia yang sama untuk mencapai KeBuddhaan. Pikiran dari Sang Buddha ini membuat aku

ingat akan Presiden ke-16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln yang menyatakan, “Pemerintah dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat.” Para peserta pesamuan angkasa pasti mempunyai pemikiran yang sama seperti Lincoln.

Kemudian dari dalam bumi Dunia Saha, bergetar dan terbelah, dan Bodhisattva yang tak terhingga muncul dari dalamnya secara serentak. Mereka datang ke angkasa dimana pesamuan sedang dilaksanakan. Mereka ini disebut Jiyu-no-Bosatsu, atau Bodhisattva Muncul dari Bumi. Diantara mereka semua, terdapat Empat orang pemimpin yakni:

1. Jogyo ( ),

2. Muhengyo ( ), 3. Jogyo ( ), dan 4. Anryugyo ( ).

Dan mereka merupakan pemimpin tertinggi dari seluruh Bodhisattva tersebut. Dalam Maha Mandala Gohonzon, Empat Bodhisattva itu diabadikan, dua orang disisi kiri dari Buddha Sakyamuni Buddha dan dua lainnya disisi kanan

dari Buddha Prabhutaratna. Dalam kuil, kita juga dapat melihat rupang kayu dari ke-Empat Bodhisattva tersebut dihadapan kita. Namun, posisi mereka harus menghadap kearah Buddha Sakyamuni dengan tangan membentuk Anjali Mudra (Gassho). Karena mereka adalah merupakan perwakilan dari Bodhisattva yang tak terhingga yang muncul dari bumi, mereka dengan gembira menghadap Sang Buddha dan siap mendengarkan pembabaran Sang Buddha tanpa lupa satu kata pun juga. Menanggapi mereka, Buddha Sakyamuni menugaskan para Bodhisattva agung, yang dipimpin oleh Bodhisattva Jogyo seperti yang dinyatakan dalam Bab.XXI, Saddharma Pundarika Sutra, “Jaga, baca, hafal, babarkan dan salin sutra ini, dan laksanakan sesuai dengan ajaran tersebut dengan sepenuh hati mu setelah kemoksaanKu..”

Sekarang, mari kita fokus pada dua kutipan kalimat berikut “dipimpin oleh Bodhisattva Jogyo” dan “setelah kemoksaanKu.” Nichiren Shonin membaca kutipan ini dalam Saddharma Pundairka Sutra dan mengetahui bahwa ini adalah jalan bagi orang-orang yang hidup pada masa akhir dharma dan juga sebagai pesan dari Sang Buddha. Lebih lanjut, Ia merasa sebagai salah satu dari Bodhisattva Muncul dari Bumi dalam masa akhir dharma ini. Nichiren Shonin menyatakan dalam sebuah surat kepada Shijo Kingo, “Ketika kedua Buddha (Sakyamuni dan Prabhutaratna) duduk berdampingan dalam

“Ketika kedua Buddha (Sakyamuni dan Prabhutaratna) duduk berdampingan dalam stupa pusaka, Aku, Nichiren, menyebarluaskan Daimoku (Namu Myoho Renge Kyo), yang telah diberikan kepada Bodhisattva Jogyo (oleh Sang Buddha). Aku ingin tahu apakah Aku adalah seorang utusan dari Bodhisattva Jogyo?”

(3)

stupa pusaka, Aku, Nichiren, menyebarluaskan Daimoku (Namu Myoho Renge Kyo), yang telah diberikan kepada Bodhisattva Jogyo (oleh Sang Buddha). Aku ingin tahu apakah Aku adalah seorang utusan dari Bodhisattva Jogyo?”

Nichiren Shonin telah berjalan diatas jalan pelaksanaan Saddharma Pundarika Sutra sesuai dengan yang dikehendaki oleh Sang Buddha. Kesadaran dan pengalamanNya sebagai seorang pelaksana dinyatakan dalam surat kepada Uemondayu,

“Diantara kelima aksara: Shi ( ), Nin ( ), Gyo ( ), Se ( ), Ken ( ),

atau seseorang yang melaksanakan dalam masyarakat, siapakah yang kamu pikirkan tentang wujud dari Nin( )? Aku mengerti bahwa orang ini haruslah kelahiran dari Bodhisattva Jogyo.” Nichiren Shonin sendiri tidak pernah menyatakan secara langsung bahwa Ia adalah kelahiran dari Bodhisattva Jogyo dalam tulisannya. Namun, kita menyebut pendiri kita dengan sebutan, “Namu Honge Jogyo Koso Nichiren

Daibosatsu,” atau “Yang Dimuliakan

Pendiri Kami, Maha Bodhisattva Nichiren Shonin, perwujudan Bodhisattva Jogyo, yang telah mencapai pencerahan dari Buddha Abadi Sakyamuni Buddha,” karena kesadaranNya tersebut diatas.

Nichiren Shonin lahir dalam Masa Akhir Dharma dan mencurahkan hidupNya untuk menyelamatkan umat manusia. Sebagai bentuk ketegasan dalam perwujudan dari Bodhisattva Jogyo, ia menuliskan nama “Nichiren” dengan tegas dan

"Diantara kelima aksara Shi, Nin, Gyo, Se, Ken, atau seseorang yang melaksanakan dalam masyarakat, siapakah yang kamu pikirkan tentang wujud dari Nin ? Aku mengerti bahwa orang ini haruslah kelahiran dari Bodhisattva Jogyo."

jelas dalam setiap suratnya. Dan perlu diingat bahwa Nichiren Shonin menyebut kita semua, “Semua orang yang menyebut Odaimoku adalah Bodhisattva Muncul dari Bumi.”

Gassho.

Catatan :

Nichi-Gatsu-Ge, kutipan Matahari dan Bulan. Ini adalah bagian kutipan dari Bab.XXI, Saddharma Pundarika Sutra, “Nyo Nichi Gatsu Kyo myo No jo Sho Yu myo Shinin Gyo Seken No metsu Shujo An.” Semua orang yang membabarkan Saddharma Pundarika Sutra setelah kemoksaan Sang Buddha akan dapat melenyapkan kegelapan dari seluruh mahluk hidup di dunia, dimana ia tinggal, bagaikan cahaya matahari dan bulan yang melenyapkan segala kegelapan.

B u d d h a S a k y a m u n i memberikan kutipan kalimat ini kepada Bodhisattva Muncul dari Bumi, dan menerima tugas penyebarluasan Saddharma Pundarika Sutra dari Sang Buddha. Nichiren Shonin menyadari diriNya adalah perwujudan dari Bodhisattva Jogyo, pemimpin dari Bodhisattva Muncul dari Bumi. Kita mengerti kutipan Matahari dan Bulan ini sangat penting, ini menunjukkan posisi dari Nichiren Shonin.

JANJI MURID-MURID

NICHIREN SHONIN

Kami selalu mengingat Saddharma Pundarika Sutra

sebagai sebuah pengalaman pribadi dari Nichiren Shonin yang memberikan pondasi dalam

hidup kami.

-OO-Buddha Sakyamuni -OO-Buddha, selalu berusaha untuk menyelamatkan semua mahluk hidup semenjak masa

lampau yang jauh, Guru Sejati yang selalu memberikan

Kebijaksanaan dan Maitri KarunaNya. Kami menaruh

kepercayaan sepenuh hati kepadaNya.

-OO-“Namu Myoho Renge Kyo” untuk memperkuat Jiwa Buddha Sejati yang ada dalam diri setiap orang dan menciptakan Tanah Buddha. Kami selalu mengingat Beliau sebagai Guru kami dan berusaha

untuk mencapai tujuan tersebut..

-OO-Nichiren Shonin membuat janji untuk memperkuat Jiwa Buddha Sejati' setiap orang dan

membangun Tanah Buddha. Kami selalu mengingat Beliau sebagai Guru kami dan berusaha

untuk mencapai tujuan tersebut.

-OO-Kami selalu menyadari bahwa kami adalah anak-anak dari Buddha dan tinggal bersama-sama dengan yang lainnya untuk

(4)

M

aha Guru Dengyo, Saicho pada tahun Enryaku ke-11 ( 7 8 8 ) m e n d i r i k a n Kuil Enryaku Ji di Gunung Hiei. Kuil Enryaku-ji adalah Kuil Pusat dari Tendai-shu (Sekte Tendai). Terdapat tiga daerah suci utama yang berhubungan dengan Gunung Hiei, yakni Todo (Timur), Saito (Barat), Yokawa dan juga sebelas perkampungan lainnya. Kuil ini akan merayakan ulang tahunnya yang ke-1,200 tahun Tendai Shu tahun 2006 ini.

Kuil Enryaku-ji sangat makmur dan terkenal pada abad pertengahan sebagai lembaga pendidikan Buddhisme Jepang. Para pendiri berbagai macam sekte Buddhis baru sepanjang periode Kamkura seperti Nichiren (Nichiren Shu), Honen (Jodo Shu), Shinran (Jodo Shin Shu), Dogen (Soto Zen Shu), Eisai (Rinzai Zen Shu), Ippen (Ji Shu) dan lain-lainnya pernah belajar dikuil ini.

Buddhisme dikembangkan sesuai dengan gagasan dari Kuil Enryaku-ji. Nichiren Shonin dilahirkan di Propinsi Awa, pantai timur Jepang. Ia berkunjung dan belajar diberbagai kuil di Nara dan Kyoto dari umur 21 sampai 32 tahun. Ia belajar Saddharma Pundarika Sutra di Gunung Hiei. Selama Ia belajar di Gunung Hiei, Nichiren Shonin tinggal

Nichiren Shonin dan Gunung Hiei

"Hondo" Baru dari

Kuil Joko-in, Yokawa,

Gunung Hiei

di daerah Yokawa. Sebuah peta dari Gunung Hiei telah digambar pada awal periode Muromachi (1338-1573), berisi sebuah tanda, sebagai bukti bahwa Nichiren Shonin pernah tinggal di Yokawa selama masa pembelajarannya. Pada bagian sebelah kanan akhir peta, terdapat sebuah tempat yang disebut Kabo-dani, (Perkampungan Kabo). Sebuah gambar monumen batu dilukiskan disini. Tertulis dalam monumen itu dalam tulisan kanji “Nichiren Sekito”, yang diterjemahkan sebagai Monumen Batu Nichiren. Disamping

itu dilukiskan sebuah monumen yang mencantumkan nama sebuah kuil, Keko-bo.

Ichinyo-in Nichiju, Kepala Bhiksu ke-20, Kuil Kuon-ji, Gunung Minobu, menulis sebuah tesis ajaran, “Kenmon-Guan-ki” pada masa akhir hidupnya. Ia berkata bahwa ia pernah ke Kyoto pada tahun Eiroku ke-33 (1570) dan belajar di kuil dalam daerah tersebut. Selama tinggal di Kyoto, Nichiju pergi ke Gunung Hiei dan berkunjung ke Keko-bo, dimana Nichiren Shonin pernah tinggal. Ia juga menemukan sebuah Monumen

Ket. Konpon Chodo, Kuil Enryakuji, Gunung Hiei. Maha Guru Dengyo, Saicho (767-822), pendiri dari Tendai Shu, membangun kuil pada tahun 788.

(5)

Ket.(Atas) Hondo baru, Aula Utama Kuil Joko-in di Yokawa; (Tengah) Lukisan Nichiren Shonin yang tersimpan di Tendai Shu, Kuil Enryaku Ji; (Bawah) Peta Gunung Hiei, dengan keterangan mengenai tempat Monumen Batu Nichiren.

Batu Nichiren dekat Keko-bo. Nichiju mempersembahkan dupa dan lilin kepada monumen tersebut, dimana ia bermimpi ketemu dengan Nichiren Shonin.

Pada tahun Genki ke-2 (1571), tahun berikutnya, Penguasa Oda Nobunaga membakar habis Kuil Enryaku-ji, Keko-bo dan kuil-kuil lainnya di Gunung Hiei, dengan tujuan menghancurkan seluruh kekuatan politik dari para bhiksu Gunung Hiei. Monumen Batu Nichiren dibawa dari Gunung Hiei ke Kyoto oleh Yamamoto Iwakura, dan diberikan kepada Kuil Myokaku-ji. Monumen itu masih ada, berdiri di halaman dari Kuil Myokaku-ji sampai hari ini. Kuil Keko-bo berubah nama menjadi Joko-in (Kuil Cahaya Kemurnian) setelah itu Nobunaga membakar habis kuil ini, dan merubah namanya menjadi Kuil Joko-in (Kuil Cahaya Selamanya).

Pada tanggal 19 Oktober 2005, untuk memperingati 750 tahun Nichiren Shu, sebuah upacara pembukaan besar untuk aula utama baru (Hondo) dari Kuil Joko-in telah dilaksanakan oleh lima ratus bhiksu dan umat awam juga hadir meramaikan acara tersebut. Kuil Joko-in akan digunakan sebagai pusat

pelaksanaan Nichiren Shu di bagian barat Jepang. Gassho.

Catatan:

Nichiren Shu sampai saat sekarang terus menjaga hubungan baik dengan Tendai Shu, baik di Jepang maupun di China. Kerjasama ini berupa pengembangan ajaran Saddharma Pundarika Sutra, dan pada permulaan banyak bhiksu Tendai Shu yang bergabung dengan Nichiren Shu, sehingga banyak kuil-kuil Nichiren Shu mempunyai sejarah yang berkaitan erat dengan Tendai Shu.

(6)

MUDRA

PARA BUDDHA

( BAGIAN. i)

Seri Pelajaran Mahayana

Sumber : Berbagai bahan dan buku-buku Mahayana

Penerjemah dan rangkuman oleh : Josho S.Ekaputra

udra adalah suatu model komunikasi oral dan ekspresi diri, terdiri dari isyarat tangan secara simbolik dan bentuk gaya jari. Mereka adalah tanda simbolik yang didasarkan pada model isyarat jari tangan, tetapi hal ini dilakukan bukan untuk mempersingkat percakapan, tetapi adalah untuk memunculkan ide atau gagasan dalam pikiran sebagai simbol kekuatan energi dari para dewa-dewi, bodhisattva dan para Buddha itu sendiri. Komposisi mudra itu sendiri terdiri dari gerakan dari jari, yang memberikan pemaknaan tertentu, dan lebih efektif dibandingkan dengan sebuah percakapan.

Terdapat berbagai macam posisi tangan yang digunakan dalam literatur Buddhis dan lukisan di India, Tibet, China, Korea dan Jepang. Mereka menunjukkan tentang hati kepercayaan dalam sebuah jalan yang sederhana dari alam dan fungsi pelambang dari para dewa-dewi. Mudra juga merupakan penjelmaan dari energi para dewa

itu sendiri. Mereka juga selalu digunakan oleh para bhiksu dalam pelatihan spiritual, ritual meditasi dan konsentrasi, dan dipercaya akan memberikan kekuatan permohonan kepada para dewa-dewi.

Tetapi sebuah mudra digunakan tidak hanya sebagai sebuah ilustrasi dan pelambang makna dari sebuah upacara esoterik. Ia juga memberikan sebuah gambaran yang jelas, gerakan dalam sebuah tarian, atau model meditasi. Dalam bentuk tertinggi, ia adalah simbol gaib yang

dapat mengerakkan kekuatan yang tidak kelihatan kedalam bentuk nyata.

Pengertian lain yang juga menarik dari mudra, adalah rahasia dibalik kelima jari tangan kita. Setiap jari mempunyai pengertian dan makna tersendiri, sebagai lambang dari salah satu dari lima elemen alam yakni langit, angin, api, air dan bumi. Setiap unsur dialam semesta ini adalah kombinasi dari kelima unsur tersebut. Hubungan diantara unsur-unsur tersebut dilambangkan

Ket. Salah satu bentuk Dhyani Mudra Catatan Redaksi : Mudra yang dibahas

dalam artikel ini, hanya sedikit dari sekian banyak mudra dari para dewa, bodhisattva, dan Buddha.

M

dalam mudra dan mewakili kekuatan para dewa.

Berikut kita akan membahas beberapa mudra dalam Buddhisme:

1. Dharmachakra mudra

harmachakra dalam bahasa sanskrit bermakna “Roda Dharma.” Mudra ini adalah salah satu simbol terpenting dalam kehidupan Sang Buddha, Ia diajarkan pertama kali setelah Ia mencapai Pencerahan. Mudra ini melambangkan gerakan untuk memutar Roda Dharma. Dharmachakra Mudra dalam bahasa Jepang disebut: Tenborin-in, Chikichi-jo, Hoshin-seppo-in; dan bahasa China: Juanfalun Yin. Mudra ini memiliki beberapa nama lain seperti: Vitarka, Karana, dan Vyakhyana. Dalam literatur Jepang, istilah Seppou-in kemungkinan adalah terjemahan dari istilah Vyakhyana. Para sarjana Jepang percaya bahwa Tenbourin-in (Skt. Dharmacakra Mudra) dan Seppou-in (Skt. Vyakhyana Mudra), adalah sama. Dikatakan bahwa sambungan antara ibu jari dan telunjuk melambangkan “Tubuh Dharma” (Jpn.Hosshin; Skt. Dharmakaya). Gabungan antara ibu jari dan jari tengah dikatakan melambangkan "Tubuh Sejati" (Jpn. Houjin; Skt. Sambhogakaya), dan gabungan ibu jari dan ketiga jari melambangkan "Tubuh Perwujudan" (Jpn: Oujin; Skt. Nirmanakaya). Tetapi terdapat berbagai macam pemaknaan terhadap mudra ini dibeberapa negara.

Mudra ini dibentuk dengan kedua telapak tangan berada didepan dada, tangan kanan menghadap kedepan dan tangan kiri menghadap kedalam; jari kelingking tangan kiri menyentuh ibu jari tangan kanan membentuk lingkaran kecil dan tiga jari kanan lainnya bebas, sedangkan di tangan kiri, ibu jari dan jari telunjuk menyentuh membentuk lingkaran kecil (lihat gambar). Tiga jari dari tangan kanan melambangkan Tiga Kendaraan dalam ajaran Buddha. Dan Jari tangan

kiri melambangkan Tiga Pusaka dalam Buddhisme, yakni Buddha, Dharma dan Sangha. Mudra ini diletakkan didepan hati, melambangkan bahwa ajaran ini keluar dari hati Sang Buddha. Namun tidak ada bentuk baku untuk hal ini dibeberapa negara bisa saja berbeda.

Mudra ini sering terlihat dalam rupang Dhyani Buddha Vairochana dan Buddha Sakyamuni. Vairochana dipercaya merubah segala bentuk ilusi menjadi kebijaksanaan. BERSAMBUNG

D

Dharmachakra Mudra

Buddha Vairochana,

dengan Dharmachakra Mudra

(7)

MUDRA

PARA BUDDHA

( BAGIAN. i)

Seri Pelajaran Mahayana

Sumber : Berbagai bahan dan buku-buku Mahayana

Penerjemah dan rangkuman oleh : Josho S.Ekaputra

udra adalah suatu model komunikasi oral dan ekspresi diri, terdiri dari isyarat tangan secara simbolik dan bentuk gaya jari. Mereka adalah tanda simbolik yang didasarkan pada model isyarat jari tangan, tetapi hal ini dilakukan bukan untuk mempersingkat percakapan, tetapi adalah untuk memunculkan ide atau gagasan dalam pikiran sebagai simbol kekuatan energi dari para dewa-dewi, bodhisattva dan para Buddha itu sendiri. Komposisi mudra itu sendiri terdiri dari gerakan dari jari, yang memberikan pemaknaan tertentu, dan lebih efektif dibandingkan dengan sebuah percakapan.

Terdapat berbagai macam posisi tangan yang digunakan dalam literatur Buddhis dan lukisan di India, Tibet, China, Korea dan Jepang. Mereka menunjukkan tentang hati kepercayaan dalam sebuah jalan yang sederhana dari alam dan fungsi pelambang dari para dewa-dewi. Mudra juga merupakan penjelmaan dari energi para dewa

itu sendiri. Mereka juga selalu digunakan oleh para bhiksu dalam pelatihan spiritual, ritual meditasi dan konsentrasi, dan dipercaya akan memberikan kekuatan permohonan kepada para dewa-dewi.

Tetapi sebuah mudra digunakan tidak hanya sebagai sebuah ilustrasi dan pelambang makna dari sebuah upacara esoterik. Ia juga memberikan sebuah gambaran yang jelas, gerakan dalam sebuah tarian, atau model meditasi. Dalam bentuk tertinggi, ia adalah simbol gaib yang

dapat mengerakkan kekuatan yang tidak kelihatan kedalam bentuk nyata.

Pengertian lain yang juga menarik dari mudra, adalah rahasia dibalik kelima jari tangan kita. Setiap jari mempunyai pengertian dan makna tersendiri, sebagai lambang dari salah satu dari lima elemen alam yakni langit, angin, api, air dan bumi. Setiap unsur dialam semesta ini adalah kombinasi dari kelima unsur tersebut. Hubungan diantara unsur-unsur tersebut dilambangkan

Ket. Salah satu bentuk Dhyani Mudra Catatan Redaksi : Mudra yang dibahas

dalam artikel ini, hanya sedikit dari sekian banyak mudra dari para dewa, bodhisattva, dan Buddha.

M

dalam mudra dan mewakili kekuatan para dewa.

Berikut kita akan membahas beberapa mudra dalam Buddhisme:

1. Dharmachakra mudra

harmachakra dalam bahasa sanskrit bermakna “Roda Dharma.” Mudra ini adalah salah satu simbol terpenting dalam kehidupan Sang Buddha, Ia diajarkan pertama kali setelah Ia mencapai Pencerahan. Mudra ini melambangkan gerakan untuk memutar Roda Dharma. Dharmachakra Mudra dalam bahasa Jepang disebut: Tenborin-in, Chikichi-jo, Hoshin-seppo-in; dan bahasa China: Juanfalun Yin. Mudra ini memiliki beberapa nama lain seperti: Vitarka, Karana, dan Vyakhyana. Dalam literatur Jepang, istilah Seppou-in kemungkinan adalah terjemahan dari istilah Vyakhyana. Para sarjana Jepang percaya bahwa Tenbourin-in (Skt. Dharmacakra Mudra) dan Seppou-in (Skt. Vyakhyana Mudra), adalah sama. Dikatakan bahwa sambungan antara ibu jari dan telunjuk melambangkan “Tubuh Dharma” (Jpn.Hosshin; Skt. Dharmakaya). Gabungan antara ibu jari dan jari tengah dikatakan melambangkan "Tubuh Sejati" (Jpn. Houjin; Skt. Sambhogakaya), dan gabungan ibu jari dan ketiga jari melambangkan "Tubuh Perwujudan" (Jpn: Oujin; Skt. Nirmanakaya). Tetapi terdapat berbagai macam pemaknaan terhadap mudra ini dibeberapa negara.

Mudra ini dibentuk dengan kedua telapak tangan berada didepan dada, tangan kanan menghadap kedepan dan tangan kiri menghadap kedalam; jari kelingking tangan kiri menyentuh ibu jari tangan kanan membentuk lingkaran kecil dan tiga jari kanan lainnya bebas, sedangkan di tangan kiri, ibu jari dan jari telunjuk menyentuh membentuk lingkaran kecil (lihat gambar). Tiga jari dari tangan kanan melambangkan Tiga Kendaraan dalam ajaran Buddha. Dan Jari tangan

kiri melambangkan Tiga Pusaka dalam Buddhisme, yakni Buddha, Dharma dan Sangha. Mudra ini diletakkan didepan hati, melambangkan bahwa ajaran ini keluar dari hati Sang Buddha. Namun tidak ada bentuk baku untuk hal ini dibeberapa negara bisa saja berbeda.

Mudra ini sering terlihat dalam rupang Dhyani Buddha Vairochana dan Buddha Sakyamuni. Vairochana dipercaya merubah segala bentuk ilusi menjadi kebijaksanaan. BERSAMBUNG

D

Dharmachakra Mudra

Buddha Vairochana,

dengan Dharmachakra Mudra

(8)

"Kaimoku sho"

BAB.XV TIGA JANJI AGUNG

PENDAHULUAN

aimoku-sho” ditulis pada bulan dua tahun Bun’ei ke-sembilan (1272), ketika Nichiren Shbnin berusia 50 tahun, ketika itu salju menutupi Aula Sammaido di Tsukahara, Pulau Sado. Sejak menjalani kehidupan untuk menyebarluaskan O’Daimoku di Kamakura pada tahun Kencho ke-lima (1253) pada usia 31 tahun, Nichiren mulai mendapat sejumlah penganiayaan beruntun, pada tahun 1260 setelah Ia memperingatkan Pemerintah Shogun Kamakura dengan risalah “Rissho Ankoku-ron (Menyebarkan Kedamaian Keseluruh Negari Melalui Penegakkan Ajaran Sesungguhnya).” Pada tanggal 12 bulan kesembilan tahun Bun’ei ke-delapan (1271), Ia telah ditangkap, dan dihukum buang ke Pulau Sado. Namun, pada malam hari sebelum pembuangan, Ia telah dihukum pancung disebuah tempat yang disebut Tatsunokuchi, pantai diluar Kamakura, tetapi Beliau dapat lolos dari hukuman mati ini. Nichiren kemudian dikirim ke Pulau Sado, tiba di Aula Sammaido pada bulan ke-sebelas. Segera Ia mulai menulis risalah ini untuk menceritakan kejadian yang terjadi kepada para

Writing of Nichiren Shonin, Doctrine 2

Edited by: George Tanabe, Jr

Compiled by: Kyotsu Hori

Terjemahan Indonesia oleh: Josho S.Ekaputra

Terbitan: Nichiren Shu Overseas Propagation Promotion Association Distributed by: University of Hawai'i Press

pengikutNya, sebagaimana yang dikatakanNya, bahwa Saddharma Pundarika Sutra adalah ajaran untuk menyelamatkan manusia pada Masa Akhir Dharma (mappo).

Judul dari risalah ini adalah Kaimoku (Membuka Mata), dengan tujuan penulisan: mendorong orang-orang agar terbuka matanya untuk menerima Saddharma Pundarika Sutra adalah ajaran untuk menyelamatkan semua mahluk hidup yang hidup pada Masa Akhir Dharma (Membuka Rahasia Kebenaran Dharma) dan Nichiren, sendiri adalah seorang guru yang telah diramalkan dalam sutra ini, bahwa akan muncul pada Masa Akhir Dharma untuk membimbing orang-orang dengan Dharma Sesungguhnya (Membuka Rahasi Guru Sebenarnya).

Secara umum, tulisan ini dapat dibagi dalam tiga bagian. Bagian I, Kata Pendahuluan (Bab 1-3), menekankan tentang pentingnya Buddhisme, khususnya Saddharma Pundarika Sutra, sebagai inti dari Spiritual peradaban yang meliputi Konfucu dan Ajaran Non Buddhis. Bagian II, Ceramah Utama (Bab 4-16), menjelaskan bahwa Saddharma Pundarika Sutra adalah cermin bersih yang memperlihatkan (meramalkan) mengenai Dunia

K

Iblis dalam Masa Akhir Dharma, dimana Beliau menunjukkan bukti kebenaran dari ramalan dalam sutra ini, yang ditunjukkan dengan pelaksanaan Saddharma Pundarika Sutra oleh Nichiren dan sebagai hasilnya mendapat berbagai macam penganiayaan. Terakhir, Bagian III, Terakhir (Bab 17-18), Beliau membicarakan tentang akan tersebarluasnya ajaran Saddharma Pundarika Sutra pada masa mendatang.

ISI GOSHO

ku ingin tahu kenapa mendapatkan penganiayaan? Seandainya memang tidak pernah memfitnah Saddharma P u n d a r i k a S u t r a d a l a m kehidupan sebelumnya dan dalam kehidupan sekarang ini sedang mempertahankannya. Seseorang yang pernah menuduh bahwa Ia telah melakukan kesalahan duniawi, atau tidak, pasti akan menerima akibatnya. Iblis Asura yang menyerang Dewa Indra dalam seketika dipukul mundur dan burung raksasa konji-cho yang menyerang Danau Anokuda telah dibunuh oleh Raja Naga seketika. Maha Guru T’ien-t’ai dalam risalah Hokke Gengi (makna dan arti

(9)

mendalam dari Saddharma Pundarika Sutra), paragraph 6, menyatakan: “Masalah dan penderitaan kami dalam dunia ini adalah berkaitan dengan segala karma buruk dalam kehidupan lampau, dan karunia kebajikan atas segala pelaksanaan kami dalam hidup ini akan diterima pada kehidupan mendatang.” Hal ini juga dikatakan dalam Shinjikan-gyo (Sutra Meditasi dalam Dasar): “Karma buruk atau kebajikan kita pada masa lampau dapat dilihat dalam kehidupan sekarang; keberuntungan kita pada masa mendatang dapat dilihat dari pelaksanaan kita pada masa sekarang,” dan dalam Bab “Bodhisattva Sadaparibhuta” Saddharma Pundarika Sutra dikatakan; “Dengan demikian, Bodhisattva membuat pengantian atas karma buruk masa lampau.” Ini menandakan bahwa Bodhisttva Saddaparibhuta (Fukyo), “yang diserang dengan batu dan kayu karena karma buruk pada masa lampau. Ini juga menjelaskan bahwa mereka yang akan terjatuh kedalam neraka dalam kehidupan selanjutnya, tidak menerima akibat bahkan untuk karma buruk berat dalam kehidupan ini.” Sebagai contoh, beberapa orang icchantika bahkan tidak menerima akibat.

Perihal tentang orang-orang seperti itu, juga dinyatakan dalam Sutra Nirvana bahwa Bodhisattva Kasyapa memberitahukan kepada Sang Buddha, “Bagaikan sinar cahaya matahari yang mencapai hati semua orang melalui pori-pori kulit mereka, ajaran Buddha menjangkau semuanya, menanam

Bibit keBuddhaan dalam diri mereka.” Bodhisattva tersebut bertanya kepada Sang Buddha: “Yang Maha Agung! Bagaimana kami dapat menanam Bibit KeBuddhaan dalam diri seseorang yang tidak mempunyai keinginan untuk mencapai KeBuddhaan?” Sang Buddha menjawab: “Seandainya terdapat seseorang, yang setelah mendengarkan Sutra Nirvana, tidak berkeinginan untuk mencapai KeBuddhaan dan kemudian menfitnah Dharma Sejati. Orang-orang seperti itu akan bermimpi hal yang menakutkan tentang iblis raksasa pada malam hari, dimana iblis itu akan mengancam membunuh dia jika ia tidak segera berkeinginan untuk mencapai KeBuddhaan. Seandainya ia, takut, dan berubah pikirannya dan mulai berkeinginan untuk mencapai penerangan, orang seperti itu adalah seorang Bodhisattva agung.” Demikianlah, tanpa kecuali termasuk orang-orang jahat, yang menfitnah Dharma Sejati, mereka akan mendapatkan mimpi seperti ini dan akan menyesali kebodohan mereka.

Sutra Nirvana juga menyatakan bahwa orang-orang icchantika tidak akan berkeinginan untuk mencapai penerangan. Hal ini sama seperti tidak akan ditemukan air dalam pohon mati dan pergunungan batu, atau bagaikan bibit rusak yang tidak akan tumbuh meskipun pada musim hujan; atau bagaikan permata suci tidak akan bisa membersihkan air kotor; atau bagaikan racun yang masuk kedalam tubuh manusia ketika ditangani oleh tangan yang

terluka; dan bagaikan hujan lebat tidak bersisa di langit biru. Sejumlah kiasan ini dikutip dari sutra yang menunjukkan bahwa orang-orang icchantika tidak akan mendapatkan akibatnya didunia ini, karena secara tegas bahwa mereka akan segera jatuh kedalam neraka tidak terputus-putus (Avici) setelah kehidupan ini. Hal ini bagaikan Raja Chieh dari Hsia dan Raja Chou dari Yin (Shang) pada masa China kuno yang terkenal akan nama buruknya. Bencana alam tidak terjadi selama pemerintahan mereka, hal ini bagaikan segala peraturan mereka menghancurkan semua karma buruk.

Sekarang dapat dikatakan bahwa Dharma Sejati telah difitnah dan para dewa pelindung telah meninggalkan Negara Jepang. Sebagai hasilnya, para pemfitnah Dharma Sejati tidak menerima akibat perbuatannya tetapi ditinggalkan oleh para pelindung dan dihadapkan pada kesulitan besar. Apa yang dikatakan dalam Konkomyo-kyo (Sutra Kemuliaan): “Jumlah orang yang melaksanakan Dharma Sejati hanya sedikit” ini menunjukkan negara ini sekarang, ketika terjadinya pemfitnahan Dharma. Aku telah menjelaskan secara panjang lebar dalam Rissho ankoku-ron (Risalah

Menyebarkan Kedamaian Keseluruh Negari Melalui Penegakkan Ajaran Sesungguhnya “).

Analisa terakhir, tidak perduli meskipun Aku ditinggalkan oleh para dewa-dewi dan berapa banyak kesulitan yang akan Aku hadapi, Aku akan mempertahankan Saddharma Pundarika dengan mengorbankan hidupKu sendiri.

"Tidak perduli meskipun Aku ditinggalkan oleh para dewa-dewi dan berapa banyak

kesulitan yang akan Aku hadapi, Aku akan mempertahankan Saddharma Pundarika

dengan mengorbankan hidupKu sendiri. Berbagai macam kesulitan adalah bagaikan

debu yang diterbangkan angin. Aku tidak akan mengingkari janjiKu untuk menjadi

Tiang, Mata dan Bathera Negara Jepang"

(10)

Sariputra tidak dapat mencapai KeBuddhaan setelah melaksanakan Jalan Bodhisattva selama enam puluh kalpa karena ia tidak dapat menahan kesulitan yang diberikan oleh Dewa Brahman, yang meminta matanya. Mereka yang telah menerima Bibit KeBuddhaan dari Buddha Abadi dan Buddha Daitsuchisho (Kebijaksanaan Universal Agung) pada masa kalpa yang tak terhitung yang lalu, tidak dapat mencapai KeBuddhaan selama 500 atau 3,000 asamkheya kalpa koti (gohyaku jindengo atau sanzen jindengo) sampai mereka mendengarkan pembabaran Saddharma Pundarika Sutra di Gunung Gridhrakuta dalam dunia ini. Ini karena mereka telah tersesat oleh “teman buruk” untuk memfitnah Saddharma Pundarika Sutra yang menyebabkan mereka terjatuh kedalam neraka.

Aku akan membuat sebuah janji. Bahkan jika seseorang berkata bahwa ia akan membuat Aku menjadi penguasa Negara Jepang dengan syarat Aku harus membuang Saddharma Pundarika Sutra dan harus menerima Kammuryo-ju-kyo (Sutra Meditasi Buddha Hidup Tanpa Batas)” untuk keselamatan hidupKu dalam kehidupan selanjutnya, atau bahkan jika seseorang mengancam bahwa ia akan menganiaya kedua orangtuaKu jika aku tidak menyebut “Namu Amida-butsu,” dan tidak perduli berapa banyak kesulitan besar yang akan menimpaKu, Aku tidak akan mengalah terhadap mereka sampai seorang yang arif bijaksana dapat mengalahkan Aku dengan alasan yang tepat. Berbagai macam kesulitan adalah bagaikan debu yang diterbangkan angin. Aku tidak akan mengingkari janjiKu untuk menjadi Tiang, Mata dan Bathera Negara Jepang. Gassho.

A Collection of Nichiren Wisdom, Volume 1

Terbitan: Nichiren Buddhist International Center

Diterjemahkan oleh: Josho S.Ekaputra

Buddha Dharma

Melayani majikan dalam pekerjaanmu berarti telah melaksanakan ajaran

Saddharma Pundarika Sutra, Sutra mengatakan bahwa pada kenyataan yang

tidak terbatas bahwa politik dan ekonomi tidaklah bertentangan. (Dannotsu Bo

Gohenji, latar belakang 11 April 1278, di Gunung Minobu, Showa Teihon, p.

1493)

Penyebarluasan Dharma

Sungai bersama-sama membentuk lautan. Partikel debu tak terhingga

membentuk Gunung Sumeru. Ketika Aku, Nichiren memulai hati

kepercayaan dalam Saddharma Pundarika Sutra, ini bagaikan menjatuhkan

setetes air atau sebuah partikel debu di Jepang. Namun, ketika menyebut sutra

ini dan menyebarluaskannya kepada dua, tiga, sepuluh, sejuta, dan kemudian

milyaran orang, ia akan berkembang menjadi sebuah penerangan sempurna

Gunung Sumeru, atau lautan besar Nirvana. Tidak ada cara lain selain ini

untuk mencapai KeBuddhaan. (Senji Sho, latar belakan Juni 1275, di Gunung

Minobu, Showa Teihon, p.1054)

Buddha Dharma dan Hukum Duniawi

Ketika Buddha Dharma tidak dipahami secara tepat dan tidak dipercayai dengan

benar, maka hukum duniawi pun menjadi kacau. Buddha Dharma bagaikan

tubuh, sedangkan hukum duniawi bagaikan bayangannya. Ketika tubuhnya

bengkok, maka bayangannya pun menjadi bengkok. (Shokyo to Hokekyo tono

Nan-i no Ji, latar belakang; 26 mei 1280, Di Gunung Minobu, Showa

Teihon, p.1752)

Menghargai

Sejak Aku lahir ditanah dibawah kekuasaan Bupati Hojo, badanKu kelihatan

mengikutinya; namun Aku tidak dapat mematuhi dia dalam hati.(Senji Sho)

(11)

aidan secara literatur berarti tempat dimana seseorang yang percaya pada Buddha menerima pengajaran Buddha.

Kaidan di India terbuat dari sebuah gundukan tanah atau bukit kecil setinggi enam puluh sentimeter dan sekitar tiga meter persegi. Tao-hsuan yang belajar ajaran Buddha, dan mendirikan Sekte Lu di China pada tahun 615. Ia membuat tempat pengajaran, yang merupakan modifikasi dari Kaidan di India, hal ini karena Sekte Lu adalah sekte Buddhisme Semi Mahayana.

Ch’ien-chen yang telah memperkenalkan Sekte Ritsu (Ritsu Shu) di Jepang dan mendirikan sebuah Kaidan di Kuil Todai Ji di Nara pada tahun 754. Saicho, pendiri dari Tendai Shu di Jepang, meminta kepada pemerintah untuk membuat Kaidan bagi para bhiksu Tendai Shu yang didasarkan pada Saddharma Pundarika Sutra. Keinginannya baru terwujud setelah kematiannya, kaidan itu didirikan di Gunung Hiei.

Nichiren Shonin menyatakan bahwa Kaidan di Gunung Hiei didirikan untuk para Bhiksu yang

bertugas menyelamatkan orang-orang pada Masa Persamaan Dharma, dan Kaidan yang baru harus didirikan untuk para bhiksu untuk menyelamatkan orang-orang yang hidup pada Masa Akhir Dharma. Ia kemudian mewujudkan Hommon no kaidan untuk menerima ajaran dan pelaksanaan ajaran pokok Saddharma Pundarika Sutra bagi manusia pada Masa Akhir Dharma.

Dalam Nichiren Shu Buddhisme, mereka yang mempertahankan Saddharma Pundarika Sutra dan meletakkan hati kepercayaan dalam O'daimoku dan melaksana dalam suatu tempat, maka seluruh tempat itu adalah Tanah Pusaka. Maha Mandala, Yang Maha Agung ditempatkan disana, serta semua orang akan menjaga Saddharma Pundarika Sutra dan Odaimoku dalam sepuluh ribu tahun Masa Akhir Dharma.

Hal ini dibabarkan dalam Bab XXI, Saddharma Pundarika Sutra, "Dalam dunia manapun, dimana seseorang menjaga, membaca, menghafal, membabarkan, atau menyalin sutra ini, atau melaksanakan

KAIDAN

"

TEMPAT PEMBABARAN

DHARMA

"

Bimbingan Oleh:

YM.Bhiksuni Myosho Obata

(Bhiksuni Pembimbing Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Taiwan)

sesuai dengan ajaran tersebut, atau dalam tempat manapun, salinan sutra ini ditempatkan, baik dalam taman, dalam hutan, dibawah pohon, dalam biara, dalam rumah penganut, dalam aula, dalam gunung, di desa, atau di hutan belantara, sebuah stupa harus ditegakkan disini dan memberikan persembahan kepadanya, karena ketahuilah bahwa ditempat ini (dimana stupa ini berdiri) adalah Tempat Penerangan. Disini para Buddha mencapai Anuttara-samyaksambodhi (Penerangan Agung). Disini para Buddha, memutar Roda Dharma. Disini para Buddha memasuki Parinirvana.”

Berdasarkan hal tersebut, menurut Nichiren Shonin, Kaidan bisa berada dimana saja, dimana seseorang yang dengan sungguh hati melaksanakan penyebutan O'daimoku "Namu Myoho Renge Kyo." Gassho.

Catatan Redaksi:

Kaidan utama Nichiren Shu adalah Kuil Kuon-Ji, Gunung Minobu.Dan secara umum seluruh kuil dan rumah pengikut.

(12)

O’Daimoku

Membangkitkan Bibit

KeBuddhaan

elaksanaan utama dalam Nichiren Shu Buddhisme adalah penyebutan O’daimoku “Namu Myoho Renge Kyo”. Ini adalah pertapaan pokok kita, kemudian diikuti oleh Dokyo (membaca sutra), memahami dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Penyebutan O’daimoku adalah memberikan kekuatan kepada jiwa sejati kita untuk dapat mengalahkan segala kesesatan atau hawa nafsu yang membelenggu pikiran. O’daimoku adalah salah satu bentuk meditasi dengan tujuan mencapai Penyatuan Diri Dengan Alam Semesta. Tetapi dalam pelaksanaan O’daimoku sering

Oleh: Josho S.Ekaputra

tidak maksimal, hal ini lebih pada faktor manusia yang melaksanakan, ketidakpahaman terhadap makna O’daimoku.

O’daimoku dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti duduk dan berjalan baik dengan bersuara maupun diam. Irama O’daimoku pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan kecepatan yang sesuai dengan masing-masing individu (kecuali ketika dilakukan secara berkelompok, harus menyesuaikan diri dengan pemandu O’daimoku). Kita bisa memulai O’daimoku dengan pelan, kemudian cepat atau turun lagi menjadi pelan. Hal terpenting dalam O’daimoku adalah memahami makna dan fungsi sebenarnya dengan baik. Makna yang harus kita pahami tentang O’daimoku adalah:

1. Odaimoku, adalah wujud dari hati kepercayaan yang tulus kepada Buddha Sakyamuni Abadi.

2. Odaimoku, adalah bukti kekuatan hati kepercayaan yang kokoh kepada Saddharma Pundarika Sutra

3. Odaimoku, adalah wujud janji agung kita sebagai murid Nichiren Shonin dan sebagai manifestasi dari Bodhisattva Muncul dari Bumi.

Menyebut O’daimoku

p

adalah membuka diri kita untuk melihat dan merasakan bahwa semua mahluk hidup mempunyai Bibit KeBuddhaan, dan Kesadaran ini dapat diwujud nyatakan dalam prilaku, sikap dan pemikiran kita sehari-hari. Apakah itu Bibit KeBuddhaan? Bibit KeBuddhaan adalah mewujudkan kualitas jiwa sejati yakni jiwa yang penuh maitri karuna, menghancurkan ego pribadi serta hawa nafsu dan keterikatan. Bibit KeBuddhaan adalah Stupa Pusaka dalam diri kita, "yang harus dimunculkan" dan "dibuka", sebagaimana dibabarkan dalam BAB.XI “Munculnya Sebuah Stupa Pusaka” Saddharma Pundarika Sutra. "Munculnya Stupa Pusaka" berarti munculnya Bibit KeBuddhaan, dan "Dibukanya Stupa Pusaka" berarti membuka sifat-sifat KeBuddhaan dalam diri kita. Pada saat itu "pembabaran Dharma dilakukan diatas angkasa", ini berarti bahwa untuk memasuki Dharma Sejati harus dengan kesadaran yang tinggi. Nichiren Shonin mengatakan dalam surat kepada muridnya, “Stupa pusaka adalah Abutsu-bo, dan Abutsu-bo adalah Stupa Pusaka.” Bentuk nyata dari Stupa Pusaka adalah segala sifat-sifat Buddha dalam diri kita seperti cinta kasih, welas asih, simpati, ketenangan, kedermawan, kebaikan, kesabaran,

(13)

dalam mewujudkan perdamaian dunia, haruslah dimulai dari seseorang yang telah damai jiwanya. Seseorang yang masih penuh dengan amarah, egois, dan keterikatan hawa nafsu tidak akan mungkin dapat mewujudkan perdamaian dunia. Tanah Buddha itu ada dalam diri setiap orang, ketika kita mampu memunculkan KeSadaran Diri, maka Kekuatan Dunia Buddha; Bebas, Suci, Tenang dan Kuat akan mengisi relung hati dan memberikan kedamaian baik hati, pikiran dan badan kita. Inilah Kesadaran Buddha.

Guru kita, Nichiren Shonin selalu mengatakan, "Sadarilah penderitaan sebagai penderitaan, dan kebahagiaan sebagai kebahagiaan." Untuk dapat mencapai tahapan ini harus terlebih dahulu mewujudkan kedamaian dalam diri kita (kosenrufu pribadi) sehingga ketika kita berada dalam penderitaan, kita mampu menyadarinya dan tidak terbawa oleh penderitaan itu, demikian juga sebaliknya. Sungguhlah egois jika kita menginginkan orang lain merasakan kedamaian, tetapi diri sendiri bellum mampu mencapainya. Diri yang tenang akan tercermin dalam lingkungan yang tenang bagaikan cahaya bulan yang indah terlihat dalam kolam.

Pada masa akhir dharma, hanya melalui penyebutan O’daimoku “Namu Myoho Renge Kyo” kita mampu memunculkan Tanah Buddha dalam diri kita, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Inilah keinginan luhur dan agung dari guru kita, Nichiren Shonin. Marilah kita laksanakan O’daimoku dengan segala sikap dan prilaku yang benar, mari kita bersama mewujudkan keinginan luhur Nichiren Shonin. Gassho. ketabahan, semangat, konsentrasi

dan kebijaksanaan. Kekuatan O’daimoku memunculkan Stupa Pusaka Sejati sehingga jiwa kita menjadi Bebas, Suci, Kuat dan Tenang. Inilah ciri seorang Bodhisattva Sejati. Pada tahapan ini, seseorang telah memasuki Tahapan Bodhisattva, yang suci, murni dan bebas serta pada akhirnya membawa kita pada Jalan Pencerahan.

Orang sering bertanya, apa yang harus saya lakukan ketika O’daimoku ? Apakah saya harus memikirkan masalah yang ada? Atau saya tidak memikirkan apa-apa? Kembali pada penjelasan diatas bahwa pahami makna O’daimoku sebagaimana yang dituangkan dalam tiga poin diatas. Ketika kita melaksanakan O’daimoku, kita berada dalam tahapan menyadari KeBuddhaan yang ada dalam diri kita, kita menyadari bahwa semua mahluk hidup mempunyai Bibit KeBuddhaan, kita menyadari bahwa Buddha Sakyamuni Abadi selalu bersama dan ada di Dunia Saha ini. Prajna hanya akan muncul, jika kita dapat memasuki hati dari Sang Buddha ketika O’daimoku. Hati dari Sang Buddha adalah Maitri Karuna. Maitri Karuna hanya dapat muncul, jika kita dapat mengalahkan Ego Diri dan mengambil alih pikiran serta diisi dengan Dharma Sejati. Seseorang yang tidak mampu maitri karuna pada diri sendiri tidak mungkin dapat maitri karuna terhadap orang lain. Pencapaian Kesadaran adalah perjalanan pribadi, namun dalam perjalanan itu kita bisa membantu orang lain untuk melakukan hal yang sama. Pada waktu O’daimoku, lihatlah kedalam diri, renungkan semua sifat-sifat buruk kita, sadari kejahatan dari pikiran kita, dan kemudian kalahkan semua dengan kekuatan welas asih.

Jadikan pelaksanaan

O’daimoku sebagai sesuatu yang istimewa, laksanakan dengan penuh kegembiraan, pikirkan bahwa kita sedang bertemu dengan Sang Buddha dan bahwa pada saat itu yang terpenting adalah kita bertemu dengan Buddha dalam diri kita sendiri. Dasar dari pelaksanaan O’daimoku adalah Welas Asih. Welas asih pada diri sendiri dan semua mahluk hidup. O’daimoku adalah pelaksanaan membersihkan segala kotoran yang membungkus Jiwa Yang Suci. Hal ini sama seperti kita mengasah dan membersihkan permata dari segala kotoran.

O’daimoku adalah pelaksanaan yang agung, oleh karena itu lakukan dengan penuh kesungguhan hati dan sikap yang baik. Sikap tubuh tidak boleh malas, cucilah muka, tangan, kaki dan berpakaian yang baik serta bersih, kita akan menghadap Buddha. Lakukan O’daimoku dengan suara yang jernih, merdu dan menyenangkan. Keluarkan suara O’daimoku dari dalam hati, pikiran dan badan kita. Kita bisa duduk bersila atau duduk diatas bangku, posisi punggung tegak lurus, mata terbuka ata tertutup, konsentrasikan pikiran, hati dan badan untuk setiap kali penyebutan. Rasakanlah suara O’daimoku itu menembus masuk melalui telinga dan pori-pori, masuk jauh kedalam jiwa kita, memanggil Bibit KeBuddhaan agar muncul dan mengalahkan segala Ego kita. Pengunaan alat seperti drum, bel dan lain-lain hanya sebatas pemandu saja, yang terpenting adalah Hati, Pikiran dan Badan menjadi satu irama O’daimoku.

Buddhisme mengajarkan perubahan dimulai dari dalam diri setiap individu, ketika seorang individu berubah, maka keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara akan berubah. Oleh karena itu, kosenrufu dimulai dari dalam diri setiap orang,

(14)

Catatan :Riwayat hidup Nichiren Shonin yang tepat dapat kita baca dari berbagai macam surat dan catatan masa lalu dan penelitian sejarah lainnya. Tetapi disini terdapat berbagai macam cerita legenda sehubungan dengan kehidupan Nichiren Shonin, dan akan Saya tuangkan dalam tulisan ini.

Legenda Nichiren Shonin

Oleh YM.Bhiksu. Gyokai Sekido

Sumber: Nichiren Shu News, terbitan Nichiren Shu Headquaters dan Kaigai Fukyo Koenkai

Dirangkum dan diterjemahkan oleh Josho S.Ekaputra

LEGENDA (BAG.6)

NICHIREN SHONIN

Bertemu Kembali Dengan Dozen-bo

uru pertama dari Nichiren adalah Dozen-bo karena ia adalah bhiksu kepala dari Kuil Seicho-ji. Ia mempunyai pengharapan yang sangat tinggi terhadap Rencho, yang merupakan seorang murid yang sempurna. Ia berpikir bahwa Rencho dapat menjadi pengantinya sebagai kepala bhiksu dikuil tersebut. Namun, ketika Rencho kembali setelah beberapa tahun kemudian dari pembelajaran di pusat kota politik dan kebudayaan Jepang, Ia tidak mempunyai keinginan untuk mengantikan gurunya. Dozen-bo dan orang-orang di Kuil Seicho Ji dibuat bingung olehnya.

Menurut legenda, ketika Ia kembali kerumah, disambut dengan penuh antusias oleh orang-orang disana. Rencho telah menyelesaikan beberapa tahun pembelajaran diberbagai tempat seperti Kamakura, Kyoto, Nara, dan memutuskan kembali ke rumah. Setelah perjalanan yang panjang, akhirnya Ia tiba di rumah. Untuk pertama kalinya selama sepuluh tahun, Ia melihat lagi langit biru pantai dari semenanjung Boso, yang sangat Ia kenal.

Sebuah pohon willow yang berada didepan pintu rumah, ketika Ia kecil sering memanjat pohon tersebut, sekarang telah tumbuh besar dan tinggi. Ini adalah

G

tanda dari rumah orangtuaNya. Ayahnya sangat gembira ketika Ia kembali. Ibunya menanggalkan sepatu yang dipakai dengan segera dan mencuci kakinya. Percakapan tentang perjalanan tidak ada habisnya, dan kegembiraan dari pertemuan itu lebih banyak dibandingkan tunas daun-daun yang tumbuh dimusim semi. Ayahnya, kemudian menganjurkan Ia agar berkunjung ke Dozen-bo sesegera mungkin untuk melaporkan hasil pembelajarannya. Khawatir

akan murid tercintanya, Dozen-bo sering mengirimkan orang untuk menanyakan tentang Rencho.

Rencho berkunjung ke Kuil Seicho-ji untuk melaporkan kepada guru tentang kepulangannya kerumah. Dozen-bo tidak bisa bersabar menunggu kepulangan murid tersayangnya. Ia meninggalkan tempat duduknya dan berjalan disekeliling. Kemudian ketika ia melihat kedatangan muridnya, ia menyambutnya dengan penuh kegembiraan setelah sekian lama. Dengan penuh kegembiraan, i a m e n d e n g a r k a n R e n c h o

(15)

berbicara tentang pelatihan dan pembelajarannya.

Sebuah acara menyambut kedatangannya dihadiri oleh para murid senior seperti Emmitsu-bo, Jokenbo, Gijo-bo dan juga para bhiksu muda dan anak-anak. Ayah Rencho diundang juga, dan ia berkunjung ke Kuil Seicho-ji. Karena berada didalam kuil, daging tidak dihidangkan, dalam acara makan vegetarian. Berbagai makanan lezat seperti tofu, butterbur, ganggang laut, jamur pasania. Kue beras manis dengan kacang dihidangkan setelah makanan utama. Ayahnya sangat senang atas keramah tamahan dan ia sangat berterima kasih kepada Dozen-bo. Ini adalah sebuah kesempatan yang sangat mengembirakan, tetapi hati Rencho tertutup oleh awan gelap karena kebenaran dalam hatinya belum diungkapkan.

Rencho pergi keatas puncak gunung, menghadap matahari pagi pada tanggal 28 April 1253, menyebut O’Daimoku dan memproklamirkan berdirinya Nichiren Shu. Setelah itu, Rencho memberikan ceramah Buddhisme dihadapan pertemuan besar. Ia menyangkal semua ajaran dari masing-masing sekte Buddhisme. Ajaran Nembutsu, yang dilaksanakan di Kuil Seicho-ji juga disangkal tanpa pengecualian. Penguasa Tojo Kagenobu, seorang penganut Nembutsu, mendengarkan ceramah itu dan menjadi sangat marah. Pada saat itu, ia ingin membunuh Rencho. Dozen-bo, sangat khawatir akan keselamatan dari murid tercintanya, merencanakan agar Rencho dapat melarikan diri dari Kuil Seicho Ji. Murid senior sepreti Joken-bo dan Gijo-bo, menunjukkan jalan keseberang gunung, dan Ia pun keluar dari krisis pembunuhan.

Dalam kenyataan, tidak ada sesuatu apapun yang dapat dilakukan oleh Dozen-bo, ia begitu takut akan kekuasaan dari Tojo Kagenobu.

Ia menunjuk orang disekelilingnya untuk m e n y e l a m a t k a n R e n c h o . S e t e l a h Dozen-bo meninggal dunia pada tahun 1 2 7 0 , N i c h i r e n Shonin menulis dan mengirimkan risalah “Hoon-jo (Risalah Balas Budi),” ke Kuil Seichoji, hubungan diantara keduanya pun menjadi pulih kembali.

Menamakan Diri Sendiri Sebagai Nichiren

e n c h o m e n i n g g a l k a n Kuil Seicho-ji dan pergi ke Kamakura. Kota Ini adalah ibukota pemerintahan militer Kamakura dan pusat politik di Jepang pada waktu itu. Ia membangun sebuah rumah di kota itu, dan menyebarluaskan ajaran Saddharma Pundarika Sutra. Kemudian ia mengubah namanya menjadi Nichiren. “Nichi” berarti matahari, dan “Ren” berarti Pundarika (Teratai). Kita tidak mengetahui secara pasti kapan Ia mengubah namanya. Perubahan namanya sendiri, didasarkan pada cerita legenda yang ada.

Setelah lepas dari pengejaran Tojo Kagenobu, Rencho merasa bahwa ia tidak dapat tinggal lebih lama lagi di Kominato, sehingga ia memutuskan untuk mengunjungi orangtuanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Ayah dan ibunya menunggu dia diluar pintu gerbang, mereka khawatir tidak dapat bertemu dengannya setelah kejadian huru hara di Kuil Seicho Ji. Ayahnya mengajak ia masuk kedalam rumah. Nichiren memberitahukan mereka tentang rencana kepergiannya ke Kamakura. OrangtuaNya menceritakan kepadanya tentang mimpi aneh yang mereka alami

R

sebelum kelahirannya.

Ketika ia akan lahir, ibunya bermimpi, bahwa dewa matahari

muncul dari sebuah bunga teratai yang muncul dilaut. Pada saat yang

sama, ayahnya juga bermimpi hal yang aneh, sekarang mereka mengerti bahwa itu adalah petanda lahirnya seorang yang suci.

Mereka merasa bahwa perkataan anaknya dan tindakannya lebih terhormat dibandingkan sarjana dari berbagai macam sekte Buddhis lainnya, dan memberitahukan anaknya bahwa mereka memutuskan untuk menjadi bhiksu/bhiksuni. Mereka ingin menjadi murid putera mereka, merubah nama mereka; Ayahnya menjadi Myonichi dan Ibunya menjadi Myoren. “Myo” diambil dari kata “Myoho Renge-kyo (Saddharma Pundarika Sutra).”

“Nichi (matahari)” dan “Ren (Teratai)” diambil dari “matahari” yang terdapat dalam mimpi dan juga “teratai.” Rencho memperbaharui masa depannya, dan memberi nama dirinya sendiri.

Nichiren, dalam kata lain, juga merupakan perwujudan dari kedua orangtuanya. Myonichi dan Myoren, diambil Nichi dan Ren. Nichiren kemudian memulai perjalanan ke Kamakura untuk menyebarluaskan Saddharma Pundarika Sutra.

(16)

Seri Penjelasan Saddharma Pundarika Sutra

Oleh: YM.Bhiksu Shokai Kanai

Sumber Acuan: "The Lotus Sutra" By Senchu Murano Diterjemahkan oleh: Josho S.Ekaputra

RINGKASAN

da dua pokok hal dalam bab ini. Yang pertama adalah pencapaian Penerangan oleh orang yang berhati iblis, dan yang lainnya adalah pencapaian Penerangan oleh seorang perempuan.

Devadatta adalah sepupu dari Buddha Sakyamuni. Usia mereka pastilah hampir sama. Kedua-duanya sama-sama amat cerdas dan berbakat; oleh karena itu, mereka sering bersaing dalam berbagai kesempatan. Dikatakan bahwa mereka saling menantang satu sama lain ketika menentukan siapa yang akan menikahi Yasodhara. Sebagai hasil dari permainan tersebut, Sakyamuni berhasil mengalahkan Devadatta dan akhirnya menikahi Yasodhara.

Devadatta merasa iri akan ketenaran dan kedudukan sang Buddha. Ia mencoba untuk mengambil alih Sangha Sang Buddha. Pada suatu kesempatan, ia melukai sang Buddha dengan menjatuhkan sebuah batu besar dari sebuah tebing ke jalan yang akan dilalui sang Buddha. Ia juga mencoba membunuh sang Buddha dengan seekor gajah gila. Devadatta menganggu Sangha sang Buddha dengan menyesatkan para pengikutNya.

Bab 12 dari Saddharma Pundarika Sutra mengungkapkan hubungan antara

BAB XII

DEVADATTA

A

(17)

Sakyamuni dan Devadatta. Meski Devadatta amat terkenal sebagai seorang yang jahat, ia akan mencapai Kebuddhaan di masa mendatang karena ia pernah menjadi guru dari Sakyamuni di kehidupannya yang lampau.

Separuh bagian terakhir dari bab ini menunjukkan pencapaian Penerangan oleh seorang perempuan dengan sebuah contoh seorang anak perempuan berusia delapan tahun putri dari Raja-Naga. Menurut adat kebiasaan Hindu pada saat itu di India, perempuan dianggap penuh dengan dosa. Ada lima kondisi superior yang tidak akan dapat dicapai oleh seorang perempuan:

1) Raja langit Brahmana Bonten 2) Raja langit Sakra

3) Raja Mara (raja dari para iblis)

4) Seorang raja suci yang berkuasa untuk memerintah seluruh negeri

5) Seorang Buddha

A k a n t e t a p i , s e o l a h mematahkan tradisi yang ada, putri Raja-Naga yang berusia delapan tahun tersebut membuktikan pencapaian kesadaran oleh seorang perempuan dengan penerimaan Sang Buddha atas permata yang ia persembahkan. Kemudian ia mengubah dirinya menjadi seorang anak laki-laki dan secara gaib melakukan pelaksanaan-pelaksanaan Bodhisattva yang diharuskan dalam tradisi.

Pencapaian kesadaran oleh orang jahat dan perempuan bukanlah suatu hal yang mengejutkan dalam ajaran Saddharma Pundarika Sutra. Ajaran ini mengajarkan bahwa semua mahkluk hidup – pria, wanita, muda, tua, manusia, bukan manusia – adalah memiliki potensi untuk menjadi Buddha.

PENJELASAN

“Dalam kehidupanKu sebelumnya,

Aku mencari Hukum Gaib Sutra Bunga Teratai.” (P.195, L.3.):

addharma Pundarika Sutra selalu berbicara tentang ketiga masa: lampau, sekarang, dan akan datang. Buddha Sakyamuni juga telah mencari Saddharma Pundarika Sutra dalam kehidupannya yang lampau. Saddharma Pundarika Sutra yang dimaksudkan disini bukan berarti sutra yang tertulis di atas kertas, namun adalah kebenaran mutlak.

“Aku melaksanakan pemberian sedekah untuk menyempurnakan ke-enam paramita.” (P.195, L.7.):

Enam Paramita adalah enam jenis pelaksanaan yang dilakukan oleh para Bodhisattva untuk mencapai kesadaran. Antara lain adalah memberi, menjaga peraturan, keuletan, perhatian penuh, meditasi, dan kebijaksanaan. Disini sang raja dalam kehidupan lampau sang Buddha, pertama melaksanakan memberi. Sang raja tidak pernah pelit terhadap gajah-gajah, kuda, harta pusaka, negara, istri, anak-anak atau para pelayan. Ia tidak ragu untuk memberikan kepala, mata, sumsum, otak, daging, tangan, kaki, atau bahkan nyawanya.

Kita adalah manusia biasa, kita ingin menyelamatkan tubuh, pasangan, dan anak-anak kita. Namun kita dapat menyumbangkan uang, tenaga, dan waktu. Kita dapat mengajar, atau tersenyum kepada orang lain. Pada intinya bagian hal lain yang bisa dilakukan yang merupakan bagian dari memberi. “Aku mengumpulkan buah-buahan, air embun, mengumpulkan kayu bakar, dan menyiapkan makanan untuknya. Aku bahkan mengijinkan tubuhKu sebagai tempat duduknya. “ (P.196, L.2.):

Sang raja mempersiapkan minuman, makanan, kayu bakar, dan ranjang bagi Ashita sang Pertapa selama bertahun-tahun. Ia tidak pernah merasa lelah baik secara fisik maupun pikiran. Bukankah ini semua adalah hal yang dilakukan oleh seorang ibu setiap harinya? Dalam bab ini, tidak terdapat keterangan bahwa sang pertapa mengajarkan Dharma. Dengan kata lain, apa yang kita lakukan setiap harinya adalah pelaksanaan seorang Bodhisattva. Tanpa kehidupan sehari-hari, pelaksanaan Bodhisattva adalah tidak berguna.

Ketika Kingo Shijo meminta nasehat gurunya, Nichiren, tentang keinginannya untuk berhenti dari pekerjaannya dan menjadi seorang bhikku. Nichiren Shonin berkata kepadanya:

“Melayani majikan Anda (dalam pekerjaan) adalah jalan para Buddhis. Kehidupan sehari-hari tidak lain adalah pelaksanaan Buddhisme.”

“Sang raja pada saat itu adalah kehidupan lampau dari diriKu. Sang pertapa pada saat itu adalah kehidupan lampau dari Devadatta. Devadatta adalah guruKu.’ (P.197, L.10.):

S e n c h u M u r a n o menerjemahkan kata, “zen-chishiki” sebagai seorang guru. Namun, kata “zen-chishiki” memiliki makna yang lebih dalam. Secara harafiah zen berarti baik, sedang chishiki berarti kebijaksanaan. Penerjemah lain dari sutra ini menggunakan kata “sahabat” atau “persahabatan” untuk kata chishiki.

Hubungan antara Devadatta dan sang Buddha tidak dapat dipisahkan dengan hubungan antara sang raja dan sang pertapa. Karena hubungan tersebut, Devadatta yang jahat itu akan menjadi seorang Buddha.

(18)

Nichiren Shonin juga berkata bahwa Yoritsuna Hei-no-saemon adalah zen-chishiki nya yang sesungguhnya. Yoritsuna mencoba mengeksekusi beliau di Tatsu-no-kuchi, Kamakura. Akibat pengeksekusian tersebut, Nichiren menyadari bahwa ia adalah kelahiran kembali dari Jogyo Bodhisattva.

Pasti ada segelintir orang yang mengkritik Anda dengan tajam. Bisakah Anda menerima kritik tersebut sebagai pelajaran berharga ataukah tidak? Jika Anda bisa menerima sang pengkritik sebagai guru yang baik atau sahabat, Anda akan dapat berkembang secara spiritual ke tingkatan yang lebih tinggi. Maka mereka adalah zen-chishiki bagi Anda.

“Devadatta akan menjadi seorang Buddha setelah kalpa yang tak terhitung.” (P.197, L.23.):

Dikatakan bahwa Devadatta terjatuh ke dalam sebuah lubang di tanah pada saat terjadi gempa bumi dan masuk ke dalam neraka. Saya bertanya-tanya, apa yang ia lakukan selama kalpa yang tak terhitung itu? Saya rasa ia menyesali segala perbuatannya yang keliru.

“Pertobatan adalah obat misterius yang menyembuhkan penyakit dan dharma suci untuk mengubah nasib seseorang.” – Doa Pertobatan (sange-mon)

Ada sebuah pepatah di Jepang: “Jika seseorang amat jahat, ia juga dapat menjadi amat baik, setelah bertobat.” Sebauah contoh yang bagus dalam Saddharma Pundarika Sutra adalah Kishimo atau Ibu Iblis yang dibabarkan dalam Bab 26. Saya akan menjelaskan tentangnya dalam bab kemudian.

Dalam Buddhisme tidak ada keburukan atau kebaikan yang absolut. Ajaran tentang Seratus Tahapan dari Pikiran Manusia mengajarkan kepada

kita bahwa bahkan seorang Buddha pun memiliki pikiran neraka; oleh karena itu, ia mampu memahami orang-orang yang berada di neraka. Bahkan orang dalam neraka atau pembunuh sekalipun memiliki tingkat pikiran seorang Buddha.

“Pria ataupun wanita berhati baik dengan keyakinan penuh hormat yang ditimbulkan oleh pikiran murni mereka, dan tanpa keragu-raguan, tidak akan terjatuh ke dalam neraka. ... Mereka akan terlahir di hadapan para Buddha di sepuluh penjuru dunia. ... Ketika mereka terlahir kembali di hadapan para Buddha, mereka akan muncul dalam bunga-bunga teratai.” (P.198, LL.21-30):

Kalimat-kalimat ini sering dikutip di akhir doa upacara pemakaman.

“Manjusri telah muncul dari istana Raja-Naga Sagara di samudra luas, naik ke langit dan mengadakan perjalanan di angkasa menuju Gunung Gridhrakuta.” (P.199, L.8.):

Manjusri mungkin merupakan menteri luar negeri yang pertama. Negaranya mungkin adalah yang saat ini dikenal sebagai Ceylon. Pembabarannya bukan hanya ke lautan namun juga ke angkasa yang melambangkan welas asih Sang Buddha menjangkau seluruh mahkluk hidup di lautan, bumi, dan angkasa. “Ada seorang putri dari Raja-Naga Sagara diantara yang Aku ajari. Ia berusia delapan tahun. Ia cerdas. Ia mengetahui karma-karma dari semua mahkluk hidup. Ia memperoleh dharani.” (P.200, L.17.):

Raja-Naga Sagara hadir

bersama-sama dengan raja-raja naga lainnya dalam pesamuan di dalam bab 1. Dai-Chidoron, sebuah penjelasan tentang sebuah sutra oleh Nagarjuna, mengatakan bahwa para raja-naga adalah perwujudan dari para bodhisattva agung untuk menyelamatkan binatang. Saya tidak tahu pasti apakah putri dari Raja-Naga Sagara yang mencapai penerangan adalah binatang ataukah manusia. Ia bisa saja seorang manusia atau seekor naga.

Sukar dipercaya bagi orang-orang di India pada saat itu bahwa seorang wanita bisa menjadi seorang Buddha. Wanita hampir selalu diabaikan di sebagian besar negara hingga belakangan ini. Bahkan di Amerika sendiri, wanita memiliki kekuasaan untuk turut memilih dalam pemilu pada tahun 1920 setelah Perang Dunia I.

“Tubuh seorang wanita adalah terlalu kotor untuk menjadi penerima ajaran-ajaran sang Buddha. Bagaimana mungkin ia dapat memperoleh Bodhi yang tak tertandingi? ... Seorang wanita memiliki lima kemustahilan. Ia tidak dapat menjadi 1. Raja Langit Brahma, 2. Raja Sâkra, 3. Raja Mara, 4. seorang raja suci pemutar roda, dan 5. seorang Buddha.” (P.201, L.24.):

Para wanita dianggap sebagai mahkluk kotor di India pada masa itu. Seorang wanita tidak akan dapat menjadi seorang pemimpin langit bernama Bonten atau Taishaku, seorang pemimpin iblis, seorang pemimpin dari sebuah negeri, atau seorang Buddha menurut tradisi di India. Di masa kini kita mengenal beberapa presiden dan perdana menteri wanita di beberapa negara. Saya bertanya-tanya kapankah seorang wanita akan menjadi seorang presiden di Amerika Serikat. Saya rasa lebih

(19)

mudah bagi seorang wanita untuk menjadi seorang Buddha daripada menjadi presiden Amerika Serikat. “Kebijaksanaan para Buddha adalah begitu tak terjangkau. Hal itu hanya bisa diperoleh oleh mereka yang melaksanakan latihan-latihan Bodhisattva dengan usaha keras selama berkalpa-kalpa.” (P.201, L.26.):

Kita telah mempelajari bahwa Buddha Sakyamuni telah melaksanakan jalan-jalan Bodhisattva dalam banyak kehidupan lampau. Hingga akhirnya ia terlahir sebagai seorang pangeran Kapilavatthu, India. Setelah ia meninggalkan kehidupan mewahnya di istana, ia menjadi pertapa tak berumah. Setelah enam tahun pelaksanaan pertapaan, ia bermeditasi di bawah sebuah pohon Bodhi dan akhirnya mencapai Penerangan. Inilah yang kita pelajari dan diajarkan oleh sekolah-sekolah Buddhisme lainnya. Akan tetapi, Bab 16 dari Saddharma Pundarika Sutra mengungkapkan bahwa Ia telah menjadi seorang Buddha semenjak kalpa yang tak terhitung lalu.

Karena sang pangeran menjadi seorang Buddha, kita tidak lagi perlu melaksanakan jalan Bodhisattva selama berkalpa-kalpa. Sebagai contoh ketika anda mengendarai sebuah mobil; apakah harus Anda sendiri yang membuat mesin, rangka mobil, setir, dll? Anda tidak perlu melakukan hal tersebut. Anda hanya perlu sebuah kunci dan mengerti bagaimana cara mengemudi. Ketika Anda menggunakan sebuah komputer, Anda tidak perlu mengerti cara kerja komputer tersebut. Bagian-bagian yang sulit telah dikerjakan oleh orang lain. Kita menerima kerja keras mereka dan menggunakan mobil dan komputer secara nyaman.

Masa sekarang adalah jaman instan. Anda tidak perlu mengerti

keseluruhan makna dari Saddharma Pundarika Sutra. Bagi mereka yang tidak meyukai belajar, Nichiren Shonin mempersembahkan kepada kita O'daimoku demi tercapainya keselamatan kita secara instan. Tentu saja belajar dan pelaksanaan membantu Anda memahami Buddhisme, namun bahkan seorang yang terdapat dapat membaca dan menulis dapat menjadi seorang Buddha secara langasung dengan hati kepercayaan.

“Putri dari Raja-Naga berubah menjadi seorang pria secara tiba-tiba.” (P.202, L.12.):

B a n y a k o r a n g t e l a h menjelaskan mengapa sang putri harus berubah menjadi seorang anak laki-laki. Aku mengetahui beberapa alasan, namun penjelasan tersebut dibuat oleh laki-laki. Saya ingin mengetahui bagaimana seorang wanita akan menjelaskan mengapa putri tersebut harus merubah penampilan dan tubuhnya menjadi seorang anak laki-laki.

Beberapa alasan yang dijelaskan oleh para pria adalah: 1. untuk mematahkan salah satu

adat dari Hindu pada saat itu, karena begitu Anda terlahir sebagai seorang budak Anda tidak akan pernah dapat merubah hal tersebut.

2. karena pria dianggap lebih unggul daripada wanita

3. karena Saddharma Pundarika Sutra mengajarkan kesetaraan antara pria dan wanita

~Namu Myoho Renge Kyo~

Kata-Kata Mutiara

Oleh: Josho S.Ekaputra

Kelahiran adalah Obat untuk

menyembuhkan luka-luka masa

lalu yang telah kita lakukan

dan membayar semua hasil

perbuatan atau karma

o-o

Kenapa harus lari dari

kenyataan, kalau dengan

menghadapinya, kita bisa

menyelesaikan secara tuntas

permasalahan yang ada

o-o

Orang biasa melihat dengan

mata manusia, sedangkan

Buddha melihat dengan mata

kebijaksanaan

o-o

Sederhana kan pikiranmu,

maka segala sesuatu pun akan

menjadi lebih sederhana

o-o

Sadari akan pikiranmu,

Sadari akan hatimu,

Sadari akan perbuatanmu,

Inilah kunci menghindari

penderitaan dan meraih

Referensi

Dokumen terkait

Dari aspek pengelolaan Saung Angklung Ujdo telah mampu menunjukan pada masyarakat luas bahwa potensi budaya lokal dapat dikembangkan dalam suatu program wisata seni dan budaya

Pengaruh tersebut diuji lebih lanjut dengan membagi sampel berdasarkan tahap- tahap penawaran opsi saham, dan hasil pengujian menunjukkan bahwa lereng tahap 1 lebih curam

Pengosongan, berarti mengosongkan benak kita dari berbagai bentuk pemikiran yang salah, menyimpang, tidak berdasar, baik dari segi agama maupun akal yang lurus Pengisian,

Terpeliharanya jalan yang sudah dibangun Meningkatnya kelancaran lalulintas Meningkatnya Kelancaran Lalu Lintas √ 45 >. Pengaspalan Jalan Bontoparang-

Secara konvensional penyelesaian sengketa biasanya dilakukan melalui proses litigasi atau penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Dalam keadaan ini maka kedudukan

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada ternak domba, bahwa penggunaan kulit buah kakao dapat digunakan sebagai pengganti suplemen sebanyak 15 % atau 5 % dari

Makalah dengan judul “ Timer atau Counter 0 dan 1 ” menjelaskan tentang Timer /Counter sebagai suatu peripheral yang tertanam didalam microcontroller