• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. negatif yang sangat besar, bukan hanya terhadap anak-anak, tetapi juga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. negatif yang sangat besar, bukan hanya terhadap anak-anak, tetapi juga"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pada era globalisasi, masyarakat Indonesia tengah menghadapi persoalan yang beragam jika dilihat dari konteks pertumbuhan dan perkembangan mereka.1 Perubahan teknologi yang sangat cepat dan disertai dengan adanya semangat globalisasi tidak jarang akan membawa dampak negatif yang sangat besar, bukan hanya terhadap anak-anak, tetapi juga masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari paradigma materialistis yang lebih dominan dan juga dapat dilihat dari tingkat rasa putus asa dalam menjalani kehidupan. Sebagai contoh, banyaknya kasus bunuh diri yang terjadi di Indonesia dan banyaknya masyarakat yang menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya. Dalam perubahan ini tidak sedikit masyarakat yang mengalami penderitaan berkepanjangan, oleh karena itu diperlukan pendidikan tasawuf untuk menyeimbangkan antara kehendak jasmani yang teraplikasikan dalam kepentingan ukhrawi.

Pendidikan tasawuf merupakan proses transfer of knowledge sekaligus transfer of value2 berdasarkan ajaran Islam dengan tujuan

1

Suyanto dan Djihan Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki

Millenium III (Yogyakarta: Adicita, 2000), hlm. 55.

2 Pendidikan Islam tidak bisa dimaknai sebatas transfer of knowledge, akan tetapi juga

transfer of value serta berorientasi dunia-akhirat (teosentris dan antroposentris). Lihat dalam

Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: al-Ma‟arif, 1980), hlm. 94.

(2)

menyampaikan manusia kepada mengenal Allāh Swt. dengan sebenar-benarnya, ma‟rifat (yang berbeda dengan ilmu tauhid atau kalam, yang hanya mengenal tentang Tuhan secara teoritis), sehingga merupakan jalan yang sebaik-baiknya untuk mengenal Allāh Swt., lalu mengenal dirinya sendiri (makrokosmos dan mikrokosmos) untuk kemudian menggabungkan irādah dan qudrah antara keduanya, guna menuju liqāillāh. Maka tujuan akhir pendidikan tasawuf ini adalah memberi kebahagiaan kepada manusia, baik dunia maupun akhirat, dengan puncaknya menemui dan melihat Tuhannya.3

Dalam kitab Adāb al-Dunyā wa al-Dīn, Al-Mawardi, sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan bahwa agama tanpa tasawuf tidak akan hidup, bahkan akan kering dan layu. Ia juga mengatakan bahwa seluruh ajaran al-Qurān dan al-Ḥadīṡ pada ujungnya menghendaki perbaikan akhlak dan mental spiritual yang mana keduanya merupakan buah dari pendidikan tasawuf.4 Bagi umat yang telah jauh masanya setelah nabi Muḥammad saw., pendidikan tasawuf akan jauh lebih urgen lagi. Menurut Abubakar Aceh, umat Islam semakin jauh masanya dengan masa nabi Muḥammad saw. akan semakin redup cahaya kebenaran yang menyinarinya karena sebaik-baik masa adalah masa nabi Muḥammad saw., kemudian para Sahabat, menyusul masa Tabi‟in, dan seterusnya hingga hari demi hari umat Islam makin bertambah jauh dari cahaya kebenaran dan bertambahlah kedustaan sehingga tidak layak lagi disandarkan suatu kebenaran atas

3

Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual (Menuju Insan Kamil) (Semarang: Pustaka Nuun, 2004), hlm. 96-97.

(3)

perbuatan dan perkataan mereka. Agar kebenaran itu tetap melekat pada diri manusia maka harus terus mempergiat membersihkan jiwanya guna mendekatkan dirinya kepada Allāh Swt.5

Dalam dunia pendidikan, kebutuhan kepada pendidikan tasawuf ini mengharuskan seorang pendidik agar menjauhkan dirinya dan peserta didiknya dari kebatilan dan kejelekan, seperti tempat yang menebarkan permusuhan dan penuh dengan kemungkaran. Di sinilah letak pentingnya pendidikan tasawuf yang realisasinya selain lebih mendekatkan diri kepada Allāh Swt., juga dapat menjaga peserta didik dan melindungi mereka agar tidak jatuh dan menjadi manusia yang terendah dan hina, serta tidak tenggelam dalam perkataan maupun perbuatan keji. Penjagaan dan pembekalan seperti ini akan menjadikan anak “bersih” serta siap menerima kebaikan baik berupa ucapan maupun perbuatan.

Salah satu tokoh yang sangat berperan dalam dunia pendidikan tasawuf adalah KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin atau sering dipanggil “Abah Anom”.6

Beliau adalah fenomena di jagat spiritual Nusantara. Sebagai mursyid tarekat dan sekaligus ulama sepuh tempat berteduh jiwa-jiwa yang resah, ia menjadi tempat bernaung mereka yang kerap tersekap di lorong gelap masalah serta merindukan jawaban dan jalan keluar. Semua kalangan mendatanginya. Para pejabat dan selebritis sowan kepadanya untuk bertanya,

5 Abubakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 333. 6 Sebutan Abah Anom merupakan sebutan orang Sunda yang artinya “Ayah Muda/Kiyai

Muda”, nama yang diberikan ketika beliau masih muda dan sudah menjadi kiyai. Lihat dalam Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah dengan Referensi Utama Suryala (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 212.

(4)

meminta nasihat, atau sekedar mengharap berkah. Kaum awam berdatangan mengadukan aneka masalah yang mendera; memohon didoakan dan diarahkan menuju jalan keluar yang patut ditempuh agar semakin dekat kepada Sang Pemilik Hidup.7

KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin bukan hanya seorang mursyid yang berhasil menyebarkan Tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyah (TQN) sampai Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand,8 tetapi juga tokoh yang menjadikan Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya memainkan suatu peran penting dalam bidang pendidikan9, politik, sosial dan reformasi ekonomi di daerah tersebut. Hal ini mencerminkan kepribadian KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin sebagai seorang pemimpin yang memiliki banyak pengetahuan, seorang cendekiawan cerdas dengan kealiman yang

7

Asep Salahudin, Abah Anom: Wali Fenomenal Abad 21 & Ajarannya (Jakarta: PT Mizan Publika, 2013), hlm. 1.

8 Suksesnya KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin dicatat oleh Martin van Bruinessen dalam

artikelnya, “L‟Asie du Sud-Est,” dalam Les voies d’Allah: les ordres mystiques dans I’Islam des

origines a aujourd’hui, ed. Alexandre Popovic and Gilles Veinstein (Paris: Fayard, 1996), hlm.

284. Lihat dalam Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah ..., hlm. 214.

9 Di bawah asuhan KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin, Pondok Pesantren Suryalaya

mengalami kemajuan yang sangat pesat dengan banyaknya variasi pendidikan baik formal maupun non formal. Dalam pendidikan formal, ada 3 macam sistem pendidikan yang ditawarkan. Pertama, sistem madrasah diniyyah yang meliputi: MDA, MTs, MA, dan MAK dengan kurikulum yang berisi sebagian besar topik ilmu pengetahuan agama. Kedua, sekolah sistem madrasah menengah yang mana hanya ada SMIP, para siswa berkonsentrasi pada pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum yang berimbang. Ketiga, Sekolah Menengah Umum yang meliputi SMP, SMA/SMU dengan sebagian besar kurikulum umum disertai jumlah tertentu pengetahuan ilmu agama. Setelah tingkatan-tingkatan tersebut, seseorang dapat melanjutkan pada tingkat yang lebih tinggi; Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM). Lihat dalam Pondok Pesantren Suryalaya, Perjalanan Pondok Pesantren Suryalaya Kenangan Ulang Tahun ke-95 PP Suryalaya (Tasikmalaya: Yayasan Serba Bakti, 2000), hlm. 37, 42, 47.

(5)

sangat dalam. Beliau telah mengalami berbagai kesulitan dalam hidupnya tetapi beliau tetap sabar, pribadi yang sangat sederhana dan berani.10

Penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pemikiran pendidikan tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin dan relevansinya dengan pendidikan Islam karena dengan mengkristalisasikan pemikiran pendidikan tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin, peserta didik akan dibekali dengan pengetahuan agama yang berlandaskan tasawuf, di mana peserta didik nantinya akan memahami bahwa dalam kehidupan ini selalu ada campur tangan dengan kehendak Tuhan. Pemahaman ini akan benar-benar terpatri pada diri peserta didik sehingga mereka mempunyai bekal agama yang cukup untuk terjun ke masyarakat kelak. Hal ini berimplikasi nyata kepada peserta didik apabila mereka benar-benar menghayati makna pendidikan tasawuf secara utuh.

Dari beberapa pandangan di atas akhirnya penulis menggagas sebuah penelitian tesis dengan mengambil judul “PEMIKIRAN PENDIDIKAN TASAWUF KH. A. SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

10

Tingkah laku ini telah dikenal oleh mereka yang telah bertemu dengannya, khususnya oleh figur-figur yang penting yang lalu menjadi wakil talqinnya, seperti K.H. Abdul Gaos Saefullah Maslul dan K.H Zezen Zainal Abidin Zayadi Bazul Asyhab. Lihat dalam Sri Mulyati,

(6)

1. Bagaimana pemikiran pendidikan tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin?

2. Bagaimana relevansi pemikiran pendidikan tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin dengan pendidikan Islam?

C. Tujuan Penelitian

Ada dua tujuan yang hendak penulis capai dalam penulisan tesis ini sesuai dengan pokok permasalahan dan proses studi penulis, yaitu untuk: 1. Mendeskripsikan pemikiran pendidikan tasawuf KH. A. Shohibulwafa

Tajul Arifin.

2. Menganalisis relevansi pemikiran pendidikan tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin dengan pendidikan Islam.

D. Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat yang hendak penulis capai dalam penulisan tesis ini sesuai pokok permasalahan dan proses studi penulis, beberapa manfaat tersebut antara lain:

1. Manfaat teoritis

a. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemahaman mengenai pemikiran pendidikan tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin dan relevansinya dengan pendidikan Islam;

(7)

b. Memberikan wawasan keilmuan kepada para peneliti, pengamat, dan praktisi pendidikan tentang pendidikan tasawuf dan pendidikan Islam.

2. Manfaat praktis

a. Menjadi referensi penelitian atau pengkajian seputar pendidikan tasawuf dan pendidikan Islam;

b. Menambah khazanah keilmuan kepada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan, khususnya Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) tentang pemikiran pendidikan tasawuf dan relevansinya dengan pendidikan Islam;

c. Menjadi rujukan atau bekal untuk menerapkan atau mengembangkan pendidikan Islam yang berbasis tasawuf;

E. Kajian Teori

1. Teori yang relevan

Hamka menjelaskan bahwa tasawuf adalah Syifā’ul Qalbi, artinya membersihkan hati, pembersihan budi pekerti dari perangai-perangai yang tercela, lalu memperhias diri dengan perangai-perangai yang terpuji.11 Menurut Hamka, tasawuf merupakan sebuah disiplin ilmu yang telah mapan di dalam kajian Islam sehingga dirinya sering menyebutnya dengan “ilmu”.12

11

Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hlm. 1-5.

12 Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Panjimas,

(8)

Said Agiel Siradj dalam buku Dakwah Sufistik Kang Jalal yang ditulis oleh Rosyidi mengatakan bahwa tasawuf sebagai sifat hamba kepada Tuhannya, terhadap dirinya sendiri serta terhadap alam semesta, di sini tasawuf berfungsi sebagai jalan bagi kehidupan. Oleh karena itu tasawuf Islam datang sebagai dinamisator terhadap spiritual Islam.13

Al-Gazali, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, mengajak orang untuk kembali kepada kehangatan pendidikan dan ajaran tasawuf dengan bukunya Rakāiz al-Imān baina al-aql wa al-Qalb. Ia membantu kita untuk mendefinisikan tasawuf lebih terinci. Ajaran tasawuf ditandai tiga hal: Pertama, berusaha menjadikan iman bersifat nalar (naẓriy) dari perasaan jiwa yang bergelora, mengubah iman aqli menjadi iman qalb. Kedua, melatih dan mengembangkan diri menuju tingkat kesempurnaan, dengan mengumpulkan sifat-sifat mulia dan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela. Ketiga, memandang dunia ini sebagian kecil dari kehidupan luas yang merentang sampai hari yang baka.14

Manusia terdiri atas aspek psikomotorik, kognitif dan efektif, masing-masing perlu diutuhkan menurut tingkatannya sendiri. Psikomotorik merupakan aspek paling luar dari manusia, ia memiliki keberadaan obyektif dan ragam tindakan sendiri. Namun aspek ini bukanlah rintangan paling besar dalam upaya pengutuhan itu. Dengan

13

Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 46.

(9)

akal pikirannya (aspek kognitif) terkadang manusia melampaui batas sehingga ia sering terperangkap oleh angan-angan duniawi. Itulah sebabnya mengapa tasawuf pertama-tama memalingkan perhatiannya dari masalah-masalah duniawi. Demikian itu bukan berarti menafikan sisi-sisi kognitifnya melainkan melalui aspek tersebut, manusia berusaha menuju pusatnya sendiri yang benar. Pada tataran afektif, hati manusia berusaha ingat, mendekati dan mengenal Tuhan. Pada saat yang sama ia juga merasakan adanya tabir yang memisahkan jiwanya dengan Tuhan. Dengan usaha yang keras dalam menekan keinginan hawa nafsunya, tabir pemisah sedikit menipis dan hilang, sehingga kehadiran akan wujud yang sempurna (Tuhan) dapat lebih dirasakannya.15

Dari suasana demikian itu, pendidikan tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan, dan sebagainya. Untuk mengatasi masalah ini tasawuf dibina secara intensif tentang cara-cara agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya.16

Itulah tujuan akhir tasawuf, menjalin hubungan yang baik dan harmonis antara manusia dengan Tuhan.17 Mendekatkan diri sedekat

15 M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 17.

16 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek (Jakarta: UI Press, 1979), hlm. 88. 17 Fadhlalla Haeri, Dasar-Dasar Tasawuf, terj. Tim Forstudia (Yogjakarta: Penerbit Pustaka

(10)

mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati. Bahkan rohnya dapat bersatu dengan roh Tuhan.

Menurut Cecep Alba, tasawuf merupakan bagian integral dari sistem ajaran Islam. Islam tanpa tasawuf bukanlah Islam kaffah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Islam kaffah adalah Islam yang di dalamnya terpadu aspek aqidah, syariat, dan hakikat. Dari aqidah lahir tauhid, dari syariat lahir fiqh, dan dari hakikat lahir tasawuf yang kemudian melahirkan tarekat.18

Menurut Kautsar Azhari Noer, sebagaimana yang dikutip oleh Mukhlis, bahwa apresiasi pantas diberikan terhadap tasawuf karena sumbangan-sumbangannya yang dapat bernilai bagi pengembangan peradaban Islam. Sumbangan itu dapat dilihat dalam berbagai bidang seperti filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi dan sains modern.19

Para pengarang muslim paling awal yang kita kenal namanya di Indonesia adalah tokoh-tokoh penyebar Islam dan sekaligus tokoh-tokoh sufi. Hamzah Fansuri adalah pengarang pertama di kalangan para sufi dan penyair besar. Sufi terkenal kedua adalah Syamsudin As-Syumatrani (w. 1630 M), murid Hamzah yang menulis buku-buku bahasa Arab dan melayu dan yang lainnya. Perkembangan tasawuf semakin semarak dengan hadirnya para tokoh tasawuf dan tarekat yang turut berjasa dalam mengembangkan Islam di Indonesia, seperti Syaikh Ismail

18 Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat dalam Dimensi Esoteris Ajaran ..., hlm. 7.

19 Mukhlis, Tasawuf yang Dipuja Tasawuf yang Dikutuk (Yogyakarta: Genta Press, 2008),

(11)

Minang Kabawi, Syaikh Ahmad Khatib Sambas,20 Syaikh Abdul Karim Banten dan lain-lain.21

Pendidikan tasawuf sangat erat kaitannya dengan pendidikan Islam, hal ini bisa dilihat dari pandangan Ibnu Qoyyim bahwa pendidikan yang baik adalah yang mampu menciptakan keseimbangan dalam kehidupan manusia, yaitu yang memberi unsur yang ada dalam diri manusia yang menghantarkannya kepada kesempurnaan, sehingga mampu menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya. Sarana tarbiyah menurut Ibnu Qoyyim antara lain:

1. Memperdalam iman kita kepada Allāh Swt. dan ajaran-ajaran Islam,

2. Kembali kepada Allāh Swt. dan sibuk dengan hal-hal yang diridhai-Nya,

3. Mencintai Allāh Swt. Zat yang menciptakan seluruh jiwa dan makhluk yang ada,

4. Zikir mengingat Allāh Swt. dan mendirikan shalat,

5. Melakukan muhasabah (instropeksi diri) setiap hari sebelum tidur,

6. Merenungi makhluk Allāh Swt. yang banyak menyimpan bukti kekuasaan, ketauhidan dan kesempurnaan sifat dan asma-Nya.

7. Mengagungkan dan mengindahkan seluruh perintah dan larangan Allāh Swt.22

Manfaat-manfaat dari pendidikan tasawuf ini antara lain:

20 Syaikh Ahmad Khatib Sambas merupakan pendiri Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah

(TQN) yakni guru dari Syaikh „Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) yang merupakan ayah dari KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin sekaligus pemberi “warisan” suryalaya dan TQN kepada KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin.

21 Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 310-316. 22 Hasan bin Ali al-Hijazi, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qoyyim (Jakarta: Pustaka Al-Kausar,

(12)

1. Menanamkan ilmu makrifat kepada seorang hamba yang bersumber dari cahaya kenabian, serta mananamkan kepercayaan atas kebenaran risalah nubuwiyah.

2. Menjadikan ruh cinta kepada Allāh Swt., sibuk mengingat-Nya, lapang dada dalam berzikir kepada-nya, serta mau berkorban mencari keridhaan-Nya.

3. Menjadikan ruh mampu meraih kemuliaan, kesucian dan kesempurnaan.23

Yusuf Qardhawi memaknai pendidikan Islam sebagai pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, ruhani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.24 Pemaknaan ini sejalan dengan pendapat Ahmad Tafsir dalam bukunya “Filsafat Pendidikan Islam” yang mengungkapkan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang mengintegralkan jasmani, rohani dan kalbu untuk memanusiakan manusia.25

Tujuan pendidikan jangka panjang menurut Al-Gazali sejalan dengan tujuan tasawuf yaitu pendekatan diri kepada Allāh Swt. Pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada Tuhan pencipta alam.26 Hal ini, menurut Al-Gazali, dalam rangka menuju kesempurnaan insani yang tujuannya untuk kebahagiaan dunia akhirat.27

23

Hasan bin Ali al-hijazi, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qoyyim ..., hlm. 158.

24 Yusuf Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Terj. Bustani A.

Gani dan Zainal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 39.

25 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.

45.

26

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1998), hlm. 57.

(13)

Dengan tujuan mulia ini, Ibnu Khaldun menghendaki peserta didik untuk menuntut ilmu yang diridhoi oleh Allāh Swt. Kemudian dalam proses menuntut ilmu tersebut, peserta didik sesantiasa menggantungkan dirinya kepada Allāh Swt., dengan begitu diharapkan peserta didik tersebut menjadi generasi yang religius dengan bekal ilmu yang dikuasainya.28

2. Penelitian yang Relevan

Adapun beberapa penelitian yang meneliti tentang pemikiran pendidikan tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin dan relevansinya dengan pendidikan Islam sejauh ini belum ada, namun ada yang meneliti pada obyek yang sama dengan tokoh yang berbeda. Beberapa penelitian tersebut antara lain:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Isbiq

(Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Studi Islam, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2011) dengan judul Pemikiran Pendidikan Sufistik KH. Habib Lutfi bin ‘Ali Yahya dan Respons Jama’ah Kanzus Salawat di Pekalongan. Salah satu hasil dari penelitian ini menegaskan bahwa menurut KH. Habib Lutfi bin „Ali Yahya, pendidikan sufistik yang mengedepankan kejernihan hati dan ajaran universal kemanusiaan akan mampu menjadi alternatif solusi berbagai problematika umat Islam dunia. Selain itu, perjalanan ilmiah Habib dari seorang murid thariqah beberapa ulama nasional maupun internasional sampai kemudian menjadi

28 Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun (Jakarta: Rineka Cipta,

(14)

mursyid menjadikannya sebagai ulama yang menekankan bahwa pendidikan sufistik merupakan pendidikan adab yang tidak terlepas dari sunnah nabi Muḥammad saw..29

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Nasiruddin (Mahasiswa

Pascasarjana Program Studi Pendidikan Islam Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007) dengan judul Pemikiran Sufistik Jalaluddin Rahmat dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemikiran sufistik Jalaluddin Rahmat termasuk kategori tokoh yang reformis. Hal ini dapat dilihat dari beberapa corak pemikirannya. Menurut Jalaluddin Rahmat, tasawuf adalah perjalanan ruhani menuju Allāh Swt. Dalam perjalanannya itu, seorang salik akan memperoleh pengetahuan ruhani tentang derajat yang dilewatinya. Menurut Nasiruddin, dalam al-Qurān dan al-Ḥadīṡ kata-kata tasawuf itu tidak ada, akan tetapi al-Qurān hanya menerangkan kaifiyah atau cara-cara bertasawuf, seperti zuhud, dan di dalam sunnah ihsan. Berkenaan dengan pendidikan sufistik dalam pandangan Jalaluddin Rahmat adalah, pendidikan dengan usaha sadar yang dilakukan manusia untuk membawa anak didik yang lebih menekankan pada aspek batiniyah (ruhani) dari

29

Muhammad Isbiq, “Pemikiran Pendidikan Sufistik KH. Habib Lutfi bin „Ali Yahya dan Respons Jama‟ah Kanzus Salawat di Pekalongan”, Tesis, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2011.

(15)

pada aspek lahiriyah atau usaha yang dilakukan manusia untuk membawa orang lain untuk lebih dekat kepada Allāh Swt.30

Ketiga, Penelitian yang dilakukan oleh Hafid Khairuddin

(Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pendidikan Islam Konsentrasi Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014) dengan judul Pendidikan Sufistik Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Relevansinya terhadap Pendidikan Islam (Tela’ah Kitab Al-Fath Al-Rabbani Wal-Fayd Al-Rahmani). Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa jenis tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah tasawuf aplikatif. Penekanannya adalah menyeimbangkan hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhannya. Dalam pendidikan, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menerapkan tentang hubungan etika, materi, evaluasi, dan menerangkan hubungan antara guru dengan murid untuk mencapai tujuan pendidikan, baik pada aspek lahiriyah maupun aspek ruhaniyah sebagai penekanan utama.31

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Saifullah Maksum

Nasich, Lc (Mahasiswa Pascasarjana dari Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003) dengan judul Konstruksi Pemikiran Tasawuf Syekh Abdul Qadir Al-Jailany (Telaah Kitab Al-Gunyah). Menurutnya, pemikiran tasawuf Syekh Abdul Qadir Al-Jailani banyak

30 Nasiruddin, “Pemikiran Sufistik Jalaluddin Rahmat dan Implikasinya terhadap

Pendidikan Islam”, Tesis, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007.

31

Hafid Khairuddin, “Pendidikan Sufistik Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Relevansinya terhadap Pendidikan Islam (Tela‟ah Kitab Fath Rabbani Wal-Fayd Al-Rahmani)”, Tesis, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.

(16)

berorientasi pada masalah-masalah moral dan ketauhidan (teologis) yang bersumber kepada Syariat (al-Qurān dan al-Sunnah) baik secara lahir maupun batin. Kemudian pendapat lain dari Syekh Baqa‟ bin Batwi berkomentar bahwa tasawufnya adalah bergumulnya ikhlas dan penyerahan serta sesuai dengan al-Qurān dan al-Sunnah dalam setiap detak jiwa bersama Allāh Swt.32

Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Muqowim (Mahasiswa

Pascasarjana Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999) dengan judul Sistem Pendidikan Sufi Al-Ghazali. Beliau menyimpulkan bahwa penelitian tasawuf Al-Gazali yang tertuang dalam berbagai karyanya, terutama Ihyā’ ‘Ulumu al-Dīn, dapat dianggap sebagai sebuah bentuk pendidikan, yaitu pendidikan hati. Sebab, yang menjadi obyek dalam pendidikan ini adalah hati. Kemudian, model pendidikan sufi Al-Gazali mempunyai implikasi sangat besar bagi dunia Islam, khususnya pendidikan Islam. Dimana Al-Gazali dianggap sebagai seorang mistikus murni yakni meluruskan ajaran tasawuf yang telah disalahgunakan oleh para pendahulunya, seperti al-Ḥallaj dan Abu Yazid al-Busṭami, yakni cenderung meninggalkan syariat.33

32 Syaifullah Maksum Nasich, “Konstruksi Pemikiran Tasawuf Syeikh Abdul Qadir

Al-Jailany (Telaah Kitab Al-Gunyah)”, Tesis, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003.

33 Muqowim, “Sistem Pendidikan Sufi Al-Ghazali”, Tesis, Institut Agama Islam Negeri

(17)

Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Imam Mu‟alipin

(Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Studi Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2011) dengan judul Pembaruan Dalam Tasawuf (Studi Terhadap Konsep Neo-Sufisme Fazlur Rahman). Salah satu kesimpulannya menjelaskan bahwa urgensi neo-sufisme Rahman dalam mengkonstruksi pendidikan yang berbasis karakter adalah terciptanya suatu pendidikan yang mengembangkan potensi jasmani, potensi akal atau pikir dan potensi rasa di dalam membangun peradaban Islam, untuk itu dalam neo-sufisme, pendidikan diarahkan pada pembinaan dan pengembangan kecerdasan intelektual (IQ/dhaka al-‘aqli), kecerdasan emosi (EQ/dhaka al-dhihni), dan kecerdasan spiritual (SQ/dhaka al-qalbi). Karena ketiganya merupakan komponen-komponen potensi kemanusiaan yang perlu dikembangkan secara harmonis. Hal ini perlu dilakukan agar pendidikan menghasilkan daya guna yang luar biasa, baik secara horizontal dalam lingkup pergaulan antar manusia maupun secara vertikal dalam relasinya dengan yang transendental.34

Ketujuh, penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (Mahasiswa

Pascasarjana Jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2011) dengan judul Konsep Tasawuf dan Hubungannya dengan Pendidikan Akhlak (Telaah Pemikiran Hamka). Penelitian ini menyimpulkan bahwa tasawuf merupakan

34 Imam Mu‟alipin, “Pembaruan Dalam Tasawuf (Studi Terhadap Konsep Neo-Sufisme

(18)

pondasi bagi insan yang berkecimpung di dunia pendidikan. Jadi, hubungan antara tasawuf dengan pendidikan itu sangat erat. Hal itu bisa dilihat dari konsep pendidikan yang dilontarkan oleh Hamka. Menurut perspektif Purwanto, tanpa tasawuf pendidikan tidak akan berjalan sacara mulus bahkan outputnya pun tidak seperti yang diharapkan oleh pendidikan itu sendiri.35

Dari beberapa penelitian yang penulis sebutkan di atas memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, yakni mengkaji pemikiran sufistik seorang tokoh. Akan tetapi, uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian dengan judul Pemikiran Pendidikan Tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam, sejauh ini belum ada yang meneliti, meskipun dari sudut pandang yang lain KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin telah menjadi obyek penelitian yang mengarah kepada dimensi yang lain. Oleh karena itu penulis akan mencoba meneliti beliau dari sudut pandang pemikiran pendidikan tasawuf dan relevansinya dengan pendidikan Islam.

35 Purwanto, “Konsep Tasawuf dan Hubungannya dengan Pendidikan akhlak (Telaah

(19)

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif36 dengan mengacu pada kajian kepustakaan (Library Research). Ciri-ciri dominan37 dalam penelitian kualitatif adalah bersifat deskriptif.38 Penggambaran data-data dalam penelitian ini adalah bentuk pemaparan dari apa yang diperoleh peneliti dari berbagai literatur mengenai pemikiran pendidikan tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin dan relevansinya dengan pendidikan Islam.

2. Sumber Data Penelitian

Ada dua jenis sumber data dalam penelitian ini yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden atau narasumber sedangkan sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber utama.39

36 Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa

yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah serta dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Lihat dalam Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007), hlm. 6.

37

Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), hlm. 60-63.

38 Deskriptif yaitu menggambarkan sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok

tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan suatu gejala dengan gejala lain dalam ruang lingkup sosial. Lihat dalam Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian

Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 25.

(20)

a. Sumber Data Primer

1) KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin, Miftāḥus Shudūr Kunci Pembuka Dada. Tasikmalaya: PT. Mudawwamah Warohmah, 2005.

2) KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin, Miftāḥ al-Shudūr. 2 volume. In Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah; Sejarah Asal Usul dan Perkembangannya. Ed. Harun Nasution, hlm. 261-324. Tasikmalaya: Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah, 1991. b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder mencakup berbagai literatur lain yang berkaitan dengan variabel penelitian. Di antara sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Harun Nasution, Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah: Sejarah, Asal-Usul dan Perkembangannya. Tasikmalaya: IAILM, 1991.

2) Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah dengan Referensi Utama Suryalaya. Jakarta: Kencana, 2010.

3) Asep Salahudin, Abah Anom: Wali Fenomenal Abad 21 & Ajarannya. Jakarta: PT Mizan Publika, 2013.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data pada penelitian ini adalah metode dokumentasi, yaitu metode yang digunakan

(21)

untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya. Metode dokumentasi ini penulis gunakan untuk mengumpulkan data dari sumber primer maupun skunder untuk kemudian dianalisis.

4. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis, yaitu analisis terhadap isi pemikiran tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin dan relevansinya dengan pendidikan Islam dengan metode berfikir deduktif dan induktif. Deduktif adalah pola berfikir yang mencari pembuktian dengan berfikir kepada dalil umum terhadap hal-hal khusus.40 Sedangkan induktif adalah pola pikir yang mencari pembuktian dari hal-hal yang bersifat khusus untuk sampai kepada dalil umum.

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, terdiri dari beberapa halaman formalitas penulisan tesis, yaitu: halaman judul tesis, halaman daftar isi (pra-bab), halaman judul bab, abstrak, halaman pengesahan, lembar pernyataan keaslian tesis, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, dan daftar lampiran.41

40

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 57.

41 Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan Tesis (Pekalongan: Program Pascasarjana

(22)

Bagian Kedua, merupakan isi dari tesis yang terdiri dari empat bab, yaitu:

BAB I. Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II. Terdiri dari dua pembahasan yakni mengenai pendidikan tasawuf dan pendidikan Islam. Bagian pertama: pengertian tasawuf, asal-usul tasawuf, tujuan tasawuf, dan tasawuf sebagai bagian dari pendidikan Islam. Bagian kedua: pengertian pendidikan Islam, awal mula pendidikan Islam, dasar pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, fungsi pendidikan Islam, materi pendidikan Islam, metode pendidikan Islam, hakikat pendidik dan peserta didik perspektif pendidikan Islam.

BAB III. Pemikiran Pendidikan Tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin, berisi tentang: biografi, peran, publikasi/karya tulis, dan pemikiran pendidikan tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin.

BAB IV. Adalah bab yang menganalisis tentang pemikiran pendidikan tasawuf KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin dan relevansinya dengan pendidikan Islam.

BAB V. Adalah bab Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.

Bagian ketiga merupakan akhir dari tesis ini, di dalamnya terdapat Daftar Pustaka dan Lampiran-lampiran.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena sumber pembelajaran tersebut terkonsentrasi di tingkat pusat maka, pemerintah pusat seperti misalnya Kementerian Kesehatan dan KPAN perlu memprioritaskan

merah, kuning, dan biru diletakkan dengan jarak tiga warna antara satu dengan yang lain.  Di antara ketiga warna

Beberapa fungsi dari PIT atau biasa- nya disebut juga dengan counter/ timer pada mikrokomputer yang dapat di implemetasikan oleh 8253 sebagai berikut :.. •

pendidikan jasmani di sekolah bisa mengurangi dismenore primer pada remaja putri sehingga remaja putri termotivasi untuk berolahraga dan tetap mengikuti pembelajaran

Deskripsi Responden selain PT Finansia Multi Finance/kredit plus cabang manado, adakah responden yang berlangganan dengan perusahaan sejneis lainnya, Dari 90

Latar Belakang : Persalinan suatu proses membuka dan menipisnya serviks serta terjadi kontraksi uterus sehingga menyebabkan nyeri pada proses persalinan. Manajemen

berbahasa Inggris tetapi dia tidak menyebutkan surat kabar apa. Teknik yang digunakannya dalam membaca yaitu pertama-tama dia baca dahulu teks bacaan tersebut kemudian dia

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan Praktek Kerja Lapang tentang Teknik Pembesaran Ikan Nila