• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI, NARAPIDANA, DAN PEMBEBASAN BERSYARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI, NARAPIDANA, DAN PEMBEBASAN BERSYARAT"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI, NARAPIDANA, DAN PEMBEBASAN BERSYARAT

2.1. Tindak Pidana Korupsi

2.1.1. Tindak Pidana

Di dalam keseharian dan di masyarakat, sering mendengar mengenai berbagai macam tindak pidana. Akan tetapi, tanpa disadari sebagai manusia kita belum mengerti arti dari istilah “tindak pidana” itu sendiri serta apa saja unsur – unsur dari tindak pidana. Untuk itu, sebelum memasuki pokok bahasan mengenai pengertian tindak pidana korupsi, perlu pemahaman mengenai istilah “tindak pidana” dan terdiri dari apa sajakah unsur – unsur dari suatu tindak pidana.

Dalam bahasa Belanda, tindak pidana disebut dengan strafbaarfeit atau yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana dan pelaku tersebut dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.1

Di Indonesia, tindak pidana disebut juga dengan “delik”. Kata “delik” berasal dari bahasa latin, yakni

1

Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h. 59.

(2)

delictum, sedangkan dalam bahasa Jerman dikenal dengan delict, dan dalam bahasa Perancis disebut dengan delit.2

Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana berarti menandakan orang tersebut telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang merupakan sifat dari tindak pidana. Berbuat tindak pidana tanpa melanggar hukum adalah tidak mungkin karena tindak pidana selalu identik dengan pelanggaran hukum serta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Ada pepatah yang mengatakan “ dimana ada gula disitu ada semut,” jika diidentikan dengan tindak pidana maka menjadi “dimana ada tindak pidana disitu pasti ada pelanggaran hukum.” Tindak pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana – sarana yang disediakan oleh hukum pidana.3 Tindak pidana juga diartikan sebagai tindakan yang melanggar berbagai kepentingan yang dilindungi oleh hukum, dan kepentingan tersebut terdiri dari tiga jenis, yaitu kepentingan individu – individu, kepentingan masyarakat, dan kepentingan Negara.4 Selain itu, tindak pidana diistilahkan sebagai “peristiwa pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.5

2 Leden Marpaung, 2008, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Cet. IV, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 7.

3 Jan Remmelink, 2003, Komentar atas Pasal – Pasal Terpenting dari Kitab Undang –

Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 61.

4 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak – Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika

Aditama, Bandung, h. 16.

5

(3)

Terkait dengan hal tersebut, walaupun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda – beda mengenai tindak pidana, tetapi dari seluruh pendapat mereka intinya hanyalah satu, yakni tindak pidana adalah suatu perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh subjek tindak pidana dan oleh karena perbuatan tersebut maka subjek tindak pidana harus dijatuhi pidana sebagai ganjaran dari tindak pidana yang dilakukan. Mengetahui apa arti dari istilah “tindak pidana” saja tidaklah cukup. Kita juga harus mencari tahu “unsur – unsur tindak pidana”, oleh karena di setiap tindak pidana pasti ada unsur – unsur tindak pidana. Unsur – unsur tindak pidana itulah yang akan membuktikan subjek dari tindak pidana tersebut bersalah dan terbukti melakukan suatu tindak pidana ataukah tidak. Sesuai dengan hal tersebut diperlukan pengetahuan tentang unsur – unsur tindak pidana yang terdiri dari :

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; d. Unsur melawan hukum yang objektif; dan e. Unsur melawan hukum yang subjektif.6

Selanjutnya, ada yang menyebutkan terdapat tiga unsur dalam suatu delik/ tindak pidana, yakni :

a. Unsur melawan hukum; b. Unsur kesalahan; dan

6

(4)

c. Unsur bahaya, gangguan, dan merugikan orang lain, pihak lain atau masyarakat pada umumnya.7

Dalam dasar – dasar hukum pidana Indonesia, seseorang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana apabila telah melanggar unsur pidana, antara lain yaitu :

1) Unsur subyektif, adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini antara lain :

a. Kesengajaan atau kealpaan (dollus atau culpa);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging; c. Macam-macam maksud atau oogmerk;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voordebachte raad; dan e. Perasaan takut atau vrees.

2) Unsur obyektif, adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan – keadaan yang didalam keadaan mana tindakan dari si pelaku harus dilakukan. Unsur ini antara lain :

a. Sifat melawan hukum; dan

b. Kausalitas (hubungan antar tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat) dari perilaku.8

Ada pula yang mengungkapkan mengenai unsur – unsur tindak pidana meliputi :

a. Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif;

b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang – undang; c. Perbuatan itu dianggap melawan hukum;

d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan; dan e. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.9

7 Poernomo, 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Arena Ilmu, Bandung, h. 99.

8

Lamintang, 1997, Dasar – Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di

Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 194.

9 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama,

(5)

Berdasarkan pernyataan di atas, keseluruhan inti dari unsur – unsur tindak pidana tersebut adalah hanya terdiri dari dua unsur, yaitu :

a. Unsur subyektif : Unsur yang melekat pada diri si pelaku tindak pidana; dan b. Unsur obyektif : Unsur yang melekat pada perbuatan pidana yang dilakukan

oleh pelaku tindak pidana tersebut.

2.1.2. Korupsi

Salah satu larangan yang dipastikan sama di setiap negara bahkan serupa antara satu dengan yang lain adalah larangan untuk mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak milik kita sebagai manusia, yakni melakukan tindak pidana korupsi. Sesungguhnya nama “korupsi” adalah nama yang sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga kita. Ibarat artis, korupsi seperti artis yang sedang naik daun di negara kita yang tercinta ini, sangat populer dan mampu menyerang siapa saja yang mendekatinya terutama dari kalangan pejabat – pejabat negara Republik Indonesia. Sehingga siapapun yang melakukan tindak pidana tersebut seketika menjadi terkenal dan termasyur baik di media massa maupun media sosial. Dalam dunia musik, korupsi ibaratnya seperti “The Favorit Song”, yang lagunya didengar terus atau diputar berulang – ulang kali oleh pendengarnya dan sama halnya dengan tindak pidana korupsi yang tiada henti dilakukan oleh para pejabat negeri ini. Pemberantasan Korupsi diatur dalam UU RI No. 31 Tahun 1999 yang mengalami perubahan menjadi UU RI No. 20 Tahun 2001. Dahulu korupsi bukanlah sebuah kejahatan dan belum ada aturan hukum yang mengaturnya, tetapi dengan maraknya korupsi yang dilakukan serta banyaknya kerugian yang dialami

(6)

negara Indonesia, korupsi dikategorikan sebagai kejahatan dalam golongan tindak pidana khusus (tindak pidana di luar KUHP), kemudian ada pula undang – undang yang mengaturnya serta dibentuk juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pengertian “korupsi” dari segi kata atau etimology berasal dari bahasa Yunani (corruptio), yang artinya sebagai sesuatu yang busuk atau kerusakan (damaged), yang diartikan lagi sebagai kerusakan dalam bidang keuangan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.10 Istilah korupsi dikenal juga dalam buku Negara Kertagama Majapahit, hal tersebut berarti korupsi sudah ada sebelum negara Indonesia terbentuk. Masalah tindak pidana korupsi ini sesungguhnya dapat dikaji melalui beberapa aspek baik dari aspek politik, aspek ekonomi, dan aspek hukum. Dilihat dari aspek politik dan aspek ekonomi, secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik dari pada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten.11 Sedangkan pengkajian korupsi dari aspek hukum atau yuridis berarti mengkaji dari sisi peraturan perundang – undangan, yang menyebutkan istilah korupsi ada ketika terbentuk Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi pada tanggal 9 April 1957. Dalam peraturan tersebut, korupsi sebagai perbuatan – perbuatan yang

10

Andi Hamzah, 2012, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, Cet. V, Rajawali Pers, Jakarta, h. 5.

11 Mubyarto, 1980, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial, dan Keadilan, Yayasan Agro Ekonomika,

(7)

merugikan keuangan dan perekonomian negara. Apabila dalam KUHP yang merupakan konkordansi dari Wvs Belanda, ada beberapa pasal yang mengatur yakni :

a. Pasal 415 mengenai Penggelapan oleh pegawai negeri; b. Pasal 416 mengenai Penipuan;

c. Pasal 418 mengenai penyuapan;

d. Pasal 423, 425, dan 435 mengenai Penyalahgunaan wewenang atau jabatan yang merugikan keuangan negara.

Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi Presiden RI atas pilihan langsung rakyat menggantikan Presiden Megawati Periode 2004 s/d 2009 dan terpilih kembali menjadi Presiden RI untuk kedua kalinya sampai dengan 2009 s/d 2014, menjadikan pemberantasan korupsi sebagai program utama pemerintahannya dan diterbitkan undang – undang yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi antara lain :

a. UU RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Diundangkan tanggal 11 Agustus 2006;

b. UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Diundangkan tanggal 22 Oktober 2010;

c. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan instruksi Presiden RI No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Upaya – upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah orde baru maupun orde reformasi belum menunjukan hasil yang signifikan karena pelaku tindak pidana korupsi semakin berani serta pelakunya tetap sama terutama

(8)

dilakukan oleh oknum – oknum aparatur negara yang berkolusi dengan korporasi hitam atau perorangan. Hebatnya korupsi sekarang ini telah bermetamorfosis/berubah bentuk menyeramkan karena melahirkan korupsi berjamaah, sistematis, terorganisir dan pelakunya punya modal besar dan kekuasaan.12

There is enough for everybody’s need, but not enough for everybody’s greed. Artinya dunia memberi kecukupan untuk memenuhi kebutuhan semua orang, namun tidak cukup untuk kerakusan semua orang. Perbuatan korupsi pada hakekatnya merupakan kerakusan karena itu para pelakunya adalah mereka yang sehari – harinya telah memiliki kecukupan, sehingga latar belakang perbuatan korupsinya bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan, melainkan untuk memenuhi hasrat kemewahan.13

Dengan melakukan pengkajian serta menemukan jawaban dari yang dikaji, bahwa sesungguhnya seseorang yang melakukan korupsi adalah bukan semata – mata untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk pemenuhan mereka yang memiliki sifat rakus akan segalanya. Begitu juga dengan begitu banyaknya kasus korupsi yang terjadi di negeri ini, yang dilakukan oleh para pejabatnya sendiri. Dilihat dari sisi logika, kebutuhan apa saja yang tidak dapat dipenuhi oleh seseorang yang telah menduduki posisi penting (pejabat negara) di negara ini. Kebutuhan seperti membeli mobil, handphone, rumah, tanah, perhiasan dan lain sebagainya, secara langsung dapat terpenuhi walaupun untuk itu harus didukung dengan kinerja yang bagus sesuai dengan posisi yang didapat. Jika dilihat dari sisi etika, tentunya pemerintah dalam merekrut orang – orang terpilih untuk menduduki posisi yang

12

S. Anwary, 2012, Perang Melawan Korupsi di Indonesia, Institut Pengkajian Masalah – Masalah Politik dan Sosial Ekonomi, Jakarta, h. 3 – 4.

13 Antonius Sujata, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, h.

(9)

sangat penting tersebut adalah orang – orang yang memiliki etika yang baik dan benar.

Pada kenyataannya, para pejabat tersebut tetap melakukan korupsi sehingga membuktikan bahwa mereka tidak memiliki intelegentia yang berlandaskan pada etika yang baik dan benar. Intelegentia adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan.14 Jika intelegentia tersebut berlandaskan pada etika yang baik dan juga benar, pastinya seorang pejabat negara tidak hanya mementingkan hasrat ataupun keinginannya saja tetapi juga sadar akan kewajibannya yang harus dijalankan terhadap negaranya sendiri. Jadi seseorang yang tidak memiliki hal tersebut, tidak akan berpikir dua kali untuk tidak melakukan korupsi sebab yang dipentingkan hanya kepuasan batin yang ada pada dirinya dan tidak memikirkan apa akibat yang ditimbulkan berdasarkan perbuatannya. Sehingga Intelegentia without good etic, it’s mean so badly.

Berbeda jauh dengan warga negara Indonesia yang memiliki tingkat ekonomi rendah dan masih membutuhkan bantuan dari negara ini. Betapa menderitanya nasib mereka hanya untuk memperoleh sesuap nasi demi keperluan nutrisi tubuh, mereka harus bekerja keras banting tulang dan sungguh tidak mungkin mereka berpikir jauh untuk membeli rumah, mobil, tanah, perhiasan, dan sebagainya seperti yang dilakukan pelaku korupsi di Indonesia, terlebih lagi dengan cara mengorbankan kepentingan negara. Tindak Pidana korupsi di Indonesia seperti tidak ada habis – habisnya, semakin ditindak makin meluas bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah

14

(10)

kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya. Akhir – akhir ini nampak makin terpola dan sistematis, lingkupnya juga telah menyentuh keseluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. Atas dasar hal tersebut, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai extraordinary crime tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.15 Berdasarkan keseluruhan hal yang sudah diterangkan di atas, apabila membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi – segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya dan dengan demikian korupsi dapat diartikan sangat luas, yakni :

a. Korupsi : penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain;

b. Korupsi : busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).16

2.1.3. Tindak Pidana yang Tergolong sebagai Korupsi

Sebenarnya tindakan sederhana dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, contohnya seperti seorang Guru Sekolah Dasar yang mengambil sebagian

15 Marwan Effendy, 2007, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya Anti – Korupsi

Bagi Jurnalis, Surabaya, h. 1.

16 Evi Hartanti, 2009, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Cet. III, Sinar Grafika,

(11)

uang tabungan muridnya untuk memenuhi kepentingan pribadinya, misalnya untuk membeli perhiasan emas dan uang tersebut tidak dikembalikan kepada yang bersangkutan serta seorang kakak yang mengambil jatah makanan adiknya, padahal jatah makanan tersebut masing – masing telah dibagi rata oleh ibunya. Kedua hal tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk tindakan korupsi karena di dalamnya ada unsur mengambil hak milik orang lain atau mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak dirinya sendiri.

Ibarat penyakit, korupsi sudah seperti virus penyakit yang sangat berbahaya, yang ada dalam tubuh manusia dan bisa menyerang siapa saja serta dimana saja. Maka dari itu penanganan terhadap tindak pidana korupsi pun harus dilakukan secara khusus yang berarti dalam setiap aspek – aspek yang ada di negara Indonesia ini, harus memiliki strategi penanganan yang berbeda dari penanganan yang biasa dilakukan terhadap tindak pidana lainnya, mengingat sekarang korupsi sudah menjadi kategori tindak pidana extra ordinary crime. Kemudian strategi penangangan tersebut harus benar – benar dilaksanakan secara teliti, artinya dalam penanganan tersebut tidak boleh ada yang luput dari pengawasan terhadap tiap – tiap bagiannya dan yang terakhir adalah harus bersifat hati – hati serta profesional, yang memiliki arti bahwa kita harus menjalankan strategi tersebut dengan mengupayakan usaha secara profesional sesuai dengan kemampuan kita sebaik mungkin dan juga hati – hati. Hati – hati dimaksudkan, kita harus membentengi diri sendiri jangan sampai sebagai yang menjalankan strategi penanganan terhadap tindak pidana korupsi, tetapi dengan melihat begitu

(12)

banyak uang yang didapat dengan cara korupsi justru menjadi tergoda dan terjerumus turut melakukan tindak pidana korupsi.

Menurut UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan yang tergolong sebagai tindak pidana korupsi adalah :

1. Kerugian keuangan negara, terdapat dalam :

a) Pasal 2 UU RI No. 31 Tahun 1999, menyatakan bahwa :

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

b) Pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999, menyatakan bahwa :

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 2. Suap – menyuap, terdapat dalam :

a) Pasal 5 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

(13)

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

b) Pasal 6 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang – undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

c) Pasal 11 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui dan patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

d) Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, dan Pasal 12 huruf d UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :

(14)

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) : a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah

atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; dan

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang – undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

e) Pasal 13 UU RI No. 31 Tahun 1999, menyatakan bahwa :

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

3. Penggelapan dalam jabatan, terdapat dalam :

a) Pasal 8 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus – menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

(15)

b) Pasal 9 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku – buku atau daftar – daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. c) Pasal 10 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut.

4. Pemerasan, terdapat dalam :

Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf g, menyatakan bahwa :

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan

hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah – olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut

(16)

mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang; dan

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah – olah merupakan utang kepada dirinya padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. 5. Perbuatan curang, terdapat dalam :

a) Pasal 7 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) :

a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dalam ayat (1).

b) Pasal 12 huruf h UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) : h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah – olah sesuai dengan peraturan perundang – undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang – undangan.

(17)

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan, terdapat dalam :

Pasal 12 huruf i UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

7. Gratifikasi, terdapat dalam :

a) Pasal 12 B UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.

b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

b) Pasal 12 C UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. (3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling

lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang – undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(18)

2.2. Narapidana

Seseorang yang sudah dijatuhi vonis pidana oleh Hakim atas tindak pidana yang dilakukannya disebut dengan “narapidana”. Narapidana menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan dengan cara dicabut kemerdekaannya. Hal tersebut sama seperti pengertian narapidana yang terdapat pada Pasal 1 angka (7) UU RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. Di dalam lembaga pemasyarakatan dilakukan pembinaan yang positif terhadap narapidana yang dilaksanakan oleh Petugas Pemasyarakatan, dengan harapan ketika kembali terjun ke masyarakat tidak lagi melakukan tindak pidana. Pada UU RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa Petugas Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Pembinaan yang diberikan kepada narapidana menggunakan sepuluh prinsip pemasyarakatan dan bimbingan bagi narapidana, yang tercantum dalam konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Bandung pada tanggal 27 April 1964, yaitu :

a. Orang yang tersesat diayomi juga dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal hidup tidak hanya berupa finansial dan material tetapi lebih penting adalah mental, fisik, keahlian, keterampilan hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum dan berguna dalam pembangunan negara;

b. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara;

c. Rasa Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan. Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma – norma kehidupan serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam

(19)

kegiatan – kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan;

d. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada ia sebelum masuk Lembaga Pemasyarakatan, oleh karena itu harus diadakan pemisahan antara :

1) Yang residivis dengan yang bukan

2) Yang telah melakukan tindak pidana berat dan ringan 3) Macam tindak pidana yang diperbuat

4) Dewasa, dewasa – muda, dan anak – anak 5) Orang terpidana dan orang tahanan;

e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;

f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara.

g. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila;

h. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia tersesat;

i. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan; serta

j. Perlu didirikan lembaga – lembaga yang baru dan sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program – program pembinaan dan memindahkan lembaga lembaga – lembaga yang berada di tengah – tengah kota ke tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan.

2.2.1. Hak – hak Narapidana

Narapidana disebut juga sebagai “Warga Binaan Pemasyarakatan” dalam sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila.17 Sebagai warga binaan pemasyarakatan, walaupun di dalam LAPAS kemerdekaan

17 Adi Sujatno, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri,

(20)

para narapidana hilang tetapi mereka tidak kehilangan hak – hak tertentu yang mereka miliki.

Hak – hak narapidana terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) UU RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yakni :

Narapidana berhak :

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat; l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan

m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.3. Pembebasan Bersyarat

Pembebasan bersyarat terdiri dari kata “bebas” yang berarti tidak terikat, sedangkan kata “bersyarat” berarti menurut ketentuan – ketentuan tertentu. Jadi secara logika arti dari pembebasan bersyarat adalah tidak terikatnya seseorang menurut ketentuan – ketentuan hukum tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Namun, sesungguhnya apa arti dari pembebasan bersyarat itu sendiri. Banyak yang menyebut pembebasan bersyarat sebagai malaikat penolong bagi pelaku tindak pidana terutama pelaku tindak pidana korupsi, jika sudah tidak dapat melakukan upaya hukum lagi terhadap tindak pidana yang telah dilakukannya. Dikatakan demikian, sebab terbukti dalam kasus korupsi yang

(21)

terjadi di Indonesia, hanya pembebasan bersyarat yang dianggap mampu menolong pelaku tindak pidana untuk mengurangi masa hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim karena upaya hukum seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali sudah tidak dapat dilakukan lagi.

Pembebasan bersyarat dalam bahasa Belanda dikenal dengan Voorwaardelijke Invryheidstelling. Amerika dan Inggris menyebutnya dengan istilah parole. Di Indonesia, pembebasan bersyarat mulai dikenal setelah KUHP berlaku pada 1 Januari 1918. Alasan terlambatnya lembaga tersebut diberlakukan di Indonesia karena Kepolisian kurang mampu melakukan pengawasan terhadap pembebasan bersyarat.18 Menurut Clear, pembebasan bersyarat merupakan proses pelepasan narapidana ke dalam masyarakat sebelum masa berakhirnya hukuman maksimum narapidana dari Lapas. Dalam pengadministrasian pembebasan bersyarat dari pemerintah, lembaga koreksional melaksanakan sejumlah fungsi, diantaranya :

1. Memelihara/mengelola informasi tiap narapidana di bawah yuridiksi lembaga koreksional;

2. Memelihara/mengelola catatan setiap narapidana pada masa pembebasan bersyarat;

3. Membimbing narapidana pada masa pembebasan bersyarat;

4. Investigasi yang berhubungan dugaan pelanggaran pembebasan bersyarat;

18 Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramitha,

(22)

5. Membantu narapidana yang memerlukan syarat untuk memperoleh pembebasan bersyarat; dan

6. Membantu narapidana untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan, dan keterampilan kerja.

2.3.1. Macam dan Arti Penting Komponen Pembebasan Bersyarat

Pembebasan bersyarat hanya dapat diberikan kepada mereka yang dihukum penjara dan bukan kurungan, dengan syarat jika dua pertiga lamanya hukuman yang sebenarnya dan dua pertiga hukuman itu harus sedikit – dikitnya 9 bulan telah dijalani. Contoh misalnya, seseorang yang dihukum penjara 9 bulan meskipun telah menjalani dua pertiga hukumannya (6 bulan), belum dapat dibebaskan dengan bersyarat, oleh karena belum memenuhi syarat minimum 9 bulan.

Pembebasan bersyarat dibagi ke dalam dua macam, yakni :

a. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara di dalam suatu lembaga pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17 KUHP, lebih lanjut telah diatur di dalam Ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 749 yang juga dikenal sebagai Ordonnantie op de voorwardelijke invrijheidstelling atau peraturan mengenai pembebasan bersyarat; dan b. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk mendapatkan pendidikan

dalam suatu Lembaga Pendidikan Negara seperti yang dimaksud di dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (1) dari Ordonansi pada tanggal 21 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 741 yang juga dikenal sebagai dwangopvoeding regeling atau peraturan mengenai pendidikan paksa.19

19

(23)

Mc Carthy mengungkapkan bahwa dalam melaksanakan pembebasan bersyarat narapidana disaring untuk penyesuaian mereka guna pelepasan yang didasari atas resiko yang mereka miliki terhadap masyarakat, untuk itu arti penting komponen – komponen yang dimiliki pembebasan bersyarat di dalamnya sebagai :

1. Sebuah proses untuk mempertimbangkan kesesuaian dari sebuah kenyataan pelepasan narapidana ke pembimbing kemasyarakatan;

2. Sebuah periode pembimbingan yang berbasis masyarakat setelah masa hukuman di Lapas, dengan pendekatan ini sistem pemasyarakatan tetap dapat mengawasi para narapidana, menyediakan bantuan proses perpindahan mereka ke masyarakat, menyediakan program yang berkelanjutan, dan memonitor keberhasilan penyesuaian hidup di luar Lapas atau yang kembali ke Lapas jika keselamatan masyarakat terancam; dan

3. Kekuasaan (power) seseorang atau kelompok untuk membuat keputusan – keputusan pelepasan yang dapat diinformasikan kepada narapidana, setelah para narapidana mencapai persyaratan pembebasan bersyarat.

Referensi

Dokumen terkait

This problem isn’t simple, but on the Internet, it’s a problem we’ve largely solved —you don’t need different browsers for CNN and Facebook.. This kind of standardization is

Berdasarkan tabel di atas, hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen kegiatan praktik unit produksi pada aspek perencanaan praktik unit produksi di SMK kelompok Bisnis dan

Aplikasi linier programming dengan menggunakan metode simplek dapat menghitung jumlah produksi yang optimal pada tiap jenis apam yang diproduksi oleh usaha produksi apam

Pada metode ini bersamaan dengan cuplikan dipersiapkan unsur standar dengan jenis sama dengan unsur yang terkandung dalam cuplikan yang akan dianalisis dan

Menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Arus listrik

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Hubungan Durasi Terpapar Bising

Tanpa ada tujuan terhadap akhirat, maka kebaikan dan kebahagiaan hanya berupa harta wanita dan tahta, maka ia akan melakukan apa saja untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan menurut

Jadi iklim kerja adalah hubungan timbal balik antara faktor-faktor pribadi, sosial, dan budaya yang mempengaruhi sikap individu dan kelompok dalam lingkungan