1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia senantiasa berupaya untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya, di manapun mereka berada, dalam keadaan alam yang seperti apapun. Hal ini, yang sering disebut sebagai adaptative capacity (Gunderson & Holling, 2001), merupakan alasan utama mengapa manusia dapat tersebar di seluruh permukaan bumi dengan jumlah populasi yang terus bertambah. Sesulit apapun lingkungan sekitarnya, manusia selalu dapat menyesuaikan diri dan bertahan memanfaatkan apapun yang berada di sekelilingnya. Kelebihan ini didukung oleh kemampuan manusia dalam mengelola lingkungan mereka tersebut. Manajemen atau manajemen ini merupakan teknik rekayasa manusia yang selalu berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui proses adaptasi berupa manajemen inilah manusia dapat terus menerus mengembangkan peradabannya hingga saat ini.
Pada awalnya, semua peradaban besar bermula di lembah-lembah sungai. Peradaban tertua (3300-2500 SM), adalah yang tumbuh di sepanjang sungai Tigris dan Eufrat di Timur Tengah. Nama yang diberikan kepada peradaban itu adalah Mesopotamia, yang berarti “negeri di antara sungai-sungai”. Lembah Nil di Mesir telah menjadi kawasan pemukiman dan pertanian sejak 5500 SM, tetapi pertumbuhan Mesir sebagai sebuah peradaban besar baru dimulai sekitar 3100 SM. Peradaban ketiga tumbuh di sepanjang Sungai Indus sekitar 2600 SM, di wilayah yang sekarang dikenal sebagai India dan Pakistan. Peradaban besar keempat muncul sekitar 1700 SM di sepanjang Sungai Kuning di Tiongkok, juga dikenal sebagai Peradaban Sungai Huang-He (McCannon, 2008).
Peradaban cenderung tumbuh di lembah-lembah sungai karena sejumlah alasan. Alasan yang paling jelas adalah karena adanya akses ke sumber air untuk
2 pertanian dan kebutuhan manusia. Air berlimpah dan penyuburan tanah akibat banjir tahunan memungkinkan untuk produksi kegiatan pertanian yang bahkan melebihi kebutuhan. Hal ini memungkinkan bagi beberapa anggota masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan non-pertanian seperti konstruksi bangunan dan kota, logam, perdagangan, serta organisasi sosial sebagai pembangun peradaban (Mountjoy, 2005).
Seiring pertumbuhan peradaban, wilayah sungai juga menjadi tempat bertumpu hampir semua kegiatan ekonomi, seperti pertanian, industri, perdagangan, jasa, transportasi serta kawasan permukiman. Dalam pemanfaatan wilayah sungai, kegiatan tersebut dapat saling mengisi (komplementer), bersaing dalam penggunaan lahan dan air, serta mempunyai pengaruh timbal balik terhadap ketersediaan air baik dalam hal jumlah maupun mutu (Sjarief, 2010).
Di sisi lain, kawasan ini juga rentan akan ancaman berbagai bencana hidrologis seperti seperti banjir dan erosi. Di sinilah kemampuan adaptative capacity manusia tadi akan diuji, terutama dalam manajemen lingkungannya. Dengan manajemen yang baik, manusia tidak hanya akan mampu meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threat) yang ada. Manajemen yang baik juga akan membawa peningkatan dalam sisi kekuatan (strength) dan peluang (opportunity) yang diperlukan suatu lingkungan untuk dapat berkembang menjadi lebih baik lagi.
Manajemen daerah aliran sungai menuntut prioritas bukan hanya pada pertumbuhan ekonomi manusianya, tetapi di atas itu diperlukan perhatian lebih pada aspek lingkungan alamnya. Fungsi utama sungai pada dasarnya adalah untuk jalan air, di mana air yang mengalir dari hulu ke hilir diharapkan dapat dimanfaatkan bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Daerah hulu umumnya adalah berupa kawasan rural, sedangkan daerah hilir umumnya berupa kawasan perkotaan. Manajemen keduanya secara terpadu sangat diperlukan untuk mencegah berbagai macam bencana alam hidrologis, utamanya berupa banjir. Sebelum mitigasi bencana dapat berjalan dengan baik, maka pengembangan daerah aliran sungai untuk kepentingan lain hanya akan membawa ancaman kerugian materi
3 maupun non materi ketika bencana tiba. Oleh karena itulah, fokus pertama dari manajemen kawasan berpotensi bencana termasuk daerah aliran sungai adalah mitigasi bencana. Setelah mitigasi bencana terwujud, barulah pemanfaatan untuk fungsi lain dapat dilaksanakan. Salah satu negara yang telah sukses menerapkan mitigasi bencana di daerah aliran sungainya adalah Jepang, di mana kota-kotanya tumbuh di dataran rendah yang dilalui banyak sungai dengan ancaman banjir yang cukup tinggi.
Jepang merupakan salah satu negara dengan tingkat modernisasi tercepat di dunia. Negara ini belum benar-benar memulai modernisasi dan industrialisasinya sampai akhir abad 19 setelah sebelumnya mengalami masa isolasi (Sakoku) selama lebih dari 200 tahun. Hal ini berlaku pula pada manajemen sungai dan kawasan tepiannya. Kebijakan nasional pertama mengenai hal tersebut baru benar-benar diterapkan pada tahun 1896, yang kemudian dikenal sebagai The Old River Law (River Law I). Hal tersebut termasuk terlambat apabila dibandingkan dengan negara-negara yang maju dalam manajemen perairan daratnya seperti Belanda (abad ke 17), dan bahkan Amerika Serikat yang merupakan “dunia baru” yaitu sejak awal abad 19 (www.waterencyclopedia.com).
Namun meski demikian, Jepang kini telah menjadi satu dari sedikit negara di Asia yang telah sukses menerapkan mitigasi bencana banjir di daerah aliran sungainya. Keberhasilannya ditandai dengan perluasan manajemen daerah aliran sungai yang tidak hanya berfokus pada mitigasi bencana saja, tetapi juga telah berfokus pada pemanfaatan air dan pelestarian lingkungan daerah aliran sungainya. Selain itu, Jepang juga tergabung dalam ARRN (Asian River Restoration Network) bersama dengan Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Selatan dengan fokus aktivitasnya pada pengembangan manajemen dan restorasi sungai yang paling sesuai bagi iklim angin muson di Asia. Pembagian kewenangan manajemen daerah aliran sungainya pun telah ditangani secara spesifik oleh suatu biro khusus tersendiri yaitu River Bureau (pada tahun 2015 berubah namanya menjadi Water and Disaster Management Bureau) di bawah Kementrian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata. Hukum manajemennya juga selalu mengalami
4 perbaikan, mulai dari River Law I (1896), River Law II (1964), dan River Law III (1997). Dengan berbagai kemajuan di bidang birokrasi, peraturan, dan sosial budaya masyarakatnya, Jepang dinilai telah sukses dalam menjalankan manajemen daerah aliran sungainya. Keberhasilan ini apabila diteliti tentunya akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan ke depannya, serta menjadi pembelajaran bagi manajemen kawasan serupa di negara lain.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dilaksanakan perumusan masalah, antara lain:
1. Bagaimanakah konsep dan dinamika manajemen daerah aliran sungai di Jepang ?
2. Apa faktor yang mempengaruhi dinamika manajemen daerah aliran sungai di Jepang?
Konsep di sini mengacu pada tema manajemen daerah aliran sungai di Jepang saat ini, sedangkan dinamika mengacu pada bagaimana perkembangan manajemen tersebut menjadi dari awal munculnya hingga bisa mencapai konsep saat ini. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh dalam dinamika tersebut dapat memberi kita informasi mengenai alasan mengapa perubahan tersebut terjadi, maupun sebaliknya (analisis sebab-akibat dan akibat-sebab).
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui konsep dan dinamika manajemen daerah aliran sungai di Jepang.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika manajemen daerah aliran sungai di Jepang.
1.4. Batasan Masalah 1.4.1. Batasan Fisik
Penelitian ini membatasi wilayah analisis mencakup seluruh daerah aliran sungai di Jepang. Daerah aliran sungai di sini berarti seluruh wilayah
5 sistem sungai yang mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh air sungai mulai dari daerah rural (hulu) sampai daerah urban (hilir). Secara administratif, sungai di sini ditandai dengan klasifikasi dari River Law yaitu sungai kelas A, B, dan sungai lokal.
1.4.2. Batasan Konseptual
Batasan konseptual penelitian ini diutamakan pada pengamatan terhadap perkembangan manajemen daerah aliran sungai di Jepang dari aspek kebijakan, pihak-pihak yang terlibat, teknik-teknik pengembangan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi dinamikanya. Aspek-aspek ini akan dilihat sebagai pengelola yang berfungsi sebagai perencana, pelaksana, dan pengendali dalam pengembangan daerah aliran sungai di Jepang.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Memberi pengetahuan mengenai konsep manajemen pembangunan daerah aliran sungai dengan berbagai potensi dan masalahnya.
2. Memberikan pengetahuan mengenai konsep dan dinamika manajemen daerah aliran sungai di Jepang dari awal hingga saat ini.
3. Memberi bahan pembelajaran bagi manajemen daerah aliran sungai di lokasi lain yang memiliki potensi dan masalah yang sama atau mirip. 1.6. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai manajemen daerah aliran sungai baik secara kekinian maupun analisis time series sudah cukup banyak dilakukan di berbagai lokus yang berbeda. Aspek yang menjadi fokus pun beraneka ragam, mulai dari kebijakannya, faktor-faktor lokal, efek atau akibat yang ditimbulkannya, sampai yang lengkap mengevaluasi proses manajemennya itu sendiri. Sejauh pengetahuan peneliti, berikut adalah beberapa contoh dari penelitian tersebut:
6 Tabel 1.1. Penelitian Terkait
No Nama Tahun Program Judul
1 Christopher
J. Barrow
1998 University of Wales, Swansea, U.K
River Basin Development Planning and Management: A Critical Review (Penelitian) 2 Bhattarai M, Pant D, Mishra V.S, Devkota H, Pun S, Kayastha R. N. and Molden D
2002 Water and Energy Commission Secretariat (WECS), Nepal
Integrated Development and Management of Water Resources for Productive and Equitable Use in the Indrawati River Basin, Nepal (Laporan Penelitian)
3 Lies Indrayanti
2004 Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada
Implementasi Kebijakan Penetapan Kawasan Konservasi dan Jalur Hijau di Tepian Sungai Kahayan (Thesis S2) 4 Dorri G. J. te
Boekhorst, Toine J. M. Smits, Xiubo Yu, Lifeng Li, Gang Lei, and Chen Zhang
2010 Center for Sustainable Management of Resources, Raboud University Nijmegen, Institute of Geographic Sciences and Natural
Resources Research, Chinese Academy of Sciences Beijing, World Wide Fund for Nature China
Implementing Integrated River Basin Management in China (Penelitian)
Bersambung
Bersambung Bersambung
7 5 Nurul
Hasana Sofyanthi Awuy
2011 Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada
An Institutional Analysis of Integrated River Basin Management : The Case of Keduang and
Ketonggo Rivers in the Bengawan Solo Sub Basin, Indonesia (Thesis S2)
6 Yoga Putra Prameswari
2014 Ilmu Politik dan
Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada
Implementasi Kebijakan Manajemen Kawasan Tepi/Sempadan Sungai di Jepara dari Tahun 2002-2009 (Skripsi S1) 7 Andi Ahmad
Priyadharma
2015 Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada
Perubahan Pola Pemanfaatan Ruang Sepanjang Tepi Sungai Martapura Kota
Banjarmasin (Thesis S2) Sumber : Penelusuran peneliti, 2016
1. Penelitian pertama yang berjudul “River Basin Development Planning and Management: A Critical Review” berisi evaluasi umum terhadap manajemen daerah aliran sungai (river basin) yang diterapkan di berbagai negara sejak tahun 1930. Penelitian ini mengkritik sistem manajemen daerah aliran sungai yang menjadi pedoman banyak negara dan mengajukan beberapa kemungkinan perbaikan yang dapat diterapkan. Hal tersebut terutama menjurus pada bagaimana manajemen daerah aliran sungai harus terintegrasi bukan hanya secara spasial hulu-hilir tetapi juga antara aspek ekonomi dan lingkungan yang sebelumnya kurang diperhatikan.
8 2. Penelitian ke dua dengan judul “Integrated Development and Management of Water Resources for Productive and Equitable Use in the Indrawati River Basin, Nepal” merupakan sebuah penelitian kolaboratif antara beberapa universitas dengan Water and Energy
Commission Secretariat (WECS), Nepal untuk mengidentifikasi
pengaruh yang dibawa oleh pembangunan proyek ‘transfer air interbasin skala besar’ dari sungai Indrawati. Penelitian ini menganalisis dampak jangka panjang yang akan dibawa oleh proyek senilai $464 juta tersebut dan memberikan saran berupa upaya pencegahan yang dapat dilakukan pemerintah dan berbagai stakeholder yang berwenang untuk mencegah berbagai ancaman yang dapat timbul nantinya.
3. Penelitian ke tiga yang berjudul “Implementasi Kebijakan Penetapan Kawasan Konservasi dan Jalur Hijau di Tepian Sungai Kahayan” mendeskripsikan proses implementasi kebijakan, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penetapan Perda no.3 tahun 1986 tentang Rencana Bagian Wilayah dan Kota (1985-2000) yang menetapkan kawasan tepi sungai Kahayan sebagai kawasan konservasi dan jalur hijau. Penelitian ini menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhi baik secara positif maupun negatif implementasi dari Perda tersebut. Kesimpulan yang diambil menyatakan bahwa implementasi tersebut mengalami hambatan dari berbagai faktor, seperti misalnya pergantian kekuasaan dan masalah pendanaan.
4. Penelitian ke empat yang bertajuk “Implementing Integrated River Basin Management in China” menganalisis peranan dari World Wildlife Fund for Nature China sebagai salah satu pengatur kebijakan manajemen daerah aliran sungai terpadu di sungai Yangtze. Penelitian ini menunjukkan bagaimana World Wildlife Fund for Nature China menggunakan berbagai strategi yang sejalan dengan kebijakan pemerintah negara Republik Rakyat Tiongkok untuk mewujudkan sistem manajemen daerah aliran sungai Yangtze yang terintegrasi baik
9 secara spasial dan sektoral. Pada akhirnya, penelitian ini membuktikan betapa besar peran dari World Wildlife Fund for Nature China yang mampu mengimplementasikan manajemen daerah aliran sungai terpadu meski berada di bawah bayang-bayang kewenangan tertinggi pemerintah.
5. Penelitian ke lima dengan judul “An Institutional Analysis of Integrated River Basin Management : The Case of Keduang and Ketonggo Rivers in the Bengawan Solo Sub Basin, Indonesia” mendeskripsikan bagaimana manajemen daerah aliran sungai yang terpadu antar institusi sektoral maupun spasial memberi keunggulan di atas manajemen kawasan serupa yang masih tradisional, yaitu yang hanya terintegrasi secara spasial hulu-hilir. Manajemen secara terpadu oleh penelitian ini dijabarkan membawa banyak keuntungan pada lingkup institusional terutama pada aspek komunikasi, koordinasi, dan pertukaran antar stakeholder, baik secara vertikal maupun horisontal.
6. Penelitian ke enam yang berjudul “Implementasi Kebijakan Manajemen Kawasan Tepi/Sempadan Sungai di Jepara dari Tahun 2002-2009” berisi evaluasi terhadap manajemen daerah aliran sungai di Jepara antara tahun 2002 sampai 2009 dari sisi pembuatan dan implementasi kebijakan pemerintahnya. Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana manajemen daerah aliran sungai yang disusun dan dilaksanakan di Jepara telah memberi kesan manajemen ‘Waterfront City Development”, menunjukkan keunggulan dari manajemennya yang telah sesuai dengan prinsip tersebut.
7. Penelitian ke tujuh dan terbaru yang bertajuk “Perubahan Pola Pemanfaatan Ruang Sepanjang Tepi Sungai Martapura Kota Banjarmasin” mempelajari tentang perkembangan pola pemanfaatan ruang sepanjang tepi sungai Martapura antara tahun 2005 sampai tahun 2014 beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang berpengaruh kemudian dikelompokkan menjadi 3, yaitu faktor kesukuan, ketersediaan jaringan infrastruktur, dan kebijakan
10 pemerintah, di mana ketersediaan jaringan infrastruktur dinilai memiliki pengaruh terbesar. Hal tersebut menyebabkan pola pemanfaatan ruang yang semakin menjauhi sungai, karena mulai berorientasi ke infrastruktur jalan yang semakin baik.
Dalam penelitian ini, peneliti akan berupaya untuk mendeskripsikan perubahan manajemen daerah aliran sungai di Jepang secara umum beserta dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini akan mengupas bagaimana perubahan kebijakan membawa perubahan pada aspek perencanaan, implementasi, dan pengendalian di daerah aliran sungai di Jepang. Hasil penelitian ini diharapkan akan membawa kesimpulan mengenai kecenderungan perkembangan manajemen daerah aliran sungai di Jepang dengan berbagai potensi dan permasalahannya yang berubah seiring perkembangan waktu. Dengan demikian akan dapat diketahui pula berbagai masalah yang dulu ada kini tidak lagi menjadi ancaman karena manajemennya yang telah berkembang, sehingga dapat menjadi bahan pembelajaran bagi daerah lain yang kini masih berhadapan dengan masalah tersebut.