• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKENARIO USULAN PEMOTONGAN TARIF G-20 DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKENARIO USULAN PEMOTONGAN TARIF G-20 DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA 2"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

SKENARIO USULAN PEMOTONGAN TARIF G-20 DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA2

1. Penjenjangan Tarif Bound

Sampai saat ini telah banyak usulan tentang banyaknya jenjang dan batas nilai tarif pada suatu jenjang, antara lain: (1) usulan Kelompok (K)-20 atau G-20, (2) usulan Uni Eropa (UE), (3) usulan Australia dan Amerika Serikat, dan (4) usulan ACP (Africa, Caribbean, and Pacific countries), serta usulan Selandia Baru. Setiap usulan ini tentu akan memberikan konfigurasi jumlah dan rataan tarif yang berbeda-beda satu sama lain. Penjenjangan tarif menurut G-20 mirip dengan usulan Uni Eropa. Untuk negara berkembang (NB) G-20 dan UE mengusulkan pengelompokan tarif sebanyak 4 jenjang, yaitu : Jenjang 1, T < 30; Jenjang 2, 30 < T < 80; Jenjang 3, 80 < T < 130; dan Jenjang 4, T > 130.

Usulan G-20 ini menyebabkan pos tarif Indonesia, sebagian besar (lebih dari 90% dari jumlah seluruh tarifnya) berada di Jenjang 2, hanya sedikit (kurang dari 5%) yang berada di Jenjang 4 dan sedikit sekali (di bawah 1%) berada di Jenjang 1 dan Jenjang 3. Rataan tarif di Jenjang 1 adalah 24.14 persen; di Jenjang 2, 42.78 persen; di Jenjang 3, 95.0 persen; dan di Jenjang 4, 164.55 persen. Khusus di Indonesia, persebaran pos tarif dan kelompok komoditas yang memiliki tarif tertinggi pada setiap jenjang tarif dapat pula ditelusuri seperti diperlihatkan tabel 1.

Tabel 1. Kelompok Komoditas di Indonesia dengan Tarif Tertinggi pada setiap Jenjang Tarif Usulan G-20

Jenjang Tarif Kelompok/Chapter Jumlah Pos Tarif Rataan Tarif (%) T = 30 Kelompok 13 dan 23 Masing-masing 1 30.00

30<T = 80 Kelompok 22 16 55.63

80<T = 130 Kelompok 17 14 95.00

T>130 Kelompok 4 12 210.00

Lima komoditas pertanian Indonesia dengan rataan tarif tertinggi di Jenjang 1 adalah komoditas 13 (Lak; getah, damar dan sap serta ekstrak nabati lainnya) dan 23 (Residu dan sisa dari industri makanan; olahan makanan hewan) dengan rataan sebesar 30 persen dan masing-masing hanya 1 pos tarif; komoditas 10 (Serealia), 35 (Zat albumina; pati dimodifikasi; enzim) dan 52 (kapas) dengan rataan sebesar 27 persen dan jumlah pos tarif berturut-turut 5,3 dan 1. Selanjutnya beberapa komoditas

2

Bahan disarikan dari Hutabarat et al. (2006) dan dipersiapkan atas permintaan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Pertanian, Departemen Pertanian, Kamis, 5 Juli 2007.

(2)

yang tidak memiliki pos tarif sama sekali di kelompok ini adalah komoditas 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 19, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 29, 33, 38, 41, 43, 50, 51, dan 53.

Di Jenjang 2, semua komoditas memiliki pos tarif. Lima komoditas dengan rataan tarif tertinggi di Indonesia adalah komoditas 22 (Minuman, alkohol dan cuka) dengan rataan 55,63 persen dan sejumlah 16 pos dan kisaran dari 40 persen–70 persen; komoditas 20 (Olahan dari sayuran, buah, biji/kacang atau bagian lain dari tanaman) dengan rataan 48,45 persen dan sejumlah 116 pos dan kisaran 40 persen– 60 persen; komoditas 8 (Buah dan biji/kacang yang dapat dimakan; kulit dari buah jeruk dan melon) dengan rataan 47,20 persen dan sejumlah 82 pos dan kisaran 40 persen–60 persen; komoditas 7 (Sayuran dan akar serta bonggol tertentu yang dapat dimakan) dengan ratan 46,42 persen dan sebanyak 81 pos dan kisaran 40 persen– 60 persen komoditas 2 (Daging dan sisa daging yang dapat dimakan) yang mempunyai rataan 45,94 persen dan sebanyak 64 pos tarif dengan kisaran 40 persen–50 persen. Nilai rataan tarif terkecil adalah 40 persen yang dimiliki oleh beberapa komoditas antara lain 1, 4, 5, 10–19, 16–18, 23–25, 33, 35, 38, 41, 43, dan 50–53.

Pada Jenjang 3, hanya komoditas 17 (Gula dan kembang gula) yang memiliki pos tarif, yaitu sebanyak 14, yang semuanya bernilai 95 persen. Selainnya, tidak memiliki pos tarif sama sekali. Sedangkan pada Jenjang 4 hanya 3 komoditas yang memiliki pos tarif, yaitu kelompok 4 (Produk susu; telur unggas; madu alam; produk hewani yang dapat dimakan, tidak dirinci atau termasuk dalam pos lain) dengan nilai 210 persen untuk semua pos tarif yang berjumlah 12; kelompok 10 (Serealia) dengan nilai 160 persen untuk pos tarif yang berjumlah 8; dan kelompok 22 (Minuman alkohol dan cuka) dengan nilai 150 persen untuk semua pos tarif yang berjumlah 35. Sisanya, tidak memiliki pos tarif sama sekali.

Dalam perspektif ini jelaslah bahwa ada beberapa komoditas yang memang sebaiknya dipertahankan dengan tarif yang tinggi dan sebagian lagi memang dapat disarankan untuk masuk dalam kelompok penurunan tarif yang lebih cepat. Namun, pertimbangannya haruslah jelas dan diperkirakan dampak dan manfaatnya baik langsung maupun tidak langsung dan untuk jangka pendek atau jangka panjang harus dikaji, karena memang pertimbangan untuk masing-masing komoditas akan berbeda-beda. Hambatan tarif merupakan instrumen kebijakan yang paling tersedia saat ini bagi Indonesia. Kebijakan tarif ini dapat menangkal semakin derasnya arus dan konsumsi barang impor dan pada saat yang sama memberi pendapatan bagi pemerintah, tetapi sisi negatifnya adalah munculnya perdagangan yang menyimpang

(3)

tinggi bagi kelompok 22 misalnya, tidak akan menimbulkan masalah karena secara etika kita tidak meinginkan konsumsi komoditas ini semakin meningkat mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkannya. Untuk komoditas 4 pertimbangannya mungkin berbeda, yaitu justru kita menginginkan masyarakat semakin mudah memperoleh komoditas ini, sehingga barangkali pengenaan tarif tinggi mungkin kurang tepat.

2. Skenario Penurunan Tarif

G-20 mengusulkan penurunan tarifnya diusulkan secara garis lurus (linear cut) dan dilakukan melalui dua skenario, sebagai berikut:

1. Skenario a: Jenjang 1 diturunkan 25 persen Jenjang 2 diturunkan 30 persen Jenjang 3 diturunkan 35 persen Jenjang 4 diturunkan 40 persen 2. Skenario b: Jenjang 1 diturunkan 45 persen Jenjang 2 diturunkan 55 persen Jenjang 3 diturunkan 65 persen Jenjang 4 diturunkan 75 persen

Dalam naskah ini yang diolah lebih lanjut dan dianalisis adalah skenario a K-20. Untuk negara maju G-20 mengajukan usulan penurunan tarif yang berbeda menurut jenjang (5 buah) dan tingkat penurunannya, sebagai berikut: Jenjang 1, T < 20 persen; Jenjang 2, 20 persen < T < 40 persen; Jenjang 3, 40 persen < T < 60 persen; Jenjang 4, 60 persen < T < 80 persen; dan Jenjang 5, T > 80 persen. Tingkat penurunannya dilakukan secara garis lurus dan tingkat penurunan tarif bagi tarif yang tinggi lebih besar daripada tingkat penurunan tarif bagi tarif yang rendah. Sampai saat ini K 20 belum mempunyai usul yang nyata untuk penurunan tarif itu.

3. Konfigurasi Tarif Baru

Dengan penurunan tarif sebesar 25 persen pada Jenjang 1, Indonesia sendiri mengalami penurunan tarif dari 29,19 persen menjadi 18,10 persen, yang berkisar antara 6,75 persen–20,25 persen (tabel 2). Di Jenjang 2, pemotongan tarif sebesar 30 persen bagi Indonesia yang memiliki pos tarif terbanyak mendapatkan penurunan tarif dari 42,78 persen menjadi 29,95 persen pada kisaran 29,5 persen – 49 persen.

Di Jenjang 3, Indonesia mengalami penurunan tarif dari 95,0 persen menjadi 61,75 persen untuk semua pos tarif sebanyak 14 di jenjang itu dan di Jenjang 4, Indonesia mengalami penurunan tarifnya dari 169,55 persen menjadi 98,73 persen, yang ada pada selang dari 150 persen – 210 persen.

(4)

4. Dampak Pemotongan Tarif

Untuk menganalisis dampak pemotongan tarif ini, gugus data yang digunakan adalah GTAP Database Versi 6.0 yang menggambarkan besaran-besaran tarif yang berlaku (applied tariff) pada tahun 2001 dan bukan tarif terikat (bound tariff) dari masing-masing negara atau wilayah yang diteliti. Hal ini dikemukakan karena adanya kesenjangan yang sangat lebar antara tarif berlaku dengan tarif terikat di suatu negara atau wilayah. Besaran pemotongan tarif ditentukan sebagai rataan pemotongan tarif dari beberapa jenjang yang diusulkan negara atau wilayah tersebut, yakni : (a) Skenario pemotongan tarif usulan K20, dengan rataan pemotongan tarif 30 persen.

Tabel 2. Perbandingan Hasil Skenario Pemotongan Usulan G-20 antara Indonesia dan G-33, Desember 2006

Indonesia K33

Selang Rataan tarif (%) Selang Rataan tarif (%) Jenjang

tarif baru (%) Lama Baru tarif baru (%) Lama Baru

Jenjang 1 6.8-20.3 24.1 18.1 0.0-22.5 19 14.2 Jenjang 2 24.5-49.0 42.8 30 21.6-56.0 45.2 31.6 Jenjang 3 61.8-61.8 95 61.8 52.7-84.5 103.9 67.6 Jenjang 4 150.0-210.0 164.6 98.7 78.2-532.4 186.9 112.1

Kalau seandainya tarif impor dipotong, maka produksi hampir semua komoditas pertanian Indonesia akan menurun, kecuali untuk komoditas Ayam_Telur, Pertan_Lain, Minyak_Nabati dan Olahan Makanan. Hal ini ditunjukkan oleh semua skenario (tabel 3), sementara untuk KN-33 produksi Padi_Olahan, Hortikultura, Gula_Tebu, Pertan_Lain dan Olah_Makanan meningkat, tetapi produksi komoditas lain menurun, yakni jagung, kedelai, komoditas peternakan dan Minyak_Nabati. Laju penurunan atau peningkatannya kecil. Pada keadaan sama-sama terjadi peningkatan produksi, laju peningkatan bagi Indonesia lebih besar daripada laju peningkatan bagi KN-33 dan pada keadaan sama-sama terjadi penurunan produksi, laju penurunan bagi Indonesia juga lebih besar daripada laju penurunan bagi KN-33, kecuali kedelai. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dampak pemotongan tarif impor komoditas pertanian di Indonesia tidak serta-merta menunjukkan arah yang sama dengan di

(5)

Berhubung produksi beberapa komoditas pertanian Indonesia diatas menurun, maka penurunan tarif juga menunjukkan bahwa permintaan atau penggunaan masukan, terutama lahan, tenaga kerja tak terdidik dan modal akan menurun pula bagi komoditas-komoditas ini, tetapi bagi komoditas yang produksinya meningkat, permintaan akan masukan juga meningkat (tabel 3). Ini menunjukkan adanya peralihan penggunaan sumberdaya pertanian di Indonesia. Besarnya penurunan atau peningkatan penggunaan masukan sejalan dengan besaran penurunan tarif. Selanjutnya, laju penurunan penggunaan masukan untuk tanaman kedelai selalu lebih cepat dibanding komoditas lain, diikuti oleh Gula_Tebu, Padi_Olah dan Spi_Dmb, tetapi laju peningkatan penggunaan masukan tidak selalu terjadi pada komoditas Pertan_Lain. Hal ini terjadi hanya pada masukan lain, sedangkan laju permintaan tenaga kerja tak terdidik dan modal paling tinggi didapatkan pada komoditas MinyakNabati. Sementara itu, diperoleh pula bahwa penggunaan masukan lahan cenderung menurun, penggunaan masukan tenagakerja tak terdidik dan modal bahkan meningkat pada komoditas OlahMakanan.

Tabel 3. Dampak pemotongan tarif berlaku (applied tariff) komoditas pertanian Indonesia menurut usulan G-20 (%)

Produksi

Perdagangan

Komoditas Permintaan masukan

Indonesia Komoditas Indonesia KN-33 Indonesia KN-33 Lahan TK tak terdidik Modal Padi dan Olahannya -3.56 0.3 -190.26 273.16 -3.69 -3.49 -3.41 Jagung -2.23 -1.19 -45.23 -126.59 -2.43 -2.02 -1.98 Hortikultura -1.46 0.31 -81.82 401.09 -1.74 -1.17 -1.13 Kedelai -6.4 -8.89 -138.65 -665.3 -6.16 -6.65 -6.61 Gula tebu -5.34 0.9 -121.75 244.33 -4.92 -5.55 -5.42

Sapi dan Domba -3.3 -1.1 -63.49 -225.79 -3.61 -3.27 -3.16

Ayam dan Telur 3.86 -1.43 147.57 -2052.89 1.71 5.05 5.15

Pertanian Lainnya 9.91 3.72 548.15 1727.14 8.44 11.44 11.48

Minyak Nabati 20.2 -17.14 697.96 -1719.56 7.28 20.05 20.23

Olahan Makanan 3.77 0.67 503.06 843.69 -0.46 3.62 3.81

Dengan menurunnya produksi beberapa komoditas pertanian di Indonesia, maka defisit neraca perdagangan (selisih Ekspor dengan Impor) akan terjadi untuk komoditas-komoditas tersebut, kecuali bagi komoditas yang laju produksinya positif seperti komoditas yang disebutkan di atas, yakni komoditas Ayam_Telur, Pertan_Lain, Minyak_Nabati dan OlahanMakanan, sementara untuk KN-33 terjadi surplus perdagangan untuk Padi_Olahan, Hortikultura, Gula_Tebu, Pertan_Lain dan

(6)

Olah_Makanan meningkat, tetapi defisit bagi komoditas lain, yakni jagung, kedelai, komoditas peternakan dan Minyak_Nabati (Tabel 3). Pada keadaan sama-sama terjadi defisit perdagangan, nilai defisit perdagangan Indonesia jauh lebih kecil daripada KN-33 dan pada keadaan sama-sama terjadi surplus perdagangan, nilai surplus Indonesia juga lebih kecil daripada KN-33.

Selanjutnya, pemotongan tarif dengan skenario di atas menyebabkan pendapatan rumahtangga di Indonesia akan meningkat, sementara di wilayah kelompok KN-33 akan menurun (tabel 4). Pemotongan tarif secara bersamaan di seluruh dunia menyebabkan kesejahteraan di semua negara atau wilayah yang dianalisis meningkat, kecuali bagi AS. Jadi, meskipun pendapatan rumahtangga atau PDB menurun di negara atau wilayah yang dikaji, apabila tarif diturunkan secara bersamaan dengan nilai yang sama, maka kesejahteraan negara atau wilayah yang dianalisis meningkat, kecuali bagi AS.

Tabel 4. Dampak pemotongan tarif menurut usulan G-20 terhadap pendapatan Rumahtangga (RT), Nilai PDB dan Tingkat Kesejahteraan Indonesia

Variabel Indonesia KN-33

Pendapatan RT 0.27 -0.47

Nilai PDB Perubahan (%) 0.29 -0.44

Tingkat Kesejahteraan (EV) (dalam AS$ juta) 365.36 5391.52

Hal ini seharusnya menjadi pendorong bagi semua negara untuk melakukan pemotongan tarif impornya, termasuk Indonesia. Namun, sebelum memutuskan langkah ini dan langkah yang lebih jauh, Indonesia perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap produksi, neraca perdagangan dan penggunaan sumberdaya pertaniannya, terutama tenaga kerja tak terdidik mengingat besarnya surplus tenaga kerja tak terdidik di sektor pertanian di Indonesia. Untuk itu masih perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam terhadap penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan di Indonesia.

Selain itu, mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap AS, maukah AS melakukannya atau akankah AS mengkompensasikan dampak negatif ini dengan memberi BD kepada petaninya? Apakah ini pertanda bahwa tarif komoditas pertanian di AS telah sangat rendah, sehingga penurunan berikutnya menjadi pemicu turunnya gairah berproduksi dan investasi di bidang produksi pertanian masih perlu dikaji lebih lanjut. Namun, hasil ini perlu ditafsirkan secara hati-hati, mengingat betapa rumitnya agregasi-agregasi yang harus dilakukan dalam membangun pangkalan data analisis dan dalam menganalisisnya.

(7)

4. Kesimpulan dan Saran Kebijakan

(1) Usulan pengelompokan tarif dari G-20 menyebabkan pos tarif menyebar merata ke Jenjang 1, 2, dan 3.

(2) Usulan K 20 memberikan hasil penurunan tarif yang agak lambat tidak sedrastis usulan Australia, AS dan Selandia Baru.

(3) G-33 perlu mengkaji usulan penurunan tarif yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan ciri dan kerawanan sektor pertanian dan komoditas-komoditas pertanian andalannya di negara-negara anggota. Jadi, penetapan penurunan tarif dan sasaran komoditasnya perlu dikaji secara mendalam untuk mengantisipasi dampaknya terhadap agribisnis komoditas, petani yang terlibat dan masyarakat secara luas.

(4) Pemotongan tarif impor tidak serta-merta menunjukkan arah yang sama dampaknya terhadap produksi komoditas pertanian di Indonesia dan di KN-33. Produksi hampir semua komoditas pertanian Indonesia (Padi_Olah, Jagung, Kedelai, Hortikultura, Gula_Tebu, dan Spi_Dmb) akan menurun, kecuali untuk komoditas Ayam_Telur, Pertan_Lain, Minyak_Nabati dan OlahanMakanan, sementara untuk KN-33 produksi Padi_Olahan, Hortikultura, Gula_Tebu, Pertan_Lain dan Olah_Makanan meningkat, tetapi produksi komoditas lain menurun, yakni jagung, kedelai, komoditas peternakan dan Minyak_Nabati. (5) Semua skenario penurunan tarif juga menunjukkan bahwa permintaan atau

penggunaan masukan, terutama lahan, tenaga kerja tak terdidik dan modal akan menurun pula bagi komoditas-komoditas ini, tetapi bagi komoditas yang produksinya meningkat, permintaan akan masukan juga meningkat. Besarnya penurunan atau peningkatan penggunaan masukan sejalan dengan besaran penurunan tarif dari masing-masing proposal.

(6) Penurunan produksi beberapa komoditas pertanian di Indonesia juga menyebabkan defisit neraca perdagangan, kecuali bagi komoditas yang laju produksinya positif seperti komoditas yang disebutkan di atas, yakni komoditas Ayam_Telur, Pertan_Lain, Minyak_Nabati dan OlahanMakanan, sementara untuk KN-33 terjadi surplus perdagangan untuk Padi_Olahan, Hortikultura, Gula_Tebu, Pertan_Lain dan Olah_Makanan meningkat, tetapi defisit bagi komoditas lain, yakni jagung, kedelai, komoditas peternakan dan Minyak_Nabati.

(7) Pada keadaan sama-sama terjadi defisit perdagangan, nilai defisit perdagangan Indonesia jauh lebih kecil daripada KN-33 dan pada keadaan sama-sama

(8)

terjadi surplus perdagangan, nilai surplus Indonesia juga lebih kecil daripada KN-33.

(8) Semua skenario pemotongan tarif menunjukkan bahwa pendapatan rumahtangga di Indonesia dan NM lain akan meningkat, sementara di wilayah yang lain, termasuk kelompok KN-33 akan menurun. Laju peningkatan pendapatan rumahtangga di Indonesia lebih rendah daripada di kelompok Negara Maju lain. Peningkatan pendapatan rumahtangga di Indonesia dan Negara Maju lain ini juga diikuti oleh peningkatan PDB di Indonesia dan Negara Maju lain tersebut dan laju persentase peningkatan pendapatan dan PDB hampir sama. Namun, analisis menunjukkan bahwa pemotongan tarif secara bersamaan menyebabkan kesejahteraan di semua negara atau wilayah yang dianalisis meningkat, kecuali bagi AS.

Gambar

Tabel 1.  Kelompok Komoditas di Indonesia dengan Tarif Tertinggi pada setiap  Jenjang Tarif Usulan G-20
Tabel 2.  Perbandingan Hasil Skenario Pemotongan Usulan G-20 antara  Indonesia dan G-33, Desember 2006
Tabel 3. Dampak pemotongan tarif berlaku (applied tariff) komoditas pertanian  Indonesia  menurut usulan G-20 (%)
Tabel 4.    Dampak pemotongan tarif menurut usulan G-20 terhadap pendapatan  Rumahtangga (RT), Nilai PDB dan Tingkat Kesejahteraan Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui Pemahaman Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) se-Kabupaten Tegal Terhadap Kurikulum

ABSTRAK. Transparansi Pelayanan Izin Usaha Di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Selatan. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Setelah peneliti melakukan pengujian terhadap rangkaian sensor tinggi permukaan air maka dari pengujian dan data yang diperoleh, sensor dapat bekerja dengan baik

Tujuan penelitian adalah untuk: (a) mendapatkan informasi keragaman genetik antara inbrida QPM dan normal berdasarkan marka SSR, (b) mengetahui hubungan antara jarak

Mencocokkan tulisan dengan kata, frasa atau kalimat yang didengar terkati topik Critical Thinking Guru memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin hal yang

Pembelajaran IPS harus mampu meletakkan nilai-nilai kecakapan sosial bagi peserta didik, Pembelajaran IPS dalam historiografi pendidikan barat masa Hindia Belanda

Penelitian ini difokuskan pada relasi antara makna dengan bentuk inkulturasi arsitektur gereja Katolik, -dengan objek studi di Kevikepan Yogyakarta, KAS,

lingkungan Sekertariat daerah Propinsi Sulawesi Tengah terlihat kopi paste dari usulan tahun lalu sehingga menyulitkan dalam menetapkanya dari fakta tersebut dapat