• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Studi Terdahulu

Dalam tinjauan studi terdahulu dikaji sejumlah penelitian yang relevan dengan penelitian penulis kerjakan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui posisi penelitian yang penulis lakukan diantara penelitian-penelitian yang sejenis. Sejauh penelusuran yang telah dilakukan penulis merumuskan beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini akan di paparkan sebagai berikut.

Artikel Charlina Mangatur Sinaga Dosen FKIP Universitas Riau (2011) melakukan penelitian mengenai prinsip kerja sama. Judul penelitian tersebut adalah “Penerapan Prinsip Kerja Sama dalam Transaksi Jual Beli”, Penelitian ini dilatarbelakangi karena ketertarikan penulis pada tindak tutur yang terjadi saat berlangsungnya transaksi jual beli di Pasar Senapelan Pekanbaru. Permasalahan yang dikaji pada penelitian ini adalah bagaimana penerapan prisip kerja sama yang terjadi dalam transaksi jual beli. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terdapat empat maksim dalam penerapan prinsip kerja sama. Maksim tersebut adalah maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim hubungan, dan maksim cara.

(2)

“Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Transaksi Jual Beli Di Pasar Daya Makassar”. Skripsi oleh Matan Tiara (2015) Fakultas Ilmu

Budaya Universits Hasanuddin Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelanggaran prinsip kerja sama dan mengetahui fungsi pelanggaran prinsip kerja sama. Populasi penelitian ini, yaitu seluruh tindak tutur yang mengandung pelanggaran prinsip kerja sama dalam transaksi jual-beli di Pasar Daya Makassar. Adapun sampelnya, yaitu sebagian dari populasi yang dipilih secara purposif. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode simak, rekam, dan catat. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pelanggaran prinsip kerja sama yang meliputi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Selain itu, ditemukan pula fungsi dari pelanggaran prinsip kerja sama, yaitu untuk tujuan-tujuan tertentu, yang terdiri dari fungsi direktif, fungsi ekspresif, dan fungsi representatif. Fungsi pelanggaran prinsip kerja sama yang paling dominan pada percakapan transaksi jual beli, yaitu fungsi representatif yang berupa memberi informasi, pelanggaran prinsip kerja sama tersebut disebabkan adanya tujuan-tujuan tertentu dari mitra tutur.

“Prinsip Kerja Sama dalam Wacana Jual Beli di Pasar Tradisional Perumnas Tlogosari Semarang” jurnal oleh Sri Puji Astuti, Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Diponegoro Semarang. Pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli. Tawar-menawar dalam pasar tradisional

(3)

merupakan kegiatan yang sering dilakukan antara penjual dan pembeli. Interaksi antara penjual dan pembeli membutuhkan bahasa sebagai alat komunikasi. Dalam penelitian ini dipilih pasar yang berlokasi di Suryo Kusumo karena pasar ini merupakan pasar terbesar di antara ketiga pasar yang berada di Perumnas Tlogosari Semarang. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak yang dikembangkan dengan teknik dasar sadap dan teknik lanjutan berupa teknik catat dan teknik rekam. Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam berinteraksi penjual dan pembeli mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Pematuhan terhadap prinsip kerja sama bermaksud untuk menyampaikan pesan secara jelas, benar dan menghindari kesalahpahaman Sedangkan pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dimaksudkan untuk menyakinkan kualitas barang, agar barang dagangan laku, mencari informasi, penjual dan pembeli akrab, dan memuji barang dagangan.

"Tindak Tutur dan Prinsip Kerja Sama dalam Proses Jual Beli di Pasar Tradisional Surakarta”, Tesis oleh Ririn Linda Tungga Sari (2016),

UNS Pascasarjana Prodi Linguistik. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan bentuk tindak tutur dan menunjukkan tindak tutur yang dominan beserta alasannya yang terdapat dalam proses jual beli barang di pasar tradisional Surakarta, (2) mendeskripsikan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan yang terdapat dalam proses jual beli barang di pasar tradisional Surakarta. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

(4)

pendekatan pragmatik. Sumber data penelitian ini adalah percakapan atau dialog dalam proses jual beli di pasar tradisional Surakarta. Data dalam penelitian ini adalah tuturan yang mengandung tindak tutur dan menerapkan prinsip kerja sama beserta konteksnya dalam proses jual beli barang di pasar tradisional Surakarta. Metode penyediaan data yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode simak. Pada praktiknya metode simak diwujudkan dengan teknik dasar lanjutan. Adapun teknik dasar dari metode simak yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sadap. Teknik lanjutan dalam penelitian ini dilakukan setelah teknik dasar. Teknik lanjutan yang digunakan dalam penyediaan data pada penelitian ini berupa teknik simak libat cakap (SLB), teknik rekam dan teknik catat. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis means-end. Metode penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini adalah penyajian secara informal. Dari analisis data dalam proses jual beli di pasar tradisional Surakarta ditemukan 5 jenis tindak tutur yang digunakan oleh penjual ataupun pembeli. Pematuhan dan pelanggaran prinsip kerja sama dalam proses jual beli di pasar tradisional Surakarta menunjukkan keseimbangan, yang ditujukkan dengan 95 data berupa pematuhan dan 95 berupa bentuk pelanggaran. Pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip kerja sama tersebut, disebabkan karena penjual atau pembeli bermaksud menunjukkan kesantunan dalam tuturannya supaya tidak menyinggung perasaan lawan tuturnya.

(5)

Adanya ruang lingkup pemakaian bahasa yang diteliti berbeda, maka kemungkinan hasil yang diperoleh pun akan berbeda. Dengan demikian, penelitian ini membahas prinsip kerja sama dalam bahasa transaksi jual beli

online dengan sumber data penelitian yang berbeda dari penelitian terdahulu.

B. Landasan Teori 1. Pragmatik

Pragmatik adalah salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari makna secara eksternal (Wijana, 2009:4). Selanjutnya, Leech menerangkan bahwa dalam pragmatik, makna yang dikaji sangat terikat dengan situasi tutur (Leech, 1983). Pragmatik berbeda dari semantik, yang hanya mengkaji suatu makna secara linguistik. Ilmu pragmatik muncul karena adanya rasa ketidakpuasan atas kajian linguistik yang hanya berpusat pada makna semantis saja, karena ada hal-hal di luar bahasa yang patut dipertimbangkan. Kajian pragmatik lebih menekankan makna yang ingin diutarakan oleh penutur. Definisi pragmatik sudah banyak diperkenalkan oleh para ahli bahasa. Beberapa diantaranya sebagai berikut.

Pengertian pragmatik dari sudut pandang konteksnya diungkapkan Levinson (dalam Djajasudarma, 1994: 4) bahwa pragmatik adalah studi terhadap semua hubungan antara bahasa dan konteks yang digramatikkalisasikan atau ditandai (terlukiskan) di dalam struktur bahasa.

(6)

Pendapat ini dimantapkan dan lebih jelas diuraikan Wijana (1996: 2) bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana kesatuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi. Kedua pendapat ini menegaskan bahwa fokus analisis dari studi pragmatik adalah konteks yang melatarbelakangi komunikasi.

Bambang Kaswanti Purwo (1990: 14) menjelaskan bahwa analisis pragmatik meliputi: (1) suatu satuan lingual (atau kalimat) dapat dipakai untuk mengungkapkan sejumlah fungsi di dalam komunikasi dan (2) suatu fungsi komunikatif tertentu dapat diungkapkan dengan sejumlah satuan lingual. Pengertian ini berangkat dari pemahaman bahwa setiap bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi.

Sudut pandang ini sesuai dengan yang diungkapkan bahwa makna yang dikaji pragmatik adalah makna terlibat konteks (content dependent) atau dengan kata lain, mengkaji maksud penutur. Pragmatik dapat dimanfaatkan setiap penutur untuk memahami maksud lawan tutur. Penutur dan lawan tutur dapat memanfaatkan pengalaman bersama

(background knowledge) untuk memindahkan pengertian bersama.

(Rohmadi, 2004: 2)

Rohmadi berpendapat bahwa pragmatik berlandaskan pada makna bahasa dalam komunikasi sesuai konteks penutur dan lawan tutur dalam peristiwa tutur. Berbagai pendapat ahli bahasawan di atas dapat disimpulkan bahwa substansi pragmatik terletak pada makna yang terikat konteks dalam suatu wacana, baik tulis maupun lisan. (Rohmadi, 2004)

(7)

Parker berpendapat, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa secara eksternal. Parker membedakan pragmatik dengan studi tata bahasayang dianggapnya sebagai studi seluk beluk bahasa secara internal. Menurutnya, studi bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks, sedangkan studi pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks, seperti yang diutarakan oleh Levinson yakni pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya (dalam Kunjana Rahardi, 2005:48)

Yule dalam bukunya yang berjudul Pragmatics (2006:3-4) mengemukakan empat ruang lingkup yang terdapat dalam pragmatik, yaitu: (1) Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur, (2) Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual, (3) Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak disampaikan daripada yang dituturkan, (4) Pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.

Leech, dalam buku Prinsip-Prinsip Pragmatik (edisi terjemahan oleh M. D.D. Oka, 1993), mengatakan “pragmatik adalah studi tentang makna ujaran didalam situasi-situasi ujar (speech situation)”. Leech melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantic. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan

(8)

komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.

Wijana (1996:6), berpendapat bahwa pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa (selain sosiolinguistik) yang muncul akibat adanya ketidakpuasan terhadap penanganan bahasa yang terlalu bersifat formal yang dilakukan oleh kaum strukturalis. Pragmatik mengungkap maksud suatu tuturan didalam peristiwa komunikasi, baik secara tersurat maupun tersirat di balik tuturan. Maksud tuturan dapat dikenali melalui penggunaan bahasa secara konkret dengan mempertimbangkan komponen situasi tutur.

Menurut Gunarwan (dalam PELLBA 7, 1994:83−84) pragmatik adalah bidang linguistik yang mempelajari maksud ujaran, bukan makna kalimat yang diujarkan. Pragmatik mempelajari maksud ujaran atau daya

(force) ujaran. Pragmatik juga mempelajari fungsi ujaran, yakni untuk apa

suatu ujaran itu dibuat atau diujarkan.

Rustono (1999:17) menjelaskan bahwa pragmatik mengungkapkan maksud suatu tuturan di dalam peristiwa komunikasi. Oleh karena itu, analisis pragmatik berupaya menemukan maksud penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun yang diungkapkan secara tersirat dibalik tuturan. Maksud tuturan dapat diidentifikasikan dengan mempertimbangkan komponen situasi tutur yang dapat mencakupi penutur, mitra tutur, tujuan, konteks, tuturan sebagai hasil aktivitas, dan tuturan sebagai tindakan verbal.

(9)

Berdasarkan beberapa pengertian dari para tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna tuturan yang terdapat dari suatu perstiwa tutur. Tuturan tersebut terikat dengan konteks yang melatarbelakangi peristiwa tutur. Jadi, dapat dikatakan bahwa hubungan antara maksud tuturan dalam suatu peristiwa tutur dengan konteks merupakan dasar dalam pemahaman pragmatik.

2. Aspek-aspek Situasi Tutur

Pragmatik adalah studi kebahasaan yang terikat konteks. Untuk ini, Leech (1983) mengungkapkan bahwa pragmatics studies meaning in

relation to speech situation. Untuk memperjelas batasan ini terlebih

dahulu dapat disimak kalimat (1) dan (2) berikut. (1) Letaknya jauh dari kota

(2) Temboknya baru dicat

Secara formal, tanpa mempertimbangkan pemakaiannya, kalimat (1) dan (2) di atas adalah kalimat deklaratif. Sebagai kalimat deklaratif, (1) dan (2) berfungsi untuk menginformasikan sesuatu, yakni „tempat yang bersangkutan jauh dari kota‟ dan „tembok yang sedang dibicarakan itu baru dicat‟. Akan tetapi, bila kedua kalimat di atas memungkinkan dipergunakan secara seksama, kedua kalimat di atas memungkinkan dipergunakan untuk menyatakan berbagai maksud. Misalnya, tuturan „letaknya jauh dari kota‟ dalam (3) berbeda dengan yang terdapat dalam

(10)

(4) dan (5). Demikian pula tuturan „temboknya baru dicat‟ dalam (6) berbeda dalam (7).

(3) + Kita berangkat dari Sanur hari Minggu, ya ?

– Letaknya jauh dari kota. Rumahku kosong. Orang tuaku sedang tidak di rumah.

(4) Telah dibuka warung sate Tegal. Letaknya jauh dari kota. Hawanya segar. Tempat parkir luas.

(5) + Kamu tinggal dimana ?

- Di Bantul.

+ Naik apa kamu ke fakultas ?

- Naik sepeda motor.

+ Mengapa tidak naik bus saja? - Letaknya jauh dari kota.

(6) Rumah Ali yang ada di puncak, temboknya baru dicat. (7) Temboknya baru dicat , lin tadi celananya kotor.

Tuturan „letaknya jauh dari kota‟ dalam (3) berfungsi untuk secara tidak langsung menolak ajakan lawan tutur, sedangkan dalam (4) membujuk lawan tutur dalam hal ini calon konsumen dengan secara tidak langsung mengatakan bahwa warung sate itu tenang, jauh dari keramaian kota, bebas polusi, dsb. Dalam (5) menginformasikan tanpa potensi untuk membujuk atau menyuruh lawan tuturnya. Informasi yang disampaikan

(11)

dalam dalam (5) bahwa (-) tidak naik bus ke fakultas karena tempat tinggalnya jauh dari kota, tidak ada bus yang lewat tempat itu. Tuturan „temboknya baru dicat‟ dalam (6) cenderung berfungsi untuk menginformasikan sesuatu, tanpa ada pretensi untuk mempengaruhi lawan tutur, sedangkan dalam (7) berfungsi untuk memberi peringatan kepada lawan tutur agar jangan menyentuh tembok itu karena tembok itu baru dicat.

Rustono berpendapat bahwa situasi tutur adalah sebagai berikut: Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Situasi tutur sangat penting didalam pragmatik. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Tidak selamanya tuturan itu secara langsung menggambarkan makna yang dikandung oleh unsur-usnurnya (Rustono, 1999: 25)

Dari apa yang terurai dalam beberapa alinea di atas jelaslah bahwa sebuah tuturan tidak senantiasa merupakan potensi langsung elemen makna unsur-unsurnya, aspek-aspek yang menjadi pertimbangan dalam studi pragmatik adalah sebagai berikut:

a. Penutur dan Lawan Tutur

Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur

(12)

ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dsb.

b. Konteks Tuturan

Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting social yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut konteks

(context), sedangkan konteks setting social disebut konteks. Di dalam

pragmatik konteks itu pada hakikatnya dalah semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.

c. Tujuan Tuturan

Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan. Dalam hubungan itu bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, sebagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Bentuk-bentuk tuturan „pagi‟, „selamat pagi‟, dan „met pagi‟ dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama, yakni menyapa lawan bicara (teman, guru, kolega dan sebagainya) yang dijumpai pada pagi hari. Selain itu, selamat pagi dengan berbagai variasi bila diucapkan dengan nada tertentu, dan situasi yang berbeda-beda dapat pula digunakan untuk mengecek guru

(13)

yang terlambat masuk kelas, atau kolega (sahabat) yang datang ke pertemuan dsb. Jadi, ada perbedaan yang mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan pandangan gramatika yang bersifat formal. Di dalam pandangan yang bersifat formal, setiap bentuk lingual yang berbeda memiliki makna yang berbeda. Selain itu, dengan kriteria yang ketiga itu kalimat-kalimat anomaly, seperti „Jono dipermainkan bola‟ dan „Mobil saya hanya gerobak‟ dapat diterangkan. Kalimat-kalimat ini secara berturut-turut digunakan untuk mengungkapkan maksud bahwa Jono tidak pandai bermain bola dan merendahakan diri agar kedengaran sopan di telinga lawan tuturnya. Tuturan „Mobil saya hanya gerobak‟ dipandang jauh lebih sopan dalam situasi petuturan berikut ini:

- Mobil saya bagus sekali. - Mobil saya Mercy.

Di dalam bahasa inggris juga terdapat kalimat anomali My car

is a lemon, atau Golf plays John. Kalimat-kalimat tersebut secara

berturut-turut diutarakan untuk mengungkapkan maksud bahwa „Mobil saya sangat buruk‟, dan „John tidak pandai bermain golf‟. Dengan kenyataan ini jelaslah kalimat anomaly melanggar kaidah semantik unutk menanyakan maksud tertentu.

(14)

d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas

Bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantic, dsb. Pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraanya.

e. Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan yang digunakan dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria ke empat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karena itu, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai contoh kalimat, „Apakah rambutmu terlalu panjang?‟ dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini dapat ditegaskan ada perbedaan mendasar antara kalimat

(sentence) dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas

gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.

3. Prinsip Kerja sama

Di dalam komunikasi yang wajar dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk

(15)

mengomunikasikan sesuatu kepada lawan bicara, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise) serta selalu pada persoalan (straight foward), sehinggga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya. Misalnya, orang yang menggunakan bentuk tuturan „tolong‟ dan „Dapatkah Anda menolong saya?‟ untuk situasi dan keperluan yang berbeda. Di dalam keadaan darurat orang akan cenderung menggunakan bentuk ujaran yang pertama, sedangkan orang yang memohon bantuan orang lain di dalam situasi yang tidak begitu mendesak, ia akan cenderung menggunakan ujaran yang kedua. Akan sangat aneh jika seseorang yang akan tenggelam di kolam renang, misalnya, meminta ujaran yang kedua. Sebaliknya, orang yang memohon bantuan tidak selayaknya menggunakan ujaran yang pertama dengan volume suara dan intonasi yang sama dengan orang yang tenggelam. Bila terjadi penyimpangan ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerja sama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar.

Konsepsi prinsip kerja sama oleh Grice diartikan “suatu percakapan biasanya membutuhkan kerja sama antara penutur dan mitra tutur untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Prinsip yang mengatur

(16)

kerja sama antara penutur dan mitra tutur dalam suatu percakapan dinamakan prinsip kerja sama (cooperative principle)”. (Grice, 1975: 45). Prinsip kerja sama Grice dirumuskan sebagai berikut “Make your

conversational coontibution such as required, at the stage at which it accurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged!” Buatlah sumbangan informasi Anda seinformatif yang

dibutuhkan pada saat berbicara, berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati atau arah percakapan yang sedang diikuti. Di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama, setiap penutur harus menaati empat maksim percakapan (conversational maxim), yaitu maksim kuantitas

(maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim

relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of

manner).

1. Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)

Dalam maksim kuantitas terdapat dua aturan, yaitu: a. Make

your contribution as informative as required, b. Do not make your contribution more informative than required (Grice, 2006: 68). Aturan

yang kedua dalam maksim kuantitas Grice tidak perlu, hal ini dikarenakan tidak ada salahnya kelebihan informasi. Akan tetapi, selain hal ini membuang waktu, informasi yang berlebihan akan dianggap sengaja dilakukan untuk mencapai efek tertentu atau tujuan tertentu, dan dengan demikian bisa terjadi salah pengertian (Nababan,

(17)

1987: 31). Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerja sama Grice. Berhubungan dengan maksim kuantitas, Wijana (2009: 45−46) memberikan contoh sebagai berikut :

(8) Tetangga saya hamil.

(9) Tetangga saya yang perempuan hamil.

Ujaran (8) di atas disamping lebih ringkas juga tidak menyimpang dari nilai kebenaran. Setiap orang pasti tahu bahwa hanya kaum perempuan yang mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan (9) sifatnya berlebih-lebihan. Kehadiran kata yang perempuan dalam (9) justru menerangkan sesuatu yang sudah jelas, hal ini bertentangan dengan maksim kuantitas. Sebagai contoh lain dapat dipertimbangkan wacana berikut :

(10) A : Siapa namamu? B : Ani.

A : Rumahmu di mana? B : Klaten, tepatnya di Pedan. A : Sudah bekerja?

(18)

(11) A : Siapa namamu?

B : Ani, rumah saya di Klaten, tepatnya di Pedan. Saya belum bekerja. Sekarang saya masih mencari pekerjaan. Saya anak bungsu dari lima bersaudara. Saya pernah kuliah di UGM, tetapi karena tidak ada biaya, saya berhenti kuliah.

Bila (10) dan (11) dibandingkan, terlihat (B) dalam (10) bersifat kooperatif, memberikan kontribusi yang secara kuantitas memadai pada setiap tahapan komunikasi. Sementara itu, peserta tuturan (B) dalam (11) tidak kooperatif karena memberikan kontribusi yang berlebih-lebihan.

2. Maksim Kualitas (Maxim of Quality)

Seperti maksim kuantitas, maksim kualitas juga mempunyai dua aturan, yaitu: a. Do not say what you belive to be false, b. Do not

say that for which you lack adequate evidence (Grice, 2006: 68).

Dalam maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas.

Wijana (2009: 47) mengemukakan bahwa maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada

(19)

bukti-bukti yang memadai. Berhubungan dengan hal ini dapat diperhatikan wacana sebagai berikut :

(12) Guru : Coba kamu Andi, apa ibu kota Bali? Andi : Surabaya, Pak guru.

Guru : Bagus, kalau begitu ibu kota Jawa Timur Denpasar ya? Dalam wacana (12) di atas tampak guru memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas karena guru mengatakan bahwa Ibu Kota Jawa Timur adalah Denpasar, bukan Surabaya. Jawaban yang tidak mengindahkan maksim kualitas itu diutarakan sebagai reaksi terhadap jawaban Andi yang salah. Dengan jawaban ini Andi yang memiliki kompetensi komunikatif akan mencari jawaban mengapa gurunya membuat pernyataan yang salah jadi ada alasan pragmatis mengapa guru dalam (12) memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas. Rahardi (2005: 55) memberikan contoh lain mengenai maksim kualitas, yaitu sebagai berikut :

(13) “Silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!” (14) “Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti!”

Tuturan (13) dan (14) dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat dia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang berusaha menyontek. Tuturan (14) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan (13) dikatakan melanggar maksim kualitas kerena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan

(20)

sesuatu yang seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan suatu kejanggalan bila di dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilakan para mahasiswanya untuk menyontek pada saat ujian berlangsung.

Rahardi (2005: 55) mengemukakan bahwa dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa-basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan kata lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi.

3. Maksim Relevansi (Maxim of Relevance)

Berbeda dengan dua maksim sebelumnya yang terdiri atas dua aturan, maksim relevansi hanya terdiri atas satu aturan saja, yaitu : “Be relevant” yang artinya “Perkataan Anda harus relevan” Grice (2006: 68). Sehubungan dengan aturan dalam maksim relevansi, Nababan (1987: 32) mengemukakan bahwa walaupun aturan ini kelihatan kecil, namun ia mengandung banyak persoalan, misalnya: apa fokus dan macam relevansi itu, bagaimana kalau fokus relevansi berubah selama suatu percakapan, bagaimana menangani perubahan topik percakapan, dan lain sebagainya. Aturan relevansi sangat penting, karena

(21)

berpengaruh terhadap makna suatu ungkapan yang menjadi inti dari implikatur dan juga merupakan faktor yang penting dalam penginterpretasian suatu kalimat atau ungkapan.

Dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjadi kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang dipertuturkan. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Berhubungan dengan maksim ini, Wijana (2009: 48−49) memberikan contoh sebagai berikut :

(15) A : Pak ada tabrakan motor lawan truk di pertigaan depan. B : Yang menang apa hadiahnya?

Dialog di atas adalah percakapan antara seorang ayah dengan anaknya. Bila sang ayah sebagai peserta percakapan yang kooperatif, maka tidak selayaknya ia mempersamakan peristiwa kecelakaan dengan sebuah pertandingan atau kejuaraan. Agaknya, di luar maksud untuk melucu, kontribusi (B) dalam (15) sulit dicarikan hubungan implikasionalnya. Untuk itu bandingkan dengan percakapan di bawah ini :

(16) A : Pukul berapa sekarang, Bu? B : Tukang Koran baru lewat.

Jawaban (B) dalam (16) di atas bila dilihat sekilas tidak berhubungan, tetapi bila dicermati ada hubungan implikasional yang

(22)

dapat diterangkan. Jawaban (B) dalam (16) memang tidak secara eksplisit menjawab pertanyaan (A). Akan tetapi, dengan memperhatikan kebiasaan tukang koran mengantar surat kabar atau majalah pada mereka, (A) dalam (16) dapat membuat inferensi pukul berapa ketika itu. Dalam (16) terlihat bahwa penutur dan lawan tutur memiliki asumsi yang sama, sehingga hanya dengan mengatakan tukang koran baru lewat (A) sudah merasa terjawab pertanyaannya. Fenomena (16) mengisyaratkan bahwa kontribusi peserta tindak ucap relevansinya tidak selalu terletak pada makna ujarannya, tapi mungkin pula pada apa yang diimplikasikan ujaran tersebut. Kecenderungan adanya keterkaitan antara bagian-bagian ujaran di dalam dialog secara eksplisit ditegaskan oleh Grice sebagai berikut:.

“Our talk exchanges do not normally consist of a succession of disconnected remarks, and would not be rational if they did. They are charaacteristycally, or to some degree at least, cooperative efforts; and each participants recognizes is them” (dalam Wijana,

2009: 49)

4. Maksim Pelaksanaan (Maxim of Manner)

Dalam maksim pelaksanaan, hal yang ditekankan bukan mengenai apa yang dikatakan, tetapi bagaimana cara mengungkapkan. Sebagai aturan utama, Grice (2006: 68) menyebutkan “Be

(23)

menguraikan aturan utama di atas menjadi empat aturan khusus, yaitu :

a. Avoid obscurity of expression. b. Avoid ambiguity.

c. Be brief (avoid unnecessary prolixity). d. Be orderly.

Dalam maksim pelaksanaan, peserta tutur harus bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang yang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal di atas dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Berkenaan dengan maksim ini, Rahardi (2005: 57−58) memberikan contoh sebagai berikut :

(17) A : “Ayo, cepat dibuka!”

B : “Sebentar dulu, masih dingin.”

Wacana (17) di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah, karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya tinggi. Tuturan (A) sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Dapat dikatakan demikian karena tuturan itu dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan (B) mengandung kadar ketaksaan yang cukup tinggi. Tuturan-tuturan demikian dapat dikatakan melanggar prinsip kerja

(24)

sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Berikut ini adalah contoh lain yang diberikan oleh Wijana :

(18) Nanti kalau di Gardena jangan lewat di tempat b-o-n-e-k-a ya! Dengan maksim ini seorang penutur diharuskan menafsirkan kata-kata yang digunakan oleh lawan bicaranya secara taksa berdasarkan konteks-konteks pemakaiannya. Hal ini didasari prinsip bahwa ketaksaan tidak akan muncul bila kerja sama antara peserta tindak tutur selalu dilandasi oleh pengamatan yang seksama terhadap kriteria-kriteria pragmatik. Menurut Wijana (2009: 50-51) dalam pertuturan yang wajar, percakapan seperti contoh di bawah ini tidak akan ditemui:

(19) A : Masak Peru Ibu Kotanya Lima… Banyak amat. B : Bukan jumlahnya, tetapi namanya.

(20) A : Saya ini pemain gitar solo.

B : Kebetulan saya orang Solo. Coba hibur saya dengan lagu-lagu daerah Solo.

Bila konteks pemakaian dicermati, kata Lima yang diucapkan (A) tidak mungkin ditafsirkan atau diberi makna „nama bilangan‟ dan solo yang bermakna tunggal tidak akan ditafsirkan „nama kota di Jawa Tengah‟ karena di dalam pragmatik konsep ketaksaan atau (ambiguity) tidak dikenal. Grice (2006: 69) membuat analogi bagi kategori-kategori maksim percakapannya sebagai berikut:

(25)

a. Quantity. If you are asissting mend a car, I expect your contribution to be neither more nor less than is required; if, for example, at a particular stage I need four screws, I expect you to hand me four, rather than two or six.

b. Quality. I expect your contributions to be genuine and not spurious. If I need sugar as an ingredient in the cake you are assisting me to make, I do not expect you to hand me salt, If I need a spoon, I do not expect a trick spoon made of rubber.

c. Relation. I expect a partners contribution to be appropriate to immediate needs at each stage of the transaction; if I am mixing ingredients for a cake, I do not expect to be handed a good book, or even an oven cloth (though this might be an appropriate contribution at later stage).

d. Manner . I expect a partner to make it clear what contribution he is making, and to execute his performance with reasonable dispatch.

Analogi maksim-maksim yang dikemukakan Grice di atas kurang lebih memiliki arti sebagai berikut :

a. Maksim kuantitas. Jika anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan kontribusi anda tidak lebih atau tidak kurang dari apa yang saya butuhkan. Misalnya, jika pada tahap tertentu saya membutuhkan empat obeng, saya mengharapkan anda mengambilkan empat bukannya dua atau enam.

(26)

b. Maksim kualitas. Saya mengharapkan kontribusi anda sungguh-sungguh, bukan sebaliknya. Jika saya membutuhkan gula sebagai bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan anda memberi saya garam. Jika saya membutuhkan sendok, saya tidak mengharapkan anda mengambilkan sendok-sendokan atau sendok karet.

c. Maksim relevansi. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai dengan apa yang saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi. Jika saya mencampur bahan-bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan buku yang bagus, atau bahkan kain oven meskipun benda yang terakhir ini saya butuhkan pada tahapan berikutnya.

d. Maksim pelaksanaan. Saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi yang harus dilakukannya dan melaksanakannya secara rasional.

4. Sejarah Perkembangan Toko Online

Toko online di Indonesia baru mulai populer di tahun 2006. Pada akhir tahun 2008 jumlah toko online di Indonesia meningkat puluhan hingga ratusan persen dari tahun sebelumnya. Faktor pendukungnya adalah makin banyaknya pengguna internet di Indonesia, hanya sekitar 2.000.000 orang pada tahun 2000 menjadi 25.000.000 pengguna pada tahun 2008 (internetworldstats.com, data hingga Juni 2008). Faktor kedua yang menyebabkan hal tersebut, karena semakin mudah dan murahnya

(27)

koneksi internet di Indonesia, ketiga semakin banyak pendidikan dan pelatihan pembuatan toko online dengan harga sangat terjangkau.

Perkembangan online shopping atau belanja online seperti halnya

Tokopedia.com, blibli.com, tokobagus.com, kini semakin ramai dengan

berbagai jenis produk mulai dari fashion, makanan, keperluan rumah tangga, sampai gadget dll. Saat ini diperkirakan jumlah toko online di Indonesia telah berjumlah ratusan.

Semakin banyak e-commerce (layanan untuk sarana jual/beli online) yang berkembang di Indonesia membuat banyak perubahan pola belanja masyarakat yang awal bersifat konvensional kini berbelanja cukup dengan memilih produk yang ada di web/blog. Website depkominfo telah mempunyai halaman sistem informasi pemetaan e-commerce Indonesia, namun sistem tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa toko online memiliki data web yang selalu terupdate dan memiliki informasi kontak yang jelas. Toko online lainnya ada yang datanya tidak

update (informasi terakhir adalah data antara 1 bulan hingga 12 bulan

sebelumnya), ada pula yg tidak memiliki informasi kontak secara jelas, dan fitur e-commerce yang tidak lengkap.

Saat ini diperkirakan jumlah toko online di Indonesia telah berjumlah ratusan, Menurut data statistik: jumlah masyarakat online di seluruh dunia (data tahun 2007) adalah 1,2 milyar dan diperkirakan bertumbuh menjadi 1,9 milyar pada tahun 2011. Pertumbuhan pengguna internet yang amat pesat tampak di seluruh benua, benua Asia tertinggi

(28)

dari benua-benua lainnya. Data Jurnal Bisnis Internasional: para pebisnis kecil yang menggunakan internet marketing bertumbuh 46 % lebih cepat dibanding mereka yang belum menggunakan internet marketing. Media digital seperti internet telah merajai seluruh area bisnis dan komunikasi, mengalahkan media print (cetak).

Toko online sangat indentik dengan UMKM, baik dari segi permodalan hingga manajemennya, bedanya hanya medianya saja. UMKM menganut media offline, sedangkan toko online menggunakan cara online. Namun satu hal yang cukup penting adalah belum adanya lembaga yang mewadahi dan mampu melindungi toko online Indonesia. Untuk komunitas toko atau bisnis online sendiri ada beberapa yang sudah terbentuk diharapkan dapat menumbuhkan bisnis online di Indonesia.

(29)

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir merupakan sebuah cara kerja yang dilakukan oleh peneliti untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka pikir terkait dalam penelitian ini secara garis besar dilukiskan pada bagan di bawah ini.

Sumber data penelitian ini adalah percakapan atau dialog dalam bahasa transaksi jual beli online di Tokopedia.com. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui data dalam penelitian ini adalah tuturan antara penjual dan pembeli beserta konteksnya yang mengandung prinsip kerja sama. Keseluruhan tuturan beserta konteksnya yang terdiri atas beberapa pematuhan dan pelanggaran jenis tuturan dianalisis menggunakan kajian pragmatik yakni teori prinsip kerja sama Grice. Kemudian setelah diketahui beberapa pematuhan dan pelanggaran yang terdapat dalam bahasa transaksi jual beli di Tokopedia.com, terlihat prinsip kerja sama yang mendominasi dan mengapa pelanggaran atau pematuhan tersebut mendominasi. Setelah itu penulis dapat memperoleh hasil simpulan dari pembahasan dalam penelitian ini.

(30)

Bagan 1. Kerangka Pikir Penelitian

Teori Prinsip Kerja Sama Grice

Pelanggaran

Pembahasan untuk menghasilkan simpulan

Konteks

Pematuhan Tuturan Antara Penjual dan

Pembeli dalam Proses Jual Beli

Pragmatik

Tokopedia.com di media sosial pada bulan

Referensi

Dokumen terkait

: Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Gubernur Banten Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Sekolah Menengah Atas Negeri, Sekolah Menengah

 Pengambil keputusan dalam organisasi akan lebih percaya diri karena karyawan telah memiliki ketrampilan yang akan diperoleh dalam Pendidikan dan Pelatihan  Penilaian

Subjek dalam memecahkan masalah nonrutin pada materi fungsi kuadrat paling banyak melakukan kesalahan konsep; yaitu menggunakan rumus yang tidak sesuai, salah

Untuk membangun kemandirian dan peningkatan pendapatan peternak rakyat pola kemitraan pada budidaya tidak dapat diandalkan, Sebabnya adalah karena dengan karakteristik

Permasalahan utama yang dihadapi dalam integrasi nasional mi adalah adanya cara pandang yang berbeda tentang pola laku duniawi dan cara untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain

Di samping itu, melalui animasi juga dapat dipresentasikan skenario pembelajaran, skenario pemecahan masalah, dan mempunyai keunggulan dalam memberi peluang kepada mahasiswa untuk

Dari hasil penelitian menggunakan ONE-WAY MANOVA dan uji lanjut kontras ortogonal didapatkan perbedaan antara air minum sebelum diproses dengan air minum yang melalui

Katalog layanan pada Bagian Administrasi berisi konten tentang ruang lingkup layanan, jenis layanan, mekanisme layanan, pelaksana dan penanggung jawab layanan, produk layanan, yang