• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

Dalam penelitian ini digunakan beberapa grounded theory dan teori pendukung lainnya untuk mengkaji hasil penelitian sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Teori–teori tersebut juga digunakan untuk mengaitkan beberapa kajian penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian ini sebagai sebuah landasan teoretik. Adapun beberapa teori yang digunakan diantaranya adalah Jenis-Jenis Tindak Tutur, Subkategori Tindak Tutur; Bentuk, Fungsi dan Keragaman, Prinsip-Prinsip Kesantunan, Pendekatan Sosiopragmatik dan Etnografi Komunikasi, serta Interaksi Wacana Lisan. Selain menguaraikan beberapa teori yang digunakan, pada bab ini juga diuraikan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan serta kerangka pikir sebagai landasan pelaksanaan penelitian di lapangan.

A. Kajian Pustaka

1. Esensi Pendekatan Sosiopragmatik dalam Kajian Bahasa

Sosiolinguistik terdiri atas dua kata, yaitu sosio yang berarti masyarakat dan linguistik yang merupakan kajian bahasa. Sosiolinguistik merupakan gabungan dari dua bidang ilmu yaitu sosiologi dan linguistik sehingga sosiolinguistik dapat dikatakan sebagai suatu kajian tentang bahasa yang digunakan individu atau masyarakat dalam menjalin komunikasi dengan masyarakat lainnya. Sosiolinguistik disebut oleh Halliday sebagai linguistik instituasional (instituational linguistic) yang berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa yang terdiri atas aspek jumlah, sikap, adat-istiadat dan budaya (Sumarsono, 2007).

Pragmatik adalah bidang ilmu yang mempelajari seluk-beluk penggunaan bahasa. Hord dan Ward (2004) mengemukakan bahwa “Pragmatics is one the linguistics studies that the describe the meaning of a word, pharse or sentence in their social context. Pragmatik merupakan salah satu bidang ilmu yang mempelajari makna sebuah bahasa dalam konteks penggunaannya. Pragmatik

19

(2)

merupakan ilmu yang satu dekade terakhir ini berkembang pesat. Bidang kajian pragmatik kini disandingkan dengan berbagai multidisiplin ilmu lainnya, seperti pragmalinguistik, sosiopragmatik, stilistika pragmatik, neuropragmatik, dan lain sebagainya. Pragmatik hadir sebagai bidang ilmu multidisipliner yang mempelajari makna di luar bahasa. Pragmatik adalah studi kebahasaan yang terikat konteks. Pragmatik mengkaji arti yang menurut tafsiran penutur disebut

‘maksud’ dengan konteks (Subroto, 2011: 8). Konteks memiliki peranan kuat dalam menentukan maksud penutur dalam berinteraksi dengan mitra tutur (Rohmadi, 2004: 2). Pragmatik mempelajari bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi, dan bagaimana menyelidiki makna sebagai konteks, bukan sebagai sesuatu yang abstrak dalam komunikasi (Leech, 1993:5).

Sementara itu, Wijana (1996:2) menjelaskan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi. Jadi, makna yang dikaji adalah makna terikat konteks (context dependent) atau dengan kata lain mengkaji maksud penutur. Konteks bersifat dasar dalam pragmatik untuk memahami maksud tuturan. Pragmatik mengkaji hubungan antara bahasa dan konteks. Hubungan antara bahasa dan konteks bersifat dasar dalam rangka memahami komunikasi dengan baik.

Bidang sosiolinguistik dan pragmatik mempunyai perhatian yang sama dalam mengkaji hubungan sosial antarpartisipan, yaitu antara penutur (Pn) dan mitra tutur (Mt). Jika dipandang dari segi penggunaan bahasa, konteks yang berperan penting dalam bidang pragmatik dan sosiolinguistik adalah konteks sosial (Sumarlam, Pamungkas, Susanti, 2017: 13) Pragmatik dan sosiolinguistik merupakan cabang ilmu yang mempertimbangkan konteks, khususnya konteks ekstralingual dan keadaan masyarakat tutur (masyarakat bahasa) yang sifatnya heterogen.

Sosiopragmatik merupakan multidisipliner ilmu yang mengaitkan antara ilmu sosiolinguistik dan ilmu pragmatik. Sosiopragmatik menelaah dengan melihat makna bahasa dalam kaitannya dengan aspek-aspek sosial di masyarakat.

Hal ini bersesuaian dengan pendapat Poedjasudarmo yang uraikan kembali oleh Saddhono (2012: 149) bahwa sosiopramatik merupakan pendekatan yang

(3)

menganalisis bahasa berdasarkan elemen-elemen diluar bahasa itu sendiri seperti konteks situasional bahasa dan faktor-faktor kultural. Objek sosiolinguitik merupakan masyarakat bahasa dengan tujuan mendeskripsikan perilaku dan pola hidup dalam masyarakat tersebut. Objek Pragmatik adalah tuturan dengan tujuan menemukan maksud dibalik tuturan tersebut. Penelitian ini mencoba menggabungkan kedua objek kajian sosiolinguistik dan pragmatik untuk menghubungkan makna suatu tuturan dengan didasarkan pada faktor-faktor dluar kebahasaan tetapi erat kaitannya dengan pengguna bahasa itu sendiri. Hal ini dikuatkan oleh Nikolas (2007:93) bahwa dalam menganalisis bahasa bersinggungan langsung dengan unsur-unsur di luar bahasa, seperti faktor sosial, situasional, dan budaya berbahasa dengan ragam variasinya.

Kajian sosiopragmatik merupakan salah satu wilayah kajian yang berusaha mengkaji perilaku berbahasa suatu masyarakat bahasa tertentu berdasarkan latar belakang sosialnya sebagai pemengaruh perilaku berbahasa (Levinson, 1983:376).

Disiplin ilmu pragmatik dipelajari untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam sebuah wacana atau tuturan yang maknanya tidak mampu dijelaskan hanya dari struktur dan semantis, tetapi pemaknaannya harus dihubungkan dengan koteks dan konteks. Menurut Louise (2007:362) tindak tutur merupakan fenomena pragmatik penyelidikan linguistik klinis yang sangat menonjol.

Keberadaan sosiopragmatik berhubungan dengan strata sosial, hak dan kewajiban partisipan dan faktor lain dalam percakapan dan di luar bahasa itu sendiri (Mudiono, 2011: 161). Asumsi bahwa pada kenyataannya setiap bentuk pilihan komunikasi yang sifatnya komunikatif didasarkan pada bagaimana bahasa- bahasa itu digunakan dalam konteks sosial. Dalam komunikasi inilah maka terdapat sejumlah aspek situasi ujar yang harus diperhatikan, yaitu: (1) penutur- mitra tutur, situasi dalam komunikasi melibatkan pihak penutur dan mitra tutur sehingga unsur ini termasuk dalam bagian dari komunikasi, (2) konteks tuturan;

konteks merupakan suatu latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur dan mitra tutur, (3) tujuan tuturan; ini dimaksudkan sebagai suatu, keinginan yang ingin dicapai oleh pihak penutur dan mitra tutur, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan, bahwa tuturan disejajarkan dengan tindak

(4)

ilokusi, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal; tuturan yang digunakan seperti yang dikemukan pada aspek keempat merupakan bentuk tindak tutur sehingga tuturan merupakan bentuk tindak verbal (Leech, 1993).

Kehadiran masyarakat multikultural dan multietnik dalam suatu masyarakat menimbulkan dinamika berbahasa baik antarbahasa maupun antar bahasa yang satu dengan bahasa lain yang berbeda. Fenomena tersebut terjadi tidak terkecuali dalam interaksi wacana akademik lisan pada situasi formal terlebih pada situasi nonformal. Hal ini terjadi disebabkan oleh masyarakat multietnik juga merupakan masyarakat dwibahasawan secara tidak langsung.

Keberadaan masyarakat dwibahasawan tersebut terjadi seiring perkembangan budaya yang ada dalam masyarakat tempat terjadinya komunikasi. Bahasa dalam kaitannya dengan belajar budaya dijabarkan melalui empat fungsi utama, yakni bahasa untuk berpartisipasi dalam budaya, bahasa untuk mendeskripsikan budaya, bahasa untuk menafsirkan budaya, dan bahasa untuk merespon terhadap budaya yang dipelajari tersebut (Silmi, 2016:1008).

Sosiolinguistik memberikan sumbangan terhadap kajian komunikasi.

Pendekatan dalam sosiolinguistik tersebut disebut dengan etnografi komunikasi yaitu tentang “etnografi wicara”. Secara singkat pendekatan ini difokuskan kepada tutur daripada kode, fungsi daripada struktur, konteks daripada pesan, ketepatan daripada kesewenangan atau hanya kemungkinan, tetapi antarhubungan antara semuanya itu selalu esensial, sehingga tidak hanya menggeneralisasikan kekhususun tetapi juga mengkhususkan yang umum (Sumarsono, 2013:312) Konsep-konsep dasar dalam etnografi wicara menurut Hymes :

(1) Tata cara bertutur

Tata cara bertutur (ways of speaking) mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur, gaya, dengan kemampuan dan peran seseorang, konteks, dan intuisi, serta kepercayaan, nilai, dan sikap.

(2) Guyup tutur

Guyup tutur adalah guyup yang memiliki pengetahuan bersama tentang kaidah tutur, baik dalam bertutur maupun dalam menginterpretasikan

(5)

tuturan. Pengetahuan bersama itu mengandung pengetahuan sedikitnya itu bentuk tutur, dan pengetahuan tentang pola penggunaannya.

(3) Situasi, peristiwa dan tindak tutur

Situasi tuturdiasumsikan sebagai “situasi yang dikaitkan dengan tutur”, situasi tutur diacu oleh kaidah wicara sebagai konteks. Peristiwa tutur terbatas kepada kegiatan atau aspek kegiatan yang secara langsung diatur oleh kaidah atau norma bagi penggunaan tutur. Tindak tutur dilihat berdasarkan konteks sosial maupun bentuk gramatikal dan intonasi (Sumarsono, 2013:313).

Dalam suatu masyarakat, komunikasi terjadi berdasarkan sistem ujaran yang pada dasarnya telah disepakati bersama oleh masyarakat bahasa itu sendiri dalam lingkup yang lebih luas. Berdasarkan kesepakatan yang sifatnya konvensional tersebut, sistem ujaran yang terbentuk akan mengungkapkan cara berpikir dan berbahasa sebagai jembatan dalam proses komunikasi untuk mengantar komunikan saling memahami maksud atau isi dari percakapan yang terjalin. Cara berpikir dan berbahasa yang dimaksudkan dapat dikategorikan sebagai konsep-konsep pikiran yang selanjutnya disebut sebagai kode berbahasa atau kode bahasa.

Kode dalam bahasa merupakan representasi dari pikiran dan perasaan dalam sistem tutur di lingkungan masyarakat yang telah memahami sistem kebahasaan secara menyeluruh. Seperti yang dipaparkan oleh Kunjana (2009:25) bahwa kode tidak lain merupakan sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas tertentu berdasarkan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi yang ada. Berdasarkan hal tersebut, kode menjadi sebuah varian dalam praktik berkomunikasi yang menjadi strategi penggunaan bahasa.

Pada hakikatnya praktik komunikasi merupakan penyampaian dan penerimaan kode yang dilakukan oleh penutur dan mitra tutur. Kode dalam dimensi kebahasaan harus merupakan simbol-simbol kebahasaan yang telah dipahami oleh penutur dan mitra tutur sehingga terwujud komunikasi yang

(6)

didasari oleh pemahaman terhadap komunikasi tersebut. Kegagalan komunikasi salah satu diantaranya ditentukan oleh ketidakpahaman penutur dan atau mitra tutur terhadap kode-kode yang digunakan dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis. Dalam masyarakat dwibahasawan pelaksanaan komunikasi akan memunculkan fenomena yang lebih unik karena terdapat alih kode dan campur kode. Kehadiran alih kode dan campur kode merupakan konsekuensi logis dari adanya saling kontak antarbahasa yang satu dengan bahasa yang lain.

Kondisi ini mengakibatkan adanya hubungan saling memengaruhi antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain pada suatu kelompok masyarakat. Pada saat seseorang penutur berkomunikasi dengan mitra tuturnya, penutur melakukan perubahan kode-kode bahasa dalam rangka memunculkan tujuan tertentu.

Suwito (Hendraryan, 2015:28) mengemukakan bahwa alih kode adalah peristiwa peralihan kode yang satu dengan ke kode yang lain. Pengertian ini memunculkan penafsiran seorang penutur yang menggunakan kode tertentu (Misalnya kode A) dalam praktik komunikasi dengan lawan tuturnya, kemudian pada situasi lain melakukan pengubahan kode menjadi kode B untuk tujuan dan alasan tertentu, yang dapat dikatakan pula sebagai alih kode.

Dalam masyarakat dwibahasawan alih kode berlaku pula untuk varian bahasa yang di dalamnya terdapat varian regional (kedaerahan), varian kelas sosial, ragam, gaya, dan dialek. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Wardaugh (2010:102) yang mengemukakan bahwa alih bahasa (code switching) adalah peralihan bahasa (code mixing) yaitu peralihan lain dalam suatu komunikasi, dan pencampuran bahasa (code switching) yaitu bahasa ke dalam bahasa lain dalam satu komunikasi, dan pencampuaran bahasa.

2. Klasifikasi Jenis-jenis Tindak Tutur

Suatu proses komunikasi berbahasa lewat ujaran tidak terlepas dari adanya tindak tutur atau peristiwa tutur. Menurut Yule (2006: 82-83) tindak tutur adalah suatu tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan misalnya permohonan maaf, keluhan, pujian, undangan, janji atau permohonan. Melalui sebuah tuturan,

(7)

penutur biasanya berharap maksud komunikatifnya akan dimengerti oleh pendengar atau mitra tutur.

Para pakar linguistik berpendapat bahwa fungsi utama bahasa adalah sebagai sarana komunikasi dan analisis bahasa adalah analisis bahasa dalam pemakaian. Oleh karena itu, pemahaman bahasa selalu diarahkan pada pemakaian bahasa yang sesungguhnya yaitu ucapan atau tindak bahasa. Berkaitan dengan tindak bahasa atau tindak tutur, Wijana (1996:17-18) berdasarkan klasifikasi tindak tutur Searle menjelaskan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, dan (3) tindak perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tujuan utama dari tindak tutur ini adalah menginformasikan sesuatu dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur agar melakukan suatu tindakan. Konsep lokusi relatif mudah diidentifikasi karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur.

Selain hal di atas, tindak lokusi merupakan tindak tutur yang tidak dimaksudkan meminta penutur untuk melakukan sesuatu dengan isi tuturannya.

Tindak tutur ini lebih menitikberatkan pada gaya berbicara penutur dalam mengungkapkan sesuatu dan tidak dikaitkan dengan situasi tertentu sehingga tidak ada keharusan bagi penutur untuk melaksanakan isi tuturan itu. Oleh karena itu, tindak tutur lokusi dapat pula dimaknai sebagai tindak mengatakan sesuatu yang memiliki makna secara harfiah.

Selain memiliki fungsi menginformasikan sesuatu, suatu tuturan dapat pula dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur yang digunakan untuk melakukan sesuatu disebut tindak tutur ilokusi. Tindak ilokusi berkaitan dengan apa yang dikerjakan dari tindak mengucapkan sesuatu (Djatmika, 2016:12).

Dalam tindak ilokusi ini terdapat kekuatan yang mendorong penutur untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan isi tuturannya. Kekuatan ilokusi dalam komunikasi direalisasikan dengan kalimat performatif yang secara eksplisit mengandung efek tertentu sesuai dengan apa yang dikatakan.

(8)

Sesuai dengan hal tersebut, Arani (2012: 163) menyatakan bahwa ilokusi selalu mempunyai kekuatan direktif “yang bisa diartikan baik oleh pembicara atau pendengar sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku teman bicara" yang dapat menjadi tolok ukur antarparameter sosiokultural, yaitu, usia pembicara dan pilihan bahasa, jenis tindak bahasa yang dipilih digunakan untuk menemukan kekuatan ilokusi.

Sementara itu, Leech (1993) menyatakan bahwa istilah tindak tutur tidaklah merujuk hanya pada tindakan berbicara saja, tetapi merujuk pada keseluruhan komunikasi termasuk di dalamnya konteks dari ucapan yaitu situasi dimana wacana itu terjadi, para partisipan dan semua interaksi verbal atau fisik yang terjadi sebelumnya serta ciri-ciri paralinguis yang dapat memberikan kontribusi bagi makna dari interaksi. Oleh karena itu, maka pembahasan dalam teori tindak tutur adalah tuturan yang terkontekstualisasi. Dalam hal ini yang menjadi fokus bukanlah ketika sebuah ucapan benar atau tidak secara tata bahasa, melainkan tertuju pada apakah penutur berhasil mencapai tujuan komunikasinya.

Tindak tutur ilokusi oleh Leech (1993:63-164) diklasifikasikan menjadi 5 kategori yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif.

a. Representatif yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya atas kebenaran atas apa yang dikatakan (misalnya menyatakan, melaporkan, mengabarkan, menunjukkan, dan menyebutkan).

b. Direktif, merupakan tindak tutur yang berfungsi menyatakan suatu permintaan agar mitra tutur melakukan sesuatu atau sebaliknya. Ciri tindak tutur ini adalah munculnya tindakan sebagai reaksi dari isi tuturan. Tindak tutur direktif sebagai aktivitas komunikasi pada umumnya tidak menimbulkan reaksi atau respons dari mitra tutur manakala terdapat tuturan atau bagian tuturan yang tidak dipahami. Tindak tutur direktif misalnya menuntut, memohon, memberi nasihat, memerintah, memesan, dan sebagainya.

c. Ekspresif, tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan sesuatu yang berkaitan dengan sikap psikologis penutur terhadap suatu kondisi. Dengan kata lain, tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang mengekspresikan sikap psikologis penutur terhadap sesuatu. Dalam konteks sosiolinguistik,

(9)

tindak ekspresif berkaitan dengan kaidah-kaidah sosial dalam berkomunikasi.

Dalam hal ini, suatu pernyataan dapat diterima sebagai suatu hal yang wajar manakala sesuai dengan norma dalam suatu bahasa. Wujud tindak tutur ekspresif misalnya mengucapkan selamat, memuji, mengkritik, mengucapkan terima kasih, dan sebagainya.

d. Komisif, merupakan tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan sesuatu yang mengindikasikan bahwa penutur relatif terikat pada suatu tindakan di masa depan. Dapat juga dikatakan bahwa tindak komisif adalah tindak tutur yang bertujuan menghasilkan efek berupa tindakan yang akan datang. Tindak tutur menuntut tanggung jawab penutur untuk melakukan sesuatu. Dilihat dari modus tuturan, tindak tutur komisif memiliki nilai kompetitif yang rendah dan cenderung menyenangkan karena tidak berorientasi pada kepentingan penutur melainkan pada kepentingan mitra tutur. Tindak tutur komisif dalam realisasinya antara lain menawarkan dan menjanjikan.

e. Deklaratif, merupakan jenis tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan sesuatu yang menunjukkan kekecewaan, rasa senang atau tidak senang. Tin- dak tutur ini bertujuan membenarkan suatu keadaan melalui pernyataan yang dituturkan. Dijelaskan oleh Leech (1993) pelaksanaan tindak tutur ini mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan kenyataan, misalnya memecat, mengundurkan diri, menjatuhkan hukuman, mengangkat, membuang, membatalkan dan sebagainya.

Sementara itu, tindak perlokusi merupakan jenis tindak tutur yang memiliki efek bagi pendengarnya. Dengan kata lain, tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.

Menurut Wijana (1996:19), efek atau daya pengaruh tersebut dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Jenis tindak tutur berkaitan pula dengan fungsi-fungsi tertentu. Leech (1993:162) membagi tindak tutur berdasarkan fungsinya menjadi (1) kompetitif, tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial, (2) menyenangkan, tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial (3) kerjasama, tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial, dan (4) bertentangan, tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial.

(10)

Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik yang erat kaitannya dengan berbagai maksud atau pesan yang mungkin dikomunikasikan oleh pengutaraan sebuah tuturan sebelum menggolongkan apa jenis tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur. Aspek-aspek yang dimaksud menurut Leech (1993:9- 20) sebagai berikut:

1. Penutur (pn) dan Mitra Tutur (mt)

Konsep Pn dan Mt ini mencakup penulis dan pembaca jika tuturan yang dikomunikasikan melalui tulisan. Jika yang dikomunikasikan secara lisan atau langsung maka mencakup pembicara dan pendengar. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan mitra tutur ini, yaitu usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, dan tingkat kekerabatan.

2. Konteks Tuturan

Konteks tuturan adalah konteks yang berkaitan dengan aspek-aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik ini lazim disebut koteks (co-text) sedangkan konteks latar sosial disebut konteks (con-text). Dalam pragmatik, konteks pada hakikatnya adalah latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh Pn dan Mt atau situasi yang melatari tuturan tersebut.

3. Tujuan Tuturan

Semua bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud atau tujuan tertentu. Dalam kaitan ini, semua bentuk tuturan yang digunakan untuk menyatakan maksud yang sama dilatarbelakangi oleh maksud atau tujuan tertentu. Sebaliknya, berbagai maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Dalam pragmatik, berbicara tentang aktivitas yang berorientasi pada tujuan.

4. Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Aktivitas

Kajian tentang gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, sedangkan pragmatik berhubungan dengan tindak verbal yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam kaitan ini, pragmatik menangani bidang bahasa

(11)

dalam tingkatan yang lebih konkret dibandingkan dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan mitra tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.

5. Tuturan sebagai Produk Tindak Verbal

Tuturan yang digunakan dalam pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria yang keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karena itu, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk tindak verbal.

3. Tindak Tutur Direktif sebagai Subkategori Tindak Tutur

Tindak tutur direktif berangkat dari kategori tindak tutur ilokusi. Tindak ilokusi mengacu pada jenis dan fungsi yang ingin dipenuhi oleh penutur atau jenis tindakan yang ingin diselesaikan penutur pada waktu menghasilkan suatu ujaran.

Contoh-contoh tindak ilokusi mencakup menuduh, minta maaf, menyalahkan, memberi selamat, memberi izin, memerintah, menolak, dan berterima kasih.

Fungsi atau tindakan yang disebutkan biasanya diacu sebagai daya ilokusi atau point of utterance. Daya ilokusi dapat diungkapkan dengan sejumlah piranti penanda ilokusi atau Illocutionary Force Indicating Devides (IFID), baik dengan intonasi, tanda baca, maupun dengan verba performatif. Searle (1969:30); Searle dan Vandervaken (1985:46-48).

Istilah tindak tutur dalam pengertian sempit sering digunakan untuk mengacu secara khusus pada tindak ilokusi. Searle (1976:22-23) mengemukakan English verb denoting illocutionary act are asking, question, giving order, state, describe, assert, warn, remark, comment, command, order, request, criticize, apologize, censure, approve, welcome, promise, demand, and argue. Adapun kata kerja bahasa Inggris yang menunjukkan tindakan ilokusi adalah bertanya, pertanyaan, memberikan perintah, pernyataan, menjelaskan, menegaskan, memperingatkan, komentar, memerintah, perintah, permintaan, mengkritik , meminta maaf, kecaman, menyetujui, menyambut, janji, permintaan, dan berdebat.

(12)

Searle dan Vanderveken, (1985: 198) memamparkan “the directive we will analyze are; direct, request, ask, urge, tell, require, demand, command), order, forbid, prohibit, enjoin, permit, suggest, insist, warn, advise, reccomend, beg, supplicate, entreat, beseech, implore, and pray”. Secara berturut-turut disebutkan bentuk direktif adalah perintah langsung, permintaan, meminta, mendesak, mengatakan, membutuhkan, permintaan, perintah, memesan, melarang, melarang, menyuruh, izin, menyarankan, bersikeras, memperingatkan, menyarankan, merekomendasikan, mohon, berdoa, memohon, memohon, memohon, dan berdoa.

Selain itu, berdasarkan alternatif taksonomi, Searle (1999:12-15) tindak tutur dapat dibagi menjadi 5 tipe tindak tutur, yaitu (1) asertif, (2) direktif, (3) komisif, (4) ekspresif, dan (5) deklaratif. Menurut Searle, (1999:3-14) The direction of fit is world-to-words and the sincerity condition is always that the hearer H does some future action A. Verb denoting members of this class are ask, order, command, request, beg , plead, pray, entreat, and also invited, permit, and advise’. Direktif merupakan salah satu bentuk tindak ilokusi yang pada kenyataannya speaker atau pembicara menginginkan hearer atau pendengar untuk melakukan sesuatu. Verba yang menunjukkan kategori direktif diantaranya adalah meminta, memesan, perintah, permintaan, mengemis, memohon, berdoa, memohon, juga termasuk mengundang, mengizinkan, dan menyarankan.

Searle (1999:32) mengklsifikasikan kelas tindak ilokusi direktif yang meliputi tindakan memesan, memerintah, meminta, memohon, berdoa, melarang, dan tindakan lain yang sengaja dilakukan oleh penutur untuk memengaruhi mitra tutur. Kreidler (1998:183-194) sebelumnya mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi dengan istilah tuturan menjadi 7 (tujuh) macam yaitu: (1) tuturan asertif, (2) tuturan performatif (3) tuturan verdiktif, (4) tuturan ekspresif, (5) tindak tutur direktif (6) tuturan komisif, dan (7) tuturan fatis. Tipe Directives atau tindak tutur direktif adalah jenis tindak tutur yang mewakili usaha oleh penutur untuk membuat addresse (petutur) melakukan sesuatu pada saat yang akan datang.

Kasus paradigmatik mencakup saran, perintah, pertanyaan, dan permintaan. Juga

(13)

di antaranya tindakan menasehati, memberi instruksi, memberi perintah, memberi komando, meminta, memohon, mengundang, dan melarang.

Dalam kaitannya dengan tindak tutur direktif, Kreidler (1998:183) memfokuskan kajiannya pada tindak tutur yang dilakukan oleh penutur, namun tidak menggunakan istilah tindak tutur direktif, melainkan tuturan direktif (directive utterances). “Directive utterances are those in which the speaker tries to get the addressee to perform some act or refrain from performing an act”.

Tindak tutur direktif ialah tuturan yang penuturnya, dengan melakukan suatu tindak (tutur), berusaha menyuruh petutur untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Tindak tutur direktif bersifat prospektif, dalam arti dampak sebuah perintah hanya dapat terjadi pada waktu yang akan datang, dan pelaksanaannya memerlukan syarat di pihak petutur maupun di konteks situasinya. Sebuah tindak tutur direktif dianggap patut (felicitious) jika (1) penutur memiliki kapasitas untuk melakukan apa yang dituturkan dan (2) isi tuturannya memang belum dilakukan ketika dituturkan.

Hal ini diperkuat dalam temuan Lohse, Granefenhain, Behne, & Racoczy (2014:2) bahwa keberhasilan penggunaan bentuk perintah dipengaruhi oleh konteks yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur. Adapun bentuk- bentuk tindak tutur direktif dapat dikenali sebagai sebuah perintah, permintaan, dan saran. Sebuah perintah menjadi efektif jika pembicara mempunyai derajat kontrol tertentu atas apa yang ingin dilakukan sebagai akibat perbuatan. Sebuah ucapan, baik direktif atau bukan serta apapun jenis direktifnya bergantung pada bentuk sintaksis, yaitu pada pemilihan predikatnya (harus, meminta, menyarankan, dsb). Terlebih lagi hal tersebut bergantung pada situasi, para partisipan, dan status keakraban.

Kondisi yang mendukung melibatkan kenyataan akan tindakan dan kemampuan lawan bicara. Untuk sebuah perintah, agar dapat memenuhi syarat kondisi waktu yang memungkinkan, mitra tutur harus menerima otoritas penutur, misalnya untuk sebuah permintaan, harapan penutur, dan untuk sebuah saran, serta penilaian si pembicara. Kondisi tersebut kemudian menyebabkan felicity

(14)

conditions atau sebuah tindak tutur yang mengarah kepada kemampuan mitra tutur untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kelayakan tindakan.

Kreidler (1989: 189-191) memaparkan bentuk-bentuk predikat yang dapat digunakan dalam tindak direktif kategori perintah dan saran. Adapun predikat yang dapat digunakan dalam dalam tindak tutur direktif perintah commands ada dua yaitu predikat positif dan predikat negatif. Predikat positif meliputi charge

‘menuntut’, command ‘perintah’, direct ‘memerintah’, order ‘menyuruh’, tell

‘memberitahukan, demands ‘meminta’. Predikat negatif pada bentuk kalimat forbid atau melarang. Pernyataan tentang apa yang penutur inginkan agar mitra tutur melakukan atau mengulangi perbuatannya dan bukan mengasumsikan pengawasan penutur terhadap petutur, misalnya berupa permintaan atau permohonan.

Predikat dalam tindak tutur direktif permintaan (request) antara lain appeal-to ‘seruan’. Ask ‘permohonan’, beg ‘meminta’, beseech ‘memohon’, entreat ‘memohon dengan sangat’, implore ‘memohon dengan sangat’, petition

‘permohonan’ plead-with ‘memohon dengan sangat’, request ‘meminta’. Saran atau anjuran adalah tuturan yang ditujukan kepada orang lain untuk memberikan opini atau pendapat, seperti untuk apa mereka akan melakukan atau tidak akan melakukan. Saran dapat diwujudkan dalam bentuk positif, meliputi advise

‘saran’, counsel ‘nasehat’, reccommend ‘rekomendasi’, dan negatif meliputi caution.’peringatan atau perhatian’, warn ‘peringatan’.

Leech (1993:164; 1993:183-190) memaparkan, tuturan direktif adalah (directive) disebut tuturan impositif (impositve), yaitu tuturan yang penuturnya minta penutur melakukan atau tidak melakukan apa yang dituturkan. Tuturan- tuturan jenis ini bergradasi menurut kesantunan, yaitu prinsip timbang rasa (tact maxim) tentang minimize cost of other, maximize benefit of other “mengurangi kerugian orang lain (petutur), perbanyak keuntungan keuntungan orang lain.

Leech (1993:164) mengkategorikan tindak tutur yang penuturnya menyuruh petutur untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagai fungsi kompetetif.

Fungsi kompetetif tersebut kemudian lazim digunakan pada jenis kalimat imperatif (imperative). Kalimat impositif dapat disejajarkan dengan direktif

(15)

karena keduanya merupakan jenis tuturan ilokusioner dan merupakan fenomena pragmatik.

Menurut Leech (1993:164; 1993:166) konsep tindak tutur direktif sejajar dengan konsep fungsi ilokusioner kompetetif (competitive), yaitu tindak tutur yang tujuan ilokusionernya bersaing dengan tujuan sosialnya, sedangkan nosi-nosi yang dikandungnya meliputi memerintah, menyuruh, menuntut dan memohon.

Sejalan dengan pendapat Searle, Kunjana (2005:36) mengungkapkan bahwa direktif itu dapat langsung (yaitu dengan menggunakan kalimat bermodus imperatif). Tuturan bermodus imperatif dapat dikatakan sebagai tuturan yang memfungsikan kalimat perintah sesuai dengan maksud sebenarnya. Secara singkat, kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi lima macam, yakni (1) kalimat imperatif biasa, (2) kalimat imperatif permintaan, (3) kalimat imperatif pemberian izin, (4) kalimat imperatif ajakan, dan (5) kalimat imperatif suruhan.

Tindak tutur direktif adalah tindak tutur ketika penutur membuat mitra tuturmelakukan sesuatu atau menanggapi sebuah tindakan atau mengulanginya.

Dalam kalimat direktif, kata Anda merupakan pelaku meskipun sebenarnya mewakili ucapan tersebut maupun tidak. Tindak tutur direktif bersifat prospektif.

Seseorang tidak dapat meminta orang lain melakukan kegiatan di masa lalu. Sama seperti jenis tindak tutur lainnya, sebuah tindak tutur direktif menduga kondisi tertentu ada pada lawan bicara dan pada konteks situasi. Ketika ucapan dapat diwujudkan, berarti suasana mendukung dan jika tidak terwujud berarti tidak mendukung. Dengan demikian, secara umum indak direktif dapat dikateorikan dalam empat bentuk secara umum yaitu, bentuk perintah (imperatif), permintaan (permintaan dan permohonan), saran, dan larangan.

4. Keragaman Bentuk dan Fungsi Tindak Direktif

Pada kenyataannya tindak direktif digunakan untuk menguraikan bentuk- bentuk tertentu dilihat dari adanya perbedaan status. Kunjana (2005: 74-78) mengklasifikasikan bentuk tindak tutur direktif menjadi kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Kalimat Deklaratif mengandung

(16)

maksud memberitakan sesuatu kepada mitra tutur. Kalimat interogatif adalah kalimat yang mengandung maksud menanyakan sesuatu kepada mitra tutur.

Kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana diinginkan penutur. Ibrahim (1993: 27-33) mengklasifikasikam bentuk tindak tutur direktif dalam bentuk Requesting (meminta), Question (Pertanyaan), Requirement (tuntutan), Prohibitivies (melarang), dan Permissive (mengizinkan).

Lebih lanjut, Kunjana (2005: 79) mengungkapkan bahwa direktif dapat diwujudkan dalam tuturan langsung (yaitu dengan menggunakan kalimat bermodus imperatif). Seperti halnya dalam temuan Ivanova (2013) tentang bentuk multimodal yang digunakan penutur Swahili dan penggunaannya berdasarkan struktur norma sosial dengan pendekatan pragmatik. Melalui penelitian tersebut, diuraiakan bentuk direktif dalam bahasa Swahili direpresentasikan dalam kata kerja imperatif yang juga difungsikan secara ganda yaitu, bertujuan khusus dan mewakili bentuk tuturan langsung. Penutur menggunakan multimodal untuk menyampaikan nilai pragmatis dalam tindak ujaran. Tuturan bermodus imperatif dapat dikatakan sebagai tuturan yang memfungsikan kalimat perintah sesuai dengan maksud sebenarnya. Secara singkat, kalimat imperatif bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi lima macam, yakni (1) kalimat imperatif biasa, (2) kalimat imperatif permintaan, (3) kalimat imperatif pemberian izin, (4) kalimat imperatif ajakan, dan (5) kalimat imperatif suruhan.

Collin (dalam Beck, 2008:163) menyatakan bahwa tindak direktif berbeda atau berdiri sendiri dari tindak representatif. Fungsi tindak direktif sangat ditentukan oleh konteks siuasi tutur yang melatarinya. Konteks yang dimaksud dapat bersifat ekstralinguistik dan dapat pula bersifat intralinguistik. Satu bentuk ujaran mempunyai beberapa fungsi, sebaliknya satu fungsi, dapat dinyatakan, dilayani, atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran (Kasper & Blum-Kulka, 1993; Gunarwan, 2007). Fungsi umum atau makrofungsi direktif mencakup:

menyuruh, melarang, meminta, memerintah, memohon, mengimbau, menyarankan, memberi nasehat dan tindakan-tindakan lain yang diungkapkan oleh bentuk kalimat imperatif dan interogatif. Austin (dalam Waring dan Hruska,

(17)

2012:290) mengemukakan salah satu jenis tindak direktif adalah bentuk tindak tutur yang meliputi perintah yang fungsinya adalah memerintah.

5. Strategi Komunikasi Tindak Tutur Direktif dengan Pendekatan Etnografi Komunikasi

Pemilihan bentuk strategi komunikasi dengan pilihan secara langsung maupun tidak langsung ditentukan oleh dua aspek, yaitu aspek linguistik dan aspek nonlinguistik. Aspek linguistik tersebut berupa ragam pilihan bertutur dan pilihan kata yang digunakan di dalamnya. Aspek nonlinguistik yang juga mempengaruhi strategi berkomunikasi adalah variabel-variabel pragmatik di luar bahasa, sosial, dan kebudayaan. Aspek atau variabel-variabel pragmatik yang dimaksud yaitu, siapa yang berbicara, siapa yang diajak berbicara, kapan, dimana, dalam situasi apa, dan untuk apa; aspek sosial yaitu kekuasaan dan status sosial, sedangkan aspek kebudayaan yaitu tingkat toleransi antarpartisipan terhadap suatu tuturan (Syafrudin, 2010: 105). Penggunaan strategi kesantunan honorifik yang dinyatakan dengan tuturan akan berbeda antara kelompok yang satu dengan kelompok masyarakat budaya yang lain, yang tentu memiliki kekhasan masing- masing berdasarkan aspek-aspek kebudayaan yang berbeda. Metode etnografi komunikasi merupakan metode etnografi yang diterapkan untuk melihat pola-pola komunikasi kelompok sosial. Etnografi merupakan sebuah metode penelitian yang berpayung di bawah paradigma konstruktivisme dan di dalam perspektif teoretik interpretivisme (Zakiah, 2008:185).

Hymes (1974) pada mulanya mencetuskan etnografi komunikasi dalam bidang pragmatik pada tahun 60’an. Fokus perhatian Hymes lebih kepada hubungan antara bahasa dengan pola-pola komunikasi yang lazim digunakan dalam suatu masyarakat bahasa dan terkait dengan budaya masyarakat tertentu.

Metode etnografi komunikasi merupakan metode etnografi yang diterapkan untuk melihat pola-pola komunikasi kelompok sosial. Etnografi merupakan sebuah metode penelitian yang berpayung di bawah paradigma konstruktivisme dan di dalam perspektif teoretik interpretivisme (Sri Rejeki dalam Zakiah, 2008:185).

Masyarakat Indonesia yang multikultural memiliki keragaman budaya

(18)

merepresentasikan nilai-nilai kesantunan, konsep kekeluargaan, dan jarak sosial dengan cara yang berbeda-beda. Adapun peran masyarakat multikultural pada umumnya terdapat kerangka acuan budaya sehingga dalam komunikasi multietnis dapat terjadi kesalahpahaman. Namun hal ini dapat dihindari apabila peserta tutur dapat saling memahami setiap unsur etnopragmatis yang terkait dengan latar belakang budaya penutur dalam komunikasi antaretnik di Indonesia

Etnografi sebagai sebuah metode yang berada di bawah perspektif teoretik interpretativisme merupakan suatu cara bagi peneliti untuk mendekati objek penelitian dalam kerangka interpretatif. Adapun landasan pemikiran asumsi tersebut adalah bahwa realitas sosial diciptakan dan dilestarikan melalui penagalaman subjektif dan intersubjektif dari pelaku sosial. Para pelaku sosial ini dipandang sebagai aktif sebagai interpreter-interpreter yang dapat menginterpretasikan aktivitas simbolik mereka. Salah satu aktivitas simbolik tersebut adalah permainan bahasa yang akan diinterpretatifkan berdasarkan makna konsensus atau makna yang dikonstruksi melalui proses interaksi sosial (Zakiah, 2008:185).

Hymes (1996) membuat kategori yang dapat digunakan untuk membandingkan budaya-budaya yang berbeda. Kategori tersebut adalah:

(1) Ways of speaking, peneliti dapat melihat pola-pola komunikasi komunitas.

(2) Ideal of fluent speaker, peneliti dapat melihat sesuatu yang menunjukkan hal-hal yang pantas dicontoh atau dilakukan oleh seorang komunikator.

(3) Speech community, peneliti dapat melihat komunitas ujaran itu sendiri beserta batas-batasnya.

(4) Speech situation, peneliti dapat melihat situasi ketika sebuah bentuk ujaran dipandang sesuai dengan komunitasnya.

(5) Speech event, peneliti dapat melihat peristiwa-peristiwa ujaran yang dipertimbangkan merupakan bentuk komunikasi yang layak bagi para anggota komunikasi budaya.

(6) Speech art, peneliti dapat melihat sperangkat perilaku khusus yang dianggap komunikasi dalam sebuah peristiwa ujaran.

(7) Component of speech act, peneliti dapat melihat seperangkat perilaku khusus yangdianggap komunikasi dalam sebuah peristiwa ujaran.

(8) Component of speech act, peneliti dapat melihat komponen tindak ujaran.

(19)

(9) The function of speech in the community, peneliti dapat melihat fungsi komunikasi dalam sebuah komunitas. Dalam kerangka ini, menyangkut kepercayaan bahwa sebuah tindakan ujaran dapat menyelesaikan masalah yang terjadi daam komunitas budaya.

Dengan demikian untuk mengkaji perilaku masyarakat tutur diperlukan situasi tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur. Situasi komunikatif merupakan perluasan dari situasi tutur yang tidak hanya dipengaruhi oleh kaidah-kaidah berbicara, tetapi dapat diacu dengan menggunakan kaidah-kaidah berbicara itu sebagai konteks. Peristiwa komunikatif merupakan unit dasar untuk tujuan deskriptif. Sebuah peristiwa tertentu didefinisikan sebagai seluruh perangkat komponen yang utuh. Kerangka komponen tutur Hymes (1996) terdiri atas setting/scene, participant, ends, act sequense, keys, instrumentalities, norms, of interaction, genre. Berikut penjelasannya.

(a) Setting, merupakan lokasi (tempat), waktu, musim, dan aspek fisik situasi tersebut. Scene adalah abstrak dari situasi psikologis, definisi kebudayaan mengenai situasi tersebut;

(b) Participant, partisipan adalah pembicara, pendengar, atau yang lainnya, termasuk kategori sosial yang berhubungan dengannya.

(c) Ends, merupakan tujuan mengenai peristiwa secara umum dalam bentuk tujuan interaksi partisipan secara individual. Secara konvensional dikenal sebagai fungsi dan diharapkan sebagai hasil akhir dari peristiwa yang terjadi;

(d) Act sequense, disebut juga urutan tindak komunikatif atau tindak tutur, termasuk di dalamnya adalah isi pesan atau referensi denotatif level permukaan; atau apa yang dikomunikasikan;

(e) Keys, mengacu pada cara atau spirit pelaksanaan tindak tutur, dan hal tersebut merupakan fokus referensi;

(f) Instrumentalities, merupakan bentuk pesan. Termasuk di dalamya saluran vokal dan nonvokal, serta hakikat kode yang digunakan;

(g) Norms of interaction, merupakan norma-norma interaksi yakni pengetahuan umum, pengandaian, kebudayaan yang relevan atau pemahaman yang sama, yang memungkinkan adanya inferensi tertentu yang harus dibuat, apa yang harus dipahami secara harfiah, apa yang perlu diabaikan dan lain-lain.

(20)

(h) Genre, peristiwa. Mengacu pada kategori-kategori seperti puisi, mitologi, peribahasa, ceramah, dan pesan-pesan komersial.

Selain itu, Sumarsono (2013: 312-313) memamparkan kembali perubahan orientasi terhadap bahasa Hymes, yaitu: (1) struktur atau sistem tutur (la parole);

(2) fungsi yang lebih daripada struktur; (3) bahasa sebagai tatanan yang berbeda;

(4) ketepatan unsur linguistik dengan pesan (yang hendak disampaikan); (5) keanekaragaman fungsi dari berbagai bahasa dan alat-alat komunikasi lainnya; (6) guyup (komunitas) atau konteks sosial lainnya sebagai titik tolak pemahaman; (7) fungsi bahasa, konteks, tatanan bahasa serta alat komunikasi lainnya dijadikan sebagai rujukan masalah-masalah yang sifatnya problematik.

Bentuk-bentuk pilihan linguistik “Linguistic in Etnography” dalam berkomunikasi oleh Hymes (1983:135) dijelaskan sebagai bagian dari peristiwa komunikatif. Tindak komunikatif pada umumnya bersifat koterminus dengan fungsi interaksi tunggal, seperti pernyataan referensial, permohonan, perintah, dan dapat bersifat verbal dan nonverbal. Zakiah (2008:188) menyatakan bahwa diam pun merupakan tindak komunikatif konvensional. Lebih lanjut, dalam suatu percakapan dapat terjadi peristiwa tutur jika terdapat (1) peristiwa tutur, (2) satu pokok tuturan, (3) harus dalam waktu tertentu, (4) tempat tertentu, dan (5) situasi tertentu (Purba, 2011: 88).

6. Interaksi Wacana Akademik Lisan

Keterampilan dan kompetensi sosial dalam hal berinteraksi di kelas harus dimiliki oleh guru dan dosen. Prinsip yang mengisyaratkan perlunya kemampuan tersebut termaktub dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan Dosen pasal 4 ayat (5) “kemampuan guru berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua atau wali peserta didik, sesama pendidik, dan masyarakat sekitar. Berdasarkan UU tersebut hal yang secara spesifik dibahas adalah bagaimana interaksi komunikasi yang harus dibangun oleh guru dan tenaga pendidik lainnya ketika berada di dalam kelas.Bagaimana guru secara lugas dan tepat menggunakan bahasa atau tuturan ketika berkomunikasi.

(21)

Berikut hal tersebut dikemukakan oleh Bellack (dalam Suwignyo 2010:

148) bahwa bahasa atau tuturan yang digunakan guru dalam wacana kelas sangat khas karena terbangun secara ‘siklikal’ mulai tahap penyiapan situasi (teacher structuring), undangan merespon kepada peserta didik seperti pertanyaan dan atau tugas yang diberikan oleh peserta didik (teacher reacting), baik berupa penguatan atau reinfocement atau koreksi dan atau remediasi sesuai dengan respon yang diberikan oeleh peserta didik dalam interaksi pembelajaran. Kesemuanya terintegrasi secara dinamis sepanjang rentang episode pembelajaran untuk pencapaian tujuan pendidikaa secara utuh.

Interaksi verbal dalam wacana akademik dilakukan untuk menyampaikan niat dan gagasan berdasarkan tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut, partisipan menggunakan bahasa. Bahasa dapat digunakan untuk menunjuk sesuatu, menampilkan status, dan menarik partisipan (Mooney dalam Kusumanegara, Santoso, & Sunoto, 2016:1) Tiap bahasa, konsep, wacana, ataupun kode-kode simbol lainnya selalu mengaktualisasikan imajinasi-imajinasi, rencana-rencana, bahkan ambisi-ambisi. Lebih lanjut, Penggunaan fitur gramatika dalam wacana akademik di perguruan tinggi mengandung nilai relasional untuk tujuan tertentu.

Dalam kajian pragmatik, setiap tuturan dalam aktivitas berkomunikasi dipandang sebagai suatu tindakan. Setiap tuturan senantiasa mempunyai pengaruh terhadap partisipan yang terlibat dalam interaksi komunikasi. Partisipan dalam interaksi komunikasi adalah individu-individu yakni penutur, mitra tutur, atau pendengar yang terlibat dalam percakapan. Dengan demikian, wacana akademik lisan yang terjadi dalam proses perkuliahan tergolong sebagai interaksi percakapan kelas yang melibatkan dosen dan mahasiswa secara bergantian menjadi penutur dan mitra tutur secara bergantian untuk mencapai tujuan tertentu.

Pendapat lain dikemukan oleh Rusminto (2015: 105) yang menerangjelaskan pendapat Mey (2001) bahwa percakapan merupakan aktivitas penggunaan bahasa secara sosial yang saling memiliki keterkaitan dengan dua hal, yaitu isi percakapan dan fungsi percakapan. Dalam interaksi percakapan, seseorang harus menguasai kaidah-kaidah dan mekanisme percakapan yang

(22)

meliputi aktivitas membuka, melibatkan diri dan menutup percakapan terkait dengan prinsip-prinsip percakapan. Diantaranya adalah topik pembicaraan, bagaimana sebuah topik diungkapkan dengan aturan yang semestinya. Juga tentang maksud dan tujuan yang hendak dicapai oleh penutur dalam sebuah percakapan.

Ditinjau dari segi peran pesertanya, wacana percakapan termasuk dalam wacana resiprokal. Wacana yang muncul sebagai akibat dari interaksi timbal balik yang dilakukan oleh peserta percakapan. Hubungan timbal balik tersebut terjadi karena mitra tutur secara langsung dapat menanggapi ujaran yang disampaikan oleh penutur, bahkan peran sebagai penutur dan mitra tutur dapat berlaku secara bergantian. Percakapan membutuhkan tiga kemampuan dasar yang saling berhubungan sebagai kemampuan dasar dalam hubungan antarsesama. Ketiga kamampuan tersebut adalah kemampuan mental, fisik, dan sosial. Kemampuan mental ditandai oleh adanya kemampuan menguasai sejumlah kosakata, menyusunnya menjadi kalimat yang gramatikal, mengungkapkan proposisi secara tepat, dan menghilangkan unsur yang berlebihan. Kemampuan mental terkait dengan kemampuan memilih strategi komunikasi dalam melakukan percakapan.

Selain kedua kemampuan yang telah disebutkan di atas, kemampuan yang selanjutnya yang sangat penting dalam membangun percakapan adalah kemampuan sosial. Kemampuan sosial merupakan kemampuan sesorang partisipan dalam rangka menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah sosial yang berlaku di dalam percakapan (Romaine, 2000: 23-26). Termasuk didalamnya adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan menghargai orang lain, menjalin hubungan kerja sama dan kekeluargaan, rasa bersahabat dan sebagainya.

Hal ini dipertegas dalam temuan Lauzon (2015: 16) bahwa analisis percakapan difokuskan pada bagaimana identitas, peran, kategori sosial, norma, jenis kelamin, latar belakang sosial-linguistik yang terjadi dalam praktik antara guru dan siswa, dalam hal ini dapat pula terjadi anatara dosen dan mahasiswa, mahasiswa dengan mahasiswa, dan mahasiswa dengan dosen.

(23)

7. Kondisi Bahasa Daerah di Indonesia dan Keragaman Bahasa Lokal Sulawesi Tengah

Jumlah penutur bahasa daerah di indonesia rata-rata 340.000 orang. Dari segi genetis, Bahasa daerah di Indonesia digolongkan dalam dua kelompok besar yaitu bahasa Austronesia dan bahasa non-Austronesia. Wilayah bahasa Austronesia meliputi Taiwan, Filipina, Malaysia, Indonesia, Papua New Guinea dan seluruh kawasan Pasifik sampai kepulauan Hawai’i, dan Pulau Paskah. Dari 706 bahasa di Indonesia, sekitar 450 adalah dari rumpun Austronesia, sisanya yang berjumlah sekitar 250 adalah bahasa nonAustronesia. Kebanyakan bahasa non-Austronesia di wilayah Indonesia terdapat di Pulau Nugini (Provinsi Papua dan Papua Barat), tetapi ada juga bahasa non-Austronesia yang terdapat di pulau Halmahera bagian utara (sekitar 10), dan di pulau Alor dan Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (sekitar 20). Di Provinsi Papua dan Papua Barat ada juga bahasa Austronesia, terutama di kepulauan Raja Ampat, di jazirah Bomberai, di Pulau Biak dan Yapen, di pesisir Teluk Cendrawasih, dan di daerah Sarmi.

Jumlah totalnya sekitar 55. (Vandenberg, 2014: 112). Beberapa bahasa daerah besar di Indonesia ada aksara atau abjad tersendiri, termasuk Batak, Jawa, Makassar, Bugis, atau ditulis dengan huruf Arab (antara lain Aceh, Melayu, Wolio).

Penduduk yang multietnik dengan berbagai wujud situasi sosial dalam kehidupan sehari-hari akan berpengaruh terhadap penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi (Salminen & Kankaanranta, 2012: 263-264). Palu memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang tinggi karena letak geografisnya berada pada pertengahan pulau Sulawesi. Penduduknya tergolong beragam, seperti etnik jawa, etnik sunda, etnik Bali, etnik Batak, etnik Padang, etnik Minahasa, etnik Gorontalo, etnik Bugis, etnik Makassar, etnik Toraja, etnik Toraja, etnik Mandar, etnik Pamona, etnik Bungku, dan lain-lain, hidup berdampingan disamping orang Kaili sebagai Penduduk asli (Mauru, 2014:23). Berdasarkan paparan tersebut, dapat diketahui bahwa suku Kaili merupakan suku mayoritas di Palu.

(24)

Tabel 2.1 Sepuluh Bahasa Daerah Terbesar di Indonesia (Vandenberg, 2014:112).

No. Bahasa Daerah di Indonesia Jumlah

1 Bahasa Jawa 84,3 juta

2 Bahasa Sunda 34,0 juta

3 Bahsa Madura 13,6 juta

4 Bahasa Minangkabau 5,5 juta

5 Bahasa Musi 3,9 juta

6 Bahasa Melayu Manado 3,8 juta

7 Bahasa Bugis 3,5 juta

8 Bahasa Bandar 3,5 juta

9 Bahasa Aceh 3,5 juta

10 Bahasa Bali 3,3 juta

Bahasa Kaili (BK) merupakan bahasa daerah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari di kota Palu. BK merupakan bahasa dengan penutur terbanyak di Sulawesi Tengah. BK digunakan oleh penuturnya yang mendiami beberapa tempat, yaitu Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kabupaten Parigi, Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una-Una, dan Kota Palu.

Menurut Pusat Bahasa (dalam Karsana, 2015:142) berdasarkan dialektometri BK memiliki sepuluh dialek, yaitu (1) dialek Tara dituturkan di Desa Olaya dan Desa Dolago, Kecamatan Parigi, Kabupaten Parigi Moutong; di desa Lasoanio, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu; Desa Tinggede, Kecamatan Marawola dan Desa Sibalaya Selatan,nKecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi (2) dialek Taje/Petapa dituturkan di Desa Petapa, Kecamatan Parigi, Kabupaten Parigi Moutong;(3) dialek Ledo dituturkan di kelurahan-kelurahan di Kecamatan Palu Timur; Kelurahan Kayu Maluwe, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu; Desa Kotarindau, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi; Desa Towale, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala; Desa Sintuvu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi (Dialek Ledo ini paling banyak penuturnya jika dibandingkan dengan sembilan dialek lainnya).

Tabel 2.2 akan mengurai kondisi keterancaman bahasa daerah, yang berada dalam kondisi kebahasaan yang memprihatinkan. Penyebab terjadinta hal tersebut diantaranya adalah moderenisasi, maedia massa, perkawinan antarsuku, dan perubahan sikap bahasa daerah yang sering dianggap kuno.

(25)

Tabel 2.2 Status Keterancaman Bahasa Daerah (Vandenberg, 2014: 114) EGIDS Status Keterancaman

di Indonesia

Jumlah

3 Bersifat kelembagaan

(institutional)

21

4-5 berkembang (developing) 97

6a kuat (vigorus) 248

6b-7 terancam (in trouble) 265

8-9 menghadapi maut (dying) 75

10 mati/punah (extinc) 13

Jumlah 719

Dalam dunia pendidikan, bahasa Indonesia diakui sebagai unsur kebudayaan penting yang perlu dihormati dan dilestarikan dengan cara memberi tempat bahasa daerah dalam kurikulum muatan lokal pada jenjang pendidikan tertentu. Penelitian yang akan dilakukan terkait dengan penggunaan bahasa daerah dalam tindak tutur direktif ini diharapkan mampu menjadi cikal bakal pelestarian bahasa daerah. Hal ini juga untuk menghindari keterancaman bahasa daerah.

Bahasa Melayu Manado merupakan lingua franca di Sulawesi Utara dan dianggap sebagai suatu dialek regional bahasa Melayu, karena anasir-anasir leksikonnya banyak kesamaan dengan bahasa Melayu (Tambayong, 2007).

Bahasa Melayu Manado dipakai pula oleh penduduk Sulawesi Utara dalam kehidupan sehari-hari ketika berkomunikasi antarsuku yang telah menetap di Manado dan sekitarnya. Penggunaan bahasa Melayu oleh penuturnya berdampingan dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.

Walaupun demikian, pemakaian bahasa Melayu Manado telah menyebar ke beberapa daerah, seperti Bolaang Mongondow, Gorontalo, Sangir dan Talaud, bahkan Sulawesi Tengah. Hal tersebut disebabkan adanya mobilitas penduduk akibat perdagangan, perkawinan, atau akulturasi budaya dan secara langsung bersentuhan dengan penutur asli bahasa Melayu Manado.

(26)

Bahasa Bugis merupakan salah satu bahasa daerah di Sulawesi Selatan yang mempunyai jumlah penutur terbesar, diperkirakan 4,5 juta jiwa. Penutur bahasa Bugis mendiami mendiami sebelas kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu: Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang (Sidrap), Pinrang, Pare- Pare Barru, sebagian Kabupaten Maros, Pangkep, Sinjai, dan Bulukumba. Bahasa Bugis tersebut memiliki dialek tersendiri sesuai dengan letak geografisnya (Amir, 2011:71). Beberapa bahasa daerah besar di Indonesia memiliki aksara atau abjad tersendiri termasuk Makassar dan Bugis.

8. Bahasa sebagai Komunikasi Multikultural

Komunikasi multikultural bersifat multidisipliner. Kajian komunikasi multikultural dipelajari melalui pendekatan etnografi. Analisis komunikasi difokuskan khususnya pada tema-tema yang beragam, salahsatu diantaranya adalah seberapa jauh unsur-unsur budaya lokal, seperti norma-norma dan nilai- nilai sosiokultural yang berkembang di suatu wilayah tertentu memengaruhi pola komunikasi dan bagaimana latar belakang ras dan etnik kelompok membangun streotip dan etnosentrisme sosiokultural. Communication is the necessary basis of all social interaction’ komunikasi merupakan dasar dari sebuah hubungan sosial serta sebagai hal utama dalam membangun budaya. Manusia berperan sebagai partisispan komunikasi inti dan penggerak kebudayaan (Purwasito, 2015:162)

Komunikasi merupakan kegiatan interaksional yang melibatkan penyampai (Source) dengan penerima (receiver), transaksi pesan (messege) lewat saluran yang memungkinkan terjadi efek dan efek balik. Komunikasi merupakan proses dialogis antara peserta komunikasi dalam tindak komunikasi. Samavor dan Porter (Purwasito, 2015: 162-165). Pertama, komunikasi bersifat dinamis.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan ekonomi, situasi harmoni dan disharmoni yang dipengaruhi oleh norma dan nilai yang berkembang dalam masyarakat, yakni pengaruh perubahan dan kontinuitas kebudayaan.

Kebudayaan itu sendiri juga dinamis, akhirnya perubahan pada sistem komunikasi tidak dapat dielakkan. Kedua, komunikasi bersifat interaktif, tidak saja melibatkan dua orang, tetapi juga beberapa orang, dan juga kelompok. Setiap partisipan

(27)

memiliki, pengalaman atau referensi yang berbeda. Masing-masing partisipan dalam komunikasi mempunyai latar belakang budaya dan kepribadian masing- masing. Ketiga, komunikasi bersifat irreversible atau tidak dapat diubah, yang pesannya tidak dapat ditarik setelah disampaikan. Hal ini yang menjadi masalah dalam kehidupan berinteraksi sehari-hari, ketika dalam suatu tindak komunikasi, secara tak sadar atau tak sengaja menimbulkan pengaruh atau tidak. Keempat, komunikasi selalu berlangsung dalam konteks fisik atau konteks sosial.

Konteks fisik berkaitan dengan lingkungan sebagai pendukung atau tempat terjadinya peristiwa tutur terjadi, sedangkan konteks sosial adalah konteks yang berkaitan dengan perbedaan status sosial, perbedaan ekonomi, perbedaan prestasi, pendidikan, seperti posisi guru dan murid. Pengaruh konteks sosial dalam hal ini menjadi sangat dominan. Konteks lingkungan fisik sering hadir bersamaan dengan konteks sosial. Kedua konteks tersebut saling mendukung dan menentukan dalam tindak komunikasi. Dengan demikian, bentuk bahasa yang digunakan, penghormatan atau kurangnya penghormatan yang ditunjukkan kepada seseorang, waktu, suasana hati, siapa yang berbicara dengan siapa, merupakan sebagian kecil dar aspek-aspek komunikasi yang dipengaruhi oleh konteks sosial. Lingkungan sosial adalah budaya, sehingga untuk memahami komunikasi, seseorang harus mengetahui budaya. Untuk memahami komunikasi multikultural digunakan teori- teori tentang kehidupan (etnografi).

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Berdasarkan penelusuran pustaka yang telah dilakukan oleh peneliti, ditemukan beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan mendatang. Relevansi tersebut dapat dilihat dari topik penelitian, subjek penelitian, bidang kajian teori, penggunaan metode dan pendekatan.

Berikut ini akan diuraikan secara rinci.

Penelitian yang sudah dilakukan terlebih dahulu tentang tindak tutur bahasa lokal diantaranya adalah penelitian oleh Suwignyo (2010) tentang penggunaan tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas. Penelitian Suwignyo

(28)

(2010) memfokuskan pada (1) bagaimanakah manifestasi tindak tutur pamong dalam wacana kelas untuk menanamkan budi pekerti, (2) bagaimanakah tindak tutur among yang dimanifestasikan dalam wacana kelas, dan (3) bagaimanakah fungsi edukatif yang dimanifestasikan pamong dalam wacana kelas di Taman Madya Malang dalam situasi pembelajaran di kelas.

Adapun metode yang digunakan adalah ancangan pragmatik dan etnografi komunikasi (Hymes). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa manifestasi tindak tutur pembelajaran among dalam wacana kelas terklasifikasi dalam tiga kelompok, yakni tindak tutur substansi, kepemimpinan, pembelajaran (prosedur), dan fungsi edukatif pembelajaran among. Melalui hasil analisis data dalam penelitian tersebut ditemukan pula (1) tindak tutur cipta-rasa-karsa sebagai manifestasi substansi pembelajaran among cipta-rasa-karsa, (2) tindak tutur depan-tengah-belakang sebagai manifestasi kepemimpinan pembelajaran among ing ngarsa, ing madya, dan tut wuri handayani, dan (3) fungsi pembiasaan- pelibatan-pelibatan-pemandirian sebagai manifestasi fungsi edukatif pembelajaran among sung tuladha, mangan karsa, dan tutwuri handayani.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Suwignyo (2010) adalah fokus kajian yang diteliti hal yang sama yakni tindak tutur dalam wacana kelas.

Penelitian ini juga membahas hal yang sama yaki pada tindak tutur yang juga terjadi dalam wacana kelas. Selain itu, metode yang digunakan dalam menganalisis data juga menggunakan metode yang sama yakni pragmatik dan etnografi komunikasi oleh Hymes. Namun dalam hal ini juga terdapat perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Suwognyo (2010) yakni tindak tutur yang dikaji lebih spesifik pada satu jenis tindak tutur yakni tindak tutur direktif. Bahasa yang dijadikan sebagai sumber data juga tidak hanya pada bahasa Indonesia yang memberikan pengaruh tetapi pada pengggunaan bahasa daerah yang mayoritas yang digunakan oleh partisipan tutur.

Jika pada penelitian Suwignyo (2010) subjek penelitian adalah bahasa among atau guru, dalam penelitian ini subjek penelitian adalah dosen dan mahasiswa, penelitan ini difokuskan pada penggunaan tindak tutur direktif dalam bahasa lokal mayoritas dalam wacana kelas (wacana akademik lisan) yang tidak

(29)

hanya terbatas pada situasi formal, tetapi juga pada situasi nonformal. Dari segi penggunaan metode, penelitian ini menggunakan ancangan pragmatik, sosiolinguistik, dan etnografi komunikasi oleh Hymes secara bersamaan untuk menganalisis data tuturan dalam bahasa lokal yang ditemukan.Pragmatik digunakan untuk mengkalsifikasikan jenis tindak tutur direktif berdasarkan bentuk, fungsi, dan strategi. Sosiolinguistik dengan etnografi komnukasi Hymes digunakan untuk menjabarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan bahasa lokal yang digunakan partisipan tutur.

Penelitian lain terkait dengan masyarakat multietnik di Kota Palu Sulawesi Tengah juga dilakukan oleh Mauru (2014) dengan judul “Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Interaksi Masyarakat Multietnik”. Penelitian yang dilakukan oleh Mauru (2014) ini bertujuan Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan: (1) Ragam bahasa Indonesia dan faktor penentunya, dan (2) Gejala kode bahasa yang muncul dan faktor penentunya dalam interaksi masyarakat multietnik kompleks perumahan BTN Palu Utara. Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Data berupa data verbal dengan instrumen observasi dan panduan wawancara. Hasil penelitian ini: (1) Ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam interaksi masyarakat multietnik kompleks perumahan BTN Palu Utara terdiri atas ragam resmi, ragam usaha, ragam santai, dan ragam akrab, dan faktor penentu penggunaan ragam bahasa Indonesia dalam interaksi masyarakat multietnik kompleks perumahan BTN Palu Utara terdiri atas faktor latar peristiwa tutur, peserta tutur, tujuan tutur, rangkaian tutur /topik, nada tutur, norma tutur, tipe tutur; (2) gejala bahasa terdiri atas alih kode dan campur kode, dan faktor penentu alih kode berupa perubahan situasi tutur, kehadiran orang ketiga, peralihan pokok pembicaraan, dan penekanan keinginan penutur, dan faktor penentu campur kode adalah keterbatasan penggunaan kode dan penggunaan istilah yang lebih populer.

Penelitian ini relevan berdasarkan subjek penelitian yaitu pada masyarakat multietnik yang berada di kota Palu. Dari beberapa etnik yang dijadikan sebagai subjek penelitian, tiga di antaranya sama dengan etnik fokus kajian dalam penelitian ini, yaitu etnik Kaili yang merupakan suku mayoritas yang berada di

(30)

Sulawesi Tengah khususnya kota Palu, etnik Bugis, dan etnik Manado yang berada di Palu sebagai akibat urbanisasi. Persamaan lainnya adalah satu fokus rumusan masalah yang diteliti yaitu penggunaan ragam bahasa Indonesia dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi penggunaan ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam interaksi masyarakat multietnik tersebutt, diantaranya adalah latar peristiwa tutur, tujuan tutur, rangkaian tutur/topik, nada tutur, norma tutur dan jenis-jenis tuturan yanag digunakan. Selain kedua hal tersebut, metode yang digunakan dilakukan oleh Mauru (2014) juga relevan dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode kualitatif deskripsi.

Dengan cara mendeskipsikan dan menganalisis setiap data verbal atau tuturan yang diujarkan oleh masyarajat multietnik dalam interaksi percakapan yang telah ditranskip terlebih dahulu melalui proses pengumpulan data. Adapun perbedaan penelitian ini adalah spesifikasi subjek dan lokasi penelitian, dan pendekatan penelitian. pada penelitian Mauru (2014) masyarakat multietnik yang dijadikan subjek penelitian adalah masyarakat lingkungan keluarga khususnya pada perumahan BTN Teluk Palu, data yang dikumpulkan berdasarkan interaksi nonformal yang terjadi antara satu keluarga dengan etnis tertentu dan etnis lainnya.

Selain itu, fokus kajian dalam penelitian ini berfokus pada penggunaan bahasa dalam bidang sosiolinguistik yakni bagaimana campur dan alih kode yang terjadi secara umum baik dari segi multietnik dan penggunaan bahasanya, sedangkan dalam penelitian ini sifatnya lebih khusus pada tindak tutur direktif dalam bahasa lokal Kaili, Melayu Bugis dan Melayu Manado yang terjadi antara disen dan mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, mahasiswa dengan mahasiswa dalam ranah wacana akaademik lisan baik formal dan nonformal di lingkungan universitas. Dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan sosiopragmatik dengan etnografi komunikasi Hymes terkait dengan aspek-aspek tutur (SPEAKING) sedangkan dalam penelitian Mauru (2014) hanya menggunakan metode kualiatatif deskripsi tanpa pendekatan khusus untuk mengkaji setiap rumusan masalah yang ada. Penelitian yang relevan lainnya oleh Tamrin (2014), memfokuskan kajian pada bagaimana pemertahanan bahasa Bugis dalam

(31)

lingkungan keluarga di tanah rantau Sulawesi Tengah. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa Kebertahanan sebuah bahasa daerah merupakan simbol kebertahanan konsep nilai kebudayaan tradisional. Hilang atau punahnya bahasa daerah termasuk bahasa Bugis, maka hilang dan punah pula konsep nilai kebudayaan tradisional, karena kebudayaan tradisional hanya dapat dimengerti dengan baik melalui ungkapan bahasa daerah masyarakatnya. Dengan kata lain, apabila bahasa daerah punah, citra dan jati diri masyarakatnya pun menjadi tidak jelas.

Penelitian tersebut bertujuan untuk (1) mendeskripsikan pola-pola pemertahanan bahasa Bugis dalam ranah keluarga di Sulawesi Tengah dan (2) menganalisis faktor-faktor yang mendukung pemertahanan bahasa Bugis di Sulawesi Tengah. Metode yang digunakan adalah pendekatan sosiolinguistik dengan teknik kuesioner, wawancara, pengamatan, dan perekaman, kemudian dianalisis berdasarkan persentase pola penggunaan bahasa Bugis dalam ranah keluarga. Hasil analisis menunjukkan bahwa orang Bugis di Sulawesi Tengah masih mempertahankan bahasanya dalam ranah keluarga baik ditinjau dari kategori umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Faktor-faktor yang mendukung pemertahanan bahasa Bugis di Sulawesi Tengah adalah loyalitas, kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm), kebanggaan bahasa, umur, dan pekerjaan.

Perbedaan penelitian ini adalah bahasa Bugis yang dijadikan sebagai objek penelitian dianalisis penggunaannya dalam ranah keluarga. Metode yang digunakan juga menggunakan metode kuantitatif dengan melihat berapa jumlah persentase penggunaan bahasa Bugis tersebut sebagai suatu pemertahanan bahasa daerah. Dengan demikian, analisis penggunaan bahasa Bugis dalam ranah wacana akademik belum diteliti oleh banyak pihak. Metode kualitatif deskriptif diharapkan mampu memberikan gambaran tentang bagaimana penggunaan bahasa tersebut dalam ranah perkuliahan dengan faktor-faktor yang melatari pilihan bahasa daerah tersebut tanpa mengurangi keefektifan berbahasa Indonesia.

Penelitian lain tentang kajian direktif pernah dilakukan oleh O’Driscoll (2013) “The Role of Language Interpersonal Pragmatics”, dalam penelitiannya

Gambar

Tabel 2.1 Sepuluh Bahasa Daerah Terbesar di Indonesia (Vandenberg, 2014:112).
Tabel 2.2 Status Keterancaman Bahasa Daerah (Vandenberg, 2014: 114)  EGIDS  Status Keterancaman

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini juga menjelaskan berbagai strategi yang digunakan UMKM Kota Bekasi dalam membangun brand toko online miliknya, seperti foto produk, pemilihan

Hasil yang diperoleh dari analisis penjadwalan dengan metode penjadwalan algoritma genetika untuk order pemenuhan order bulan Desember 2016 mendapatkan hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) masyarakat Baduy yang selalu melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma), tidak terjadi bencana kebakaran hutan atau tanah longsor

Pln (persero) UPJ pamanukan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja pegawai dalam menggunakan Software Sistem

Sedangkan sistem perkawinan Gandharwa Wiwaha sama dengan sistem ngerorod atau rangkat yang juga disebut cara selarian (sama-sama lari berdasarkan cinta) dalam tradisi

EHUMXGXO ³3 eningkatan Aktivitas Siswa dengan Menggunakan Model Cooperative Learning Tipe Think-Pair-Share di Kelas V Sekolah Dasar Negeri 04 Desa Sekabuk

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

 DINAS KESEHATAN KABUPATEN MENYAMPAIKAN KE PUSKESMAS APABILA ADA LAPORAN BUMIL RISTI DARI YANKES SWASTA.  DINAS KESHATAN KABUPATEN MEMBANTU MENGARAHKAN APABILA BUMIL RISTI PERLU