• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. Pragmatik merupakan suatu cabang dari linguistik yang menjadi objek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. Pragmatik merupakan suatu cabang dari linguistik yang menjadi objek"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

9 2.1 Pragmatik

Pragmatik merupakan suatu cabang dari linguistik yang menjadi objek bahasa dalam penggunaanya, seperti komunikasi lisan atau tertulis. Menurut Yule (1996:3) definisi mengenai pragmatik yaitu:“Pragmatics is concerned with the study of meaning as communicated by a speaker (or writer) and interpreted by a listener (or reader).” Menurut Yule, Pragmatik berkaitan dengan ilmu yang mempelajari makna tuturan yang dikomunikasikan oleh penutur (penulis) dan makna apa yang diinterpretasikan oleh mitra tutur (pembaca). Sesuai dengan ungkapan Yule di atas, dalam mempelajari pragmatik akan berkaitan dengan tuturan dalam konteksnya dan pengguna bahasa yaitu penutur dan mitra tutur yang berkaitan dalam suatu proses komunikasi.

Hal ini memungkinkan pengguna bahasa untuk menggunakan bahasa sesuai dengan konteksnya dan untuk memahami lebih dalam hubungan antara konteks dengan makna suatu atuturan. Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang berkaitan dengan tingkah laku berbahasa atau menggunakan bahasa dalam berbagai situasi. Pragmatik juga berhubungan dengan bagaimana mitra tutur dapat memahami maksud yang disampaikan oleh penutur. Aitchison (2003:104) “Pragmatics is the branch of linguistics which studies those aspects of meaning which cannot be captured by semantics meaning.” Pragmatik juga mempelajari aspek-aspek makna yang tidak dapat diartikan melalui teori semantik.

(2)

Selain itu, pragmatik juga berfokus pada konteks yang terdapat dalam arti suatu tuturan. Hal ini dikemukakan oleh Leech (1982:1) “that we cannot really understand the nature of language itself unless we understand pragmatics: how language is used in communication.” Menurut Leech sifat dasar dari bahasa tidak akan sepenuhnya dapat dimengerti kecuali dengan memahami pragmatik: bagaimana bahasa digunakan dalam berkomunikasi. Dengan kata lain dasar dari bahasa adalah konteks yang terdapat dalam bahasa itu sendiri.

Dalam suatu proses komunikasi sangat penting untuk menyamakan persepsi pengetahuan dan latar belakang ketika terjadi suatu peristiwa tuturan dengan tujuan untuk meminimalisasir terjadinya kesalah pahaman. Oleh karena itu, dalam pragmatik dipelajari tidak hanya makna pada sebuah tuturan tapi juga konteks yang diperlukan untuk menginterpretasikan tuturan tersebut.

Hal serupa dikemukakan juga oleh Levinson (1983:9)“pragmatics is study of those relations between language and context that are grammatical or encoded in the structure of the language”yang artinya pragmatik adalah studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dan konteksnya yang tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya, ada batasan tentang pragmatik, beberapa batasan yang dikemukakan oleh Levinson tersebut antara lain, mengatakan bahwa pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa, pengertian bahasa menunjuk kepada fakta dan kebenaran bahwa untuk memahami pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yaitu, kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.

(3)

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari interpretasi tuturan dalam suatu bahasa yang berhubungan dengan konteks yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan latar belakang dari penutur dan mitra tutur untuk dapat memahami makna dan tujuan dari suatu tuturan secara menyeluruh.

2.2 Tindak Tutur

Teori mengenai tindak tutur diungkapkan oleh Austin pada tahun 1965 sebagai materi perkuliahan yang kemudian dibukukan pada tahun yang sama dengan judul “How to do things with words”. Di kemudian hari teori ini berkembang dan terkenal pada tahun 1969 setelah Searle mengembangkan teori Austin tersebut. Searle (Nadar, 2009:12) mengungkapkan bahwa unsur yang paling kecil pada suatu proses komunikasi adalah tindak tutur seperti menyatakan, membuat pernyataan, member perintah, menguraikan, menjelaskan, minta maaf, berterimakasih, mengucapkan selamat, dan lain-lain.Austin dalam Leech (1982:199) membagi tindak tutur menjadi tiga macam tindakan, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Berikut adalah penjelasan mengenai ketiga jenis tindak tutur tersebut.

2.2.1 Tindak Lokusi

Austin dalam How to do things with words (1962:100) mengatakan bahwa tindak ilokusi adalah“The act of saying something” maksudnya tindak lokusi

(4)

adalah tuturan yang disampaikan oleh penutur sesuai dengan makna dan kalimat tuturan tersebut tanpa bermaksud menyatakan pernyataan lain di dalamnya.

(2) “tomorrow is a holiday”.

Ketika penutur menuturkan dia menyatakan bahwa besok adalah hari libur tanpa ada indikasi untuk mengajak mitra tutur untuk berlibur, ataupun maksud dan tujuan lainnya.

2.2.2 Tindak Ilokusi

Austin lebih lanjut mendefinisikan tindak tutur ilokusi sebagai “performance of an act in saying something”. Menurut Austin, tindak ilokusi merupakan tindakan melalui tuturan. Rohmadi (2004:31) mengungkapkan bahwa tindak tutur ilokusi adalah tindak melakukan seuatu lewat tuturan, dimaksudkan untuk fungsi atau ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan atau tuturan tersebut memiliki maksud dan fungsi tertentu, Tindak tutur ilokusi berkaitan dengan siapa petutur, kepada siapa, kapan dan dimana terjadinya dan apa maksud dari tuturan tersebut. Searle membagi tindak tutur ilokusi ke dalam lima fungsi ujaran yaitu: deklaratif, representatif (asertif), ekspresif, direktif, dan komisif. Berikut contok tindak ilokusi:

(3) “mind your head”

Ketika sedang di dalam gua, seseorang berkata kepada mitra tutur. Tujuan tuturan ini adalah mengingatkan penutur bahwa atap gua itu rendah dan agar mitra tutur membungkuk atau merunduk ketika melewati gua tersebut.

(5)

2.2.3 Tindak Perlokusi

Austin (1962:114) menyatakan bahwa tindak perlokusi adalah “the achieving of certain effect by saying something” maksudnya adalah efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan penutur lewat tuturan yang disampaikan. Efek yang dihasilkan dari tuturan itulah yang dinamakan tindak perlokusi. Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang tujuannya untuk memengaruhi mitra tutur inilah merupakan tindak perlokusi.

Contoh tuturan pada tindak tutur ilokusi pada bagian sebelumnya pada “mind your head”, ketika mitra tutur telah diperingatkan untuk berhati – hati karena atap gua yang rendah. Mitra tutur akan secara refleks menundukkan kepalanya. Efek tuturan berupa tindak waspada yang dilakukan oleh mitra tutur ini yang disebut dengan tindak perlokusi. Berikut ini merupakan contoh penjelasan mengenai ketiga jenis tindak tutur yang dijelaskan oleh Austin:

(4) a. “Shoot her!” Act A or locutionary

He said to me “Shoot her” meaning by “shoot” to shoot and reffering by “her” to her.

Act B or illocutionary

He argued (or advised, ordered, &c.) me to shoot her. Act C or perlocutionary

He persuade me to shoot her (Austin, 1962:107)

Penjelasan pada contoh Austin di atas adalah ketika seorang penutur berkata “Shoot her!” kepada mitra tutur maka dapat dijelaskan dari sisi tindak lokusi adalah sesuai dengan makna yang sesungguhnya yaitu penutur meminta

(6)

mitra tutur untuk “shoot” menembak dan memiliki acuan yang pasti yaitu kepada “her” dia yang menjadi objek tuturan antara penutur dan mitra tutur. Dari sisi tindak ilokusi “shoot her!” dapat diartikan bahwa penutur ingin mitra tutur melakukan suatu tindakan untuknya baik itu suatu usul, perintah, saran, maupun fungsi direktif lainnya, “shoot” bisa berarti menembak, memotret, mengambil gambar hidup, mengarahkan lampu sorot, atau menyuntik, tergantung dari konteks dimana tuturan tersebut terjadi. Dari sisi perlokusi dapat diartikan bahwa ketika penutur bertuturan “shoot her” maka mitra tutur akan mencapai efek berupa menuruti perintah tersebut, menjadi ragu atas perintah tersebut atau menjadi ketakutan karena tidak berani melaksanakan perintah tersebut.

2.3 Prinsip Kesantunan (Politeness Principle)

Banyak dari ahli linguistik yang mengemukakan konsep tentang kesantunan. Dan kesemua konsep kesantunan yang dikemukakan oleh para ahli tersebut berbeda-beda. Mereka mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang konsep tersebut. Konsep kesantunan tersebut ada yang dirumuskan dalam bentuk kaidah yang disebut dengan prinsip-prinsip kesantunan. Sedangkan konsep kesantunan yang dirumuskan dalam strategi-strategi dinamakan teori kesantunan. Prinsip kesantunan (politeness principle) itu berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral dalam bertindak tutur. Didalam bertutur seorang penutur tidak hanya menyampaikan informasi,tugas, kebutuhan, atau amanat, tetapi lebih dari itu, yaitu menjaga dan memelihara hubungan sosial antara penutur dan mitra penutur..

(7)

(5) a. Parent: Someone’s eaten the icing off the cake. Child: It wasn’t ME!

Pada tuturan diatas merupakan prinsip kesantuanan yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya, seorang ibu mengatakan bahwan seseorang sudah memakan kue buatannya untuk menyindir anaknya yang memang telah memakanya, tuturan ibu tersebut merupakan prinsip kesantunan dengan meringankan tuduhan kepada si anak bahwa dia telah memakan kue buatanya, beda halnya jika si ibu berbicara “you have eaten the icing off the cake!” Leech (1983) tuturan si ibu bukan merupakan prinsip kesantunan karena memberatkan tuduhan kepada si anak bahwa si anak telah memakan kue buatanya, seperti yang di jelaskan oleh Lakoff (1972) “...What we think is appropriate behavior in particular situations in an attempt to achieve and maintain successful social relationship with other” artinya bahwa apa yang kita tuturkan merupakan tindakan yang harus dilandasi dengan tingkah laku yang santun, sehingga tuturan yang kita ucapkan mampu tercapai dan terpelihara dengan baik guna menjaga hubungan sosial dengan orang lain, selain itu Rahardi (2005:35) penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakangsituasi sosial dan budaya yang mewadahinya.

Adapun yang dikaji dalam sebuah prinsip kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan, Fraser dalam Rahardi (2005:38-40) menyebutkan bahwa ada empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur yaitu, (1) pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social-norm view). Dalam pandangan ini kesantunan dalam

(8)

bertutur ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan kultural yang ada dan berlaku di dalam masyarakat bahasa. Santun bertutur disejajarkan dengan etiket berbahasa (language etiquette), (2) pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah percakapan (convertional maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (face saving). Pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip kesantunan hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama, (3) pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (convertional contract) jadi, bertindak santun itu sejajar dengan bertutur dengan penuh pertimbangan etiket berbahasa, dan (4) pandangan kesantunan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference), honorific (honorific), dan gaya bicara (style of speaking).

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal dan tata cara bahasa, saat berkomunikasi kita mematuhi norma-norma budaya, tidak hanya menyampaikan ide yang kita fikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat dan bagaimana mereka menggunakanya untuk berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sombong, angkuh, ataupun egois. Wijana (1996:55) mengungkapkan bahwa sebagai retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesantunan yang berhubungan dengan dua peserta percakapan yakni diri sendiri dan orang lain. Diri sendiri

(9)

adalah penutur dan orang lain adalah mitra tutur, senada dengan hal tersebut Rahardi (2005: 60-66) dalam bertindak tutur yang santun agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsi-prinsip kesantunan berbahasa.

Prinsip kesantunan Leech (1993: 206-207) didasarkan pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah itu adalah bidal-bidal atau pepatah yang berisi nasehat yang harus dipatuhi agar tuturan penutur memenuhi prinsip kesantunan, selain itu Leech (1993: 123-126) membuat skala kesantunan yang dapat digunakan untuk mengukur kesantunan dalam sebuah tuturan yaitu: (1) cost-benefit scale atau skala untung-rugi “representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer”, dalam skala ini semakin santun tuturan seorang penutur jika memberikan keuntungan kepada mitra tutur dan semakin tidak santun seorang penutur jika memberikan kerugian kepada mitra tutur, (2) optionality scale atau skala pilihan “indicating the degree of choice permitted to speaker and or hearer by a specific linguistic act”, pada skala ini semakin banyak penutur memberikan pilihan yang membuat mitra tutur leluasa untu memilih maka semakin santun tuturan yang disampaikan oleh penutur, (3) indirectness scale atau skala ketidaklangsungan “indicating the amount of inferencing required of the hearer in the order to establish the intended speaker meaning”, skala ini menunjukan bahwa semakin tidak langsung sebuah tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur maka semakin santun tuturan tersebut, (4) authority scale atau skala keotoritasan “representing the status relationship between speaker and hearer”, skala ini menunjukan hubungan peringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, semakin

(10)

jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan mitra tutur maka semakin santun tuturan tersebut, contoh: bos dan karyawan, dan yang terakhir adalah (5) social-distance scale atau skala jarak sosial “indicating the degree of familiarity between speaker and hearer”, skala ini menunjukan jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, semakin jauh jarak sosial antara penutur dan mitra tutur maka akan semakin santun tuturan tersebut sebaliknya semakin akrab hubungan antara penutur dan mitra tutur maka semakin kurang santun tuturan tersebut. Prinsip kesantunan Leech itu juga didasarkan pada nosi-nosi: kerugian (cost) dan keuntungan (benefit), celaan atau hinaan (dispraise) dan pujian (praise), kesetujuan (agreement), serta kesimpatian dan keantipatian (sympathy/antipathy). Berikut ini adalah bidal-bidal dalam prinsip kesantunan Leech:

2.3.1 Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta tuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam bertutur Leech (1984:132) “this maxim aims at minimizing costs to the speaker and maximizing benefit to the audience”. Seorang penutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun.

Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengaki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Rasa sakit hati dalam sebuah

(11)

tuturan juga dapat diminimalisir dengan maksim ini, Wijana (1996:56) menambahkan bahwa semakin panjang tuturan seseorang maka semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan tuturnya, demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secaca langsung Leech (1993: 206), contoh:

(6) a. Could I interrupt you for a second? If I could just clarify this then

Jadi maksim ini bertujuan untuk mengurangi ungkapan-ungkapan yang bertujuan untuk merugikan orang lain dengan meminta ijin terlebih dahulu saat hendak berinterupsi merupakan aturan tuturan yang bijaksana karena tuturan tidak langsung tersebut memiliki artian ingin menginterupsikan sebuah gagasan dengan cara yang santun tanpa merugikan orang yang hendak diinterupsikan.

2.3.2 Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Dengan Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain Leech (1993:209) “minimize benefit to self, maximize cost to self”. Menurut Rahardi (2005:61) bahwa dengan maksim kedermawanan atau kemurahan hati, para peserta tutur diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan kepada orang lain akan terjdi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi diri sendiri dan

(12)

memaksimalkan keuntungan bagi orang lain, berikut contoh tuturan yang diungkapkan Leech:

(7) a. You can lend me your car b. I can lend you my car

Pada tuturan diatas, tuturan yang (a) bukan merupakan maksim kedermawanan karena tuturan tersebut tidak menyiratkan keuntungan untuk mitra tutur dan mengisyaratkan kerugian bagi penutur berbeda dengan (b) tuturan tersebut menyiratkan keuntungan bagi mitra tutur dan mengurangi keuntungan bagi penutur.

2.3.3 Maksim Pujian (Approbation Maxim)

Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain Leech (1984:135) “minimize dispraise of other, maximize praise of other”. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain.

Menuurut Wijana (1996:57) maksim pujian atau penghargaan ini harus diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Nadar (2009:30) memberikan contoh tuturan ekspresif yaitu mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, memuji, dan mengungkapkan bela sungkawa. Berikut contoh ungkapan maksim pujian:

(13)

(Tuturan ini mengacu pada penampilan seorang musikus) (8) a. A: her performace was outstanding

B: yes, wasn’t it?

(Bagaimana jika B merupakan seorang musikus) (9) b. A: her performace was outstanding

B: yes, wasn’t it?

Di dalam maksim pujian ini, penutur diarahkan untuk selalu memberikan pujian baik kepada mitra tutur dengan konteks keadaan yang sedang terjadi, hal tersebut diharapkan agar tidak terjadinya ejekan dan cacian pada tuturan, seperti tuturan (a) A bermaksud memuji penampilan seorang musikus yang penampilannya sangat luar biasa sedangkan tuturan (b) A bermaksud merendahkan B dengan membandingkan bahwa musikus yang ia lihat penampilannya lebih luar biasa dari pada B.

2.3.4 Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)

Di dalam maksim kesederhanaan atau kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri Leech (1984:16)“minimize praise of self, maximize dispraise of self”. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, keserderhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai paremeter penilaian kesantunan seseorang, Rahardi (2005:61) mengatakan bahwa di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri.

(14)

Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Wijana (1996:58) mengatakan maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim ini menuntut setiap peserta tuturnya untuk memaksimalkan ketidak hormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa tidak hormat pada diri sendiri. Berikut contoh ungkapan maksim kesederhanaan menurut Leech (1984):

(10) a. A: They were so kind to us B: Yes they were, weren’t they? (11) b. A: You were so kind to us

B: Yes. I was, wasn’t I?

Pada tuturan (b) penutur tidak memakai maksim kerendahan hati karena tidak mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri, berbeda dengan tuturan (a), penutur merendahkan dirinya dengan mengurangi kata “saya” pada ucapannya untuk memberikan pujian pada mitra tutur.

2.3.5 Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim)

Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain Leech (1984:18) “minimize disagreement between self and other, maximize agreement between self and other”. Maksim kesepakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan (Wijana, 1996:59).

Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam

(15)

kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Berikut contoh ungkapan maksim kesepakatan menurut Leech (1984):

(12) a. A: it was an interesting exhibition, wasn’t it? B: no, it was uninteresting

(13) b. A: English is difficult language to learn B: True

Pada tuturan diatas kalimat (a) tidak menggunakan maksim kesepakatan karena tidak ada kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur berbeda halnya dengan tuturan (b), tuturan tersebut saling berkaitan dan cocok antara penutur dan mitra tutur sehingga menghasilkan kemufakatan antara kedua pihak.

2.3.6 Maksim Kesimpatian (Sympathy Maxim)

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya Leech (1984:137) “minimize antipathy between self and other, maximize sympathy between self and other”. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.

Rahardi (2005:65) orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak sopan dalam masyarakat,. Berikut contoh ungkapan maksim kesimpatian menurut Leech (1984):

(16)

(14) a. Iam terribly sorry to hear that your cat died (15) b. Iam terribly pleased to hear that your cat died

Pada tuturan (b) penutur tidak memiliki simpati dalam berbela sungkawa atas matinya kucing mitra tutur, sedangkan tuturan yang tidak bercetak tebal memiliki simpati yang baik dengan mengatakan “sorry” mendengar kematian kucing mitra tutur dan penutur bermaksud turut berbela sungkawa.

2.4 Jenis Tindak Tutur

Tindak tutur langsung merupakan tindak tutur yang langsung diucapkan penutur sesuai dengan isi dan tujuan ujaranya, sedangkan tindak tutur tidak langsung dilakukan penutur saat dirinya tidak mengeluarkan ujaran yang secara eksplisit mencerminkan apa tujuannya seperti memerintahkan sesuatu (kalimat imperatif) tetapi menggunakan kalimat interogatif. Searle (1969) dengan menerbitkan sebuah buku speech act: an essay in the philosophy of language mengatakan bahwa komunikasi bukan sekedar lambang, kata, atau kalimat tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang terwujud dalam bentuk tindak tutur.

Austin dan Searle, Wijana (1996:29-36) mengklasifiksikan tindak tutur menjadi tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung sedangkan menurut keliteralanya dengan menginterseksikan tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung menjadi tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang memiliki

(17)

maksud sama dengan isi tuturan yang diucapkan, sedangkan tindak tutur tidak literal (non-literal speech act) adalah tindak tutur yang tidak memiliki maksud yang sama dengan isi tuturan atau berlawanan dengan isi tuturan. Berikut contoh kalimat tindak tutur literal dan tidak literal.

(16) a. I love the sound of your voice.

(17) b. I love the sound of your voice (your singing is so bad).

Tuturan (a) bila diutarakan untuk maksud memuji atau mengagumi tulisan yang dibicarakan, merupakan tindak tutur literal, sedangkan tuturan (b) dimaksudkan bahwa suara nyanyian lawan tuturnya tidak bagus dengan artian tidak usah menyanyi saja.

Interaksi berbagai jenis tindak tutur bila tindak tutur langsung disinggungkan (di interseksikan) dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, akan didapatkan tindak tutur-tindak tutur sebagai berikut menurut Wijana (1996:36) dalam garis besar:

2.4.1 Tindak Tutur Langsung

Tindak tutur langsung (Direct speech act) adalah tindak tutur yang langsung diucapkan penutur sesuai dengan fungsi kalimatnya. Menurut Kroeger (2005:197) “Direct speech act are these in which this expected correlation is preserved two forms of the sentence matches the purpose, or intended force, of the sentence” artinya tindak tutur langsung merupakan tindak tutur yang sesuai dengan tujuan kalimatnya dan secara formal berdasarkan modusnya, kalimat

(18)

dalam TTL di bedakan menjadi kalimat berita (Declarative), kalimat tanya (Interrogative), kalimat perintah (Imperative).

Searle dalam Cutting (2002:19) menyatakan tindak tutur langsung ialah “A speaker using direct speech act wants to communicate the literal meaning that the words conventionally express; there is direct relationship between the form and the functions.” Artinya tindak tutur langsung difungsikan konvensional sesuai dengan arti kalimatnya secara literal. kalimat yang di konvensional secara declarative maka fungsinya adalah kalimat tanya untuk bertanya, kalimat perintah untuk menyuruh, meminta, mengajak, dan memohon, sedangkan kalimat berita (Declarative) di fungsikan konvensional untuk mengadakan sesuatu yaitu kalimat tanya untuk bertanya, kalimat perintah (Imperative) untuk menyuruh, mengajak, memohon. Maka akan terbentuklah TTL.

Berikut contoh tidak tutur langsung:

(18) a. I don’t want to come with you because i’m busy now (19) b. Does she your girlfriend?

(20) c. Take my book on the table!

Pada tuturan (a) penutur menggunakan kalimat berita (Declarative) secara langsung kepada lawan tutur bahwa dia tidak ingin pergi bersama mitra tutur karena dia sibuk, tuturan (b) penutur menggunakan kalimat tanya (Interrogative) langsung kepada penutur dengan meminta jawaban apakah dia pacar kamu, dan (c) penutur menggunakan kalimat perintah (Imperative) secara langsung kepada lawan tutur bahwa penutur meminta tolong mengambilkan buku yang ada di atas meja.

(19)

2.4.1.1 Tindak Tutur Langsung Literal

Tindak tutur langsung literal (Direct illocutionary act literal) adalah tindak tutur yang maksud tuturan dengan isi tuturannya sama, artinya tindak tutur ini diutarakan dengan maksud sama dengan isi tuturannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan dengan kalimat tanya, Wijana (1996:33) menyatakan bahwa “Tindak tutur literal langsung adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud penuturannya” biasanya TTLL digunakan dalam percakapan sehari-hari ketika seseorang spontan memberikan respon terhadap apa yang ia ingin tuturkan. Berikut contoh tuturan tindak tutur langsung literal:

(21) a. She loved her mother. (22) b. Open your eyes! (23) c. What time is it?

Tuturan (a) menggunakan kalimat berita (Declarative) di maksudkan untuk memberitahukan bahwa orang yang dibicarakan benar-benar mencintai ibunya, tuturan (b) di unkapkan menggunakan kalimat perintah (Imperative) di maksudkan untuk menyuruh seseorang membuka matanya, dan tuturan (c) menggunakan kalimat tanya (Interrogative) di maksudkan untuk menanyakan waktu kepada seseorang, semuanya menggunakan tuturan secara langsung dengan ke literalanya sehingga tidak memiliki maksud lain di dalam tuturannya.

(20)

2.4.1.2 Tindak Tutur Langsung Tidak Literal

Tindak tutur langsung tidak literal (direct illocutionary act non-literal) adalah tindak tutur yang memiliki maksud sesuai dengan isi kalimat, namun tidak didampingi kalimat yang sesuai. Menurut Wijana (1996:33) “Tindak tutur langsung tidak literal diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturannya”. Misalnya maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah dan maksud menginformasikan diungkapkan dengan kalimat berita. Berikut contoh tindak tutur langsung tidak literal:

(24) Good job, everything is good!

Tindak tutur langsung yang dipakai penutur dalam kalimat tersebut menggunakan kalimat berita (Declarative) dengan kata “Good job” yang berfungsi untuk memuji tapi kenyataanya tuturan tersebut dimaksudkan untuk mencela bahwa pekerjaanya buruk “everything is good!” yang sebenarnya adalah kebalikan maksud dari “everything is bad!” menurut ketidak literalannya.

2.4.2 Tindak Tutur Tidak Langsung

Tindak tutur tidak langsung (Indirect speech act) merupakan tindak tutur yang tidak sesuai dengan fungsi kalimatnya, tindak tutur tidak langsung erat kaitannya dengan prinsip kesantunan dan kesopanan dalam sebuah percakapan. Kalimat perintah dapat diungkapkan dalam kalimat tanya atau kalimat berita agar orang-orang yang di perintah tidak merasa dirinya diperintah. Menurut Kroeger (2005:197) “Indirect speech acts are those in which there is a mismatch between

(21)

the sentence type and he intended force”, tindak tutur tidak langsung lebih sopan digunakan dalm sebuah percakapan dikarenakan tindak tutur tidak langsung di tuturkan dengan strategi-strategi dan pemilihan kata sebelum berbicara dengan lawan tuturnya dan apabila ada hubungan tidak langsung antara tuturan dengan maksud dan fungsi, maka terdapat suatu TTLL.

Pada tuturan itu,Yule (1996:97) “whenever there is indirect relationship between a structure and a function we have an indirect speech act” . Berikut contoh tindak tutur tidak langsung:

(25) Where is my book? (To her son)

Pada tuturan di atas merupakan tindak tutur tidak langsung yang menggunakan kalimata tanya (Interrogative), tapi ibu tersebut selain bertanya pada anak laki-lakinya. Ibu tersebut berharap anak laki-lakinya mencarikan buku yang ibu tersebut cari dan memberikannya pada ibu tersebut atau kata lainya ibu tersebut memiliki maksud lain dalam pertanyaannya yaitu memerintah anaknya untuk mengambilkan buku yang ibu tersebut cari.

2.4.2.1 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal

Tindak langsung tidak literal (indirect illocutionary act literal) adalah tindak tutur yang maksud tuturan dan isi tuturan yang diucapkan. Wijana (1996:33) mengatakan bahwa ”Tindak tutur tidak langsung literal mengungkapkan kalimat dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengn maksud pengutaraanya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh

(22)

penuturnya”. Dalam tindak tutur ini maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya,. Berikut Tindak langsung tidak literal:

(26) a. The car is dirty.

(27) b. Where is my cat, Tom?.

Pada tuturan (a) penutur tidak hanya menggunakan kalimat tanya (Interrogative) tapi memiliki artian atau maksud lain secara imperative, yaitu orang yang memberitahukan bahwa mobil itu kotor memiliki maksud lain yaitu memerintah mitra tutur untuk membersihkannya tapi dengan keliteralannya bahwa mobil itu memang dalam keadaan kotor dan pada tuturan (b) penutur tidak hanya menggunakan tindak tutur tidak langsung literal dengan kalimat tanya saat bertanya kepada Tom tentang dimana kucingnya, tuturannya juga memiliki maksud lain yaitu tuturan pertanyaannya berubah menjadi kalimat perintah (Imperative) dengan maksud menyuruh Tom untuk mencarikan kucing milik penutur.

2.4.2.2 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal

Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect illocutionary act non-literal) adalah tindak tutur yang memilki makna yang tidak sesuai dengan tindak maksud tuturan atau tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Berikut contoh tindak tutur tidak langsung tidak literal

(23)

Pada tuturan di atas terlihat tindak tutur tidak langsung dengan menggunakan kalimat informasi (Declarative), di ungkapkan dengan kata sekali (so) di maksudkan bahwa penutur memberitahukan kepada mitra tutur bahwa gaun yang dipakai bukan cantik, tapi jelek sekali terkait dengan ketidak literalannya kalimat tersebut merupakan kebalikan tuturan dari yang di tuturkan penutur yaitu ”You look so beautiful with long dress” kebalikan dari ”You look so bad with long dress” artinya penutur mencoba merendahkan mitra tutur karena gaun yang mitra tutur pakai memang terlihat buruk secara halus.

Pada penelitian ini penulis hanya memakai dua jenis tindak tutur, tindak tutur langsung literal dan tindak tutur tidak langsung literal dikarenakan pada film yang penulis analisis lebih menonjolkan percakapan yang tidak mengarah ke pelanggaran sebuah kesantunan dan konteks pada film yang penulis analisis lebih mengarah kepada percakapan yang formal yang alur cerita pada percakapan film tersebut mengharuskan karakternya bertutur santun. Hal tersebut berkaitan dengan pembahasan yang penulis teliti. Pada penulisan ini lebih mendalami tentang enam jenis maksim kesantunan (Masims Politeness).dalam Prinsip Kesantunan (Politeness Principle) dalam percakapan Pada Film The Great Gatsby dengan judul “Maksim Kesantunan (Politeness maxims) Pada Film The Great Gatsby: Kajian Pragmatik”.

Referensi

Dokumen terkait

o Jika pasien menginginkan kehamilan dapat dilakukan D&K dilanjutkan dengan pemberian progestin, analog GnRH atau LNG-IUS selama 6 bulan... o Bila pasien

Gambar 5 menunjukkan perolehan skor concept map peserta didik pada seluruh siklus. Perolehan skor rata-rata dan rentang skor concept map peserta didik mengalami

Pusat Bisnis adalah unit kerja nonstruktural di bidang pengembangan dan pengelolaan usaha secara kelembagaan di lingkungan Universitas Negeri Malang (UMJ

Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai perbedaan bentuk dan makna Kanji-Kanji Jepang dan Mandarin, namun karena banyaknya

Berdasarkan analisis data pada studi evaluasi kesesuaian terminal penumpang Bandar Udara Husein Sastranegara terhadap SNI 03-7046-2004, diperoleh kesimpulan bahwa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan tentang ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum pertambangan Minyak Dan Gas Bumi

1). IKH milik Pemerintah atau disebut IKH yaitu bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana prasarana yang memenuhi persyaratan administrasi dan teknis sebagai

Mursalat Kulap. Pengembangan Bahan Ajar Sejarah Indonesia Masa Pergerakan Nasional Melalui Penulisan Buku Nani Wartabone dalam Pergerakan Nasional di Gorontalo untuk