• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Tindak tutur merupakan kajian yang banyak dibahas akhir-akhir ini.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Tindak tutur merupakan kajian yang banyak dibahas akhir-akhir ini."

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Tindak tutur merupakan kajian yang banyak dibahas akhir-akhir ini. Penelaahan tindak tutur dari berbagai bentuk teks dan wacana telah muncul dalam berbagai penelitian. Salah satu peneliti yang mengangkat tindak tutur adalah Elfiando (2000) yang berjudul “Pasambahan Mananti Marapulai di Kota Madya Solok: Sebuah Kajian Tindak Tutur”. Penelitian dengan metode kualitatif tersebut membahas tentang kajian tindak tutur dengan memanfaatkan korpus data dari pasambahan mananti marapulai (meminang perempuan) yang mengambil lokasi penelitian di Kota Madya Solok. Penelitian ini menunjukkan bahwa komponen tindak tutur yang muncul adalah tindak lokusional, makna tindak ilokusional, dan makna tindak perlokusional. Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan penggunaan jenis tindak tutur yaitu tindak tutur langsung dan tidak langsung, literal dan tidak literal dalam data.

Penelitian yang dilakukan oleh Elfiando memberikan masukan pada penelitian ini, yakni tata cara penerapan teori yang dipakai dalam menganalisis makna tindak tutur, serta pendeskripsian data yang dianalisis melalui teknik analisis kualitatif. Secara umum, penelitian Elfiando menggunakan teori yang sama dengan penelitian tentang Supernanny ini. Penggunaan teori tindak tutur untuk melihat jenis dan makna tindak tutur merupakan kesamaan dari kedua penelitian tersebut. Meskipun begitu, penelitian ini mencakupi aspek yang lebih

(2)

luas. Fungsi tindak tutur ditelaah secara lebih mendalam dengan melihat fungsi ujaran baik sebagai deklaratif, asertif, komisif, direktif, dan ekspresif.

Peneliti lain yang cukup berkaitan dengan tuturan antara orang tua dan anak adalah De Geer dan Tulviste (2002). Artikel dengan judul “Behaviour Regulation in The Family Context in Estonia and Sweden” ini memaparkan jenis tuturan yang muncul dari orang tua dengan latar belakang kebudayaan tertentu yaitu orang Swedia, Estonia, dan orang Estonia di Swedia. Penelitian ini menelaah data dari interaksi antara orang tua dan anak pada waktu makan siang yang membuat orang tua harus mengujarkan sebuah bentuk direktif kepada anak mereka.

Ujaran-ujaran yang dituturkan oleh orang tua ketika situasi tersebut dianalisis dengan menggunakan teori pragmatik, dengan menitikberatkan pada studi sosialisasi pragmatik melalui metode kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa situasi tutur tertentu akan sangat memengaruhi tuturan atau ujaran yang dituturkan oleh orang tua. Bentuk, makna, dan fungsi tuturan akan berbeda dari orang tua yang mempunyai latar belakang budaya Estonia dan Swedia.

Tulisan tersebut merupakan tulisan yang mengangkat telaah tuturan orang tua dan anak layaknya pada penelitian ini. Meskipun begitu, pada artikel tersebut, fokus penelitian hanyalah pada penggunaan fungsi direktif melalui jenis tindak tutur langsung dan tidak langsung pada konteks makan siang keluarga dengan latar belakang budaya tertentu. Sedangkan dalam penelitian ini, komunikasi orang tua dan anak yang diangkat tidak hanya melihat fungsi direktif saja tetapi juga tindak tutur lainnya. Penelitian ini juga menelaah fungsi dan makna tindak tutur

(3)

serta prinsip kerjasama dan kesantunan yang muncul dalam komunikasi orang tua dan anak.

Almos (2008) menulis tesis dengan judul “Pantang dalam Bahasa Minangkabau”. Tulisan ini merupakan sebuah analisis wacana terhadap ujaran yang mengandung pantang. Dalam penelitian tersebut, tuturan yang berkaitan dengan pantang dianalisis dengan menggunakan teori tindak tutur untuk menganalisis fungsi tuturan yang menggunakan kata pantang. Analisis fungsi pantang dalam bahasa Minangkabau tersebut menemukan tindak ilokusi yang muncul adalah asertif, direktif, komisif, ekspresif dan deklaratif. Tindak ilokusional asertif pantang dalam bahasa Minangkabau berfungsi untuk menyatakan, mengeluh, memberitahukan, menyarankan. Sementara itu, ditemukan tindak ilokusional direktif yang berfungsi memerintah, menanyakan, dan menasihatkan. Untuk tindak ilokusional komisif, fungsi yang muncul dari telaah penelitian tersebut hanyalah untuk bersumpah. Sedangkan tindak ilokusional ekspresif yang muncul mempunyai fungsi untuk menyalahkan dan memuji. Tindak ilokusional deklaratif yang ditemukan hanyalah fungsi untuk memecat.

Penelitian Almos (2008) dan penelitian ini sama-sama menggunakan teori tindak tutur untuk mendapatkan fungsi tuturan. Perbedaan yang mencolok adalah penggunaan teori pendukung. Pada penelitian Almos, tidak digunakan teori prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan layaknya penelitian mengenai Supernanny ini.

(4)

Simpen (2008) menulis disertasi dengan judul “Kesantunan Berbahasa pada Penutur Bahasa Kambera di Sumba Timur”. Penelitian ini menitikberatkan pada kesantunan tuturan yang muncul dalam Bahasa Kambera. Teori yang digunakan adalah teori linguistik kebudayaan dan sosiopragmatik. Sementara itu, pendekatan kualitatif, metode observasi, dan wawancara aktif adalah metode dan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data. Melalui penelitian ini ditemukan kemunculan dua jenis tindak tutur yaitu tindak tutur langsung dan tidak langsung. Sementara itu, ditemukan pula fungsi dan komponen makna tindak tutur. Fokus penelitian ini adalah kesantunan dalam tuturan penutur bahasa Kambera, sehingga penerapan teori prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan menjadi hal yang penting. Dalam penelitian terhadap bahasa Kambera ini, ditemukan empat maksim prinsip kerjasama dan enam maksim prinsip kesantunan.

Penelitian Simpen (2008) dan penelitian ini sama-sama menggunakan metode kulaitatif dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Penelitian Simpen menggunakan teori linguistik kebudayaan dan sosiopragmatik sebagai teori utama. Sedangkan dalam penelitian ini, fokus penelitian adalah pada penelitian pragmatik, yang didukung oleh penggunaan teori prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.

Penelitian lain yang juga menelaah tindak tutur adalah penelitian yang dituliskan oleh Wulantari (2009) yang berjudul “Tindak Tutur dalam Kumpulan Naskah Drama Nyunnyan-Nyunnyen”. Penelaahan tindak tutur dalam penelitian ini adalah dengan melihat ujaran yang dituturkan oleh tokoh drama. Tesis ini menjelaskan telaah ujaran yang dilontarkan oleh tokoh drama melalui teori tindak

(5)

tutur untuk melihat tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa tindak ilokusi yang muncul adalah deklaratif, asertif, komisif, direktif dan ekspresif. Kelima fungsi tindak tutur muncul melalui delapan jenis tindak tutur yaitu tindak tutur langsung, tindak tutur tak langsung, tindak tutur lateral, tindak tutur tak lateral. Sementara empat jenis lainnya merupakan gabungan dari jenis sebelumnya yaitu tindak tutur langsung lateral, tindak tutur langsung tidak lateral, tindak tutur tak langsung lateral, dan tindak tutur tak langsung tidak lateral.

Penelitian Wulantari (2009) dan penelitian ini sama-sama menggunakan metode kualitatif dan teori tindak tutur untuk menganalisis data. Perbedaannya adalah penelitian ini menambahkan teori pendukung yaitu teori prinsip kerjasama dan kesantunan untuk menelaah ujaran. Sementara itu, Wulantari menggunakan teori etnografi komunikasi untuk mendukung analisis penelitiannya.

Penelitian lain yang mengangkat fenomena tindak tutur dalam komunikasi adalah Andriyani (2010) yang berjudul “Tuturan Wisatawan Jepang dalam Berkomunikasi dengan „GRO Staf” di Lingkungan PT HIS Tour & Travel Bali: Kajian Pragmatik”. Data yang menjadi objek penelitian adalah tuturan yang dilontarkan oleh wisatawan Jepang saat berkomunikasi dengan petugas penyedia jasa travel. Penelitian ini, memperlihatkan dalam situasi tertentu, penutur dengan latar belakang tertentu akan menuturkan ujaran yang sesuai dengan kedua konteks yang ada. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tuturan yang diujarkan oleh wisatawan berupa ujaran deklaratif, imperatif dan interogatif dengan makna lokusi, ilokusi dan perlokusi. Jenis tindak tutur langsung dan tidak langsung

(6)

merupakan jenis tindak tutur yang digunakan oleh penutur. Lebih jauh lagi, penelitian ini menelaah fungsi tindak tutur yang muncul dengan frekuensi paling tinggi.

Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa fungsi ekspresif dan fungsi direktif adalah fungsi yang paling dominan muncul dalam tuturan wisatawan. Selain penelaahan tindak tutur, penelaahan prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan juga digunakan dalam penelitain ini. Prinsip kerjasama yang paling mendominasi adalah maksim kualitas dan maksim cara. Kedua maksim ini lebih cenderung digunakan karena faktor latar belakang penutur dan aspek situasi yang mendorong penutur untuk menggunakan kedua maksim ini muncul lebih sering. Sementara itu, untuk prinsip kesantunan, maksim yang paling dominan muncul dalam analisis adalah maksim kesederhanaan, maksim kemurahan hati, dan maksim simpati. Penelitian tersebut menggunakan metode dan teori yang nyaris sama, yaitu metode kualitatif dan teori tindak tutur yang didukung oleh teori prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Meskipun begitu, Penelitian Andriyani (2010) belum menelaah hubungan yang muncul dari kedua teori pendukung yang telah disebutkan sebelumnya. Penelitian tindak tutur dalam Supernanny ini menelaah keterkaitan tersebut.

Penelitian lain adalah penelitian Suardana (2013) dengan judul “Tindak Tutur dalam Film Komedi Ace Ventura: When Nature Calls”. Penelitian ini merupakan penelitian yang menelaah tindak tutur ujaran berbahasa Inggris dalam genre film komedi. Tujuannya untuk menunjukkan jenis, fungsi, dan makna tindak tutur dari

(7)

ujaran yang dituturkan tokoh serta memperlihatkan implikatur percakapan yang muncul dalam jenis film komedi tersebut.

Hasil analisis yang didapatkan dari penelitian ini adalah jenis tindak tutur yang didapatkan adalah tindak tutur langung dan tindak tutur tidak langsung. Sementara itu untuk fungsi tindak tutur yang muncul adalah fungsi deklaratif, representatif, komisif, direktif, dan ekspresif. Makna yang muncul dari tuturan-tuturan dalam film tersebut muncul dalam bentuk makna lokusi, ilokusi dan perlokusi. Lokusi adalah makna yang cukup jarang muncul sementara ilokusi adalah makna yang paling sering muncul. Dari sisi implikatur percakapan, muncul empat prinsip kerjasama yaitu maksim kuantitas, kualitas, cara, dan hubungan. Dari keempat maksim ini maksim kualitas adalah maksim yang paling sering dilanggar. Hal ini disebabkan oleh kepentingan film dengan genre komedi untuk membuat penontonnya tertawa. Pelanggaran maksim kualitas akan membuat lawan tutur menjadi tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkannya karena tanggapan yang diberikan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.

Dalam penelitian tersebut, penggunaan teori tindak tutur didukung oleh teori prinsip kerjasama yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap penelaahan implikatur film komedi. Untuk itulah, dalam penelitian ini teori pendukung lainnya yaitu teori prinsip kesantunan diaplikasikan dalam dalam menganalisis data yang sangat berbeda dengan penelitian Suardana (2013).

Penelitian lainnya adalah artikel Carretero (2015) yang berjudul “An Analysis of Expressive Speech Acts in Online Task-Oriented Interaction by University Students”. Penelitian ini memfokuskan penelaahannya pada tindak tutur ekspresif

(8)

yang muncul dari percakapan atau interaksi mahasiswa dalam menggunakan media online untuk mendiskusikan topik tertentu. Korpus data yang diambil adalah percakapan yang berkenaan dengan penulisan makalah untuk seminar. Dari percakapan ini peneliti menelaah dinamika penggunaan tindak tutur ekspresif dalam konteks percakapan tanpa tatap muka. Faktor-faktor layaknya usia, ras, pendidikan, dan waktu percakapan digunakan sebagai konteks sosial untuk menelaah jenis dan jumlah tindak tutur ekspresif yang digunakan. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa tindak tutur ekspresif mempunyai dua jenis yaitu tindak tutur ekspresif yang berpusat pada diri sendiri (self-oriented) dan yang berpusat pada orang lain (others-oriented). Hasil penelitian dijabarkan dalam bentuk kualitatif dan kuantitatif. Melalui penelitian ini dipaparkan bahwa tindak tutur ekpresif mengucapkan berterima kasih, permintaan maaf, menyapa dan memuji merupakan bentuk tindak tututr eksprsif yang paling banyak digunakan.

Informasi penting yang didapatkan dari penelitian ini adalah bentuk dan penggunaan tindak tutur ekspresif dalam data berupa percakapan tertulis melalui media online. Meskipun artikel dari Carretero (2015) sama-sama menelaah tuturan dari sudut pandang pragmatik dengan menggunakan metode kualitaf, tetapi penelitian Carretero (2015) hanya memfokuskan penelaahan pada fungsi ekspresif tindak tutur saja. Hal inilah yang membedakan tulisan tersebut dengan penelitian ini. Selain objek penelitian yang berbeda, dalam penelitian ini, acara realitas Supernanny ditelaah dengan melihat jenis, fungsi dan makna yang lebih luas.

(9)

2.2 Konsep

Konsep yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah (1) pragmatik, (2) tindak tutur, (3) prinsip kerjasama, (4) prinsip kesantunan dan (5) acara realitas.

2.2.1 Pragmatik

Pragmatik merupakaan ilmu yang menelaah pemaknaan penggunaan bahasa berdasarkan konteksnya. Hal ini selaras dengan pernyataan Yule (1996) yang menyatakan bahwa pragmatik adalah studi makna secara kontekstual. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa pragmatik tidak hanya menelaah bahasa dari susunan bahasa itu sendiri tetapi juga faktor eksternal yang memengaruhinya. Faktor eksternal yang memengaruhi bahasa inilah yang dikenal dengan istilah konteks. Seperti telah disinggung sebelumnya, sebagai faktor eksternal yang memengaruhi bahasa, konteks tidak muncul hanya dalam bentuk fisik saja. Untuk itu, Leech (1983) mengonsepkan lima aspek situasi tutur sebagai berikut.

1. Penutur dan petutur merupakan bagian konteks situasi tutur yang berkaitan dengan aspek-aspek yang secara fisik dan non-fisik memengaruhi mereka. Aspek tersebut antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi dan budaya, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan aspek lainnya yang mampu memengaruhi bentuk ujaran yang mereka tuturkan.

2. Konteks tuturan merupakan pengetahuan antara penutur dan petutur terhadap latar belakang penuturan sesuatu. Melalui konteks, penutur akan menuturkan ujaran yang bisa dipahami oleh lawan tuturnya. Sebagai hasilnya, petutur

(10)

akan memberikan tanggapan yang tepat sesuai dengan maksud penutur dan konteks tuturan tersebut.

3. Tujuan tuturan adalah maksud yang ingin disampaikan oleh penutur. Pada dasarnya setiap ujaran yang dituturkan oleh penutur mempunyai tujuan yang ingin disampaikan kepada lawan tutur. Penutur bisa saja menuturkan bermacam-macam tuturan untuk tujuan yang sama, atau mempunyai maksud yang berbeda dalam bentuk ujaran yang sama.

4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau sebuah tindak tutur. Pragmatik menelaah bahasa dengan cakupan yang lebih luas dari sekedar tata urutan kata dan pemaknaan internal bahasa. Melalui tindak tutur, penutur bertindak dengan bentuk ujaran yang mampu memengaruhi lawan tuturnya.

5. Ujaran atau tuturan merupakan produk dari tindakan verbal. Hal ini dikarenakan dari sudat pandang pragmatik, ujaran bukan saja sebuah bentuk konkret dari susunan gramatikal sebuah bahasa. Pragmatik memandang ujaran sebagai bentuk nyata dari tindakan yang muncul dengan bentuk berupa tindakan verbal dalam konteks situasi tertentu.

2.2.2 Tindak Tutur

Austin (1962) menjelaskan tindak tutur sebagai ujaran atau tuturan yang muncul dalam sebuah peristiwa tutur dan memiliki kekuatan atau daya terhadap lawan tuturnya. Austin ini menyiratkan bahwa ujaran yang dituturkan seseorang dalam situasi tutur tertentu mempunyai kekuatan layaknya sebuah tindakan. Tindak tutur muncul dikarenakan oleh sebuah ujaran pada kenyataanya tidak

(11)

hanya menjadi sebuah peristiwa verbal, tetapi juga merupakan representasi tindakan fisik. Dari sisi kelangsungan maksudnya tindak tutur dibedakan menjadoi tindak tutur langsung dan tidak langsung (Levinson, 1983). Dari segi fungsi, tindak tutur dibedakan menjadi deklaratif, representatif, komisif, direktif, dan ekspresif. Sementara itu, tindak tutur dapat dibedakan menjadi tiga makna yaitu lokusi (tindak tutur yang maknanya hanya terikat dari bentuk ujaran) ilokusi (tindak tutur yang memberikan daya pada tuturan sehingga maksud atau tujuan tuturan bisa sampai kepada lawan tutur) dan perlokusi (tindak tutur yang menunjukkan efek terhadap lawan tutur) (Austin, 1962).

2.2.3 Prinsip Kerjasama

Prinsip kerjasama merupakan prinsip yang mengatur percakapan antara penutur dan petutur di dalam peristiwa komunikasi (Suardana, 2013: 30). Pada dasarnya, dalam sebuah percakapan penutur dan petutur akan bertukar informasi dalam jumlah dan cara tertentu. Grice (1975) menciptakan konsep prinsip kerjasama percakapan untuk melihat interlokutor dalam percakapan melakukan sesuatu kerjasama dalam berkomunikasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep prinsip kerjasama merupakan sebuah konvensi tersirat yang diciptakan oleh interlokutor dalam memberikan informasi tertentu dengan cara, jumlah, dan konteks yang tertentu pula.

(12)

2.2.4 Prinsip Kesantunan

Prinsip kesantunan adalah prinsip yang mengatur tuturan dari sisi nilai sopan-santun yang berlaku dalam penuturan (Leech, 1983). Prinsip ini sangat berhubungan dengan keterkaitan seorang penutur dengan lawan tuturnya. Prinsip kesantunan dalam pragmatik merupakan jawaban bahwa bentuk ujaran yang dituturkan oleh seseorang tidak hanya berkaitan dengan prinsip kerjasama. Ada kalanya penuturan sebuah ujaran berkaitan dengan tingkat kesopanan yang ingin disampaikan penutur melalui ujarannya. Penuturan sesuatu berkaitan tidak hanya dengan diri sendiri (self) tetapi juga orang lain (others).

2.2.5 Acara Realitas

Acara realitas atau yang lebih terkenal dengan istilah reality show adalah jenis tayangan yang menampilkan aktivitas nyata dari pembawa acara dan berbagai aspek pendukungnya (talent, objek, lokasi, situasi, dramatika) (Set, 2008: 185; Arumbayuardi 2010: 20). Acara realitas merupakan jenis acara yang mempunyai konsep adegan dimana tokoh yang berpartispasi dalam acara tersebut bertindak dan berkata tanpa skenario yang menuntun mereka. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memadankan realitas dengan padanan kenyataan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun pengambilan gambar dilakukan dengan teknik tertentu, acara ini merupakan acara yang menggambarkan keadaan nyata dari sebuah peristiwa. Dengan memperhatikan pengertian ini, acara realitas menunjukkan adegan yang nyata atau tidak dibuat-buat.

(13)

2.3 Landasan Teori

Landasan teori merupakan langkah untuk merangkai kerangka berpikir melalui teori yang akan saling mendukung dalam analisis data. Landasan teori akan menjadi tuntunan dalam penelahaan objek lingual sehingga penelitian dapat digambarkan secara komprehensif. Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori pragmatik. Yule (1996: 3) memberikan pengertian bahwa pragmatik adalah ilmu yang menelaah kemampuan ujaran untuk mengomunikasikan sesuatu melebihi dari apa yang diujarkan secara gramatikal oleh seorang penutur. Untuk itulah, dalam ilmu pragmatik, ujaran dianggap mempunyai sebuah daya yang mampu membuat seseorang (lawan tutur) memberikan efek layaknya mendapatkan sebuah tindak fisik. Dalam penelitian ini, teori pragmatik yang digunakan mancakup teori (1) tindak tutur, (2) prinsip kerjasama dan (3) prinsip kesantunan.

2.3.1 Teori Tindak Tutur

Levinson (1983: 27) menyatakan bahwa salah satu bagian yang sangat penting dalam pragmatik adalah tindak tutur. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam konteks situasi tutur, tindak tutur menjadi penentu tujuan tuturan yang diujarkan oleh seseroang. Tindak tutur merupakan makna sebuah ujaran dipandang dari kemampuannya untuk menjadi salah satu bagian dari interaksi sosial (Saeed, 2000: 203). Pemaparan ini menggambarkan bahwa tindak tutur merupakan bagian penting dari kajian pragmatik yang melihat ujaran tidak hanya dari urutan ujaran secara tata bahasa tetapi juga keterkaitannya dengan aspek luar

(14)

bahasa. Finch (65: 2003) menyebutkan bahwa jika tindakan mampu mewakili pembicaraan, maka tuturan dapat mewakili tindakan. Fromkin (2003: 215) menyebutkan bahwa pada dasarnya semua ujaran yang dituturkan oleh manusia adalah sebuah tindak tutur. Sesuai dengan penjelasan ini, Levinson (1983: 236) memilah tindak tutur berdasarkan jenis, fungsi, maknanya. Ketiga bagian dalam tindak tutur ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

2.3.1.1 Jenis Tindak Tutur

Levinson (1983: 263) menulis bahwa seseorang tidak selamanya mengujarkan maksudnya secara langsung dalam bentuk ujaran yang dituturkan. Maksud tersebut bisa saja berbeda dengan bentuk ujaran yang dilontarkan oleh penutur. Untuk itu, berdasarkan langsung atau tidaknya maksud yang muncul melalui sebuah ujaran, Levinson membedakan tindak tutur menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.

1. Tindak Tutur Langsung (Direct Speech Act)

Secara umum, ujaran atau kalimat dapat dibedakan menjadi tiga yaitu ujaran deklaratif, imperatif, dan interogatif (Wijana, 1996: 30). Berdasarkan ketiga jenis kalimat ini, kalimat dengan modus deklaratif mempunyai maksud untuk memberitahukan berita atau informasi. Kalimat imperatif merupakan modus kalimat yang berguna untuk memerintah, menyuruh, memohon atau mengajak. Kalimat interogatif adalah kalimat dengan modus untuk menanyakan sebuah informasi. Dengan memperhatikan modus dari jenis kalimat, tindak tutur langsung

(15)

adalah jenis tindak tutur yang maknanya secara eksplisit muncul bersamaan dengan modus kalimat yang dituturkan. Contoh tindak tutur langsung dapat dituliskan sebagai berikut.

a) Guru: Tutup pintunya!

Murid: Baik bu. (menutup pintu)

Pada contoh (a) ujaran yang dituturkan oleh guru adalah tindak tutur langsung. Ujaran yang dituturkan guru merupakan ujaran dengan bentuk kalimat imperatif. Kalimat ini mempunyai maksud memerintah siswa untuk menutup pintu. Guru yang menuturkan ujaran ini secara langsung menyampaikan maksudnya dalam bentuk ujaran yang diujarkannya. Kesesuaian bentuk, modus kalimat, dan maksud penuturan dalam contoh (a) merupakan contoh dari tindak tutur langsung.

2. Tindak Tutur Tidak Langsung

Tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang maksud ujarannya tidak muncul langsung dalam bentuk ujarannya. Tindak tutur tidak langsung mempunyai maksud implisit sehingga pemaknaan ujaran akan sangat bergantung pada konteks penuturan. Daya dari tindak tutur tidak muncul secara literal dalam bentuk ujaran (Levinson, 1983: 263). Penutur akan didorong untuk memahami konteks penuturan sehingga maksud tuturan penutur tidak berhenti pada bentuk ujaran yang dituturkan. Contoh tindak tutur tidak langsung akan dituliskan sebagai berikut.

(16)

b) Ibu: Apakah kamu sudah mengerjakan PR-mu? Anak: Belum Ma.

Kalimat yang diujarkan oleh orang tua adalah kalimat tanya. Dengan demikian modus dari kalimat tersebut adalah menanyakan informasi yang berkaitan dengan pekerjaan rumah. Meskipun begitu, maksud yang ingin dituturkan oleh orang tua adalah memberi perintah kepada anaknya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Dengan demikian, fungsi dan maksud kalimat muncul secara tidak langsung dalam ujaran orang tua pada contoh di atas. Untuk itulah, ujaran orang tua yang muncul pada contoh (b) adalah tindak tutur tidak langsung.

2.3.1.2 Fungsi Tindak Tutur

Fungsi dalam tindak tutur muncul melalui maksud yang muncul dari tuturan. Fungsi tindak tutur dirancang oleh Searle (Levinson, 1983: 240) yang ingin mengambarkan bahwa tindak tutur tidak hanya melihat makna dari bentuk ujaran penutur tetapi juga pada intensi penutur terhadap ujaran yang dituturkan. Fungsi tindak tutur terdiri dari lima jenis yaitu deklaratif, representatif, komisif, direktif, dan ekpresif (Yule, 1996: 53 - 54). Berikut penjelasan mengenai fungsi tindak tutur.

1. Deklaratif

Deklaratif adalah tindak tutur yang mengandung maksud deklarasi atau pemberitahuan yang mampu merubah dunia. Yule (1996: 53) menjelaskan bahwa

(17)

melalui bentuk deklaratif, penutur merubah dunia melalui perkataan. Leech (1983: 165) menambahkan maksud-maksud yang tergolong ke dalam deklaratif yaitu memutuskan, membatalkan, melarang, memberi maaf, menunda, menginterpretasikan, menggeneralisasikan, membebaskan, membuktikan, dan menerka. Salah satu contoh ujaran yang menggunakan fungsi deklaratif memutuskan adalah seorang pendeta yang berkata I hereby declare you husband and wife.

2. Representatif

Representatif (asertif) yaitu ujaran yang menunjukkan kepercayaan penuturnya seperti statements of fact, assertions, conclusions, and descriptions. Leech (1983: 164) menyatakan bahwa maksud yang tergolong ke dalam maksud representatif adalah menyatakan pendapat, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberi penilaian, mengklasifikasikan, mendeskripsikan, mendefinisikan, membandingkan, mengontraskan, menyimpulkan, menjelaskan, dan memberi contoh. Ujaran „it was a warm Sunday‟ merupakan contoh fungsi representatif memberikan pendapat.

3. Komisif

Komisif yaitu ujaran yang menunjukkan kesungguhan penutur terhadap ujarannya dan akan melakukannya dalam tindakan berikutnya. Dengan demikian, dalam penuturan fungsi komisif, penutur menyatakan maksud untuk memberikan tindakan atau ujaran lanjutan berkaitan dengan apa yang dituturkan sebelumnya.

(18)

Maksud yang dikandung dalam fungsi komisif adalah berjanji, bersumpah, mengancam, menawarkan, mengakui. Ujaran „I will be back‟ merupakan ujaran yang mengandung maksud komisif berjanji.

4. Direktif

Direktif yaitu ujaran yang menginginkan petutur untuk melakukan tindakan atas apa yang dituturkan penutur seperti memerintah, menyuruh, bertanya, memohon, menuntut, menyarankan, menantang, meminta, mengundang (Leech 1983: 164). Ujaran seperti “Do not make a noise while I am sleeping!” merupakan ujaran yang mengandung fungsi direktif. Melalui ujaran tersebut, penutur menyampaikan perintah yang harus dituruti oleh lawan tutur, yaitu untuk diam selama penutur tidur.

5. Ekspresif

Tindak tutur ekspresif merupakan ujaran yang mempunyai fungsi untuk menunjukkan perasaan penutur. Tindak tutur ini menggambarkan keadaan psikologis penutur baik saat penutur tersebut merasa senang, sakit, suka, bahagia, sedih, dan sebagainya (Cutting, 2002: 17). Fungsi ekspresif bisa saja diakibatkan oleh tindakan penutur maupun petutur. Namun ujaran yang dilontarkan penutur merupakan pengalaman pribadinya. Leech (1983: 164) menyebutkan bahwa ujaran yang mempunyai maksud memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, memperingati, berargumentasi, memberi saran atau nasihat, dan berbelasungkawa tergolong ke dalam fungsi ekpresif. Salah satu contoh ujaran

(19)

yang merupakan ilokusi ekspresif adalah ujaran „Thank you so much for the help‟ yang mempunyai maksud berterima kasih.

2.3.1.3 Makna Tindak Tutur

Terdapat tiga pembagian makna tindak tutur bedasarkan Austin (Cutting, 2002: 16) yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Ketiga komponen ini mempunyai ciri khas tersendiri yang akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Makna Lokusi (Locutionary Act)

Lokusi adalah „what is said‟ (Cutting, 2002: 16) atau dengan kata lain ujaran yang diucapkan oleh penutur, baik bentuknya itu pernyataan, pertanyaan, maupun perintah. Sementara Levinson (1983: 236) menjelaskan bahwa lokusi adalah “the utterance of a sentence with determinate sense and reference.” Pengertian yang bisa didapatkan dari penjelasan Levinson ini adalah setiap ujaran yang mengandung makna ilokusi mempunyai rujukan langsung dalam bentuk ujarannya. Ujaran tersebut bisa saja berbentuk imperatif, deklaratif, atau pun interogatif. Untuk melihat makna lokusi, ujaran-ujaran ini dilihat struktur dan bentuknya secara sintaktis maknanya secara semantis.

Makna lokusi dapat diperlihatkan melalui contoh ujaran “Saya tidak punya uang.” Dalam contoh ini, dapat diperhatikan bahwa ujaran yang dituturkan merupakan sebuah kalimat deklaratif. Kalimat dengan bentuk deklaratif mempunyai modus untuk memberikan informasi kepada lawan tutur. Dengan demikian, makna lokusi dari contoh tuturan tersebut adalah penutur tidak

(20)

memiliki uang sebagaimana yang ia lontarkan dalam ujarannya. Perlu diperhatikan bahwa makna lokusi seperti ini hanya akan bisa didapatkan jika tuturan dari penutur sesuai dengan konteks yang muncul. Penutur menuturkan ujaran tidak memiliki uang sebagai informasi kepada lawan tuturnya bahwa dia tidak memiliki uang.

2. Makna Ilokusi (Ilocutionary Act)

Austin menjelaskan ilokusi sebagai „the act of saying something‟ (Cutting, 2002: 16) atau tindakan yang muncul melalui sebuah ujaran. Searle pun menjelaskan bahwa tindak ilokusi adalah apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu baik maksud yang merupakan tindakan menyatakan berjanji, meminta maaf, mengancam, dan sebagainya (Nadar, 2009:14). Pengertian ini menunjukkan, tindak ilokusi tidak bisa hanya dimaknai melalui bentuk ujaran saja. Tindak ilokusi semestinya menyingkap makna yang muncul secara eksplisit dalam ujaran serta makna yang secara implisit turut serta dalam ujaran tersebut.

Makna ilokusi dapat diperhatikan dalam ujaran seperti “Tong sampahnya sudah penuh.” Jika ujaran ini dilihat dari sisi lokusinya maka ujaran ini hanya akan mempunyai bentuk deklaratif dengan modus memberi informasi kepada lawan tutur bahwa tong sampah yang dimaksudkan telah penuh. Jika pemaknaan secara kontekstual yang spesifik dilekatkan pada ujaran ini, maka makna ini mempunyai tindak ilokusi. Jika tuturan ini dilontarkan oleh majikan kepada pembantunya, maka ujaran ini menjadi perintah kepada pembantu untuk

(21)

mengosongkan tong sampah. Dengan demikian makna ilokusi adalah makna yang mampu memberikan daya kepada lawan tutur untuk melakukan sesuatu sesuai dengan sebuah penuturan yang muncul.

3. Makna Perlokusi (Perlocutionary act)

Levinson (1983: 236) menyebutkan bahwa tindak perlokusi adalah efek yang muncul pada pendengar terhadap ujaran yang didengarkan. Dengan demikian, makna yang muncul dari tuturan tidak hanya berhenti pada maksud apa yang yang disampaikan penutur melalui ujarannya tetapi juga kemampuan maksud tersebut ditanggapi oleh petutur. Efek yang muncul bisa saja sesuai dengan harapan penutur bisa saja tidak. Untuk itu, Austin (Cutting, 2002: 17) menyebutkan bahwa daya perlokusi sebagai perlocutionary effect karena makna tuturan dilihat dari tanggapan petutur terhadap sebuah ujaran.

Sebagai contoh adalah ujaran “Kebakaran!” Jika tuturan ini disampaikan oleh orang yang ingin meminta tolong untuk memadamkan api, maka efek perlokusi yang muncul dari ujaran ini bisa saja menjadi perlokusi yang sesuai dengan maksud penutur dan berlawanan. Petutur bisa saja bergegas membantu penutur untuk memadamkan api akibat kebakaran. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan bahwa melalui ujaran meminta tolong yang dituturkan penutur, petutur memberikan efek yang berbeda. Petutur bisa saja memberikan efek perlokusi berupa lari ketakutan karena merasa takut akan menjadi korban kebakaran.

(22)

Efek perlokusi dapat dikatakan sebagai bentuk nyata dorongan tuturan kepada petutur sehingga memberikan efek. Kemungkinan akan adanya efek yang tidak berkesesuaian dengan maksud dari penutur bisa saja muncul. Hal ini kembali kepada konteks situasi tutur yang melekat dari ujaran yang muncul dalam peristiwa tutur.

2.3.2 Teori Prinsip Kerjasama

Prinsip kerjasama merupakan teori gagasan dari Grice (1975). Dalam teori ini, terdapat empat aspek prinsip kerjasama yang semestinya dipenuhi oleh penutur kepada petutur dan sebaliknya dalam hal informasi yang diberikan. Ada kalanya penutur tidak memberikan informasi yang sesuai baik dari jumlah maupun dari sisi lain sehingga muncul implikatur percakapan. Implikatur adalah informasi yang kemungkinan disiratkan oleh penutur sehingga informasi ini tidak muncul dalam bentuk ujaran. Teori prinsip kerjasama ini juga turut disampaikan oleh Leech (1983) dimana ia menjelaskan empat maksim percakapan dalam prinsip kerjasama.

1. Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)

Maksim ini menghendaki penutur untuk memberikan informasi dengan jumlah yang tepat. Informasi yang diberikan oleh penutur diharapkan cukup dan memadai sebagaimana dibutuhkan oleh petutur. Wijana (1996: 46) menjelaskan bahwa jumlah informasi yang diberikan semestinya tidak kurang ataupun lebih

(23)

dari apa yang diharapkan sehingga truth value dari tuturan tersebut terjaga. Perhatikan contoh berikut.

a) Ibu: Kamu makan apa? Anak: Saya makan apel.

Contoh ujaran yang dituturkan oleh anak adalah ujaran yang memenuhi maksim kuantitas. Informasi yang diberikan merupakan informasi yang tepat dan sesuai dengan apa yang diminta oleh ibu. Jika informasi yang diberikan anak berlebihan, seperti menjawab dengan “saya makan apel yang ibu beli karena lapar sekali” maka tuturan anak bisa dikatakan melanggar maksim kuantitas. Hal ini dikarenakan informasi yang disediakan anak melebihi kebutuhan informasi yang diminta ibu.

2. Maksim Kualitas (Maxim of Quality)

Maksim kualitas mendorong penutur untuk menuturkan sesuatu yang benar. Kebenaran yang dimaksudkan adalah kebenaran yang sesuai dengan fakta dan bukti-bukti yang mampu mendukung kebenaran tersebut. Contoh maksim kualitas akan diberikan sebagai berikut.

b) Guru: Berapa dua dikali tiga? Siswa: Empat Pak.

Dari tuturan di atas dapat dilihat bahwa siswa telah melanggar maksim kualitas. Secara fakta, jika tiga dikalikan dengan dua, maka hasil yang akan didapatkan adalah enam. Namun siswa memberikan jawaban empat yang secara fakta adalah sebuah informasi yang salah. Jika siswa ingin memberikan informasi

(24)

yang benar secara maksim kualitas, maka jawaban yang akan diberikan adalah enam.

3. Maksim Hubungan (Maxim of Relevance)

Maksim relevansi merupakan maksim yang menunjukkan bahwa tuturan seseorang semestinya berkaitan dengan tuturan yang sebelumnya. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa jawaban yang diberikan kepada penutur merupakan sebuah kerjasama untuk memberikan kontribusi yang sesuai dengan percakapan yang terjadi. Untuk menggambarkan maksim ini perhatikan contoh berikut.

c) Andi: Apakah ayah sudah pergi? Ani: Motornya tidak ada.

Jika diperhatikan, Ani telah melanggar maksim hubungan karena jawaban yang diberikan berkenaan dengan kendaraan ayah, bukan kegiatan ayah. Secara literal, pertanyaan Andi tidak mempunyai keterkaitan dengan kendaraan yang biasanya digunakan ayah untuk pergi. Meskipun begitu, jika dilihat dari maksud ujaran, maka dapat dikatakan bahwa Ani masih melakukan prinsip kerjasama dengan Andi. Kenyataan bahwa ayah pergi selalu menggunakan motornya memberikan implikasi bahwa ayah sudah pergi. Hal inilah yang diungkapkan Grice (1975) bahwa prinsip kerjasama tidak hanya bisa dilihat dari bentuk ujaran tetapi juga dari maksud dan hal yang terkait dengan ujaran tersebut.

(25)

4. Maksim Cara (Maxim of Manner)

Maksim cara mengharuskan penutur untuk menyampaikan informasi dengan cara yang tepat, tidak bertele-tele, berurutan, dan jauh dari keambiguan. Maksim cara lebih menggarisbawahi tentang tata cara penyediaan informasi. Dengan demikian dapat dikatakan maksim cara akan sangat dipengaruhi oleh maksim-maksim yang sudah ada sebelumnya. Berikut adalah contoh ujaran yang yang mengandung maksim cara.

d) Ayah: ibu sedang masak apa?

Ibu: Ibu sih masih belum mau makan batu atau pasir, jadinya ibu malam ini masak sayur dan ikan saja.

Dari tuturan yang disampaikan oleh ibu, terlihat bahwa jumlah informasi yang diberikan oleh ibu sangat berlebihan. Bahkan ibu memberikan jawaban yang tidak langsung menjawab ayah. Ibu menjelaskan terlebih dahulu bahwa dia tidak mempunyai keinginan untuk memakan pasir dan batu. Tata cara ibu untuk menjawab pertanyaan merupakan cara yang tidak ringkas. Melihat keadaan ini maka ujaran tersebut adalah ujaran yang melanggar maksim cara.

2.3.3 Prinsip Kesantunan Leech

Prinsip kesantunan merupakan bagian dari konsep retorika interpersonal yang muncul dalam ujaran. Jika prinsip kerjasama fokus pada informasi dituturkan kepada lawan tutur, maka prinsip kesantunan terfokus pada tuturan sebagai bentuk etiket penutur kepada lawan tutur dalam mengujarkan sesuatu. Prinsip kesantunan dirancang oleh Leech untuk menjelaskan bahwa ada kalanya penuturan sesuatu

(26)

tidak hanya terikat pada fungsi dan maknanya saja. Hal ini kembali lagi kepada faktor konteks situasi yang mengikat tuturan yang muncul dalam peristiwa tutur tertentu. Pengaruh interpersonal yang melekat pada interlokutor akan menjadi penentu penggunaan prinsip kesantunan. Terdapat enam maksim yang masuk ke dalam prinsip kesantunan sebagaimana ditulis oleh Leech (1983).

1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Maksim ini menggariskan bahwa penuturan sesuatu difokuskan untuk meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Wijana (1996: 56) menyatakan bahwa dalam maksim kebijaksanaan semakin panjang sebuah tuturan maka semakin sopan pula tuturan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tuturan “saya mohon anda berkenan untuk datang ke rumah saya” akan jauh lebih santun dibandingkan dengan ujaran “datang ke rumah saya!”

2. Maksim Kemurahan Hati (Generosity Maxim)

Maksim kemurahan hati atau maksim kedermawanan (Wijana, 1996: 57) mewajibkan setiap peserta ujaran untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Tuturan “anda harus meminjami saya uang” adalah tuturan yang tidak mengikuti kaidah maksim kedermawanan. Penutur mendapatkan keuntungan akibat tuturan tersebut sementara petutur mendapatkan kerugian.

(27)

3. Maksim Penghargaan (Approbatin Maxim)

Maksim penghargaan atau maksim penerimaan biasanya muncul dalam bentuk kalimat ekspresif. Kalimat dengan fungsi ekspresif diharapkan mampu memenuhi maksim penghargaan dimana peserta penuturan berujar untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak homat kepada orang lain. Penutur yang mengujarkan “Suaramu bagus sekali” merupakan penutur yang memenuhi maksim penghargaan karena ujarannya bermaksud untuk memuji suara lawan tutur. Sebagai balasannnya, tuturan yang akan mengikuti maksim penghargaan adalah ujaran seperti “Suara saya tidak sebagus itu.” Tuturan yang muncul dengan mempertimbangkan maksim penerimaan akan selalu memberikan masukan positif kepada lawan bicara.

4. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

Maksim kerendahan hati (Wijana 1996: 58) merupakan maksim yang mengharuskan peserta dalam sebuah peristiwa tutur mengujarkan ujaran yang memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa homat pada diri sendiri. Tuturan “Bantuan anda sangat berarti bagi saya” merupakan tuturan yang bermaksud untuk memberikan pujian atau rasa hormat kepada lawan tutur. Ujaran berupa “Bantuan saya tidak ada apa-apanya” merupakan balasan yang sesuai dengan maksim kerendahan hati karena penutur meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

(28)

5. Maksim Kecocokan (Agreement Maxim)

Maksim kecocokan mengharuskan partisipan dalam persitiwa tutur untuk memaksimalkan pemufakatan dan kecocokan antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. Wijana (1996: 60) mengutarakan bahwa dalam maksim kecocokan partisipan tuturan tidak harus senantiasa sepenuhnya setuju dengan pendapat lawan tuturnya. Jika seorang penutur melontarkan “saya tidak suka jeruk” maka jawaban berupa “saya juga, hanya suka yang manis saja” merupakan ujaran yang memenuhi maksim pemufakatan. Secara parsial, lawan tutur setuju dengan ujaran sebelumnya. Untuk itulah, ujaran yang masih menunjukkan bahwa penutur berusaha untuk setuju dengan lawan tuturnya dapat digolongkan ujaran yang sesuai dengan maksim kecocokan.

6. Maksim Simpati (Sympathy Maxim)

Maksim simpati mendorong penutur dan lawan tutur dalam sebuah persitiwa tutur untuk mengujarkan tuturan yang memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati (Wijana 1996: 60). Jika salah satu partisipan dalam percakapan mendapatkan kesuksesan makna lawan tutur semestinya memberikan ucapan selamat. Sebaliknya, jika lawan tutur mengalami kesusahan atau musibah, maka penutur semestinya mengucapkan perasaan sedih atau rasa belasungkawa. Untuk itu ujaran “selamat atas kelahiran putra pertamamu Jono” merupakan ujaran yang mengikuti maksim simpati untuk pengalaman baik yang dialami oleh lawan tutur.

(29)

2.4 Model Penelitian

Tindak Tutur Tuturan Orang Tua dan

Anak Pendekatan deskriptif-kualitatif Metode observasi -dokumentasi Supernanny Pragmatik

Teori Tindak Tutur Austin (1962), Searle (1975), dan Levinson

(1983)

Teori Prinsip Kerjasama Grice (1975) Teori Prinsip Kesantunan Leech (1983) Temuan Penelitian Analisis Data Jenis Tindak Tutur Maksim dan Hubungan Prinsip Makna Tindak Tutur Fungsi Tindak Tutur

(30)

Penelitian tentang tindak tutur dalam acara realitas Supernanny menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Pada dasarnya, pendekatan deskriptif-kualitatif menerapkan penjabaran secara deskriptif hasil temuan dan analisis yang dilakukan pada data-data yang ditemukan. Data yang diambil adalah ujaran-ujaran yang muncul dalam interaksi dan komunikasi orang tua dan anak dalam acara realitas Supernanny. Acara ini merupakan acara yang sarat dengan konteks situasi karena orang tua akan mengujarkan sesuatu dengan konteks yang ada. Karena keberadaan konteks situasi tutur sangat berpengaruh dalam ujaran orang tua dan anak, maka teori utama yang digunakan adalah teori pragmatik, dengan lebih memfokuskan pada teori tindak tutur. Sesuai dengan konsep konteks situasi tutur dalam pragmatik, teori tindak tutur akan mampu mendukung penelitian ini dengan menjabarkan bentuk, fungsi, dan makna tindak tutur sebagaimana telah dikonsepkan oleh Austin (1962) dan Searle (1975). Teori tindak tutur didukung oleh teori Levinson (1983) untuk menyokong penjelasan dan penelahan tindak tutur yang muncul dalam ujaran antara orang tua dan anak.

Lebih jauh lagi, dalam penelitian ini, tindak tutur bukanlah satu-satunya aspek yang dianalisis. Aspek prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan juga dianalisis. Dalam komunikasi orang tua dan anak, dua hal ini turut serta menjadi acuan dalam komunikasi. Prinsip kerjasama merupakan teori yang diciptakan oleh Grice (1975). Sementara itu, prinsip kesantunan merupakan temuan dari ilmuwan Leech (1983) untuk menanggapi bahwa tidak selamanya pengujaran sesuatu oleh penutur akan mengikuti prinsip kerjasama. Melalui prinsip kesantunan, penutur akan mempertimbangkan nilai kesantunan yang mampu disampaikannya dalam

(31)

tuturan dengan mempertimbangkan konteks situasi yang ada. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini akan dibahas pula keterkaitan antara prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan dengan melihat keterkaitan antara maksim-maksim yang membangun kedua prinsip tersebut. Dengan mengaitkan kedua prinsip tersebut, analisis yang dilakukan akan menjelaskan hubungan antara prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan yang muncul dalam tuturan orang tua dan anak.

(32)

43 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif. Penelitian deskriptif menekankan pada penjelasan secara sistematis dan faktual. Penelitian ini menitikberatkan pada penjabaran atau pendeskripsian mengenai temuan penelitian. Untuk itulah dalam penelitian ini analisis akan berupa penjabaran data melalui analisis dengan menggunakan teori yang sudah ada.

Sementara itu, penelitian secara kualitatif lebih menekankan pada penjabaran melalui kata-kata daripada deretan angka-angka. Penelitian seperti ini memang menjadi jenis penelitian yang banyak digunakan dalam penelitian bidang tertentu terutama bidang sosial layaknya sejarah, antropologi, ilmu , dan bahasa (Miles dan Huberman, 1992).

3.2 Jenis dan Sumber Data 3.2.1 Jenis Data

Jenis data ini adalah data primer (primary data). Data yang dikumpulkan didapatkan langsung dari seumber asli yaitu acara Supernanny. Data-data yang didapatkan ini akhirnya dikumpulkan sehingga menjadi kumpulan data kualitatif. Data yang dikumpulkan merupakan ujaran orang tua dan anak yang muncul dalam acara realitas Supernanny. Data berupa ujaran tersebut langsung dikumpulkan melalui proses transkripsi dari acara realitas Supernanny.

(33)

Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi non partisipasi. Peneliti hanya memperhatikan dan mengambil data tanpa ikut serta dalam kegiatan bertutur.

3.2.2 Sumber Data

Sumber data yang dipilih dalam penelitian ini adalah tuturan orang tua dan anak dalam acara realita Supernanny. Acara ini merupakan program pengasuhan anak yang pertama kali ditayangkan di Inggris pada tahun 2004. Semenjak penayangan perdananya, acara ini menarik perhatian pemirsa di negara asalnya. Acara ini menarik hingga 3,1 juta penonton dengan 14% share audience dalam bentuk rujukan dan perbincangan. Situs-situs internet yang berkaitan dengan ulasan acara televisi layaknya situs www.imdb.com dan www.commonsensemedia.org mencantumkan ulasan yang baik mengenai acara ini. Tidak mengherankan, kesuksesan acara ini akhirnya membuat program ini turut ditayangkan dan bahkan diadaptasi di delapan belas negara.

Pada tahun 2006, Metro TV menayangkan musim kedua dari acara realitas ini. Acara Supernanny ini ditayangkan tanpa merubah konsep ataupun konten. Meskipun begitu, ada beberapa bagian sensor yaitu sensor dalam bentuk ucapan yang tidak layak. Dengan mempertimbangkan bahwa tidak ada perbedaan yang sangat besar dari penayangan acara asli dengan penayangan yang muncul di televisi local, maka penulis memlih musim kedua Supernanny sebagai sumber data dalam penelitian ini.

(34)

Acara ini mempunyai konsep pengasuhan anak-anak. Orang tua yang mempunyai masalah dalam berkomunikasi dengan anak mereka meminta tolong ahli pengasuhan anak, Jo Frost untuk membantu mereka. Acara ini menampilkan orang tua yang kesulitan berbicara dengan anak-anak mereka mendapatkan bantuan dan arahan dari ahli pengasuhan. Secara format, dalam acara ini muncul seorang pengasuh bernama Jo. Kedatangan Jo Frost ke berbagai keluarga didasarkan pada permintaan orang tua untuk mendapatkan pertolongan. Teknik yang digunakan Jo adalah memberikan masukan dan arahan kepada orang tua tentang cara berbicara kepada anak-anak. Berkat keberhasilan teknik pengasuhan tersebut, acara ini bertahan selama delapan tahun dengan rating yang mengesankan.

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan instrumen yang dapat membantu proses penayangan dan analisis data. Untuk instrumen pengumpulan data, serial realitas Supernanny diunduh dari www.youtube.com menggunakan www.keepvid.com. Acara yang telah berhasil diunduh ini ditayangkan di komputer dengan menggunakan media pemutar video yaitu VLC Video Player. Dari penayangan ini, percakapan yang muncul antara orang tua dan anak ditranskripsi dari hasil menayangkan dan mendengar percakapan acara yang sudah diunduh. Proses transkripsi dilakukan secara manual dengan mendengarkan percakapan menggunakan headset yang kemudian ditulis di lembar transkripsi tanpa menggunakan bantuan alat transkripsi. Alat tulis,

(35)

lembar transkripsi dan lembar verifikasi menjadi instrumen yang membantu peneliti dalam menganalisis data. Instrumen penting lainnya dalam penelitian ini adalah kemampuan kognitif peneliti sebagai human instrument untuk memilah, memilih, dan menelaah data. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teori yang sudah ada untuk menemukan tindak tutur, prinsip kerjasama, dan prinsip kesantunan.

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dan dokumentasi. Sosiowati (2013: 129) menulis bahwa melalui metode dokumentasi data yang berkaitan dengan penelitian, kemudian dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang sudah ditentukan. Metode ini serupa dengan metode simak yang dituliskan oleh Sudaryanto (1993: 133). Sudaryanto memaparkan bahwa dalam metode simak, peneliti menyimak penggunaan bahasa yang diteliti. Berdasarkan hal ini, penyimakan dilakukan pada ujaran-ujaran yang muncul dari orang tua dan anak dalam acara realitas Supernanny. Melalui penyimakan ini, peneliti akan memperhatikan aspek konteks yang mendukung munculnya ujaran-ujaran tersebut.

Sementara itu, untuk teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik catat. Teknik ini digunakan sesuai dengan metode yang digunakan dalam metode pengumpulan data. Mahsun (2007: 243) menjelaskan bahwa teknik catat dilakukan dengan menuliskan apa yang didapatkan dari data atau informan yang menjadi objek penelitian. Melalui teknik ini, data yang telah dikumpulkan

(36)

diidentifikasi, disusun, dan dikelompokkan untuk tahap analisis lebih lanjut. Secara sistematis dan konkret teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut.

1. Menentukan episode dari serial Supernanny yang diteliti.

2. Melakukan pemutaran episode yang telah ditentukan melalui media yang tersedia. Data yang terkumpul akan ditandai dengan judul acara, penanda musim penayangan, episode, dan nomor urutan tuturan seperti (SM2E01/180-189).

3. Melakukan penulisan transkripsi percakapan dari sumber data yang sudah diputar.

4. Melakukan transliterasi pada data yang terkait berdasarkan hasil transkripsi percakapan yang telah didapatkan.

5. Memahami dan mengumpulkan data yang sesuai dengan rumusan masalah. 6. Mengelompokkan data berdasarkan jenis, fungsi dan makna tindak tutur.

Pengelompokkan data juga dilakukan berdasarkan maksim-maksim prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.

7. Memberikan catatan dan penandaan pada kelompok data yang sudah dipilah. 8. Melakukan proses verifikasi dan interpretasi data lalu dijadikan bahan

penelitian.

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Sebuah penelitian sudah semestinya mempunyai alur yang sistematis. Untuk itu, langkah-langkah yang sesuai dengan analisis tindak tutur yang muncul dalam acara realita Supernanny sangat diperlukan. Pendekatan yang digunakan dalam

(37)

penelitian ini adalah pendekatan deskriptif-kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan rumusan masalah dan landasan teori yang sudah dituliskan sebelumnya. Sosiowati (2013: 131) menulis bahwa metode kualitatif sangat sesuai digunakan untuk penelitian dengan pendekatan kualitatif. Hal ini dikarenakan dengan metode analisis kualitatif, parameter tindak tutur, prinsip kerjasama dan kesantunan dapat ditentukan dalam bentuk penjabaran data melalui teori yang ada.

Teknik yang digunakan dalam analisis data dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Analisis unit ujaran yang dituturkan oleh orang tua dan anak untuk

memperoleh jenis (Levinson, 1983), fungsi (Searle, 1975) dan makna (Austin, 1962) tindak tutur.

2. Menentukan dan menganalisis maksim-maksim prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan yang muncul melalui ujaran orang tua dan anak. Analisis empat maksim prinsip kerjasama menggunakan teori prinsip kerjasama Grice (1975). Sementara itu, enam maksim dalam teori prinsip kesantunan Leech (1983) digunakan untuk menelaah prinsip kesantunan dalam data. Kedua teori ini dikaitkan untuk melihat hubungan prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.

3.6 Metode danTeknik Penyajian Hasil Analisis

Dalam penyajian analasis data terdapat dua metode yaitu metode formal dan informal (Sudaryanto, 1993: 144). Metode formal merupakan penyajian hasil analisis data melalui penggunaan lambang, tabel, diagram atau tanda. Sebaliknya,

(38)

penggunaan metode informal adalah penyajian hasil analisis data melalui penjelasan secara naratif. Penggunaan untaian kata, klausa, dan kalimat akan menjadi bentuk dari penyajian naratif. Penjelasan secara informal ini diharapkan mampu menjabarkan keterkaitan antara data dan teori sehingga dapat dijelaskan temuan antara kedua hal tersebut. Melalui metode ini, pengolahan data akan mampu direpresentasikan secara baik.

Secara konkret, teknik penyajian hasil analisis data dari penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut.

1. Data yang telah didapatkan dianalisis dengan menggunakan teori yang telah ada.

2. Menafsirkan dan membandingkan data yang ditemukan dengan pola yang ditunjukkan oleh teori dan kajian pustaka. Penafsiran dan pembandingan ini dilakukan dengan menjabarkan aspek-aspek dari data yang mampu bahkan tidak mampu dijawab oleh teori. Sesuai dengan metodenya, penjelasan akan dilakukan secara inormal dengan menggunakan penjelasan naratif sesuai dengan analisis.

3. Menyimpulkan hasil analisis dengan memerhatikan keterkaitan teori dan data yang ada. Kesimpulan yang ditarik merupakan hasil dari pengamatan dan interpretasi data yang telah dianalisis.

Referensi

Dokumen terkait

Hasonlóképpen, mivel az aktívabb hitelezési tevékenység normál gazdasági körül- mények között magasabb jövedelmezőséget jelent, ezért azzal a hipotézissel élünk, hogy

Semakin tinggi penambahan konsentrasi garam dan konsentrasi asam cuka makanilai pH rusip semakin turun.Kedua perlakuan mendukung pertumbuhan bakteri asam laktat yang

ketupat ini, sudah menjadi tradisi warga kampung Jaton yang dilaksanakan pada setiap tahunnya, sejak dahulu kala yang diwariskan dari nenek moyang atau leluhur mereka2. Oleh

Dari hasil analisis terlihat bahwa saat switching kapasitor bank terjadi lonjakan arus atau arus inrush dan frekuensi osilasi pada setiap step pemasukan kapasitor

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk simulator yang dikembangkan dapat menampilkan karakteristik motor induksi tiga fase sesuai dengan hasil simulasi SIMULINK, dan

Melalui penelitian ini, dikembangkan media pembelajaran fisika berbasis komputer pokok bahasan arus dan tegangan listrik bolak-balik untuk siswa SMA/MA kelas XII dengan

Hal ini mengindikasikan sampai saat ini terjadi kekosongan hukum dalam pengaturan tentang kegiatan penghimpunan dana haji bagi nasabah yang akan melaksanakan ibadah haji

1 Pengembangan berbagai strategi pemberdayaan untuk interaksi dengan orang dari berbagai latar belakang 2 Identifikasi peran faktor budaya sosial dan perilaku dalam yankes