ii
TESIS
TUTURAN ORANG TUA DAN ANAK
DALAM ACARA
SUPERNANNY:
SEBUAH KAJIAN TINDAK TUTUR
ARIF RAHMAN HADI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
iii
TUTURAN ORANG TUA DAN ANAK DALAM ACARA SUPERNANNY:
SEBUAH KAJIAN TINDAK TUTUR
ARIF RAHMAN HADI NIM 1390161044
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
iv
TUTURAN ORANG TUA DAN ANAK DALAM ACARA SUPERNANNY:
SEBUAH KAJIAN TINDAK TUTUR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Linguistik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
ARIF RAHMAN HADI NIM 1390161044
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
v
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 28 Januari 2016
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A. NIP 195212251979031004
Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K). NIP 195902151985102001
Pembimbing II,
Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, M. Hum. NIP 196905291999032001
Pembimbing I,
vi
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Tesis Ini Telah Diuji
pada Tanggal 28 Januari 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Nomor: ……… Tanggal ………
Ketua : Prof. Dr. I Wayan Simpen, M. Hum.
Anggota:
1. Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, M. Hum.
2. Dr. I Putu Sutama, M. S.
3. Dr. Ni Made Suryati, M. Hum.
vii
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Arif Rahman Hadi
NPM : 1390161044
Jurusan/ Program Studi : Program Studi Linguistik
Strata/ Program : S2/ Magister
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis ini benar-benar merupakan hasil
karya sendiri, bebas dari peniruan terhadap karya orang lain, kutipan pendapat dan
tulisan orang lain dirujuk sesuai dengan cara-cara penulisan karya ilmiah yang
berlaku. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ini, saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun
2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 31 Januari 2016
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Maha Lembut,
Kaya dan Maha Tinggi, berkat kasih dan sayang-Nya, penulis dapat
menyelesaikan sebuah tesis dengan judul “Tuturan Orang Tua dan Anak dalam
Acara Supernanny: Sebuah Kajian Tindak Tutur”. Karya ini ditulis untuk memenuhi persyaratan akademis dalam meraih gelar Magister Humaniora pada
Program Magister Linguistik Universitas Udayana sesuai dengan rencana yang
telah disusun sebelumnya.
Pada kesempatan ini, izinkanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada
Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr.dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, yang
telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K), atas kesempatan
yang diberikan pada penulis untuk menjadi salah satu bagian civitas akademika
Universitas Udayana.
Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Ketua Program Studi
Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Ida
Bagus Putra Yadnya, M.A, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan. Penulis
akhirnya bisa mengenyam pendidikan dan mendapatkan ilmu pengetahuan selama
belajar di Universitas Udayana.
Rasa terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. I Wayan Simpen,
ix
masukan, dorongan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini. demikian pula
kepada Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, M.Hum, selaku dosen pembimbing
kedua, yang dengan kesabaran dan ketelitian mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
Terima kasih pula kepada pembimbing akademik (PA) dan seluruh staf
pengajar atas segala ilmu, didikan, dan pengajarannya secara teori dan praktik
sehingga penulis mendapatkan wawasan baru. Kepada semua staf administrasi
dan staf perpustakaan S2 linguistik atas pelayanan dan kehangatan yang diberikan
selama penulis menjadi mahasiswa di Program Studi Magister Linguistik Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Johardi, Dt. Patiah Baringek, dan
Ibunda Muzna Ibrahim, terima kasih atas doa dan dan dukungan yang diberikan
kepada penulis secara moril dan materil. Abang Afdhal Wirahadi, kak Anne Dwi
Idma, Aghniya Mikaila Affan, uda Iqbal Hasnul Hadi, akak Widia Sari, Ikhtarina
Rahima Hadi, dan Alfi Syukrina Hadi, keluarga di Ladang Tibarau, Bandung, dan
Jakarta yang tak henti-hentinya memberikan semangat dan kebahagian dalam
melalui perjuangan.
Tidak lupa kepada teman-teman kelas Linguistik Murni Program Studi
Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih
penulis ucapkan atas saran, dukungan, dan pertemanan yang diberikan tulus dan
iklas sehingga penulis selalu termotivasi untuk belajar bahkan menulis tesis ini.
Yang terakhir, terima kasih kepada Nyoman Harry Purnama, Ismil Hamdany,
x
Ahmad Hasan, Christian David Lontoh, Bayu Rahanatha, Tommy Karinda, Cok
Istri Jayanthi Pemayun, Ni Putu Kalpikasari Wijayanti. Tidak lupa pula
teman-teman kelas A sastra Inggris 2007 UNPAD, teman-teman-teman-teman KEB-Hana Indonesia,
dan teman-teman lainnya yang tidak dapat sebutkan satu persatu. Terima kasih
karena selalu setia berada di samping penulis dalam senang dan susah sehingga
penulis tidak pernah merasakan kesepian jauh dari rumah selama berjuang di
Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Semoga karya ini dapat menjadi nilai lebih bagi Program Studi Magister
Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis berharap tesis ini
mampu menambah sederetan penelitian linguistik, khususnya dalam bidang
pragmatik. Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna dan masih
memiliki kelemahan dan kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik yang
membangun penulis harapkan guna melengkapi tulisan ini ke arah yang lebih
baik.
Nusa Dua, Januari 2016
xi
ABSTRAK
Penelitian dengan judul “Tuturan Orang Tua dan Anak dalam Acara Supernanny: Sebuah Kajian Tindak Tutur” ini menganalisis tuturan yang muncul dalam komunikasi orang tua dan anak. Penelitian terhadap tuturan yang muncul dalam acara realitas ini dilandaskan pada teori pragmatik, terutama pada teori jenis tindak tutur (Levinson, 1983), fungsi tindak tutur (Searle, 1969), makna tindak tutur (Austin, 1962), prinsip kerja sama (Grice, 1975), dan prinsip kesantunan (Leech, 1989).
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif-kualitatif secara pragmatis. Sumber data adalah data lisan dalam 17 episode pada musim kedua acara Supernanny. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi dan dokumentasi dengan analisis melalu cara reduksi data, menyusun data secara sistematis, pengklasifikasian data, dan melakukan analisis data. Penyajian hasil analisis dilakukan dengan menggunakan metode formal dan informal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tindak tutur yang muncul adalah (a) tindak tutur langsung dan (b) tindak tutur tidak langsung. Orang tua menggunakan kedua jenis tindak tutur secara merata karena kebutuhan orang tua untuk menyatakan maksud dari kedua jenis tindak tutur. Sementara itu, anak lebih cenderung menggunakan jenis tindak tutur langsung. Penggunaan tindak tutur langsung cenderung dipahami secara literal oleh anak.
Fungsi tindak tutur dalam acara realitas ini ditemukan fungsi (i) deklaratif „ketidaksukaan‟. Orang tua lebih menunjukkan penggunaan fungsi yang lebih luas dibanding anak karena hirarki sosial yang ada. Fungsi ekspresif adalah fungsi yang paling sering digunakan yang mana orang tua lebih sering menggunakan fungsi ekspresif others centered karena peran sosial orang tua sebagai pendidik dan pengayom anak. Sementara anak-anak cenderung menggunakan self centered karena kebutuhan untuk menyampaikan perasaan.
Makna tindak tutur yang muncul adalah lokusi, ilokusi dan perlokusi. Sementara itu, untuk prinsip kerjasama ditemukan ketaatan dan pelanggaran terhadap maksim (a) kuantitas, (b) kualitas, (c) hubungan, dan (d) cara. Pada prinsip kesantunan terdapat ketaatan dan pelanggaran pada maksim (i) kebijaksanaan, (ii) kedermawanan, (iii) penghargaan, (iv) kerendahan hati, (v) kecocokan, dan (vi) simpati. Kedua prinsip ini muncul tanpa menunjukkan hubungan linear. Konteks situasi sangat memengaruhi ketaatan dan pelanggaran terhadap kedua prinsip ini, terutama hubungan orang tua dan anak serta aspek sosiokultural tampak lebih mendominasi ketaatan dan pelanggaran pada kedua prinsip ini.
xii
ABSTRACT
The research entitled “Parents and Children Speech in Supernanny: An Analysis of Speech Acts” analyzed speeches occurred in the communication between parents and children on a reality show Supernanny. Analysis on the speeches in the reality show is based on pragmatics, especially speech acts types (Levinson, 1983), speech acts functions (Searle, 1969), speech acts meanings (Austin, 1962), cooperative principles (Grice, 1975), and politeness principles (Leech, 1989).
This research was conducted under pragmatics descriptive-qualitative approach. The source of the data was speeches that appeared in seventeen episodes from season two of Supernanny. All of the data were obtained through observation and documentation methods which were reduced, systematically constructed, and classified in order to undergo further analysis. Finally, the results were presented in formal and informal method.
The result of the analysis showed that speech acts types were (a) direct speech acts and (b) indirect speech acts. Parents used both types equally to deliver purposes in their speeches while children used direct speech acts dominantly. Direct speech acts were responded rather literally by children.
Five functions of speech acts appeared were (i) declarative for „deciding‟ and „forbidding‟, (ii) representative for „stating‟, „reporting‟, and „giving assessment‟, (iii) commisive for „promising‟, „threatening‟, and „offering‟, (iv) directive for „commanding‟, „inviting‟ and „requesting‟, and (v) expressive for „thanking‟, „greeting‟, „praising‟, and „disliking‟. Parents used wide range of function to express rather than children due to the social hierarchy. Expressive was the most used function where parents used others centered to nurture their children as their social role. Meanwhile, children used self centered functions to express their emotional feelings.
Locutionary, illocutionary, and perlocutionary were the meaning appeared in the reality show. Furthermore, complying and flouting cooperative principle appeared from (a) quantity, (b) quality, (c) relation, and (d) manner maxim. On the other hand, there were complying and flouting in (i) tact, (ii) generosity , (iii) approbatin, (iv) modesty, (v) agreement, (vi) sympathy maxim. It was showed that the flouting of cooperative principle was not linear with complying politeness principle. The context had stronger boundaries with the complying and flouting of both principles. Context, especially parent-child relationship, and socio-cultural aspects, dominantly affected the principles.
xiii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... ii
PERSYARATAN GELAS MAGISTER ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v
PERNYATAAN KEASLIAN ... vi
xiv
BAB IV JENIS, FUNGSI, DAN MAKNA TINDAK TUTUR DALAM SUPERNANNY ... 50
BAB V PRINSIP KERJASAMA DAN PRINSIP KESANTUNAN DALAM SUPERNANNY ... 98
5.2.1 Maksim Kebijaksanaan ... 117
5.2.2 Maksim Kedermawanan ... 122
5.2.3 Maksim Penghargaan ... 126
5.2.4 Maksim Kerendahan Hati ... 129
5.2.5 Maksim Kecocokan ... 133
5.2.6 Maksim Simpati ... 136
xv
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 149
6.1 Simpulan ... 149
6.2 Saran ... 154
DAFTAR PUSTAKA ... 156
xvi
DAFTAR BAGAN
xvii
DAFTAR SINGKATAN
S : Supernanny
M : Musim
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Dunia pertelevisian merupakan dunia yang sangat cepat berkembang.
Perkembangan dunia pertelevisian ditandai dengan banyaknya jenis acara yang
ditayangkan selama dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu.
Salah satu contoh program yang menarik penonton adalah acara realitas. Acara
realitas merupakan salah satu bentuk acara yang akhir-akhir ini sering dan banyak
ditayangkan di televisi. Beragam acara realitas mengambil dan menampilkan
kisah hidup seseorang yang kemudian diangkat menjadi tontonan di layar kaca. Di
satu sisi, rasa penasaran penonton dipupuk dari kisah-kisah yang dekat dengan
kehidupan penonton. Alur cerita dan setting kejadian yang ditayangkan selalu
mendatangkan rasa penasaran penontonnya. Di sisi yang lain, cerita yang diangkat
dalam acara realitas sering kali menangkap dilema dan kejadian tidak terduga.
Kedua hal tersebut disatukan dalam sebuah program dengan konsep semua pelaku
yang muncul dalam serial mengatakan, melakukan, dan menyampaikan sesuatu
tanpa adanya panduan dari sutradara.
Jika dilihat dari perkembangannya, acara realitas merupakan jenis acara yang
sudah lama muncul dan menjadi program favorit dalam dunia pertelevisian. Di
Amerika sendiri, acara realitas diawali dengan penayangan acara komedi yang
mempunyai konsep „mengerjai orang‟ bertajuk Candid Camera (1948).
Orang-orang yang dikerjai ini akan menunjukkan tanggapan baik berupa kekesalan
2
hiburan yang mengangkat kejadian yang muncul dalam siatuasi tertentu dan
terekam oleh kamera tersembunyi. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan
kecanggihan dalam dunia pertelevisian, serta berkembangnya dinamika hidup
manusia, acara realitas pun ikut berubah. Pada era 90-an dunia pertelevisian barat
mulai diramaikan oleh acara realitas yang mengangkat kisah dramatis dari
tokoh-tokoh yang terekam di dalamnya. Big Brother (2000) adalah salah satu dari banyak acara realitas yang sangat sukses dan paling banyak diperbincangkan kala
itu. Kisah realitas yang diangkat adalah kisah manusia dari beragam latar
belakang dikarantina dalam sebuah rumah besar. Acara realitas ini menjadi sangat
terkenal karena belum pernah ada acara seperti ini dalam sejarah pertelevisian
dunia Barat.
Di Indonesia, acara realitas pada awalnya hanya berupa acara dengan konsep
kuis dan kompetisi. Kuis Berpacu Dalam Melodi (1952) merupakan salah satu
acara kuis lawas yang tayang perdana di Televisi Republik Indonesia (TVRI),
sebagai pionir acara realitas berjenis kuis di Indonesia. Perubahan dan
penambahan saluran televisi di Indonesia membuat acara realitas baru mulai
bermunculan dan menjadi acara yang banyak ditunggu oleh penonton lokal.
Perkembangan ini pulalah yang menjadi pintu gerbang masuknya acara realitas
asing ke Indonesia.
Salah satu acara realitas asing yang cukup berbeda dan sempat ditayangkan di
Indonesia adalah Supernanny. Acara ini muncul perdana pada tahun 2004 di Inggris dan menjadi acara yang sangat diminati di negaranya. Acara ini menjadi
3
delapan belas negara termasuk Indonesia, pada tahun 2006. Konsep yang diambil
oleh acara ini adalah rekaman kehidupan keluarga yang difokuskan pada
komunikasi orang tua dan anak. Jika membicarakan komunikasi orang tua dan
anak, maka penggunaan bahasa saat bertutur menjadi hal yang sangat disoroti
dalam acara ini.
Komunikasi orang tua dan anak merupakan sebuah proses komunikasi yang
sangat erat kaitannya dengan konteks situasi tutur. Orang tua sering kali berujar
kepada anak-anak mereka dalam konteks tertentu. Ujaran dengan fungsi
menyuruh, memuji, melarang, dan beragam fungsi ujaran lainnya dituturkan
sesuai dengan kebutuhan komunikasi orang tua dan anak. Kebutuhan komunikasi
ini tidak bisa dilepaskan dari situasi tutur yang mendorong ujaran antara orang tua
dan anak untuk muncul. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa karena konteks
situasi ini pulalah, anak akhirnya mampu memahami maksud yang disampaikan
orang tua melalui tuturannya.
Penjabaran di atas memberikan gambaran bahwa ujaran yang dituturkan oleh
orang tua dan anak adalah alat perantara untuk saling memahami satu sama lain.
Di satu sisi, anak dalam usia tertentu semestinya mengerti alasan orang tua
mengujarkan sesuatu baik dari sisi bentuk, makna, dan konteks ujaran tersebut. Di
sisi yang lain, orang tua mengujarkan sesuatu kepada anak mereka bukan hanya
karena mereka ingin melafalkan sesuatu. Para orang tua mempunyai maksud
tertentu dalam ujaran yang diharapkan mampu dimengerti oleh anak-anak mereka.
Ujaran yang dituturkan oleh orang tua layaknya sebuah tindakan fisik yang
4
Dalam linguistik, pragmatik adalah ilmu yang menelaah bahasa tidak hanya
dengan melihat struktur dan makna ujaran, tetapi juga keterkaitan ujaran dengan
aspek eksternal bahasa, yaitu saat ujaran muncul dan digunakan dalam konteks
situasi tertentu (Wijana, 1996:1). Dalam ilmu pragmatik, ujaran mempunyai
kemampuan untuk mewakili bahkan untuk „melakukan‟ tindakan. Kemampuan
ujaran untuk mewakili sebuah tindakan dikenal dengan istilah tindak tutur.
Esensi tindak tutur pada dasarnya terletak pada „tindakan‟ yang
direpresentasikan oleh ujaran. Ketika orang tua mengatakan “tutup pintunya”
kepada anak mereka, ujaran ini bukan hanya sekedar rentetan kata yang
didengarkan oleh lawan tutur. Ujaran ini memiliki sebuah daya yang mendorong
lawan tutur layaknya tindakan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anak.
Namun, tindakan ini bukanlah sebuah kegiatan fisik, melainkan daya yang muncul
dari rangkaian ujaran atau melalui kata-kata. Tindakan ini pada akhirnya akan
memberikan efek kepada pendengarnya sehingga si pendengar atau lawan tutur
tersebut bergerak untuk menutup pintu.
Lebih jauh lagi, jika dikaitkan dengan komunikasi antara orang tua dan anak,
ujaran yang dituturkan oleh orang tua tidak selamanya merupakan ujaran yang
bersifat langsung. Keberadaan konteks situasi sangat memengaruhi penutur untuk
menyatakan maksudnya secara langsung dalam tuturannya atau melalui bentuk
yang tidak langsung (Wijana, 1996: 29). Ada kalanya orang tua, sebagai penutur,
tidak langsung menuturkan maksudnya melalui kalimat yang dilontarkan. Petutur,
yang dalam konteks situasi tutur ini adalah anak, didorong untuk memahami
5
Sebagai contoh adalah seorang ibu berkata “tong sampah di dapur sudah penuh”.
Dilihat dari jenis tuturannya, maka tuturan ini digolongkan sebagai bentuk tuturan
deklaratif. Jenis tuturan dengan bentuk deklaratif umumnya merupakan tuturan
yang bersifat informatif bagi pendengarnya.
Jika pemahaman akan tindak tutur hanya terbatas pada jenis atau bentuk
tuturan saja, tanpa memperhatikan konteks yang akan mempengaruhi maksud
tuturan, maka sebuah tuturan tidak akan mampu secara sempurna menyampaikan
maksudnya. Contoh tuturan yang tertulis pada paragraf di atas memang
memberikan informasi kepada lawan tutur bahwa tong sampah yang berada di
dapur sudah penuh. Maksud secara tidak langsung dari pernyataan tersebut adalah
sebuah instruksi. Petutur, dalam konteks situasi ujaran tersebut, merupakan orang
yang selalu berkewajiban untuk membuang sampah dari dapur. Oleh karena itu,
petutur semestinya bertindak untuk membuang sampah yang ada di dapur. Dengan
demikian, ujaran yang mempunyai jenis ujaran tak langsung dapat dipahami
bukan hanya dari bentuk ujaran tetapi dari fungsi dan maknanya. Suardana (2013)
menulis bahwa pada kenyataanya, tindak tutur tidak langsung mempunyai makna
implisit. Petutur perlu memahami fungsi yang tidak muncul secara eksplisit dalam
tuturan.
Keberhasilan dalam memahami tindak tutur baik secara eksplisit maupun
implisit mampu menghilangkan hambatan komunikasi yang akan bisa dicapai
oleh penutur dan petutur (Suardana, 2013: 35). Pemahaman tindak tutur didorong
oleh pemahaman interlokutor terhadap konteks sosial dan psikologis yang
6
interlokutor untuk menuturkan ujaran yang sesuai baik dari sisi jenis, fungsi dan
maknanya. Orang tua maupun anak-anak selalu berharap bahwa dalam setiap
penuturan mereka mampu dipahami sepenuhnya oleh lawan bicara mereka. Untuk
itu, secara tidak sadar orang tua dan anak akan memilih menggunakan tindak tutur
tertentu yang mampu mewakili tindakan yang ingin mereka lakukan.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa tindak tutur memegang peran
penting dalam proses komunikasi situasi tertentu. Namun, penelaahan mengenai
tindak tutur bukanlah hal yang sederhana. Tindak tutur juga berkaitan dengan
kerjasama dan kesantunan yang terjalin antara penutur dan petutur. Wierzbicka
(1999) memberikan penjelasan bahwa setiap penutur mempunyai cara yang khas
dalam mengujarkan sesuatu. Kekhasan penuturan tergantung pada nilai-nilai yang
dianut penutur dan sejauh mana penutur memahami konteks tuturan. Dalam
konteks situasi tuturan antara orang tua dan anak, kerjasama dan kesantunan
adalah salah satu aspek yang akan muncul. Kerjasama dan kesantunan antara
orang tua dan anak tidak hanya terbatas pada kerjasama dalam bentuk sikap dan
fisik tetapi juga dalam ujaran. Ketika orang tua dan anak mengujarkan sesuatu,
mereka menuturkan sesuatu dalam jumlah dan kadar tertentu. Kerjasama dalam
memberikan informasi akan bertautan dengan kesantunan yang muncul.
Penjelasan di atas memaparkan mengenai pentingnya penelaahan tindak tutur
dalam situasi tutur tertentu, tidak terkecuali dalam komunikasi orang tua dan anak.
Tidak jarang orang tua mengujarkan berbagai macam hal seperti perintah kepada
anak mereka. Sayangnya, ujaran ini hanya mendapatkan tanggapan yang berujung
7
bertujuan untuk melawan tuturan orang tua. Akibat dari keadaan ini, tidak sedikit
orang tua pada akhirnya hanya bisa marah. Apapun yang mereka sampaikan tidak
dipatuhi oleh anak. Lebih buruk lagi, tidak jarang anak-anak menjadi individu
yang berani memberikan tanggapan yang tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh orang tua seperti umpatan dan kelakuan kasar. Hal ini merupakan
pelanggaran buruk terhadap tindak tutur, prinsip kerjasama bahkan kesantunan.
Dalam acara realitas Supernanny, permasalahan yang sering kali muncul adalah anak-anak yang tidak mau menuruti orang tuanya. Tidak jarang pula dari
tayangan acara ini diperlihatkan anak-anak dengan berani memukul orang tuanya
meskipun orang tuanya tersebut sudah melarang bahkan menyuruh mereka untuk
berhenti. Acara realitas ini ingin menujukkan bahwa penggunaan bahasa atau
tuturan yang tepat sangatlah penting. Tuturan yang diujarkan sesuai dengan
konteksnya merupakan alat yang tepat dan efektif untuk membuat anak-anak
mampu mendengarkan ujaran orang tuanya dengan baik.
Melihat bahwa ujaran yang dituturkan oleh orang tua erat kaitannya dengan
aspek situasi dan tindak tutur, maka teori tindak tutur cocok untuk menelaah
ujaran-ujaran yang muncul dalam acara realitas Supernanny. Menurut Saeed (2000: 203), tindak tutur menunjukkan bahwa tuturan merupakan bagian dari
penggunaan bahasa yang sarat dengan tujuan menyampaikan gagasan sosial.
Dengan demikian perlu digarisbawahi bahwa penuturan sebuah ujaran akan
mampu memberikan efek tindak tutur jika penutur dan petutur sama-sama
8
tersebut, hambatan dalam menangkap gagasan dari sebuah tuturan tidak perlu
muncul.
Acara realitas Supernanny merupakan gambaran yang baik dari penggunaan tuturan yang sesuai dengan konteks situasi tutur serta teknik penggunaan ujaran
yang tepat dalam komunikasi antara orang tua dan anak. Dengan
mempertimbangkan keterkaitan fakta yang terjadi pada acara realitas Supernanny
dengan teori tindak tutur dalam pragmatik, peneliti mempunyai pandangan bahwa
serial realitas Supernanny layak untuk diangkat sebagai objek penelitian tindak tutur.
1.2Rumusan Masalah
Pada bagian latar belakang telah dijelaskan bahwa komunikasi orang tua dan
anak menggunakan tuturan-tuturan yang dipengaruhi oleh konteks situasi tuturan.
Tindak tutur memegang peranan penting dalam pemahaman penutur dan petutur
terhadap ujaran yang muncul. Dengan adanya tindak tutur, maksud yang
disampaikan oleh penutur akan bisa ditangkap dengan baik oleh petutur.
Kerjasama dan kesantunan penutur menjadi aspek penting lainnya karena situasi
tutur tertentu akan menentukan maksim kerjasama dan kesantunan dalam tuturan.
Merujuk penjelasan tersebut, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
9
1) Apa sajakah jenis tindak tutur yang muncul dalam serial realitas
Supernanny?
2) Apa sajakah fungsi tindak tutur yang muncul dalam serial realitas
Supernanny?
3) Apa sajakah makna tindak tutur yang muncul dalam serial realitas
Supernanny?
4) Bagaimanakah hubungan prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan dalam
acara realitas Supernanny?
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan penelitian yang telah dirumuskan di atas, tujuan
penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Kedua tujuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menemukan, menelaah,
menganalisis, dan menjelaskan tuturan yang muncul dalam serial realitas
Supernanny dari segi tindak tutur. Tuturan yang muncul dalam serial ini merupakan tuturan yang sarat dengan situasi tutur. Secara khusus, tuturan yang
sarat dengan konteks situasi tutur tersebut akan ditelaah dari sisi jenis, fungsi, dan
makna tindak tutur serta prinsip kerjasama dan kesantunan. Kekhususan tuturan
10
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menelaah tuturan yang muncul dalam
serial realitas Supernanny melalui teori tindak tutur, teori pinsip kerjasama, dan kesantunan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
1. Menjelaskan jenis tindak tutur berdasarkan hubungan dari bentuk ujaran
dengan maksud penutur melalui ujaran yang dituturkan. Hubungan dari
bentuk dan maksud ini bisa saja berkesesuaian melalui bentuk dan maksud
yang muncul dalam bentuk yang sama atau bentuk dan maksud
mempunyai bentuk yang berbeda.
2. Menganalisis fungsi tindak tutur yang muncul dalam acara realitas
Supernanny. Analisis ini dimaksudkan untuk melihat fungsi-fungsi tindak tutur melalui berbagai konstruksi tuturan. Melalui analisis ini akan terlihat
fungsi yang muncul melalui tuturan dalam serial tersebut.
3. Memaparkan makna tindak tutur yang muncul melalui tuturan dalam serial
Supernanny. Makna yang akan dijelaskan meliputi lokusi, ilokusi, dan perlokusi dari ujaran yang muncul dalam serial tersebut.
4. Menelaah penggunaan maksim-maksim yang berkaitan dengan prinsip
kerjasama dan prinsip kesantunan dalam acara realita Supernanny. Melalui
penelaahan ini akan ditemukan maksim apa saja yang digunakan dalam
percakapan serta keterkaitan prinsip kerjasama terhadap prinsip
11
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara teoretis
maupun secara praktis. Kedua manfaat tersebut akan dijabarkan dalam penjelasan
berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
dalam model kajian pragmatik terutama dalam hal pengaplikasian teori tindak
tutur, prinsip kerjasama, dan kesantunan. Penelitian ini diharapkan mampu
memberikan gambaran mengenai tindak tutur, prinsip kerjasama, dan kesantunan
dalam konteks situasi yang spesifik, yaitu komunikasi orang tua dan anak.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan
sumbangan pemikiran dalam hal penggunaan bahasa yang tepat dalam komunkasi
antara orang tua dan anak dari sudut pandang linguistik. Dalam penelitian ini
dibahas mengenai jenis, fungsi, dan makna tindak tutur untuk menjelaskan daya
yang dikandung oleh tuturan. Disamping itu, prinsip kerjasama dan prinsip
kesantunan turut menjadi masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Dengan
demikian, pembaca penelitian ini bisa memahami dinamika dalam komunikasi
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Tindak tutur merupakan kajian yang banyak dibahas akhir-akhir ini.
Penelaahan tindak tutur dari berbagai bentuk teks dan wacana telah muncul dalam
berbagai penelitian. Salah satu peneliti yang mengangkat tindak tutur adalah
Elfiando (2000) yang berjudul “Pasambahan Mananti Marapulai di Kota Madya
Solok: Sebuah Kajian Tindak Tutur”. Penelitian dengan metode kualitatif tersebut
membahas tentang kajian tindak tutur dengan memanfaatkan korpus data dari
pasambahan mananti marapulai (meminang perempuan) yang mengambil lokasi penelitian di Kota Madya Solok. Penelitian ini menunjukkan bahwa komponen
tindak tutur yang muncul adalah tindak lokusional, makna tindak ilokusional, dan
makna tindak perlokusional. Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan
penggunaan jenis tindak tutur yaitu tindak tutur langsung dan tidak langsung,
literal dan tidak literal dalam data.
Penelitian yang dilakukan oleh Elfiando memberikan masukan pada
penelitian ini, yakni tata cara penerapan teori yang dipakai dalam menganalisis
makna tindak tutur, serta pendeskripsian data yang dianalisis melalui teknik
analisis kualitatif. Secara umum, penelitian Elfiando menggunakan teori yang
sama dengan penelitian tentang Supernanny ini. Penggunaan teori tindak tutur untuk melihat jenis dan makna tindak tutur merupakan kesamaan dari kedua
13
luas. Fungsi tindak tutur ditelaah secara lebih mendalam dengan melihat fungsi
ujaran baik sebagai deklaratif, asertif, komisif, direktif, dan ekspresif.
Peneliti lain yang cukup berkaitan dengan tuturan antara orang tua dan anak
adalah De Geer dan Tulviste (2002). Artikel dengan judul “Behaviour Regulation in The Family Context in Estonia and Sweden” ini memaparkan jenis tuturan yang muncul dari orang tua dengan latar belakang kebudayaan tertentu yaitu orang
Swedia, Estonia, dan orang Estonia di Swedia. Penelitian ini menelaah data dari
interaksi antara orang tua dan anak pada waktu makan siang yang membuat orang
tua harus mengujarkan sebuah bentuk direktif kepada anak mereka.
Ujaran-ujaran yang dituturkan oleh orang tua ketika situasi tersebut dianalisis
dengan menggunakan teori pragmatik, dengan menitikberatkan pada studi
sosialisasi pragmatik melalui metode kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini
menunjukkan bahwa situasi tutur tertentu akan sangat memengaruhi tuturan atau
ujaran yang dituturkan oleh orang tua. Bentuk, makna, dan fungsi tuturan akan
berbeda dari orang tua yang mempunyai latar belakang budaya Estonia dan
Swedia.
Tulisan tersebut merupakan tulisan yang mengangkat telaah tuturan orang tua
dan anak layaknya pada penelitian ini. Meskipun begitu, pada artikel tersebut,
fokus penelitian hanyalah pada penggunaan fungsi direktif melalui jenis tindak
tutur langsung dan tidak langsung pada konteks makan siang keluarga dengan
latar belakang budaya tertentu. Sedangkan dalam penelitian ini, komunikasi orang
tua dan anak yang diangkat tidak hanya melihat fungsi direktif saja tetapi juga
14
serta prinsip kerjasama dan kesantunan yang muncul dalam komunikasi orang tua
dan anak.
Almos (2008) menulis tesis dengan judul “Pantang dalam Bahasa
Minangkabau”. Tulisan ini merupakan sebuah analisis wacana terhadap ujaran
yang mengandung pantang. Dalam penelitian tersebut, tuturan yang berkaitan
dengan pantang dianalisis dengan menggunakan teori tindak tutur untuk
menganalisis fungsi tuturan yang menggunakan kata pantang. Analisis fungsi
pantang dalam bahasa Minangkabau tersebut menemukan tindak ilokusi yang
muncul adalah asertif, direktif, komisif, ekspresif dan deklaratif. Tindak
ilokusional asertif pantang dalam bahasa Minangkabau berfungsi untuk
menyatakan, mengeluh, memberitahukan, menyarankan. Sementara itu,
ditemukan tindak ilokusional direktif yang berfungsi memerintah, menanyakan,
dan menasihatkan. Untuk tindak ilokusional komisif, fungsi yang muncul dari
telaah penelitian tersebut hanyalah untuk bersumpah. Sedangkan tindak
ilokusional ekspresif yang muncul mempunyai fungsi untuk menyalahkan dan
memuji. Tindak ilokusional deklaratif yang ditemukan hanyalah fungsi untuk
memecat.
Penelitian Almos (2008) dan penelitian ini sama-sama menggunakan teori
tindak tutur untuk mendapatkan fungsi tuturan. Perbedaan yang mencolok adalah
penggunaan teori pendukung. Pada penelitian Almos, tidak digunakan teori
prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan layaknya penelitian mengenai
15
Simpen (2008) menulis disertasi dengan judul “Kesantunan Berbahasa pada
Penutur Bahasa Kambera di Sumba Timur”. Penelitian ini menitikberatkan pada
kesantunan tuturan yang muncul dalam Bahasa Kambera. Teori yang digunakan
adalah teori linguistik kebudayaan dan sosiopragmatik. Sementara itu, pendekatan
kualitatif, metode observasi, dan wawancara aktif adalah metode dan teknik yang
digunakan dalam pengumpulan data. Melalui penelitian ini ditemukan
kemunculan dua jenis tindak tutur yaitu tindak tutur langsung dan tidak langsung.
Sementara itu, ditemukan pula fungsi dan komponen makna tindak tutur. Fokus
penelitian ini adalah kesantunan dalam tuturan penutur bahasa Kambera, sehingga
penerapan teori prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan menjadi hal yang
penting. Dalam penelitian terhadap bahasa Kambera ini, ditemukan empat maksim
prinsip kerjasama dan enam maksim prinsip kesantunan.
Penelitian Simpen (2008) dan penelitian ini sama-sama menggunakan metode
kulaitatif dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Penelitian Simpen
menggunakan teori linguistik kebudayaan dan sosiopragmatik sebagai teori utama.
Sedangkan dalam penelitian ini, fokus penelitian adalah pada penelitian
pragmatik, yang didukung oleh penggunaan teori prinsip kerjasama dan prinsip
kesantunan.
Penelitian lain yang juga menelaah tindak tutur adalah penelitian yang
dituliskan oleh Wulantari (2009) yang berjudul “Tindak Tutur dalam Kumpulan
Naskah Drama Nyunnyan-Nyunnyen”. Penelaahan tindak tutur dalam penelitian
ini adalah dengan melihat ujaran yang dituturkan oleh tokoh drama. Tesis ini
16
tutur untuk melihat tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Dalam penelitian ini,
ditemukan bahwa tindak ilokusi yang muncul adalah deklaratif, asertif, komisif,
direktif dan ekspresif. Kelima fungsi tindak tutur muncul melalui delapan jenis
tindak tutur yaitu tindak tutur langsung, tindak tutur tak langsung, tindak tutur
lateral, tindak tutur tak lateral. Sementara empat jenis lainnya merupakan
gabungan dari jenis sebelumnya yaitu tindak tutur langsung lateral, tindak tutur
langsung tidak lateral, tindak tutur tak langsung lateral, dan tindak tutur tak
langsung tidak lateral.
Penelitian Wulantari (2009) dan penelitian ini sama-sama menggunakan
metode kualitatif dan teori tindak tutur untuk menganalisis data. Perbedaannya
adalah penelitian ini menambahkan teori pendukung yaitu teori prinsip kerjasama
dan kesantunan untuk menelaah ujaran. Sementara itu, Wulantari menggunakan
teori etnografi komunikasi untuk mendukung analisis penelitiannya.
Penelitian lain yang mengangkat fenomena tindak tutur dalam komunikasi
adalah Andriyani (2010) yang berjudul “Tuturan Wisatawan Jepang dalam
Berkomunikasi dengan „GRO Staf” di Lingkungan PT HIS Tour & Travel Bali:
Kajian Pragmatik”. Data yang menjadi objek penelitian adalah tuturan yang
dilontarkan oleh wisatawan Jepang saat berkomunikasi dengan petugas penyedia
jasa travel. Penelitian ini, memperlihatkan dalam situasi tertentu, penutur dengan
latar belakang tertentu akan menuturkan ujaran yang sesuai dengan kedua konteks
yang ada. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tuturan yang diujarkan oleh
wisatawan berupa ujaran deklaratif, imperatif dan interogatif dengan makna
17
merupakan jenis tindak tutur yang digunakan oleh penutur. Lebih jauh lagi,
penelitian ini menelaah fungsi tindak tutur yang muncul dengan frekuensi paling
tinggi.
Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa fungsi ekspresif dan fungsi
direktif adalah fungsi yang paling dominan muncul dalam tuturan wisatawan.
Selain penelaahan tindak tutur, penelaahan prinsip kerjasama dan prinsip
kesantunan juga digunakan dalam penelitain ini. Prinsip kerjasama yang paling
mendominasi adalah maksim kualitas dan maksim cara. Kedua maksim ini lebih
cenderung digunakan karena faktor latar belakang penutur dan aspek situasi yang
mendorong penutur untuk menggunakan kedua maksim ini muncul lebih sering.
Sementara itu, untuk prinsip kesantunan, maksim yang paling dominan muncul
dalam analisis adalah maksim kesederhanaan, maksim kemurahan hati, dan
maksim simpati. Penelitian tersebut menggunakan metode dan teori yang nyaris
sama, yaitu metode kualitatif dan teori tindak tutur yang didukung oleh teori
prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Meskipun begitu, Penelitian Andriyani
(2010) belum menelaah hubungan yang muncul dari kedua teori pendukung yang
telah disebutkan sebelumnya. Penelitian tindak tutur dalam Supernanny ini menelaah keterkaitan tersebut.
Penelitian lain adalah penelitian Suardana (2013) dengan judul “Tindak Tutur
18
ujaran yang dituturkan tokoh serta memperlihatkan implikatur percakapan yang
muncul dalam jenis film komedi tersebut.
Hasil analisis yang didapatkan dari penelitian ini adalah jenis tindak tutur
yang didapatkan adalah tindak tutur langung dan tindak tutur tidak langsung.
Sementara itu untuk fungsi tindak tutur yang muncul adalah fungsi deklaratif,
representatif, komisif, direktif, dan ekspresif. Makna yang muncul dari
tuturan-tuturan dalam film tersebut muncul dalam bentuk makna lokusi, ilokusi dan
perlokusi. Lokusi adalah makna yang cukup jarang muncul sementara ilokusi
adalah makna yang paling sering muncul. Dari sisi implikatur percakapan, muncul
empat prinsip kerjasama yaitu maksim kuantitas, kualitas, cara, dan hubungan.
Dari keempat maksim ini maksim kualitas adalah maksim yang paling sering
dilanggar. Hal ini disebabkan oleh kepentingan film dengan genre komedi untuk
membuat penontonnya tertawa. Pelanggaran maksim kualitas akan membuat
lawan tutur menjadi tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkannya karena
tanggapan yang diberikan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Dalam penelitian tersebut, penggunaan teori tindak tutur didukung oleh teori
prinsip kerjasama yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap penelaahan
implikatur film komedi. Untuk itulah, dalam penelitian ini teori pendukung
lainnya yaitu teori prinsip kesantunan diaplikasikan dalam dalam menganalisis
data yang sangat berbeda dengan penelitian Suardana (2013).
19
yang muncul dari percakapan atau interaksi mahasiswa dalam menggunakan
media online untuk mendiskusikan topik tertentu. Korpus data yang diambil
adalah percakapan yang berkenaan dengan penulisan makalah untuk seminar. Dari
percakapan ini peneliti menelaah dinamika penggunaan tindak tutur ekspresif
dalam konteks percakapan tanpa tatap muka. Faktor-faktor layaknya usia, ras,
pendidikan, dan waktu percakapan digunakan sebagai konteks sosial untuk
menelaah jenis dan jumlah tindak tutur ekspresif yang digunakan. Dalam
penelitian ini ditunjukkan bahwa tindak tutur ekspresif mempunyai dua jenis yaitu
tindak tutur ekspresif yang berpusat pada diri sendiri (self-oriented) dan yang
berpusat pada orang lain (others-oriented). Hasil penelitian dijabarkan dalam
bentuk kualitatif dan kuantitatif. Melalui penelitian ini dipaparkan bahwa tindak
tutur ekpresif mengucapkan berterima kasih, permintaan maaf, menyapa dan
memuji merupakan bentuk tindak tututr eksprsif yang paling banyak digunakan.
Informasi penting yang didapatkan dari penelitian ini adalah bentuk dan
penggunaan tindak tutur ekspresif dalam data berupa percakapan tertulis melalui
media online. Meskipun artikel dari Carretero (2015) sama-sama menelaah
tuturan dari sudut pandang pragmatik dengan menggunakan metode kualitaf,
tetapi penelitian Carretero (2015) hanya memfokuskan penelaahan pada fungsi
ekspresif tindak tutur saja. Hal inilah yang membedakan tulisan tersebut dengan
penelitian ini. Selain objek penelitian yang berbeda, dalam penelitian ini, acara
realitas Supernanny ditelaah dengan melihat jenis, fungsi dan makna yang lebih
20
2.2 Konsep
Konsep yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah (1) pragmatik, (2)
tindak tutur, (3) prinsip kerjasama, (4) prinsip kesantunan dan (5) acara realitas.
2.2.1 Pragmatik
Pragmatik merupakaan ilmu yang menelaah pemaknaan penggunaan bahasa
berdasarkan konteksnya. Hal ini selaras dengan pernyataan Yule (1996) yang
menyatakan bahwa pragmatik adalah studi makna secara kontekstual. Dari
pengertian ini dapat dikatakan bahwa pragmatik tidak hanya menelaah bahasa dari
susunan bahasa itu sendiri tetapi juga faktor eksternal yang memengaruhinya.
Faktor eksternal yang memengaruhi bahasa inilah yang dikenal dengan istilah
konteks. Seperti telah disinggung sebelumnya, sebagai faktor eksternal yang
memengaruhi bahasa, konteks tidak muncul hanya dalam bentuk fisik saja. Untuk
itu, Leech (1983) mengonsepkan lima aspek situasi tutur sebagai berikut.
1. Penutur dan petutur merupakan bagian konteks situasi tutur yang berkaitan
dengan aspek-aspek yang secara fisik dan non-fisik memengaruhi mereka.
Aspek tersebut antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi dan budaya,
jenis kelamin, tingkat keakraban, dan aspek lainnya yang mampu
memengaruhi bentuk ujaran yang mereka tuturkan.
2. Konteks tuturan merupakan pengetahuan antara penutur dan petutur terhadap
latar belakang penuturan sesuatu. Melalui konteks, penutur akan menuturkan
21
akan memberikan tanggapan yang tepat sesuai dengan maksud penutur dan
konteks tuturan tersebut.
3. Tujuan tuturan adalah maksud yang ingin disampaikan oleh penutur. Pada
dasarnya setiap ujaran yang dituturkan oleh penutur mempunyai tujuan yang
ingin disampaikan kepada lawan tutur. Penutur bisa saja menuturkan
bermacam-macam tuturan untuk tujuan yang sama, atau mempunyai maksud
yang berbeda dalam bentuk ujaran yang sama.
4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau sebuah tindak tutur. Pragmatik
menelaah bahasa dengan cakupan yang lebih luas dari sekedar tata urutan
kata dan pemaknaan internal bahasa. Melalui tindak tutur, penutur bertindak
dengan bentuk ujaran yang mampu memengaruhi lawan tuturnya.
5. Ujaran atau tuturan merupakan produk dari tindakan verbal. Hal ini
dikarenakan dari sudat pandang pragmatik, ujaran bukan saja sebuah bentuk
konkret dari susunan gramatikal sebuah bahasa. Pragmatik memandang
ujaran sebagai bentuk nyata dari tindakan yang muncul dengan bentuk berupa
tindakan verbal dalam konteks situasi tertentu.
2.2.2 Tindak Tutur
Austin (1962) menjelaskan tindak tutur sebagai ujaran atau tuturan yang
muncul dalam sebuah peristiwa tutur dan memiliki kekuatan atau daya terhadap
lawan tuturnya. Austin ini menyiratkan bahwa ujaran yang dituturkan seseorang
dalam situasi tutur tertentu mempunyai kekuatan layaknya sebuah tindakan.
22
hanya menjadi sebuah peristiwa verbal, tetapi juga merupakan representasi
tindakan fisik. Dari sisi kelangsungan maksudnya tindak tutur dibedakan
menjadoi tindak tutur langsung dan tidak langsung (Levinson, 1983). Dari segi
fungsi, tindak tutur dibedakan menjadi deklaratif, representatif, komisif, direktif,
dan ekspresif. Sementara itu, tindak tutur dapat dibedakan menjadi tiga makna
yaitu lokusi (tindak tutur yang maknanya hanya terikat dari bentuk ujaran) ilokusi
(tindak tutur yang memberikan daya pada tuturan sehingga maksud atau tujuan
tuturan bisa sampai kepada lawan tutur) dan perlokusi (tindak tutur yang
menunjukkan efek terhadap lawan tutur) (Austin, 1962).
2.2.3 Prinsip Kerjasama
Prinsip kerjasama merupakan prinsip yang mengatur percakapan antara
penutur dan petutur di dalam peristiwa komunikasi (Suardana, 2013: 30). Pada
dasarnya, dalam sebuah percakapan penutur dan petutur akan bertukar informasi
dalam jumlah dan cara tertentu. Grice (1975) menciptakan konsep prinsip
kerjasama percakapan untuk melihat interlokutor dalam percakapan melakukan
sesuatu kerjasama dalam berkomunikasi. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa konsep prinsip kerjasama merupakan sebuah konvensi tersirat yang
diciptakan oleh interlokutor dalam memberikan informasi tertentu dengan cara,
jumlah, dan konteks yang tertentu pula.
23
2.2.4 Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan adalah prinsip yang mengatur tuturan dari sisi nilai
sopan-santun yang berlaku dalam penuturan (Leech, 1983). Prinsip ini sangat
berhubungan dengan keterkaitan seorang penutur dengan lawan tuturnya. Prinsip
kesantunan dalam pragmatik merupakan jawaban bahwa bentuk ujaran yang
dituturkan oleh seseorang tidak hanya berkaitan dengan prinsip kerjasama. Ada
kalanya penuturan sebuah ujaran berkaitan dengan tingkat kesopanan yang ingin
disampaikan penutur melalui ujarannya. Penuturan sesuatu berkaitan tidak hanya
dengan diri sendiri (self) tetapi juga orang lain (others).
2.2.5 Acara Realitas
Acara realitas atau yang lebih terkenal dengan istilah reality show adalah jenis tayangan yang menampilkan aktivitas nyata dari pembawa acara dan
berbagai aspek pendukungnya (talent, objek, lokasi, situasi, dramatika) (Set, 2008:
185; Arumbayuardi 2010: 20). Acara realitas merupakan jenis acara yang
mempunyai konsep adegan dimana tokoh yang berpartispasi dalam acara tersebut
bertindak dan berkata tanpa skenario yang menuntun mereka. Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) memadankan realitas dengan padanan kenyataan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun pengambilan gambar
dilakukan dengan teknik tertentu, acara ini merupakan acara yang
menggambarkan keadaan nyata dari sebuah peristiwa. Dengan memperhatikan
pengertian ini, acara realitas menunjukkan adegan yang nyata atau tidak
24
2.3 Landasan Teori
Landasan teori merupakan langkah untuk merangkai kerangka berpikir
melalui teori yang akan saling mendukung dalam analisis data. Landasan teori
akan menjadi tuntunan dalam penelahaan objek lingual sehingga penelitian dapat
digambarkan secara komprehensif. Dalam penelitian ini teori yang digunakan
adalah teori pragmatik. Yule (1996: 3) memberikan pengertian bahwa pragmatik
adalah ilmu yang menelaah kemampuan ujaran untuk mengomunikasikan sesuatu
melebihi dari apa yang diujarkan secara gramatikal oleh seorang penutur. Untuk
itulah, dalam ilmu pragmatik, ujaran dianggap mempunyai sebuah daya yang
mampu membuat seseorang (lawan tutur) memberikan efek layaknya
mendapatkan sebuah tindak fisik. Dalam penelitian ini, teori pragmatik yang
digunakan mancakup teori (1) tindak tutur, (2) prinsip kerjasama dan (3) prinsip
kesantunan.
2.3.1 Teori Tindak Tutur
Levinson (1983: 27) menyatakan bahwa salah satu bagian yang sangat
penting dalam pragmatik adalah tindak tutur. Hal ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa dalam konteks situasi tutur, tindak tutur menjadi penentu tujuan tuturan
yang diujarkan oleh seseroang. Tindak tutur merupakan makna sebuah ujaran
dipandang dari kemampuannya untuk menjadi salah satu bagian dari interaksi
sosial (Saeed, 2000: 203). Pemaparan ini menggambarkan bahwa tindak tutur
merupakan bagian penting dari kajian pragmatik yang melihat ujaran tidak hanya
25
bahasa. Finch (65: 2003) menyebutkan bahwa jika tindakan mampu mewakili
pembicaraan, maka tuturan dapat mewakili tindakan. Fromkin (2003: 215)
menyebutkan bahwa pada dasarnya semua ujaran yang dituturkan oleh manusia
adalah sebuah tindak tutur. Sesuai dengan penjelasan ini, Levinson (1983: 236)
memilah tindak tutur berdasarkan jenis, fungsi, maknanya. Ketiga bagian dalam
tindak tutur ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
2.3.1.1 Jenis Tindak Tutur
Levinson (1983: 263) menulis bahwa seseorang tidak selamanya mengujarkan
maksudnya secara langsung dalam bentuk ujaran yang dituturkan. Maksud
tersebut bisa saja berbeda dengan bentuk ujaran yang dilontarkan oleh penutur.
Untuk itu, berdasarkan langsung atau tidaknya maksud yang muncul melalui
sebuah ujaran, Levinson membedakan tindak tutur menjadi dua yaitu tindak tutur
langsung dan tindak tutur tidak langsung.
1. Tindak Tutur Langsung (Direct Speech Act)
Secara umum, ujaran atau kalimat dapat dibedakan menjadi tiga yaitu ujaran
deklaratif, imperatif, dan interogatif (Wijana, 1996: 30). Berdasarkan ketiga jenis
kalimat ini, kalimat dengan modus deklaratif mempunyai maksud untuk
memberitahukan berita atau informasi. Kalimat imperatif merupakan modus
kalimat yang berguna untuk memerintah, menyuruh, memohon atau mengajak.
Kalimat interogatif adalah kalimat dengan modus untuk menanyakan sebuah
26
adalah jenis tindak tutur yang maknanya secara eksplisit muncul bersamaan
dengan modus kalimat yang dituturkan. Contoh tindak tutur langsung dapat
dituliskan sebagai berikut.
a) Guru: Tutup pintunya!
Murid: Baik bu. (menutup pintu)
Pada contoh (a) ujaran yang dituturkan oleh guru adalah tindak tutur
langsung. Ujaran yang dituturkan guru merupakan ujaran dengan bentuk kalimat
imperatif. Kalimat ini mempunyai maksud memerintah siswa untuk menutup
pintu. Guru yang menuturkan ujaran ini secara langsung menyampaikan
maksudnya dalam bentuk ujaran yang diujarkannya. Kesesuaian bentuk, modus
kalimat, dan maksud penuturan dalam contoh (a) merupakan contoh dari tindak
tutur langsung.
2. Tindak Tutur Tidak Langsung
Tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang maksud ujarannya tidak
muncul langsung dalam bentuk ujarannya. Tindak tutur tidak langsung
mempunyai maksud implisit sehingga pemaknaan ujaran akan sangat bergantung
pada konteks penuturan. Daya dari tindak tutur tidak muncul secara literal dalam
bentuk ujaran (Levinson, 1983: 263). Penutur akan didorong untuk memahami
konteks penuturan sehingga maksud tuturan penutur tidak berhenti pada bentuk
ujaran yang dituturkan. Contoh tindak tutur tidak langsung akan dituliskan
27
b) Ibu: Apakah kamu sudah mengerjakan PR-mu?
Anak: Belum Ma.
Kalimat yang diujarkan oleh orang tua adalah kalimat tanya. Dengan
demikian modus dari kalimat tersebut adalah menanyakan informasi yang
berkaitan dengan pekerjaan rumah. Meskipun begitu, maksud yang ingin
dituturkan oleh orang tua adalah memberi perintah kepada anaknya untuk
mengerjakan pekerjaan rumah. Dengan demikian, fungsi dan maksud kalimat
muncul secara tidak langsung dalam ujaran orang tua pada contoh di atas. Untuk
itulah, ujaran orang tua yang muncul pada contoh (b) adalah tindak tutur tidak
langsung.
2.3.1.2 Fungsi Tindak Tutur
Fungsi dalam tindak tutur muncul melalui maksud yang muncul dari tuturan.
Fungsi tindak tutur dirancang oleh Searle (Levinson, 1983: 240) yang ingin
mengambarkan bahwa tindak tutur tidak hanya melihat makna dari bentuk ujaran
penutur tetapi juga pada intensi penutur terhadap ujaran yang dituturkan. Fungsi
tindak tutur terdiri dari lima jenis yaitu deklaratif, representatif, komisif, direktif,
dan ekpresif (Yule, 1996: 53 - 54). Berikut penjelasan mengenai fungsi tindak
tutur.
1. Deklaratif
Deklaratif adalah tindak tutur yang mengandung maksud deklarasi atau
28
melalui bentuk deklaratif, penutur merubah dunia melalui perkataan. Leech
(1983: 165) menambahkan maksud-maksud yang tergolong ke dalam deklaratif
yaitu memutuskan, membatalkan, melarang, memberi maaf, menunda,
menginterpretasikan, menggeneralisasikan, membebaskan, membuktikan, dan
menerka. Salah satu contoh ujaran yang menggunakan fungsi deklaratif
memutuskan adalah seorang pendeta yang berkata I hereby declare you husband and wife.
2. Representatif
Representatif (asertif) yaitu ujaran yang menunjukkan kepercayaan
penuturnya seperti statements of fact, assertions, conclusions, and descriptions. Leech (1983: 164) menyatakan bahwa maksud yang tergolong ke dalam maksud
representatif adalah menyatakan pendapat, melaporkan, menunjukkan,
menyebutkan, memberi penilaian, mengklasifikasikan, mendeskripsikan,
mendefinisikan, membandingkan, mengontraskan, menyimpulkan, menjelaskan,
dan memberi contoh. Ujaran „it was a warm Sunday‟ merupakan contoh fungsi
representatif memberikan pendapat.
3. Komisif
Komisif yaitu ujaran yang menunjukkan kesungguhan penutur terhadap
ujarannya dan akan melakukannya dalam tindakan berikutnya. Dengan demikian,
dalam penuturan fungsi komisif, penutur menyatakan maksud untuk memberikan
29
Maksud yang dikandung dalam fungsi komisif adalah berjanji, bersumpah,
mengancam, menawarkan, mengakui. Ujaran „I will be back‟ merupakan ujaran
yang mengandung maksud komisif berjanji.
4. Direktif
Direktif yaitu ujaran yang menginginkan petutur untuk melakukan tindakan
atas apa yang dituturkan penutur seperti memerintah, menyuruh, bertanya,
memohon, menuntut, menyarankan, menantang, meminta, mengundang (Leech
1983: 164). Ujaran seperti “Do not make a noise while I am sleeping!” merupakan ujaran yang mengandung fungsi direktif. Melalui ujaran tersebut,
penutur menyampaikan perintah yang harus dituruti oleh lawan tutur, yaitu untuk
diam selama penutur tidur.
5. Ekspresif
Tindak tutur ekspresif merupakan ujaran yang mempunyai fungsi untuk
menunjukkan perasaan penutur. Tindak tutur ini menggambarkan keadaan
psikologis penutur baik saat penutur tersebut merasa senang, sakit, suka, bahagia,
sedih, dan sebagainya (Cutting, 2002: 17). Fungsi ekspresif bisa saja diakibatkan
oleh tindakan penutur maupun petutur. Namun ujaran yang dilontarkan penutur
merupakan pengalaman pribadinya. Leech (1983: 164) menyebutkan bahwa
ujaran yang mempunyai maksud memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik,
mengeluh, memperingati, berargumentasi, memberi saran atau nasihat, dan
30
yang merupakan ilokusi ekspresif adalah ujaran „Thank you so much for the help‟
yang mempunyai maksud berterima kasih.
2.3.1.3 Makna Tindak Tutur
Terdapat tiga pembagian makna tindak tutur bedasarkan Austin (Cutting,
2002: 16) yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Ketiga komponen ini mempunyai
ciri khas tersendiri yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Makna Lokusi (Locutionary Act)
Lokusi adalah „what is said‟ (Cutting, 2002: 16) atau dengan kata lain ujaran
yang diucapkan oleh penutur, baik bentuknya itu pernyataan, pertanyaan, maupun
perintah. Sementara Levinson (1983: 236) menjelaskan bahwa lokusi adalah “the
utterance of a sentence with determinate sense and reference.” Pengertian yang
bisa didapatkan dari penjelasan Levinson ini adalah setiap ujaran yang
mengandung makna ilokusi mempunyai rujukan langsung dalam bentuk
ujarannya. Ujaran tersebut bisa saja berbentuk imperatif, deklaratif, atau pun
interogatif. Untuk melihat makna lokusi, ujaran-ujaran ini dilihat struktur dan
bentuknya secara sintaktis maknanya secara semantis.
Makna lokusi dapat diperlihatkan melalui contoh ujaran “Saya tidak punya
uang.” Dalam contoh ini, dapat diperhatikan bahwa ujaran yang dituturkan
merupakan sebuah kalimat deklaratif. Kalimat dengan bentuk deklaratif
mempunyai modus untuk memberikan informasi kepada lawan tutur. Dengan
31
memiliki uang sebagaimana yang ia lontarkan dalam ujarannya. Perlu
diperhatikan bahwa makna lokusi seperti ini hanya akan bisa didapatkan jika
tuturan dari penutur sesuai dengan konteks yang muncul. Penutur menuturkan
ujaran tidak memiliki uang sebagai informasi kepada lawan tuturnya bahwa dia
tidak memiliki uang.
2. Makna Ilokusi (Ilocutionary Act)
Austin menjelaskan ilokusi sebagai „the act of saying something‟ (Cutting,
2002: 16) atau tindakan yang muncul melalui sebuah ujaran. Searle pun
menjelaskan bahwa tindak ilokusi adalah apa yang ingin dicapai oleh penuturnya
pada waktu menuturkan sesuatu baik maksud yang merupakan tindakan
menyatakan berjanji, meminta maaf, mengancam, dan sebagainya (Nadar,
2009:14). Pengertian ini menunjukkan, tindak ilokusi tidak bisa hanya dimaknai
melalui bentuk ujaran saja. Tindak ilokusi semestinya menyingkap makna yang
muncul secara eksplisit dalam ujaran serta makna yang secara implisit turut serta
dalam ujaran tersebut.
Makna ilokusi dapat diperhatikan dalam ujaran seperti “Tong sampahnya
sudah penuh.” Jika ujaran ini dilihat dari sisi lokusinya maka ujaran ini hanya
akan mempunyai bentuk deklaratif dengan modus memberi informasi kepada
lawan tutur bahwa tong sampah yang dimaksudkan telah penuh. Jika pemaknaan
secara kontekstual yang spesifik dilekatkan pada ujaran ini, maka makna ini
mempunyai tindak ilokusi. Jika tuturan ini dilontarkan oleh majikan kepada
32
mengosongkan tong sampah. Dengan demikian makna ilokusi adalah makna
yang mampu memberikan daya kepada lawan tutur untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan sebuah penuturan yang muncul.
3. Makna Perlokusi (Perlocutionary act)
Levinson (1983: 236) menyebutkan bahwa tindak perlokusi adalah efek yang
muncul pada pendengar terhadap ujaran yang didengarkan. Dengan demikian,
makna yang muncul dari tuturan tidak hanya berhenti pada maksud apa yang yang
disampaikan penutur melalui ujarannya tetapi juga kemampuan maksud tersebut
ditanggapi oleh petutur. Efek yang muncul bisa saja sesuai dengan harapan
penutur bisa saja tidak. Untuk itu, Austin (Cutting, 2002: 17) menyebutkan bahwa
daya perlokusi sebagai perlocutionary effect karena makna tuturan dilihat dari tanggapan petutur terhadap sebuah ujaran.
Sebagai contoh adalah ujaran “Kebakaran!” Jika tuturan ini disampaikan oleh
orang yang ingin meminta tolong untuk memadamkan api, maka efek perlokusi
yang muncul dari ujaran ini bisa saja menjadi perlokusi yang sesuai dengan
maksud penutur dan berlawanan. Petutur bisa saja bergegas membantu penutur
untuk memadamkan api akibat kebakaran. Akan tetapi, tidak tertutup
kemungkinan bahwa melalui ujaran meminta tolong yang dituturkan penutur,
petutur memberikan efek yang berbeda. Petutur bisa saja memberikan efek
perlokusi berupa lari ketakutan karena merasa takut akan menjadi korban
33
Efek perlokusi dapat dikatakan sebagai bentuk nyata dorongan tuturan kepada
petutur sehingga memberikan efek. Kemungkinan akan adanya efek yang tidak
berkesesuaian dengan maksud dari penutur bisa saja muncul. Hal ini kembali
kepada konteks situasi tutur yang melekat dari ujaran yang muncul dalam
peristiwa tutur.
2.3.2 Teori Prinsip Kerjasama
Prinsip kerjasama merupakan teori gagasan dari Grice (1975). Dalam teori
ini, terdapat empat aspek prinsip kerjasama yang semestinya dipenuhi oleh
penutur kepada petutur dan sebaliknya dalam hal informasi yang diberikan. Ada
kalanya penutur tidak memberikan informasi yang sesuai baik dari jumlah
maupun dari sisi lain sehingga muncul implikatur percakapan. Implikatur adalah
informasi yang kemungkinan disiratkan oleh penutur sehingga informasi ini tidak
muncul dalam bentuk ujaran. Teori prinsip kerjasama ini juga turut disampaikan
oleh Leech (1983) dimana ia menjelaskan empat maksim percakapan dalam
prinsip kerjasama.
1. Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)
Maksim ini menghendaki penutur untuk memberikan informasi dengan
jumlah yang tepat. Informasi yang diberikan oleh penutur diharapkan cukup dan
memadai sebagaimana dibutuhkan oleh petutur. Wijana (1996: 46) menjelaskan
34
dari apa yang diharapkan sehingga truth value dari tuturan tersebut terjaga. Perhatikan contoh berikut.
a) Ibu: Kamu makan apa?
Anak: Saya makan apel.
Contoh ujaran yang dituturkan oleh anak adalah ujaran yang memenuhi
maksim kuantitas. Informasi yang diberikan merupakan informasi yang tepat dan
sesuai dengan apa yang diminta oleh ibu. Jika informasi yang diberikan anak
berlebihan, seperti menjawab dengan “saya makan apel yang ibu beli karena lapar
sekali” maka tuturan anak bisa dikatakan melanggar maksim kuantitas. Hal ini
dikarenakan informasi yang disediakan anak melebihi kebutuhan informasi yang
diminta ibu.
2. Maksim Kualitas (Maxim of Quality)
Maksim kualitas mendorong penutur untuk menuturkan sesuatu yang benar.
Kebenaran yang dimaksudkan adalah kebenaran yang sesuai dengan fakta dan
bukti-bukti yang mampu mendukung kebenaran tersebut. Contoh maksim kualitas
akan diberikan sebagai berikut.
b) Guru: Berapa dua dikali tiga?
Siswa: Empat Pak.
Dari tuturan di atas dapat dilihat bahwa siswa telah melanggar maksim
kualitas. Secara fakta, jika tiga dikalikan dengan dua, maka hasil yang akan
didapatkan adalah enam. Namun siswa memberikan jawaban empat yang secara
35
yang benar secara maksim kualitas, maka jawaban yang akan diberikan adalah
enam.
3. Maksim Hubungan (Maxim of Relevance)
Maksim relevansi merupakan maksim yang menunjukkan bahwa tuturan
seseorang semestinya berkaitan dengan tuturan yang sebelumnya. Keterkaitan ini
menunjukkan bahwa jawaban yang diberikan kepada penutur merupakan sebuah
kerjasama untuk memberikan kontribusi yang sesuai dengan percakapan yang
terjadi. Untuk menggambarkan maksim ini perhatikan contoh berikut.
c) Andi: Apakah ayah sudah pergi?
Ani: Motornya tidak ada.
Jika diperhatikan, Ani telah melanggar maksim hubungan karena jawaban
yang diberikan berkenaan dengan kendaraan ayah, bukan kegiatan ayah. Secara
literal, pertanyaan Andi tidak mempunyai keterkaitan dengan kendaraan yang
biasanya digunakan ayah untuk pergi. Meskipun begitu, jika dilihat dari maksud
ujaran, maka dapat dikatakan bahwa Ani masih melakukan prinsip kerjasama
dengan Andi. Kenyataan bahwa ayah pergi selalu menggunakan motornya
memberikan implikasi bahwa ayah sudah pergi. Hal inilah yang diungkapkan
Grice (1975) bahwa prinsip kerjasama tidak hanya bisa dilihat dari bentuk ujaran