• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGIS DALAM PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGIS DALAM PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN

PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGIS DALAM

PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG

PRABOWO P.PUTRO

Bagian Reproduksi dan Obstetri, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

PENDAHULUAN

Pembangunan peternakan merupakan sub-sektor strategis dalam upaya ketahanan pangan dan mencerdaskan manusia yang berkualitas. Fungsi protein hewani sangat menentukan dalam mencerdaskan manusia karena kandungan asam amino di dalamnya tidak dapat tergantikan (irreversible). Sehingga dapat dikatakan bahwa protein hewani adalah radikal-radikal tersifat dan mampu menjadi agen pembangunan. Berdasarkan SUSENAS (2003) konsumsi pangan hewani baru mencapai 86,9 g/kapita/hari (target 150 g/kapita/hari), berasal dari komoditi peternakan sebesar 36,5 g/kapita/hari (42%). Pencapaian konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia baru sebesar 5,1 g/kapita/hari, setara dengan daging 7,7 kg/kapita/tahun, telur 4,7 kg/kapita/tahun dan susu 7,5 kg/kapita/tahun. Sedangkan konsumsi rata-rata untuk negara ASEAN lainnya umumnya sudah mencapai di atas 15,0 g/kapita/hari. Beberapa waktu yang lalu Menteri Pertanian RI (Prof. Dr. Bungaran Saragih) menyatakan bahwa pada tahun 2013 konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia harus sudah mencapai 10,20 g/kapita/hari.

Protein hewani asal ternak umumnya berasal dari daging (unggas, ruminansia besar dan kecil), telur dan susu. Kebutuhan akan konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia, diperkirakan sebesar 25% dari kebutuhan daging setiap tahun selalu meningkat. Sementara itu pemenuhan akan kebutuhan selalu negatif, artinya jumlah permintaan lebih tinggi daripada peningkatan produksi daging sapi sebagai konsumsi. Dalam pengadaan daging sapi dewasa ini pemerintah menghadapi masalah serius, karena keterbatasan stok ternak, penurunan populasi, dan berkurangnya impor sapi dari luar negeri sejak terjadinya krisis moneter di negeri kita beberapa tahun terakhir ini. Penurunan populasi ruminansia

besar (sapi dan kerbau) pada tahun-tahun belakangan ini dikarenakan oleh tingginya pemotongan ternak tanpa diimbangi dengan laju reproduksi yang memadai.

Menurut kebijaksanaan Pemerintah pada sub-sektor peternakan, sapi potong sebagai salah satu usaha perlu terus dikembangkan, terutama usaha sapi potong yang bersifat usaha keluarga. Bantuan Pemerintah yang pernah dilakukan dalam mendukung pengembangan ternak sapi potong antara lain adalah bantuan dan fasilitas, seperti kredit penggemukan sapi, kredit pembibitan sapi potong, penerapan sistem kontrak lewat pengembangan sapi potong Bantuan Presiden, crash program sapi potong impor, proyek transmigrasi ternak, rural credit project atau proyek kredit pedesaan. Namun demikian, dalam perkembangan sapi potong di Indonesia, masih saja terjadi pertumbuhan populasi negatif, akibat tidak berimbangnya antara permintaan pasar dan laju reproduksinya, masih banyaknya penyakit hewan menular strategis yang belum ditangani secara komprehensif.

Visi pembangunan peternakan tahun 2005-2009 adalah “Ternak Sehat, Negara Kuat” (Better and healthy livestock towards better community). Visi ini dirasakan tepat sekali, karena selama ini pengembangan usaha ternak, termasuk sapi potong, masih terkendala dengan masalah kesehatan hewan, termasuk penyakit hewan menular strategis (PHMS).

KESEHATAN HEWAN DAN PRODUKTIVITAS SAPI POTONG

Keberhasilan usaha sapi potong, baik penghasil bibit (breeding) maupun penggemukan (fattening), sangat tergantung dari kesehatan ternak. Sehingga penanganan, pengendalian dan pencegahan penyakit harus menjadi prioritas utama. Kesehatan hewan

(2)

merupakan faktor utama dalam usaha peternakan sapi potong, baik dalam skala kecil maupun skala besar. Penanganan, pengendalian dan pencegahan penyakit sapi potong memerlukan pertimbangan dari berbagai segi, baik dari segi penyakit maupun segi ekonomis. Status kesehatan hewan juga sangat berpengaruh langsung terhadap status kesehatan reproduksi hewan. Dengan kata lain, kesehatan hewan harus baik untuk mencapai kesehatan reproduksi yang optimum. Manajemen kesehatan hewan meliputi manajemen kesehatan umum, manajemen pencegahan, pengendalian dan penanganan penyakit-penyakit organik, infeksi bakteri, virus, jamur, serta parasit.

Kesehatan hewan merupakan syarat mutlak bagi produktivitas optimumnya. Dalam usaha peternakan sapi potong tanpa status kesehatan ternak yang baik tidak akan dicapai produktivitas maksimumnya. Pertambahan bobot harian pada sapi potong yang maksimum hanya akan diperoleh bila status kesehatan ternak optimum pula. Status kesehatan yang kurang baik akan berakibat minimumnya pertambahan berat badan harian, emasiasi, rentan terhadap penyakit lain, kematian ternak maupun pedetnya, gangguan status reproduksi, rendahnya reproduktivitas dan produktivitas ternak tersebut. Kesehatan ternak berpengaruh langsung pada produktivitas sapi potong penghasil bibit maupun sapi bakalan. Status kesehatan sapi potong sangat mempengaruhi berat badan, perubahan berat badan dan skor kondisi badan. Sehingga jelas, bahwa kesehatan sapi potong sangat mempengaruhi produktivitas sapi potong bakalan maupun sapi potong bibit.

Program kesehatan hewan bagi sapi potong bakalan meliputi penanganan, pengendalian, dan pencegahan penyakit infeksi menular maupun penyakit hewan menular strategis (PHMS) pada sapi seperti brucellosis, anthrax, septicaemia epizootica, penyakit Jembrana, infectious bovine rhinotracheitis, bovine viral diarrhea dan lainnya, akan sangat merugikan secara ekonomis pada sapi potong. Begitu pula parasit cacing Neoascaris vitulorum, Fasciola gigantica, Haemonchus contortus akan berpengaruh pada hambatan pertumbuhan berat badan, di samping juga menyebabkan kerusakan jaringan-jaringan tubuh dan turunnya skor kondisi badan sapi. Program

kesehatan hewan pada sapi potong penghasil bibit maupun sapi potong bakalan akan mampu meningkatkan produktivitas ternak secara nyata.

Arti ekonomis gangguan kesehatan ternak sapi potong secara umum antara lain dapat disebutkan kematian sapi dewasa dan pedet, hambatan pertumbuhan sapi dan pedet, ternak sakit perlu biaya tambahan untuk perawatan dan pengobatan, bila penyakit menular ada kemungkinan terjadinya ancaman penularan ke sapi lain, abortus, kematian pedet neonatal, inefisiensi produksi dan reproduksi, dan kerugian-kerugian lainnya. Jadi antara status kesehatan ternak, status reproduksi dan produktivitasnya, merupakan satu kesatuan bagi berhasilnya usaha peternakan sapi potong.

Kesehatan reproduksi mutlak diperlukan untuk berhasilnya kehidupan reproduksi ternak. Manajemen kesehatan reproduksi meliputi manajemen pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi reproduksi spesifik dan nonspesifik, serta gangguan fungsi reproduksi. Beberapa parameter status reproduksi, misalnya untuk kelompok sapi potong, antara lain usia pubertas, angka konsepsi, rasio pengawinan: kebuntingan (indeks fertilitas = fertility index), jarak beranak, angka konsepsi, angka penyapihan, angka pengafkiran karena sterilitas. Perbaikan manajemen kesehatan hewan akan langsung mempengaruhi kesehatan reproduksi dan reproduktivitas ternak. Status reproduksi dan produktivitas merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan dalam pengembang-biakan (breeding) sapi potong.

Performans reproduksi sapi potong kita masih tergolong rendah, seperti ditulis PUTRO (2000) yang mencatat data dari 3.282 ekor sapi potong betina penghasil bibit, ternyata hahwa jarak beranak mencapai 20 bulan, angka konsepsi 35%, rasio pengawinan kebuntingan lebih besar dari 3,5, calf-crop hanya 36% dan angka kematian pedet di bawah usia lima bulan lebih dari 22%. Jarak beranak yang terlalu panjang dan angka konsepsi yang terlalu rendah tersebut terkait erat dengan tingginya anestrus pascaberanak, akibat gangguan fungsional maupun infeksi alat reproduksi oleh mikroba, serta tingginya kejadian kawin berulang (repeat breeder). Pelayanan aktif reproduksi sapi potong akan memperbaiki

(3)

kinerja reproduksi dan produktivitas sapi potong.

Angka kematian pedet yang masih terlalu tinggi tersebut utamanya disebabkan oleh penyakit-penyakit infeksi neonatus, antara lain septikemia (collibacillosis), navell ill atau joint ill (Corynebacterium sp., Streptococci sp., dan Staphylococci sp.), cacingan (Toxocara vitulorum dan Strongyloides sp.), salmonellosis (Salmonella dublin atau Salmonella typhimurium), coccidiosis (Eimeria sp.), enzootic pneumonia (Chlamydia, Mycoplasma dan virus), diphteria (sore mouth, Fusiformis necrophorus) dll.

Penyakit-penyakit infeksi menular reproduksi spesifik, seperti brucellosis, campylobacteriosis (vibriosis), trichomoniasis, IBR, BVD, dengan akibat terjadinya abortus, still-birth, peradangan alat reproduksi, kematian maupun abnormalitas pedet, infertilitas dan sterilitas, bahkan kematian ternak, tentu saja juga sangat merugikan dalam reproduktivitas dan produktivitas sapi potong penghasil bibit. Tindakan kesehatan hewan yang tepat, berupa penanganan, pengendalian dan pencegahan, akan sangat berarti dalam mempertahankan tingkat reproduktivitas dan produktivitas sapi potong yang tinggi. Sebaliknya, tanpa tindakan kesehatan hewan yang memadai wabah penyakit-penyakit tersebut dapat terjadi menyebar ke mana-mana, produktivitas sapi potong penghasil bibit akan jatuh, dan swasembada daging sapi nasional akan tetap menjadi angan-angan.

Peran kesehatan hewan dan kesehatan reproduksi dalam menunjang usaha sapi potong rakyat antara lain adalah meningkatkan status kesehatan umum, meningkatan status reproduksi ternak, meningkatkan produktivitas dan efisiensi reproduksi, meningkatkan calf-crop, menekan culling-rate dan angka kematian, menekan infertility rate, menahan laju pengurangan populasi, menambah income dan mencegah kerugian peternak.

PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGIS SAPI POTONG Brucellosis

Brucellosis merupakan suatu penyakit infeksi menular disebabkan oleh bakteria

Brucella, menyebabkan abortus, infertilitas, gangguan reproduksi, serta penurunan produksi susu dan bersifat infeksius bagi manusia. Angka kematian memang tidak tinggi, namun secara ekonomis penyakit ini sangat merugikan karena dampak negatifnya terhadap reproduktivitas dan produktivitas sapi penderita. Langkah penting dalam pencegahan dan pemberantasan brucellosis sapi, yaitu dengan tindakan surveilans untuk identifikasi carriers seropositif pada sapi umur 18 bulan ke atas, eliminasi carriers dari kelompok ternak dengan cara pemotongan yang terkontrol (test and slaughter), serta vaksinasi dengan vaksin Strain-19 atau Strain RB-51 pada semua heifers berumur antara 4 sampai 10 bulan, pemasukan sapi pengganti hanya dari kelompok atau daerah officially free or free from bovine brucellosis diikuti karantina dan uji ulang serologis.

Tindakan pengendalian brucellosis sapi spesifik, antara lain: regulasi penanggulangan brucellosis, karantina yang ketat, pembinasaan segera hewan yang mati, kotoran atau material kandang yang tercemar dengan cara kremasi, isolasi penderita, disinfeksi kandang dan fasilitasnya, tindakan sanitasi dan higiene bagi personalia yang kontak dengan hewan penderita brucellosis untuk keselamatan dirinya sendiri.

Anthrax

Anthrax dikenal juga sebagai “penyakit radang limpa" disebabkan oleh Bacillus anthracis. Anthrax mempunyai morbiditas dan mortalitas tinggi, serta bersifat zoonotik, dapat menular ke manusia. Antibiotika misalnya oxytetracycline efektif untuk pengobatan anthrax. Pencegahan dengan imunisasi dapat dilakukan lewat vaksinasi tahunan di daerah endemik anthrax dengan vaksin hidup strain Sterne.

Tindakan pengendalian spesifik, antara lain: regulasi penanggulangan anthrax, karantina yang ketat, pembinasaan segera hewan yang mati, kotoran atau material kandang yang tercemar dengan kremasi atau penguburan dalam-dalam, isolasi hewan sakit dan penyingkiran hewan sehat dari daerah tercemar, disinfeksi kandang dan fasilitasnya, penggunaan pembasmi serangga, tindakan

(4)

sanitasi dan higiene bagi personalia yang kontak dengan hewan penderita.

Septicemia epizootica (SE)

Septicemia epizootica atau Pasteurellosis juga dikenal sebagai “penyakit ngorok” disebabkan oleh Pasteurella spp, dengan gejala utama gangguan pernafasan akibat peradangan pada saluran pernafasan bagian atas dan paru-paru. Morbiditasnya tinggi, sedangkan mortalitasnya dapat mencapai 10%.

Pengobatan dapat dilakukan dengan antibiotika spektrum luas. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi menggunakan vaksin aktif atau bakterin. Langkah untuk pengendalian SE antara lain: karantina yang ketat bagi lalu lintas hewan, isolasi hewan sakit, dan disinfeksi kandang dan fasilitasnya yang tercemar.

Infectious bovine rhinotracheitis (IBR) Infectious bovine rhinotracheitis disebabkan oleh virus BHV-1 (bovine herpes virus) dengan gejala gangguan alat pernafasan atau gangguan reproduksi, berupa abortus dan infeksi alat kelamin. Penyakit ini mempunyai morbiditas tinggi dan mortalitas rendah. Antibiotika tidak dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit ini. Immunisasi atau vaksinasi dengan vaksin hidup atau vaksin inaktif BHV-1 isolat lapangan merupakan cara pencegahan penyakit ini.

Pengendalian IBR secara umum dengan regulasi penanggulangan IBR, karantina yang ketat, isolasi hewan sakit dan penyingkiran hewan sehat dari daerah tercemar, disinfeksi kandang dan fasilitasnya, serta tindakan sanitasi dan higiene bagi personalia yang kontak dengan hewan penderita.

Bovine viral diarrhea (BVD)

Bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit infeksi, berupa diarrhea ganas pada sapi, disebabkan oleh pestivirus (familia Togaviridae). Infeksinya biasanya bersifat subklinis, dengan morbiditas tinggi dan mortalitas rendah. Tidak ada terapi antibiotika

yang mujarab untuk BVD. Virus BVD bersifat teratogenik pada fetus dalam kandungan. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi dengan vaksin hidup atau inaktivasi.

Langkah untuk pengendalian BVD antara lain: regulasi penanggulangan BVD, karantina yang ketat bagi lalu lintas hewan, isolasi hewan sakit dan penyingkiran hewan sehat dari daerah tercemar, disinfeksi kandang dan fasilitasnya, tindakan sanitasi dan higiene bagi personalia yang kontak dengan hewan penderita.

Penyakit Jembrana

Penyakit Jembrana pada sapi Bali merupakan penyakit infeksi, akut, disebabkan oleh bovine lentivirus dengan morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. Gejalanya akut, penderita terlihat depresi, anoreksia, demam tinggi, pembesaran nodus limfatikus superficial, anemia dan leukopenia progresif. Karena penyebabnya virus, tidak ada terapi antibiotika yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit ini. Pencegahan penyakit dengan tindakan vaksinasi massal.

Untuk pengendalian penyakit Jembrana dapat dilakukan langkah-langkah, antara lain: regulasi penanggulangan penyakit Jembrana, karantina yang ketat bagi hewan yang masuk atau keluar, pembinasaan segera hewan yang mati, kotoran atau material kandang yang tercemar dengan kremasi, disinfeksi kandang dan fasilitasnya, serta tindakan sanitasi dan higiene umum pada kandang dan personalianya.

KESIMPULAN

Visi pembangunan peternakan 2005–2009 adalah: “Ternak Sehat, Negara kuat” (Better and healthy livestock towards better community). Kesehatan ternak merupakan faktor kunci dalam mencapai produktivitas dan reproduktivitas optimum sapi potong. Pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular strategis secara komprehensif merupakan penentu pengamanan ternak sehat dan produktif dalam pengembangan usaha sapi potong rakyat.

(5)

DAFTAR BACAAN

AGMON, V. 1998. Epidemiology of emerging zoonoses in Israel. Proc. of International Conference on Emerging Zoonosis, Teluk Aviv.

ANONIM. 1998. Brucellosis Eradication: Uniform

Methods and Rules. United States Department

of Agriculture.

ANONIM. 2002a. Brucellosis. State of Colorado, Department of Agriculture, Colorado, USA. ANONIM. 2002b. Selamatkan sapi potong lokal.

Poultry Indonesia 262: 17.

ANONIM. 2003a. Bovine brucellosis. Animal Production and Health Division. Agriculture

Department, FAO, Rome.

ANONIM. 2003b. Bovine brucellosis. Terrestrial

Animal Health Code 2003. OIE.

ANONIM. 2004. Pokok-pokok Pemikiran

Pembangunan Perternakan dan Kesehatan Hewan 2004–2009. Departemen Pertanian Republik Indonesia.

FRASER,C.M.,J.A.BERGERON,A.MAYS and S.E.

ALELLO. 2003. The Merck Veterinary Manual. 9th edition. Merck and Co., Inc. Rahway, N.J., U.S.A.

GAINES, S.J. 1994. Body condition score for beef

cattle. Beef Cattle Management and Practice 22: 312-316.

MCCLURE, T.J. 1994. Nutritional and Metabolic Infertility in the Cow. CAB International,

Waffingford, Oxon, U.K.

MCCLURE,T.J. 2000. Beef Cattle Productivity. CAB International, Wallingford, Oxon, U.K. PARKER,R. 2003. Diseases affecting reproduction in

beef cattle. College of Agriculture and Home Economics, New Mexico State University. PUTRO,P.P. 2000. Gangguan Reproduksi pada Sapi

Potong Lokal dan Brahman-Cross. Kursus Reproduksi Ternak. Eastern Island Veterinary

Service, Mataram, NTB.

RICHEY,E.J. 2003. Infectious bovine rhinotracheitis

(red nose). University of Florida, IFAS Extension, USA.

SOEHARSONO, S. dan N. HARTANINGSIH. 2003. Studies on Jembrana disease. Indian

Veterinary Community.

SUDARISMAN. 2001. Evaluasi vaksin IBR skala laboratorium pada sapi Bali menggunakan vaksin inaktif BHV-1 isolat lapangan dengan uji serum netralisasi. JITV 6(4): 247–253. YOUNGQUIST, R. 1998. Theriogenology in Large

Animals. W.B. Saunders Co., Philadelphia,

Referensi

Dokumen terkait

Puji serta syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini dengan judul Perancangan dan

Berdasarkan Research Gap dan Fenomena yang telah dijabarkan diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi

Gaya yang diperlukan untuk menghentikan benda massanya 50 kg yang bergerak dengan kecepatan 60 m/s, sehingga berhenti setelah 2 detik adalah .... Kecepatan sesaat

Berdasarkan fenomena yang ada maka peneliti akan melakukan penelitian lebih lanjut tentang analisis hubungan dukungan keluarga dengan pelaksanaan continuity of

Perubahan psikologi pada ibu trimester 3 adalah menyadari kehadiran bayi sebagai makhluk yang terpisah sehingga ia tidak sabar menanti kehadiran bayi, waktu persiapan

Beberapa kali pengalaman trending topic itu dibuat dengan cara bikin hashtag atau kata tertentu dalam rentang waktu tertentu ditwitkan serentak oleh beberapa (banyak) akun..

Samsuri (2008) mengidentifikasi ada empat faktor utama yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu tipe sistem lahan,

Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh Sunaryo (2009:31) krayon atau pastel menolak cat air atau tinta, karena itu dapat menciptakan tekstur yang menarik. Teknik menggunakan