• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

19 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tinjauan terhadap sejumlah literatur yang mengkaji sistem transportasi perkotaan, peran angkutan umum perkotaan, kondisi lingkungan penyediaan jasa transportasi perkotaan dan praktek penyediaan jasa angkutan umum.

II.1 Transportasi Perkotaan

Kota dan wilayah metropolitan merupakan pusat kegiatan yang beragam yang membutuhkan transportasi orang dan barang yang efisien dan nyaman. Sering dikatakan bahwa transportasi merupakan urat nadi kota. Aktifitas dengan kepadatan yang tinggi memungkinkan dan memerlukan moda dengan kapasitas yang tinggi karena lebih ekonomis, lebih efisien dalam konsumsi energi dan membutuhkan ruang yang lebih kecil dibanding kendaraan pribadi (Vuchic, 1981).

Transportasi perkotaan menurut Dikun (2003), adalah bagian integral dari kehidupan perekonomian kota, sehingga tidak dapat melepaskan diri dari konflik yang terjadi di dalam kota itu sendiri. Kota adalah tatanan (domain) dimana kompleksitas dan konflik terjadi dalam skala yang sangat besar. Pada hakekatnya permasalahan transportasi kota terjadi karena adanya konsentrasi manusia, kendaraan serta aktivitas ekonomi lainnya pada ruang jalan yang relatif sempit pada waktu yang relatif bersamaan. Pembangunan kota yang tidak berpola, jaringan jalan kota yang sangat tidak memadai baik dalam kapasitas maupun pola jaringan, serta penggunaan ruang jalan yang tidak semestinya merupakan bagian dari beberapa sebab-sebab permasalahan transportasi kota.

Sistem transportasi perkotaan didefinisikan terdiri dari fasilitas dan jasa yang memungkinkan adanya perjalanan melalui dan dalam wilayah tersebut, menyediakan kesempatan untuk mobilitas bagi penduduk dalam kota dan pergerakan barang dan juga untuk aksesibilitas terhadap lahan. Dengan definisi

(2)

20

tersebut maka sistem transportasi di perkotaan dicirikan oleh 3 (tiga) komponen utama yaitu tatanan keruangan yang memungkinkan perjalanan dari satu lokasi ke lokasi lainnya, teknologi transportasi yang menyediakan alat untuk pergerakan dalam jarak tersebut dan kerangka kelembagaan (Meyer dan Miller, 1984).

II.2. Karakteristik Moda dan Klasifikasi Angkutan Kota

Tamin (2000) menghubungkan moda angkutan dengan jenis transportasi yang akan digunakan. Pilihan pertama biasanya berjalan kaki atau menggunakan kendaraan. Jika menggunakan kendaraan pilihannya adalah kendaraan pribadi atau angkutan umum. Vuchic (1981) yang dikutip oleh Khisty dan Lall (2003, p.438) mengklasifikasikan moda angkutan berdasarkan (1) right of way (R/W), (2) teknologi dan (3) jenis layanan.

Karakteristik berdasarkan R/W melihat keterpisahan lintasan moda dengan moda lainnya dan dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu kategori A yang memiliki lintasan yang sepenuhnya terpisah (eksklusif) dari moda lainnya, kategori B yang memiliki lintasan terpisah namun pada titik tertentu memiliki perlintasan sebidang dengan moda lain dan kategori C yang lintasannya sepenuhnya bercampur dengan moda lain.

Karakteristik menurut teknologi terutama melihat sistem mekanis dan permukaan lintasannya pergerakannya.

Dibandingkan 2 klasifikasi yang pertama, klasifikasi berdasarkan jenis layanannya lebih jelas menggambarkan karakteristik angkutan kota sebagai angkutan yang melayani penduduk yang membutuhkan pergerakan dalam wilayah kota.

Angkutan perkotaan menurut Vuchic (1981) dapat terdiri dari sejumlah moda mulai dari berjalan kaki dan bersepeda sampai sistem rel. Klasifikasi dasar dari moda-moda ini, didasarkan pada cara operasi dan penggunaannya, mencakup tiga kategori yaitu:

(3)

21

a. Transportasi pribadi, terdiri dari kendaraan yang dimiliki secara pribadi dan dioperasikan oleh pemiliknya untuk tujuan sendiri. Termasuk dalam kategori ini adalah pedestrian, sepeda dan mobil pribadi

b. Paratransit atau transportasi sewa, adalah transportasi yang disediakan oleh operator dan dapat digunakan oleh pihak yang menyewa untuk tujuan individu. Taxi, bis panggilan dan jitney (angkot) adalah moda yang umum dalam kategori ini

c. Angkutan perkotaan (urban transit), angkutan massal (mass transit) atau angkutan umum (public transportation) yang tersedia bagi mereka yang membayar tarif yang telah ditentukan. Moda ini beroperasi pada rute dan jadwal yang tetap.

Dari kategori di atas, angkutan umum perkotaan mencakup kategori transit dan paratransit karena keduanya disediakan untuk penggunaan publik.

Gray dan Hoel (1992) dalam Khisty dan Lall (2003, p.448) mengklasifikasikan angkutan umum perkotaan berdasarkan tipe penggunaannya yaitu beroperasi pada daerah dengan kepadatan sedang-tinggi, rutenya memusat (radial), tujuan penggunaan untuk bekerja, sekolah dan usaha serta beroperasi pada waktu-waktu puncak.

Angkutan umum perkotaan (angkot) yang beroperasi di Kota Bandung dewasa ini didefinisikan sebagai paratransit (Joewono dan Kubota, 2007) yaitu bentuk angkutan penumpang dalam kota yang disediakan bagi publik, yang berbeda dari angkutan konvensional (rel dan bis dengan jadwal tetap) dan dapat beroperasi pada sistem jaringan jalan raya. Karakteristik umum paratransit adalah memiliki rute yang berubah-ubah ataupun semifixed dan menggunakan kendaraan dengan ukuran yang lebih kecil dari bis standar. Ongkos menggunakan paratransit lebih murah dari taxi namun lebih mahal dibanding bis (Kirby, 1975 dalam Tjahjati, 1982).

(4)

22 II.3. Kinerja Sistem Angkutan Umum

Pengukuran kinerja merupakan alat untuk mendeteksi kecenderungan suatu proses dalam sistem sehingga diperoleh data-data yang relevan dalam pengambilan keputusan untuk perbaikan di masa mendatang (Lem et.al, 1994). Hartman et.al (1994) mendefinisikan pengukuran kinerja (performance measurement) sebagai penilaian keluaran suatu organisasi sebagai hasil dari pengelolaan sumber daya yang dimiliki dan lingkungan dimana dia beroperasi.

Indikator kinerja dalam sistem angkutan umum, menurut Lem et.al (1994), biasanya dibagi dalam 3 (tiga) kategori yang saling berhubungan yaitu efisiensi biaya, efektifitas biaya dan efektifitas layanan. Giannopoulus (1989) yang dikutip oleh Eriawan (1992) memberikan kombinasi dari beberapa indikator tersebut sebagaimana Gambar II.1 di bawah.

Gambar II.1 Indikator Kinerja Sistem Angkutan

Sumber: Giannopoulus (1989) dalam Eriawan (1992) Cost Efficiency Cost Effectiveness Service Efficiency Service Outputs Service Inputs Consumption Community Service Quality Service Effectiveness

(5)

23

Service input adalah jumlah sumber daya yang dikeluarkan untuk memproduksi output. Service output adalah jumlah output dari operator sementara konsumsi adalah jumlah pemakaian output layanan yang dimanfaatkan masyarakat. Ketiga kategori di atas dapat memberikan beberapa kombinasi berdasarkan hubungan komponen yang dipertimbangkan misalnya efisiensi biaya, efisiensi layanan, efektifitas biaya, efektifitas layanan dan kualitas layanan.

Dua konsep yang dicakup dalam kerangka evaluasi kinerja sebagaimana Gambar II.1 di atas adalah efisiensi dan efektifitas. Sekalipun dalam beberapa literatur transportasi didefinisikan dalam beberapa cara, efisiensi (hasil guna) umumnya mengacu kepada penggunaan sejumlah input untuk menyediakan sejumlah aktifitas, sementara efektifitas (daya guna) mengacu kepada respon ataupun outcome untuk setiap satuan input atau aktifitas yang disediakan (Hodge dan Orrell, 1995). Penilaian kinerja sistem angkutan cenderung memusat pada produktifitas dan efisiensi teknis (De Borger, 2003) atau berhubungan dengan biaya operasi dan pendapatan yang diterima dari operasi tersebut (Sussman, 2000).

Pada sisi operator, aspek biaya operasional merupakan hal yang menentukan terhadap kelangsungan usaha layanan. Greene et.al (1997) yang dikutip oleh Quinet dan Vicerman (2004) membagi struktur biaya dalam transportasi menjadi biaya eksternal dan biaya internal. Biaya eksternal berkaitan dengan dampak kegiatan transportasi terhadap lingkungan sementara biaya internal berkaitan dengan besaran input yang harus dikeluarkan untuk menyediakan layanan. Biaya internal dibagi lagi menjadi biaya untuk infrastruktur dan private cost (bahan bakar, perawatan, asuransi, pajak, depresiasi dan sejenisnya).

Berdasarkan alirannya menurut waktu, biaya yang ditanggung oleh operator terbagi lagi menjadi 3 (tiga) yaitu fixed part (dikeluarkan tahunan misalnya asuransi dan perijinan), semi-fixed part (terutama terdiri dari penyusutan nilai yang tergantung pada umur kendaraan dan total jarak yang telah ditempuh) dan variable part yang tergantung pada jarak tempuh (berhubungan dengan

(6)

24

penggunaan langsung seperti perawatan, bahan bakar, pelumas dan biaya tol) (Quinet dan Vicerman, 2004).

Penyediaan layanan angkutan umum oleh swasta membagi beban penyediaan layanan antara pemerintah dengan swasta dimana pemerintah bertanggung jawab atas penyediaan infrastruktur sementara swasta menanggung private cost. Dengan sistem sewa-menyewa antara pemilik kendaraan dan pengemudi yang berlaku pada operasional angkot, biaya dari sisi operator terbagi lagi menjadi beban pemilik dan beban pengemudi (penyewa). Pemilik kendaraan menanggung bagian yang bersifat fixed dan semi-fixed sementara pengemudi menanggung bagian yang bersifat variable part.

Pembagian beban antara pemilik kendaraan dan pengemudi menempatkan pengemudi angkot pada posisi ketika berhadapan dengan pemilik berperan sebagai pengguna kendaraan tapi ketika berhadapan dengan penumpang sebagai penyedia kendaraan. Sebagai pengguna, menurut Small (1992) dalam Quinet dan Vicerman (2004, h.122-123), biaya yang diperhatikan terutama adalah bahan bakar sementara terhadap biaya lainnya tidak terlalu diperhatikan.

Biaya bahan bakar merupakan biaya variable yaitu berubah menurut jarak tempuh. Dalam upaya menekan komponen biaya yang langsung menjadi tanggungan pengemudi ini, pilihannya adalah menekan jumlah jarak tempuh atau menyesuaikannya dengan potensi penumpang sehingga efisiensi bagi pengemudi diperoleh dari tidak terlampauinya pendapatan oleh biaya bahan bakar.

Pendekatan produktifitas dari Waters dalam Hensher dan Button (2000, h.335-350) meski ditujukan bagi kegiatan transportasi secara umum namun dapat diterapkan dalam menjelaskan pola pergerakan angkot yang memperhitungkan perbandingan antara biaya dan pendapatan dari suatu kegiatan transportasi sebagai salah satu faktor dalam pergerakan kendaraan di jalan.

Dimensi mendasar dalam mengukur kinerja angkutan umum adalah efektifitas yaitu sejauh mana kesesuaian sistem transportasi publik dengan tujuan kebijakan publik umumnya. Dimensi kedua adalah efisiensi yaitu penyediaan layanan dengan biaya terendah (Cox, 1996). Dengan pembagian beban biaya operasional

(7)

25

angkot sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengemudi akan lebih mementingkan dimensi kedua yaitu efisiensi dalam operasional dengan menekan biaya serendah mungkin dengan menjaga marjin antara pendapatan terhadap biaya sehingga pengemudi tetap memperoleh bagian yang dapat dibawa pulang sebagai penghasilan bersihnya (take home pay).

II.4. Pendekatan Perilaku dalam Penyediaan Layanan Angkutan Umum

Oxford Learner’s Dictionary (1991) mendefinisikan perilaku (behavior) sebagai cara bertindak, dari kata dasar behave yang berarti tindakan dengan cara tertentu (act in a particular way). Menurut Oppenheim (1994), pendekatan perilaku (behavioral approach) dalam kegiatan transportasi dihubungkan dengan pengambilan keputusan perjalanan yang berkaitan dengan pilihan-pilihan, atau alternatif, yang dihadapi. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip-prinsip perilaku manusia. Lebih khusus lagi, pelaku perjalanan diasumsikan akan membuat pilihan dalam perjalanan yang terbaik bagi mereka.

Setiap keputusan yang diambil oleh setiap pelaku perjalanan merupakan suatu proses berfikir yang melibatkan kegiatan penyusunan persepsi, pembentukan kesan dan perasaan, penetapan urutan kepentingan, dan penentuan pilihan (Koppelman dan Pas, 1980 dalam Rosmiyanti, 1990). Sebelum menetapkan pilihan berdasarkan nilai tertinggi dari alternatif pilihan yang ada, faktor pribadi dan lingkungan akan membedakan pilihan satu pelaku dengan pelaku perjalanan lainnya. Faktor pribadi lebih tercermin dari kondisi fisik dan pribadi pelaku yang mempengaruhi pembentukan persepsi. Faktor lingkungan dapat berbentuk kepemilikan kendaraan, tingkat pendapatan dan lain-lain (Rosmiyanti, 1990). Sifat dominan dari perilaku manusia, menurut Hawkins (1986), merupakan prediksi berdasarkan rangsangan dari lingkungan. Melalui otak, manusia senantiasa melakukan prediksi mengenai apa yang akan terjadi dengan melihat kondisi lingkungan. Asosiasi terhadap kondisi lingkungan yang terjadi secara konsisten pada masa lampau diprediksikan akan terjadi lagi di masa mendatang.

(8)

26

Ukuran untuk mengetahui preferensi pelaku perjalanan yang berkaitan dengan pilihan tertentu, atau kombinasi dari sejumlah pilihan, adalah utilitas (utility). Secara singkat utilitas dapat dianggap sebagai penjumlahan total dari sejumlah atribut seperti kecepatan dalam pergerakan, kenyamanan, keamanan dan biaya yang kemudian diterjemahkan ke dalam nilai moneter. Diasumsikan bahwa pelaku perjalanan akan memilih alternatif perjalanan yang memberikan utilitas maksimal (Oppenheim, 1994).

Konsep yang mendasari perilaku pejalan adalah rasionalitas yang diturunkan dari konsep ekonomi. Rasionalitas difahami berhubungan dengan upaya maksimalisasi utilitas. Hipotesis maksimalisasi utilitas, menurut Dequech (2001), terdiri dari tiga versi yaitu deskriptif (atau positif), orang melakukan maksimalisasi harapan utilitas secara sadar dan hati-hati, preskriptif (atau normatif), orang seharusnya melakukan maksimalisasi utilitas yang diharapkan agar dapat berlaku rasional, dan versi as if dimana orang melakukan maksimalisasi tanpa sungguh-sungguh melakukan kalkulasi sebagaimana versi deskriptif yang pertama.

Sebagai suatu kegiatan usaha, angkutan umum perkotaan yang dikelola oleh swasta menghadapi kondisi lingkungan operasi yang lebih kompleks dibanding angkutan umum yang dikelola oleh pemerintah melalui subsidi. Risiko operasi angkutan umum perkotaan yang dikelola swasta sepenuhnya ditanggung oleh operator sehingga dengan batasan kapital yang ada, pengelola harus mampu memperbaiki kinerjanya dengan meningkatkan efisiensi. Peningkatan efisiensi berarti operator berusaha semaksimal mungkin menekan besaran input yang diperlukan dan pada saat bersamaan memaksimalkan output (pendapatan).

Dari indikator layanan berupa Nilai Rasio Operasi yang diperoleh dari membandingkan antara pendapatan per hari dengan biaya operasi kendaraan per harinya, berdasarkan penelitian tahun 2003 oleh Sutomo (2006) pada kinerja bus KOPATA di Yogyakarta diperoleh nilai sebesar 0,8-1,5. Angka yang lebih besar dari standar World Bank (1,05-1,08) ini menunjukkan bahwa layanan yang diberikan oleh operator masih bersifat menguntungkan. Namun keuntungan diperoleh dengan menekan biaya operasi kendaraan. Hal ini menunjukkan bahwa

(9)

27

operator masih mementingkan sifat mengangkutnya daripada melayani konsumen. Sistem setoran yang diterapkan selama ini menjadi sumber ketidakteraturan awak kendaraan di jalanan seperti berhenti sembarang tempat (ngetem), ugal-ugalan, kebut-kebutan ataupun berebut penumpang. Hak konsumen terabaikan dari perilaku mengejar setoran para pengemudi. Dengan sirkulasi keuangan layanan angkutan umum yang sama, maka perilaku pengemudi yang sama juga dapat terjadi tanpa melihat ukuran kendaraan yang digunakan.

II.5 Kualitas dan Tingkat Layanan Angkutan Umum

Pola arus lalu lintas yang terjadi pada jaringan transportasi dapat dipandang sebagai hasil dari dua mekanisme kompetisi yaitu pemakai sistem yang mencoba melakukan perjalanan sedemikian sehingga dapat meminimalkan ketidaknyamanannya, sementara pada sisi lain ketidaknyamanan yang berhubungan dengan transportasi tergantung pada tingkat pemakaiannya. Keseimbangan akan tercapai apabila kebutuhan akan transportasi dapat dipenuhi oleh penyediaan jaringan transportasi (Sheffi, 1985).

Permasalahan di daerah perkotaan di Indonesia dan menjadi ciri negara sedang berkembang adalah kemacetan, keterlambatan, serta polusi udara dan suara. Lindsey et.al dalam Hensher dan Button (2000, h.353-372) menyebutkan bahwa kemacetan lebih merupakan hasil dari keputusan melakukan perjalanan dan perilaku mengemudi menit demi menit.

Waktu tempuh merupakan salah satu faktor yang utama yang menjadi daya tarik dalam pemilihan moda. Bertambahnya waktu tempuh akan menurunkan jumlah pengguna moda transportasi tertentu dan dengan sendirinya akan menurunkan pula tingkat pendapatannya. Akibat lebih jauh adalah berkurangnya kepercayaan masyarakat akan kemampuan moda transportasi tersebut dan jika ada pilihan lain yang lebih baik, masyarakat akan beralih memilih moda lain itu (Tamin, 2000). Tingkat layanan yang penting bagi pengguna, menurut Sussman (2000), adalah harga, waktu tempuh, frekuensi layanan dan kenyamanan. Cox (2003) juga menyatakan bahwa perencanaan transportasi publik semestinya didasarkan pada

(10)

28

prinsip untuk mendorong penggunaan angkutan umum sebagai ganti angkutan pribadi sehingga ukuran keberhasilannya seharusnya didasarkan pada kemampuan angkutan untuk menaikkan porsi penggunaannya oleh masyarakat dan pada saat bersamaan terjadi penurunan penggunaan angkutan pribadi5.

Sebagai bagian dari sejumlah alternatif pilihan dalam transportasi umum perkotaan, kualitas layanan angkutan umum menjadi hal yang sangat penting diperhatikan baik oleh pengelola transportasi perkotaan maupun bagi pengemudi dan pemilik kendaraan agar menarik bagi calon penumpang. Jumsan et.al (2005) mengacu Transit Capacity and Quality of Service Manual mengutarakan bahwa pengukuran kualitas layanan rute tetap terdiri dari 2 kategori utama yaitu (1) ketersediaan (availability) dan (2) kenyamanan (comfort and convenience). Ketersediaan mengukur gambaran ketersediaan menurut ruang dan waktu dari layanan angkutan (spatial and temporal availability of transit service). Layanan angkut yang terlalu jauh dari calon pengguna atau waktu pergerakannya tidak sesuai dengan kebutuhan, maka calon pengguna tidak akan menjadikan angkot sebagai pilihan utama karena kualitas layanannya buruk. Apabila layanan angkutan tersedia menurut ruang dan waktu maka persepsi pengguna mengenai kenyamanan dapat menjadi ukuran dalam menilai kualitas layanan.

Beberapa studi yang dapat dilakukan untuk memahami tingkat layanan dan kebutuhan transportasi menurut Wright dan Ashford (1982) adalah kajian rute dan luas cakupan, kajian karakteristik masing-masing rute, frekuensi dan keteraturan layanan, penumpang yang terangkut dibanding tingkat kebutuhan, kecepatan dan tundaan yang terjadi dan kajian operasional secara umum.

Untuk kajian operasional secara umum, Wright dan Ashford (1982) menyatakan terdapat 6 (enam) ukuran penting yaitu kualitas pelayanan dalam kendaraan-jarak per kapita, kualitas pelayanan dalam kendaraan-jarak per pendapatan, efisiensi layanan dalam waktu dari terminal ke terminal per kendaraan-jarak, pemanfaatan

5 Kecenderungan yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia, termasuk Bandung, justru menunjukkan peningkatan penggunaan kendaraan pribadi. Kualitas layanan yang buruk, sistem operasi yang dikeluhkan serta citra yang jelek, sebagaimana diungkapkan oleh Sutomo (2000), mengakibatkan jumlah penumpang angkutan umum mengalami penurunan sampai 30 persen.

(11)

29

layanan dalam pendapatan dari penumpang per kapita, cakupan rute dalam jarak per kapita, dan kesesuaian waktu yang ditunjukkan oleh kecepatan sistem operasional. Dari sisi pengguna, tingkat pelayanan dari suatu fasilitas transportasi terutama adalah waktu tempuh, yang meliputi selain rata-rata waktunya juga keandalannya (reliability of trip time), biaya, frekuensi layanan, waktu tunggu, kenyamanan dan keamanan.

Transit Capacity and Quality of Service Manual (TCQSM) dari Transportation Research Board, TRB (1999), mendefinisikan kualitas layanan sebagai keseluruhan kinerja layanan angkutan yang terukur atau diterima dari sudut pandang penumpang. Pengukuran kualitas layanan angkutan mencerminkan dua aspek penting yaitu (1) tingkatan dimana layanan angkutan tersedia (available) pada lokasi-lokasi tertentu dan (2) kenyamanan (comfort and convenience) yang diberikan kepada penumpang. Ukuran ini menggambarkan kemungkinan keputusan-keputusan yang akan diambil calon penumpang, sadar ataupun tidak, apakah akan menggunakan angkutan umum atau moda lainnya, biasanya kendaraan pribadi.

Ketersediaan (availability) adalah kategori yang paling penting dalam penilaian kualitas layanan angkutan karena akan menentukan apakah layanan angkutan akan menjadi pilihan yang potensial atau tidak tanpa melihat kualitas perjalanan. Tidak seperti kendaraan pribadi yang dapat mengakses ke semua lokasi (bagi yang memilikinya) dan pada setiap saat dibutuhkan, layanan angkutan umum memiliki keterbatasan menurut tempat dan waktu (TCRP Report 88 dalam TCQSM, 2002) Beberapa kondisi yang menentukan ketersediaan (availability) adalah:

- Layanan tersedia dekat dengan asal perjalanan seseorang - Layanan tersedia dekat dengan tujuan perjalanan seseorang - Layanan tersedia pada atau dekat dengan saat dibutuhkannya

- Penumpang dapat memperoleh informasi mengenai kapan dan di mana layanan angkutan tersedia dan bagaimana menggunakannya

(12)

30

Jika semua semua kondisi di atas dapat dipenuhi, maka layanan angkutan umum dapat menjadi pilihan untuk perjalanan tertentu. Apakah calon penumpang memutuskan akan menggunakannya atau tidak tergantung dari tingkat kenyamanan (comfort and convenience) dibandingkan dengan moda lainnya. Dalam menilai kualitas layanan angkutan umum (bis dalam kasus Amerika Serikat), FDOT (2002) menggunakan frekuensi layanan sebagai salah satu penentu dalam menilai tingkat layanan. Kriteria ini, yang mengacu kepada TCQSM sebagaimana diberikan pada Tabel II.1, menggunakan pendekatan dari sudut pandang calon penumpang.

Tabel II.1 Tingkat Layanan berdasarkan Frekuensi Layanan Tingkat Layanan Frekuensi layanan (kndr/jam) Headway (menit) Keterangan A > 6,0 < 10 Penumpang tidak membutuhkan jadwal

B 4,01 – 6,0 10 – 14 Penumpang mempertimbangkan jadwal

C 3,0 – 4,0 15 – 20 Waktu tunggu maksimum jika ketinggalan kendaraan

D 2,0 – 2,99 21 – 30

Layanan tidak menarik bagi penumpang yang memilih kendaraan

E 1,0 – 1,99 31 – 60 Layanan hanya tersedia pada jam tertentu

F < 1,0 > 60 Layanan tidak menarik bagi semua penumpang Sumber : ______, 2002, Quality/Level of Service, Handbook, Department of Transportation, State of Florida

Selain kapasitas angkut, salah satu hal yang juga penting dalam penilaian layanan angkutan umum adalah luas wilayah layanan (service coverage area). Wilayah layanan, menurut Jumsan et.al (2005), adalah wilayah yang dicakup oleh rute tertentu yang berada dalam batas berjalan kaki dari titik perhentian. Untuk perhentian bis, wilayah ini dibatasi oleh jarak udara sejauh 400 m (0,25 mil)

(13)

31

sehingga semua lokasi yang berada dalam radius tersebut dianggap dilayani oleh rute yang bersangkutan.

TCQSM mendefinisikan tingkat pelayanan berdasarkan cakupan area layanan sebagaimana Tabel II.2 di bawah. Transit-Supportive Area (TSA) merupakan bagian dari wilayah yang dianalisa yang memiliki kepadatan rumah tangga paling kurang 7 satuan per hektar.

Selain indikator berupa layanan yang langsung dipersepsi oleh pengguna sebagaimana diuraikan di atas, luas wilayah yang terlayani merupakan aspek yang penting bagi perencana dan pengelola kota. Hal ini berkaitan dengan fungsi utama transportasi, yaitu memberi peluang terjadinya pergerakan dari satu titik asal tertentu menuju ke titik tujuan tertentu dalam batas wilayah kota.

Tabel II.2 LOS Berdasarkan Cakupan Wilayah Layanan

LOS % TSA Covered Keterangan

A 90,0 – 100% Semua titik OD terlayani

B 80,0 – 89,9% Sebagian besar titik OD terlayani C 70,0 – 79,9% Sekitar ¾ wilayah terlayani D 60,0 – 69,9% Sekitar 2/3 wilayah terlayani E 50,0 – 59,9% Paling kurang ½ wilayah terlayani F < 50,0% Kurang dari ½ wilayah terlayani Sumber: TCQSM 2nd Edition, TRB 2000

Standar layanan angkutan umum yang diuraikan di atas didasari oleh kebijakan dan pemahaman bahwa penyediaan angkutan umum merupakan tugas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada publik (public service obligation). Dengan orientasi terhadap kepentingan publik sebagai pemakai moda, standar yang dikembangkan ditujukan sepenuhnya untuk kenyamanan (calon) penumpang untuk mendukung implementasi kebijakan transportasi pemerintah dalam pengembangan wilayah. Efektifitas kebijakan transportasi publik karenanya

(14)

32

diukur dari jumlah penumpang yang memanfaatkan angkutan umum yang disediakan oleh pemerintah dibanding penggunaan kendaraan pribadi sebagaimana diuraikan oleh Cox (1996) dan White (1996).

Skema kinerja sistem angkutan yang diberikan oleh Giannopoulus dalam Eriawan (1992) menunjukkan bahwa kualitas maupun jumlah layanan sistem angkutan merupakan hasil dari proses efisiensi biaya maupun efisiensi layanan. Bagi operator angkutan umum yang tidak mendapat subsidi dari pemerintah, seperti angkot di Kota Bandung, maka efisiensi merupakan hal yang akan dioptimalkan untuk memaksimalkan profit.

Pendekatan buy the service bahwa pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya atas penyediaan layanan angkutan umum belum sepenuhnya dapat diterapkan di negara berkembang. Sejarah angkutan umum di dunia juga menunjukkan perbedaan pola perkembangan transportasi publik antara negara maju dan negara berkembang. Kehadiran angkutan umum di negara maju relatif mendahului perkembangan kepemilikan kendaraan pribadi. Bis kota yang ditarik kuda (horse-drawn omnibus) misalnya telah muncul di Paris tahun 18276 mendahului perkembangan kendaraan bermesin tahun 1888 dan tahun 1896 untuk kendaraan bermesin diesel. Pada negara berkembang perkembangan angkutan didahului oleh kepemilikan pribadi, misalnya kuda dan kereta, sementara munculnya bis kota di Indonesia baru pada tahun 1970-an. Perbedaan pola perkembangan ini menimbulkan perbedaan persepsi masyarakat terhadap angkutan umum. Di negara berkembang angkutan umum dikonotasikan adalah bagi mereka yang kurang mampu untuk memiliki kendaraan pribadi karena pada sisi lain kepemilikan kendaraan pribadi menjadi simbol status sosial dalam masyarakat (Sutomo, 2000).

Sebagai tugas pemerintah melayani publik, penyediaan moda angkutan umum pada negara berkembang terkendala dengan kemampuan pemerintah. Pada sisi lain belum mapannya tingkat kemajuan ekonomi tersebut menimbulkan masalah dalam penyediaan lapangan kerja/usaha bagi masyarakat. Keadaan ini mendorong

(15)

33

tumbuhnya usaha swasta untuk menyediakan jasa angkutan umum yang kemudian berkembang menjadi suatu bentuk usaha masyarakat dengan jumlah yang melebihi jasa angkutan yang mampu disediakan dan dikelola oleh pemerintah sendiri.

Sifat kegiatan angkutan umum sebagai suatu bentuk usaha masyarakat berdampak pada lebih dominannya upaya mencari keuntungan oleh operator dengan memanfaatkan celah yang tersedia antara kebutuhan dengan kemampuan penyediaan oleh pemerintah. Dualisme peran angkutan umum, sebagai bentuk usaha masyarakat di satu sisi dan pelayan publik pada sisi lain, menempatkan upaya peningkatan kualitas layanan angkutan umum menemui kendala berkaitan dengan hak masyarakat, pengusaha dan pengelola angkutan umum, untuk berusaha dan mendapatkan penghasilan yang layak.

Pada kasus Kota Bandung, misalnya, dengan 5000-an angkot yang terdaftar mengindikasikan besarnya jumlah masyarakat yang menggantungkan hidup dari usaha angkutan perkotaan ini mulai dari pengemudi sampai pemilik kendaraan. Apabila diasumsikan bahwa setiap pengemudi telah berkeluarga, memiliki anak dan istri, maka angkot memberi makan terhadap 15.000-an orang7.

Dengan pertumbuhan persaingan moda di perkotaan, kendaraan pribadi dan sepeda motor, pengusaha dan pengemudi angkutan umum menghadapi masalah serius untuk tetap bertahan dan menjaga tingkat kesejahteraannya. Maksimalisasi keuntungan adalah fenomena yang kemudian muncul lebih dominan dalam penyediaan jasa angkutan umum perkotaan dibanding perhatian terhadap kualitas layanan.

Keadaan di atas menempatkan pemerintah kota pada posisi sulit. Pada satu sisi menganulir lisensi trayek bagi angkutan umum yang gagal memberikan kualitas layanan yang baik akan menimbulkan dampak sosial terhadap serapan tenaga kerja dan kesejahteraan sebagian masyarakat kota tapi pada sisi lain melepaskan

7 Pada kasus urbanisasi di negara berkembang, misalnya di Peru dalam De Soto (1992), sektor

angkutan merupakan salah satu bentuk usaha informal yang berkembang yang, menurut Rachbini (1994), menjadi katup pengaman dari kegagalan kebijakan ekonomi pemerintah

(16)

34

sepenuhnya kualitas layanan kepada mekanisme pasar, dengan harapan angkutan umum berkualitas layanan rendah akan ditinggalkan oleh calon pengguna, akan semakin mendorong penggunaan kendaraan pribadi dengan dampak selanjutnya adalah semakin tidak efisiennya transportasi perkotaan.

II.6 Kajian Tentang Angkutan Umum di Kota Bandung

Sejumlah kajian tentang angkutan umum yang pernah dilakukan di Kota Bandung tidak secara eksplisit menjelaskan kategori yang dipakai untuk mengklasifikasikan angkot dalam bentuk yang sehari-hari beroperasi dalam definisi konvensional angkutan umum perkotaan. Literatur-literatur yang ada mengenai angkutan umum perkotaan secara implisit merujuk kepada angkutan berkapasitas tinggi pada satu sisi (bis dan kendaraan rel) dan paratransit pada sisi lain. Amstrong-Wright (1986) dalam Khisty-Lall (2003) mendefinisikan paratransit sebagai moda angkutan dengan kapasitas kecil yang beroperasi secara informal, alternatif dari layanan angkutan bis reguler, yang responsif terhadap kebutuhan dengan kebebasan memilih jenis kendaraan, rute, frekuensi, jam operasi sekalipun satuan tarifnya diatur oleh pemerintah.

Penerapan definisi konvensional angkutan umum perkotaan untuk kasus Kota Bandung tidak sepenuhnya dapat dilakukan dengan tepat karena pada satu sisi mayoritas angkutan umum yang beroperasi memiliki kapasitas rendah (12 tempat duduk) yang menjadikannya sulit dimasukkan dalam kategori angkutan massal, sebagai ciri yang diharapkan angkutan umum perkotaan, sementara dengan batasan rute dan lintasan dalam ruang kota ciri sebagai paratransit tidak sepenuhnya berlaku karena sifat responsif terhadap kebutuhan memiliki batasan pada tingkat operasional.

Dengan keterbatasan definisi-definisi yang ada, Joewono dan Kubota (2007) mengkategorikan angkutan umum kota yang beroperasi di Indonesia sebagai suatu paratransit sebagaimana jeepney di Filipina, tuk-tuk dan songtaew di Thailand serta mammy wagons dan matutu di negara-negara Afrika. Di banyak kota di Indonesia, paratransit ini menggunakan nama-nama lokal dan mengacu kepada ragam kendaraan yang digunakan yang umumnya dengan kapasitas 12 – 14

(17)

35

tempat duduk. Tidak seperti definisi paratransit di negara-negara maju yang umumnya mengacu kepada angkutan bersubsidi yang disediakan pemerintah bagi orang tua maupun cacat (Yang, 2005, Lave dan Mathias, 2003 dan Simon, 1998), jasa paratransit di Indonesia disediakan bagi semua orang.

Beberapa kajian tentang angkot yang pernah dilakukan di Kota Bandung di antaranya oleh Tamin (1993 dan 2004) dan Kantor Diklat-LPPM ITB (2003), melihat bahwa permasalahan kemacetan lalu lintas di Kota Bandung, angkot berkontribusi 75%, diakibatkan oleh hirarki jalan yang tidak jelas dan adanya tumpang tindih rute angkutan umum baik sesama trayek angkot maupun dengan bus kota, selain karena jaringan jalan dan struktur tata ruang yang berorientasi ke satu pusat (konsentris). Optimasi jumlah armada, penataan rute merupakan alternatif pemecahan yang ditawarkan. untuk melindungi kepentingan pengusaha. Pada sisi lain, studi mengenai pengaruh kemacetan lalu lintas terhadap operasional angkutan perkotaan, terutama angkutan umum, yang pernah dilakukan di Kota Bandung tidak menghubungkannya dengan tingkat layanan. Kajian-kajian tersebut melihat dampak kemacetan dari sisi dampak terhadap operator. Studi yang dilakukan Armando dan Awaluddin (2005) mengkaji dampak kemacetan terhadap waktu tempuh angkot dalam pergerakannya di perkotaan. Kajian penataulangan rute angkot juga dilakukan oleh Cahyaningrum (2005). Dampak kemacetan dikaji oleh Kawuryan (1999) berupa biaya akibat kemacetan pada ruas jalan seputar BIP. Kajian-kajian tersebut menempatkan kemacetan sebagai fenomena terjadinya kesenjangan antara kebutuhan dan kemudahan pergerakan sehingga dengan pendekatan optimalisasi antara kebutuhan dan kemudahan pergerakan kurang memberi gambaran langsung pengaruh kemacetan terhadap kinerja dan kualitas layanan angkot yang beroperasi berdasarkan kondisi lalu lintas dan ketentuan trayek yang saat ini berlaku.

Dari 40 (empat puluh) trayek yang dievaluasi, Eriawan (1992) menyimpulkan terdapat 5 (lima) trayek atau 12,5% yang tidak efisien dan mengalami kerugian, sementara yang efisiensinya rendah sejumlah 9 (sembilan) trayek atau 22,5%.

(18)

36

Efisiensi rendah atau tidak efisien sama sekali ternyata tidak membuat jumlah angkot di Kota Bandung berkurang.

Angkeara (1997) yang mengkaji perkembangan angkutan umum kota menyimpulkan bahwa apabila dilihat secara menyeluruh angkot bukanlah penyebab kemacetan lalu lintas di Bandung karena pertumbuhan kendaraan pribadi jauh lebih tinggi, tapi apabila dilihat pada tingkat mikro maka tumpang-tindih rute angkotlah yang menimbulkan masalah lalu lintas.

Kajian-kajian di atas menggunakan pendekatan sistem transportasi makro dalam menganalisa peran angkutan umum perkotaan di Kota Bandung. Hal yang belum terjawab adalah upaya mendorong penggunaan angkutan umum perkotaan dan pada saat bersamaan berupaya mengurangi kecenderungan penggunaan kendaraan pribadi. Kajian yang dilakukan oleh Kantor Diklat dan LPPM-ITB (2003) dan Yuliana (2003) menunjukkan bahwa angkutan umum hanya menjadi alternatif terakhir dalam pilihan pergerakan di perkotaan namun rekomendasi untuk perbaikan kualitas layanan tidak sepenuhnya melihat kenyataan bahwa penyediaan jasa angkutan umum lebih sebagai suatu bentuk usaha, terutama yang dikelola oleh swasta, yang ditujukan terutama untuk maksimalisasi keuntungan operator (pemilik dan pengemudi) sehingga keputusan pergerakan angkutan umum perkotaan sehari-hari pada dasarnya ditentukan pada perhitungan margin antara biaya operasional dan potensi pendapatan.

Hal-hal tersebut di atas menunjukkan perbedaan kondisi yang memberi pengaruh terhadap penilaian kualitas layanan angkutan umum antara negara maju dengan negara berkembang. Dalam kenyataannya instansi terkait dengan transportasi perkotaan belum memiliki Standar Pelayanan Minimum (SPM), kajian penilaian layanan angkutan umum yang telah dilakukan memiliki celah yang besar antara layanan dalam ukuran yang makro (sistem transportasi secara umum sebagai suatu sistem) pada satu sisi dan persepsi pengguna/operator pada sisi lain. Keadaan ini menyulitkan dalam upaya peningkatan kualitas layanan.

(19)

37

Dalam upaya menekan kecenderungan pertumbuhan penggunaan kendaraan, angkutan umum dituntut mampu menawarkan tingkat layanan tertentu yang oleh calon pengguna kemudian dapat ditempatkan pada posisi seimbang sebagai alternatif pilihan moda pergerakan. Sebagai patokan dalam menilai perkembangan kualitas layanan angkutan dari waktu ke waktu, persepsi penumpang sebagai salah satu tolok ukur dalam menilai kualitas layanan karenanya dapat dijadikan sebagai masukan untuk kemudian dibandingkan dengan suatu standar tingkat pelayanan minimun tertentu.

Gambar

Gambar II.1 Indikator Kinerja Sistem Angkutan
Tabel II.1 Tingkat Layanan berdasarkan Frekuensi Layanan  Tingkat  Layanan  Frekuensi layanan (kndr/jam)  Headway      (menit)  Keterangan  A  &gt; 6,0  &lt; 10  Penumpang tidak  membutuhkan jadwal  B  4,01 – 6,0  10 – 14  Penumpang  mempertimbangkan jadwa
Tabel II.2 LOS Berdasarkan Cakupan Wilayah Layanan  LOS %  TSA  Covered  Keterangan

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Alhamdulillah peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT beserta junjungan besar Nabi Muhammad SAW, atas segala rahmat dan karunia yang telah diberikan kepada peneliti sehingga

Radiasi inframerah dari matahari langsung yang terpapar terlalu lama setiap hari pada kulit dapat menyebabkan kulit mudah keriput dan kering, karena sinar matahari dapat

(2) Berita acara penyerahan pekerjaan hasil pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV A dan Lampiran IV B

pengertian dari negara kesejahteraan adalah sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting

– Apakah keunggulan bisnis saya dibandingkan perusahaan lain yang sudah ada.. – Apakah saya bisa memberikan mutu pelayanan yang

(1) Untuk keperluan perusahaan kebun besar dapat diberikan hak atas tanah untuk waktu paling lama 30 tahun dengan nama hak usaha, di dalam hal yang khusus, berhubung dengan