• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Avian Influenza

Avian Influenza (AI) yang popular disebut flu burung merupakan penyakit infeksius pada unggas. Penyakit ini telah menyebar ke seluruh dunia dan menyerang berbagai jenis unggas (Fenner dkk., 1993). Wabah AI dengan angka kematian tinggi pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1878, yang saat itu dikenal dengan nama Fowl Plague. Penyebab Fowl Plague berhasil diisolasi pada tahun 1955 dan diidentifikasi sebagai Avian Influenza tipe A (Dinas Peternakan, 2004).

2.1.1 Etiologi

Avian Influenza disebabkan oleh virus Influenza tipe A yang termasuk dalam famili Orthomyxoviridae (Webster dan Hulse, 2004). Virus-virus dalam famili ini dikelompokkan menjadi tipe A, B, dan C berdasarkan perbedaan antigenik protein nucleoprotein (NP) dan matriks (M) (Mahardika dkk,. 2005). Virus influenza A menyebabkan influenza pada babi, kuda, unggas, serta manusia. Sedangkan virus influenza B dan C menyebabkan penyakit pada manusia tetapi tidak pada spesies ternak (Fenner dkk., 1993)

Berdasarkan struktur antigen dan glikoprotein permukaan virus influenza A, yaitu Hemaglutinin (HA) dan Neuramidase (NA), telah diidentifikasi 16 subtipe HA dan 9 subtipe NA (Fauchier dkk., 2005; Harimoto dan Kawaoka, 2005, Harder dan Warner, 2006). Sesuai dengan tingkat keganasannya, virus AI digolongkan menjadi dua, yaitu Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) misalnya H5 dan H7, dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) misalnya H7N7 (Soeharsono, 2002; Perdue and Swayne, 2005).

2.1.2 Sifat-sifat Virus a. Sifat Antigenik

Struktur antigen virus influenza dapat berubah secara bertahap karena mutasi, dan rekombinasi (Antigenic drift/ hanyutan antigenic) serta reassortment (Antigenic shift/ lompatan antigenic) (Webster dkk., 1992). Hal tersebut karena struktur genetik dari virus terdiri atas RNA rantai tunngal dan bersegmen (Cann, 1993)

Virus Avian Influenza memiliki enzim RNA-Polimerase sendiri, sehingga mudah mengalami mutasi. Enzim RNA-Polimerase tidak mempunyai kemampuan proof reading yang baik jika dibandingkan dengan DNA-Polimerase (Webster dan Hulse, 2004).

(2)

Mutasi terjadi karena enzim RNA-Polimerase virus tidak mempunyai kemampuan memperbaiki kesalahan penyusunan RNA dalam replikasinya (Webster dkk., 1982; Webster dan Hulse, 2004)

Rekombinasi terjadi bila RNA virus Influenza terpotong dan disisipi potongan RNA asing yang berasal dari sel (Webster dan Hulse, 2004). Proses ini akan menghasilkan varian virus baru yang dapat terhindar dari system imun. Lompatan antigenic (antigenic shift) terjadi karena reassortment genetic dari dua virus influenza yang berbeda setelah menginfeksi satu sel yang sama (Webster dkk., 1982). Jika sel induk semang terinfeksi oleh dua virus influenza yang berbeda pada saat yang bersamaan dan bereplikasi pada saat yang bersamaan pula maka ada kemungkinan terjadi percampuran segmen dari kedua virus tersebut. Kombinasi mutasi, reassortment, dan rekombinasi genetic tersebut memungkinkan terjadinya perubahan sifat-sifat virus serta adaptasi untuk menembus barier spesies (Mahardika dkk., 2005).

b. Hemaglutinasi

Hemaglutinin yang menempel pada reseptor sel darah merah menyebabkan terbentuknya kompleks sel darah merah dengan virus sedemikian rupa sehingga sel darah merah tidak mengendap/ tidak terjadi aglutinasi (Harimoto dan Kawaoka, 2005). Uraian tersebut merupakan prinsip dasar uji HA. HA berperan dalam proses infeksi awal virus pada sel. Titer hemaglutinasi adalah pengenceran tertinggi dari suspensi virus yang mampu mengaglutinasi sel darah merah dengan sempurna. Titer antibodi terhadap HA dalam serum berkorelasi positif dengan kekebalan hewan terhadap virus yang homolog (WHO, 2002)

Virus yang mempunyai protein HA mampu mengaglutinasi sel darah merah manusia atau sel darah nerah hewan (Jawetz., 1995). Sel darah merah yang dapat diaglutinasi oleh VAI adalah sel darah merah manusia golongan O, primata, anjing, tikus, katak, tupai, itik dan berbagai spesies unggas lainnya (Buxton dan Fraser, 1977).

c. Sifat Fisiko-Kimia

Virus influenza sensitif terhadap pemanasan, sinar ultra violet, disinfektan dan antiseptik (Buxton dan Fraser, 1977; Beard, 1980). Virus influenza ini sensitive terhadap panas (56C – 60C selama 30 menit) (Jawetz dkk., 1996). Beberapa strain dapat bertahan pada suhu 56C selama 6 jam (Beard dkk., 1980). Virus Avian Influenza dapat

(3)

bertahan hidup di air sampai empat hari pada suhu 22C dan lebih dari 30 hari pada suhu 0C.Dalam debu kering virus ini dapat bertahan selama 14 hari (Buxton dan Fraser, 1977). Namun VAI ini akan mati pada suhu minimal 60C selama 3 jam (Soedjono dan Ekowati, 2005).

Inaktivasi virus dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan kimia seperti formaldehid, beta propilakton, binaria etilenimin, fenol, ion ammonium, sodium, hipoklorit, asam encer dan hidroksilamin (Swayne dan Halvorson, 2003). Deterjen seperti sodium deoksikolat dan sodium dodesilsilfat dapat juga digunakan untuk inaktifasi virus mengingat amplopnya yang tersusun atas lemak.

2.1.3 Epidemiologi

Epidemiologi VAI dapat dipetakan dengan melakukan isolasi dan identifikasi virus (WHO, 2002). Deteksi antibodi dapat juga digunakan untuk kajian epidemiologi VAI. Prevalensi atau kejadian penyakit, keberhasilan program vaksinasi, dampak, dinamika, dan penyebaran geografi dari virus baru/virus yang muncul kembali dapat terdeteksi dengan teknik ini (Fenner dkk.,1993). Virus avian influenza mempunyai penyebaran yang sangat luas dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang bervariasi. Pada virus HPAI, tingkat morbiditas dan mortalitas sangat tinggi (50%-90%) dan dapat mencapai 100% pada beberapa flok (Swayne dan Halvorson, 2003).

2.1.4 Penularan Virus

Virus AI dieksekresikan dari hidung, mulut, konjungtiva dan kloaka dari unggas terinfeksi ke lingkungan (Fenner dkk, 1993). Virus ditularkan melalui kontak langsung dengan leleran, muntahan, udara nafas, dan kotoran (Russel dan Edington, 1985). Mobilitas ternak terinfeksi juga dilaporkan berperan penting dalam penyebaran penyakit (Swayne dan Halvorson, 2003). Penularan virus ke manusia lebih mudah terjadi jika orang tersebut melakukan kontak langsung dengan aktivitas ternak. Kemungkinan penularan langsung dari unggas kepada manusia juga menjadi mekanisme penting timbulnya pandemi.

Itik liar dan itik piaraan telah diyakini sebagai penyimpan virus influenza A. Hewan ini juga berperan sebagai tempat evolusi virus sehingga dapat bereplikasi efesien pada manusia (Sturm-Ramires dkk., 2004). Itik mengeluarkan lebih banyak virus dalam waktu yang lebih panjang tanpa menunjukkan gejala klinis sakit (WHO, 2004). Dalam penyebaran VAI, babi dan burung puyuh berperan sebagai wahana pencampur (mixing vessel) dan

(4)

adaptasi virus influenza unggas dan mamalia atau manusia. Bila tertular VAI unggas dan manusia sekaligus, dalam tubuh babi dan burung puyuh kedua virus ini dapat mengalami genetic reassortment yaitu pencampuran materi genetik sehingga muncul virus baru yang dapat lebih ganas.

Peran burung air liar seperti camar dan burung-burung laut lainnya tidak dapat diabaikan. Burung liar diyakini sebagai tempat pelestarian dan perantara penularan antar benua. Pada burung-burung tersebut VAI telah dalam keadaan evolusi equilibrium, dengan tingkat mutasi yang statis (Harimoto dan Kawaoka, 2001). Peran industri peternakan unggas dan produknya sangat vital sebagai pemicu dan pembawa virus. Peternakan unggas selalu meyediakan hewan peka dalam jumlah besar. Pola peternakan yang mencampur unggas dalam berbagai umur, kerapatan ternak dalam suatu tempat yang sama akan meningkatkan laju penyebaran serta lestarinya VAI (Swayne dan Halvorson, 2003).

2.1.5 Patogenesis

VAI dapat bereplikasi pada saluran pernafasan dan saluran pencernaan unggas. VAI yang masuk melalui udara menginfeksi epitel silia pada mukosa hidung kemudian bereplikasi dan menyebar melalui saluran pernafasan. Pada infeksi berat, virus dapat menyebar ke bronchioli dan menyebabkan bronchitis dan ekskresi eksudat kental. Gejala klinis tampak 1 – 3 hari sesudah infeksi (Russel dan Edington, 1985). Pada HPAI, perjalanan penyakit diikuti dengan lesi berdarah pada organ dalam dan pial. Infeksi VAI seringkali menjadi lebih serius dengan adanya infeksi virus atau bakteri lainnya (Fenner dkk., 1993).

2.1.6 Gejala Klinis

Gejala klinis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis virus, jenis unggas yang terinfeksi, status imun, gizi unggas, dan lingkungan. Pada kasus LPAI, gejala klinis yang tampak adalah peningkatan suhu badan, penurunan produksi telur, penurunan berat badan yang disertai gangguan pernafasan (Capua dan Mutinelli, 2001). Sedangkan gejala klinis pada ayam yang terinfeksi HPAI antara lain kematian tiba-tiba tanpa gejala yang jelas, produksi telur turun drastis atau berhenti, pembengkakan dan kebiruan di kepala, jengger, pial, kelopak mata dan kaki, gejala gangguan nafas, dan gejala syaraf (Perkins dan Swayne, 2001).

Jacob dkk. (2003) melaporkan secara patologi anatomis terdapat cyanosis pada pial dan jengger, nekrosis pada hati, petechi pada sub kutan kaki, epikardium, myokardium dan proventrikulus. Perdarahan pada otot dada, otot paha, trakhea, paru-paru, dan ovarium.

(5)

Gambaran histopatologis yang diamati yaitu perdarahan dan peradangan non supuratif pada otot, kulit (pial, jengger dan kaki), otot dada, trakea, jantung, paru-paru, proventrikulus, hati, ginjal, dan ovarium sedangkan vaskulitis dijumpai pada otak, kulit, dan ginjal.

2.1.7 Pengobatan

Salah satu alternatif penaggulangan penyakit influenza terutama pada manusia adalah penggunaan obat. Saat ini tersedia dua jenis obat antivirus influenza. Pertama, ion channel (M2) blocker, seperti amantadine dan rimantadine yang dapat memblok aktivitas saluran ion VAI tipe A sehingga aliran ion hidrogen akan terblokir. Akibatnya virus tidak bisa melakukan replikasi. Kedua, neuramidase (NA) inhibitor, seperti zanamivir dan oseltamimivir. Protein NA berfungsi pada pelepasan virus dari sel. Adanya NA inhibitor membuat virus tidak bisa keluar dari sel. Akibatnya virus akan teragregasi dipermukaan sel dan tidak bisa pindah ke sel yang lain. Kelemahan obat ion channel blocker adalah memicu munculnya virus yang resisten (Utama, 2005).

2.1.8 Pengendalian

Avian influenza merupakan penyakit yang harus dimonitor dan wajib dilaporkan ke Instansi berwenang (WHO, 2002) agar informasi tentang VAI kepada masyarakat dapat segera dilakukan sehingga masyarakat dapat memahami cara untuk mencegah VAI.

Penanganan VAI di Indonesia meliputi sembilan startegi, yaitu : a. Biosekuriti

Enam prisip biosekuriti pada peternakan unggas yang disingkat menjadi BIRDDS, yaitu : 1). Build (bangun), yaitu bangun barier fisik dan prosedur agar patogen tidak masuk dan menyebar ke dalam peternakan unggas, 2). Increase (tingkatkan), yaitu tingkatkan resistensi flok terhadap penyakit dengan cara vaksinasi, nutrisi bagus, pengendalian parasit, dan menghilangkan penyebab stress, 3). Reduce (kurangi), yaitu kurangi multiplikasi patogen yang ada dipeternakan meliputi : hygiene, sanitasi, dan system all in all out, 4). Detect (deteksi), yaitu deteksi penyakit pada tahap awal dengan menggunakan sistem surveilans dan monitoring, 4). Dimension (dimensi), yaitu mengambil peluang waktu, jarak, dan gravitasi, 5). Select (pilih), yaitu penggantian stok dengan hati-hati dengan cara memilih dengan breeder yang aman dengan hygiene penetasan yang baik.

(6)

b. Vaksinasi

Vaksinasi AI hanya dapat menekan gejala klinis dan tidak dapat menghilangkan infeksi (Tabbu, 2000). Vaksinasi AI yang selama ini dilakukan di dunia belum ada yang terbukti dapat memberikan hasil yang efektif (Dinas Peternakan, 2004). Vaksinasi dilakukan terhadap semua jenis unggas yang sehat di daerah tertular. Vaksinasi VAI banyak tersedia dalam bentuk inaktif dalam adjuvant minyak yang mempunyai kandungan virus yang homolog dan heterolog. Kelemahan vaksinasi adalah kekebalan protektif tidak segera tercapai setelah mendapat vaksinasi ini. Selain itu, pada flock yang divaksinasi tidak akan memperlihatkan gejala klinis sesudah terekspos namun tetap dapat terinfeksi virus dan bertindak sebagai reservoir.

c. Depopulasi

Depopulasi adalah pemusnahan unggas secara selektif di peternakan tertular. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit lebih luas. Depopulasi dilakukan dengan membunuh semua unggas hidup yang sakit dan unggas sehat yang sekandang. Unggas dibunuh dengan cara euthanasia atau disembelih. Unggas yang mati harus dibakar dan dikubur beserta telur, kotoran (feses), bulu, alas kandang, pupuk, dan bahan ternak yang tercemar serta bahan dan peralatan lain yang terkontaminasi yang tidak dapat didesinfeksi secara efektif kemudian ditaburi bubuk kapur (Dinas Peternakan, 2004).

d. Pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas, dan limbah peternakan unggas. Pengendalian lalu lintas dilakukan secara ketat terhadap setiap pemasukan dan pengeluaran unggas hidup, produk unggas serta limbah peternakan dari peternakan tertular dibawah pengawasan dinas peternakan setempat. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya penyebaran virus dari luar daerah (Departemen Pertanian, 2005).

e. Surveilans dan Penelusuran

Surveilans bertujuan untuk mengetahui epidemiologi penyakit, Surveilans penyakit dilakukan di daerah tertular, terancam maupun daerah bebas penyakit dengan cara pengambilan sampel berupa darah, usapan kloaka atau feses dan apabila ada hewan yang mati dapat dibawa ke laboratorium untuk diuji. Pengujian sampel dilakukan untuk mengetahui jenis virus yang menyerang, perubahan antigenik virus, memantau keberhasilan vaksinasi, dan pemetaan penyakit untuk kepentingan pembebasan suatu

(7)

wilayah. Surveilans terhadap infeksi VAI akan dapat menyumbangkan informasi yang penting baik bagi dunia kesehatan manusia maupun dunia kesehatan hewan (WHO, 2002).

f. Pengisian kandang kembali (restocking)

Pengisian kembali unggas ke dalam kandang dapat dilakukan sekurang-kurangnya 1 bulan setelah dilakukan pengosongan kandang dan semua tindakan dekontaminasi (desinfeksi) serta disposal sesuai prosedur siap dilaksanakan. Hal ini dikarenakan kebanyakan virus tidak bisa bertahan hidup setelah 21 hari di udara bila mereka tidak melakukan kontak dengan hewan (Dinas Peternakan, 2004).

g. Stamping-Out

Stamping-Out merupakan strategi yang paling efektif disamping penerapan vaksinasi. Apabila timbul kasus AI di daerah bebas/terancam dan telah didiagnosa secara klinis, patologi anatomis, dan epidemiologi serta dikonfirmasi secara laboratoris, maka dilakukan stamping-out pada seluruh ternak unggas baik yang sakit maupun yang sehat pada peternakan tertular dan juga terhadap semua unggas yang berada dalam radius 1 km dari peternakan tertular tersebut. Namun strategi ini masih sulit diterapkan di Indonesia karena kemampuan pemerintah dalam memberikan kompensasi atas ternak yang dimusnahkan dan kesadaran masyarakat yang nasih kurang (Departemen Pertanian, 2005).

h. Peningkatan Kesadaran Masyarakat

Peningkatan kesadaran masyarakat tentang AI dilakukan dengan komunikasi efektif. Hal ini dilakukan agar masyarakat waspada terhadap bahaya penularan penyakit sehingga meminimalkan kerugian baik materi maupun moral. Komunikasi dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan oleh dinas kesehatan atau dinas peternakan, melalui siaran radio dan televisi, melalui Koran, majalah, poster, bahkan lewat internet. Keberhasilan berkomunikasi dapat dicapai apabila penyampaian informasi kepada masyarakat tepat waktu dan situasinya.

i. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring penyakit AI perlu dilakukan terus menerus dan dievaluasi untuk menilai efektifitas vaksinasi dan memonitor penyebaran penyakit. Monitoring dilakukan dengan

(8)

menempatkan hewan sentinel di dalam kandang dan mengambil sampel darahnya untuk diperiksa apakah serumnya mengandung antibodi terhadap VAI atau tidak. Jika hewan sentinel ternyata terpapar virus tapi ayam yang lain tidak ada yang mati, berarti program vaksinasi berhasil

2.2 Penyuluhan

Penyuluhan adalah suatu proses pendidikan non formal yang ditujukan kepada masyarakat dan seluruh keluarganya tentang suatu inovasi dengan metode tertentu sehingga masyarakat dapat menyadari, menerima, dan melaksanakan inovasi tersebut (Suyatna, 2004). Suprayitno (2009) menyatakan Penyuluhan adalah metode yang digunakan untuk meningkatkan pemahaman dan mengubah perilaku masyarakat tentang flu burung.

Peningkatan pemahaman ini bertujuan supaya masyarakat mengetahui sejak dini gejala yang terjadi pada ayam maupun manusia yang terinfeksi flu burung sehingga ada kemauan untuk mengubah perilaku menjadi lebih tanggap flu burung. Keberhasilan penyuluhan sangat ditentukan oleh komunikasi yang dilakukan komunikan (masyarakat) dan komunikator (penyuluh). Pesan yang disampaikan oleh komunikator harus informatif, persuasif, entertaintment (Levis, 1996) sehingga pesan itu mudah diterima masyarakat (komunikan) dan komunikan mau mengubah perilaku dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat.

2.3. Pengertian Perilaku

Perilaku adalah hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon) yang dapat dilihat orang lain sebagai suatu tindakan nyata (Satrianto, 2007). Soedijanto (1987) menerangkan bahwa perilaku memiliki beberapa unsur, yaitu : 1). Kecakapan untuk memahami suatu masalah, 2). Kemampuan untuk bersikap lebih toleran terhadap suatu masalah, 3). Kemampuan untuk memperhitungkan dan keberanian untuk mencoba hal baru, dan 4). Kemampuan fisik.

Perilaku dibagi dalam tiga domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Kognitif diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap, dan psikomotor diukur dari tindakan (keterampilan) (Zemuth, 2009). Perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat terjadi melalui proses belajar. Dalam proses belajar ada tiga unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu masukan (input), proses, dan keluaran (output) (Rifai, 2005). Perilaku seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal (dalam diri sendiri) dan faktor eksternal (faktor luar), yaitu faktor lingkungan. Penyuluhan dalam bidang kesehatan yang dilakukan

(9)

secara terus-menerus dan berulang-ulang dengan metode dan pola yang tepat akan menghasilkan suatu tingkat kesehatan yang lebih tinggi (Zemuth, 2009).

2.4 Gambaran Umum Desa Percontohan

Desa Banyubiru memiliki luas wilayah 939 Ha, terdiri atas sawah seluas 296 Ha, tanah tegalan/perkebunan 275 Ha, tanah pemukiman 12,5 Ha, dan lain-lainnya 355,5 Ha. Desa Banyubiru terletak di wilayah Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Ketinggian di atas permukaan laut setinggi 30 meter, jarak dari Provinsi adalah 104 KM dan 7 KM dari Kabupaten. Jumlah penduduk Desa Banyubiru 7.333 jiwa yang terdiri atas 3.624 jiwa laki-laki dan 3.709 jiwa perempuan. Sebagian besar penduduk Desa Banyubiru bermata pencaharian sebagai petani: 2.269 orang, sebagai nelayan: 270 orang, pengerajin: 150 orang, pedagang: 200 orang, peternak 110 orang, PNS: 87 orang, monter: 40 orang, dan buruh swasta 800 orang.

Desa Beraban terletak di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali dengan luas wilayah 692 Ha, dengan ketinggian 45 m dari permukaan laut. Jarak dari pusat pemerintahan 10 km, Ibukota Kabupaten 13 km, Ibukota Provinsi 30 km. Jumlah penduduk Desa Beraban 5911 orang, yang terdiri dari 1564 K.K, 2906 jiwa laki-laki, dan 3006 jiwa perempuan. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Adapun rincian mata pencaharian penduduk desa Beraban berdasarkan data desa tahun 2007 adalah sebagai karyawan : 537 orang, wiraswasta : 308 orang, tani/buruh tani : 2048 orang, pertukangan : 87 orang, pensiunan : 17 orang, nelayan : 4 orang, dan jasa 7 orang.

Desa Takmung merupakan wilayah Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Desa Takmung termasuk daerah dataran rendah dengan ketinggian 72 meter dari permukaan laut. Desa ini juga termasuk Desa yang berpenduduk padat, luas desa 594 Ha, dengan jumlah penduduk 4010 jiwa yang terdiri atas 1984 jiwa laki-laki dan 2026 jiwa perempuan. Penduduk Desa Takmung sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Masyarakat pada tiga Desa percontohan ini termasuk masyarakat yang heterogen dengan latar belakang (suku, agama, pendidikan, dan mata pencaharian) yang berbeda.

Desa percontohan tanggap flu burung merupakan desa terpilih yang dianggap mampu mewakili dan memberi contoh bagi desa-desa lain yang ada di Bali. Penentuan desa terpilih berdasarkan atas beberapa kriteria yang telah ditentukan dengan melihat : (1). Data penyebaran virus flu burung pada hewan dalam waktu 2-3 bulan terakhir, (2). Data isolasi virus flu burung pada hewan dalam waktu 2-3 bulan terakhir, (3). Tingginya resiko tertular yang memperhitungkan adanya peternakan ayam skala kecil - menengah (lebih dari 20.000

(10)

ekor) dan resiko lalu-lintas ternak antar wilayah/pulau, (4). Adanya kesediaan pemerintah setempat, (5). Adanya kesediaan masyarakat desa bersangkutan, (6). Akses memadai.

Referensi

Dokumen terkait

Penerimaan keju yang diolah dengan menggunakan koagulan dari ekstrak abomasum domba tidak berbeda nyata dengan rennet komersial, namun berbeda nyata (P<0,05) dengan kambing,

Voltmeter untuk mengukur tegangan antara dua titik, dalam hal ini adalah tegangan pada lampu 3, voltmeter harus dipasang secara paralel dengan beban yang hendak diukur, posisi

Saran yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini adalah adanya upaya peningkatan profesionalisme serta bimbingan dan konseling pasien, serta pengembangan

Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat dak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat dikatakan anak sembuh.Pola pemberian makan yang baik

Abstrak: Buku ajar IPA yang digunakan saat pembelajaran dilakukan oleh guru bersama peserta didik seharusnya mampu mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajari, membiasakan

Sementara di dalam ruangan sebagai tanaman hias, Sanseviera Trifasciata mampu menangani sick building syndrome, keadaan ketika di dalam ruangan tidak sehat dikarenakan tingginya

Tidak ketinggalan dalam dunia pendidikan, sebagian masyarakat di pedesaan pun sudah mempunyai kesadaran yang cukup tinggi akan pendidikan termasuk untuk anak-anak

Dalam penelitian ini permasalahan yang akan analisis adalah pengaruh Green produk dan Green advertising terhadap Keputusan pembelian pada produk Lemonilo di Toko Organic