• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. Gbr. 1-60: Kumis buatan dipakai dalam tari wayang dari Jawa Barat untuk menggambarkan. Gbr. 1-63: Rias Harimau,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. Gbr. 1-60: Kumis buatan dipakai dalam tari wayang dari Jawa Barat untuk menggambarkan. Gbr. 1-63: Rias Harimau,"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Jadi, jika ditinjau dari sisi fungsi, yaitu “membuat wajah menjadi berbeda,” rias memiliki persamaan dengan topeng, terutama rias yang menggunakan bahan tempelan. Namun umumnya rias tidak mengganti atau menutupi muka asli dengan benda lain secara keseluruhan. Setelah tidak digunakan lagi, rias dihapus dan lukisannya hancur. Berbeda dengan rias, topeng bisa ditempel, dilepas, dan dipakai lagi. Kontur (bentuk) dan tekstur (permukaan) topeng bisa berbeda jauh dari muka pemakainya, dan bisa dibuat tanpa ada pemakainya. Sementara itu dalam rias, lukisan mengikuti atau melanjutkan kontur muka yang dirias. Dengan demikian, secara umum perbedaan wajah seseorang

Gbr. 1-60: Kumis buatan dipakai dalam tari wayang dari Jawa Barat untuk menggambarkan

G b r. 1 - 6 1 : R i a s B a l i yang bercorak khusus, u n t u k p e r a n g a g a h dengan dengan kumis

Gbr. 1-62: Kumis palsu yang dipakai pelawak dalam kethoprak

Gbr. 1-63: Rias “Harimau,” oleh Didik Nini Thowok, Yogyakarta. Tak ada tempelan pada muka, tapi hasilnya sangat transformatif, berbeda sekali dengan muka, karena goresannya tidak mengikuti

Gbr. 1-64: Topeng Macan dari Keraton Yogyakarta.

(2)

setelah dirias tidak sebesar ketika ia memakai topeng.

Akan tetapi, pada praktiknya, batasan itu tidak selamanya tepat, karena banyak terdapat percampuran. Ada topeng yang ekspresinya hampir sama dengan bentuk wajah manusia (seperti bisa dilihat dalam beberapa topeng Bali dan Jepang pada halaman sebelumnya), dan ada pula gaya rias yang justru sangat berbeda dari struktur wajah manusia, seperti gaya rias macan dari Yogya, dan rias punakawan dalam wayang wong Jawa-Surakarta.

Dalam dunia pertunjukan (dan film), rias tidak terbatas pada yang dilukiskan, melainkan juga ada yang ditempelkan. Mungkin Anda pernah melihat film Star Wars, yang banyak menampilkan tokoh-tokoh dengan

Gbr. 1-65

Gbr. 1-68

Gbr. 1-67

Gbr. 1-65, 1-66, 1-67, dan 1-68: Rias muka dua warna (kiri dan kanan berbeda), melambangkan laki-laki (kiri, yang bercorak hitam-putih) dan perempuan (kanan). Ornamen pada tubuh melambangkan flora dan fauna di wilayah

(3)

wajah aneh. Film Itu memperlihatkan teknik rias modern, yang kontur dan teksturnya melampaui garis wajah manusia, seperti halnya pada topeng.

Dalam rias kathakali di India, misalnya, tempelannya cukup banyak sehingga eks-presi nya pun amat berbeda dengan wajah asli penarinya. Rias untuk tarian upacara theyam, yang ditempelkan adalah taring yang terbuat dari perak atau timah, yang dapat dilepas dan dipakai lagi, sama seperti definisi topeng di atas. Dengan demikian, perbe daan topeng dan rias tidak dapat diukur dari kemiripannya dengan ekspresi wajah manusia, dan objek “yang dilukiskan.”

1.1.5 Rangkuman

Uraian sebelumnya menun jukkan bahwa terdapat banyak persamaan dan percampuran antara topeng, patung, boneka, wayang, dan

Gbr. 1-69: Lukisan muka sebagai bagian dari pakaian adat masyarakat Mekeo dari New Guinea bagian tenggara; foto dari suatu upacara dengan memainkan gendang secara

Gbr. 1-70 & 1-71: Rias dalam film dengan tekstur kuat menyerupai Gbr. 1-71

(4)

rias, yang kemu dian menyebabkan kita kesu litan dalam mendefinisikan atau mengkategorikannya. Dalam kesenian, kasus seperti ini tidak hanya terdapat dalam topeng, melainkan juga bidang kesenian lainnya, misalnya antara puisi, lirik, dan prosa, antara tari, peran (teater), silat dan akrobat, dan sebagainya. Karena itu, pertanyaan-pertanyaan di atas tidak bisa dijawab secara sederhana dengan “ya” atau “tidak.” Mencari jawaban sederhana, rapi, tetapi tidak

Gbr. 1-72: Suatu jenis tarian klasik India, Kathakali, memakai teknis rias kompleks dengan tempelan-tempelan di muka,

Gbr. 1-73: Nenek dengan tatu (tatoo) dari Taiwan. Konon ia orang terakhir yang masih memakai tatu di sana.

Gbr. 1-74: Taring dari almunium yang dipakai dalam pertunjukan theyam, ritus penghormatan roh leluhur

Gbr. 1-75: Ornamen di hidung dari

unsur muka, merupakan bahasa ungkap nonverbal yang efektif.

(5)

tepat, bukanlah tujuan kita. Yang lebih penting bagi kita adalah memahami persoalannya, sudut pandangnya, atau alasannya. Kita sebaiknya juga tidak harus mengkategorikan secara tertib semua fakta yang ada. Ketertiban kategori tidak akan menyelesaikan persoalan atau merupakan jawaban terhadap fakta yang rumit.

Namun demikan, adanya kategori tetap penting untuk dipahami, karena sangat membantu kita dalam memperluas wawasan atau memahami fakta. Dengan adanya kategori, kita dapat melihat keterkaitan antara kelima jenis kesenian di atas: topeng yang merujuk pada bagian muka yang bisa digerakkan, karena ia tidak menyatu dengan tubuh; boneka yang berbentuk sebagian atau seluruh tubuh, yang bisa digerakkan atau dipindahkan; wayang adalah boneka yang dimainkan atau ditarikan dalam sebuah repertoar pertunjukan; patung yang menggambarkan seluruh atau sebagian tubuh secara “tetap”

(fixed), bagian-bagiannya tidak bergerak secara mandiri; dan rias adalah lukisan

pada muka yang selesai dipakai tidak dapat dipakai ulang.

Kategori tersebut, mungkin kemudian menimbulkan pertanyaan: mana yang lebih dahulu muncul, topeng, rias, patung, atau wayang? Pertanyaan itu pun sulit dijawab, karena dalam kesenian, proses saling pinjam, saling tiru, saling pengaruhi itu merupakan hal yang biasa dan tiada henti sepanjang masa. Meski demikian, tumbuhnya pertanyaan menandakan adanya pikiran kritis. Lahirnya pertanyaan yang baik (kritis) bisa dianggap sebagian “jawaban.” Singkatnya, adanya kategori menandakan adanya konsep, yang bisa memperjelas wawasan untuk memahami fakta, bukan untuk memasukkan semua fakta pada kategori-kategori tersebut.

1.2 Topeng dan Muka

Bagian pokok dari topeng adalah muka. Ada yang berbentuk muka manusia, binatang, atau makhluk ajaib; bisa terbuat dari benda keras ataupun lunak; pemakaiannya bisa menutupi seluruh wajah atau hanya se bagian. Dengan demikian, muka menjadi pegangan pertama untuk membuat batasan “topeng.”

Dalam dunia seni per tunjukan, muka disebut sebagai pusat perhatian (center of interest), karena muka adalah pusat ekspresi. Melalui unsur-unsurnya, seperti mata, alis, kening, mulut (bibir, gigi, lidah), pipi, dan hidung, muka mengungkapkan ekspresinya. Gerakan-gerakan dari seluruh atau sebagian

(6)

bukan hanya menjadi khazanah kesenian tradisional, melainkan juga terdapat dalam dunia kesenian kontemporer. Topeng normal dan kecil itu semuanya terfokus pada muka.Tidak demikian halnya dengan topeng besar, di mana muka hanya sebagian dari ungkapan seninya itu. Dengan kata lain, topeng besar tidak hanya terfokus pada muka.

Dalam Bab 5, terdapat gambar topeng dari Papua yang mengurungi seluruh tubuh yang sangat ekspresif, dan ekspresinya tidak terfokus hanya pada muka. Namun, seberapa pun abstraknya, muka tetap menjadi bagian yang hadir. Jika patung seperti ondel-ondel tidak bermuka, misalnya saja, akan sulit untuk dikatakan “topeng.” Dalam karya seni rupa modern pun topeng besar seperti ini sering hadir. Misalnya, dalam gambar-gambar berikut, tampak karya seorang seniman rupa modern seperti itu, yang juga diberi judul “Topeng.” 1.2.1 Unsur dan Struktur Muka

DEFINISI UMUM

Topeng : merujuk pada muka, belum tentu menyatu dengan bagian tubuh yang lain, pipih (ada ruang di baliknya).

Boneka : kepala dan (sebagian) tubuh menyatu, kecil, dapat diangkat-angkat, sebagai mainan anak. Wayang : boneka yang bisa dimainkan

untuk menampilkan suatu cerita, terdiri dari berbagai macam/karakter dalam satu set. Patung : muka (kepala) menyatu dengan

(sebagian) tubuh, relatif besar, statis.

(7)

Mata, hidung, dan mulut, merupakan bagian muka yang utama. Simbol atau ikon ini dapat dikenali dan memberi gambaran muka, meski dalam bidang atau bentuk topeng yang tidak lonjong seperti muka—misalnya segiempat, segitiga, bundar, dan sebagainya. Coba kita perhatikan gambar-gambar berikut. Gambar a-1 sampai dengan a-3 belum menggambarkan muka, tetapi gambar a-4 (hidung dan mulut), dan b-1 (mata), sudah memberi gambaran muka, walau abstrak. Mungkin karena pada gambar b-1 terdapat dua titik yang menggambarkan mata, sehingga terbentuk hubungan atau formasi struktural. Jika gambar mata itu ditambah dengan hidung atau mulut, akan lebih jelas lagi bahwa pola itu menggambarkan muka (b-2 dan b-3). Meskipun gambar c-1

sampai dengan c-4 memiliki bentuk dan ukuran yang tidak umum, gambar itu tetap menunjukkan bentuk muka, karena memberi gambaran struktur muka. Cobalah gambar itu diputar 180 derajat, terbalik, maka akan sulit dikenali bahwa itu muka.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa muka merupakan pusat perhatian ekspresi, mata adalah unsur yang lebih memusat lagi. Dalam berkomunikasi, umumnya orang saling berpandangan. Di bawah ini ada sebuah hiasan, kalung,

Gbr. 1-76 & 1-77: “Topeng” seluruh tubuh, karya pematung kontemporer

Mella Jaarsma dari Yogyakarta.

Gbr. 1-78: “Topeng” karya pematung kontemporer Indonesia terkenal Sidharta

(8)

goresan di dahi dan di bawah mata mempertegasnya. Adapun bulatan yang berbentuk spiral, tidaklah jelas apakah itu hidung atau mulut. Kita lihat pula gambar topeng Afrika, yang secara struktural dekat dengan gambar c-1. Kita mengetahui bahwa benda itu serupa dengan topeng, karena menggambarkan muka, dan terdapat mata, mulut dan hidung. Demikian juga topeng anyaman dari Swiss, topeng itu tidak akan berbentuk muka jika bulatan yang mengacu pada mata dan hidung tidak ada. Fakta yang menarik adalah adanya kesamaan berupa tiga bulatan yang mengacu pada mata dan hidung. Meski tradisi mereka sangat berjauhan, bahkan mereka tidak pernah mengadakan kontak kultural. Dengan itu, bisa disimpulkan bahwa persamaan ekspresi kebudayaan tidak harus melalui pertemuan atau persebaran (difusi), melainkan bisa tumbuh

(9)

yang hanya dibubuhi dua buah mata (serupa dengan gambar b-1), dan satu topeng yang seluruhnya seolah terdiri dari mata. Hal itu membuktikan bahwa mata dianggap cukup untuk merepresentasikan muka.

Masyarakat Dayak Modang memiliki kebiasaan memancangkan ukiran dari kayu kering di depan rumah. Batang kayu itu sebenarnya tidak menggambarkan bidang muka, jika tidak ada ukirannya. Dua bulatan menggambarkan mata,

Gbr. 1-81: Topeng dari Papua New Guinea yang terdiri dari Gbr. 1-80: Kalung emas dengan figur dua mata dari Maluku.

Gbr. 1-82: Empat buah topeng dari Kongo, Afrika, yang menampakkan mata sebagai identitas atau gambaran

(10)

Indian-Amerika. Di sana terdapat tarian kijang dengan menggunakan topeng yang diletakkan di atas kepala, sehingga muka pemain yang sengaja tidak ditutupi itu menjadi bagian dari “seni pertunjukan”-nya. Ketika dua muka itu ditampakkan, sulit bagi kita untuk menentukan muka yang mana yang sebenarnya ingin ditampilkan sebagai perwujudan ekspresi dalam pertunjukan itu: muka topeng atau muka pemain? Dalam pertunjukan serupa itu, keduanya (muka pemain dan muka topeng) dianggap penting.

Untuk memperjelas kasus tersebut, kita dapat melihat kasus yang mirip, yakni pemakaian “topeng” dalam bunraku, sebuah seni pertunjukan boneka (“wayang”) di Jepang. Hampir sebaliknya dengan wayang Jawa, di mana seorang dalang memainkan beberapa wayang, dalam bunraku satu boneka dimainkan oleh tiga orang: yang pertama adalah master atau tokoh ahlinya, sementara dua pemain lainnya adalah “pembantu”-nya. Kedua pemain pembantu memakai pakaian dan “topeng” hitam sehingga mereka hampir tidak tampak ketika main di panggung yang berlayar hitam. Namun sang master tidak memakai penutup muka, sehingga dalam pertunjukannya kita melihat dua sosok mencolok: pemain dan boneka. Demikian juga untuk jenis yang lain, bunraku otome,

Gbr. 1-84: Topeng Matahari d a r i m a s y a r a k a t B w a , Burkina Faso, Afrika. Desain g e o m e t r i s m e r u p a k a n Gbr. 1-83: Patung atau

ukiran pada batang kayu yang dipancang di depan rumah masyarakat Dayak

bonekanya dimainkan oleh seorang “dalang,” kepala bonekanya tehubung pada kepala pemain, sehingga pemunculan muka ganda (bahkan seluruh tubuh) dalam pertunjukannya lebih mencolok lagi.

Persamaan antara kasus bunraku dan kasus topeng Nias dan Indian-Amerika adalah munculnya dua figur yang berbeda tingkatannya. Yang pertama adalah yang dimainkan, dan yang kedua adalah yang memainkan. Namun keduanya

Gbr. 1-85: Topeng dari Swiss, terbuat dari semacam daun atau pelepah kering, yang bentuk dan komposisi mata, hidung, dan mulut mirip topeng dari

(11)

secara kebetulan (evolusi).

Bentuk topeng yang paling banyak adalah yang mirip dengan struktur dan/atau ukuran muka manusia. Karena itu, kebanyakan cara memakainya adalah dengan ditempelkan pada muka: dengan cara digigit dari bagian belakangnya, atau diikatkan pada kepala. Gambar-gambar mengenai cara pemakaian topeng bisa dilihat pada bab berikutnya.

1.2.2 Muka Ganda

Ada satu hal lagi yang menarik perhatian kita, yakni cara pemakaian topeng yang tetap menampakkan muka pemainnya. Jika dalam kasus topeng setengah-muka, muka pemain dan topeng tampak separuh-separuh, dalam topeng muka ganda keduanya terlihat secara utuh, salah satu contohnya di Nias. Di Nias seorang pendeta memakai topeng jenis itu. Sampai sejauh ini belum ada informasi mengenai makna dari topeng itu. Namun, hampir bisa dipastikan bahwa topeng jenis ini bukan untuk pertunjukan kesenian, melainkan sebagai bagian dari upacara.

Topeng muka ganda terdapat pula pada tradisi

Gbr. 1-86: Topeng dari Nias, yang berupa tutup kepala (helm), yang dipakai oleh seorang pendeta pada masa

Gbr. 1-87: Topeng Serigala dari suku Indian di Alaska (Amerika), yang dipakai di atas kepala, sehingga muka

Gbr. 1-88: Tari Kijang dari suku Indian Yaqui (Meksiko-Amerika). Kedua muka (kijang dan pemain)

(12)

muncul dalam satu wilayah pemeranan, yakni yang dipertunjukkan. Yang berperan dalam cerita adalah karakter bonekanya, bukan pemainnya (yang menghidupkan boneka). Pertanyaan yang sama muncul kembali: mengapa pemainnya harus tampak? Jawabannya tentu tidak sederhana, karena dalam kasus ini kita tidak bisa hanya melihat dari kacapandang cerita saja, melainkan harus juga dari aspek-aspek lainnya, seperti sejarah, adat, kepercayaan, sistem sosial (termasuk kesenimanan), dan lain sebagainya, yang mungkin berkaitan dengan sistem keseniannya. Semua aspek ini turut menumbuhkan idiom kesenian. Karena seniman pun bagian dari sistem tersebut, sehingga yang diperhatikan atau dianggap penting oleh penonton bukan hanya gerakan boneka atau topeng, melainkan juga pribadi senimannya. Penonton mungkin merasa perlu untuk mengenal seniman yang memiliki keistimewaan secara personal di atas panggung. Selain itu, muka pemain pun berpengaruh pula terhadap tokoh yang dimainkannya—dalam bunraku hanya pemain yang

Gbr. 1-89 & 1-90: Bunraku Jepang: satu boneka (puppet) dimainkan oleh 3 orang. Pemain utama tidak memakai topeng tapi kedua pembantunya memakai

Gbr. 1-89

(13)

setingkat “guru” (master) yang boleh ditampakkan mukanya.

Ada lagi jenis pertunjukan topeng yang menampilkan kedua muka itu tidak secara bersamaan seperti kasus-kasus di atas, melainkan secara bergantian. Senimannya menari tanpa topeng terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan memakai topeng. Pertunjukan topeng seperti ini terdapat dalam tradisi

topeng Cirebon-Indramayu, Jawa Barat. Seorang penari utama, disebut dalang topeng, yang menarikan beberapa watak (karakter). Setiap watak mempunyai

bagian tanpa topeng, memakai topeng, dan menari dengan topeng. Bagian tarian awal yang tidak bertopeng itu bukan hanya sebagai pendahuluan, tambahan, atau sampingan, melainkan merupakan bagian penting, karena setiap karakter memiliki pola gerak yang khusus.

Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa penampilan kedua muka, baik secara bersamaan (sinkronik) maupun bergantian (diakronik), dianggap penting oleh budaya bersangkutan, meski muka pemain itu tidak menggambarkan karakter yang dimainkannya. Kepentingan atau “makna” itulah yang dipahami, dinikmati atau dirasakan oleh masyarakat melalui sistem dan idiom budaya setempat. Jika kita tidak melihat, mengikuti, atau mengakui sistem budaya

Gbr. 1-91: Bunraku otome, dipertunjukkan oleh Kimura Manami, di Desa Gianti, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, tgl. 20 September 2004, dalam kunjungan ramah-tamah dengan grup

(14)

itu, sulitlah untuk memahami mengapa kedua muka itu dimunculkan. Hal ini, sekali lagi, mempertegas bahwa suatu tradisi kesenian harus dipandang atas persepsi budaya yang bersangkutan, yang tidak bisa dinilai dari pandangan estetika budaya lain.

Terlepas dari itu semua, penonton dapat melihat proses interaksi (kesalinghubungan) atau transformasi (perubahan) antara muka pemain dan muka topeng. Dalam kebudayaan, selain produk, proses juga merupakan bagian yang sangat penting.

Kegandaan makna (ambiguitas) memang muncul lagi di sini. Tapi, dalam persepsi kesenian hal seperti ini banyak sekali ditemukan. Ketidakjelasan ini tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang tidak logis atau tidak rasional,

melainkan harus diakui bahwa kesenian memiliki sistem logika tersendiri, yang berbeda dari logika lain, seperti misalnya logika matematika, ekonomi, atau birokrasi.

Gbr. 1-92, 1-93, dan 1-94: Tiga proses dari tari topeng Cirebon: menari tanpa topeng, memakai topeng, dan menari topeng; sehingga penonton dapat menyaksikan penari

dengan muka aslinya, proses penutupan muka, dan topeng pengganti muka.

(15)

Gbr. 1-95: Topeng burung dua lapis dari Indian Amerika. Topeng luarnya

bisa menutup dan membuka.

Gbr. 1-96: Topeng Singa-laut dari Indian Amerika, dari mulutnya muncul gambaran muka manusia.

Gbr. 1-97, 1-98, dan 1-99: Topeng-topeng dari Afrika yang menampakkan muka ganda, keduanya mempunyai daya ungkap.

(16)

Gbr . 1-100: Tar ian Huda-huda (“K uda ”) dar i Ba tak . T

openg dipegang oleh penar

i yang w ajahn ya tidak t er tutup , sehingga penon ton dapa t meliha t keduan ya:

Gambar

Gambar  a-1  sampai  dengan  a-3  belum  menggambarkan  muka,  tetapi  gambar a-4 (hidung dan mulut), dan b-1 (mata), sudah memberi gambaran  muka, walau abstrak

Referensi

Dokumen terkait

Pada definisi model regresi nonlinier dengan kasus Berkson Measurement Error Model, fungsi regresinya tidak hanya nonlinier dalam parameter seperti dalam teori

Selanjutnya tekan tombol “Simpan” dan akan muncul pop up pernyataan bahwa anda setuju dan bertanggung jawab penuh dengan data yang anda masukan, setelah

Dari hasil analsisis FTIR yang digabungkan dengan pengolahan data kemometri (PCA dan PLS) diharapkan akan diperoleh suatu model yang bisa digunakan untuk

Kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap

Larutan induk pengujian dibuat dalam konsentrasi 10000 ppm, yang dibuat dengan melarutkan 1 gram ekstrak umbi bawang merah kedalam 10 mL metanol dan ditempatkan dalam labu ukur

This complaint belongs to blaming complaint in which Gardner uses the strategy of Explicit Condemnation of. the accused’s

Dari sekian perangkat gamelan lainnya hanya hidup dan berkembang menjadi bagian dari kegiatan – kegiatan keraton, terutama kepentingan upacara ritual yang di

Dengan memiliki pemahaman konsep yang baik para kepala sekolah dan guru selaku pelaksana penyelenggara pendidikan yang didukung oleh warga sekolah, stakeholder sekolah atau