• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

2.1.1. β- Lactamase

β-lactamase adalah enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisis ikatan 4-cincin betalaktam dari antibiotik beta-laktam (penisilin, cephalosporins, monobactams dan carbapenems).27,28 Enzim ini memiliki

mekanisme yang penting atas terjadinya resistensi antibiotik β-laktam. Sampai tahun 2001, sudah ada 340 varian β-lactamase yang berhasil diidentifikasi. Sangat penting untuk mengetahui tipe dari β-lactamase ini karena berdampak terhadap pemilihan agen antimikroba dalam penanganannya.

Gambar 1. Reaksi hidrolitik oleh laktamase pada ikatan amida dari cincin β-laktam28

Cincin ß-lactam : target dari ß-lactamase

lactam ring terbuka oleh ß-lactamase : menghasilkan kelemahan dalam

(2)

β-lactamase dikelompokkan atas 4 kelas (Ambler,1980) yaitu kelas A, B, C dan D yang berasal dari dua kelompok utama serine dan metallo-b-lactamases. Ada beberapa pembagian untuk klasifikasi betalaktamase.3,19,29

ESBL umumnya diturunkan dari enzim TEM atau SHV dan keduanya termasuk kelas molekuler kelas A dan menjadi grup fungsional 2be.28

Tahun 1968, beberapa metode klasifikasi diajukan. Namun klasifikasi menurut Bush, Jacoby dan Medeiros lebih lengkap dengan mengkombinasikan elemen-elemen dari pembagian sebelumnya dan mengkorelasikannya dengan struktur molekuler19.

Tabel 1. Klasifikasi β- lactamase berdasarkan kelas molekuler dan fungsional28 Kelas Fungsional Kelas Molekuler Karakteristik

Grup 2a A 25-32 Penicillinase spektrum sempit, dibawa oleh bakteri Gram-negatif dan diinhibisi oleh asam klavulanat

Contoh: Klebsiella pneumoniae chromosomal β-lactamase, LEN-1.

Grup 2b A 22-36 kDa penicillinase spektrum luas, diinhibisi oleh asam klavulanat

Contoh: Enterobacter cloacae plasmid pDSO76 β-lactamase, OHIO-1.

Grup 1 C 40 kDa Cephalosporinase tidak diinhibisi oleh inaktivator.

Contoh : Pseudomonas aeruginosa strain PA01 chromosomal AmpC β-lactamase

Grup 2be A 28-29 kDa, extended spectrum β-lactamases (ESBL) tipe TEM dan SHV, diinhibisi oleh inaktivator.

Contoh : Pseudomonas aeruginosa, PER-1.

(3)

Grup 2b5 A 24 kDa β-lactamases spektrum luas, tidak diinhibisi dengan baik oleh inaktivator Contoh:Escherichia coli strain GUER plasmid β-lactamase,TEM-30.

Grup 2c A 22-34 kDa Carbenicillinase tipe PSE diinhibisi oleh inaktivator.

Contoh : Acinetobacter calcoaceticus strain A85-145 β-lactamase, CARB-5.

Grup 2d D 29-53 kDa Oxacillinases, tidak diinhibisi dengan baik oleh inaktivator

Contoh:Salmonella typhimurium strain type 1a β-lactamase, OXA-2.

Grup 2e A 27-48 kDa Cephalosporinases diinhibisi oleh inaktivator.

Contoh: Yersinia enterocolitica strain y56 chromosomal β-lactamase

Grup 2f A 29-30 kDa Serine Carbapenemases Contoh: Serratia marcescensstrain S6 chromosomal β-lactamase, Sme-1.

Grup 3 B 25-120 kDa, Metallo-carbapenemases) métallo-β-lactamases.

Contoh:Chryseopbacterium (Flavobacterium) indologenes

chromosomal β-lactamase ditemukan di Burkina Faso (Africa) dinamakan IND-B.

2.1.2 ESBL

ESBL termasuk subgroup 2be (Ambler’s class A ) dan subgrup 2d (Ambler’s class D) berdasarkan kriteria β-lactamase Bush Jacoby Medieros. ESBL dikenal berspektrum luas karena memiliki menghidrolisis antibiotik golongan penicillin, cephalosporin generasi I, II, III serta golongan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem).5,7,13,16,19,22,28-30

(4)

Enzim ini muncul segera setelah pengenalan spektrum luas sefalosporin dan pertama kali dilaporkan di Eropa pada awal tahun 80-an, namun saat ini telah ditemukan di seluruh dunia. ESBL, seperti disebutkan sebelumnya, adalah bentuk mutan enzim TEM-1, TEM-2 dan SHV-1. ESBL sering berbeda dari enzim aslinya dengan hanya satu sampai beberapa perubahan dalam urutan asam aminonya.27,29

Faktor genetik memegang peranan penting dalam terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik.29 Gen penyebab resistensi terletak pada elemen

genetik yaitu kromosom, plasmid, transposon dan integron. Elemen genetik khususnya transposon, plasmid dan integron dapat bertukar bebas antar bakteri secara horizontal melalui proses konjugasi, transduksi dan transformasi. Proses tersebut menyebabkan terjadinya MDR pada beberapa antibiotik. ESBL termasuk plasmid-mediated β lactamase yang dapat menyebar secara horizontal melalui konjugatif plasmid dan integron.27,29

2.2 Klasifikasi ESBL

Banyak variasi genotip ESBL. Genotip yang paling banyak adalah tipe SHV, TEM, dan CTX-M. Tipe lain yang penting adalah VEB dan PER,7,27,30

2. 2.1. TEM (Temniore)29,30

Klasifikasi TEM berdasarkan perbedaan perubahan kombinasi asam amino. TEM-1 pertama kali dilaporkan pada tahun 1965, dimana TEM-1 ini berasal dari isolat E.coli di Athena, Yunani dan disebut “Temoneira” sehingga sejak itu digunakan istilah TEM. TEM-1 β-lactamase menimbulkan resisten

(5)

terhadap ampicillin, penicillin dan generasi pertama cephalosporin seperti cephalothin dan cephaloridine. Enzim ini berperan 90% dalam resistensi ampicillin pada E. coli, juga berperan pada resistensi penicillin pada H. influenza dan Neisseria gonorrhea.

Walaupun tipe TEM lactamase kebanyakan ditemukan pada E. coli dan K. pneumonia, tapi ditemukan juga pada bakteri gram negatif lainnya. Tipe TEM ESBL dilaporkan pada Enterobacteriaceae seperti Enterobacter aerogenes, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Proteus rettgeri, dan Salmonella spp. Tipe TEM ini juga ditemukan pada bakteri gram negatif non-Enterobacteriaceae. TEM-42 lactamase ditemukan pada P. aeruginosa. TEM 17-lactamse didapatkan dari kultur darah dari Capnocytophaga ochracea

2.2.2. SHV (Sulfhydryl Variable)27,29,30

SHV-1 dan TEM-1 memiliki struktur yang mirip, 68% asam amino yang ada di SHV-1 juga terdapat di TEM-1. Tipe SHV-1 lactamase, awalnya ditemukan pada K. pneumonia, yang mana merupakan chromosomally encoded-enzyme yang menimbulkan resistensi pada penicillin dan generasi pertama cephalosporin. SHV mengacu pada variabel sulfhydril dan termasuk dalam grup 2be. Kebanyakan varian SHV yang memiliki fenotip ESBL memiliki karakter khusus pada pertukaran asam amino dari serin ke glisin pada posisi 238. Variasi atau turunan dari SHV lebih sedikit dari TEM. Saat ini, telah ditemukan 36 turunan SHV. Tipe SHV kebanyakan ditemukan pada K. pneumonia, namun dapat ditemukan pula pada Citrobacter diversus, E. coli, and P. aeruginosa

(6)

2.2.3. CTX-M (Cefotaxime Munich)5,26,28,29

Beberapa tahun belakangan ini, sudah ditemukan sebuah famili plasmid-mediated ESBL yang memiliki tingkat hidrolisis yang kuat terhadap cefotaxime, dinamakan CTX-M. Tipe ini banyak ditemukan pada Salmonella enterica serovar Typhimurium dan E. coli, namun ditemukan juga pada beberapa spesies Enterobacteriaceae lain. Enzim ini terdiri dari CTX-M-1, CTX-M-2 sampai CTX-M-10.

2.2.4. ESBL tipe lain5

Variasi ß-lactamase lainnya telah berhasil ditemukan yaitu plasmid-mediated atau integron-associated class A enzyme. Tipe ini memiliki titik mutasi yang tidak sederhana dari ß-lactamase. Mereka dikarakteristikkan berdasarkan perbedaan geografisnya.

2.2.4.1. PER ( Pseudomonas aeruginosa)

Bagian dari ESBL tipe PER hanya 25-27% yang homologi dengan tipe TEM dan SHV. PER-1 memiliki kemampuan untuk menghidrolisis penisilin dan cephalosporin, namun sensitif terhadap inhibisi dari asam klavulanat. PER-1 pertama ditemukan pada strain Pseudomonas aeruginosa di Turki. Pada perkembangannya ditemukan pula pada Salmonella entericaserovar typhimurium, Acitenobacter baumanii, Proteus mirabilis dan Alcaligenes fecali. Walaupun PER-1 kebanyakan ditemukan di Turki, namun belakangan dideteksi juga di Prancis, Italia, Belgia dan Korea. PER-2 yang 85 % -nya homology dengan PER-1, telah didapatkan pada Salmonella entericaserovar

(7)

typhimurium, E. coli, K. pneumonia, dan Vibrio cholera O1. PER-2 kebanyakan terdapat di Amerika Selatan

2.2.4.2. VEB (Vietnam Extended Spectrum β-lactamase)

VEB-1 memiliki homologi yang paling besar dengan PER-1 dan PER-2 (38%). Mereka memiliki kemampuan resistensi tingkat tinggi terhadap ceftazidime, cefotaxime and aztreonam. VEB-1 pertama kali ditemukan pada isolat E. coli di Vietnam. Sebuah ß-lactamase lain yang memiliki struktur yang identik dengan VEB-1 telah ditemukan juga pada K.pneumonia, Enterobacter cloaca and Pseudomonas aeruginosa di Thailand. Enzim VEB lainnya ditemukan juga di Kuwait dan China.

Masih ada juga beberapa tipe ESBL lainnya yang telah ditemukan namun jarang dilaporkan karena masih dalam jumlah yang sedikit pada daerah geografis yang terbatas. GES dan IBC ß-lactamase ditemukan di P. aeruginosa. Tipe yang jarang lainnya : BES, SFO, dan TLA yang ditemukan pada Enterobacteriaceae.

2.3. Epidemiologi

Saat ini ESBL telah menjadi masalah yang serius di beberapa rumah sakit di berbagai negara dan di berbagai institusi. Sejak ditemukannya pertama kali, yaitu pada pertengahan tahun 1980-an, ESBL telah semakin cepat menyebar dan bermutasi menjadi beberapa tipe. Saat ini, organisme penghasil ESBL memang telah menyebar secara luas di seluruh dunia dan prevalensinya semakin meningkat.5

(8)

Fenomena ESBL dimulai di Eropa Barat, kemungkinan karena disanalah pertama β-laktam kali antibiotik β-laktam digunakan secara klinis. Namun tidak membutuhkan waktu yang lama sampai akhirnya ESBL ditemukan di Amerika Serikat dan Asia. ESBL pertama kali ditemukan di Jerman pada tahun 1983, sedangkan di Prancis tahun 1985. Tak lama setelah itu,terjadi wabah infeksi nosokomial di Prancis yang disebabkan oleh strain K. pneumonia. Sedangkan di Amerika Serikat ESBL ditemukan pada akhir 1980-an.16

Dari sebuah survei oleh SENTRY Antimicrobial pada 81,213 kultur darah selama tahun 1997-2002 menunjukkan bahwa isolat Klebsiella spp. yang memiliki fenotip sebagai penghasil ESBL adalah sebanyak 42.7% di Latin America, 21.7% di Eropa dan 5.8% di Amerika Selatan.14 Menurut studi

yang dilakukan The Pan European Antimicrobial Resistance using Local Surveillance (PEARLS) selama 2001-2002 menunjukkan persentase ESBL diantara E. coli, K. pneumonia dan Enterobacter spp adalah 5,4 %, 18,2%, dan 8,8% secara respektif.15 Sangat mengejutkan bahwa ternyata menurut

data dari EARSS tahun 2010, resistensi terhadap generasi ketiga cephalosporin pada E.coli meningkat 2,6% di Sweden hingga 25% di Bulgaria; sedangkan pada K. pneumonia berada pada angka 1,7% di Sweden dan meningkat ke level yang sangat tinggi yaitu 75,6% dan 74,6% di Bulgaria dan Yunani.16 Secara keseluruhan tingkat produksi ESBL pada kombinasi

Enterobacteriaceae adalah 10,5%. Angka kejadian tertinggi adalah di Mesir (38,5%) dan Yunani (27,4%) sedangkan yang terendah adalah di Belanda (2%) dan Jerman (2,6%).15

(9)

Di Afrika, studi pertama dilakukan di Tanzania pada tahun 2001-2002 dengan mengambil sampel darah dari neonatus. Hasilnya ditemukan 25% E. coli dan 17% K.pneumonia penghasil ESBL, kebanyakan merupakan jenis CTX-M-15 dan TEM-63.31 Pada penelitian lebih lanjut yang dilakukan di

sebuah rumah sakit tersier di Mwanza, Tanzania, didapati prevalensi ESBL pada bakteri Gram Negatif sebanyak 29%, yang kebanyakan 64% K. pneumonia dan 24% E. coli.32

Di Saudi Arabia prevalensi yang tepat untuk kejadian ESBL belum diketahui, namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PEARLS (2001-2002) menunjukkan bahwa keseluruhan tingkat produksi ESBL dari Enterobacteriaceae adalah 18,6 % dan laporan lainnya menunjukkan bahwa ESBL telah menjadi umum dan semakin menyebar diantara Rumah Sakit.14,33

Dalam sebuah Rumah Sakit perawatan tersier di Riyadh, 48 % K. pneumonia dan 15,8% E.coli dari kultur darah yang dikumpulkan dari Januari 2003 sampai Desember 2004 adalah merupakan produsen ESBL.34

Di Asia, diterbitkan beberapa artikel pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an melaporkan adanya muncul infeksi ESBL jenis enzim SHV-2 dan Toho-1 (CTX-M-44) di China dan Jepang.35 Berdasarkan survei

yang dilakukan SENTRY telah terjadi peningkatan prevalensi K. pneumonia penghasil ESBL (sampai 60%) dan E. coli (13-35%) di beberapa bagian China dengan predominan jenis enzim CTX-M-14 dan CTX-M-3.36

Sedangkan di New Delhi, laporan pertama infeksi Enterobacteriaceae diterbitkan pada tahun 2001.37 Kemudian, Ensor dkk menemukan telah terjadi

(10)

resistensi dari cephalosporin generasi ketiga pada E.coli dan K. pneumonia dari tiga pusat kesehatan di India sedangkan di Mathai menemukan bahwa tingkat infeksi dari Enterobaacteriaceae penghasil ESBL telah mencapai 70%.38,39Sementara di daerah lain di Asia, prevalensi ESBL cukup bervariasi,

yaitu 4,8% di Korea sampai 12% di Hongkong.15,17

Di Indonesia, masih sedikit sekali data mengenai ESBL. Menurut penelitian yang dilakukan oleh The Indonesia Antimicrobial Resistance tahun 1999, didapati bahwa terdapat 33.3% K. pneumonia penghasil ESBL dan 23.0% E. coli penghasil ESBL.19 Sebuah studi lain yang dilakukan pada tahun

2005 di RS. Dr. Soetomo di Surabaya, melaporkan bahwa terdapat 86% K.pneumonia penghasil ESBL yang didapat dari isolat urin dan darah.20

Sebelumnya, tahun 2004 prevalensi E.coli ESBL di Surabaya sebesar 10,8%.21

(11)

Gambar 2. Prevalensi ESBL pada E. coli dan K. pneumonia dari berbagai studi dan EARRS16

2.4. Organisme penghasil ESBL

Meskipun ESBL telah banyak ditemukan pada berbagai Enterobacteriaceae dan Pseudomonadaceae di berbagai belahan dunia, namun mereka paling sering teridentifikasi dalam Klebsiella pneumonia dan Escherechia coli.5,7-9Pada berbagai belahan dunia 10-40% strain Escherichia

coli dan Klebsiella pneumoniae mengekspresikan ESBL.5,6 Bakteri lain yang

pernah dilaporkan sebagai penghasil ESBL adalah Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter spp., Salmonella spp., Morganella morganii, Proteus mirabilis dan Serratia marcescens.9-13

2.4.1. Klebsiella pneumonia

Anggota genus Klebsiella tersebar luas di lingkungan (air, tanah, dan tanaman). Mereka dapat hidup dalam keadaan bebas di lingkungan untuk periode waktu yang panjang. Klebsiella juga ditemukan sebagai bakteri komensal yang normal dalam saluran pencernaan vertebrata dan mamalia, termasuk burung, reptil dan bahkan serangga. Pada manusia, K. pneumonia merupakan kuman saprofit yang terdapat di nasofaring dan saluran cerna.13

Klebsiella, biasanya K. pneumonia dan K. oxytoca, merupakan kuman patogen yang penting dalam pelayanan kesehatan. Spesies ini sering menyebabkan infeksi nosokomial, seperti septikemia, endokarditis, pneumonia, osteomielitis dan infeksi saluran kemih. Klebsiella sebagai penyebab infeksi nosokomial terkait dengan pemakaian antibiotik yang luas.

(12)

Pemakaian antibiotik yang luas ini menyebabkan terjadinya resistensi. Pada tahun 1980-an ditemukan Klebsiella yang menghasilkan ESBL. K. pneumonia menghasilkan ESBL tipe enzim SHV-1 diperantarai plasmid ataupun kromosomal.3

Mekanisme lain yang menyebabkan terjadinya resisten dan multiresisten pada K. pneumonia yaitu melalui permeabilitas membran luar. Permeabilitas membran luar K. pneumonia dipengaruhi oleh adanya porin. Klebsiella mempunyai dua porin, yaitu OmpK35 dan OmpK36. K. pneumonia yang menghasilkan ESBL mengalami mutasi pada gen gyrA sehingga hanya mempunyai satu porin saja. Penurunan ekspresi dari membrane luar porin ini sering disertai dengan produksi ESBL yaitu tipe TEM atau SHV yang menyebabkan resisten terhadap cefepime atau tipe AmpC yang resisten terhadap imipenem.29

2.4.2. Escherichia coli

Spesies bakteri dari genus Escherichia yang paling sering diisolasi dari specimen klinik adalah E. coli. Organisme merupakan penghuni utama di usus besar, dan juga merupakan isolate penyebab utama infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis, serta septicemia.13

Paparan terhadap antibiotika yang tidak tepat akan menyebabkan berkembangnya bakteri E. coli yang resisten, naik melalui plasmid maupun melalui kromosom. Terbentuknya enzim ESBL menyebabkan E. coli resisten terhadap golongan penisilin, cephalosporin dan aztreonam. Resistensi E. coli terhadap golongan quinolon disebabkan karena berkurangnya pembentukan porin, sehingga permeabilitas melalui membrane luar akan berkurang.29

(13)

2.5. Faktor Resiko Infeksi oleh Organisme Penghasil ESBL

Peningkatan penyebaran infeksi ESBL diduga terkait dengan berbagai faktor resiko. Sangat penting untuk mengidentifikasi faktor risiko untuk infeksi organisme penghasil ESBL secara jelas sehingga strategi yang efektif untuk membatasi wabah infeksi ini dapat dikembangkan. Beberapa studi telah berusaha menjelaskan berbagai faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi oleh organisme penghasil ESBL. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan dalam epidemiologinya, kurangnya konsensus termasuk kegagalan untuk membedakan kolonisasi dari infeksi yang sebenarnya, kurangnya kelompok pembanding, kecilnya jumlah pasien dan terbatasnya pada populasi pasien tertentu serta membatasi penyelidikan hanya untuk pasien-pasien di ruang rawat intensif.24

Secara umum, pasien yang memiliki resiko tinggi mendapat kolonisasi atau terinfeksi bakteri penghasil ESBL adalah mereka yang memiliki penyakit yang serius dengan durasi rawatan rumah sakit yang lama dan menggunakan peralatan medis invasive (kateter urin, endotracheal tube, central venous lines).11,16,25

Dari beberapa penelitian, durasi rawatan antara 11 sampai 67 hari merupakan faktor resiko infeksi oleh bakteri penghasil ESBL. 11 Perawatan

ICU juga merupakan salah satu resiko, hal ini terkait dengan penggunaan berbagai alat invasive seperti ventilator, nasogastric tube, endotracheal tube, gastrostomy atau jejunostomy tube, central venous line, pemberian nutrisi parenteral, 11,16,40

(14)

Faktor resiko lain adalah perawatan di rumah atau fasilitas kesehatan lain dalam jangka waktu yang lama, penyakit dasar, pembedahan, tingkat keparahan penyakit, hemodialisa dan nutrisi yang kurang, 16,28 Beberapa

penyakit dasar juga dilaporkan memiliki hubungan dengan infeksi oleh organisme penghasil ESBL, yaitu : infeksi saluran kemih berulang, diabetes mellitus, keganasan, penyakit paru obstruktif, pembedahan, dan sepsis2,16, 22, 41 Pemakaian antibiotik pertama juga turut berperan, biasanya berhubungan

dengan kuinolon, cephalosporin generasi III, co-trimoxazole, dan metronidazol.2,11,16

2.6. Metode Deteksi ESBL

Mengidentifikasi organisme yang produsen ESBL adalah tantangan utama untuk laboratorium mikrobiologi klinik. Karena ESBL telah ditemukan di seluruh dunia, berbagai strategi pendeteksiannya telah dikembangkan.

2.6.1. Skrining ESBL

Menurut CLSI, metode skrining untuk organisme penghasil ESBL adalah metode cakarm difusi (disk diffusion test) dan “dilution antimicrobial susceptibility test”.42

2.6.1.1 Disk Diffusion Test

CLSI menyarankan tes ini untuk klebsiella, Escherichia coli, and Proteus mirabilis. Pemeriksaan dengan metode cakram difusi ini dapat menskrining organisme penghasil ESBL dengan mencatat diameter zona

(15)

tertentu yang mengindikasikan dengan kuat kecurigaan adanya ESBL. Disk yang sering digunakan adalah Cefpodoxime, Ceftazidime, Cefotaxime, atau Ceftriaxon. Penggunaan disk lebih dari satu agen dapat meningkatkan sensitivitas deteksi ESBL. Jika salah satu diameter zona menunjukkan kecurigaan ESBL (+), maka dilakukan konfirmasi dengan tes fenotipik untuk memastikan diagnosa.

Pada 1995, Thomson dan Sanders mendapatkan bahwa metode cakram difusi dengan menggunakan cefpodoxime sangat baik untuk membedakan organisme penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL pada Klebsiella pneumoniae dan E. coli.43 Awalnya CLSI merekomendasikan zona

diameter <22 mm untuk cakram 10 μg cefpodoxim dalam menskrining ESBL. Namun sayangnya, skrining dengan menggunakan cefodoxime pada diameter <22mm kurang sensitif untuk menyaring E. coli penghasil ESBL. Untuk itu, CLSI memberikan rekomendasi baru untuk mengubah batas diameter zona cefodoxime menjadi <17mm untuk menskrining ESBL. Acuan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.42

2.6.1.2 Dilution antimicrobial susceptibility tests (Metode MIC)

CLSI menyarankan metode dilusi untuk menskrining keberadaan ESBL pada Klebsiella dan E. coli. Awalnya tes skrining ESBL menggunakan cefpodoxime dengan MIC > 2 μg/ml. Namun sekarang, tes ini dapat menggunakan ceftazidime, aztreonam, cefotaxime, dan ceftriaxone pada konsentrasi 1 μg/ml. Jika didapati nilai MIC > 2 μg/ml, maka dicurigai sebagai penghasil ESBL yang kemudian dilanjutkan dengan tes konfirmasi fenotipik.

(16)

Tabel. 2. Kriteria MIC dan Zona Inhibitor untuk mendeteksi ESBL pada K.pneumoniae and E.coli19

Antibiotik Diameter untuk sensitif strain Zona Diameter untuk kemungkinan strain ESBL MIC strain sensitif MIC untuk kemungkinan strain ESBL Aztreonam 30g ≥ 22 mm ≤ 27 mm ≤ 8 mg/L ≥ 2 mg/L Cefotaxime 30g ≥ 23 mm ≤27 mm ≤ 8 mg/L ≥ 2 mg/L Cefpodoxime 10g ≥ 21 mm ≤ 22 mm ≤ 8 mg/L ≥ 2 mg/L Ceftazidime 30g ≥ 18 mm ≤ 22 mm ≤8 mg/L ≥ 2 mg/L Ceftriaxone 30g ≥21 mm ≤ 25 mm ≤ 8 mg/L ≥2 mg/L

2.6.2 Tes Konfirmasi Fenotipik41,44

NCCLS merekomendasikan tes konfirmasi fenotipik pada K. pneumoniae, K. oxytoca, or E. coli penghasil ESBL dengan menggunakan cefotaxime - ceftazidim saja dan mengkombinasikannya dengan asam clavulanat. Menurut CLSI, tes konfirmasi fenotipik organisme penghasil ESBL adalah Cephalosporin / Clavulanat Combination Disc ) dan Broth dilution test

2.6.2.1. Cephalosporin / Clavulanat Combination Disc

CLSI menggunakan cakram cefotaxime (30 μg) atau ceftazidime (30 μg) tanpa clavulanat untuk konfirmasi fenotipik keberadaan ESBL pada Klebsiellae dan E. coli. Cara membuat disk ini yaitu larutan asam klavulanat ditambahkan pada disk cephalosporin, kemudian di inkubasi selama 1 jam, setelah itu baru dapat digunakan. Tes ini dilakukan pada agar Mueller Hinton. Dikatakan phenotypic conformation ESBL positif jika terjadi perbedaan

(17)

diameter ≥ 5 mm antara disk cephalosporin (tanpa klavulanat) dengan disk cephalosporin / klavulanat. Harus ditekankan bahwa cefotaxime dan ceftazidime dengan atau tanpa clavulanat harus digunakan. Alasannya, penggunaan ceftazime secara tunggal menimbulkan ketidakmampuan untuk mendeteksi organisme yang memproduksi enzim CTX-M.

2.6.2.2. Broth Dilution

Tes konfirmasi fenotipik dapat juga dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan broth dilution dengan menggunakan ceftazidime (0.25 s/d 128 μg/ml), ceftazidime ditambah clavulanic acid (0.25/4 s/d 128/4 μg/ml), cefotaxime (0.25 s/d 64 μg/ml), dan cefotaxime ditambah clavulanic acid (0.25/4 to 64/4 μg/ml. Untuk meningkatkan sensitivitas metoda ini, ceftazidime dan cefotaxime harus digunakan. Dikatakan phenotypic conformation ESBL positif jika terdapat penurunan ≥ 3 kali lipat serial pada MIC cephalosporin yang mengandung asam klavulanat dibandingkan yang tidak mengandung asam klavulanat. Metoda ini dapat bekerja dengan baik untuk K.pneumoniae dan E.coli yang memproduksi ESBL.

2.6.3 Metode deteksi lain untuk organism penghasil ESBL

(18)

Pada tes ini cakram cephalosporin (30 μg/ml) dan asam klavulanat (10 μg/ml) dipisahkan sejauh 30 mm dari tengah ke tengah pada media Muller-Hinton Agar (MHA). Tes ini dikatakan positif jika terdapat zona yang jernih dan memanjang dari zona penghambatan cephalosporin terhadap cakram asam klavulanat, keadaan ini disebut “sinergi”.

2.6.3.2. Tes Komersil ESBL

Metode pendeteksian ESBL yang komersil adalah E test, AB Biodisk (Solna, Sweden), Vitek 2 (bioMerieux Vitek, Hazelton, Missouri), MicroScan panels dari Dade Behring MicroScan (Sacramento,California, USA), BD Phoenix Automated Microbiology System dari Becton Dickinson Biosciences (Sparks, MOMaryland,USA).45

Wiegand dkk melakukan suatu studi perbandingan terhadap tes konfirmasi fenotipik yang konvensional dibandingkan dengan beberapa tes yang telah tersedia secara komersil. Hasilnya : Phoenix memiliki sensitivitas tertinggi (99%) diikuti oleh Vitek 2 (98%) dan Micro Scan (94%); sedangkan spesifisitasnya sangat bervariasi yaitu 52% pada Phoenix dan 78 % pada Vitek 2. Sedangkan pada uji E test strips dengan empat cakram kombinasi (termasuk ceftazidime, cefotaxime, cepodoxime, dan cefpirome) menunjukkan sensitivitas 94% dan 93% dan spesifisitas 85 % dan 81%.46

2.7. ESBL Kaitannya dengan Tingkat Mortalitas, Lamanya Rawatan, dan Beban Ekonomis

Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk mencari hubungan antara infeksi oleh organisme penghasil ESBL dengan tingkat mortalitas.

(19)

Beberapa studi tersebut menemukan adanya hubungan antara oleh organisme penghasil ESBL dengan kegagalan terapi yang kemudian mengakibatkan kematian, namun sebaliknya ada juga studi yang tidak menemukan hubungan tersebut. Keberbedaan studi tersebut dirangkumkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Outcome dari pasien-pasien dengan bakteremia yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL : studi retrospektif47

Bentuk penelitian, referensi

Strain ESBL Spesifik antibiotik yang berhubungan dengan mortalitas Outcome (mortality atau gagal) Studi nonkomparatif, Paterson et al

K. pneumonia Semua pasien diterapi dengan 3GCs dan 4GCs; CTZ (n = 2), Ceftriaxone (n = 4), dll (n = 4) 60% gagal terapi, 40 % meninggal Wong-Beringer et

al E. coli & K.pnemumonia 14% gagalterapi. 19% meninggal studi Komparatif menemukan tidak ada hubungan antara status ESBL dengan outcome, Du E. coli & K.

pnemumonia 2 (28%) dari 7pasien yg diberikan 3GC : meninggal 12 (36%) dari 33 pasien yg diberikan 3GC : meninggal 26% gagal terapi, 13% meninggal 27% gagal terapi, 29% meninggal Schiappa et al E. coli & K.

pnemumonia 19 dari 31 pasien dengan CTZ-R mendapat terapi yang tepat: 1 (5%) meninggal, 12 pasien tidak mendapat terapi yang tepat; 5 (42%) meninggal 19% meninggal Yoon et al K. pneumonia

(20)

-Chemaly et al K. pneumonia - 29% meninggal 12% meninggal

Kim et al K. pneumonia - 23% meninggal

Studi komparatif menemukan adanya hubungan penting antara status ESBL dengan outcome, Arrifin et al K. pneumonia 8 (50%) dari 16 pasien strain CTZ-R Meninggala; 2(13.3%) dari 15 pasien strain CTZ-S meninggal Kim et al E. coli & K.

pnemumonia 4(23%) dari 17 pasien yang diberikan ES Ceph meninggal 1 (2%) dari 50 pasien yang diberikan ES Ceph meninggal 27% meninggal 6% meninggal Ho et al E. coli 3 (43%) dari 7 pasien diberikan terpi empiric CTZ (MIC < 8 µg/mL) meninggal -18% meninggal 7% meninggal

Catatan : 3GC, cephalosporin Generasi 3; 4GC, Cephalosporin Generasi 4; CTZ, ceftazidime; CTZ-R, CTZ-resistant; CTZ-S, CTZ-susceptible; ES Ceph : extended-spectrum cephalosporin; UTI : Urinary Tract Infection.

Secara umum, pasien dengan infeksi oleh organisme penghasil ESBL memiliki outcome klinis yang kurang baik karena organisme ini memiliki tingkat resistensi yang tinggi pada berbagai antibiotik. Angka mortalitas terhadap pasien yang diterapi dengan antibiotik yang tidak tepat mencapai 42-100%.5 Di Inggris, Meltzer dan Jacobsen melakukan suatu studi

prosepektif pada pasien dengan bakteremia E. coli dan mereka menemukan secara signifikan bahwa angka kematian pada pasien dengan E. coli penghasil ESBL lebih tinggi 32 persen dibandingkan dengan kelompok E. coli yang tidak menghasilkan ESBL. Keterlambatan pemberian terapi antibiotik

(21)

yang tepat diduga merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada infeksi oleh organisme penghasil ESBL. Hampir dengan hasil yang hampir sama, suatu studi kasus-kontrol oleh Quresi dkk meemukan bahwa pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat berhubungan kuat dengan tingginya angka mortalitas pada pasien-pasien yang terinfeksi oleh baik K. pneumonia dan ESBL penghasil ESBL16

Pemberian terapi yang tidak tepat pada infeksi ESBL ini juga tentunya berdampak pada lamanya rawatan rumah sakit dan kemudian berdampak besar pada biaya episode bakteremia. Jadi tidaklah mengherankan jika infeksi oleh organisme penghasil ESBL ini mengakibatkan peningkatan beban ekonomis.Para klinisi harus menggunakan terapi antibiotik yang lebih mahal karena timbulnya berbagai resistensi, bahkan tak jarang pasien membutuhkan terapi antibiotik secara parenteral. Lautenbach menunjukkan bahwa infeksi oleh karena K. pneumonia dan E. coli penghasil ESBL membutuhkan biaya 2.9 kali lebih tinggi dengan infeksi oleh bakteri non-ESBL, pada studi lain juga terjadi peningkatan 1.5-1.7 kali lipat biaya yang diperlukan.16

2.8. Terapi ESBL

Keterbatasan pemilihan antibiotik untuk penanganan infeksi oleh organisme penghasil ESBL menjadi suatu persoalan yang rumit bagi para klinisi. ESBL yang dihasilkan oleh Enterobacteriaceae seringkali menunjukkan resistensi terhadap antibiotik beta-laktam termasuk cephalosporin, aztreonam dan penisilin. Lebih jauh lagi, jenis antibiotik seperti

(22)

trimethoprim-sulfamethoxazole dan aminoglikosida terutama gentamisin seringkali ko-transfer melalui plasmid sehingga menimbulkan MDR.

Berikut ini beberapa antibiotik yang telah dilakukan uji in vitro terhadap keefektifannya menghadapi infeksi oleh organisme penghasil ESBL :

1. Carbapenem

Secara in vitro, golongan carbapenem (termasuk imipenem, meropenem, doripenem, ertapenem) adalah yang memiliki aktivitas paling tinggi dalam menghadapi aktivitas organisme penghasil ESBL karena kestabilannya dalam menghidrolisis ESBL. Berdasarkan berbagai penelitian-penelitian , Carbapenem merupakan antibiotik pilihan dalam menghadapi berbagai infeksi serius yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL.11 Penggunaan carbapenem terbukti

menurunkan angka mortalitas pada infeksi serius yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL.47

The Meropenem Yeary Susceptibility Test Information Collection Surveillance Program melaporkan bahwa dari tahun1997 sampai dengan 2000, meropenem dan imipenem memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghadapi aktivitas isolat gram negatif pada ICU-ICU di Negara Eropa , bahkan lebih kuat dari Ceftazidime. Perbedaan tersebut lebih nampak pada strain organisme penghasil ESBL. Carbapenem secara konsisten memiliki aktivitas tinggi dalam menghadapi E. coli dan K. pneumonia penghasil ESBL.47

(23)

The SENTRY Antimicrobial Surveillance Program memeriksa 2773 organisme dari pasien pneumonia yang dirawat di 30 Rumah Sakit di Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 1998. Mereka mendapati bahwa secara tes in vitro, > 90% organisme penghasil ESBL sensitif terhadap piperacilin-tazobactam, hampir sama kemampuannya dengan cefepime, imipenem, meropenem, aminoglikosida, dan fluoroquinolon. Sebagai perbandingan, hanya 77,6% dan 79,6% Klebsiella penghasil ESBL yang sensitif terhadap ceftazidime dan cefotaxime.

3. Aminoglikosida47,48

Golongan aminoglikosida memberikan berbagai aktivitas yang berbeda. Sebagian besar organisme penghasil ESBL sudah resisten terhadap gentamisin sehubungan dengan co-transfer oleh plasmid. Dari antara semua aminogikosida, amikasin menunjukkan angka sensitivitas yang cukup baik di beberapa Negara bagian Amerika Serikat. Dengan tingkat resistensi sekitar 10% di Amerika Serikat, amikasin merupakan alternatif lain sebagai terapi empirik ketika agen yang lain tidak dapat digunakan. Pemakaian aminoglikosida dalam menghadapi organisme penghasil ESBL sudah dengan baik dibuktikan.

4. Fluoroquinolon47

Antibiotik quinolon menunjukkan keterbatasan dalam terapi infeksi oleh organisme penghasil ESBL. Ciprofloxacin dilaporkan efektif untuk pasien dengan infeksi oleh K. pneumonia penghasil ESBL yang gagal diterapi dengan cefotaxime dan resisten terhadap ceftazidime.

(24)

Fluoroquinolones sangat berguna untuk pengobatan infeksi saluran kemih, karena konsentrasinya tinggi dalam urin.

Peningkatan co-resisten fluoroquinolon mulai melemahkan efektivitasnya dalam menghadapi organisme penghasil ESBL. Suatu studi prospektif multisenter terhadap infeksi aliran darah oleh K. pneumonia dilakukan pada 7 negara menemukan bahwa 18% isolat penghasil ESBL resisten terhadap ciprofloxacin. Faktor resiko yang menyebabkan resistensi ini adalah pemakaian fluoroquinolon sebagai antibiotik pertama, pemakaian aminoglikosida dan lamanya rawatan.

5. Cephalosporin generasi empat

Cefepime adalah salah generasi keempat cephalosporin yang lebih stabil dibandingkan generasi ketiga cephalosporin terhadap beberapa organisme penghasil ESBL dan sangat stabil terhadap tipe AmpC β-laktamase. Penelitian secara in vitro telah mengkonfirmasi bahwa organisme penghasil ESBL sebagian besar sensitif terhadap cefepime.47

(25)

2.9. Kerangka Teori

Extended Spectrum Beta-Laktamase

Penyebaran Sangat Cepat Masalah : Kesulitan pemilihan

antibiotik untuk terapi, Lamanya rawatan, Beban Ekonomis,Mortalitas

F a k t o r R e s i k o

Gambar

Gambar 1. Reaksi hidrolitik oleh β-laktamase pada ikatan amida dari cincin β- β-laktam 28
Tabel 1. Klasifikasi β- lactamase berdasarkan kelas molekuler dan fungsional 28 Kelas Fungsional Kelas Molekuler Karakteristik
Tabel 3. Outcome dari pasien-pasien dengan bakteremia yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL : studi retrospektif 47

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi ini dapat terjadi akrena untuk kedua tempuhan ini, 2 jam tahap reaksi pada akhir siklus dilakukan periode aerob, selain itu pada tempuhan 5, COD rata-rata umpan yang

Akan tetapi jika ketahanan rotan tersebut dinilai berdasarkan persentase jumlah bubuk yang hidup (Lampiran 3), maka dari 16 jenis rotan yang diamati, sebanyak 4 jenis (25%),

Hasil uji Chi Square nilai p = 0,000 kurang dari 0,005 yang artinya terdapat beda signifikan pada data sebelum dan sesudah implementasi metode kaizen sehingga

Mahasiswa yang telah menyelesaikan KP dapat mendaftarkan diri sebagai peserta Seminar Hasil KP baik secara individu ataupun kelompok kepada koordinator melalui

akan dianalisis dalam penelitian ini berupa kutipan-kutipan (kata, frasa, kalimat naratif, maupun dialog), yang berkaitan dengan tubuh dan penubuhan yang digambarkan

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karakteristik yang berkaitan dengan penggunaan media pembelajaran program power point dan hasil belajar siswa dengan anggota

 Kendala alamiah yakni adanya wilayah rawan bencana di Kabupaten Lamongan, yaitu wilayah yang secara topografis mempunyai ketinggian o-7 m diatas permukaan

Berdasarkan pengolahan hasil dan pembahasan, secara umum disimpulkan bahwa penggunaan strategi inquiring minds what to know pada mata kuliah Sejarah Indonesia Masa