• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Percobaan I. Perbanyakan Secara Generatif

Informasi umum mengenai benih pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) Fenologi benih

Pasak bumi merupakan tumbuhan yang berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Masa berbunga dan berbuah pasak bumi berbeda untuk daerah Kalimantan dan Sumatera. Untuk pasak bumi asal Sumatera biasanya berbunga dan berbuah terbanyak pada bulan September-Nopember, sedangkan di Kalimantan masa berbunga dan berbuah terbanyak pada bulan Juli-Agustus.

Benih

Pasak bumi memiliki warna kulit buah merah kehitaman saat mulai masak. Buah tersusun atas lapisan luar yang sangat tipis, lapisan tengah dan endocarp yang keras seperti tempurung, tanpa endosperm. Biji berwarna putih dengan 2 keping, dengan plumula kecil (Gambar 11).

Tipe benih pasak bumi adalah rekalsitran, dimana tipe benih ini mudah mengalami penurunan viabilitas. Jumlah biji yang digunakan untuk penelitian ini adalah sebanyak 360 biji dengan diameter antara 0,5-0,7 cm dan berat untuk tiap butir benih berkisar antara 0,29 gram atau 290 gram untuk 1000 butir benih.

Gambar 11 Morfologi benih pasak bumi.

Perkecambahan benih

Benih pasak bumi yang dikecambahkan pada 4 (empat) media yang berbeda menunjukkan perbedaan jumlah dan kecepatan berkecambah. Hari berkecambah tercepat diperoleh pada media pasir murni (M1) yaitu hari ke-14, diikuti oleh media pasir–sekam perbandingan 1:1 (M3) pada hari ke-15, media

(2)

pasir–kompos (M4) benih mulai berkecambah pada hari ke-18 dan media pasir– tanah perbandingan 1:1 (M2) pada hari ke-20.

Jumlah kecambah kumulatif tertinggi diperoleh pada media M2 yaitu sebanyak 31 buah (34%), diikuti oleh media M1 yaitu sebanyak 20 buah (22%), M3 sebanyak 15 buah (16%) dan M4 sebanyak 13 buah (14%). Grafik kumulatif perkecambahan benih pasak bumi disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Grafik kumulatif perkecambahan benih pasak bumi selama 60 hari.

Hari berkecambah tercepat diperoleh pada media pasir murni. Hartmann et al. (1997) menyatakan pasir merupakan media yang mudah tersedia bersih dan daya rekatnya rendah, pasir tidak menyimpan kelembaban sehingga membutuhkan frekuensi penyimpanan yang lebih. Penggunaan tunggal tanpa adanya campuran media lain akan membuat pasir bersifat kasar sehingga memberikan hasil yang baik.

Media yang menghasilkan hari berkecambah paling lambat dan jumlah kecambah paling sedikit adalah media kompos, hal ini kemungkinan disebabkan karena media kompos kurang sesuai untuk perkecambahan benih pasak bumi karena terlihat beberapa kecambah mengalami lodoh dan layu.

Pasak bumi memiliki tipe kecambah semi hypogeal yang merupakan tipe antara hipogeal dan epigeal. Pada tipe ini hipokotil tidak memanjang, namun kotiledon timbul, kemungkinan disebabkan pemanjangan dari tangkai kotiledon (Gambar 13).

(3)

Gambar 13 Tipe kecambah pasak bumi.

Penyapihan bibit dilakukan pada saat berumur 8 minggu. Bibit yang dipilih untuk disapih memiliki tinggi bervariasi antara 8-10 cm dan penampakan fisik yang sehat.

Pengaruh media terhadap pertumbuhan semai pasak bumi

Rekapitulasi sidik ragam terhadap parameter pertumbuhan semai

Pada penelitan ini media yang digunakan adalah campuran arang sekam dan tanah dengan perbandingan 1:1 (M1), arang sekam murni (M2) dan campuran pasir tanah dengan perbandingan 1:1 (M3). Pemilihan media tersebut didasarkan pada pengamatan pertumbuhan semai pada saat perkecambahan.

Tabel 9 menunjukkan bahwa media tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan pucuk semai (kecuali jumlah malai daun), namun berpengaruh terhadap jumlah dan panjang akar yang dihasilkan. Media yang menghasilkan variabel pertumbuhan terbaik adalah media arang sekam murni.

Tabel 9 Rekapitulasi sidik ragam pertumbuhan semai pasak bumi selama 20 minggu Media Parameter M1 M2 M3 Signifikans i

Tinggi semai 14,3a 13,48a 12,2a tn

Diameter semai 0,42a 0,37a 0,37a tn

Kekokohan 54,33a 59,76a 59,53a tn

Jumlah malai daun 14,7 b 14,2 b 9,9 a *

Panjang akar primer 4,78a 9,18b 6,38a **

Panjang akar sekunder 4,9a 5,94a 4,8a tn

Jumlah akar primer 1 a 1,8 b 1 a **

Jumlah akar sekunder 24,2 a 65,2 b 24,6 a **

Keterangan : tn: tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% dan 99%

*: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

**: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 99%

(4)

Pertumbuhan pucuk semai pasak bumi a. Tinggi semai

Gambar 14 menunjukkan tinggi rata-rata terbaik diperoleh pada media campuran arang sekam-tanah (M1) yaitu sebesar 20,76 cm, diikuti oleh media campuran pasir-tanah (M3) sebesar 19,22 cm dan media arang sekam murni (M2) sebesar 18,98 cm.

Gambar 14 Rata-rata tinggi tanaman pasak bumi pada media tumbuh yang berbeda selama 20 minggu.

Laju pertumbuhan tinggi semai terbaik selama 20 minggu diperoleh pada media M1 sebesar 14,3 cm, sedangkan laju pertumbuhan semai terjelek diperoleh pada media M3 yaitu sebesar 12,2 cm. Laju pertumbuhan semai pada ketiga media tersebut disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15 Laju pertumbuhan tinggi semai tanaman pasak bumi selama 20 minggu pada tiga media tumbuh.

Berdasarkan hasil sidik ragam (Tabel 9) terlihat bahwa tinggi semai pasak bumi tidak dipengaruhi oleh media yang digunakan.

(5)

b. Diameter semai

Nilai pertumbuhan diameter merupakan selisih antara pengukuran diameter akhir dengan diameter awal pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa rata-rata pertambahan diameter tertinggi diperoleh pada media M1 yaitu sebesar 0,42 cm, sedangkan M2 dan M3 memiliki rata-rata pertambahan diameter yang sama yaitu 0,37 cm (Gambar 16).

Gambar 16 Pertambahan diameter semai pasak bumi selama 20 minggu dalam tiga media tumbuh.

Hasil sidik ragam (Tabel 9) menunjukkan bahwa pertambahan diameter semai pasak bumi tidak dipengaruhi oleh media tumbuh yang digunakan.

c. Kekokohan semai

Kekokohan semai merupakan perbandingan antara tinggi terhadap diameter yang diukur pada akhir pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa media M2 memiliki nilai kekokohan rata-rata tertinggi yaitu sebesar 59,76 sedangkan media M1 memiliki nilai kekokohan rata-rata terendah yaitu sebesar 54,33 (Gambar 17).

Gambar 17 Kekokohan semai pasak bumi selama 20 minggu dalam tiga media tumbuh.

(6)

Hasil sidik ragam (Tabel 9) menunjukkan bahwa media semai tidak mempengaruhi kekokohan semai pasak bumi.

d. Jumlah malai daun

Jumlah malai daun merupakan jumlah kumulatif malai daun yang terbentuk sampai akhir pengamatan. Gambar 18 menunjukkan media M1 menghasilkan rata-rata malai daun yang terbanyak yaitu sebesar 14,7 sedangkan media M3 menghasilkan rata-rata jumlah malai daun paling sedikit yaitu 9,9.

Gambar 18 Jumlah malai daun pasak bumi yang terbentuk selama 20 minggu dalam tiga media tumbuh.

Hasil sidik ragam dan uji Duncan (Tabel 8) menunjukkan bahwa media semai berpengaruh terhadap pembentukan malai daun pasak bumi. Semai yang ditanam pada media M3 meghasilkan rata-rata jumlah malai daun yang paling sedikit (9,9) dan berbeda nyata dengan media M2 dan M1.

Variabel pertumbuhan pucuk yang dihasilkan pada ketiga media semai menunjukkan nilai yang hampir sama. Menurut Anonim (2007) pertumbuhan pucuk semai pasak bumi yang cenderung lambat kemungkinan disebabkan karena adanya fenomena dominasi apikal. Sitokinin yang mengalir dari ujung akar ke bagian atas dan berfungsi merangsang pertumbuhan tanaman bagian atas terhambat oleh adanya aktifitas auksin yang mengalir dari bagian atas menuju akar (basipetal) dan berfungsi merangsang tumbuhnya perakaran terlalu tinggi sehingga tunas cabang dan ranting menjadi sulit tumbuh.

(7)

Pertumbuhan akar semai pasak bumi a. Panjang akar

Panjang akar yang diukur adalah akar (primer dan sekunder) pasak bumi terpanjang pada akhir penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa rata-rata panjang akar primer tertinggi diperoleh pada media M2 yaitu sebesar 9,18 cm, sedangkan rata-rata akar primer terpendek diperoleh pada media M1. Rata-rata akar sekunder terpanjang diperoleh pada media M2 yaitu 5,94 cm sedangkan akar sekunder terpendek dperoleh pada media M3 sebesar 4,8 cm (Gambar 19).

Gambar 19 Panjang akar pasak bumi yang terbentuk selama 20 minggu dalam tiga media tumbuh.

Hasil sidik ragam dan uji Duncan (Tabel 9) menunjukkan bahwa media semai berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar primer pasak bumi namun tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar sekunder. Media M2 menghasilkan rata-rata panjang akar primer yang tertinggi dan sangat berbeda nyata dengan media M1 dan M3.

Media arang sekam murni menghasilkan akar yang lebih banyak dan lebih panjang jika dibandingkan dengan media yang lain, hal ini sesuai dengan Thomas (1995) yang menyatakan bahwa arang sekam padi dapat menciptakan kondisi lingkungan tumbuh, khususnya sifat fisik dan kimia tanah yang lebih baik bagi pertumbuhan tanaman karena lebih cepat mengalami proses pelapukan dan dekomposisi. Apabila sekam padi mengalami penguraian, maka sekam akan membebaskan unsur N, P, K, Mg dan Cl dengan kadar yang cukup berarti.

(8)

b. Jumlah akar

Jumlah akar adalah akar (primer dan sekunder) yang dihitung pada akhir pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 20) diketahui bahwa media M2 menghasilkan rata-rata jumlah akar primer yang tertinggi, yaitu 1,8 buah, sedangkan media M1 dan M3 memiliki rata-rata jumlah akar primer yang sama yaitu sebanyak 1 buah. Jumlah rata-rata akar sekunder terbanyak diperoleh pada media M2 yaitu 65,2 buah, sedangkan rata-rata akar sekunder paling sedikit diperoleh pada media M1 yaiu 24,2 buah.

Gambar 20 Jumlah akar pasak bumi yang terbentuk selama 20 minggu dalam tiga media tumbuh.

Hasil sidik ragam dan uji Duncan (Tabel 9) menunjukkan bahwa media semai berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah akar primer dan sekunder pasak bumi. Semai yang ditanam pada media M2 menghasilkan rata-rata jumlah akar primer yang terbanyak dan sangat berbeda nyata dengan media M1 dan M3.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harsono (2002) menunjukkan bahwa arang sekam memiliki kandungan silika yang tinggi (94-96 %) serta kandungan unsur lain yang mendukung pertumbuhan tanaman. Adanya kandungan silika yang tinggi tersebut mampu menyerap kadar unsur yang berlebih.

Sebaran perakaran semai pasak bumi

Sebaran atau distribusi perakaran semai pasak bumi merupakan jumlah akar primer dan sekunder semai pasak bumi, pada tiga zone atau bagian dari wadah yang digunakan, sehingga dapat diketahui kemampuan akar dalam

(9)

melakukan penetrasi untuk mencari unsur hara yang diperlukan dalam tahapan pertumbuhan dan perkembangannya. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Pengaruh media semai terhadap sebaran akar semai pasak bumi Media Ulangan Distribusi Zona Perakaran

Atas (0-5 cm) Tengah (6-10cm) Bawah (11-15cm)

M1 1 30 0 0 2 25 0 0 3 20 0 0 4 27 0 0 5 19 0 0 M2 1 22 0 0 2 60 43 0 3 60 40 0 4 30 20 9 5 24 18 10 M3 1 10 12 0 2 30 0 0 3 15 9 0 4 20 0 0 5 15 12 0

Pola perakaran pada tiga media yang digunakan menunjukkan adanya perbedaan. Pada media kombinasi sekam-tanah, akar semai yang dihasilkan terkonsentrasi pada zona atas, sedangkan pada media arang sekam murni, akar semai yang dihasilkan selain terkonsentrasi pada zona atas, terdapat juga pada zona tengah dan bawah (Gambar 21). Hal ini menunjukkan bahwa adanya arang sekam mampu meningkatkan jumlah dan sebaran akar semai yag dihasilkan sehingga kemampuan melakukan penetrasi dan mencari unsur hara yang diperlukan akan semakin baik.

(10)

M2

Gambar 21 Semai dan distribusi akar pada tiga media semai yang berbeda.

Media berpengaruh terhadap tipe sistem perakaran stek. Pada media dengan kombinasi arang sekam, akar yang dihasilkan relatif lebih banyak hal ini dikarenakan media tersebut lebih lembab daripada media lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan pada beberapa jenis stek dengan media pasir, menghasilkan akar yang panjang, sedikit percabangan, kasar dan rapuh. Sedangkan kombinasi pasir dengan kompos menghasilkan akar yang lebih berkembang, banyak cabang, tipis dan lentur. Perbedaan sistem perakaran tersebut berhubungan dengan kelembaban media (Hartmann et al. 1997).

M1

(11)

Pengamatan visual selama penelitian.

Berdasarkan pengamatan visual selama penelitian, media arang sekam murni menghasilkan semai yang memiliki penampakan fisik (warna daun lebih hijau, kesehatan) yang lebih baik dibandingkan dengan media lain.

Selama penelitian beberapa semai mengalami kematian tiba-tiba, yang kemungkinan disebabkan busuknya akar akibat serangan jamur. Serangan jamur yang menyebabkan kematian tersebut dapat disajikan pada Gambar 22.

Gambar 22 Serangan jamur penyebab busuk akar.

Selain serangan larva yang mengakibatkan busuknya akar, pada saat penelitian dijumpai juga serangan larva Atteva sciodoxa.yang menyerang pucuk yang masih muda.

(12)

Percobaan II. Kekerabatan Genetik Antar Individu Semai Pasak Bumi

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas DNA yang diperoleh untuk analisis genetik. Dalam ekstraksi DNA terdapat dua tahapan penting yang dilakukan yaitu mendegradasi sel untuk mengeluarkan DNA dan mengekstraksi untuk memisahkan DNA dari kontaminan yang ada.

Permasalahan yang dihadapi dalam ekstraksi DNA jenis tanaman keras atau berkayu adalah adanya senyawa fenol, senyawa protein, karbohidrat dan polisakarida yang dapat menurunkan kemurnian dan konsentrasi DNA. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode CTAB. Penggunaan CTAB dapat memisahkan DNA dari polisakarida karena adanya karakteristik perbedaan larutan antara keduanya dalam CTAB. Senyawa fenol yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna coklat pada saat ekstraksi dapat dihilangkan dengan menambahkan senyawa fenol, selain itu pencucian berulang dengan menggunakan etanol dapat menghilangkan kontaminan-kontaminan yang ada.

Menurut Qiagen (2001), pita DNA yang berekor (smearing) mengindikasikan bahwa pita tersebut masih kotor. Hasil ekstraksi yang kotor ini masih mengandung larutan kloroform, kadungan fenol yang tinggi dan alkohol. Selain itu, hasil yang kotor tersebut masih mengandung kontaminasi protein, polisakarida dan RNA.

(13)

Seleksi primer

Seleksi primer dimaksudkan untuk mencari primer acak yang dapat menghasilkan amplifikasi, karena tidak semua primer nukleotida dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif) dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik.

Dalam penelitian ini DNA contoh untuk seleksi primer disiapkan dengan cara bulking DNA, yaitu DNA dari masing-masing sampel dicampur menjadi satu dan kemudian dijadikan template.

Berdasarkan hasil seleksi terhadap 28 primer, diperoleh 16 primer yang menunjukkan amplifikasi dan dari 18 primer tersebut diambil 7 primer yang menunjukkan ampifikasi terbanyak (OPY-6, OPY-15, OPY-17, OPY-19, OPY-20 dan OPC 7). Hasil kegiatan seleksi primer dan beberapa primer terbaik dapat disajikan pada Gambar 25.

(a) (b)

Gambar 25 Foto hasil seleksi primer (gambar (a) primer yang terpilih adalah Y20 & C7, gambar (b) primer yang terpilih adalah Y17, Y15, Y8 dan Y6).

RAPD

Hasil amplifikasi PCR-RAPD dari sampel daun hasil perbanyakan secara generatif menunjukkan bahwa jumlah fragmen pita DNA hasil amplifikasi 7 primer terpilih berkisar antara 4-11 pita dengan kisaran pita yang teramplifikasi antara 100-1200 bp, tergantung pada jenis primer yang digunakan (Tabel 11). Dari total 56 pita yang teramplifikasi 78,57% atau sebanyak 44 pita menunjukkan polimorfik, sedangkan hasil analisis dengan Popgene diketahui nilai keragaman genetik dalam populasinya adalah sebesar 0,3076.

Y20 Y9 O16 O13 O6 M C7 C5 C4 MM M Y19 Y17 Y15 Y14 Y13 Y11 Y10 Y8 Y7 Y6

(14)

Tabel 11 Primer RAPD yang digunakan serta jumlah pita yang dihasilkan dari 20 individu semai pasak bumi

Primer Sekuens Range Pita Yang Teramplifikasi (Kb) Jumlah Total Pita DNA Jumlah Pita DNA Polimorfik Persentase Pita DNA Polimorfik (%) OPY 15 5’TGGCGTCCTT’3 200 -1200 10 8 80 OPY 6 5’AGCCGTGGAA’3 200 - 1200 11 8 72,7 OPY 17 5’GACGTGGTGA’3 200 - 1200 10 8 80 OPY 8 5’AGGCAGAGCA’3 200 - 1200 9 9 100 OPY 19 5’TGAGGGTCCC’3 200-700 6 5 83,3 OPY 20 5’AGCCGTGGAA’3 100-500 4 2 50 OPC 7 5’GTCCCGACGA’3 100-800 6 4 66,7 Total 56 44 78,57

Gambar 26 menunjukkan contoh hasil amplifikasi dari 2 primer (OPY-15, OPY-17), sedangkan hasil amplifikasi 5 primer lainnya hasil skoring fragment pita hasil amplifikasi disajikan pada Lampiran 2.

OPY-15

OPY-17

Gambar 26 Hasil amplifikasi RAPD dengan primer OPY-15 dan OPY-17. (Keterangan: P1-P20: sampel tanaman, M:marker)

Nilai persentase lokus polimorfik dan keragaman tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Osman et al. (2003) terhadap tanaman pasak bumi di Malaysia dengan menggunakan penanda Single Nukleotide Polymorphisme (SNPs) terhadap 8 sampel dengan asal usul yang

P20 P19 P18 P17 P16 P15 P14 P13 P12 P11 P10 P9 P8 P7 P6 P5 P4 P3 P2 P1 M 100 bp 1000 bp 500 bp P20 P19 P18 P17 P16 P15 P14 P13 P12 P11 P10 P9 P8 P7 P6 P5 P4 P3 P2 P1 M 1000 bp 500 bp 100 bp

(15)

berbeda (Langkawi, Malaka, Trengganu, Pahang, Johor dan kultur jaringan) yaitu antara 45%-7% dan 0,182-0,246 dengan penanda SNP dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman daerah tropis lainnya seperti konifer (He = 0,145; Hamrick et al. 1992), eukaliptus (He = 0,182; Moran & Hopper 1987), namun lebih rendah dibandingkan tanaman berkayu, seperti kamper (He = 0,369; Lee et al. 2000) dengan menggunakan metode Isozim. Hal ini mengindikasikan bahwa heterogenitas individu pasak bumi dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang baik cukup tinggi. Menurut Li et al. (2006) pada beberapa kasus hal tersebut bisa disebabkan oleh tingginya instabilitas pada tanaman.

Kekerabatan antar individu semai pasak bumi

Menurut Namkoong et al. (1996) dalam Finkeldey (2005) keragaman genetik yang besar sangat mempengaruhi kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi. Individu atau populasi dengan keragaman genetik yang sempit akan rentan terhadap kondisi lingkungan yang heterogen. Salah satu akibat yang disebabkan oleh sempitnya variasi genetik adalah mudah terserang oleh hama dan penyakit. Pada dasarnya kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan sangat tergantung pada keragaman genetik dan multiplisitas indivividual dalam populasi (Gregorius 1989 dalam Hosius et al. 2000).

Pola variasi genetik suatu jenis ditentukan oleh sistem perkawinan yang terjadi dan akan mempengaruhi struktur genetik dan dinamikan populasi dalam jenis tersebut. Dengan mengetahui proses-proses perkawinan yang terjadi pada suatu jenis akan bermanfaat bagi efektifitas konservasi sumberdaya genetik dan optmalisasi upaya pemuliaan genetik jenis tersebut.

Pasak bumi memiliki kemampuan perkawinan yang unik. Sebagai tanaman dioceous pasak bumi memiliki tipe pohon jantan dan betina sehingga perkawinan dilakukan secara kawin silang (outcrossing), namun pada beberapa kasus tanaman pasak bumi juga mampu melakukan penyerbukan sendiri saat bunga masih belum membuka (penyerbukan tertutup/kleistogami). Letak benang sari yang lebih rendah daripada kepala putik menyebabkan proses penyerbukan hanya terjadi ketika ada vektor yang dapat menggerakkan bunga sehingga putik dan benangsari bertemu (Hadiah 2000). Adanya dua tipe perkawinan yang

(16)

berbeda tersebut sangat mungkin menjadi penyebab tingginya keragaman genetik tanaman pasak bumi hasil perbanyakan secara generatif.

Jarak genetik dan analisis cluster

Berdasarkan analisis gerombol dan nilai jarak genetik (Lampiran 5) dengan menggunakan metode pemasangan kelompok aritmatika tidak berbobot (Unweightted Pair-Grouping Method With Aritmatic Averaging, UPGMA) dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi seperti pada Gambar 27. .

Gambar 27 Dendrogram jarak genetik.

Pada Gambar 17, terlihat bahwa populasi membentuk dua kelompok yaitu kelompok I (terdiri dari 17 individu) dan kelompok II (terdiri dari 3 individu) dan akhirnya membentuk satu kelompok yang lebih besar. Individu yang memiliki jarak genetik terdekat adalah individu 19 dan 20 (0,1542), sedangkan individu yang memiliki jarak genetik terjauh adalah individu 1 dan 13 (0,8036).

Perbedaan kedua kelompok tersebut juga dapat diamati pada semai hasil perbanyakan generatif yang secara morfologi memiliki beberapa perbedaan penampakan seperti ukuran daun, warna daun serta pertumbuhan batangnya (Gambar 28). Perbedaan pengelompokan tersebut diduga karena adanya dua tipe

(17)

penyerbukan yang berbeda (outcrossing dan kleistogami) sehingga benih yang dihasilkan juga berbeda. Individu pada kelompok I (17 individu) diduga merupakan hasil dari outcrossing, sedangkan kelompok II (3 individu) diduga merupakan hasil dari kleistogami. Kemungkinan lain adalah benih tersebut berasal dari tanaman pasak bumi lain yang terbawa oleh burung, tikus atau terbawa oleh air sampai ke bawah pohon induk tersebut (migrasi gen).

Gambar 28 Perbedaan morfologi daun dan pucuk pasak bumi hasil perbanyakan secara generatif.

Menurut Osman et al. (2003) tanaman pasak bumi memiliki tipe dispersal yang mengikuti gaya berat (ke bawah) sehingga benih yang dihasilkan hanya tersebar di bawah pohon induk, hal tersebut menyebabkan tanaman pasak bumi di alam selalu dtemui secara berkelompok dibawah pohon induk. Hadiah (2000) juga menyatakan bahwa penyebaran benih pasak bumi umumnya hanya terbatas di sekitar pohon induk. Pemencaran ke tempat yang lebih jauh lagi hanya mungkin terbawa oleh aliran air hujan, karena ukuran buahnya yang relatif cukup besar sehingga tidak mungkin terbawa angin.

Implikasi status keragaman terhadap konservasi pasak bumi

Pengetahuan mengenai variasi genetik sangat penting untuk merumuskan program konservasi. Memahami dan mempertahankan keragaman genetik suatu populasi sangat penting dalam konservasi, karena keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk mampu beradaptasi terhadap penyakit-penyakit yang ada di alam.

(18)

Berdasarkan hasil analisis genetik, pasak bumi memiliki keragaman yang tinggi, oleh karena itu kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan juga lebih baik. Hal yang perlu diperhatikan adalah menjaga kelangsungan hidupnya yang terancam akibat pemanenan berlebihan terhadap habitatnya di hutan alam untuk keperluan industri obat maupun perkebunan.

Percobaan III. Perbanyakan Dengan Stek Pucuk

Pada penelitian stek pucuk ini perlakuan yang diberikan adalah faktor media yang merupakan campuran cocodust dan sekam dengan perbandingan yang berbeda yaitu 1:0 (A1), 1:1 (A2) dan 2:1 (A3) dan pemberian zat pengatur tumbuh, tanpa ZPT (B1) dan pemberian ZPT (B2).

Rekapitulasi sidik ragam pengaruh media dan zat pengatur tumbuh terhadap keberhasilan stek pucuk pasak bumi.

Sidik ragam (Tabel 12) menunjukkan bahwa media berpengaruh terhadap panjang akar sekunder, sedangkan persentase stek berakar, panjang akar primer dan jumlah akar lebih dipengaruhi oleh pemberian ZPT. Interaksi antara media*ZPT tidak memberikan pengaruh nyata terhdap parameter apapun.

Tabel 12 Rekapitulasi hasil sidik ragam dan nilai rata-rata terhadap beberapa parameter pertumbuhan stek

Media signifikansi

Parameter

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2 Persentase stek

hidup

77,78 77,78 77,78 100 77,78 77,78 tn

Persentase stek berakar

44,44a 66,67b 33,33a 44,44b 44,44a 77,78b *

Panjang akar primer

3,18a 4,93b 2,03a 6,84b 3,68a 5,76b *

Panjang akar sekunder

1,43b 1,63b 0,4a* 1,0a* 1,48b 2,04b *

Jumlah akar primer

1,50a 3,0b 2,0a 2,8b 2,5a 2,0b *

Jumlah akar sekunder

4,75a 10,67b 3,33a 20,2b 6,5a 20,86b **

Keteragan: tn: tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% dan 99%

*: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

**: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan99%

(19)

Pengaruh media dan zat pengatur tumbuh terhadap keberhasilan stek pucuk pasak bumi.

a. Persentase stek hidup (PSH)

Persentase stek hidup yang dimaksud adalah stek pasak bumi yang masih hidup (segar) dan tidak menunjukkan gejala kematian. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh rata-rata persentase stek hidup tertinggi diperoleh pada stek dengan A2B2 yaitu sebesar 100%, sedangkan perlakuan yang lain menghasilkan persentase hidup yang sama yaitu 77,78% (Gambar 29).

Gambar 29 Rata-rata persentase hidup stek selama 20 minggu.

Hasil sidik ragam (Tabel 12) menunjukkan bahwa perlakuan media, hormon ataupun interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap persentase hidup stek.

b. Persentase stek berakar (PSB)

Persentase stek berakar dihitung pada akhir penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan stek yang ditanam pada perlakuan A3B2 memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 77,78% sedangkan persentase terendah diperoleh pada perlakuan A2B1 yaitu sebesar 33,33% (Gambar 30)

(20)

Hasil sidik ragam (Tabel 12) menunjukkan bahwa media tidak berpengaruh terhadap persentase berakar, interaksi media dan ZPT tidak memberikan pengaruh nyata, sedangkan ZPT memberikan pengaruh nyata.

Stek pasak bumi tanpa pemberian Rootone F juga menunjukkan adanya perakaran namun berdasarkan hasil pengamatan, stek tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berakar dan akar yang terbetuk pun relatif lebih pendek dengan jumlah akar primer serta sekunder yang lebih sedikit. Hal ini membuktikan bahwa stek pasak bumi memiliki kandungan auksin endogen yang cukup untuk menghasilkan perakaran namun memerlukan tambahan hormon eksogen untuk mempercepat dan memperbanyak perakarannya.

Pemberian Rootone F merangsang proses morfologis yaitu pembentukan kucup lateral dan pertumbuhan akar baru pada jaringan kalus yang terbentuk pada stek. Jaringan kalus yang terbentuk pada stek sebagai akibat respons tumbuhan terhadap pemberian Rootone F berfungsi untuk memacu proses diferensiasi sel pada jaringan merismatik, dimana jaringan merismatik pada batang mengandung meristem yang memiliki jumlah sel sedikit dan aktifitas selnya rendah sehingga dibutuhkan hormon eksternal dalam hal ini Rootone-F untuk pertumbuhannya.

Gambar 31 Penampakan stek pucuk pada perlakuan yang berbeda. Media

Media

(21)

c. Panjang akar

Panjang akar dihitung pada akhir penelitian. Gambar 32 menunjukkan bahwa perlakuan media A2 dengan pemberian Rootone F menghasilkan rata-rata akar terpanjang yaitu 6,84 cm sedangkan perlakuan media A2 tanpa pemberian Rootone F menghasilkan rata-rata akar terpendek yaitu 2,03. Akar sekunder terpanjang diperoleh pada media A3 dengan pemberian Rootone F yaitu 2,04 cm, sedangkan akar terpendek diperoleh pada media A2 tanpa Rootone F yaitu 0,4 cm.

Hasil sidik ragam (Tabel 12) menunjukkan bahwa perlakuan media berpengaruh nyata terhadap panjang akar sekunder dan interaksi Media*ZPT tidak berbeda nyata, sedangkan pemberian ZPT berpengaruh nyata terhadap panjang akar primer stek pasak bumi.

Gambar 32 Panjang akar stek yang terbentuk selama 20 minggu.

Hasil pengujian terhadap media tanam menunjukkan bahwa pH media yang digunakan masih dalam kisaran yang dianjurkan (6,6-7,1). Media tanam A3 memiliki kapasitas tukar kation, kandungan C, N dan Zn yag lebih tinggi dibandingkan media lain. Hasil analisis media tanam secara lengkap dapat disajikan pada Lampiran 4.

Berdasarkan hasil pengamatan dan uji Duncan dapat diketahui bahwa media kombinasi cocodust dan sekam dengan perbandingan 2:1 menghasilkan akar sekunder yang lebih panjang jika dibandingkan dengan media lain. Hal ini

(22)

sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh KOFFCO bahwa media tersebut merupakan media paling ideal untuk produksi stek jenis dipterokarpa.

Pada media kombinasi dengan perbandingan 2:1, akar sekunder yang dihasilkan relatif lebih panjang, hal ini dikarenakan media tersebut lebih lembab daripada media lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan pada beberapa jenis stek dengan media pasir, menghasilkan akar yang panjang, sedikit percabangan, kasar dan rapuh. Sedangkan kombinasi pasir dengan kompos menghasilkan akar yang lebih berkembang, banyak cabang, tipis dan lentur. Perbedaan sistem perakaran tersebut berhubungan dengan kelembaban media (Hartman et al. 1997).

d. Jumlah akar

Jumlah akar (primer dan sekunder) dihitung pada akhir penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 33) dapat diketahui bahwa perlakuan media A1 dengan penambahan Rootone F menghasilkan rata-rata jumlah akar primer terbanyak yaitu 3 buah, sedangkan perlakuan media A1 tanpa pemberian Rootone F menghasilkan jumlah akar paling sedikit yaitu 1,5 buah. Media A3 dengan pemberian Rootone F menghasilkan rata-rata jumlah akar sekunder stek yang paling banyak yaitu 20,86 buah, sedangkan rata-rata jumlah akar sekunder paling sedikit diperoleh pada media A2 tanpa penambahan Rootone F.

(23)

Hasil sidik ragam (Tabel 12) menunjukkan bahwa perlakuan pemberian ZPT berpengaruh nyata terhadap jumlah akar primer dan sekunder stek, sedangkan media serta interaksi Media* ZPT tidak memberikan pengaruh nyata. Hal tersebut sesuai dengan fungsi dan kandungan Rootone F yang terdiri dari dua jenis golongan auksin sekaligus yaitu NAA dan IBA. NAA dan senyawa naphthelena lainnya berfungsi memperbanyak dan mendorong timbulnya suatu perakaran, sedangkan IBA bermanfaat untuk memperbanyak dan mempercepat perakaran. Selain itu terdapat Thiram yang berfungsi sebagai fungisida.

Pembentukan tunas dan akar pasak bumi

Tunas atau daun menghasilkan suatu senyawa kompleks selain auksin yang merangsang pembentukan akar. Senyawa tersebut oleh Bouillenne dan Went (1933) dalam Hartman et al. (1997) disebut dengan rhizocaline. Rhizocaline merupakan suatu senyawa kompleks yang terdiri atas tiga komponen yaitu:

1. Faktor spesifik yang ditranslokasikan dari daun dengan sifat kimia sebagi ortho-dihydroxyphenol.

2. Faktor non spesifik (auksin) yang ditranslokasikan dan ditemukan dalam konsentrasi biologi yang rendah.

3. Faktor enzimatik yang berada dalam jaringan sel (pericyle, phloem, kambium) yang dimungkinkan sebagai polyphenol-oxidase.

Inisiasi akar terbentuk apabila ortho-dihydroxyphenol bereaksi dengan penambahan konsentrasi auksin dan enzim, maka akan terjadi akselerasi proses respirasi dan mitosis sel yang menyebabkan diferensiasi sel serta jaringan.

a. Pengamatan histologi akar

Akar adventif pada stek dapat diklasifikasikan ke dalam 2 tipe yaitu, preformed root yang berkembang secara alami pada bagian batang ketika masih berada pada tanaman induk dan wound root yang berkembang hanya setelah pemotongan stek dar tanaman induk sebagai respon terhadap perlukaan pada batang. Primordia akar umumnya berasal dari sel kambium yang bersifat meristematik, pada tanaman lain primordia akar juga berasal dari jaringan lain

(24)

seperti floem, jari-jari vaskular, korteks dan empulur atau sel parenkim yang lain seperti lentisel (Hartmann et al. 1997; Syros et al. 2004).

Berdasarkan pengamatan terhadap potongan melintang akar dapat diketahui bahwa primordia akar yang kemudian berkembang menjadi akar pada stek, berasal dari bagian kambium. Asal muasal perakaran dengan tipe seperti pasak bumi juga dapat dijumpai pada stek rhododendron (Strzelecka 2007), Pinus radiata (Cameron dan Thomson 1969) dan begonia (Smith 1936 dalam Hartmann et al 1997). Penampang melintang akar stek dapat disajikan pada Gambar 36.

Proses pembentukan akar stek pasak bumi dimulai dari sel-sel meristem pada kambium atau yang berada di antara atau di luar jaringan pembuluh dan aktif membelah setelah auksin dari tunas, rooting cofactor dan karbohidrat bergerak ke bagian dasar stek. Sel-sel tersebut kemudian berkumpul membentuk calon akar, jika terdapat luka akibat pemotongan maka sel-sel membentuk agregat massa sel yang disebut kalus. Massa kalus tersebut kemudian membelah kembali membentuk banyak kumpulan sel-sel meristem yang disebut primordia akar. Pembelahan sel terus berlangsung dari kumpulan sel membentuk ujung akar atau root tip (Rochiman & Harjadi 1973). Sistem pembuluh dibentuk dalam primordia akar dan membentuk hubungan dengan jaringan pembuluh didekatnya, ujung akar tersebut akan terus tumbuh menembus lapisan korteks dan epidermis membentuk akar adventif.

(25)

Gambar 36 Penampang melintang akar stek pasak bumi dengan perbesaran 40x

Keterangan:

Rc: Root Cap Kr: Korteks Ed: Endodermis Pr : Prokambium

Ep: Epidermis Ra: Hairy Root Mr : Meristem Region Ia : Intercelular Air Channel SP : Silinder Pusat

b. Pembentukan tunas pasak bumi

Tunas baru pada stek pasak bumi berasal dari tunas terminal yang tumbuh pada ketiak malai daun. Pada awal penanaman stek terlihat persentase bertunas stek yang cukup tinggi, hal ini terjadi karena penurunan kandungan auksin pada saat pemotongan bahan stek. Menurunnya kandungan hormon auksin akan menyebabkan tunas terminal pada stek yang sebelumnya berada pada kondisi dorman menjadi terpacu pertumbuhannya, fenomena tersebut merupakan akibat pengaruh hormon auksin terhadap dominasi apikal yang menurun. Bonga & Durzan (1987), menyatakan bahwa berkurangnya kandungan auksin pada bagian atas akan memacu pertumbuhan tunas karena kandungan sitokininnya meningkat. Pada akhir penelitian beberapa stek mengalami kematian, hal ini dikarenakan cadangan makanan yang tersimpan pada bahan stek lama kelamaan akan habis akibat proses fisiologis tanaman. Untuk proses selanjutnya stek akan tergantung pada suplai dari media stek, apabila stek belum berakar maka proses penyerapan dari media tanam oleh akar tidak terjadi, maka stek akan mengalami kematian. R SP R M Kr E I ED Pr Ra

Gambar

Gambar 11  Morfologi benih pasak bumi.
Tabel  9  menunjukkan  bahwa  media  tidak  berpengaruh  terhadap  pertumbuhan  pucuk  semai  (kecuali  jumlah  malai  daun),  namun  berpengaruh  terhadap  jumlah  dan  panjang  akar  yang  dihasilkan
Gambar  14  menunjukkan  tinggi  rata-rata  terbaik  diperoleh  pada  media  campuran  arang  sekam-tanah  (M1)  yaitu  sebesar  20,76  cm,  diikuti  oleh  media  campuran pasir-tanah (M3) sebesar 19,22 cm dan media arang sekam murni (M2)  sebesar 18,98 cm
Gambar 17  Kekokohan semai pasak bumi selama 20 minggu               dalam tiga media tumbuh
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Menyajikan hasil analisis fungsi dan peran APBN dan APBD dalam pembangunan ekonomi melalui media lisan dan tulisan. 3.7 Menganalisis perpajakan dalam pembangunan

a) Peserta yang diperkenankan mengikuti Ujian Dinas Tahun 2016 adalah yang hadir tepat waktu atau paling lambat 15 menit setelah Ujian dimulai. b) Para peserta Ujian

Terdapat pengaruh yang signifikan dari penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) terhadap hasil belajar siswa pada materi passing bola basket

7 Hasil penelitian Utari pada juga menunjukkan pengaruh yang cukup signifikan dari pemberian spora jamur Beauveria bassiana pada konsentrasi yang berbeda terhadap

Kontribusi sektor pariwisata bagi bangsa Indonesia sangat terasa manfaatnya karena pembangunan dalam bidang pariwisata telah menyerap tenaga kerja, serta

Artinya: Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai... Kata ughdhudh terambil dari kata ghadhdh dalam

Tabel 4.27 Gaya Lintang maksimum pada kolom dengan fluid viscous damper pola 1

Penggunaan waktu standar 50 menit yang dianjurkan oleh WHO dan Kementrian Kesehatan yang dipakai sebagai variabel dependen dalam penelitian ini memberikan hasil yang sesuai dengan