• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Terdapat beberapa penjelasan dari para ahli mengenai loyalitas merek.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Terdapat beberapa penjelasan dari para ahli mengenai loyalitas merek."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Loyalitas Merek

1. Pengertian Loyalitas Merek

Terdapat beberapa penjelasan dari para ahli mengenai loyalitas merek. menurut Mowen dan Minor (2002) loyalitas merek adalah sejauhmana seorang konsumen menunjukkan sikap positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen pada merek tertentu, dan berniat untuk terus membelinya di masa depan. Kesetiaan merek dipengaruhi secara langsung oleh kepuasan / ketidakpuasan dengan merek yang telah diakumulasi dalam jangka waktu tertentu.

Aaker (1997) mendefinisikan loyalitas merek sebagai suatu ukuran keterkaitan konsumen kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang konsumen beralih ke merek lain yang ditawarkan oleh kompetitor, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lainnya. Seorang konsumen yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan dengan mudah memindahkan pembeliannya ke merek lain, apa pun yang terjadi dengan merek tersebut. Bila loyalitas konsumen terhadap suatu merek meningkat, kerentanan kelompok konsumen tersebut dari ancaman dan serangan merek produk pesaing dapat dikurangi. Jacoby dan Kyner (1973) menyatakan enam

(2)

kondisi yang secara konseptual terdapat dalam pengertian brand loyalty yaitu...

“brand loyalty is defined as (1) a biased (i.e. non random), (2) behavioral response (i.e., purchase/recommend), (3) expressed over time (4) by a decision-making unit, (5) with respect to one or more alternative brands out of a set of such brands (6)that is a function of psychological (decision-making, evaluative) processes.”

Jenis produk yang dihasilkan suatu merek juga mempengaruhi loyalitas merek. Pada barang-barang konsumsi sehari-hari (consumer goods) seperti makanan, minuman, sabun, pembersih dan lain sebagainya, konsumen memiliki keterlibatan yang rendah dalam proses pembeliannya. Umumnya para konsumen tidak secara luas mencari informasi tentang merek, mengevaluasi karakteristik tentang merek, dan memutuskan merek apakah yang akan dibeli (Kotler, 2003).

Dengan demikian definisi loyalitas merek secara umum adalah sikap positif yang ditunjukkan oleh konsumen terhadap sebuah produk yang ditandai dengan melakukan pembelian secara berulang, memiliki evaluasi positif terhadap produk yang digunakan serta berniat untuk terus menggunakan produk di masa depan dan telah memiliki komitmen terhadap produk tersebut.

(3)

2. Tingkatan Loyalitas Merek

Dalam kaitannya dengan loyalitas merek terdapat beberapa tingkat loyalitas. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Adapun tingkatan tersebut adalah sebagai berikut (Aaker, 1997) :

a. Berpindah-pindah (switcher)

Konsumen yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai konsumen yang berada pada tingkat paling dasar. Semakin tinggi frekuensi konsumen untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek ke merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Pada tingkatan ini merek apapun mereka anggap memadai serta memegang peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling nampak dari jenis konsumen ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah.

b. Pembeli yang bersifat kebiasaan (habitual buyer)

Pembeli yang berada dalam tingkat loyalitas ini dapat dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi produk tersebut. Pada tingkatan ini pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk membeli merek produk yang lain atau berpindah merek terutama jika peralihan

(4)

tersebut memerlukan usaha, biaya, maupun berbagai bentuk pengorbanan lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini.

c. Pembeli yang puas dengan biaya peralihan (satisfied buyer)

Pada tingkat ini pembeli merek masuk dalam kategori puas bila mereka mengkonsumsi merek tersebut, meskipun demikian mungkin saja mereka memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menanggung biaya peralihan (switching cost) yang terkait dengan waktu, uang, atau resiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih merek. Untuk dapat menarik minat para pembeli yang masuk dalam tingkat loyalitas ini maka para pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung oleh pembeli yang masuk dalam kategori ini dengan menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya (switching cost loyal).

d. Menyukai merek (likes the brand)

Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas ini merupakan pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pembeli bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh kesan kualitas yang tinggi. Meskipun demikian seringkali rasa suka ini merupakan suatu perasaan yang sulit

(5)

diidentifikasi dan ditelusuri dengan cermat untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik.

e. Pembeli yang berkomitmen (committed buyer)

Pada tahap ini pembeli merupakan konsumen yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya mereka. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada orang lain.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loyalitas Merek

Marconi (1993, dalam Fajrianthi & Farrah, 2005) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi loyalitas terhadap merek diantaranya sebagai berikut :

a. Nilai (harga dan kualitas)

Penggunaan suatu merek dalam jangka waktu yang lama akan mengarah pada loyalitas, karena itu perusahaan harus berfokus pada pengembangan merek tersebut. Penurunan standar kualitas atau perubahan harga dari merek tersebut dapat mengecewakan konsumen, bahkan bagi konsumen yang paling loyal. Karena itu perusahaan harus mengontrol kualitas merek beserta harganya.

(6)

b. Image (kepribadian dan reputasi merek)

Image perusahaan dan merek diawali dengan kesadaran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ada korelasi antara kesadaran dan market share. Produk yang memiliki image yang baik dapat menimbulkan loyalitas konsumen pada merek.

c. Kenyamanan dan kemudahan untuk mendapatkan merek

Konsumen dapat semakin loyal terhadap merek, jika merek tersebut dapat dijangkau saat dibutuhkan dan produk tersebut selalu tersedia di pasar, sehingga distribusi yang baik tersebut dapat mengurangi efek perpindahan merek pada konsumen.

d. Kepuasan yang dirasakan oleh konsumen

Loyalitas merek semakin mudah tercapai ketika konsumen dapat memenuhi kebutuhan dalam menggunakan merek dan merasakan kepuasan dari pemakaian merek tersebut.

e. Pelayanan

Dengan kualitas pelayanan yang baik yang ditawarkan oleh suatu merek, dapat mempengaruhi loyalitas konsumen pada merek tersebut.

f. Garansi dan jaminan yang diberikan oleh merek

Adanya jaminan yang dapat diberikan dalam penggunaan merek, baik secara langsung maupun tak langsung, dapat meredam sikap insecure konsumen terhadap penggunaan merek tersebut sehingga dapat meningkatkan sikap loyal konsumen terhadap merek.

(7)

Schiffman dan Kanuk (2004, dalam Fajrianthi & Farrah, 2005) menyatakan jenis produk yang dihasilkan suatu merek juga mempengaruhi loyalitas merek. Setelah melakukan pembelian dan mengalami kepuasan, bila dibandingkan dengan merek lain, maka pembelian produk tersebut akan dilakukan secara berulang. Pembelian berulang ini akan mengarahkan pada loyalitas merek.

B. Word of Mouth

1. Pengertian Word of Mouth

Kotler (2005) menyatakan definisi word of mouth communication adalah komunikasi pribadi tentang suatu produk antara pembeli sasaran dan para tetangga, teman, anggota keluarga, serta rekannya. Sedangkan Mowen dan Minor (2002) berpendapat bahwa word of mouth communication mengacu pada pertukaran komentar, pemikiran, atau ide-ide di antara dua konsumen atau lebih, yang tak satupun merupakan sumber pemasaran. Karena informasi dari mulut ke mulut langsung berasal dari orang lain yang menggambarkan secara pribadi pengalamannya sendiri, maka ini jauh lebih jelas bagi konsumen daripada informasi yang terdapat dalam iklan.

Menurut Kotler (2005) terdapat dua manfaat yang diperoleh dari komunikasi dari mulut ke mulut, yaitu :

a. Komunikasi dari mulut ke mulut bersifat lebih meyakinkan.

Kata-kata yang keluar dari mulut merupakan satu-satunya promosi yang berasal dari konsumen oleh konsumen dan untuk konsumen.

(8)

b. Komunikasi dari mulut ke mulut tidak memerlukan biaya yang mahal. Dengan tetap menjaga hubungan dengan konsumen yang puas dan menjadikan mereka sebagai penyedia akan memudahkan bisnis yang dijalankan dengan biaya yang relatif rendah.

Menurut Iput (2007, dalam Sumarmi, 2008), ketika seorang konsumen mengeluarkan uang untuk mengkonsumsi suatu produk / jasa, ia secara langsung juga mengkonsumsi pengalaman, yang kemudian memberi efek persepsi, dan berakhir pada suatu tingkat kepuasan emosional. Kepuasan emosional inilah yang akan menghasilkan sebuah word-of-mouth, yang mungkin sering muncul tanpa sengaja, namun sebenarnya bisa direncanakan dengan strategi yang tepat, dengan tujuan yang diinginkan perusahaan. Mowen dan Minor (2002) juga menambahkan bahwa komunikasi dari mulut ke mulut juga memenuhi kebutuhan tertentu dari para pengirim informasi. Kemampuan untuk memberi informasi dan mengguncang orang lain dalam keputusan mereka membuat orang merasa berkuasa dan prestise yang tinggi. Menurut Sernovitz (2006), word of mouth begitu efektif karena asal kepercayaannya adalah datang dari orang yang tidak mendapatkan keuntungan dari rekomendasi mereka.

Berdasarkan pendapat Sernovitz (2006), terdapat tiga motivasi dasar yang mendorong pembicaraan word of mouth.

a. Mereka menyukai anda dan produk anda

Mereka telah menyukai anda. Mereka merasa memiliki ikatan dengan perusahaan anda, menghargai apa yang telah anda lakukan, dan

(9)

berkeinginan untuk mendukung anda. Orang-orang terdorong untuk membicarakan hal disukai dengan teman mereka sehingga teman mereka pun menyukai mereka. Dengan demikian buatlah produk dan jasa yang dapat mengilhami mereka.

b. Pembicaraan membuat mereka merasa baik

Orang-orang sering melakukan percakapan karena hal tersebut dapat membuat mereka terlihat istimewa, cerdas, terhubung satu dengan yang lain (menurut mereka) dan merasa penting. Orang-orang juga merasa lebih baik ketika dapat menolong orang lain ketika mereka membutuhkan atau dapat memecahkan masalah mereka. Sehingga word of mouth lebih sering mengarah ke emosi atau perasaan terhadap produk atau fitur produk. Dengan demikian buatlah produk anda memiliki alasan yang dapat membuat konsumen anda merasa cerdas dan istimewa saat membicarakannnya dengan orang lain.

c. Mereka merasa terhubung dalam suatu kelompok

Membicarakan suatu produk dan perusahaan produk tersebut dan memiliki rasa ingin tahu terhadap dua hal tersebut membuat kita seperti bagian dalam perusahaan tersebut. Kita membicarakan hal tersebut karena membuat kita merasa berada dalam suatu kelompok. Dengan demikian, bangunlah sebuah kelompok konsumen, dukunglah kegiatan mereka dengan menyediakan even-even khusus member, kelompok diskusi personal dan pengakuan secara umum.

(10)

dapat disimpulkan word of mouth communication adalah bentuk percakapan mengenai produk antara satu orang dengan orang lain tentang suatu pesan yang terkadang tidak disadari oleh pihak pengirim (sender) atau penerima (receiver) komunikasi itu sendiri.

2. Word of Mouth Marketing

Definisi menurut word of mouth marketing association (WOMMA) (Kurnia & Murniningsih, 2015) adalah usaha pemasaran yang memicu konsumen untuk membicarakan, mempromosikan, merekomendasikan dan menjual produk / merek kita kepada konsumen lain. Ada 4 hal yang dapat dilakukan agar orang lain membicarakan produk atau jasa dalam word of mouth marketing (Sernovitz, 2006) yaitu :

a. Be Interesting, ciptakan suatu produk atau jasa yang mempunyai perbedaan yang menarik. Perbedaan ini bisa dilihat dari berbagai hal misalnya kemasan produk, gaya iklan produk, garansi produk atau jasa tersebut.

b. Make People Happy, buatlah produk yang mengagumkan, ciptakan pelayanan yang prima, bukalah cabang atau tempatkan produk pada pemasar yang dapat dijangkau oleh konsumen, dan pastikan usaha yang anda (atau perusahaan anda) lakukan dapat membuat konsumen merasa bersemangat, tertarik, dan sangat ingin membicarakan produk ke teman mereka.

(11)

c. Earn trust and Respect, raihlah kepercayaan dan rasa hormat konsumen kita, berusahalah untuk menjadi yang terbaik, bukalah kritik dan saran, hargai pengetahuan mereka, dan berusahalah untuk memenuhi kebutuhan mereka terhadap produk tersebut, serta berusaha terbuka kepada konsumen.

d. Make It Easy, buatlah sebuah topik sederhana yang mudah untuk diulang, dimana konsumen dapat membicarakan produk atau perusahaan anda dalam satu kalimat menarik.

Strategi komunikasi pemasaran word of mouth sudah digunakan sejak jaman dahulu sehingga strategi word of mouth ini sering dianggap sebagai strategi pemasaran tradisional. Di Indonesia strategi word of mouth sangat dikenal dan banyak dimanfaatkan oleh perusahaan besar maupun kecil, bahkan di dalam masyarakat strategi ini lebih dikenal sebagai strategi “gethok tular”. Di Indonesia banyak perusahaan yang memanfaatkan strategi komunikasi pemasaran word of mouth karena tidak memerlukan biaya yang tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat Griffin (1999) yang mengatakan bahwa penyebaran (word of mouth) membantu perusahaan dalam menekan biaya promosi karena sumber yang tidak memiliki kepentingan pribadi akan lebih dipercaya daripada iklan yang dipasang di media massa dengan biaya yang sangat mahal (Nugraheni, D.S., 2008).

(12)

3. Indikator Word of Mouth

Rabe (2005, dalam Soesanto, Dewanti, & Ongowarsito, 2013) menyatakan dengan merekomendasikan suatu produk baru atau pelayanan baru kepada konsumen lain, seorang konsumen mengharapkan keuntungan – keuntungan bagi dirinya. Misalnya, harga akan lebih rendah dengan syarat produksi masal sehinggan merendahkan biaya keseluruhan produksi.

Indikator yang ditentukan pada jurnal Sichtmann (2007) dan Mir (2011) yaitu (Soesanto, Dewanti, & Ongowarsito, 2013) :

a. Akan mendorong teman untuk memperoleh produk terkait. b. Akan mempertimbangkan memberikan informasi produk terkait. c. Sering berdiskusi tentang produk terkait.

d. Teman saya memberitahu produk terkait. e. Saya akan merekomendasikan produk terkait

4. Menciptakan Word of Mouth

Menurut Rosen (2000, dalam Sumarmi, 2008), menyatakan bahwa enam unsur yang harus dimiliki suatu produk untuk bisa menghasilkan word of mouth secara positif dan terus menerus :

a. Produk tersebut harus mampu membangkitkan tanggapan emosional. b. Produk atau merek tersebut harus mampu memberikan efek sesuatu yang

delight atau excitement. Berarti produk harus mampu memberikan sesuatu yang melebihi dari ekspetasi konsumen.

(13)

c. Produk tersebut harus mempunyai sesuatu yang dapat mengiklankan dirinya sendiri atau memberikan inspirasi seseorang untuk menanyakan hal tersebut.

d. Suatu produk menjadi lebih powerfull bila penggunanya banyak.

e. Produk tersebut harus kompatibel dengan produk lainnya, khususnya dapat diaplikasikan di produk yang mengandalkan teknologi.

f. Pengalaman konsumen menggunakan produk pertama kali. Sekali konsumen kecewa, mereka tidak akan menggunakan produk anda lagi dan mereka akan bertindak seperti teroris.

Berdasarkan keadaan tersebut menurut Sumarmi (2008), dalam rangka menciptakan word-of mouth yang positif, penting untuk diperhatikan adalah : a. Konsumen yang terpuaskan (harapannya akan produk / jasa itu terpenuhi),

belum tentu seratus persen akan menceritakannya kepada orang lain. Ketika konsumen tidak merasakan kepuasan secara emosional yang lebih atau merasakan pengalaman yang hebat, biasanya mereka tidak memberitakan kehebatan produk kepada orang lain, sehingga word of mouth yang diharapkan tidak akan muncul.

b. Word-of-mouth positif akan muncul dari suatu pengalaman yang dianggap luar biasa oleh seorang konsumen, yang pada saat itu tingkat kepuasan emosionalnya tinggi. Dengan kata lain, yang didapat ketika melakukan purchase, lebih tinggi dari pengharapannya. Selanjutnya sesuai yang diharapkan perusahaan, ia akan menjadi loyal, dan menyebarkan word-of-mouth positif.

(14)

c. Word-of-mouth negatif adalah suatu fenomena yang paling ditakutkan perusahaan atau pengusaha. Karena seorang konsumen yang tingkat kepuasaan, terutama emosionalnya negatif, akan berbicara, bukan hanya ke orang-orang dekatnya saja tetapi juga ke orang yang ditemuinya.

Ketidakpuasan belum tentu berasal dari fisik sebuah produk / jasa, tapi bisa intangible seperti mungkin dari fasilitas, pelayanan dan pengalamannya ketika melakukan purchase. Namun, disamping memberikan banyak keuntungan, strategi komunikasi pemasaran word of mouth atau mulut ke mulut juga memiliki dampak negatif bagi perusahaan yang tidak menjaga kualitas produknya. Karena masyarakat akan menyebarluaskan segala berita, baik kelebihan produk maupun kekurangan produk. Apabila ada konsumen yang kecewa dengan produk dari perusahaan, maka bukan mustahil lagi jika konsumen tersebut akan mengabarkan hal buruk tersebut kepada rekan dan kerabatnya.

C. Kepuasan Konsumen

1. Pengertian Kepuasan Konsumen

Kata kepuasan atau satisfaction berasal dari bahasa latin ‘satis’ yang artinya cukup baikdan ‘facio’ yang artinya melakukan atau membuat, sehingga secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘upaya pemenuhan sesuatu’. Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1990) mengungkapkan bahwa kepuasan konsumen merupakan evaluasi purnabeli dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya, memberikan hasil (outcome) sama atau

(15)

melampaui harapan konsumen, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil yang diperoleh tidak memenuhi harapan konsumen (Nurlinda, 2013). Ini merupakan penilaian evaluatif pascapemilihan yang disebabkan oleh seleksi pembelian khusus dan pengalaman menggunakan / mengkonsumsi barang atau jasa tersebut. Mowen dan Minor (2002) menyatakan bahwa kepuasan konsumen merupakan keseluruhan sikap yang ditunjukkan konsumen atas barang atau jasa setelah mereka memperoleh dan menggunakannya.

Ada kesamaan di antara beberapa definisi di atas, yaitu menyangkut komponen kepuasan konsumen (harapan dan kinerja / hasil yang dirasakan). Umumnya harapan konsumen merupakan perkiraan atau keyakinan konsumen tentang apa yang akan diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu produk (barang dan jasa). Sedangkan kinerja yang dirasakan adalah persepsi konsumen terhadap apa yang ia terima setelah mengkonsumsi produk yang dibeli.

2. Aspek-aspek Kepuasan Konsumen

Mowen (1995) menyatakan bahwa evaluasi kepuasan konsumen terhadap barang dan jasa dapat dilakukan secara menyeluruh dengan menggunakan delapan dimensi (Putri & Suhariadi, 2013), yaitu :

a. Performance, tingkat absolut kinerja barang atau jasa pada atribut kunci yang diidentifikasikan oleh konsumen

b. Number of atributes, jumlah fitur atau atribut yang ditawarkan dari fungsi dasar berkaitan dengan pilihan-pilihan produk dan pengembangannya

(16)

c. Courtesy, bagaimana penyampai barang atau jasa sopan dan menghargai konsumen sebagai calon pembeli dalam mempromosikan barang atau jasa tersebut

d. Reability, kecilnya kemungkinan suatu barang atau jasa rusak atau gagal fungsi dalam periode waktu tertentu dan kondisi tertentu

e. Durability, berkaitan dengan daya tahan teknis dan umur barang atau jasa f. Timeliness, kecepatan penerimaan dan perbaikan produk atau kecepatan

pemberian informasi atau jasa yang ditawarkan

g. Aesthetics, tampilan fisik produk atau toko, daya tarik cara penyajian jasa, yang sesuai dengan penginderaan konsumen, misalnya model desain dan warna

h. Brand equity, dampak positif maupun negatif lainnya yang ditimbulkan dari sebuah merek produk atas kualitas yang dirasakan atau diterima dari merek tersebut.

3. Faktor-faktor Kepuasan Konsumen

Oliver (1981) telah mempelopori penelitian dengan model diskonfirmasi harapan. Konsumen melakukan pembelian dengan harapan produk sesuai apa yang diharapkannya. Para peneliti mengidentifikasi tiga jenis harapan (Nurlinda, 2013) :

a. Kinerja yang wajar. Suatu penilaian normatif yang mencerminkan kinerja yang harus idterima seseorang atas biaya atau usaha yang telah dikerahkan untuk membeli dan mengkonsumsi suatu barang atau jasa.

(17)

b. Kinerja yang ideal. Tingkat kinerja ideal yang optimum atau diharapkan oleh konsumen.

c. Kinerja yang diharapkan. Tingkat kinerja yang diperkirakan atau diantisipasi atau yang paling disukai oleh pelanggan.

Ketiga faktor kepuasan konsumen tersebut digunakan untuk membandingkan apa yang diterima dan yang diharapkan oleh konsumen. Kebanyakan peneliti memandang penilaian kepuasan konsumen ini sebagai penilaian subjektif mengenai perbedaan antara harapan konsumen dengan kualitas pelayanan yang diberikan. Selain itu untuk melihat bahwa konsumen juga memanfaatkan atau menikmati evaluasi kinerja atau pelayanan yang diberikan untuk konsumen.

Menurut Lupiyoadi (2001), ada lima faktor dalam menentukan kepuasan konsumen yang harus diperhatikan oleh perusahaan, yaitu sebagai berikut : a. Kualitas produk, yaitu konsumen akan merasa puas bila hasil yang

diperoleh menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas b. Kualitas pelayanan atau jasa, yaitu konsumen akan merasa puas bila

mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan

c. Emosi, yaitu konsumen akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadap dia, bila ia menggunakan produk dengan merek tertentu yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Kepuasan yang diperoleh bukan karena kualitas dari produk

(18)

tetapi sosial atau self esteem yang membuat konsumen meresa puas terhadap merek tertentu

d. Harga, yaitu produk yang mempunyai kualitas yang sama tetapi menetapkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada konsumen

e. Biaya, yaitu konsumen yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa, dimana akan cenderung puas terhadap produk atau jasa tersebut.

D. Pengaruh Antar Variabel

1. Pengaruh Kepuasan Konsumen terhadap Loyalitas Merek pada Konsumen Klinik Kecantikan

Makna dari kepuasan sebenarnya menggambarkan suatu target yang berubah-ubah dalam pemenuhan kebutuhan yang dibawa oleh konsumen pada masing-masing transaksi dengan suatu produsen / perusahaan. Masing-masing konsumen, akan memasuki pada suatu transaksi jual-beli dengan serangkaian kebutuhan pada tingkat yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi mereka. Maka kunci utama yang mempengaruhi kepuasan konsumen, adalah interaksi antara produsen / perusahaan dengan konsumen yang mempunyai kualitas rangsangan terhadap perasaan nyaman, yang dirasakan oleh konsumen (Doelhadi, 2006). Ketika konsumen dapat merasakan kepuasan dari penggunaan produk serta kenyaman dan kemudahan dalam

(19)

mendapatkan produk maka hal tersebut akan mempengaruhi sikap dan kesetiaan konsumen terhadap merek tersebut (Fajrianthi & Farrah, 2005).

Penelitian yang mendukung adanya pengaruh kepuasan konsumen terhadap loyalitas merek adalah penelitian Samuel & Foedjiawati (2005) pada Restoran The Prime Steak & Ribs Surabaya. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan pengaruh positif yang signifikan antara kepuasan konsumen dengan kesetiaan (loyalitas) merek pada konsumen Restoran The Prime Steak & Ribs.

Penelitian lain yang mendukung peran kepuasan konsumen terhadap loyalitas adalah penelitian Nawangsari & Budiman (2008) terhadap konsumen Restoran yang berdomisili di Depok. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan antara kepuasan konsumen dengan kesetiaan terhadap merek. Konsumen yang puas akan suatu merek dan sering membeli produk tersebut maka tingkat kesetiaan terhadap merek itu tinggi, sebaliknya konsumen tidak terlalu puas akan dan cenderung untuk membeli produk dengan merek yang berbeda-beda maka tingkat kesetiaan terhadap merek rendah.

Penelitian tambahan lain adalah oleh Saldy (2013) mengenai kepuasan konsumen terhadap loyalitas pada konsumen klinik kecantikan natasha di kota Surabaya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan kepuasan konsumen berpengaruh positif terhadap loyalitas merek. Kepuasan konsumen dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk melakukan loyalitas merek.

(20)

2. Pengaruh Word of Mouth sebagai Variabel Mediasi terhadap Loyalitas Merek pada Konsumen Klinik Kecantikan

Konsumen dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya, akan membeli produk dengan merek tertentu. Konsumen yang merasakan kenyamanan dalam memakai produk secara otomatis akan melakukan rekomendasi kepada teman atau kerabat keluarga disekitarnya atau yang lebih dikenal dengan istilah word of mouth. Kegiatan pemasaran word of mouth merupakan satu aktivitas yang dapat menghasilkan publisitas, kegembiraan, dan informasi kepada konsumen. Pada umumnya word of mouth akan efektif apabila didukung oleh pengalaman riil, tanpa rekayasa terhadap merek atau produk (Hasan, 2010).

Apabila merek yang dipilih dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan tersebut, maka konsumen akan memiliki suatu ingatan yang dalam terhadap merek tersebut. Dalam keadaan semacam ini kesetiaan konsumen akan mulai timbul dan berkembang. Konsumen tersebut akan memilih produk dengan merek yang memberikan kepuasan, sehingga akan terjadi pembelian berulang dan meningkakan WOM positif terhadap merek tersebut. Hal ini juga perlahan melahirkan sikap loyal. Loyalitas konsumen merupakan manifestasi dan kelanjutan dari kepuasan konsumen dalam menggunakan fasilitas maupun jasa pelayanan yang diberikan oleh pihak perusahaan, serta untuk tetap menjadi konsumen dari perusahaan tersebut dan memiliki kekuatan serta sikap positif atas perusahaan tersebut (Nawangsari & Budiman, 2008).

(21)

Penelitian lain mengenai kepuasan konsumen dan word of mouth terhadap pembelian kembali (repurchase) pada konsumen yoghurt activia. Hasil penelitian ini adalah terdapat efek positif word of mouth sebagai respon dari kepuasan konsumen secara signifikan begitu juga terhadap dampaknya pada pembelian kembali (Sriwardiningsih, 2011).

Pada perusahaan, salah satu faktor penentu kesuksesan dalam menciptakan loyalitas merek adalah kepuasan konsumen terhadap merek produk. Ketika kepuasan dapat memenuhi harapan konsumen dalam pemakaian produk, maka WOM yang positif akan terbentuk. Sehingga kepuasan konsumen yang dimediasi dengan WOM positif tersebut akan membuat konsumen melakukan pembelian ulang serta menimbulkan sikap positif konsumen terhadap merek produk tersebut.

E. Skema Penelitian

Berdasarkan uraian pengaruh kepuasan konsumen terhadap loyalitas merek dengan word of mouth sebagai variabel mediasi di atas, maka skema penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 2.1 Skema Penelitian

Kepuasan Konsumen

Word of Mouth

(22)

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka terdapat hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu.

1. Ada pengaruh WOM terhadap loyalitas merek pada konsumen klinik kecantikan.

2. Ada pengaruh kepuasan konsumen terhadap loyalitas merek pada konsumen klinik kecantikan.

3. Ada pengaruh kepuasan konsumen terhadap WOM pada konsumen klinik kecantikan.

4. Ada pengaruh kepuasan konsumen dengan wom sebagai variabel mediasi terhadap loyalitas merek pada konsumen klinik kecantikan.

Gambar

Gambar 2.1 Skema PenelitianKepuasan Konsumen

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah metode spektrofotometri UV dengan aplikasi panjang gelombang berganda dapat digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol dan

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui jenis-jenis tanaman suku Acanthaceae, Asteraceae dan Lamiaceae oleh masyarakat di Kecamatan Baturraden Kabupaten

Prevalensi AI Provinsi Sumbar 3,8%, ini menunjukkan bahwa diwilayah Provinsi Sumbar masih ditemukan virus AI yaitu di Kabupaten Agam, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten

bangun di SD Negri 50 Palembang merupakan aplikasi yang membantu kegiatan tata usaha sekolah, dalam hal ini mencakup pengelolaan data guru, pengelolaan data siswa,

Data pada tabel 16, menunjukkan persentasi aktivitas siswa dalam pembelajaran pada siklus II sangat kurang hal ini dapat dilihat dari persentasi siswa yang terlibat aktif

lingkup kepegawaian, adalah hasil kerja atau prestasi yang dicapai oleh pegawai dalam pelaksanaan suatu pekerjaan baik yang bersifat fisik/material maupun non fisik/non material

Tujuan perancangan buku ini adalah agar anak usia 5-7 tahun tidak mengalami trauma terhadap anjing dengan didukung oleh ilustrasi yang menarik.. Rancangan buku

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian ex post facto yang bertujuan untuk menjelaskan bagaimana hubungan variabel program Pengembangan Usaha Mina Perdesaan