• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Psikologi ISSN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Psikologi ISSN:"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448

24

Hubungan Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being pada

Comic Stand Up Indo di Kota Bandung

Correlation of Subjective Well-Being with Sense of Humor of Comic Stand Up Indo in Bandung

1

Gusty Riezkika Humaira, 2Siti Qodariah

1,2Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116

email: 1griezkika@gmail.com, 2siti.qodariah@yahoo.co.id

Abstract. Background of this research is Comics who has Sense of Humor and what they feel on their

happiness and satisfaction experiences, which are different one to another. The research uses correlation method with 28 participants. Data collection method of this research based on Sense of Humor by Martin (2007) and Subjective Well Being by Diener (2009) theories under 0.734 reability and all data being analyzed by using Rank Spearman. It shows there are significant correlation for Sense of Humor and Subjective Well Being (rs=0.526). Cognitive components are the highest correlation (rs = 0.514) with Sense of Humor, where Specific Domain Satisfication take the highest part of this component (rs = 0.428).

Keywords: Sense of Humor¸ Subjective well-Being, Comic

Abstrak. Penelitian ini dilatar belakangi oleh Comic sebagai pelaku komedi dengan humor yang dimiliki

dan kepuasan serta keadaan bahagia yang dialami Comic yang dipandang secara berbeda-beda tiap individunya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi. Subjek penelitian sebanyak 28 orang yang merupakan populasi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat ukur berupa skala yang diturunkan dari aspek-aspek Sense Of Humor dan Subjective Well-Being dari Martin (2007) dan

Diener (2009) dengan reabilitas 0,734. Berdasarkan pengolahan data menggunakan uji statistik rank

spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup signifikan antara Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being (rs = 0,526). Dari 28 Comic Stand Up Indo di Kota Bandung, Komponen Kognitif memiliki korelasi paling tinggi dengan Sense Of Humor (rs = 0,514) . Pada komponen-komponen Kognitif yang memiliki korelasi paling tinggi dengan Sense Of Humor pada Comic Stand Up Indo di Kota Bandung adalah Specifik Domain Satisfication( rs = 0,428).

Kata kunci : SenseOf Humor¸Subjective well-Being,Comic

A. Pendahuluan

Comic merupakan pelaku dari Stand Up Comedy yang mana Comic mampu memproduksi humor dari apa saja yang ada dilingkungannya. Humor tersebut memunculkan respon secara emosional pada Comic yang memunculkan tawa dan senyuman. Dengan humor Comic mampu bersosialisasi dengan lingkungannya secara menyenangkan. Materi yang dibawakan Comic merupakan konsep dan ide yang berbentuk humor, yang mana Comic menjadikan humor sebagai wadah untuk mengekspresikan diri. Sehingga bisa dilihat setiap Comic memiliki cara yang berebeda-beda dalam menyampaikan humor. Comic merasakan kebahagiaan, kepuasan, memandang kehidupan sebagai sesuatu yang lucu. Comic selalu marasakan afek positif. Comic selalu menghindari perasaan putus asa dan dengan humor menjadikan kehidupan Comic lebih menyenangkan.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: “Bagaimanakah Hubungan Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being pada Comic Stand Up Indo di Kota Bandung?”. Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini diuraikan dalam pokok-pokok sebagai berikut: (1) Untuk memperoleh bagaimana Hubungan Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being pada Comic Stand Up Indo di Kota Bandung; (2) Untuk memperoleh data empiris mengenai Hubungan Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being pada

(2)

Hubungan Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being pada Comic Stand Up ...| 25

Comic Stand Up Indo di Kota Bandung

B. Landasan Teori

Sense Of Humor menurut Martin didefinisikan sebagai kebiasaan individu yang berbeda-beda pada setiap perilaku, pengalaman, perasaan, kesenangan, sikap, kemampuan untuk menghubungkan sesuatu hal dengan kesenangan, tertawa, bercanda dan hal-hal lucu. Humor merupakan bagian dari psikologis karena humor, komedi dan tertawa sangat berkaitan dengan aspek perilaku. Humor ialah istilah yang mencakup semua fenomena yang lucu, termasuk kemampuan untuk melihat, menginterpretsikan, menikmati, menciptakan, serta menyampaikan hal yang tidak biasa. Istilah humor dapat digambatkan pula seperti sebuah payung untuk semua fenomena yang dianggap lucu, yang didalamnya termasuk kemampuan untuk memahami, menafsirkan, menikmati, membuat hingga menyampaikan komunikasi yang unik. (Martin, R. A, 2007). Menurut Martin (2007), dalam perspektif psikologi, aspek humor meliputi :

Proses Kognitif - Perceptual dalam humor : Untuk dapat memproduksi humor, seseorang membutuhkan informasi proses mental yang datang dari lingkungan atau ingatan, lalu informasi tersebut bermain dengan ide-ide, kata-kata, atau perbuatan dalam suatu cara yang kreatif, lalu dengan cara itu diproduksilah pengucapan lucu secara verbal atau aksi jenaka secara nonverbal yang dipersepsikan lucu oleh orang lain.

Aspek ini menekankan fokusnya pada Sense Of Humor yang merupakan hasil dari proses kognisi atau sistem mental, sehingga individu akan mampu mengapresiasi dan memproduksi humor. Beberapa hal yang di tekankan pada aspek ini adalah mngenai keganjilan, kekontrasan, dan keterkecohan individu dalam meraih stimul humor. Pada saat munculnya stimulus humor, individu sebagai observer akan mengerahkan sejumlah energi mental untuk menantikan kejadian sesuai apa yang diharapkan, ketika yang disangka sebelummnya tidak terjadi, akhirnya energi mental yang terkumpul dikeluargkan sebagai tawa.

Respons emosional : Persepsi akan humor tanpa kecuali juga memunculkan sebuah kenikmatan respons emosional. Aspek ini menekankan bahwa Sense Of Humor memiliki keterlibatan dengan komponen yang memunculkan sebuah kenikmatan respons emosional bagi individu. Melalui sense Of Humor, individu juga dapat merasakan emosi positif walaupun dirinya dalam keadaan tertekan dan panik,. Ini terjadi karena Sense Of Humor yang dimiliki individu mampu untuk memodifikasi perspektif dalam situasi negatif tersebut, sehingga memperkenankan individu untuk menghindar dalam mengalami afek negatif di siituasi ini.

Vokal-ekspresi perilaku tawa : Kegembiraan yang dibawa oleh humor mempunyai aspek ekspresif, yaitu tawa dan senyuman. Setap individu menangkap informasi yang di artikan sebagai sesuatu yang lucu, individu dapat secara bebas mengekspresikannya dengan tawa. Aspek ini sangat berhubungan dengan spek Sense Of Humor dalam kaitannya dengan konteks sosial, karena ekspresi yang di bebaskan individu berasal dari luar dirinya atau lingkungannya. Tawa yang dilepaskan, bukan hanya keadaan gembira yang diungkapkan oleh indivdiu yang bersangkutan saja, namun juga membujuk lingkungannya untuk mengalami situasi atau keadaan positif yang sedang dialaminya sehingga kegembiraan akan menular ke lingkungannya.

Konteks sosial : Pada dasarnya aktivitas humor merupakan fenomena sosial. Individu akan lebih sering tertawa dan bercanda ketika bersama orang lain daripada saat sendirian. Aspek ini berfokus pada dasar bahwa Sense Of Humor meurpakan kemampuan individu untuk bersosialisasi dengan lingkungannya dengan cara yang meyenangkan. Individu dapat merasa gembira karena humor yang diingat dan melalui

(3)

26 |Gusty Riezkika Humaira, et al.

Volume 3, No.1, Tahun 2017

bacaan saat inidvidu ini sedang sendiri, akan tetapi ini tetap disebut fenomena sosial karena individu merespon humor yang diangkat oleh karakter dalan ingatan atau buku yang dibaca. Aspek interpersonal ini diartikan merupakan studi mengenai bagaimana pendapat perasaan, dan perilaku individu mengenai humor yang didapat atau dipengaruhi oleh lingkungan atau orang lain di sekitarnya

Subjective Well-being adalah keadaan yang di alami individu sebagai hasil kepuasan hidup dan evaluasi terhadap domain-domain kehidupan yang penting seperti pekerjaan, kesehatan, dan hubungan. Juga termasuk emosi mereka, seperti kemarahan, kesedihan, dan ketakutan yang sedikit. Dengan kata lain, kebahagiaan adalah nama yang diberikan untuk pikiran dan perasaan yang positif terhadap hidup seseorang (Diener, 2009)

Diener (2009) menambahkan , lebih tinggi frekuensi munculnya afek postif daripada negatif dapat memberikan perasaan nyaman dan riang (Joyful) , sehingga pemaknaan individu akan hidupnya pun akan makin positif, demikian pula individu yang dapat mencapai tujuannya dan merasa puas akan akan semua pencapaiannya, makan pemaknaan mengenai hidupnya akan baik pula.

Komponen subjective well being menurut Diener (2009) subjective well being terbagi dalam dua komponen, yaitu:

Komponen kognitif : Komponen kognitif adalah evaluasi dari kepuasan hidup, yang didefinisikan sebagai penilaian dari hidup seseorang. Evaluasi terhadap kepuasan hidup dapat dibagi menjadi (a) Global Life Satisfication : Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global (life satisfaction), yaitu evaluasi responden terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Menurut Diener , beberapa aspek ini yang mempengaruhi Subjective Well-Being, yaitu Hasrat untuk mengubah hidup, kepuasan pada kehidupan saat ini, kepuasan pada kehidupan masa lalu, kepuasan pada kehidupan masa depan, dan pendapat orang-orang terdekat mengenai hidupnya ; (b) Specific Domain Satisfication : Evaluasi terhadap kepuasan pada domain tertentu, adalah penilaian yang dibuat seseorang dalam mengevaluasi domain dalam kehidupannya, seperti kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial dan keluarga. Kedua komponen tersebut tidak sepenuhnya terpisah.

Komponen Afektif: Komponen afektif subjective well being merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di dalam hidup seseorang. Dengan meneliti tipe-tipe dari reaksi afektif yang ada seorang peneliti dapat memahami cara seseorang mengevaluasi kondisi dan peristiwa di dalam hidupnya. Komponen afektif subjective well being dapat dibagi menjadi (a) Afek positif (positive affect) : Afek positif mempresentasikan mood dan emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang. Afek positif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti tertarik atau berminat akan sesuatu (interested), gembira (excited), kuar (strong). Antusisas (enthusiastic), waspada atau siap siaga (alert), bangga (proud), bersemangat (inspired), penuh tekad (determined), penuh perhatian (attentive), dan aktif (active) ; (b) Afek negatif (negative affect) : Afek negatif adalah pravalensi dari emosi dan mood yang tidak menyenangkan. Afek negatif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti sedih atau susah (distressed), kecewa (dissapointed), bersalah (guilty), takut (scared), bermusuhan (hostile), lekas marah (irritable), malu (shamed), gelisah (nervous), gugup (jittery), khawatir (afraid).

(4)

Hubungan Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being pada Comic Stand Up ...| 27

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berikut adalah Hasil Uji korelasi Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being

Tabel 1. Uji korelasi Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being

Berdasarkan tabel 1 didapat bahwa nilai rs = 0,526 yang menunjukkan bahwa derajat korelasi antara Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being adalah 0,526. Menurut kriteria Guildford 1965 (Noor, Hasanuddin, 2009) 0,526 termasuk kedalam korelasi yang cukup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang cukup antara hubungan Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being pada Comic Stand Up Indo di kota Bandung. Korelasi ini dikatakan signifikan karena angka probabilitas (Sig) sebesar 0,004 dimana angka tersebut lebih kecil dari 0,05.

Adanya korelasi yang cukup antara Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being mengartikan. bahwa dengan humor dapat meningkatkan emosi positif dalam diri Comic dan menurunkan emosi negatif. Comic memaknakan kehidupannya sebagai sesuatu yang positif dan dengan humor tersebut maka terciptalah suatu kepuasan dan kebahagian terkait dengan pencapaian yang dilakukan seorang Comic dalam hidupnya. Dalam kata lain, humor dapat memberikan kekuatan untuk Comic mencapai kepuasan dan kebahagiaan hidupnya.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data dan pengujian hipotesis yang dilakukan dengan metode statistik, maka dari penilaian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : (1) Terdapat hubungan yang positif antara Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being pada Comic Stand Up Indo di Kota Bandung. Artinya semakin tinggi tingkat Sense Of Humor, maka semakin tinggi Subjective Well-Being ; (2) Komponen Kognitif dari Subjective Well-Being yang memiliki korelasi paling tinggi dengan Sense Of Humor pada Comic Stand Up Indo di Kota Bandung, dibandingkan dengan Positive Affect maupun Negative Affect. Diantara komponen-komponen kognitif, yang memiliki korelasi paling tinggi dengan Sense Of Humor pada Comic Stand Up Indo di kota Bandung adalah Specific Domain Satisfication ; (3) Dari penelitian ini didapatkan bahwa laki-laki lebih banyak memilih sebagai Comic atau pelaku komedi dan mayoritas suku sunda memiliki sifat yang humoris dan periang.

Daftar Pustaka

Apte, M. (2002). Humor and Laughter: An Anthropological Approach (4th edition). London : Cornell University Press

Arikuto, S. (2009). Manajemen Penelitian.Yogyakarta: Rineka Cipta

Aspek r s α Kesimpulan Sense Of Humor dengan SWB 0 ,526 0 ,004 Terdapat hubungan yang positif

(5)

28 |Gusty Riezkika Humaira, et al.

Volume 3, No.1, Tahun 2017

Azwar, Saifuddin. (2005). Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Belajar

Bertens, K. (1999). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta : KANISIUS

Brown & Keegan. (1999) Stress Women in Workplace. Journal od Clinical Psychology, 49 (1), 13-23

Chapman, Anthony J. & Hugh C. Foot (1996). Human and Laughter : theory research, and application. New York : John Wiley & Sons

Diener, Ed. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin American Psychological Association, Inc., Vol. 95, No. 3, 542-575.

Diener, Ed, Eunkook M. Suh, Richard E. Lucas., & Heidi L. Smith. (1999). Subjective well-being: Three decades of progress. Psychological Bulletin, Vol. 125, No. 2, 276-302.

Diener, Ed. (2000), Subjective Well-Being : The Science Of Happiness and a Proposal for a National Index. American Psychologist.

Diener, E., Oishi,S., & Lucas, R.E. (2003). Personality, Culture, and Subjective Well-Being : Emotional and Cognitive Evaluation Of Life.

Diener, Ed. (2009). Scale of Postive and Negative Experience. Diterima pada 16 Oktober 2016 dari http://www.positivepsychology.com

Diener, E. (2009). The Science Of Well-Being. Department Psychology. University Of Illinois-Champaign,Champaign, II, 61820. USA.

Diener, Pavot.., & Ed.(1993). The Review of Satisfication With Life Scale. Psychological Assesment.164-172

Edwards, K. R. & Martin, R. A. (2010). „Humor creation ability and mental health: Are funny people more psychologically healthy?‟ Europe‟s Journal of Psychology, 6, pp. 196–212. doi:10.5964/ejop.v6i3.213

Eid, M. & Larsen R.J. (2008). The science of subjective well-being. London: The Guilford Pers.

Hartanti. (2008). Anima, Indonesian Psychological Journal, Vol. 24, No. 1, 38-55. Surabaya : Universitas Surabaya

Hasanat, N.U., & Subandi. (1998). Pengembangan Alat Kepekaan Terhadap Humor. Psychological Journal, Vol 1:17-25. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Kartini, K. (2005). Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : Rajawali Pers

Martin, R. A & H.M Lefcourt (1984). Sense of Humor as a Moderator of the Relastion between Stressos and Moods. Journal Of Personality and Social Psychology. Martin, R.A., Puhlik-Dris, P.,Larsen, G., Gray,J. & Weir, k. (2003). Individual

Difference in uses of Humor and their relation to Psychological Well-Being. Developnment of the humor Styles Questionare Journal Of Research in Personality.

Martin, R. A (2007). The Psychology of Humor : An Integrative Approach. San Diego, CA : Elsevier Academic Press.

Noor, Hasanuddin 2012. Psikometri Aplikasi Dalam Penyusunan Instrumen Pengukuran Perilaku. Cetakan kedua. Jauhar Mandiri.

Panji Nugroho. Potret Stand Up Comedy: Strategi Menjadi Comedian Handal. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

(6)

Hubungan Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being pada Comic Stand Up ...| 29

Classification, New York : Oxford University Press.

Roeckelein, J.E. (2002). Psychology Of Humor : A Reference Guide amd Annotated Bibliography. Unite States : Greenwood Press.

Ruch, W. (2007). The sense of humor : Explanations of a Personality Characteristic. Berlin : Walter de Gruyter.

Saulo Sirigattia, etc, The Humor Styles Questionnaire in Italy: Psychometric Properties and Relationships With Psychological Well-Being Europe's Journal of Psychology, 2014, Vol. 10, 429–450

Siegel, S. (1997). Statistik Nonparametrik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama Silalahi, U. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung; PT Rafika Aditama Sugiyono (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D Bandung Alphabet

Sumber Internet

http://sidiqpriambodo.blogspot.co.id/2013/01/sejarah-awal-berdiri-stand-up-comedy-di.html (diakses pada hari sabtu 02 april 2016, jam 20.00)

https://id.wikipedia.org/wiki/Stand_Up_Indo#Sejarah (diakses pada minggu 03 april 2016, jam 13.09)

(7)

Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448

30

Studi Deskriptif Mengenai Gratitude pada Penderita Diabetes Mellitus

Tipe 2 yang di Diagnosa Kurang dari 12 Bulan di Puskesmas GA

Descriptive Study of Gratitude in Patients with Diabetes Melitus Type 2 That Diagnosed Less Than 12 Months at Clinic GA

1

Inggrid Prihandini Amanda Ratu Perdana, 2Endang Pudjiastuti

1,2

Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116 Email: 1aratupdana@gmail.com 2anugrahaji77@yahoo.com

Abstract. Patient with Diabetes Melitus Type 2 should do the diet therapy, taking medicine. And sport. In

generally, patients with Diabetes Melitus type 2 had a difficulty in carrying it, because become a challenge for them, so it is possible if patients are breaking the rules by consuming foods containing sugar and fat, and did not taking medicine. Patients with Diabetes Mellitus type 2 in clinic GA showed blood sugar levels relatively stable and did the doctor’s advice. It was found that patients with Diabetes Melitus type 2 have gratitude towards life events so it appears the grateful behavior to God, family, life events, jobs, and health. This is related gratitude. The research aims to describe the gratitude in patients with Diabetes Melitus type 2 based on aspect intensity, frequency, span and density from McCullough theory. The research method using descriptive study with descriptive data analysis percentage and with 20 people as respondents. The instruments used was a gratitude questionnaires based on McCullough theory. The result showed as many as 13 people have high gratitude, while 7 people have moderate gratitude.

Keywords: Gratitude, patient with diabetes mellitus, clinic

Abstrak. Individu dengan DM tipe 2 harus melakukan terapi diet, menkonsumsi obat dan olahraga. Pada

umumnya, penderita DM tipe 2 kesulitan dalam menjalankan hal tersebut dikarenakan adanya perubahan pola hidup serta menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi mereka, sehingga tidak menutup kemungkinan bila penderita DM tipe 2 melanggar aturan dengan menkonsumsi makanan yang mengandung gula dan lemak, tidak menkonsumsi obat-obatan. Pada penderita DM di Puskesmas GA menunjukkan kadar gula darah yang relatif stabil dan dapat menjalankan anjuran dokter. Dari hal tersebut ditemukan bahwa ternyata penderita DM tipe 2 menunjukkan adanya perasaan bersyukur yang lebih mudah, lebih sering terhadap kejadian hidup yang dialaminya sehingga memunculkan perilaku untuk berterimakasih baik kepada Tuhan, keluarga, kejadian hidup, kesehatan, pekerjaan. Hal ini berkaitan dengan gratitude. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran gratitude pada penderita DM berdasarkan aspek intensity, frequency, span, dan density dari McCullough & Emmons. Metode penelitian ini menggunakan studi deskriptif dengan analisis data deskriptif persentase. Jumlah responden yang diteliti adalah 20 orang. Instrument yang digunakan adalah kuesioner gratitude berdasarkan teori McCullough & Emmons. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 13 orang (65%) memiliki gratitude tinggi, sedangkan 7 responden lainnya (35%) memiliki gratitude dengan kategori sedang.

Kata Kunci: Gratitude, penderita diabetes mellitus, puskesmas

A. Pendahuluan

Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglokemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau dua-duanya (PB PERKENI, 2015). Sedangkan Diabetes Mellitus Tipe II adalah diabetes yang disebabkan tubuh tidak efektif menggunakan insulin atau kekurangan insulin yang relative dibandingkan kadar gula darah (aladokter.com). Untuk mencegah terjadinya penyakit lain atau komplikasi maka, penderita diabetes mellitus harus dapat mengikuti saran yang diberikan oleh dokter. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia terdapat empat pilar utama dalam pengelolaan diabetes mellitus yaitu edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani dan terapi farmakologi (PB PERKENI, 2015). Keempat pilar tersebut diperlukan dalam mencapai penyembuhan yang optimal. Pada umumnya, penderita diabetes mellitus tipe 2 kesulitan dalam menjalankan hal

(8)

Studi Deskriptif Mengenai Gratitude pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 ...| 31

tersebut dikarenakan adanya perubahan pola hidup serta menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi mereka, sehingga tidak menutup kemungkinan bila penderita diabetes mellitus tipe 2 melanggar aturan dengan menkonsumsi makanan yang mengandung gula dan lemak, tidak menkonsumsi obat-obatan.

Berbeda dengan penderita diabetes mellitus tipe 2 yang baru didiagnosa kurang dari 12 bulan sedang melakukan rawat jalan di puskesmas GA, yang menunjukkan bahwa kadar gula darah yang relative stabil dan dapat menjalankan anjuran dokter. Dari hal tersebut ditemukan bahwa ternyata penderita diabetes mellitus tipe 2 menunjukkan adanya perasaan bersyukur yang lebih mudah, lebih sering terhadap kejadian hidup yang dialaminya sehingga memunculkan perilaku untuk berterimakasih baik kepada Tuhan, keluarga, kejadian hidup, kesehatan, pekerjaan, dan kepada banyak orang.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitia ini adalah sebagai berikut: “Bagaimana gambaran gratitude pada penderita diabetes mellitus tipe 2 yang baru didiagnosa kurang dari 12 bulan di puskesmas GA?”. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empiris mengenai gambaran gratitude penderita diabetes mellitus tipe 2 yang baru di diagnose kurang dari 12 bulan di Puskesmas GA.

B. Landasan Teori

Menurut Emmons & Mccullough (2002), gratitude atau kebersyukuran merupakan kecenderungan umum seseorang untuk mengenali dan berespon dengan perasaan berterima kasih sebagai bentuk pengembalian terhadap kebaikan orang lain atas pengalaman positif dan keuntungan yang seseorang dapatkan. McCollough menyebutkan beberapa aspek gratitude yang terdiri dari empat unsur, yaitu (a) intensity yaitu individu dengan disposisi bersyukur yang kuat yang mana ia mengalami kejadian positif yang diperkirakan akan merasakan bersyukur yang lebih sering dibandingkan mereka yang lebih lemah disposisinya terhadap bersyukur dengan mengalami kejadian positif yang sama; (b) frequency individu dengan disposisi bersyukur yang kuat kemungkinan akan mengungkapkan perasaan bersyukur beberapa kali dalam sehari, dan bersyukur dapat ditampilkan dari hal-hal yang paling sederhana seperti bertingkah laku sopan; (c) span, ditunjukkan pada jumlah sebuah kejadian hidup yang mana indiividu merasa bersyukur pada saat tertentu. Individu dengan disposisi bersyukur yang kuat kemungkinan akan merasa bersyukur pada keluarga, pekerjaan, kesehatan, dan kehidupan dengan variasi yang berbeda dengan keuntungan yang lain; (d) density, merujuk pada jumlah orang yang mana orang-orang tersebut merupakan orang yang telah memberikannya kebaikan dan keberuntungan untuk hasil yang positif maupun kejadian hidup, individu dengan disposisi bersyukur yang kuat, ketika mendapatkan kebaikan, mereka akan mengucapkan terima kasihnya kepada lebih banyak pihak dibandingkan dengan individu yang memiliki disposisi bersyukur yang lemah.

(9)

32 | Inggrid Prihandini Amanda Ratu Perdana, et al.

Volume 3, No.1, Tahun 2017

C. Hasil Penelitian

Diagram 1. Persentase tinggi rendahnya gratitudepada penderita Diabetes Melitus

Type 2 di Puskesmas GA

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebanyak 13 Orang (65%) berada dalam kategori tinggi, sedangkan 7 orang (35%) berada dalam kategori sedang. Artinya, pada sebagian besar penderita diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas GA menyadari bahwa penyakit diabetes mellitus tipe 2 bukan sebagai ancaman hidup yang dapat menjadikan beban dalam hidup tetapi memanfaatkan situasi tersebut sebagai pengalaman positif dan berterimakasih kepada peran kebaikan orang lain. Seperti kondisi tubuh yang mudah lelah membuat mereka lebih memanfaatkan waktu yang mereka miliki dengan aktivitas yang penting, dan menyadari bahwa orang lain baik keluarga, dokter, perawat, teman ikut berperan dalam proses kesembuhannya sehingga penderita diabetes mellitus tipe 2 mengucapkan terimakasih kepada mereka.

Hal ini sejalan dengan teori McCullough (2002) yang mengatakan bahwa orang yang memiliki gratitude tinggi cenderung untuk mengalami dan mengekspresikan gratitude lebih mudah, lebih sering dan lebih kuat baik pada kejadian atau hal-hal kecil maupun pada hal atau kejadian yang besar. Hal tersebut menjadikan para penderita diabetes mellitus tipe 2 menghadapi penyakit yang dialaminya dengan berpikiran positif sehingga, dapat mencegah timbulnya stress yang dapat menyebabkan meningkatnya kadar gula darah. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Emmons & McCullough (Fluhler,2010 dalam Psychoshare) bahwa orang yang bersyukur lebih jarang menderita depresi.

Diagram 2. Persentase Aspek Gratitude Pada Penderita Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas GA

Ditemukan bahwa pada aspek density keseluruhan subjek memiliki gratitude density yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa subjek mengungkapkan keersyukurannya pada jumlah orang yang mana orang-orang tersebut merupakan orang yang telah memberikannya kebaikan dan keberuntungan untuk hasil yang positif

0 20 40 60 80 Tinggi Sedang 0 50 100 Tinggi Series 2

(10)

Studi Deskriptif Mengenai Gratitude pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 ...| 33

maupun kejadian hidup, individu dengan disposisi bersyukur yang kuat, ketika mendapatkan kebaikan, mereka akan mengucapkan terima kasihnya kepada lebih banyak pihak.

Ditemukan pula terdapat 7 orang dari 20 responden yang hanya tinggi pada aspek density, ditemukan bahwa dari data demografi, responden memiliki jam kerja lebih dari 8 jam, yang menunjukkan responden memiliki kesempatan lebih sering untuk bertemu dan berkomunikasi dengan rekan kerja atau orang lain. Komunikasi yang dilakukan antar rekan kerja dan orang lain dapat berupa hal mengenai pekerjaan, lelucon, atau pembicaraan sehari-hari sehingga memungkinkan responden untuk mengungkapkan kebersyukuran orang-orang di sekitarnya atau yang disebut dengan gratitude density.

D. Simpulan

Hasil penelitian dan pembahasan dijadikan dasar oleh peneliti dalam menemukan beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut; (1) penderita diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas GA memiliki gratitude tinggi. Artinya, sebagian besar para penderita diabetes mellitus tipe 2 lebih mudah, lebih sering, berterimakasih kepada kejadian besar maupun kecil dalam setiap harinya yang terjadi dalam kehidupannya, serta menyadari banyak hal dan banyak pihak yang membantu dirinya dalam kehidupan sehingga menjadikan penderita diabetes mellitus tipe 2 memiliki gratitude yang kuat; (2) Para penderita Diabetes mellitus tipe 2 memiliki gratitude density yang tinggi, hal ini menunjukkan bahwa responden bersyukur pada orang-orang yang telah memberikan kebaikan dan keberuntungan untuk hasil yang positif maupun kejadian hidup, sehingga mereka akan mengucapkan terim kasihnya kepada lebih banyak pihak; (3)Dari data demografi menunjukkan bahwa responden dengan gratitude density tinggi memiliki jam kerja lebih dari 8 jam yang memungkinkan untuk bertemu orang banyak dan responden senang berada di tempat kerja meskipun memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan dan dapat menimbulkan rasa lelah, namun dengan banyaknya relasi dan rekan kerja, rasa lelah tersebut dapat hilang, sehingga responden selalu berterimakasih kepada rekan kerjanya.

E. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa hal yang menjadi saran dan diharapkan bermanfaat bagi pihak yang terkait dalam penelitian ini terutama individu yang bersangkutan. Adapun saran sebagai berikut (1)Bagi penderita diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas GA dengan kategori gratitude tinggi disarankan untuk mempertahankan aspek yang memiliki aspek paling tinggi yaitu density dengan cara menyadari dan merenungkan kebaikan apa saja yang telah diberikaan orang lain dalam setiap harinya; (2) Bagi penderita diabetes mellitus tipe 2 di puskesmas GA dengan kategori gratitude sedang disarankan untuk meningkatkan gratitude. Miller (Peterson dan Seligman, 2004, dalam Syurawastiti) menyebutkan empat lngkah sederhana dengan pendekatan behavioral-kognitif untuk mempelajari skill gratitude, yaitu: (a) mengganti pikiran-pikiran yang tidak bersyukur dengan pikiran-pikiran yang mendukung bersyukur; (b)alihkan perasaan didalam menjadi aksi atau tindakan langsung; (c) formulasikan pemikiran yang mendukung gratitude ; (d) identifikasi pikiran-pikiran yang tidak bersyukur (nongrateful thoughts).

(11)

34 | Inggrid Prihandini Amanda Ratu Perdana, et al.

Volume 3, No.1, Tahun 2017 Daftar Pustaka

Emmons, R.A., McCullough, M.E, & Tsang J. 2002. The Grateful Disposition: A conceptual and Empirical Topography Journal of Personality and Social Psychology Vo. 82.

Fluhler, D.B. 2010. Gratitude Theory: A Literature Review.

Muhiddin, Syurawasti. Penguatan Gratitude Untuk Membangun Kesehatan Mental Komunitas. Universitas Hasanuddin.

Soelistijo, A.S., Novida H., DKK. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI).

Sumber Internet:

Aladokter.com. 2016. Diabetes Tipe 2- Gejala, Penyebab dan Mengobati. Diakses Pada Januari 2017.

Psychoshare.com. 2014. Apa Kata Psikologi Mengenai Bersyukur?. Diakses Pada Desember 2016.

(12)

Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448

Studi Deskriptif Mengenai Profil Motif Sosial (McClelland) pada

Relawan Inti di Komunitas Creative Village Garut

Descriptive Study of Social Motive (McClelland) Profile in The Core Volunteer at Creative Village Garut Community

1

Ninda Desiani Rahmawati, 2Sita Rositawati

1,2Prodi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116

e-mail: 1nindadesianir@yahoo.com, 279sita@gmail.com

Abstract. Creative Village (Creavill) is one of non-profit community at Garut which formed in the middle

2014 by young scholars from Garut who want to develop villages in Indonesia especially in Garut become more advanced. Since the last two periods there was no change in the management of this community because the volunteers that should be a core committee decided not to be a caretaker. The low interest to become caretaker will hinder realization of the vision and mission of the community. In this period there are 10 core volunteers that are still active duty and follow each event held. There are a variety of reasons and the behavior displayed during the core volunteers carry out their duties. McClelland (1987) argued that every individual in interaction with its environment is often influenced by various motives. Likewise with the behavior that displayed by core volunteers in carrying out their duties, based on the specific motive. The purpose of this research to obtain empirical data on the profile of the social motives (McClelland) at the core volunteers of Creative Village Garut community. So that the description of the profile can be utilized to increase the interest of core volunteers to become a caretaker. This research uses descriptive method with the measuring instrument used is the Thematic Apperception Test (TAT). Based on the results of data processing shows that there are nine types of social motives profiles contained in the core volunteers of Creative Village Garut community.

Keywords: Social Motif, McClelland, Volunteer

Abstrak. Creative Village (Creavill) merupakan salah satu komunitas non-profit di Garut yang dibentuk

pada pertengahan 2014 oleh para sarjana berusia muda asal Garut yang ingin mengembangkan desa-desa di Indonesia khusunya di Garut menjadi lebih maju. Sejak dua periode terakhir tidak ada perubahan kepengurusan pada komunitas ini karena para relawan inti yang seharusnya bisa menjadi pengurus memutuskan untuk tidak menjadi pengurus. Rendahnya minat menjadi pengurus akan menghambat perwujudan visi dan misi dari komunitas. Pada periode ini ada 10 orang relawan inti yang masih aktif menjalankan tugas dan mengikuti setiap kegiatan yang diadakan. Ada berbagai alasan dan perilaku yang ditampilkan relawan inti selama melaksanakan tugasnya. McClelland (1987) mengemukakan bahwa setiap individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya sering dipengaruhi oleh berbagai motif. Begitupun dengan perilaku yang ditampilkan relawan inti dalam melaksanakan tugasnya, didasari oleh motif tertentu. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh data empiris mengenai gambaran profil motif sosial (McClelland) pada relawan inti komunitas Creative Village Garut. Sehingga nantinya gambaran tersebut dapat dimanfaatkan pihak Creative Village untuk meningkatkan minat relawan inti menjadi pengurus. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan alat ukur yang digunakan adalah Thematic Apperception Test (TAT). Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh bahwa terdapat sembilan tipe profil motif sosial yang terdapat pada relawan inti periode lima komunitas Creative Village Garut.

Kata kunci : Motif Sosial, McClelland, Relawan

A. Pendahuluan

Creative Village (Creavill) merupakan salah satu komunitas non-profit di Garut yang dibentuk pada pertengahan 2014 oleh para sarjana berusia muda asal Garut yang ingin mengembangkan desa-desa di Indonesia khususnya di Garut menjadi lebih maju. Creavill sendiri memiliki beberapa program dan sudah banyak hasil yang dicapai dari program-program tersebut. Komunitas Creavill terdiri dari pengurus, relawan inti, dan relawan umum. Pada dua periode terakhir tidak ada perubahan atau pergantian pengurus pada komunitas ini. Rendahnya minat para relawan inti untuk menjadi

(13)

36 | Ninda Desiani Rahmawati, et al.

Volume 3, No.1, Tahun 2017

Village itu sendiri. Anne Maria (1998) berpendapat bahwa perubahan dalam suatu organisasi akan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi.

Relawan inti yang terdaftar pada periode sekarang yaitu 30 orang relawan inti. Tetapi dari 30 orang relawan inti yang terdaftar hanya sekitar 10 orang yang masih benar-benar aktif menjalankan tugas dan mengikuti setiap kegiatan yang diadakan. Ada berbagai tugas dan perilaku yang ditampilkan relawan inti melaksanakan tugasnya sebagai relawan inti. McClelland (1987) mengemukakan bahwa setiap individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya seringkali dipengaruhi oleh berbagai motif. Begitupun dengan perilaku yang ditampilkan para relawan inti ketika mengikuti setiap kegiatan yang telah direncanakan, melaksanakan tugas yang telah diberikan, serta berbagai alasan mereka mengikuti komunitas didasari oleh motif-motif tertentu. Jika Creative Village dalam kegiatan-kegiatan yang didakannya dapat memuaskan motif para relawan inti maka para relawan inti ini akan terus melibatkan diri dan terbuka kemungkinan untuk bersedia menjadi pengurus.

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah pada penelitian yaitu “Bagaimana gambaran profil motif sosial para relawan inti periode lima komunitas Creative Village Garut?”. Selanjutnya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data empiris mengenai gambaran profil motif sosial dari teori McClelland pada relawan inti periode lima komunitas Creative Village di Garut.

B. Landasan Teori

McClelland (1987) mendifinisikan motif sebagai the reintegration by a cue of change in an affectife situation. McClelland (1987) menggunakan istilah motif dan motivasi dalam arti yang sama atau sinonim. Menurutnya semua motif atau motivasi diperoleh dari hasil belajar dan merupakan dorongan untuk berubah di kondisi yang efektif. Proses motivasi sebagai pengarah tingkah laku dapat dikatakan sebagai suatu siklus dan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen. Dunnete dan Kierchner (1979) mengemukakan empat komponen dasar motivasi yaitu kebutuhan atau harapan, tingkah laku, tujuan, dan umpan balik. Model dasar dari motivasi dapat dilihat dalam bagan:

Bagan 1. Model Dasar Proses Motivasi (Dunnette & Kirchner, 1979)

Bagan di atas menunjukkan bahwa proses motivasi diawali ketidakseimbangan keadaan dalam diri individu yang kemudian menimbulkan perilaku atau tindakan ke arah tujuan tertentu, sehubungan dengan upaya individu mengembalikan keseimbangan pada dirinya.

McClelland menyebutnya teori motifnya sebagai motif sosial, karena motivasi ini selalu melibatkan orang lain dalam usaha pemenuhannya dan motif ini sifatnya dipelajari. McClelland menjelaskan mengenai ketiga motif sosialnya sebagai berikut: (1) Motif Berprestasi. Motif ini disebut juga sebagai need for achievement (n-Ach) yaitu suatu kebutuhan untuk dapat bersaing atau melampaui standar pribadi. Menurut

Inner state of disequilibrium need Behavior or action Incentive or goal Modification of inner state

(14)

Studi Deskriptif Mengenai Profil Motif Sosial (McClelland) pada Relawan...| 37

McClelland (1961) (dalam Wijono, 2010), aplikasi berprestasi menjelaskan bahwa individu akan mengerjakan sesuatu dengan gigih dan resiko pekerjaannya adalah moderat, maka dia akan bekerja lebih bertanggung jawab dan memperoleh umpan balik atas hasil preastasinya; (2) Motif Afiliasi. Motif berafiliasi disebut juga need for affiliation (n-Aff) adalah suatu kebutuhan akan kehangatan, hubungan persahabatan dengan orang lain. Orang dikatakan memiliki kebutuhan bersahabat yang tinggi apabila menggunakan sebagian besar waktunya untuk memikirkan tentang hubungan persahabatannya dengan orang lain. Memberikan perhatian yang besar terhadap orang lain. Sementara motif berafiliasi yang kuat nampaknya tidak begitu penting bagi efektivitas pelaksanaan kerja bahkan mungkin dapat menganggu pelaksanaan kerja (Sumantri, 2012); dan (3) Motif Berkuasa. Motif ini disebut juga need for power (n-Pow) adalah suatu kebutuhan untuk memiliki pengaruh terhadap orang lain. Motif berkuasa dalam konteks organisasi dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu positif dan negatif. Motif berkuasa berbentuk negatif dapat tercermin dari keinginan individu untuk mempengaruhi dan menguasai orang lain demi kepentingan pribadinya. Sebaliknya, motif berkuasa bentuk positif lebih memainkan peran penting dalam meningkatkan sebuah organisasi (Wijono, 2010).

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data diperoleh gambaran berupa sembilan tipe profil motif sosial yang ada pada relawan inti komunitas Creative Village dengan peneyebaran kekuatan motif pada setiap subjek sebagai berikut.

Grafik 1. Kekuatan Motif pada Setiap Subjek

Kesembilan tipe profil motif social tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Satu subjek dengan motif berpestasi tinggi, motif berafiliasi rendah, dan motif

berkuasa rendah. Ketika dihadapkan pada tugasnya sebagai relawan inti di Creavill subjek akan cenderung memiliki cara-cara sendiri dalam menyelesaikannya, namun demikian subjek tidak akan melakukannya sendiri, subjek akan membiarkan bahkan mengajak teman-temannya yang lain untuk melakukan hal yang sama demi mencapai tujuan dan menjaga hubungan persahabatannya. Jika menjadi seorang pemimpin, subjek akan cenderung terbuka dengan pendapat anggota-anggotanya dan mempertimbangkan pendapat-pendapat tersebut;

2. Dua subjek dengan motif berpestasi tinggi, motif berafiliasi sedang, dan motif berkuasa rendah. Ketika dihadapkan pada tugasnya sebagai relawan inti di

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 N-Ach 8 14 2 14 5 8 6 14 7 14 N-Aff 14 9 13 12 19 13 18 17 6 10 N-Pow 19 10 15 7 10 12 23 8 18 8 0 5 10 15 20 25

(15)

38 | Ninda Desiani Rahmawati, et al.

Volume 3, No.1, Tahun 2017

Creavill subjek akan menyelesaikan tugas tersebut dengan cara-caranya sendiri dan dengan tujuannya sendiri. Subjek akan mengerjakan tugasnya dengan membiarkan orang lain mengikuti beberapa cara yang ia lakukan tanpa mengajaknya karena subjek kurang memiliki kebutuhan untuk mengatur orang lain. Subjek juga memiliki kebutuhan untuk menjalin persahabatan dengan orang dengan tujuan persahabatan tersebut dapat memberikan dampak yang positif untuk pencapaian prestasinya. Jika menjadi seorang pemimpin, subjek akan menjadi pemimpin yang lebih banyak menyelesaikan pekerjaannya sendiri dengan cara-caranya sendiri dan kurang memberikan pengaruh kepada anggotanya untuk melakukan hal yang sama;

3. Satu subjek dengan motif berpestasi tinggi, motif berafiliasi tinggi, dan motif berkuasa rendah. Ketika dihadapkan pada tugasnya sebagai relawan inti di Creavill subjek akan berusaha melakukan tugas tersebut dengan cara-caranya sendiri dengan tidak mempersoalkan suasana yang kooperatif atau tidak, subjek juga kurang memiliki kebutuhan untuk mengatur orang lain dan kurang memiliki kebutuhan untuk mengajak orang lain melakukan hal yang sama. Jika menjadi seorang pemimpin, subjek akan menjadi pemimpin yang lebih banyak melakukan pekerjaannya sendiri dengan cara-caranya sendiri tanpa mengajak anggotanya untuk melakukan hal yang sama. Subjek juga akan cenderung lebih fokus pada pencapaian prestasi atau tujuan yang telah ia tetapkan daripada mengatur dan menjaga kehangatan dengan anggotanya;

4. Satu subjek dengan motif berpestasi sedang, motif berafiliasi sedang, dan motif berkuasa tinggi. Ketika dihadapkan pada tugasnya sebagai relawan inti di Creavill subjek akan mengerjakan tugasnya bersama-sama dengan orang lain dan subjek akan berperan sebagai orang yang banyak memberikan pendapatnya sehingga orang lain akan mengikuti pendapatnya tersebut. Subjek juga akan sangat aktif menentukan arah suatu kegiatan untuk membuat orang disekitarnya terkesan dan membuat mereka mau berteman dengannya. Namun demikian dalam mempengaruhi orang lain subjek kurang memikirkan untuk mencapai prestasi yang lebih baik dari yang sebelumnya pernah ia capai. Jika menjadi seorang pemimpin, subjek akan lebih banyak mengatur anggotanya untuk melakukan berbagai tugas dengan kurang memperhatikan pencapaian prestasi yang lebih baik dari yang sebelumnya pernah dicapai dan kurang memperhatikan resiko dari tugas tersebut. Walaupun demikian subjek akan berusaha mempengaruhi anggotanya dengan memperhatikan agar hubungan mereka tetap terjaga dengan baik;

5. Satu subjek dengan motif berpestasi sedang, motif berafiliasi tinggi, dan motif berkuasa rendah. Ketika dihadapkan pada tugasnya sebagai relawan inti di Creavill subjek akan mengerjakan tugas tersebut dalam suasana yang kooperatif. Subjek akan lebih memilih bergabung bersama orang lain untuk mengerjakan tugasnya daripada mengajak orang lain untuk bergabung bersamanya karena subjek kurang memiliki kebutuhan untuk mempengaruhi orang lain. Subjek juga akan menentukan standar pribadinya dengan meminta pendapat orang lain dan dalam menentukan cara-cara pengerjaan tugasnya subjek akan mencari kesepakatan dengan orang lain. Jika menjadi seorang pemimpin, subjek akan menjadi pemimpin yang hangat, sangat memperhatikan pendapat-pendapat anggotanya bahkan cenderung lebih mengikuti yang diinginkan anggotanya untuk menjaga hubungan tetap hangat daripada mengarahkan anggotanya untuk mencapai prestasi kerja yang lebih baik;

(16)

Studi Deskriptif Mengenai Profil Motif Sosial (McClelland) pada Relawan...| 39

6. Satu subjek dengan motif berpestasi sedang, motif berafiliasi sedang, dan motif berkuasa rendah. Ketika dihadapkan pada tugasnya sebagai relawan inti di Creavill subjek akan mengerjakan tugasnya secara berkelompok dan subjek akan berusaha menjadi orang yang paling berpengaruh di kelompok tersebut. Subjek akan memperhatikan hubungannya dengan anggota kelompok lain karena mengkhawatirkan adanya pandangan negatif orang lain terhadap dirinya. Namun subjek akan kurang memperhatikan pencapaian tugasnya karena subjek lebih menginginkan dirinya dapat mengatur orang lain dalam kelompok dan menginginkan orang lain untuk memandang dirinya positif. Jika menjadi seorang pemimpin, subjek akan menjadi pemimpin yang banyak mengatur anggotanya untuk mengerjakan berbagai tugas;

7. Satu subjek dengan motif berpestasi sedang, motif berafiliasi tinggi, dan motif berkuasa tinggi. Ketika dihadapkan pada tugasnya sebagai relawan inti di Creavill subjek akan memiliki cara-cara sendiri untuk mengerjakan tugasnya. Subjek juga akan memberi tahu orang lain bagaimana dia mengerjakan tugas-tugasnya dan membiarkan mereka untuk mengikuti cara dan standar pribadi yang ia miliki. Subjek percaya bahwa hubungan persahabatan yang baik akan menunjang tampilan kerja yang baik. Jika menjadi seorang pemimpin, subjek akan menjadi pemimpin yang memiliki cukup cara untuk menyelesaikan pekerjaannya dan cukup memperhatikan atau mempertimbangkan pendapat-pendapat anggotanya;

8. Satu subjek dengan motif berpestasi sedang, motif berafiliasi rendah, dan motif berkuasa sedang. Ketika dihadapkan pada tugasnya sebagai relawan inti di Creavill subjek akan memiliki cara dan tujuan sendiri dalam mengerjakan tugasnya. Subjek juga memiliki kebutuhan untuk mempengaruhi orang lain agar orang tersebut dapat mengikuti keinginannya dan mempengaruhi orang lain untuk mendapatkan suatu hal yang dapat menunjang pencapaian prestasinya. Jika menjadi seorang pemimpin, subjek akan menjadi pemimpin yang kurang terbuka serta kurang menjaga kehangatan dengan anggotanya, subjek lebih memperhatikan pandangan anggota terhadap dirinya, subjek juga akan lebih banyak memberikan pengaruh kepada anggota untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cara-cara yang telah ia tetapkan; dan

9. Satu subjek dengan motif berpestasi rendah, motif berafiliasi sedang, dan motif berkuasa sedang. Ketika dihadapkan pada tugasnya sebagai relawan inti di Creavill subjek akan mengerjakan tugasnya dengan mengajak orang lain. Subjek akan cukup aktif menentukan arah kegiatan dalam kelompok. Subjek juga akan berusaha memberikan pendapat-pendapatnya dan membuat orang lain mengikuti pendapatnya tersebut. Namun subjek kurang memperhatikan pencapain prestasi yang lebih baik dari prestasi sebelumnya yang pernah ia capai.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai studi deskriptif profil motif sosial pada relawan inti di komunitas Creative Village Garut. Maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Terdapat sembilan tipe profil motif sosial pada relawan inti periode lima komunitas Creative Village Garut yaitu, tipe motif berprestasi tinggi, motif berafiliasi tinggi, dan motif berkuasa rendah sebanyak 10% dari populasi, tipe motif berprestasi tinggi, motif berafiliasi sedang, dan motif berkuasa rendah sebanyak 20% dari populasi, tipe motif berprestasi tinggi, motif berafiliasi rendah, dan motif berkuasa rendah sebanyak 10% dari populasi, tipe motif berprestasi sedang, motif

(17)

40 | Ninda Desiani Rahmawati, et al.

Volume 3, No.1, Tahun 2017

berafiliasi tinggi, dan motif berkuasa tinggi, tipe motif berprestasi sedang, motif berafiliasi tinggi, dan motif berkuasa rendah sebanyak 10% dari populasi, tipe motif berprestasi sedang, motif berafiliasi sedang, dan motif berkuasa tinggi sebanyak 10% dari populasi, tipe motif berprestasi sedang, motif berafiliasi sedang, dan motif berkuasa rendah sebanyak 10% dari populasi, tipe motif berprestasi sedang, motif berafiliasi rendah, dan motif berkuasa sedang sebanyak 10% dari populasi, dan tipe motif berprestasi rendah, motif berafiliasi sedang, dan motif berkuasa sedang sebanyak 10% dari populasi.

E. Saran

Untuk meningkatkan minat relawan inti menjadi pengurus hendaknya pihak Creative Village (Creavill) dalam kegiatan-kegiatan yang diadakannya dapat memuaskan motif para relawan inti dengan melihat profil motif masing-masing subjek sehingga para relawan inti ini akan terus melibatkan diri dan terbuka kemungkinan untuk bersedia menjadi pengurus. Serta memilih subjek dengan profil motif berprestasi pada kategori sedang, motif berafiliasi pada kategori sedang atau tinggi, dan motif berkuasa pada kategori sedang untuk menjadi pengurus.

Daftar Pustaka

Abigail, J. Stewart. (1982). Motivation and Society: A Volume in Honor of David C. McClelland. California: Josery-Bass Inc. Publisher.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Dwinova, Putri Hana. (2013). Studi Tentang Profil Motif Sosial Para Pimpinan BEM-F Psikologi UNISBA Periode 2010/2011 dalam Kaitan Pelaksanaan Program Kerja Organisasi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung. E.B, Hurlock. (1990). Psikologi Perkembangan Edisi 5. Jakarta: Erlangga.

Nugroho, Wahyu Ary. Motif Relawan Kemanusiaan Rumah Zakat Cabang Depok. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Putri, Wanda Ridwani. (2013). Studi Tentang Motif Gamers Online Addict dalam Bermain Game Online (Studi pada Mahasiswa di C-Net Bandung). Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung.

Putri, Yulianti. (2010). Studi Mengenai Profil Motif Sosial (McClelland) Pada Medical Representative yang Memenuhi Target Penjualan pada Area Bandung Tengah di PT. Otto Pharmaceutical Industries Bandung. Bandung: Fakulats Psikologi Universitas Islam Bandung.

Shaadily, Hassan. (1992). Ensiklopedia Indonesia Jilid 4. Jakarta: Ichtiar Baru dan Van Hoeve.

Siagian, Sondang P. (2004). Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sumantri, S. (2012) Perilaku Organisasi. Bandung: Universitas Padjajaran.

Wijono, S. (2010). Psikologi Industri dan Organisasi: Dalam Suatu Bidang Gerak Psikologi Sumber Daya Manusia Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

(18)

Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448

Hubungan School Well Being dengan Student Engagement

Relation Of School Well Being and Student Engagement

1

Difa Hidayatishafia, 2Sita Rositawati

1,2Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116

email: 1difahidayatishafia@gmail.com, 279sita@gmail.com

Abstract. SMP Islam Terpadu Al-Ghifari is one of modern pesantren in Sukabumi. Santri spent all of their

activities in pesantren, so that pesantren have to create conditions which can fulfill pupil’s basic needs as long as they lived in pesantren. School well being is a school conditions which is might be able to fulfill pupil’s basic needs that consists of having, loving, being and health. Pupil’s survey results indicated that while they lived in pesantren, they were well being. Pupils who well being was related to increase academic result, their attendance to school, prosocial behavior, school’s safety, and mental health (Noble etc, 2008). But, 100% of pupils have been broken minor infraction such as skip class, 43% of pupils have been broken serious offense such as escape, both their academic and non academic achievement are also in low level, they didn’t pay attention during class, and wasted their time to study. These indicated that they didn’t engage to their school, which is called as student engagement. Student engagement consists of 3 dimensions namely behavior engagement, emotional engagement and cognitive engagement. This study aim to know about the correlation between school well being and student engagement on santri in SMP IT Al-Ghifari, Sukabumi. The correlation result of this research is 0,550 which is indicated that there is strong and significant correlation between school well being and student engagement.

Keywords: SMP Islam Terpadu Al-Ghifari, school well being, student engagement

Abstrak. SMP Islam Terpadu Al-Ghifari adalah salah satu pesantren modern di Sukabumi. Santri

menghabiskan seluruh kegiatannya di pesantren selama 24 jam, sehingga pesantren diharapkan mampu menciptakan kondisi yang dapat memuaskan kebutuhan dasarnya selama berada di pesantren. School well being adalah suatu keadaan sekolah yang memungkinkan individu memuaskan kebutuhan dasarnya, meliputi having, loving, being, dan health. Hasil survey menunjukan bahwa santri merasa sejahtera di sekolah. Siswa yang sejahtera akan berhubungan dengan peningkatan hasil akademik, kehadiran di sekolah, perilaku prososial, keamanan sekolah dan kesehatan mental (Noble, dkk, 2008). Tetapi kenyataannya, 100% santri pernah melakukan pelanggaran ringan, seperti bolos kelas, 43% santri pernah melakukan pelanggaran berat seperti kabur, mudah merasa bosan, prestasi akademik maupun non akademik juga rendah, santri lebih sering tidak memperhatikan ketika di kelas, dan menyianyiakan waktu belajar malam. Hal ini menunjukan bahwa santri tidak memiliki keterikatan dengan sekolah. Keterikatan kepada sekolah disebut sebagai student engagement, yang memiliki 3 dimensi, yakni keterikatan perilaku, keterikatan emosi, serta keterikatan kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan school well being dengan student engagement pada santri di SMP IT Al-Ghifari, Sukabumi. Hasil korelasi dari penelitian ini adalah 0,550 yang menunjukan bahwa ada hubungan yang kuat dan signifikan antara school well being dengan student engagement.

Kata Kunci: SMP Islam Terpadu Al-Ghifari, school well being, student engagement

A. Pendahuluan

Pondok pesantren adalah salah satu jalur pendidikan formal yang ada di Indonesia. Populasi pondok pesantren terbesar di Indonesia berada di Provinsi Jawa Barat1 Jawa Barat memiliki beberapa kota yang disebut sebagai Kota Santri, Sukabumi adalah salah satunya2. SMP Islam Terpadu Al-Ghifari adalah salah satu pondok pesantren modern yang ada di Sukabumi. SMP ini memiliki murid dengan jumlah yang sedikit agar lebih mudah mengawasi santrinya, fasilitas yang dimiliki pun cukup memadai dan memiliki peraturan sendiri yang dibagi ke dalam pelanggaran ringan seperti terlambat masuk kelas, serta pelanggaran berat seperti kabur dari

(19)

42 | Difa Hidayatishafia, et al.

Volume 3, No.1, Tahun 2017

lingkungan pesantren.

Dapat dikatakan bahwa pesantren adalah pusat kehidupan santri, karena nyaris seluruh kegiatan santri dilakukan di pesantren. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan santri hanya berlangsung di pesantren yang jika kebutuhan terpenuhi, santri akan merasa nyaman dan dapat berdampak pada keoptimalan santri dalam belajar. Pemenuhan kebutuhan dasar di sekolah didefinisikan sebagai school well being yang terdiri dari having, loving, being, dan health (Konu & Rimpelä, 2002). Melalui hasil survey didapatkan data bahwa santri merasa sejahtera di pesantren dan pihak pesantren mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan santri selama di pesantren. Jika mengacu pada Noble dkk (2008) yang menyebutkan bahwa well being yang tinggi berhubungan dengan peningkatan hasil akademik, kehadiran di sekolah, perilaku prososial, keamanan sekolah dan kesehatan mental, seharusnya santri yang merasa sejahtera tidak akan menunjukan perilaku yang menyimpang selama berada di sekolah.

Akan tetapi, 100% pernah melakukan pelanggaran ringan, 43% pernah melakukan pelanggaran berat, prestasi akademik dan non akademik pun rendah, tidak memperhatikan ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung, mengabaikan tugas yang diberikan. Hal ini menunjukan bahwa santri tidak memiliki keterikatan yang baik dengan sekolah. Keterikatan yang baik dengan sekolah sering pula disebut sebagai student engagement yang dibagi dalam tiga dimensi yakni keterlibatan perilaku, emosi dan kognitif. Penelitian lain pada siswa SMA kelas XI di Jakarta (Muliani,dkk 2012), menyebutkan bahwa ada hubungan antara school well being dengan student engagement. Dengan karakteristik subyek dan tempat penelitian yang berbeda dari penelitian sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk meneliti hal ini. Dengan uraian latar belakang masalah diatas, maka identifikasi masalah dari penelitian ini adalah “Seberapa erat hubungan antara school well being dengan student engagement?” dan bertujuan untuk memperoleh data empiris mengenai seberapa erat hubungan school well being dengan student engagement pada santri di SMP IT Al-Ghifari, Sukabumi.

B. Landasan Teori

School well being sebagai suatu keadaan sekolah yang memungkinkan individu memuaskan kebutuhan dasarnya, yang meliputi having, loving, being, dan health (Konu dan Rimpela). (1) Having adalah kebutuhan yang mencakup aspek material dan nonmaterial meliputi lingkungan fisik, mata pelajaran dan jadwal, hukuman, dan pelayanan di sekolah (Konu & Rimpelä, 2002). (2) Loving merujuk kepada lingkungan pembelajaran sosial, hubungan antara guru dan murid, hubungan dengan teman sekelas, dinamisasi kelompok, bullying, kerjasama antara sekolah dan rumah, pengambilan keputusan di sekolah, dan keseluruhan atmosfir sekolah (Konu & Rimpelä, 2002). (3) Being adalah cara sekolah memberikan kesempatan siswa untuk mendapatkan pemenuhan diri, mengambil keputusan terkait dengan keberadaannya di sekolah, serta adanya kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan berdasarkan minat siswa, health adalah kesehatan siswa ini meliputi aspek fisik dan mental berupa gejala psikosomatis, penyakit kronis, penyakit ringan (seperti flu), dan penghayatan akan keadaan diri (illness) (Konu & Rimpelä, 2002).

Student engagement merupakan metakonstruk yang terdiri dari beberapa dimensi yang saling terkait. Dimensi-dimensi ini yaitu keterlibatan perilaku, keterlibatan emosi, dan keterlibatan kognitif. (002). (4) Health adalah tidak adanya sumber penyakit dan siswa yang sakit. Status 1) Keterlibatan perilaku adalah perilaku positif yang ditunjukan siswa siswa serta tidak adanya tingkah laku yang mengganggu dan keterlibatan dalam masalah pelanggaran dii sekolah ataupun di kelas.(2) Keterlibatan emosi adalah reaksi afektif siswa di dalam kelas yang mencakup minat,

(20)

Hubungan School Well Being dengan Student Engagement| 43

bosan, senang, sedih, dan cemas.Keterlibatan emosi berfokus pada sejauh mana reaksi positif dan negatif siswa terhadap guru, teman, dan akademik. Keterlibatan ini mencakup rasa memiliki dan menjadi bagian dari sekolah, serta menghargai atau mengapresiasi keberhasilan terhadap hasil akademik. (3) Keterlibatan kognitif mengacu pada keinginan untuk mengerahkan upaya yang diperlukan dalam memahami ide-ide yang kompleks dan menguasai keterampilan yang sulit. Keterlibatan siswa juga merupakan prediktor yang baik bagi prestasi akademik jangka panjang dan bagi penuntasan jenjang studi (Furrer & Skinner, 2003; Fauzie,2012). Fredricks, dkk (2004) menegaskan bahwa keterlibatan siswa di sekolah memiliki hubungan negatif dengan putus sekolah.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dengan menggunakan teknik analisis korelasi rank spearman, pada signifikansi 0,01 didapatkan data bahwa koefisien korelasi antara school well being dengan student engagement adalah 0,550. Hal ini dapat diartikan bahwa school well being dengan student engagement memiliki hubungan yang kuat dan signifikan. Arah dari hubungan ini adalah positif, artinya semakin tinggi school well being maka semakin tinggi pula student engagement, begitu pun sebaliknya semakin rendah school well being, maka semakin rendah pula student engagement.

Tabel 1. Gambaran School Well Being

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat mengenai gambaran school well being santri di SMP IT Al-Ghifari, Sukabumi. Nilai having yang tinggi sesuai dengan sejalan dengan penelitian yang menyebutkan bahwa ada perbedaan yang kontras antara kepuasan siswa dengan infrastruktur sekolah yang baik dan tidak. Penelitian ini menyebutkan bahwa kualitas dari infrastruktur sekolah memiliki pengaruh yang kuat pada kesejahteraan siswa di sekolah (Cuyvers dkk, 2011). Infrastruktur sekolah termasuk ke dalam kategori having dalam school well being. Loving yang tinggi didukung oleh keterlibatan perilaku dan keterlibatan emosi yang baik pula sejalan dengan penelitian yang menyebutkan bahwa penerimaan pertemanan sekelas yang baik pada masa remaja dapat memberikan kepuasan dalam sekolah yang termasuk ke dalam keterikatan siswa dalam emosi dan berhubungan dengan kegiatan sekolah yang tepat dan usaha akademik yang baik, yang termasuk ke dalam keterlibatan perilaku ( Ladd, 1990: Wentzel, 1994; Berndt & Keefe, 1995; Fauzie, 2012).

Tabel 2. Gambaran Student Engagement

Ket

Student Engagement

Keseluruhan Jenis Kelamin Kelas Aspek

L P 7 8 9 Perilaku Emosi Kognitif

Rendah 36% 49% 66% 82% 62% 19% 37% 8% 72%

Tinggi 64% 51% 34% 18% 38% 81% 63% 92% 28%

Ket

School Well Being

Keseluruhan Jenis Kelamin Kelas Aspek

L P 7 8 9 Having Loving Being Health

Rendah 20% 24% 50% 12% 31% 43% 28% 18% 33% 20%

(21)

44 | Difa Hidayatishafia, et al.

Volume 3, No.1, Tahun 2017

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat mengenai gambaran student engagement santri di SMP IT Al-Ghifari, Sukabumi. Santri perempuan memiliki student engagement yang rendah dibandingkan laki-laki, hal ini tidak sesuai dengan penelitian Mark (2000) yang menyebutkan bahwa siswa perempuan akan lebih terikat dari siswa laki-laki. Peneliti berasumsi hal ini terjadi karena orangtua dari santri perempuan lebih memanjakan, santri perempuan lebih sering ditengok, dihubungi via telpon dll, hal ini didukung oleh pernyataan Santrock (2009) bahwa remaja laki-laki akan lebih dibiarkan mandiri daripada remaja perempuan.

Kelas 7 merupakan kelas yang memiliki student engagement paling rendah, peneliti berasumsi hal ini dikarenakan kelas 7 masih mengalami top dog phenomenon yakni situasi perpindahan dari posisi yang paling puncak dan paling tua di SD menjadi yang paling muda di SMP, hal ini biasanya menyulitkan (Hawkins & Berndt, 1985; Santrock, 2009) dan memungkinkan terkena masalah disiplin (Cook dkk, 2008; Santrock, 2009).

Keterlibatan kognitif yang rendah menjelaskan mengapa santri memiliki prestasi yang rendah, didukung oleh pernyataan Neystrand & Gamoran, (1991) dalam Fauzie, 2012, yang menyebutkan bahwa ada hubungan positif antara keterlibatan kognitif siswa dengan prestasi akademik. Jika dilihat dari hasil, hanyalah keterlibatan kognitif yang rendah, sedangkan keterlibatan emosi dan perilakunya tinggi. Rendahnya keterlibatan kognitif ini memang tidak sesuai dengan pernyataan bahwa siswa yang tidak memiliki keterikatan emosi terhadap sekolah, biasanya menjadi tidak memiliki keterikatan perilaku dan kognitif yang nantinya beresiko pada buruknya hasil akademik siswa (Archambault dkk 2009; Green dkk. 2008; Hirschfield & Gasper 2011; Park dkk, 2011). Peneliti berasumsi hal ini terjadi karena tuntutan akademik dan tugas yang cukup berat, seperti kewajiban menghafalkan qur’an dan hadits setiap harinya, dan lebih banyaknya beban mata pelajaran santri dibandingkan siswa SMP umum lainnya. Sebagaimana disebutkan bahwa kurikulum dan tugas akademik yang relevan dengan pengalaman dan masalah siswa serta materi yang berhubungan dengan kehidupan nyata siswa secara alami akan meningkatkan motivasi intrinstik pada diri siswa, hal ini dapat meningkatkan keterlibatan kognitif (Dyan & Reci, 1985, Newman, 1992).

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan school well being dengan student engagement pada santri di SMP Islam Terpadu Al-Ghifari dapat diambil kesimpulan bahwa: (1) Terdapat hubungan yang signifikan antara school well being dengan student engagement. Koefisien korelasinya adalah 0,550 artinya menunjukan hubungan yang kuat. Arah hubungannya adalah positif, artinya semakin tinggi school well being semakin tinggi pula student engagement, hal ini juga menunjukan bahwa semakin rendah school well being semakin rendah pula student engagement, (2) Santri laki-laki di SMP IT Al-Ghifari Sukabumi memiliki school well being yang lebih tinggi dari santri perempuan, (3) Santri perempuan di SMP IT Al-Ghifari Sukabumi memiliki nilai student engagement yang lebih rendah dari santri laki-laki.

E. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, peneliti memberikan saran kepada beberapa pihak diantaranya adalah; (1) Pihak Sekolah: dari hasil penelitian ini didapatkan data bahwa santri memiliki keterikatan kognitif yang rendah, hal inilah yang menjadikan prestasi akademik maupun non akademik rendah. Adapun saran agar

(22)

Hubungan School Well Being dengan Student Engagement| 45

dapat meningkatan keterikatan kognitif antara lain adalah menjaga lingkungan sekolah yang kondusif, mengevaluasi kinerja guru dalam mengajar mata pelajaran agar santri dapat lebih mudah mengerti mata pelajaran yang diajarkan dan tidak mudah bosan ketika pelajaran sedang berlangsung, serta lebih memiliki keinginan untuk dapat menguasai suatu mata pelajaran. Cara lain yang dapat dilakukan antara lain adalah membuat Project Based Learning yang mengharuskan santri membuat proyek secara kelompok untuk nantinya dipresentasikan dan diterapkan di lingkungan sekitar.(2) Peneliti selanjutnya: diharapkan bagi peneliti selanjutnya agar mampu mengembangkan penelitian dengan subyek yang lebih banyak dan tempat penelitian yang berbeda.

Daftar Pustaka

Agustiani, Hendriati. (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung: Refika Aditama. Azizah, Anistya., & Hidayati, Farida. (2015) Hubungan Antara Penyesuaian Sosial

dengan School Well-Being (Studi Pada Siswa Pondok Pesantren Yang Bersekolah di MBI Amanatul Ummah Pacet Mojokerto). Seminar Nasional Educational Wellbeing

Cuyver, dkk (2011). Well being at school: does infrastructure matter?. Celeexchange. Institute for Educational and Information sciences, Instructional and Educational Science University of Antwerp. ISSN 2072-7925.

Fauzie, M Farah. (2012). Hubungan antara pemenuhan kebutuhan dasar psikologis dan keterlibatan siswa dalam belajar. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Fredricks, J.A., Blumenfeld, P., & Paris, A. (2004). School Engagement: Potential of the concept, state of evidence. Review of Educational Research, 74 (1), 59-109. Fredricks, J.A., Blumenfeld, P., Friedel, J., & Paris, A. (2005). School engagement.

In K.A. Moore & L. Lippman (Eds.), What do children need to flourish?: Conceptualizing and measuring indicators of positive development. New York, NY: Springer Science and Business Media.

Fredricks, J.A, & McColskey, Wedy. (2012). The Measurement of Student Engagement: A Comparative Analysis of Various Methods and Student Self Report Instruments. Handbook of Research on Student Engagement, DOI 10.1007/978-1- 4614-2018-7_37.

Gilman, R., & Huebner, S. 2003 . A Review of Life Satisfaction research with Children and Adolescents. School Psychology Quarterly, Vol. 18 (2), 192- 205.

Hasbullah. (2012). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.

Hurlock, Elizabeth. (2002). Psikologi Perkembangan. Alih Bahasa: Tjandrasa. Jakarta: Erlangga.

Konu, A.I, & Lintonen, T.P. (2006). School Well-being Grades 4-12. Health Education Research, Vol 21, 633-642

Konu, A.I; Lintonen, T. P, & Rimpelä, M. K. (2002). Factors Associated with Childrens’ General School Well-being. Health Education Research, Vol 17 (2), 155- 165.

Konu, AI, & Rimpelä, T. P. (2002). Well-being in School: A Conceptual Model. Health Promotion International, Vol 17(1), 79-87.

Gambar

Tabel 1. Uji korelasi Sense Of Humor dengan Subjective Well-Being
Diagram 1. Persentase tinggi rendahnya gratitudepada penderita Diabetes Melitus  Type 2 di Puskesmas GA
Grafik 1. Kekuatan Motif pada Setiap Subjek
Tabel 1. Gambaran School Well Being

Referensi

Dokumen terkait

kontrak produksi serta lembaga perbankan milik daerah seperti BPD Kaltim yang memberikan kredit perikanan sejahtera bagi masyarakat. Selain keramba, Kalimantan Timur

rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul PENGGUNAAN POLIMER KARBOHIDRAT AMYLUM DAN BAHAN TAMBAH MADU UNTUK MENINGKATKAN KUAT TEKAN MORTAR

penerapan model pembelajaran snowball throwing materi turunan kelas XI.. Untuk mempermudah penggunaan media dilengkapi dengan

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan data sekunder berupa laporan keuangan perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Konsep LGBT sebagai bahaya juga dikuatkan dengan narasumber yang “berkuasa” atas diskursus keamanan nasional, yaitu Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu. Demikian pula ketika LGBT

Musyarakah.. Dana yang diajukan oleh nasabah hanya dipakai selama 2 bulan saja dengan pengembalian pokok dan bagi hasil langsung diberikan kepada pihak BPRS investama

Dimulai dengan Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara, tim kami bertujuan untuk menyediakan gerai ritel, restoran dan toko dengan perangkat Pundi X Point-of-Sales

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota Pekalongan diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan