• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK PADA APBN-PERUBAHAN 2005

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK PADA APBN-PERUBAHAN 2005"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Yarsi Jakarta ABSTRACT

One of government’s responsibilities is to provide affordable basic necessities for its people. At the same time, government has to maintain the country’s economic outlook. One of its efforts is reflected in government budget which details income and expenditure of the government. To balance the budget, government should pay closed attention to each item. One of the items is amount of subsidize. This article analyzes the impact of subsidize in government of Indonesia state budget of 2005. Condition during the first few months of 2005 forces Indonesia government to take stern action to change its 2005 state budget. For years, the government subsidize in-country oil price. However, with the current significant increasing of world-oil price, government has to re-consider the amount of subsidize provided.

Key words: government budget, oil price, subsidization,

Prospek ekonomi tahun 2005 sangat menentukan dalam penyusunan besaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2005. Beberapa indikator ekonomi makro yang terkait erat dengan besaran APBN antara lain pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)-3 bulan, harga minyak mentah, dan tingkat produksi minyak

Indonesia. Asumsi pertumbuhan ekonomi dan inflasi sangat berperan dalam penyusunan kebutuhan perkiraan berbagai elemen APBN yang terkait erat dengan kemajuan ekonomi seperti penerimaan perpajakan. Asumsi nilai tukar rupiah berhubungan dengan banyaknya transaksi dalam APBN yang terkait dengan mata uang asing, seperti penerimaan pinjaman dan pembayaran utang luar negeri serta penerimaan minyak dan pemberian subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Asumsi suku bunga SBI-3 bulan digunakan mengingat pembayaran bunga sebagian utang dalam negeri pemerintah didasarkan pada suku bunga. Sementara itu, harga minyak mentah dan produksi minyak Indonesia menentukan besarnya hasil penerimaan minyak dan pemberian subsidi BBM. Dengan demikian, variabel asumsi dasar ekonomi makro tersebut sangat menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran negara termasuk dana perimbangan serta besarnya pembiayaan anggaran (Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2005).

Pertumbuhan ekonomi makro tidak bisa dilepaskan dari kegiatan perekonomian di masyarakat. Sementara proses kegiatan ekonomi masyarakat pada dasarnya tidak dapat sama sekali lepas dari campur tangan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keharusan campur tangan pemerintah dalam perekonomian sangat diperlukan mengingat adanya gejala ketidakstabilan yang timbul dari ekonomi pasar itu sendiri, antara lain menyangkut: pertama, timbulnya deflasi dan inflasi. Masyarakat konsumen dan dunia usaha pada dasarnya tidak dapat mengatasi dengan sendirinya tekanan inflasi. Pemerintah dengan instrumen dan kekuasaan yang dimiliki dapat mempengaruhi dengan kebijaksanaan moneter dan kebijakan fiskal.

(2)

Ketidakstabilan kedua menyangkut timbulnya gejala disparitas pendapatan. Jika perekonomian diserahkan seluruhnya kepada pasar maka akan dapat dipastikan beberapa golongan masyarakat akan diuntungkan. Golongan kaya dapat menjadi semakin kaya dan kuat ekonominya, sedangkan golongan lemah akan semakin terdesak yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan politik dan keamanan. Pemerintah dengan kekuasaan yang dimiliki dapat mengurangi kesenjangan dimaksud dengan berbagai cara misalnya memberikan subsidi kepada golongan masyarakat lemah atau memberikan batasan-batasan tertentu untuk usaha besar yang dikaitkan dengan perlindungan usaha golongan masyarakat lemah.

Adanya barang kolektif merupakan gejala ketidakstabilan yang ketiga. Barang kolektif adalah barang atau jasa yang penyediaannya ditujukan kepada semua golongan dalam masyarakat tanpa

membedakan siapa yang bersedia atau tidak bersedia membayar barang atau jasa yang dimaksud (Dornbusch & Stanley, 1995), misalnya jaminan keamanan yang diberikan Kepolisian. Pemerintah membentuk Kepolisian untuk memberikan keamanan bagi seluruh rakyat tanpa membedakan apakah yang bersangkutan memberikan kontribusi kepada negara atau tidak.

Risiko pembiayaan yang besar merupakan gejala ketidakstabilan perekonomian keempat. Risiko ini terdapat pada proyek yang memerlukan dana dalam jumlah besar tetapi keuntungannya baru akan diperoleh dalam waktu yang cukup lama, seperti pembangunan pelabuhan laut, bendungan,

jembatan, dan infrastruktur lainnya. Pemerintah diharapkan akan membiayai proyek tersebut karena pihak swasta tentu akan berpikir panjang untuk membiayainya.

Ketidakstabilan kelima menyangkut upaya menghilangkan sifat monopoli swasta. Campur tangan pemerintah dalam perekonomian adalah untuk menghilangkan monopoli pihak swasta atas barang atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak (masyarakat) seperti listrik dan air minum. Di Indonesia, barang yang menguasai hajat hidup rakyat banyak tersebut, sesuai Undang-Undang Dasar 45, dikuasai oleh pemerintah.

BBM saat ini sudah merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat luas, baik bagi kalangan rumah tangga maupun dunia usaha. BBM ini diperoleh dari minyak mentah yang sudah diproses lebih lanjut misalnya menjadi minyak tanah, avtur, solar, dan premium. Campur tangan pemerintah sangat diperlukan dalam pengelolaan BBM karena menyangkut penggunaan dana hasil penjualan yang diperlukan untuk membiayai pembangunan dan modal investasi yang sangat besar untuk kegiatan produksinya (pengeboran, distribusi, dan sebagainya). Kedua faktor ini memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pemerataan pendapatan dalam masyarakat. Kebijakan atas harga minyak akan memberikan pengaruh langsung terhadap inflasi/deflasi maupun daya saing produk di luar negeri.

SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK

Indonesia adalah salah satu negara penghasil minyak dan saat ini masih terdaftar sebagai anggota dari negara pengekspor minyak (OPEC). Sebelum tahun 2000, Indonesia masih dapat dianggap sebagai negara pengekspor tetapi sekarang sudah mulai masuk sebagai net importir, artinya lebih banyak melakukan impor minyak mentah dan BBM dibandingkan dengan ekspor minyak mentah dan BBM. Saat ini ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM dibandingkan dengan kebutuhan nasional cukup besar yaitu diperkirakan sekitar 25% untuk BBM (oil fuels) dan 35% untuk minyak

(3)

mentah (crude oil) (Sobri, 2005). Impor BBM memang diperlukan karena masih rendahnya kemampuan produksi kilang di dalam negeri sedangkan impor minyak mentah untuk dikilang di dalam negeri diperlukan dalam rangka efisiensi biaya produksi (sebagian desain kilang di Indonesia digunakan untuk memproses minyak mentah Arabian Light Crude/ALC yang harganya lebih murah). Hubungan yang baik dengan sesama anggota OPEC, khususnya negara di Timur Tengah, menjadi penyebab mudahnya Indonesia mendapatkan minyak mentah.

Dalam hubungannya dengan harga jual BBM di dalam negeri, pemerintah menetapkan harga atas beberapa jenis komoditas BBM yaitu minyak tanah, minyak solar, premium, minyak diesel, minyak bakar sedangkan komoditas BBM lainnya misalnya avtur dan pertamax diatur oleh Pertamina. Harga jual komoditas BBM yang ditetapkan oleh pemerintah pada dasarnya berada di bawah harga pasar internasional sehingga diperlukan subsidi oleh pemerintah.

Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah untuk menekan besaran subsidi adalah dengan menaikkan harga BBM di dalam negeri. Serangkaian keputusan pemerintah dalam menentukan harga BBM dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 tampak bahwa harga jual BBM yang ditetapkan pemerintah untuk kebutuhan masyarakat luas yang berpendapatan rendah yaitu minyak tanah, tidak dinaikkan (memperoleh subsidi yang paling banyak).

Tabel 1. Beberapa Keputusan Pemerintah dalam Penentuan Harga BBM (dalam rupiah) Keputusan Kenaikan

Jenis

02/01/2003 01/03/2004 19/12/2004 01/03/2005

Minyak Tanah (rumah tangga) 700 700 700 700

Minyak Tanah (industri) 1.970 1.800 1.800 2.200

Premium 1.810 1.810 1.810 2.400

Minyak Solar (Transportasi) 1.890 1.650 1.650 2.100

Minyak Solar (Industri) 1.890 1.890 1.890 2.200

Minyak Diesel 1.860 1.650 1.650 2.300

Minyak Bakar 1.560 1.560 1.560 2.300

Sumber: Litbang Kompas, 2005

APBN tahun 2005 yang telah disahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2004, subsidi BBM dianggarkan sebesar Rp.19 trilyun dengan asumsi harga minyak dunia 24 USD per barel dan kurs Rp/USD adalah Rp.8.600,-. Jumlah subsidi tersebut sebenarnya terlalu kecil jika memperhatikan realisasi subsidi BBM pada tahun anggaran 2004 yang mencapai Rp. 75 trilyun. Kondisi ini pada akhirnya memaksa pemerintah untuk meninjau ulang harga jual BBM dalam negeri.

Perkembangan harga minyak dunia sampai bulan Pebruari 2005 (rata-rata 47 USD per barel) yang jauh di atas harga patokan APBN, mengakibatkan pemerintah terpaksa menaikkan harga jual BBM di dalam negeri yang berlaku 1 Maret 2005. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menekan tingginya subsidi BBM dan mengalihkannya sebagai dana kompensasi BBM bagi masyarakat miskin dan pembangunan infrastruktur di pedesaan. Konsekuensi lebih lanjut atas kenaikan harga BBM ini, ditambah adanya bencana Tsunami di Banda Aceh dan perubahan proses pemilihan Kepala Daerah (PILKADA), menyebabkan pemerintah mengajukan perubahan APBN (APBN Perubahan/APBN-P) tahun 2005 ke DPR dan telah disahkan pada bulan Juli 2005.

(4)

Pada Tabel 2 disampaikan data subsidi BBM dalam APBN tahun 2005. Dari data tersebut tampak bahwa dalam APBN-P 2005, pemerintah telah menganggarkan subsidi BBM sebesar Rp. 76,5 trilyun yang meningkat cukup besar dibandingkan dengan APBN 2005 (sebelum perubahan) yaitu Rp. 19 trilyun.

Tabel 2. Asumsi APBN 2005 & Perubahan APBN 2005

Keterangan APBN 2005 APBN Perubahan

Subsidi BBM Rp. 19 trilyun Rp. 76,5 trilyun

Asumsi digunakan

Nilai Tukar (Rp/USD) 8.600 9.300

Harga Minyak (USD/Barel) 24 45 Jumlah produksi (juta barel per hari) 1.125 1.125 Sumber: Litbang Kompas, 2005

Memperhatikan adanya kenaikan kebutuhan pemakaian BBM di dalam negeri tahun 2005 yang meningkat 5% dari jumlah dana yang dianggarkan, kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia (hingga pertengahan bulan Juli 2005 ini harga berkisar antara USD 58 – 60 per barel) dan kurs Rp/USD pada pertengahan Juli 2005 adalah Rp.9.810,- maka dapat dipastikan bahwa jumlah realisasi subsidi BBM tahun 2005 akan jauh melampaui dana yang dianggarkan dalam APBN-P. Realisasi subsidi BBM hingga semester pertama tahun 2005 telah mencapai Rp. 42 trilyun dan diperkirakan jumlah subsidi BBM untuk tahun anggaran 2005 dapat mencapai Rp. 136 trilyun (Litbang Kompas, 2005).

Pemerintah sangat mengkhawatirkan kondisi ini sehingga pada bulan Juli 2005 telah dikeluarkan Inpres Nomor 10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi. Di pihak lain Bank Indonesia juga mengambil beberapa kebijakan untuk melakukan pengendalian atas nilai tukar mata uang rupiah. Namun langkah ini belum signifikan pengaruhnya dalam mengurangi besaran subsidi karena

penggunaan BBM dalam negeri mayoritas dikonsumsi oleh pengguna kendaraan bermotor. Untuk itu diperlukan beberapa langkah terpadu lainnya guna melakukan penghematan BBM, khususnya yang terkait dengan pemakaian kendaraan bermotor.

Memang dengan penanganan BBM tersebut, APBN tetap surplus. Total penerimaan dari penjualan minyak (minyak mentah & BBM), baik untuk dalam negeri maupun luar negeri, tetap masih lebih besar dari pengeluaran (harga pokok dan biaya terkait BBM lainnya ditambah dengan subsidi BBM). Di sisi lain, ketika melihat pertumbuhan pemakaian BBM dalam negeri yang terus bertambah sedangkan produksi minyak tidak bertambah, bukan tidak mungkin akan terjadi defisit dalam pengelolaan minyak. Jika kondisi ini terjadi maka akan membahayakan APBN.

Khusus mengenai pemberian subsidi, sebenarnya dihitung berdasarkan harapan jika semua minyak mentah yang dihasilkan dapat dijual di pasar internasional. Subsidi dihitung berdasarkan berapa selisih harga jual di pasar internasional dikurangi dengan harga jual di dalam negeri. Jika dihitung berdasarkan realisasi subsidi yang benar-benar dilakukan (cash basis), jumlah subsidi tidak akan sebesar yang disampaikan oleh pemerintah seperti yang dicantumkan dalam APBN.

(5)

Tentang surplus yang diterima Pemerintah dalam pengelolaan BBM akan menjadi berkurang karena adanya kewajiban bagi hasil penerimaan BBM dengan daerah penghasil minyak. Hal ini sesuai dengan pasal 14 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menetapkan bahwa bagian daerah adalah sebesar 15% (tahun 2008, dana bagi hasil akan menjadi 15,5%) dari realisasi penerimaan neto minyak (setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya).

Pengelolaan minyak mentah dan BBM oleh negara mempunyai sisi kepentingan yang bisa saling kontradiktif; sisi pertama, pemerintah sangat mengharapkan adanya pendapatan yang maksimum dari penjualan minyak mentah dan BBM yang dapat dilihat dari usulan pemerintah dalam

pembahasan Rancangan APBN setiap tahunnya guna menjalankan pemerintahan. Untuk tahun 2004 realisasi pendapatan negara dari migas (mayoritas pendapatan adalah dari penjualan minyak

mentah) adalah Rp. 107 trilyun (meningkat dari yang dianggarkan Rp. 60 trilyun akibat kenaikan harga minyak mentah di pasar international). Pada penyusunan APBN, perolehan pendapatan dari minyak merupakan pendapatan dalam negeri sebagai penerimaan bukan pajak dengan item penerimaan sumber daya alami (SDA) dan sub butir minyak bumi. Dengan pendapatan ini pemerintah dapat membiayai pengeluaran pemerintah termasuk untuk membayar hutang. Sisi kedua, pemerintah perlu memberikan subsidi atas penggunaan BBM di dalam negeri dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, politik, dan keamanan, misalnya untuk meningkatkan daya saing, meredam laju inflasi, dan membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah. Pada penyusunan APBN, pemberian subsidi BBM ini merupakan belanja negara yang juga belanja pemerintah pusat dengan butir pengeluaran rutin dan sub butir subsidi (jadi pemerintah daerah tidak ikut serta menanggung subsidi BBM ini).

Kenaikan harga yang cukup besar dari minyak mentah di pasar internasional pada tahun 2004 dan tahun 2005 yang seharusnya menjadi berkah yang besar bagi perekomian Indonesia seperti yang dialami oleh produsen minyak dunia lainnya, tidaklah begitu besar dinikmati oleh rakyat Indonesia karena kenaikan pendapatan yang diperoleh kemudian diikuti dengan kenaikan subsisi BBM.

PERLUKAH SUBSIDI BBM DIPERTAHANKAN?

Pada tahun 2005, harga minyak diperkirakan masih tetap tinggi (di atas USD 50 per barel) yang disebabkan oleh berbagai hal, antara lain ekspor minyak dari beberapa negara penghasil minyak besar di dunia masih terganggu akibat masalah politik dan keamanan di dalam negerinya,

peningkatan pemintaan pasar international (khususnya Amerika Serikat, Masyarakat Ekonomi Eropa, Cina dan India dimana pertumbuhan ekonomi cukup tinggi sehingga sangat membutuhkan energi), dan mulai berkurangnya cadangan minyak negara penghasil minyak. Tingginya harga minyak dunia membawa implikasi positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia.

Sisi Positif

a. Adanya tambahan perolehan pendapatan dari penjualan minyak mentah yang cukup signifikan bagi pemerintah sehingga dapat membiayai belanja negara (asumsi subsidi BBM yang diberikan tidak memberatkan). Dengan kondisi ini maka sasaran pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 sebesar 6% akan dapat tercapai. Pertumbuhan ekonomi ini dengan prioritas program pemerintah dalam menurunkan jumlah penduduk miskin (dari 36,1 juta pada

(6)

tahun 2004 menjadi 29,5 juta orang pada tahun 2005), menurunkan pengangguran terbuka (dari 10,3 juta orang pada tahun 2004 menjadi 9,6 juta orang pada tahun 2005), revitalisasi pertanian, peningkatan investasi dan ekspor, peningkatan aksesibilitas, dan kualitas pendidikan serta kesehatan.

b. Timbulnya kegairahan bagi investor untuk lebih giat mencari ladang minyak baru. Produksi minyak Indonesia saat ini rata-rata per hari 1,1 juta barel dan produksi ini menurun dibandingkan dengan produksi beberapa tahun yang lalu (tahun 2001 produksi minyak Indonesia mencapai 1,325 juta barel hari). Diperkirakan untuk tahun 2006, produksi minyak Indonesia akan meningkat menjadi 1,3 juta barel per hari.

c. Timbulnya pemikiran untuk mulai aktif lagi mencari energi alternatif selain menggunakan BBM. Pada saat harga minyak rendah, biasanya pemerintah/swasta kurang terdorong atau tertarik mencari energi alternatif karena biayanya akan bisa tidak kompetitif. Alternatif energi pengganti minyak bumi untuk energi misalnya minyak solar dicoba digantikan dengan minyak kelapa sawit, pembangkit listrik panas bumi (Indonesia banyak terdapat gunung berapi), energi matahari, dan batu bara.

d. Timbulnya kesadaran pada pemerintah dan sebagian masyarakat bahwa sangat diperlukan adanya penghematan pemakaian BBM, yang saat ini dirasakan sudah sangat tidak efisien dan boros.

Sisi Negatif

a. Kurs rupiah terhadap mata uang asing (hard currency) dapat cenderung melemah. Kondisi ini disebabkan adanya kekhawatiran pihak tertentu terhadap perekonomian Indonesia yang saat ini banyak mempunyai utang luar negeri serta APBN dan neraca pembayaran yang defisit.

Sementara itu di sisi lain Indonesia telah masuk menjadi net importir minyak. Hal ini berarti kebutuhan akan mata uang asing semakin besar sehingga kurs Rupiah terhadap mata uang asing cenderung melemah. Untuk itu perlu kerja keras dan biaya yang cukup besar dari pemerintah dalam mengendalikan pergerakan kurs yang dimaksud agar tidak menjadi bumerang bagi keinginan pemerintah untuk mensejahteraan rakyatnya.

b. Subsidi BBM akan terus meningkat seiring dengan adanya peningkatan pemakaian BBM (diperkirakan meningkat 5% per tahun), besarnya kenaikan pengeluaran untuk impor minyak mentah dan BBM serta akibat melemahnya kurs rupiah. Memang pemberian subsidi BBM sampai saat ini belum menjadikan adanya arus kas keluar (cash out flow) dari APBN, yang disebabkan keuntungan dari kenaikan penjualan minyak mentah lebih besar dari subsidi yang diberikan. Tetapi pada masa yang akan datang jika subsidi ini terus berlangsung maka suatu saat akan terjadi cash out flow dimana perolehan pendapatan dari hasil penjualan mentah akan lebih kecil dari subsidi BBM yang dibayarkan.

Dengan mempertimbangkan sisi positif dan sisi negatif tersebut untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya atas adanya kenaikan harga minyak mentah yang dimaksud maka pemberian subsidi BBM harus ditekan. Usaha ini dilakukan dengan cara menaikkan harga, menghemat

pemakaian, dan memaksa pemakaian BBM yang tidak disubsidi untuk pengguna BBM tertentu (misal pemakai kendaraan dengan kapasitas mesin tertentu), atau diversifikasi energi. Beberapa alasan pemerintah untuk menekan pemberian subsidi BBM antara lain:

1. Subsidi menghasilkan ketergantungan yang tinggi atas BBM sehingga tidak merangsang pencarian sumber alternatif pengganti.

(7)

2. Perbedaan harga BBM yang cukup besar dengan harga pasar internasional akibat adanya subsidi mendorong terjadinya penyalahgunaan penggunaan BBM, misalnya penyeludupan. Saat ini masih sangat sulit bagi pemerintah untuk memberantas penyeludupan yang terjadi.

3. Subsidi yang terus menerus dapat mendorong terjadinya inefisiensi dalam berproduksi. Pengusaha kurang terdorong mencari inovasi baru dalam berproduksi dalam rangka efisiensi. 4. Pemberian subsidi yang terlalu besar terhadap industri dapat mengundang protes dari negara lain

yang berdagang dengan Indonesia.

5. Subsidi banyak dinikmati oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas (golongan masyarakat kaya) misalnya penggunaan mobil pribadi dimana BBM yang

digunakannya disubsidi oleh pemerintah.

6. Subsidi mengakibatkan timbulnya pemborosan pemakaian BBM, misalnya dapat dilihat dari sektor transportasi di kota Jakarta dan sekitarnya (diperkirakan BBM yang digunakan adalah 20% dari konsumsi nasional), dimana masyarakat yang menggunakan mobil pribadi (yang kadang-kadang hanya dengan satu orang penumpang) begitu banyak. Jika subsidi dicabut maka sebagian dari masyarakat tersebut akan pindah ke angkutan umum. Memang diperlukan usaha lainnya dari pemerintah untuk meningkatkan fasilitas umum.

7. Indonesia saat ini sangat perlu dana untuk mengatasi persoalan keuangannnya (kondisi keuangan negara saat ini telah diperberat oleh bencana alam seperti gempa, badai Tsunami, tanah longsor dan banjir).

Walaupun Indonesia telah mendapatkan penjadwalan kembali utang (perpanjangan waktu

pembayaran utang) maupun moratorium (penundaan utang) dari negara pemberi pinjaman (negara donor) tetapi tetap bantuan tersebut masih belum dirasakan cukup untuk memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia (malah penundaan utang tersebut akan dapat memperberat APBN tahun berikutnya). Penekanan subsidi dapat membawa dampak yang kurang diinginkan, misalnya inflasi terutama disebabkan adanya penambahan ongkos produksi, gangguan keamanan (protes dari masyarakat yang merasa hidupnya makin susah karena harga naik), menurunnya daya saing produk di luar negeri (akibat dari biaya produksi naik sehingga maka harga jual akan ikut naik), dan

terganggunya pencapaian pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pemerintah diharuskan selektif memilih jenis BBM yang akan ditekan subsidinya, dan juga harus mempersiapkan langkah untuk

mengantisipasi dampak yang ditimbulkan.

PENUTUP

Kebutuhan BBM di dalam negeri saat ini terus meningkat dari tahun ke tahun sedangkan produksi minyak mentah (crude oil) yang dihasilkan tidak bertambah malah berkurang. Kondisi tersebut mengakibatkan Indonesia saat ini telah mulai masuk sebagai net importir minyak. Hal ini diperberat lagi dengan adanya keterbatasan produksi kilang minyak di Indonesia sehingga diperlukan impor BBM (oil fuel).

Kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional membawa sisi positif dan negatif bagi

Indonesia. Berdasarkan hasil kajian, dapat disimpulkan perlunya pemerintah menekan subsidi BBM. Penekanan subsidi tersebut dapat menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan sehingga bila tidak diantisipasi dengan baik akan mengurangi atau menghilangkan keuntungan yang diperoleh akibat penurunan subsidi tersebut.

(8)

Pemerintah harus selektif dalam memilik jenis dari BBM yang akan ditekan subsidinya yang

besarannya harus diperhitungkan dengan cermat bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik menyangkut dampak ekonominya (terhadap inflasi, pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi, pencapaian sasaran ekspor) maupun penghematan yang diperoleh. BBM yang memang sangat dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah (misalnya minyak tanah) subsidinya sebaiknya terus dipertahankan. Selain itu pemerintah harus melakukan sosialisasi yang luas ke masyarakat tentang akan adanya penekanan subsidi ini yang menyangkut kepentingan dan alasan yang mendasarinya. Pemerintah juga harus mempersiapkan langkah untuk mengantisipasi dampak ekonomis, politis, dan keamanan terhadap adanya penekanan subsidi dimaksud. Dana dari penekanan subsidi tersebut hendaknya sebagian digunakan untuk pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah dan untuk pengembangan energi alternatif serta sebagian lagi untuk pembiayaan investasi di perminyakan sehingga ketergantungan atas impor BBM dari luar negeri dapat dikurangi.

Insentif dan kemudahan kepada investor yang mau menginvestasikan dananya di sektor

perminyakan juga perlu diberikan oleh pemerintah. Kondisi ini diharapkan dapat mengembalikan Indonesia sebagai negara eksportir minyak mentah dan dapat menghasilkan sendiri BBM yang diperlukan.

Pemerintah juga harus mengawasi pelaksanaan Inpres Nomor 10 tahun 2005 tentang penghematan energi yang dikeluarkan bulan Juli 2005. Pemerintah Daerah hendaknya dapat mendukung program penghematan minyak yang dimaksud dengan mengenakan pajak kendaraan pribadi yang lebih tinggi dari yang ada saat ini (sehingga diharapkan masyarakat enggan memilikinya) dan sekaligus

menyediakan angkutan kendaraan massal yang aman dan nyaman. Pemerintah harus mulai

mengunakan energi alternatif yang saat ini banyak tersedia di Indonesia sehingga penggunaan BBM akan menjadi berkurang.

REFERENSI

Departemen Keuangan Republik Indonesia (2005). Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005 diakses dari www.fiskal.depkeu.go.id pada tanggal 24 Agustus 2005.

Dornbusch, R. & Stanley, F. (1995). Makro ekonomi. Jakarta: Erlangga.

Penelitian dan Pengembangan Kompas (2005). Keputusan pemerintah dalam penentuan harga BBM. Kompas.

Gambar

Tabel 1.   Beberapa Keputusan Pemerintah dalam Penentuan Harga BBM (dalam rupiah)
Tabel 2. Asumsi APBN 2005 & Perubahan APBN 2005

Referensi

Dokumen terkait

Judul Laporan Tugas Akhir ini adalah “Usulan Perbaikan Sistem Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Pemanenan Kelapa Sawit Menggunakan Metode Systematic Cause Analysis

PT.Angkasa Pura II melayani pelayanan kebandar udaraan pada 3 bagian pelayanan, bagian ATS melayani pelayanan sisi udara yaitu mendata data penerbangan ,mengontrol

Apabila peserta yang datang tidak memenuhi persyaratan, maka peserta akan dipulangkan dengan biaya sendiri;.. Tidak diperkenankan

Abstrak: Pergantian permukaan perkerasan pada ruas Jalan Gajah Mada dari perkerasan lentur menjadi perkerasan paving tentunya akan menimbulkan berbagai dampak

[r]

Desa Pantai Bahagia yang akan menjadi daerah penelitian yang berada di Kecamatan Muara Gembong data dari BPS (2018) berkisar 30,10 (km 2 ) dengan jenis tutupan lahannya didominasi

Saat ini Program Studi Kedokteran Gigi belum mempunyai peraturan tentang keanggotaan tim penguji dalam ujian akhir studi, yang terkait dengan program pendidikan magister

Pada tahap membuat rencana penyelesaian S1 disimpulkan lancar karena S1 menuliskan semua model matematika dan rumus/ metode matematika yang diperlukan dalam soal