• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KELAYAKAN (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KELAYAKAN (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KELAYAKAN

(Feasibility Study)

Pengadaan Gudang Barang

Pemerintah Kota Tarakan

KERJASAMA

TAHUN ANGGARAN 2016

Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan Masyarakat

Universitas Airlangga (LP4M UA) Dinas Pendapatan, Pengelolaan

Keuangan, Dan Aset (DPPKA) Kota Tarakan

(2)

Studi Kelayakan (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan

Tahun 2016

dan hidayah-Nya, sehingga Laporan Akhir “Studi Kelayakan (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan Tahun 2016”, ini dapat diselesaikan dengan baik.

Studi Kelayakan, ini disusun untuk menjalankan amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Bab XXI UU Nomor 23 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan inovasi [pasal 386 ayat (1)].

Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan “Studi Kelayakan (Feasibility

Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan Tahun 2016” ini adalah

menilai kelayakan rencana untuk mengadakan gudang barang secara terpadu guna melayani kebutuhan barang di lingkungan Pemerintah Kota Tarakan, dari aspek hukum, aspek organisasi dan manajemen, dan aspek keuangan. Oleh karena itu, hasil dari Studi Kelayakan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan.

Kesimpulan berdasarkan kajian dari aspek hukum, aspek organisasi dan manajemen, dan aspek keuangan menunjukkan bahwa rencana Pengadaan Gudang Barang Kota Tarakan dinyatakan layak. Untuk itu, beberapa langkah yang dapat dilaksanakan sebelum Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan direkomendasikan pada Bab 5 dari dokumen ini.

Tarakan, September 2016 Kepala

DPPKA Kota Tarakan,

Arbain, S.E., M.AP

(3)

Studi Kelayakan (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan

Tahun 2016

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 3 1.3. Manfaat ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Otonomi Daerah ... 5

2.2. Kebijakan Pengelolaan Barang Milik Daerah... 7

2.3. Inovasi Daerah ... 8

2.4. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah... 10

2.5. Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ... 12

2.6. Gudang Barang ... 36

2.7. Efisiensi Keuangan... 45

2.8. Investasi Aktiva Tetap dan Penilaian Kelayakan... 47

BAB III METODE ANALISIS ... 51

3.1. Aspek Hukum... 51

3.2. Aspek Organisasi dan Manajemen ... 53

3.3. Aspek Keuangan ... 54

BAB IV ANALISIS ... 59

4.1. Analisis Aspek Hukum... 59

4.2. Analisis Aspek Organisasi dan Manajemen... 71

4.3. Analisis Aspek Keuangan ... 81

BAB V PENUTUP ... 94

5.1. Kesimpulan ... 94

5.2. Rekomendasi ... 98 DAFTAR PUSTAKA

(4)

Studi Kelayakan (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan

Tahun 2016

PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH (KHUSUS ATK

DAN BARANG CETAKAN) DI KOTA TARAKAN... 61 Tabel 4.2 ANALISIS ASPEK ORGANISASI DAN MANAJEMEN

TERHADAP KEBIJAKAN PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH (KHUSUS ATK DAN BARANG CETAKAN) DI KOTA

TARAKAN... 72 Tabel 4.3 ALAT TULIS KANTOR (dalam ribuan rupiah) ... 84 Tabel 4.4 BARANG CETAKAN DAN PENGGANDAAN (dalam ribuan

rupiah) ... 86 Tabel 4.5 PERHITUNGAN ESTIMASI UNEFFICIENCY SKPD TARAKAN

(dalam ribuan rupiah) ... 88 Tabel 4.6 INVESTASI AKTIVA TETAP (dalam ribuan rupiah) ... 89 Tabel 4.7 PERHITUNGAN NPV, IRR, BCR DAN PAYBACK PERIOD

PROYEK PEMBANGUNAN GUDANG ATK DAN BARANG

CETAKAN ... 91 Tabel 4.8a ANALISA SENSITIVITAS PROYEK ... 93 Tabel 4.8b ANALISA SENSITIVITAS PROYEK ... 93

(5)

Studi Kelayakan (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan

Tahun 2016

(6)

1.1. Latar Belakang

Dalam rangka peningkatan kapasitas pemerintahan daerah, daya saing daerah, dan pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 diperlukan penguatan sistem inovasi daerah secara terarah dan berkesinambungan. Dalam arti luas, inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, penerapan, pengkajian, perekayasaan, dan pengoperasian yang selanjutnya disebut kelitbangan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi. Menurut pasal 386 ayat (2) UU 23 Tahun 2014, inovasi adalah semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Meskipun masih terkendala dengan ketidakcukupan regulasi, inovasi daerah adalah kebutuhan mendesak karena inovasi dan regulasi adalah satu paket yang sama, yaitu menuju peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian, dalam menghadapai dinamika permasalahan publik dan dinamika sebuah kawasan, Pemerintah Daerah dituntut untuk melakukan inovasi daerah guna meningkatkan pelayanan publik maupun peningkatan daya saing daerah.

Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang sebagian materinya diubah dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2014 tentang

(7)

Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, maka peluang daerah untuk melakukan inovasi menjadi semakin terbuka.

Peluang daerah untuk melakukan inovasi secara khusus diatur dalam Bab XXI UU Nomor 23 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan inovasi [pasal 386 ayat (1)]. Inovasi adalah semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah [pasal 386 ayat (2)]. Inisiatif inovasi dapat berasal dari kepala daerah, anggota DPRD, aparatur sipil negara, Perangkat Daerah, dan anggota masyarakat [pasal 388 ayat (1)]. Selanjutnya, mengenai jenis, prosedur dan metode penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang bersifat inovatif ditetapkan dengan Perkada. Kepala daerah melaporkan inovasi Daerah yang akan dilaksanakan kepada Menteri. Laporan paling sedikit meliputi cara melakukan inovasi, dokumentasi bentuk inovasi, dan hasil inovasi yang akan dicapai. Untuk selanjutnya Pemerintah Pusat melakukan penilaian terhadap inovasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah yang berhasil melaksanakan inovasi diberi penghargaan oleh Pemerintah Pusat.

(8)

Berdasarkan gambaran umum tersebut di atas, maka Pemerintah Kota Tarakan bermaksud untuk melakukan inovasi daerah untuk mengadakan gudang barang kebutuhan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Kota Tarakan. Namun, sebelum rencana tersebut dilaksanakan diperlukan suatu kajian awal untuk menilai kepatutan atau kesesuaian rencana inovasi daerah tersebut dengan ketentuan pasal 387 UU Nomor 23 Tahun 2014, yang mengamanatkan bahwa dalam merumuskan kebijakan inovasi, Pemerintahan Daerah mengacu pada 8 prinsip: peningkatan efisiensi, perbaikan efektivitas, perbaikan kualitas pelayanan, tidak menimbulkan konflik kepentingan, berorientasi kepada kepentingan umum, dilakukan secara terbuka, memenuhi nilai-nilai kepatutan, dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri. Kajian awal ini dilakukan melalui kegiatan “Studi Kelayakan (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan Tahun 2016”.

1.2. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan “Studi Kelayakan (Feasibility

Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan Tahun 2016”, adalah

menilai kelayakan rencana untuk mengadakan gudang barang secara terpadu guna melayani kebutuhan barang di lingkungan Pemerintah Kota Tarakan, dari aspek hukum, aspek organisasi dan manajemen, dan aspek keuangan.

(9)

1.3. Manfaat

Studi Kelayakan (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan Tahun 2016 dilaksanakan dengan maksud untuk menghasilkan suatu dokumen tentang Kelayakan Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan dan/atau metode alternatif yang bermanfaat sebagai sarana pengendalian pengadaan dan penggunaan barang di lingkungan Pemerintah Kota Tarakan yang memenuhi 8 prinsip inovasi daerah, yaitu: peningkatan efisiensi, perbaikan efektivitas, perbaikan kualitas pelayanan, tidak menimbulkan konflik kepentingan, berorientasi kepada kepentingan umum, dilakukan secara terbuka, memenuhi nilai-nilai kepatutan, dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri.

(10)

5 2.1. Otonomi Daerah

Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 5). Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada di tangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.

(11)

Prinsip pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam pasal 13 ayat (1) UU 23 Tahun 2014) adalah: akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Untuk mencapai ketiga prinsip ideal tersebut masih sulit dicapai karena beberapa permasalahan, seperti: (1) efisiensi dan efektifitas penggunaan anggaran yang diakibatkan kebocoran yang terjadi walau sebenarnya bukan semata-mata dikarenakan korupsi, tetapi pada kebijakan pengelolaan yang kurang tepatnya sehingga sulit dideteksi penyebab utamanya; (2) kualitas pelayanan publik sebagai akibat dari ketersediaan sarana yang masih kurang sehingga tidak mampu melayani masyarakat secara maksimal; dan (3) kurangnya regulasi yang mampu memfasilitasi upaya mencapai efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran yang seharusnya dapat dialokasikan untuk mengangkat potensi daerah guna menciptakan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah pasal 3 ayat (1) mengamanatkan bahwa Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai, yang selanjutnya diatur dalam pasal (2) yang menyebutkan bahwa Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah meliputi 11 tahap, yaitu:

1. Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran, 2. Pengadaan,

(12)

3. Penggunaan, 4. Pemanfaatan,

5. Pengamanan dan pemeliharaan, 6. Penilaian,

7. Pemindahtanganan, 8. Pemusnahan, 9. Penghapusan,

10. Penatausahaan, dan pembinaan, 11. Pengawasan dan pengendalian.

Lingkup pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci sebagai penjabaran dari siklus logistik sebagaimana yang diamanatkan dalam penjelasan Pasal 49 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

2.2. Kebijakan Pengelolaan Barang Milik Daerah

Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (UU No. 1 Tahun 2004; UU 23 Tahun 2014; PP No. 27 Tahun 2014; dan PERMENDAGRI No. 19 Tahun 2016), yang diperoleh melalui pengadaan berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel (pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah).

(13)

Gubernur/Bupati/Walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan Barang Milik Daerah yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan pengelolaan Barang Milik Daerah (Pasal 5 ayat (1) dan (2) PP 27 Tahun 2014). Dengan demikian, Gubernur/Bupati/Walikota dapat menentukan kebijakan pengelolaan dan pengadaan barang daerah berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel melalui inovasi yang tidak bertentangan dengan prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional (pasal 13 ayat (1) UU 23 Tahun 2014).

2.3. Inovasi Daerah

Majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa tersebut. Untuk itu maka diperlukan adanya perlindungan terhadap kegiatan yang bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di Daerah dalam memajukan Daerahnya. Untuk memacu kreativitas Daerah guna meningkatkan daya saing Daerah memerlukan kriteria yang obyektif sehingga dapat dijadikan pegangan bagi pejabat Daerah untuk melakukan kegiatan yang bersifat inovatif. Dengan cara tersebut inovasi akan terpacu dan berkembang tanpa ada kekhawatiran menjadi obyek pelanggaran hukum.

Dalam arti luas, inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, penerapan, pengkajian, perekayasaan, dan pengoperasian yang selanjutnya disebut kelitbangan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses

(14)

produksi. Menurut pasal 386 ayat (2) UU 23 Tahun 2014, inovasi adalah semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Meskipun masih terkendala dengan ketidakcukupan regulasi, inovasi daerah adalah kebutuhan mendesak karena inovasi dan regulasi adalah satu paket yang sama, yaitu menuju peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian, dalam menghadapai dinamika permasalahan publik dan dinamika sebuah kawasan, Pemerintah Daerah dituntut untuk melakukan inovasi daerah guna meningkatkan pelayanan publik maupun peningkatan daya saing daerah.

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang sebagian materinya diubah dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, semakin membuka peluang daerah untuk melakukan inovasi. Peluang daerah untuk melakukan inovasi secara khusus diatur dalam Bab XXI UU Nomor 23 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan inovasi [pasal 386 ayat (1)]. Inovasi adalah semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah [pasal 386 ayat (2)]. Inisiatif inovasi dapat berasal dari kepala daerah, anggota DPRD, aparatur sipil negara, Perangkat Daerah, dan anggota masyarakat [pasal 388 ayat (1)]. Selanjutnya, mengenai

(15)

jenis, prosedur dan metode penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang bersifat inovatif ditetapkan dengan Perkada. Kepala daerah melaporkan inovasi Daerah yang akan dilaksanakan kepada Menteri. Laporan paling sedikit meliputi cara melakukan inovasi, dokumentasi bentuk inovasi, dan hasil inovasi yang akan dicapai. Dalam merumuskan kebijakan inovasi, Pemerintahan Daerah mengacu pada 9 prinsip, yaitu: peningkatan efisiensi; perbaikan efektivitas; perbaikan kualitas pelayanan; tidak ada konflik kepentingan; berorientasi kepada kepentingan umum; dilakukan secara terbuka; memenuhi nilai-nilai kepatutan; dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri (Pasal 387 UU 23 Tahun 2014). Dalam pasal 53 ayat (2) Peraturan Presiden No 54 tahun 2010 yang mengatur tentang Kontrak Pengadaan Bersama (1 penyedia dengan banyak Pejabat Pembuat Komitmen), merupakan kesempatan sekaligus tantangan, bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kebijakan dengan sistem pengadaan barang/jasa milik daerah secara terpadu, sepanjang berpedoman pada ke sembilan prinsip yang disebutkan dalam pasal 387 UU 23 Tahun 2014.

2.4. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pengadaan barang milik daerah bagian dari pengelolaan barang milik daerah. Pemenuhan kebutuhan barang/jasa merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tersedianya barang/jasa, disamping merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab

(16)

pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan rakyat, sekaligus memenuhi kebutuhan pemerintah dalam rangka menjalankan roda pemerintahan. Dalam hal ini, pembuatan kontrak pengadaan barang/jasa menjadi praktek rutin (Simamora, 2013:1).

Seiring dengan semangat reformasi dan komitmen untuk mewujudkan

good Public governance, segala pembenahan di bidang pengadaan barang/jasa

haruslah dilakukan oleh pemerintah. Hal itu diwujudkan dengan demikian cepat dan massive dinamika perubahan dan perkembangan regulasi di bidang pengadaan barang/jasa. Peraturan yang dibuat pemerintah secara khusus tentang pengadaan barang/jasa mulai dari Keputusan Presiden RI nomor 18 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/jasa Instansi Pemerintah (Kepres 18 Tahun 2000) yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kemudian pada tanggal 6 Agustus 2010 diberlakukan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/jasa yang secara otomatis tidak memberlakukan seluruh peraturan sebelumnya. Peraturan Presiden tersebutpun mengalami dua kali perubahan yakni Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2011 dan oleh Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012.

Dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara dan Undang Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

(17)

Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) disebutkan secara tegas bahwa azas proporsionalitas merupakan salah satu prinsip atau azas yang harus dipenuhi, yaitu azas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. Proporsionalitas merupakan salah satu prinsip dalam penerapan good governance, disamping azas akuntabilitas dan kepastian hukum. Dengan mengacu pada prinsip proporsionalitas dan akuntabilitas tersebut, maka proses pengadaan harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik guna menghindari larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 2.5. Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

2.5.1. Pengertian

Anti monopoli atau antitrust adalah Penguasaan atas produk barang atau jasa oleh pelaku usaha dimana produk barang atau jasa tersebut, hanya dikuasai oleh satu orang pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tertentu. Dimana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk substitusi yang potensial, sehingga pelaku pasar dapat menerapkan harga produk yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran. Pengertian monopoli menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyebutkan bahwa “Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku

(18)

usaha atau suatu kelompok usaha;” praktek-prakter sebagaimana dimaksud merupakan persaingan di bidang ekonomi.

Kondisi persaingan usaha yang tidak sehat memiliki dampak negatif karena bertentangan dengan kepentingan publik, prakek-praktek curang (unfair

competition), di kalangan pelaku usaha yang membuat konsumen tidak lagi

dapat memilih dengan bebas produk-produk barang maupun jasa yang diinginkan. Pasal 1 ayat (6) UU/05/1999 menyatakan bahwa “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”

Oleh sebab itu aturan hukum yang tepat diperlukan guna mencegah terjadinya praktek-praktek curang dikalangan pelaku usaha. Menurut Hermansyah, hukum persaingan usaha merupakan perangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha yang mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha.

Asas hukum yang harus ditaati oleh pelaku usaha menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku suaha dan kepentingan umum.” Sedangkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999 lebih lanjut mengatur tentang tujuan pembentukan undang-undang ini adalah:

(19)

a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;

c. Mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang di timbulkan oleh pelaku usaha;

d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Berdasarkan uraian tersebut Tiga tujuan pokok yang dapat di sederhanakan dari pembentukan UU/05/1999 menurut Sudaryatmo adalah

pertama; memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara atau

pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan usaha, kedua adalah menciptakan iklim usaha yang sehat, kondusif dan kopetitif, dan ketiga adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat (kepentingan umum).

2.5.2. Perjanjian yang Dilarang, Kegiatan Yang Dilarang dan Posisi Dominan Dalam UU Anti Monopoli

Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Dalam perjanjian yang dibuat harus ada perbuatan karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang

(20)

memperjanjikan. Para pihak disini dapat terdiri dari dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri oleh suatu akibat yang ditimbulkan oleh karena kehendaknya sendiri. Pasal 1 ayat (7) UU/05/1999 menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”

Undang-Undang ini tidak memberikan defenisi tentang kegiatan yang dilarang ataupun kegiatan. Kegiatan yang dilarang sendiri dapat ditafsirkan sebagai tindakan atau perbuatan hukum sepihak yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa adanya keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha lainnya.

Berbeda dengan perjanjian yang dilarang maupun kegiatan yang dilarang, posisi dominan lebih kepada kekuasaan untuk mempengaruhi kekuatan pasar dimana kondisi pasar hanya ditempati oleh perusahaan yang memiliki pangsa terbesar. Dengan pangsa pasar yang besar tersebut perusahaan memiliki peran dominan untuk melakukan tindakan atau strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh perusahaan pesaingnya.

Posisi dominan menurut Pasal 1 ayat (4) UU/5/1999 menyebutkan bahwa “Posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,

(21)

kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.”

Ketentuan hal-hal tersebut masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Perjanjian yang dilarang

Perjanjian yang dilarang, diatur di dalam pasal 4 sampai dengan pasal 16 UU/05/1999 yang meliputi, Oligopoli, Penetapan Harga, Pembagian Wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup, dan Perjanjian dengan Pihak Luar negeri. Adapun masing-masing perjanjian yang dilarang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Oligopoli

Oligopoli menurut pasal 4 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa:

Ayat (1) “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/ataupemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.”

Ayat (2) “Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi/atau pemasaran barang dan/atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila dua atau tiga pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”. Pasal ini melarang adanya perjanjian atara dua atau tiga pelaku usaha untuk melakukan penguasaan terhadap produksi

(22)

barang atau jasa secara dominan sehingga dapat mempengaruhi harga pasar atau keadaan pasar yang tidak seimbang. Hal itu dikarenakan jumlah produk lebih sedikit dibandingkan dengan keadaan pasar sempurna.

2. Penetapan harga

Perjanjian penetapan harga ini, diatur di dalam Pasal 5 sampai dengan pasal 8 UU/05/1999, menurut pasal ini perjanjian penetapan harga dibedakan menjadi empat bagian yaitu, penetapan harga, diskriminasi harga, penetapan harga di bawah harga pasar, dan penetapan harga jual kembali;

a. Penetapan harga (fixed pricing)

Penetapan harga (fixed pricing) menurut Pasal 5 UU/05/1999 menyatakan bahwa:

1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: a) Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau. b) Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku Penetapan harga yang dimaksud di pasal ini adalah dapat diartikan sebagai penentuan suatu harga yang umum untuk suatu suatu barang atau jasa oleh suatu kelompok pemasok yang bertindak secara bersama-sama. Namun demikian, tidak semua perjanjian penetapan harga (price fixing

(23)

agreement) dilarang karena di dalam ayat (2) perjanjian penetapan harga

menjadi tidak dilarang apabila perjanjian tersebut dibuat dalam usaha patungan dan yang didasarkan kepada undang-undang yang berlaku. b. Diskriminasi Harga

Diskriminasi Harga menurut Pasal 6 UU/05/1999 menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.” Pasal ini menjelaskan bahwa perjanjian diskriminasi merupakan perjanjian perjanjian dilarang yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya terhadap suatu produk yang sama dijual kepada konsumen lainnya dengan harga yang berbeda-beda.

c. Penetapan harga dibawah harga pasar (predatory pricing).

Penetapan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) menurut Pasal 7 UU/05/1999 menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga dibawah harga pasar, yang mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Pasal ini melarang pelaku usaha melakukan kesepakatan dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga jual barang atau jasa di bawah harga standar pasar, sehingga dapat merugikan pelaku usaha lainnya.

(24)

Penetapan harga jual kembali menurut Pasal 8 UU/05/1999 menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Pasal ini melarang perjanjian antara pemasok dan distributor dalam hal pemasokan barang atau jasa dengan kesepakatan bahwa distributor akan menjual kembali pada harga yang ditetap (secara sepihak) atau ditentukan langsung oleh pemasok.

3. Pembagian Wilayah

Pembagian Wilayah menurut Pasal 9 UU/05/1999 menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha dianggap meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar .

4. Pemboikotan

(25)

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha lain untuk pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku suaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:

a) Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau

b) Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar yang bersangkutan.

Pemboikotan yang dimaksud di dalam pasal ini dilakukan dengan perjanjian pemboikotan atau concerted refusal to deal pada umumnya merupakan tindakan kolektif sekelompok pesaing, namun sebenarnya pemboikotan juga dapat dilakukan tanpa melibatkan pelaku usaha lain tanpa perlu membuat perjanjian terlebih dahulu.

5. Kartel

Kartel menurut Pasal 11 UU/05/1999 menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Pasal

(26)

ini melarang adanya persepakatan antar pelaku usaha dan bersekongkolan dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mempengarui harga, mengatur produksi, dan pendistribusian barang atau jasa.

6. Trust

Trust menurut Pasal 12 UU/05/1999 menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Berbeda dengan kartel yang hanya diikat oleh kesepakatan saja, perjanjian trust lebih bersifat integrative. Artinya anggota trust tidak hanya diikat oleh perjanjian juga perusahaan gabungan yang lebih besar.

7. Oligopsoni

Oligopsoni menurut Pasal 13 UU/05/1999 menyatakan bahwa:

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama mengatur pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

(27)

(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Pasal ini menjelaskan bahwa Oligosopni merupakan perjanjian yang dilakukan dengan tujuan secara bersama-sama untuk menguasai pembelian dan atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa dalam pasar.

8. Integrasi vertikal

Integrasi vertikal menurut Pasal 14 UU/05/1999 menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat.”

9. Perjanjian Tertutup

Perjanjian tertutup menurut Pasal 15 UU/05/1999 menyatakan bahwa: (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain

(28)

barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu

(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok

(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwea pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok; harus bersedia membeli barangdan atau jasalain dari pelaku usaha pemasok/ atau tidak akan membeli barang dan atau jasa jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Perjanjian tertutup menurut pasal ini merupakan perjanjian yang mengkondisikan bahwa pemasok dari produk akan menjual produknya hanya jika pembeli (distributor) tidak membeli produk pesaingnya. 10. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri

Perjanjian dengan pihak luar negeri menurut pasal 16 UU/05/1999 menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat

(29)

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.’’

b. Kegiatan Yang Dilarang

Kegiatan yang dilarang menurut UU/05/1999 diatur di dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24 yang memuat 4 (empat) hal yaitu, monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan. Untuk selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Monopoli

Pengertian monopoli dan praktek monopoli berdasarkan pasal 1 ayat (1) dan (2) UU/05/1999 disebutkan bahwa:

1. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

2. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Monopoli dan praktek monopoli menurut pasal ini dapat diketahui bahwa kedua hal tersebut sama-sama dilakukan oleh pelaku usaha, atau kelompok pelaku usaha yang memiliki tujuan untuk penguasaan produksi

(30)

atau pemasaran, penggunaan barang dan jasa, hingga pemusatan kekuatan ekonomi.

Monopoli pasal 17 UU/05/1999 menyatakan bahwa:

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas

produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:

a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau

b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau

c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Praktek monopoli ini memanfaatkan posisi dominan oleh satu atau beberapa pelaku usaha untuk menguasai pasar sehingga dapat menentukan harga barang/jasa sepihak yang dapat merugikan kepentingan umum.

Pengecualian praktek monopoli berdasarkan undang-undang ini,

(31)

“Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah.”

Dalam hal ini monopoli yang dilakukan oleh BUMN masuk dalam pengecualian karena merupakan amanat undang-undang dan monopoli itu dilakukan demi sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

2. Monopsoni

Monopsoni menurut pasal 18 UU/05/1999 menyatakan bahwa:

(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

(32)

Pasal ini memuat larangan untuk melakukan praktek penguasaan tunggal, pembeli tunggal, menguasai lebih dari 50% atau pangsa pasar terhadap satu jenis produk barang maupun jasa tertentu. 3. Penguasaan Pasar

Penguasaan pasar terdapat pada pasal 19, pasal 20, dan pasal 21, UU/05/1999, yang menyatakan bahwa:

Pasal 19 UU/05/1999

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

(1) Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; (2) Atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga

dapat mengakibatkan terjadinya praktek mopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal ini memuat larangan bagi pelaku usaha untuk menolak dan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha, menghalangi konsumen atau pelanggan pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha, membatasi peredaran penjualan barang, dan melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertenu.

(33)

Pasal 20

“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau memastikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Pasal 21

“Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Bentuk-bentuk larangan yang dimuat di dalam pasal 20 dan pasal 21 UU/05/1999 adalah:

1. Jual rugi

Kegiatan jual rugi ini dilarang, jual rugi yang dilakukan bertujuan untuk mematikan pesaingnya.

2. Penetapan biaya secara curang

Penjelasan pasal 21 disebutkan bahwa kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap peraturan perudang-undangan yang berlaku untuk memperoleh biaya faktor-faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya.

(34)

4. Persekongkolan

Pengertian persekongkolan diatur dalam pasal 1 ayat (8) UU/05/1999 yang menyatakan bahwa “Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.” Kegiatan persekongkolan yang dilarang menurut undang-undang ini adalah:

Pasal 22 menyatakan bahwa; “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Pasal 23 menyatakan bahwa: “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Pasal 24 menyatakan bahwa: “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain luntuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketetapan waktu yang dipersyaratkan.”

(35)

Bentuk-bentuk Persekongkolan menurut Pasal 22 sampai dengan pasal 24 UU/05/1999 menjelaskan yang termasuk adalah:

a. Persekongkolan tender

Persekongkolan tender ini merupakan tindakan persekongkolan untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender. Berdasarkan penjelasan pasal 22 undang-undang ini tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Berdasarkan definisi tersebut, tender atau tawaran tersebut pengajuan harga yang dapat dilakukan melalui tender terbuka, tender terbatas, pelelangan umum, dan pelelangan terbatas.

b. Persekongkolan rahasia perusahaan/dagang

Pengertian persekongkolah rahasia perusahaan/dagang mengacu kepada pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang yang menyatakan bahwa “Rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiannya oleh pemilik rahasia dagang.”

Rahasia dangang merupakan properti penting bagi perusahaan, sehingga rahasia dagang tidak boleh dicuri, dibuka atau dipergunakan oleh orang lain tanpa seijin pihak perusahaan yang bersangkutan.

(36)

c. Persekongkolan menghambat produksi dan pemasaran

Persekongkolan ini dilakukan untuk menghambat produksi dan pemasaran barang dan jasa dari pesaing pelaku usaha. Perbuatan itu dilarang karena dapat mengganggu proses produksi dan pemasaran barang dan jasa yang dapat merugikan masyarakat.

5. Posisi Dominan

Posisi dominan yang mengatur larangan bagi pelaku usaha terdapat di dalam pasal 25 sampai dengan pasal 29 UU/05/1999, yaitu mengenai jabatan rangkap, pemilikan saham, dan Penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan. Untuk selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Adapun posisi dominan seperti yang diatur di dalam pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) adalah:

(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:

a. Menetapkan syarat-syarat dengan tujuan untuk mencegah dan menghalang-halangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing baik dari segi harga maupun kualitas; atau

b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi atau

c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:

(37)

a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau

b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Pasal menjelaskan bahwa pelaku usaha dlarangan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk menghalang-halangi konsumen memperoleh barang dan jasa dengan harga yang bersaing, membatasi pasar, dan menghambat pelaku usaha lain atas pasar yang sama.

Posisi dominan yang dimaksud dimiliki oleh dua atau lebih pelaku usaha terhadap penguasaan 50% persen atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu. Sedangkan terhadap dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan apabila menguasai 75% atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu.

Hal-hal yang termasuk di dalam posisi dominan adalah: 1. Jabatan rangkap

Jabatan rangkat menurut pasal 26 UU 05/1999 menyatakan bahwa “Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau

(38)

komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut:

a. Berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau

b. Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau

c. Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal ini menjelaskan bahwa seorang direksi atau komisaris dilarang untuk menduduki jabatan yang sama atas perusahaan lain

apabila perusahaan tersebut berada dalam satu pasar yang sama,

memiliki keterkaitan, dan atau secara bersama-sama menguasai pangsa pasar atau jasa tertentu.

2. Pemilikan saham:

Pemilikan saham menurut pasal 27 UU/05/1999 menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:

(39)

a. Satu pelaku usaha atau satu kemlompok pelaku usaha mengasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tententu.

b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Terdapat dua hal bagi pelaku usaha menurut pasal ini yaitu

pertama kepemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan

sejenis, pada kegiatan dan usaha yang sama yang berada pada pasar yang bersangkutan. Kedua mendirikan beberapa

perusahaan yang sama yang dapat mengakibatkan, penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% (limapuluh persen) sampai dengan 75% (tujuh puluh lima persen) oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha atas satu jenis barang dan atau jasa tertentu.

3. Penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan.

Penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan diatur di dalam pasal 28 dan pasal 29 yang menyatakan bahwa:

Pasal 28

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(40)

(2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambil alihan saham lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau

peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ketentuan mengenai pengambil alihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud ayat dalam (2) pasal ini, diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 29

(1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 yang berakibat nilai asset atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambil alihan tersebut. (2) Ketentuan tentang penetapan nilai asset dan atau nilai

penjualan serta tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambil alihan badan usaha, adalah hal yang dilarang yang apabila dapat mengakibatkan nilai asset atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu karena dapat hal itu mengakibatkan terjadinya praktek

(41)

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Sehingga wajib bagi pelaku usaha untuk memberitahukan kepada komisi persaingan usaha, dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambil alihan tersebut. Dan ketentuan mengenai penetapan nilai aset dan tata cara pemberitahuannya diatur di dalam Peraturan Pemerintah.

2.6. Gudang Barang

2.6.1.Fungsi dan Organisasi Pengelola

Gudang merupakan fasilitas yang berfungsi sebagai lokasi penyaluran barang dari supplier (pemasok), sampai ke end user (pengguna). Dalam praktik operasional, setiap organisasi cenderung memiliki ketidakpastian terhadap permintaan barang. Hal ini mendorong timbulnya kebijakan dari suatu organisasi untuk melakukan sistem persediaan agar permintaan dapat diantisipasi dengan cermat. Dalam hal ini, gudang dapat berperan sebagai tempat untuk menyimpan barang sebelum muncul permintaan dari end user.

Menurut Arwani (2009), peranan gudang dapat dikategorikan dalam tiga fungsi, yaitu:

1. Fungsi penyimpanan (storage and movement)

Merupakan fungsi paling mendasar dari sebuah gudang, yakni penyimpanan barang. Penyimpanan tersebut dapat berupa bahan mentah, setengah jadi, maupun barang jadi, hingga peralatan produksi.

(42)

2. Fungsi melayani permintaan pelanggan (order full-filment)

Aktivitas menerima barang dari pemasok dan memenuhi permintaan dari cabang atau pelanggan menjadikan gudang sebagai fokus aktivitas logistik. Gudang berperan menyediakan pelayanan dengan menjamin ketersediaan produk dan siklus order yang beralasan.

3. Fungsi distribusi dan konsolidasi (distribution and consolidation)

Fungsi distribusi ini menjadikan gudang sebagai kepanjangan tangan dari penjualan dan pemasaran dalam memastikan penyampaian produk dan informasi kepada pelanggan sebagi titik penjualan.

Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, adanya Gudang barang dapat membantu pemerintah dalam mengerjakan tugasnya. Dimana dengan adanya gudang barang, maka efektifitas dan efisiensi dari pengadaan barang akan meningkat. Hal ini dicapai karena adanya pemusatan aktivitas pengelolaan barang milik daerah di lingkungan pemerintahan daerah. Sebagaimana di jelaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 2007 bahwa siklus pengelolaan barang milik daerah adalah sebagai berikut :

1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran 2. Pengadaan

3. Penerimaan, penyimpanan dan penyaluran 4. Penggunaan

5. Penatausahaan 6. Penghapusan

(43)

Keenam aktivitas tersebut saling terkait, dan dari keenam siklus tersebut di atas, gudang barang difungsikan terutama untuk menangani siklus ketiga. Sebagai satu organisasi yang memiliki manajemen sendiri dalam mengelola barang milik daerah, organisasi pengelolaan barang milik daerah harus didukung sistem administrasi yang terintegrasi, mulai dari data kebutuhan, data pemesanan barang, data persediaan, data pengeluaran barang, bahkan sampai estimasi kebutuhan barang pada periode berikutnya. Organisasi pengelola gudang barang dapat disesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016, yaitu ketentuan Pasal 43 yang menyebutkan bahwa “Selain unit pelaksana teknis dinas Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, terdapat unit pelaksana teknis dinas Daerah kabupaten/kota di bidang kesehatan berupa rumah sakit Daerah kabupaten/kota dan pusat kesehatan masyarakat sebagai unit organisasi bersifat fungsional dan unit layanan yang bekerja secara professional”. Kegiatan teknis operasional adalah kegiatan teknis yang secara langsung berhubungan dengan pelayanan masyarakat; sedangkan kegiatan teknis penunjang tertentu adalah kegiatan untuk mendukung pelaksanaan tugas organisasi induknya (penjelasan pasal 41 ayat (1) UU 18/2016). Dengan demikian, bentuk organisasi pengelola gudang barang Pemerintah Kota Tarakan adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang mendukung pelaksanaan tugas Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Tarakan sebagai organisasi induknya, sebagaimana

(44)

pembentukan Gudang Farmasi di Kota Surabaya, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Kudus melalui Peraturan Daerah.

UPTD Gudang Barang Kota Tarakan dapat dibentuk dengan tugas pengelolaan (penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pencatatan dan evaluasi) barang milik daerah berupa alat tulis, barang cetakan dan perlengkapan kantor yang diperlukan semua SKPD di lingkungan Pemerintah Kota tarakan dalam rangka pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut Gudang Barang mempunyai fungsi: (1) Melakukan penerimaan, penyimpanan, pemeliharaan dan pendistribusian alat tulis, barang cetakan dan perlengkapan kantor; (2) Melakukan pencatatan dan pelaporan mengenai persediaan dan penggunaan alat tulis, barang cetakan dan perlengkapan kantor; (3) Melakukan pengamatan terhadap mutu dan fungsi alat tulis, barang cetakan dan perlengkapan kantor secara umum baik yang ada dalam persediaan maupun yang akan didistribusikan; dan (4) Melakukan urusan tata usaha, keuangan, kepegawaian dan urusan dalam.

2.6.2. Susunan Organisasi dan Uraian Tugas

Sebagai UPTD yang melaksanakan kegiatan teknis penunjang untuk mendukung pelaksanaan tugas organisasi induknya, UPTD Gudang Barang memiliki susunan yang terdiri dari: (1) Unsur Pimpinan: Kepala Gudang Barang; (2) Unsur Pembantu Pimpinan: Sub Bagian Tata Usaha; dan (3) Unsur Pelaksana :

(45)

Seksi Penyimpanan dan Penyaluran, Seksi Pencatatan, Monitoring dan Evaluasi. Bagan Susunan Organisasi UPTD Gudang Barang Kota Tarakan dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1

BAGAN SUSUNAN ORGANISASI UPTD GUDANG BARANG KOTA TARAKAN

Uraian tugas masing-masing unsur sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1 tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kepala Gudang Barang

Kepala Gudang Barang dalam melaksanakan tugasnya berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepala Kepala DPPKA. Tugas Kepala Gudang Barang adalah:

a. menyusun rencana kebijaksanaan di bidang perbekalan Barang dalam rangka penetapan kebijakan oleh Kepala Dinas;

KEPALA GUDANG BARANG KEPALA SUB BAGIAN TATA USAHA KEPALA BIDANG PENCATATAN, MONITORING DAN EVALUASI KEPALA BIDANG PENYIMPANAN DAN PENYALURAN

(46)

b. membagi tugas dan mengkoordinasikan Sub Bagian dan Seksi-Seksi dalam pelaksanaan tugasnya agar terjalin hubungan kerja yang harmonis;

c. menilai prestasi kerja bawahan berdasarkan hasil yang dicapai agar sesuai dengan rencana dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; d. menegakkan disiplin, semangat kerja dan ketenagaan kerja untuk

memungkinkan tercapainya produktivitas tinggi;

e. merencanakan, mengkoordinir dan mengawasi pelaksanaan tugas-tugas keuangan, kepegawaian, tata usaha dan urusan dalam satuan kerja; f. melakukan penyusunan rencana kebutuhan, pencatatan dan pelaporan

mengenai persediaan dan penggunaan ATK, Barang Cetakan dan Perlengkapan Kantor lainnya;

g. menyelenggarakan tata buku pergudangan yang cukup jelas dan mudah dikontrol, serta membukukan setiap mutasi barang;

h. mengevaluasi hasil kegiatan Gudang Barang secara keseluruhan;

i. menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan berdasarkan laporan bawahan kepada Kepala Dinas;

2. Sub Bagian Tata Usaha

Sub Bagian Tata Usaha dipimpin oleh seorang Kepala Sub Bagian yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Gudang Barang. Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas:

a. menyusun rencana Sub Bagian Tata Usaha berdasarkan data program Gudang Barang dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

(47)

b. membagi tugas kepada bawahan agar pelaksanaan tugas dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. melaksanakan urusan kepegawaian dan kesejahteraannya;

d. melaksanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan dalam dan keamanan;

e. melaksanakan tata usaha perkantoran satuan kerja;

f. mengevaluasi hasil pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

g. membuat laporan pelaksanaan kegiatan untuk disampaikan kepada atasan. 3. Bidang Penyimpanan dan Penyaluran

Bidang Penyimpanan dan Penyaluran dipimpin oleh seorang kepala Bidang yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada kepala Gudang Barang. Tugas Bidang Penyimpanan dan Penyaluran adalah:

a. Menyusun rencana kegiatan bidang Penyimpanan dan Penyaluran berdasarkan data program Gudang Barang dan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku;

b. Membagi tugas kepada bawahan agar pelaksanaan tugas dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku;

(48)

c. Mengatur dan mendistribusikan tugas, memberi petunjuk sesuai dengan petunjuk kerja dan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku agar tercapai keserasian dan kebenaran kerja;

d. Melaksanakan penerimaan, penyimpanan, pemeliharaan dan pengeluaran barang ATK, Barang Cetakan dan Perlengkapan Kantor lainnya;

e. Melaksanakan kegiatan pengamatan terhadap kualitas barang ATK, Barang Cetakan dan Perlengkapan Kantor lainnya yang ada dalam persediaan dan yang akan didistribusikan;

f. Melaksanakan pencatatan barang ATK, Barang Cetakan dan Perlengkapan Kantor lainnya yang disimpan;

g. Melakukan pencatatan segala penerimaan dan pengeluaran barang ATK, Barang Cetakan dan Perlengkapan Kantor lainnya;

h. Melakukan penyiapan surat kiriman barang ATK, Barang Cetakan dan Perlengkapan Kantor lainnya ;

i. Mengevaluasi hasil pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku;

j. Membuat laporan pelaksanaan kegiatan untuk disampaikan kepada atasan. 4. Bidang Pencatatan, Monitoring dan Evaluasi

Bidang Pencatatan dan Evaluasi dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Gudang Barang;

(49)

Bidang Pencatatan dan Evaluasi mempunyai tugas:

a. Menyusun rencana kegiatan bidang Pencatatan dan Evaluasi berdasarkan data program Gudang Barang dan ketentuan peraturan perundang -undangan yang berlaku;

b. Membagi tugas kepada bawahan agar pelaksanaan tugas dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku; c. Mengatur dan mendistribusikan tugas, memberi petunjuk sesuai dengan petunjuk kerja dan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku agar tercapai keserasian dan kebenaran kerja;

d. Melaksanakan kegiatan pencatatan, monitoring dan evaluasi dari persediaan barang di Gudang Barang dan semua SKPD serta ATK, Barang Cetakan dan Perlengkapan Kantor lainnya;

e. Melakukan penyiapan penyusunan rencana kebutuhan ATK, Barang Cetakan dan Perlengkapan Kantor lainnya yang diperlukan SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Tarakan;

f. Melaksanaan pengelolaan dan pencatatan ATK, Barang Cetakan dan Perlengkapan Kantor lainnya;

g. Melaksanakan administrasi atas semua barang yang diterima, disimpan maupun yang akan didistribusikan ke semua SKPD;

h. Menyiapkan dokumen mutasi barang dan surat - surat perintah penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran barang;

(50)

i. Menyiapakan laporan mutasi barang secara berkala dan laporan pencatatan ATK, Barang Cetakan dan Perlengkapan Kantor akhir tahun anggaran, baik unit maupun dalam rupiah;

j. Mengevaluasi hasil pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku;

k. Membuat laporan pelaksanaan kegiatan untuk disampaikan kepada atasan 2.7. Efisiensi Keuangan

Rencana sentralisasi pengadaan alat tulis kantor / ATK oleh kotamadya Tarakan akan dilakukan dengan pertimbangan bahwa selama ini pengadaan ATK yang dilakukan secara desentralisasi oleh masing-masing satuan kerja pemerintah daerah / SKPD secara ekonomis tidak efisien, karena walaupun pelaksanaannya dilaksanakan secara tender yang terkendali namun masih menimbulkan ketidak efisienan secara menyeluruh. Analsis efisiensi secara keuangan pada bahasan ini dilakukan dengan membandingkan antara dokumen pelaksanaan anggaran SKPD dengan anggaran SKPD.

Unefficiency pelaksanaan pengadaan alat tulis dan barang cetakan dalam

analisa keuangan ini didasarkan pada penyimpangan yang terjadi pada pelaksanaan anggaran seluruh SKPD yang diukur menggunakan standar deviasi pelaksanaan anggaran masing-masing SKPD yang terjadi dikurangi dengan standard deviasi yang diperkirakan normal terjadi, yaitu yang umumnya

(51)

disebabkan oleh pergerakan inflasi dan kegiatan insidentil yang tidak diperhitungkan pada saat penyusunan anggaran masing-masing SKPD.

Selanjutnya, digambarkan bahwa rencana untuk mengatasi unefficiency tersebut secara teknis seperti telah digambarkan pada aspek teknis dan operasi adalah melakukan sentralisasi pengadaan ATK dan barang cetakan. Untuk itu direncanakan akan membangun gudang ATK dan alat tulis di mana setiap SKPD harus mengakses unit pengadaan ATK dan barang tersebut pada setiap saat SKPD membutuhkan, sehingga terjadi effisiensi waktu dan biaya, karena secara tehnis setiap SKPD tidak perlu melakukan lelang pengadaan, dan secara finansiil lebih efisien, karena selain harga lelang hanya dilakukan oleh unit pengadaan, supplier tidak terlalu banyak seperti jika lelang dilakukan oleh setiap SKPD.

Pada analisis aspek keuangan ini investasi gudang ATK dan barang cetakan diperkirakan dengan luasan dan harga hipotetis yang besar kecilnya berdasar harga umum yang berlaku. Investasi gudang ini merupakan cash

outflow yang kelayakan pembangunannya akan dibandingkan dengan cash inflow.

Expected cash inflow dalam kajian keuangan ini diperkirakan dari besaran unefficiency yang terjadi selama ini, dengan data pendukung dokumen pelaksanaan anggaran ATK dan barang cetakan seluruh SKPD di Kota Tarakan selama 5 tahun (2011 – 2015).

(52)

2.8. Investasi Aktiva Tetap dan Penilaian Kelayakan 2.8.1. Benefit Cost Analysis

Benefit Cost Analysis/BCA sering digunakan oleh pemerintah atau bisnis

sector swasta, untuk menilai baik tidaknya kebijakan tertentu. BCA adalah analisis keseimbangan antara benefit yang diharapkan dibandingkan dengan cost-nya. BCA membantu untuk mempertimbangkan apakah kebijakan tertentu lebih menguntungkan dibanding cost-nya, dibanding dengan alternative lain yang ada yang dianggap juga menguntungkan, sehingga pemerintah atau bisnis swasta dapat merankingnya berdasar rasio BCA-nya.

Pada umumnya, keakurasian BCA dapat menunjukkan pilihan-pilihan yang meningkatkan kesejahteraan dari sudut pandang kemanfaatannya. Analis yang menggunakan BCA harus menyadari bahwa estimasi yang tepat sulit dilakukan, akan tetapi BCA memberikan estimasi yang paling baik, walaupun tidak ada jaminan bahwa secara ekonomis dan kesejahteraan social akurat.

Dalam kajian keuangan ini, yang digunakan sebagai cost adalah nilai bangunan gudang yang direncanakan akan dibangun dan perlengkapannya, sedangkan nilai benefit-nya adalah penghematan yang dihitung berdasar estimasi unefficiency biaya ATK dan pengadaan barang cetak dan penggandaan. Jika nilai BCA lebih besar dari 1 (satu) maka dikatakan proyek layak untuk dilaksanakan.

(53)

2.8.2. Time dan discounting

BCA umumnya meletakkan benefit dan cost pada periode yang relevan dengan kemanfaatannya dan terjadinya cost tersebut. Ini dilakukan dengan merubah arus biaya yang akan dikeluarkan di masa depan maupun benefit yang akan diterima menjadi nilai sekarang, dengan discount rate tertentu. Studi empirik menunjukkan bahwa dalam realitas orang juga memperhitungkan hal seperti itu. Pemilihan discount rate sifatnya subjective, jika discount rate-nya rendah maka ada kecenderungan menilai arus kas masa depan mendekati arus kas saat ini, sebaliknya jika discount rate-nya tinggi maka cenderung menilai arus kas masa depan jauh lebih rendah, atau dikatakan ada ketertarikan orang terhadap time inconsistency.

2.8.3. Metode Penilaian Kelayakan Proyek Lainnya

Benefit Cost Analysis/BCA dalam literature lain sering dikatakan juga

dengan istilah Profitability Index/PI. Yaitu membandingkan antara present value arus kas masuk dibanding present value arus kas keluar. Jika nilai rasio

profitability index di atas 100%, dikatakan proyek layak untuk dilaksanakan.

Kriteria lain untuk menilai proyek adalah net present value/NPV, yang per definisi adalah selisih antara present value arus kas masuk dengan present value arus kas keluar, dimana present value dihitung menggunakan biaya modal rata-rata tertimbang / weighted average cost of capital/WACC, jika untuk mendanai proyek menggunakan modal sendiri dan modal pinjaman. Jika NPV positif

(54)

dikatakan bahwa proyek layak untuk dilaksanakan dan sebaliknya jika NPV negatif berarti proyek tidaak layak untuk dilaksanakan.

Internal Rate of Return/IRR adalah kriteria lain untuk menilai kelayakan

proyek, yang per definisi, IRR adalah discount factor yang menyamakan nilai

present value arus kas masuk sama dengan present value arus kas keluar, atau

dengan kata lain bahwa IRR adalah discount factor yang menghasilkan NPV = 0. Jika angka IRR lebih besar dari biaya modal rata-rata tertimbang/WACC maka dikatakan bahwa proyek layak untuk dilaksanakan, dan sebaliknya jika IRR lebih rendah dari biaya modal rata-rata tertimbang, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan.

Payback Period merupakan periode seberapa lama arus kas keluar

kembali dalam bentuk arus kas masuk, tanpa memperhitungkan time value of

money. Semakin cepat periode pengembalian arus kas keluar tersebut, semakin

baik kualitas proyek. Akan tetapi payback period tidak dapat digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya proyek untuk dilaksanakan. Jadi kriteria

payback period hanya digunakan sebagai pelengkap penilaian kelayakan.

Discounted Payback Period, cara perhitungannya sedikit berbeda, karena

arus kas masuk proyek atau arus kas keluar proyek yang terjadi di tahun 1 dan seterusnya, harus dinilai menurut present value-nya, dan untuk menilai present

(55)

Hasilnya adalah discounted payback period-nya selalu lebih lama dibanding

payback period-nya.

Kesimpulan akhir penilaian kelayakan menggunakan BCA, Profitability

Index, NPV dan IRR selalu sama, dalam arti jika metode yang satu menyatakan

layak untuk dilaksanakan, maka metode lainnya juga menyatakan layak untuk dilaksanakan. Metode Payback Period akan menambah penilaian bahwa semakin cepat periode pengembalian, semakin baik proyek tersebut.

2.8.4. Sensitivity Analysis

Analisis sensitivitas digunakan untuk menilai ketahanan proyek jika beberapa faktor yang berubah tidak seperti yang diperkirakan, sehingga bisa diperkirakan apakah proyek masih layak jika salah satu variabel berubah sedangkan variabel lain tetap konstan atau tidak berubah, atau sudah sesuai ekspektasi. Selain itu juga dapat diperkirakan jika 2 variabel sama-sama berubah apakah proyek masih layak dilaksanakan? Perhitungan sensitivity analysis tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan program excel, dengan perintah “What If Analysis”

Gambar

Tabel 4.3 ALAT TULIS KANTOR (Dalam Ribuan Rupiah)
Tabel 4.4.  Investasi Aktiva Tetap (Dalam Ribuan Rupiah)

Referensi

Dokumen terkait

5 Tahun 1999 melarang perbuatan tersebut dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi

Pada Pasal 12, Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha diatur mengenai trust yang dituliskan, “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar,

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan

Pasal 13 ayat 1 UU No.5/1999 menyebutkan bahwa “ pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama – sama menguasai pembelian

“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan

Perjanjian yang Dilarang dalam Monopoli dan Persaingan Usaha Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5 tahun 1999 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai

Pasal 13 ayat 1 UU No.5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian