• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur dan Anatomi Karang

Istilah karang mempunyai banyak arti, tapi umumnya berhubungan dengan order scleractinia, semua karang yang membentuk kapur. Karang terbagi atas dua kelompok yaitu karang yang membentuk terumbu (hermatypic coral) dan karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatypic coral). Kelompok pertama dalam prosesnya bersimbiosis dengan zooxanthellae dan membutuhkan sinar matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian reef building corals, sementara kelompok kedua tidak dapat membentuk bangunan kapur yang dikenal dengan non–reef building corals yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron 1986).

Karang yang hidup di laut tampak terlhat seperti batuan dan tanaman yang memiliki bentuk, ukuran dan warna yang berbeda-beda. Tetapi sebenarnya setiap koloni (bentuk) karang merupakan kumpulan hewan-hewan kecil yang dinamakan polip. Polip adalah makhluk yang sangat sederhana dan termasuk dalam hewan tak bertulang belakang. Polip memiliki sebuah mulut yang dikelililingi oleh tentakel-tentakel yang dapat menyengat. Pada tentakel terdapat sel-sel racun yang digunakan untuk menangkap berbagai jenis hewan dan tumbuhan laut yang sangat kecil atau disebut plankton sebagai bahan makanan (Sukarno R 18 Januari 2007, komunikasi pribadi).

Menurut Suharsono (1996, 2005) karang merupakan binatang yang sederhana berbentuk tabung dengan mulut berada diatas yang juga berfungsi sebagai anus. Di sekitar mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Mulut dilanjutkan dengan tenggorokan yang pendek yang langsung menghubungkan dengan rongga perut. Di dalam rongga perut terdapat semacam usus yang disebut dengan mesentri filamen yang berfungsi sebagai alat pencerna. Untuk tegaknya seluruh jaringan, polip didukung oleh kerangka kapur sebagai penyangga. Kerangka kapur ini berupa lempengan-lempengan yang tersusun secara radial dan berdiri tegak pada lempeng dasar. Lempengan yang berdiri ini disebut sebagai septa yang tersusun dari bahan anorganik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip karang.

(2)

Dinding dari polip karang terdiri dari tiga lapisan yaitu ektoderm, endoderm dan mesoglea. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel antara lain sel mucus dan sel nematocyst. Endoderm berada dilapisan dalam yang sebagian besar selnya berisi sel algae yang merupakan simbion karang. Sedangkan mesoglea merupakan jaringan yang ditengah berupa jelly. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril-fibril sedangkan dilapisan luar terdapat sel semacam sel otot. Seluruh permukaan jaringan karang dilengkapi dengan cilia dan flagela. Kedua sel ini berkembang dengan baik di tentakel dan di dalam sel mesenteri. Pada lapisan ektoderm banyak dijumpai sel glandula yang berisi mucus dan sel knidoblast yang berisi sel nematocyts. Nematocyts merupakan sel penyengat yang berfungsi sebagai alat penangkap makanan dan mempertahankan diri. Sedangkan sel mucus berfungsi sebagai produsen mucus yang membantu menangkap makanan dan untuk membersihkan diri dari sedimen yang melekat.

Karang mempunyai sistem syaraf, jaringan otot dan reproduksi yang sederhana akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Jaringan syaraf yang sederhana ini tersebar baik di ektoderm, endoderm dan mesoglea yang dikoordinasi oleh sel khusus yang disebut sel junction yang bertanggung jawab memberi respon baik mekanis maupun khemis terhadap adanya stimuli cahaya.

Jaringan otot yang sederhana biasanya terdapat diantara jaringan mosoglea yang bertanggung jawab atas gerakan polip untuk mengembang atau mengkerut sebagai respon perintah jaringan syaraf. Sinyal jaringan itu tidak hanya di dalam satu polip tetapi juga diteruskan ke polip yang lain.

Jaringan mesenterial filamen berfungsi sebagai alat pencernaan yang sebagian besar selnya berisi sel mucus yang berisi enzim untuk mencerna makanan. Lapisan luar dari jaringan mesenteri filamen dilengkapi sel cilia yang halus.

Organ reproduksi karang berkembang diantara mesenteri filamen. Pada saat tertentu organ-organ reproduksi terlihat dan pada waktu yang lain menghilang, terutama untuk jenis karang yang hidup di daerah sub tropis. Untuk karang yang hidup di daerah tropis organ reproduksi ini dapat ditemukan sepanjang tahun karena siklus reproduksinya terjadi sepanjang tahun. Dalam satu polip dapat ditemukan organ betina saja atau jantan saja atau kedua-duanya (hermaprodit).

(3)

Namun karang hermaprodit jarang yang mempunyai tingkat pemasakan antara gonad jantan dan betina matang pada saat yang bersamaan.

Pemberian nama karang adalah berdasar skeleton yang terbuat dari kapur, oleh karena itu pengenalan terminologi skeleton sangat penting artinya. Untuk memperoleh gambaran tentang karang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur polip dan kerangka kapur karang (Suharsono 2005).

Lempeng dasar yang merupakan lempeng yang terletak di dasar sebagai fondasi dari septa yang muncul membentuk struktur yang tegak dan melekat pada dinding yang disebut epitheca (epiteka). Keseluruhan skeleton yang terbentuk dari

(4)

satu polip disebut corallite (koralit), sedangkan keseluruhan skeleton yang dibentuk oleh keseluruhan polip dalam satu individu atau satu koloni disebut corallum (koralum). Permukaan koralit yang terbuka disebut calyx (kalik). Septa dibedakan menjadi septa utama, kedua, ketiga dan seterusnya tergantung dari besar kecilnya dan posisinya. Septa yang tumbuh hingga mencapai dinding luar dari koralit disebut costae (kosta). Pada dasar sebelah dalam dari septa tertentu sering dilanjutkan suatu struktur yang disebut pali. Struktur yang berada di dasar dan di tengah koralit yang sering merupakan kelanjutan dari septa disebut columella (kolumela).

Dari cara terbentuknya koralit maka dibedakan menjadi extra tentacular jika koralit yang baru terbentuk di luar koralit yang lama. Intra tentacular jika koralit yang baru terbentuk di dalam koralit yang lama. Cara pembentukan koloni karang yang demikian akhirnya membentuk berbagai bentuk koloni yang dibedakan berdasar konfigurasi koralit.

2.2 Sistematika dan Karakteristik Karang

Sistematika klasifikasi karang yang menjadi obyek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1 Sistematika karang (Veron 1986)

Kelas Ordo Sub-Ordo Familia Genus Species

Madracis M. Kirbyi Palauastrea P. Ramosa P. Damicornis P. Eydouxi P. Meandrina P. Verrucosa Pocillopora P. Woodjonesi S. Caliendrum Seriatopora S. Hystrix Anthozoa Scleractinia Archaecoenina Pocilloporidae

Stylophora S. Pistillata

Pocilloporidae terdiri dari genus madracis, palauastrea, pocillopora, seriatopora dan stylophora yang semuanya dapat ditemukan di Indonesia. Berikut

(5)

ini adalah karakteristik dari family pocilloporidae dan genus-genusnya (Suharsono 1996, 2005; Veron 1986).

Family Pocilloporidae

• Koloni bercabang atau submasive, ditutupi bintil-bintil disebut verrucosae. • Koralit hampir tenggelam dan kecil.

• Kolumela berkembang dengan baik.

• Septa dua tingkat dan bergabung dengan kolumela. • Diantara koralit dipenuhi duri-duri kecil.

Genus Madracis

• Koloni merayap berupa lembaran atau membentuk pilar.

• Koralit cerioid (dinding dari koralit yang berdekatan menjadi satu) dengan sudut-sudut membulat dengan kolumela membentuk tonjolan.

• Jumlah septa sepuluh yang masing-masing menyatu dengan kolumela. • Warna cenderung coklat atau hijau.

Gambar 2 Genus madracis.

Genus Palauastrea • Koloni bercabang. • Koralit membulat.

• Septa menyatu dengan kolumela membentuk tonjolan. • Warna hijau kecoklatan dengan ujung cenderung memutih.

(6)

Gambar 3 Genus palauastrea.

Genus Pocillopora

• Koloni bercabang dan submasive. • Koralit hampir tenggelam. • Septa bersatu dengan kolumela

• Percabangan relatif besar dengan permukaan berbintil-bintil yang disebut verrucosae. Hal ini menjadi ciri khas yang membedakannya dari genus yang lain.

Gambar 4 Genus pocillopora.

Genus Seriatopora

• Koloni bercabang dan cabang-cabangnya dapat bersatu. • Koralit tersusun secara seri sepanjang percabangan. • Kolumela berbentuk tonjolan

• Percabangan relatif kecil dan ramping serta saling bersatu dengan ujung runcing.

(7)

Gambar 5 Genus seriatopora. Genus Stylophora

• Koloni bercabang dengan percabangan tumpul. • Kolumela menonjol dengan septa terlihat jelas. • Diantara koralit ditutupi duri-duri kecil.

Gambar 6 Genus stylophora.

2.3 Pengolahan Citra

Defenisi citra menurut kamus Webster adalah suatu representasi, kemiripan atau imitasi dari suatu obyek atau benda (Balza & Kartika 2005). Citra sebagai salah satu komponen multimedia memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Citra adalah gambar pada bidang dua dimensi dan jika ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontiniu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi, sumber cahaya menerangi obyek, obyek memantulkan kembali sebagian dari berkas cahaya tersebut, pantulan cahaya ini ditangkap oleh alat-alat optik sehingga banyangan obyek tersebut terekam (Munir 2004).

(8)

Pengolahan citra (image processing) merupakan bidang yang bersifat multidisiplin, yang terdiri dari banyak aspek, antara lain: fisika, elektronika, matematika, seni, fotografi dan teknologi komputer.

Pengolahan citra memiliki hubungan yang sangat erat dengan disiplin ilmu yang lain seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Jika inputnya citra dan outputnya citra maka termasuk dalam pengolahan citra (image processing). Jika inputnya citra dan outputnya suatu informasi yang merepresentasikan citra tersebut maka dinamakan pengenalan pola (pattern recognition).

Gambar 7 Disiplin ilmu pengolahan citra (Balza & Kartika 2005).

Ada dua macam citra, yaitu citra kontiniu dan citra diskrit. Citra kontiniu dihasilkan dari sistem optik yang menerima sinyal analog, seperti mata manusia atau kamera analog. Citra diskrit dihasilkan melalui proses digitalisasi terhadap citra kontiniu (Munir 2004).

Pengolahan citra menghasilkan citra baru, termasuk di dalamnya perbaikan citra (image restoration) dan peningkatan kualitas citra (image enhancement). Analisis citra digital menghasilkan suatu keputusan atau suatu data termasuk di dalamnya pengenalan pola.

Operasi pengolahan citra antara lain (Balza & Kartika 2005) :

1. Operasi titik, dimana pengolahan dilakukan pada tiap titik dari citra. 2. Operasi global, dimana karakteristik global (bersifat statistik) dari citra

digunakan untuk memodifikasi nilai setiap titik.

3. Operasi temporal, dimana suatu citra diolah dengan cara dikombinasikan dengan citra lain.

CITRA DESKRIPSI/

INFORMASI Grafika Komputer

Pengenalan Pola

(9)

4. Operasi geometri, dimana bentuk, ukuran atau orientasi citra dimodifikasi secara geometris.

5. Operasi banyak titik bertetangga, dimana data dari titik-titik yang bersebelahan dengan titik yang ditinjau ikut berperan dalam mengubah nilai.

6. Operasi morfologi, yaitu operasi yang berdasarkan segmen atau bagian dalam citra yang menjadi perhatian.

2.4 Representasi Citra Digital

Citra digital adalah sebuah fungsi intensitas cahaya f(x,y) dengan x dan y menunjukkan koordinat spasial dari nilai f pada tiap titik (x,y) menunjukkan kecerahan citra pada titik tersebut (Gonzales & Woods 2002).

Setiap citra digital direpresentasikan dalam bentuk matriks berukuran m x n, dimana m dan n menunjukkan banyaknya elemen baris dan kolom dari matriks tersebut. 1 1 1 1 ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) n m m n f x y f x y f x y f x y f x y ⎛ ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ = ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ K K M O M M O M L L (1)

Dari persamaan 1 terlihat bahwa citra dapat disajikan dalam bentuk matrik. Tiap sel matrik disebut picture element disingkat dengan pixel yang mewakili tingkat keabuan atau intensitas warna. Pada citra digital dengan format 8 bit akan memiliki 256 (28) intensitas warna. Nilai ini berkisar antara 0 sampai dengan 255 dengan nilai 0 menunjukkan intensitas paling gelap dan nilai 255 menunjukkan intensitas paling terang.

2.5 Mode Citra

Mode citra yang akan digunakan pada penelitian ini adalah citra warna dan citra grayscale.

(10)

2.5.1 Citra warna (true color)

Pada citra warna, setiap titik mempunyai warna yang spesifik yang merupakan kombinasi dari unsur warna merah, hijau dan biru. Format citra ini sering disebut sebagai citra RGB (red-green-blue).

Dasarnya adalah warna-warna yang diterima oleh mata manusia merupakan hasil kombinasi cahaya dengan panjang gelombang berbeda. Penelitian memperlihatkan bahwa kombinasi warna yang memberikan rentang warna paling lebar adalah warna merah (red), hijau (greeen) dan biru (blue) (Munir 2004).

Jumlah kombinasi warna yang mungkin untuk format citra ini adalah 224 atau lebih dari 16 juta warna dengan demikian bisa dianggap mencakup semua warna yang ada, inilah sebabnya format dinamakan true color (Balza & Kartika 2005).

2.5.2 Citra keabuan (grayscale)

Pada citra grayscale pada umumnya warna yang dipakai adalah antara hitam sebagai warna minimal dan putih sebagai warna maksimal, sehingga warna antaranya adalah abu-abu. Namun pada prakteknya warna yang dipakai tidak terbatas pada warna abu-abu, sebagai contoh dipilih warna minimalnya adalah putih dan warna maksimalnya merah, maka semakin besar nilainya semakin besar pula intensitas warna merahnya. Sehingga format citra ini dapat juga disebut sebagai citra intensitas.

2.6 Ekstraksi Ciri

Tujuan ekstraksi ciri (feature extraction) adalah untuk mereduksi data sebenarnya dengan melakukan pengukuran terhadap properti atau ciri tertentu yang membedakan pola masukan (input) satu dengan yang lainnya (Duda et al. 2001). Ciri yang menjadi masukan memiliki karateristik dan dapat mendeskripsikan properti yang relevan dari citra ke dalam ruang ciri (feature space) dalam dimensi D. Pada persamaan dibawah ini pixel dari citra grayscale ditransformasikan ke dalam ruang vektor (feature vector).

1 2 [ , ,..., D]

X = x x x (2)

(11)

2.6.1 Warna

Menurut Pitas (1993), model warna RGB mengandung tiga komponen warna yaitu merah (Red), hijau (Green) dan biru (Blue) atau disebut juga sebagai warna primer. Model warna RGB didasarkan pada sistem koordinat cartesian berbentuk kubus. Rentang nilai R, G dan B merupakan representasi semua vektor warna dalam ruang tiga dimensi R-G-B. Model warna RGB merupakan kombinasi dari tiga lapisan warna sehingga menghasilkan satu warna komposit.

Magenta Biru 240º Cyan Merah 0º Kuning Hijau 120º 1.0 Putih 0.0 Hitam 0.5 (a) RGB (b) HSV Gambar 8 Model warna RGB dan HSV.

Pada Gambar 8 (a) menunjukkan bahwa koordinat awal (0,0,0) adalah warna hitam, dan koordinat (1,1,1) adalah warna putih. Warna abu-abu berada disepanjang garis diagonal antara koordinat (0,0,0) sampai dengan (1,1,1), magenta merupakan hasil campuran antara warna biru dan merah, kuning antara merah dan hijau dan cyan antara biru dan hijau.

Pengambilan nilai feature dari masing-masing unsur warna dilakukan dengan menormalisasi setiap unsur warna dengan persamaan sebagai berikut :

R r R G B = + + (3) G g R G B = + + (4)

(12)

B b

R G B =

+ + (5)

Untuk mendapatkan informasi dari tingkat kecerahan citra maka citra RGB dikonversi ke dalam model warna hue, saturation, value (HSV) (Gambar 8 (b)). Model warna HSV mempunyai tiga atribut warna,yaitu :

• Hue berhubungan dengan ragam warna adalah nilai sudut antara vektor warna aktual dan vektor warna referensi.

• Saturation berhubungan dengan kecerahan warna adalah persentasi dari pencahayaan ditambah warna referensi.

• Value berhubungan dengan intensitas warna.

Untuk menghitung nilai HSV berdasarkan nilai RGB dilakukan dengan persamaan berikut :

(

)

(

)

0 60 G B ; H R Max Max Min ⎡ − ⎤ = + = − ⎣ ⎦ (6)

(

)

(

)

120 60 B R ; H G Max Max Min ⎡ − ⎤ = + = − ⎣ ⎦ (7)

(

)

(

)

240 60 R G ; H B Max Max Min ⎡ − ⎤ = + = − ⎣ ⎦ (8)

(

Max Min

)

S Max − = (9) V =Max (10)

dimana Max adalah nilai maksimum dan Min nilai minimum dari citra RGB.

2.6.2 Tekstur

Walaupun tidak ada defenisi formal dari konsep tekstur, tapi secara intuisi tekstur mendeskripsikan karakterisitik permukaan dari sebuah obyek seperti halus, licin, kasar dan sebagainya (Gonzalez and Woods 2002). Tujuan analisa tekstur adalah memperoleh beberapa parameter yang dapat digunakan dalam

(13)

menggolongkan tekstur tertentu. Hasilnya menjadi referensi dalam mendeskripsikan bentuk obyek (Nixon dan Aguado 2002).

Ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menganalisa tekstur dari sebuah citra yaitu statistik, struktural dan spektral. Pendekatan statistik menghasilkan karakteristik permukaan citra seperti halus, licin, kasar dan sebagainya. Teknik struktural menghasilkan garis-garis beraturan yang merepresentasikan citra. Teknik spektral berdasarkan spektrum Fourier yang mendeteksi perubahan global dari citra dengan cara mengidentifikasi tingkat keseragaman dan puncak spektrumnya (Gonzalez & Woods 2002).

Pada penelitian ini digunakan pendekatan statistik untuk mengukur nilai tekstur. Dimana umumnya pendekatan statistik mempunyai dua konsep yaitu: first dan second order spatial statistics (Tuceryan & Jain 1998).

(i) First-order statistics mengukur peluang nilai gray secara random pada citra grayscale. First-order statistics dapat dihitung dari histogram intensitas pixel pada sebuah citra. Nilai yang dihasilkan hanya pada satu pixel yang diukur dan tidak berpengaruh pada nilai pixel yang bersebelahan dengannya. Rata-rata intensitas pada sebuah citra adalah contoh dari first-order statistic.

(ii) Second-order statistics mengukur peluang nilai dari pasangan pixel yang bersebelahan secara random pada sebuah citra di lokasi dan arah yang random. Propertinya dari pasangan tersebut adalah nilai pixel.

Ada tiga metode analisa tekstur yang digunakan yaitu: statistical moment, gral-level co-occurrence matrix dan local binary patterns.

2.6.2.1 Statistical Moment

Menurut Gonzalez dan Woods (2002) untuk mendapatkan nilai-nilai tekstur dilakukan dengan menghitung momen statistik intensitas histogram dari sebuah citra grayscale. Nilai yang dihitung adalah rata-rata intensitas (mean), standar deviasi, kehalusan permukaan (smoothness), kesimetrisan histogram (third moment), ragam variasi gray level (uniformity) dan keteracakan distribusi (entropy). Untuk menghitung nilai-nilai tersebut dilakukan dengan persamaan berikut:

(14)

Mean

( )

1 0 L i i i mz p z = =

(11) Standard deviation

(

( )

)

12 2 z σ = μ (12) Smoothness

(

2

)

1 1 1 R σ = − + (13) Third Moment 1

(

) ( )

3 3 0 L i i i z m p z μ − = =

− (14) Uniformity 1 2

( )

0 L i i Up z = =

(15) Entropy 1

( )

2

( )

0 log L i i i ep z p z = =

(16)

dengan zi = intensitas citra

p = probability μn = moment ke n.

2.6.2.2 Gray-level Co-occurrence Matrix (GLCM)

Metode GLCM didefenisikan oleh Haralick et al. pada tahun 1973 yang merupakan fungsi kepadatan peluang bersyarat orde kedua yang bertujuan menganalisa pasangan pixel yang bersebelahan secara horizontal (Chandraratne et al. 2003).

Nilai tekstur dihasilkan dengan menghitung nilai threshold global citra grayscale (level), standar deviasi, energy, contrast, homogeneity dan entropy pada citra grayscale. Energy berfungsi untuk mengukur konsentrasi pasangan gray level pada matriks co-occurance, contrast berfungsi untuk mengukur perbedaan lokal dalam citra, homogeneity berfungsi untuk mengukur kehomogenan variasi gray level lokal dalam citra dan entropy berfungsi untuk mengukur keteracakan dari distribusi perbedaan lokal dalam citra. Persamaan untuk menghitung nilai level dan standard deviasi pada metode ini sama dengan persamaan (11) dan (12) di metode statistical moment. Sementara untuk menghitung nilai energy, contrast, homogeneity dan entropy dapat dilakukan dengan persamaan berikut (Tuceryan & Jain 1998):

(15)

Energy 2

( )

, i j p i j

(17) Contrast

(

) ( )

2 , i j i j p i j

(18) Homogeneity

( )

, 1 i j p i j i j + −

(19) Entropy

( )

, log

(

( )

,

)

i j p i j p i j

(20) dengan p = probability

i,j = koordinat pixel citra grayscale (0…255). 2.6.2.3 Local Binary Patterns (LBP)

Metode LBP dikenalkan oleh Ojala et al. pada tahun 2002 (Ojala et al. 2002). Prinsip kerjanya adalah membandingkan satu pixel (center pixel) dengan delapan pixel disekitarnya. Gambar 9 memperlihatkan ilustrasi dari LBP, pasangan pixel 3 x 3 (Gambar 9(a)) dikodekan kedalam bilangan biner dengan memberi nilai threshold pada center pixel. Pixel yang mempunyai nilai gray lebih besar atau sama dengan center pixel dikodekan dengan nilai 1 dan selain itu dikodekan dengan 0 (Gambar 9(b)). Bilangan biner bernilai 1 dari pasangan pixel 3 x 3 selanjutnya dikalikan dengan bobot binernya (Gambar 9(c)). Hasil perkalian yang diambil adalah nilai biner yang bernilai 1 (Gambar 9(d)). Hasil pejumlahan dari pasangan pixel ini ditandai sebagai center pixel berikutnya dan bernilai unique. Operasi ini diulang untuk semua pixel dalam frame citra sehingga dihasilkan nilai LBP keseluruhan pada citra.

5 4 3 1 1 1 1 2 4 1 2 4

4 3 1 1 0 128 8 128 0

2 0 3 0 0 1 64 32 16 0 0 16

(a) (b) (c) (d) Gambar 9 Operasi LBP pada dimensi image 3 x 3 pixel.

Dari Gambar 9 bilangan biner yang dihasilkan adalah 11101001 dan selanjutnya dikonversi ke dalam bilangan desimal menjadi 233.

(16)

LBP8riu1 adalah versi LBP yang invarian terhadap rotasi, dimana dasar operasi LBP diaplikasikan pada delapan pixel dari kelompok pasangan secara simetris (Gambar 10(a)). Sembilan nilai LBP yang menunjukkan kesamaan pola (Gambar 10(b)) adalah pola yang berhubungan dengan garis dan titik dalam citra. Pola rotasi lain yang tidak menunjukkan sembilan kesamaan pola dikompres kedalam sepuluh bin intensitas warna (histogram). Histogram inilah yang merepresentasikan nilai ciri tekstur pada sebuah citra (Ojala et al. 2002).

(a) (b) Gambar 10 Pasangan pixel yang invarian terhadap rotasi untuk LBP8riu1.

2.6.3 Bentuk

Deskripsi bentuk adalah bagian yang fundamental dari sebuah obyek. Menurut Kim dan Sung (2000) dalam Mercimek et al. (2005) ada dua jenis deskripsi bentuk yaitu berdasarkan kontur dan keseluruhan. Salah satu metode deskripsi bentuk berdasarkan kontur yang popular adalah momen invarian yang diperkenalkan oleh Hu tahun 1962 (Khotanzad et al. 1990). Dengan metode ini Dudani et al. (1977) berhasil melakukan pengenalan terhadap obyek tiga dimensi yaitu identifikasi citra pesawat terbang (Khotanzad et al. 1990; Mercimek et al. 2005).

Momen invarian merupakan persaman vektor turunan momen orde ketiga (kovarian) yang menguji independensi antara peubah x dan y. Pada penelitian ini deskripsi bentuk dilakukan dengan mengelompokkan citra grayscale dalam himpunan vektor momen invarian. Prosesnya dilakukan dengan menghitung momen dan momen pusat citra dengan persamaan sebagai berikut (Sebe & Lew 2000) :

(17)

∑∑

= m n p q pq x y f(x,y) ω (21)

∑∑

− − = m n p q pq x x y y f x y c ( ) ( ) ( , ) (22)

dengan ω = momen citra p, q = orde momen

f = nilai intensitas warna c = momen pusat

x, y = koordinat piksel y

x, = pusat citra

m, n = jumlah piksel vertikal dan horisontal

Momen pusat ini invarian terhadap translasi citra, sedangkan untuk memperoleh momen yang invarian terhadap rotasi maupun penskalaan, maka momen pusat dinormalisasikan dengan persamaan :

λ η 00 pq pq c c = (23) dengan : λ =1+(p+q)/2 untuk p+q >= 2,3...

Untuk mendapatkan momen yang invarian baik terhadap translasi, penskalaan maupun rotasi adalah menghitung tujuh vektor momen invarian dengan persamaan sebagai berikut :

1. ϕ12002 (24) 2. ϕ2 =(η20 −η02)2 +4η112 (25) 3. ϕ3 =(η303η12)2 +(3η21−η03)2 (26) 4. ϕ4 =(η3012)2 +(η2103)2 (27) 5. ] ) ( ) ( )[ )( ( ] ) ( ) )[( )( ( 2 03 21 2 12 30 03 21 03 21 2 03 21 2 12 30 12 30 12 30 5 3 3 3 3 η η η η η η η η η η η η η η η η ϕ − − − + − + + − + − − = (28) 6. ) )( ( ] ) ( ) )[( ( 03 21 12 30 11 2 03 21 2 12 30 02 20 6 4η η η η η η η η η η η ϕ + + + + − + − = (29) 7. ] ) ( ) ( )[ )( ( ] ) ( ) )[( )( ( 2 03 21 2 12 30 03 21 30 12 2 03 21 2 12 30 12 30 03 21 7 3 3 3 3 η η η η η η η η η η η η η η η η ϕ − − + + − + + − + + − = (30)

(18)

dengan ϕ = momen invarian

η = momen pusat normalisasi

1

ϕ dan ϕ merupakan representasi momen yang invarian terhadap translasi 2 dan skala, ϕ ϕ36 representasi momen yang invarian terhadap rotasi dan ϕ 7 representasi momen yang invarian terhadap ketidaksimetrisan, yang bisa membedakan dua citra identik dalam posisi kebalikan (mirror) (Rickard 1999).

Untuk lebih lengkap daftar ekstraksi ciri dari penelitian ini disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Daftar ekstraksi ciri dari citra karang

Ciri Kelas Ciri

x1 Red Warna x2 Green Warna x3 Blue Warna x4 Hue Warna x5 Saturation Warna x6 Value Warna

x7 Mean Statistical moment

x8 Standard Deviation Statistical moment

x9 Smoothness Statistical moment

x10 Third Moment Statistical moment

x11 Uniformity Statistical moment

x12 Entropy Statistical moment

x13 ϕ1 Momen invarian x14 ϕ2 Momen invarian x15 ϕ3 Momen invarian x16 ϕ4 Momen invarian x17 ϕ5 Momen invarian x18 ϕ6 Momen invarian x19 ϕ7 Momen invarian

(19)

2.7 Jaringan Syaraf Tiruan

Dalam identifikasi karang, pembentukan model referensi karang dan pencocokan pola adalah dua tahapan yang sangat berkaitan. Pembentukan model referensi karang akan membentuk suatu model referensi yang akan digunakan untuk pencocokan pola. Salah satu teknik yang dapat digunakan dalam pencocokan pola adalah Jaringan Syaraf Tiruan (JST). JST akan melakukan pembelajaran untuk membentuk suatu model referensi, kemudian JST yang telah melakukan pembelajaran tersebut dapat digunakan untuk pencocokan pola.

JST didefinisikan sebagai sistem komputasi yang didasarkan pada pemodelan syaraf biologi (neuron) melalui pendekatan dari sifat-sifat komputasi biologis (biological computation). JST bisa dibayangkan berupa jaringan dengan elemen pemroses sederhana yang saling terhubung. Seperti pada Gambar 11, elemen pemroses berinteraksi melalui sambungan variabel yang disebut bobot, dan bila diatur secara tepat dapat menghasilkan sifat yang diinginkan (Fausett 1994). Model neuron sederhana disajikan pada Gambar 11.

θ

1

x

2

x

n

x

1

w

2

w

n

w

Gambar 11 Sistem komputasi pemodelan neuron.

Dan pernyataan matematisnya

=

= n i i i

x

w

f

y

1

θ

(31)

dengan xi = sinyal masukan, i = 1,2,…,n

(n = banyaknya simpul masukan) wi = bobot hubungan atau synapsis

θ = threshold atau bias ƒ(*) = fungsi aktivasi

(20)

Ide dasar JST adalah konsep belajar. Jaringan belajar melakukan generalisasi karakteristik tingkah laku obyek. Jika dilihat dari sudut pandang manusia, hal ini sama seperti bagaimana manusia belajar sesuatu. Manusia mengenal obyek dengan mengatur otak untuk menggolongkan atau melakukan generalisasi terhadap obyek tersebut.

Manusia menyimpan ilmu pengetahuannya ke dalam otak yang berisikan synapsis, neuron, dan komponen lainnya. JST menyimpan ilmu pengetahuannya dalam nilai bobot sambungan (seperti synapsis dalam otak manusia) dan elemen-elemen (neuron) yang menghasilkan keluaran.

Untuk menyelesaikan permasalahan, JST memerlukan algoritma untuk belajar, yaitu bagaimana konfigurasi JST dapat dilatih untuk mempelajari data histories yang ada. Dengan pelatihan ini, pengetahuan yang terdapat pada data bisa diketahui dan direpresentasikan dalam bobot sambungannya. Jenis Algoritma belajar yang ada diantaranya (Jang et al. 1997) :

a. Supervised Learning

Algoritma ini diberikan target yang akan dicapai. Contohnya Backpropagation algorithm (algoritma propagasi balik) dan Radial basis function.

b. Unsupervised Learning

Pada Algoritma ini sama sekali tidak disediakan target, misalnya Carpenter-Grossberg Adaptive Resonance Theory (ART), Learning Vector Quantization (LVQ) dan Competitive Learning Algorithm.

c. Reinforcement Learning

Bentuk khusus dari supervised learning, contohnya Genetic Algorithm (GA).

Propagasi balik (backpropagation) yang merupakan salah satu model JST untuk pencocokan pola (pattern matching), menggunakan arsitektur multi layer perceptron (Gambar 12) dan pelatihan backpropagation. Walaupun JST backpropagation membutuhkan waktu yang lama untuk pelatihan tetapi bila pelatihan telah selesai dilakukan, JST akan dapat mengenali suatu pola dengan cepat. Beberapa karakteristik dari JST backpropagation adalah sebagai berikut:

(21)

• Jaringan Multi Layer.

JST backpropagation mempunyai lapisan input, lapisan tersembunyi dan lapisan output dan setiap neuron pada satu lapisan menerima input dari semua neuron pada lapisan sebelumnya.

Gambar 12 Arsitektur jaringan backpropagation. • Fungsi Aktivasi.

Fungsi aktivasi akan menghitung input yang diterima oleh suatu neuron, kemudian neuron tersebut meneruskan hasil dari fungsi aktivasi ke neuron berikutnya, sehingga fungsi aktivasi berfungsi sebagai penentu kuat lemahnya sinyal yang dikeluarkan oleh suatu neuron. Beberapa fungsi aktivasi yang sering digunakan dalam JST backpropagation adalah :

1. Fungsi sigmoid biner (seperti pada Gambar 13), yaitu fungsi biner yang memiliki rentang 0 s/d 1 dengan fungsi sebagai berikut :

)

exp(

1

1

)

(

x

x

f

+

=

, (32)

(22)

2. Fungsi sigmoid bipolar(seperti pada Gambar 14), yaitu fungsi yang memiliki rentang -1 s/d 1 dengan fungsi sebagai berikut :

1

)

exp(

1

2

)

(

+

=

x

x

f

(33)

Gambar 14 Sigmoid bipolar pada selang [-1,1].

• Algoritma pembelajaran JST backpropagation bersifat iterative dan didesain untuk meminimalkan mean square error (mse) antara output yang dihasilkan dengan output yang diinginkan (target). Dalam Mathworks (2004) mse dapat dihitung dengan :

( )

2

(

)

2 1 1 1 N 1 N i i i i i mse e t a N = N = =

=

− (34)

Langkah-langkah algoritma pelatihan JST backpropagation yang diformulasikan oleh Rumelhart, Hinton dan Rosenberg tahun 1986, secara singkat adalah sebagai berikut :

a. Inisialisasi bobot, dapat dilakukan secara acak atau melalui metode Nguyen Widrow

b. Perhitungan nilai aktivasi, tiap neuron menghitung nilai aktivasi dari input yang diterimanya. Pada lapisan input nilai aktivasi adalah fungsi identitas. Pada hidden neuron dan output nilai aktivasi dihitung melalui fungsi aktivasi.

c. Penyesuaian bobot dipengaruhi oleh besarnya nilai kesalahan (error) antara target output dan nilai output jaringan saat ini.

(23)

Untuk mengimplementasikan algoritma pelatihan diatas, JST harus memiliki suatu set data pelatihan. Data pelatihan harus mencakup seluruh jenis pola yang ingin dikenal agar nantinya dapat mengenali seluruh pola yang ada.

Dalam kaitannya dengan sistem identifikasi karang, data pelatihan harus mencakup seluruh spesies. Dalam JST semakin banyak contoh suatu pola dalam pelatihan maka JST akan semakin baik mengenal pola tersebut. Untuk itu akan lebih baik jika tiap citra karang digunakan lebih dari satu kali pengulangan untuk nantinya digunakan dalam pembelajaran JST.

JST akan menerima data input berupa vektor. Jika dimensi vektor terlalu besar maka JST akan bekerja lebih lambat. Dalam identifikasi ini setiap citra digital akan diproses terlebih dahulu dengan teknik ekstraksi ciri sehingga dimensi data akan tereduksi. Dalam pembelajaran seluruh set data pembelajaran akan diproses sehingga JST akan membentuk suatu model referensi bagi seluruh pola-pola yang ada.

2.8 Review Riset Terdahulu

Beberapa penelitan yang relevan dilakukan oleh Soriano et al. (2001) yang mengekstraksi warna dan tekstur sebagai parameter input untuk mengidentifikasi lima jenis obyek citra terumbu karang yaitu karang hidup, karang mati, karang mati dengan algae, abiotics dan karang lunak (soft coral). Hasil yang diperoleh tidak cukup baik dimana tingkat pengenalan yang dihasilkan adalah 48%. Dari rekomendasi penelitian dinyatakan bahwa kegagalan ini karena terlalu banyak jenis obyek yang diidentifikasi dan jumlah sample citra tidak sama dengan jumlah distribusi masing-masing jenis.

Berdasarkan hal tersebut Marcos et al. (2005) mengurangi jumlah karang yang diklasifikasi menjadi tiga kelompok benthic pada citra terumbu karang yaitu karang hidup, karang mati dan pasir. Untuk teknik klasifikasi digunakan JST dan two-step classifier. Hasilnya menunjukkan tingkat pengenalan JST lebih baik dari two-step classifier, perbandingannya adalah JST 86% dan two-step classifier 79.7% .

Penelitian lain yang relevan dilakukan oleh Blaschko et al. (2005) yang melakukan identifikasi terhadap binatang plankton dengan teknik analisa tekstur

(24)

mengunakan metode statistical moment, GLCM dan LBP8riu1. Untuk mendeskripsikan bentuk dari obyek citra digunakan metode momen invarian dan zernike moment features.

Gambar

Gambar 1 Struktur polip dan kerangka kapur karang (Suharsono 2005).
Tabel 1 Sistematika karang (Veron 1986)
Gambar 3 Genus palauastrea.
Gambar 5 Genus seriatopora.
+5

Referensi

Dokumen terkait

Mungkin suatu yang tidak tepat bila kebersahajaan tersebut kita amati dan analisis dengan kehidupan kita pada saat ini, berubahnya pola hidup suku Gayo saat ini

Perlakuan konsentrasi ekstrak daun cincau hijau dan suhu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar serat kasar, waktu masak, kapasitas penyerapan air, tekstur,

Gagasan dan pemikirannya ini dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu tujuan pendidikan Islam dari segi tujuan pendidikan Islam terlihat pada gagasannya yang

a) Untuk mengetahui Kekuatan , Kelemahan, Ancaman dan Peluang dari PT Bank Danamon Simpan Pinjam Kantor Cabang Unit Muara Enim dalam penyaluran KTA (Kredit Tanpa Agunan).

Penguatan IHSG terutama dipicu rebound sejumlah saham unggulan seperti Astra In- ternational (ASII) dan aksi beli lanjutan atas saham energi seiring menguatnya harga minyak mentah

Pemberian perasan daun pepaya disetiap konsentrasi tidak berbeda nyata.Rata-rata peningkatan kadar hemoglobin tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol pembanding

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014