• Tidak ada hasil yang ditemukan

JINENG, LUMBUNG PADI YANG BERSOLEK ESTETIK. Oleh: Kadek Suartaya. Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JINENG, LUMBUNG PADI YANG BERSOLEK ESTETIK. Oleh: Kadek Suartaya. Abstrak"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

JINENG, LUMBUNG PADI YANG BERSOLEK ESTETIK

Oleh: Kadek Suartaya

Abstrak

Jineng adalah tempat menyimpan padi dalam kebudayaan petani di Pulau Bali. Bentuk arsitekturnya unik dengan atap melengkung ke bawah. Bangunan ini bertingkat dua, dimana tingkat atas untuk menyimpan padi dan bale-bale dibawahnya multi fungsi seperti tempat mengolah makanan dan membuat sarana upacara keagamaan. Seiring dengan tergerusnya budaya pertanian, kini jineng tidak lagi melengkapi sebuah rumah tradisional Bali, melain mengalami pergeseran fungsi. Jineng kini didandani secara estetik untuk industri pariwisata dan sebagai tempat kegiatan profan masyarakat umum.

Kata kunci: jineng, transformasi, estetik.

Jineng: Berubah

Jineng adalah salah satu bangunan tradisional Bali yang memiliki arti penting dalam kebudayaan agraris masyarakatnya. Namun ketika transformasi budaya bergulir--dari budaya pertanian bergeser ke budaya industri modern, jineng yang berbentuk sejenis bangunan panggung ini juga tergerus keberadaannya. Seturut dengan terdegradasinya budaya agraris tradisional di tengah kehidupan masyarakat Bali serta ditambah dengan berubahnya pola pikir dan pola kehidupan yang lebih mengarah serba cepat dan praktis, jineng pun teronggok di pojok dalam arti harfiah dan kultural. Jineng kini mengalami perubahan bentuk, perubahan fungsi, dan perubahan makna.

Kalangan masyarakat petani di Kabupaten Tabanan, sebagian masih memiliki jineng. Tempat penyimpanan padi dan hasil pertanian yang lainnya itu disebut dengan nama bervariasi yaitu lumbung, glebeg, dan kelumpu. Para petani di Desa Wan32ewgaya Gede menyebut jineng-nya dengan nama lumbung. Sedang masyarakat petani di Bongan Gede menamaijineng-nya kelumpu. Kelaziman dalam penamaan jineng itu rupanya mengacu kepada bentuk arsitektur bangunan itu. Jineng yang berukuran kecil, sekitar 1,5x1,5 dengan tinggi sekitar tiga meter yang ruangannya bertembok bedeg disebut kelumpu. Jineng yang berukuran agak besar, sekitar 3x3 disebut glebeg. Tinggi glebeg bisa mencapai sekitar enam (6) meter dengan arsitektur bangunan dua tingkat, dimana di tinggkat atas menjadi tempat penyimpanan padi. Jika lumbung dan kelumpu

(2)

hanya menggunakan empat tiang, glebeg yang besar ada dikonstruksi dengan enam sampai delapan (8) tiang.

Glebeg atau jineng besar dengan tiang di atas empat kini sulit dijumpai. Jineng masyarakat petani yang bertiang empat pun sejatinya hidup segan mati tak mau. Pemiliknya tetap berusaha merawatnya akan tetapi umumnya bangunan ini tidak digunakan lagi. Walau demikian, disisi lain, dalam kehidupan di luar masyarakat agraris tradisional, jineng justru hidup sarat gairah namun menyimpang dari asal muasal kegunaannya. Di tengah kehidupan pariwisata Bali, jineng diadopsi dan dimoditifikasi secara komersial. Di tengah masyarakat Bali modern, jineng diberdayakan sebagai ruang rekreatif. Karena itu, tulisan pendek ini memfokuskan membahas eksistensi jineng dalam kancah industri pariwisata dan dalam dinamika kehidupan masyarakat Bali masa kini.

Jineng: Status Sosial

Pada masa lampau, jineng adalah pelengkap wajib bangunan dari sebuah pekarangan rumah. Bangunan ini ditempatkan di arah tenggara, berdekatan dengan dapur keluarga. Karena bentuknya yang tinggi, jineng tampak penonjol diantara bangunan yang lainnya. Atapnya yang melengkung menurun menampakkan kekhasan arsitekturnya. Jineng menggunakan atap alang-alang yang disusun tebal. Sedangkan bahan utama dari bangunan ini adalah kayu, ditambah batang enau tipis dan bambu. Pilar jineng mengutumakan kayu kokoh yang berukuran besar, sekitar 20-25 cm lebarnya. Bale-bale bangunan di tingkat dua menggunakan pasangan papan kayu. Jarak ruang bale-bale sekitar 1,5 meter, cukup lega untuk aktivitas keluarga.

Sesuai dengan fungsi utamanya, jineng menjadi pusat aktivitas seluruh keluarga petani kala musim panen padi tiba. Seluruh padi hasil pertanian disimpan di lantai atas bangunan itu. Menggunakan tangga bambu (jan), padi dalam ikatan-ikatan (seping) itu dinaikkan ditumpuk bersusun-susun. Padi yang tersimpan ini akan diturunkan sekali-sekali untuk dijemur agar cepat kering. Bila sudah dianggap sudah kering, kemudian diturunkan ditumbuk dengan menggunakan elu dalam ketungan atau di tanah datar. Proses pemisahan beras dari kulitnya yang biasanya dilakukan kaum wanita itu lazimnya dilakukan tak jauh dari jineng.

Bale-bale jineng memiliki multi fungsi. Sehari-hari, digunakan sebagai tempat mengolah makanan. Makanan tradisional Bali seperti maolah-olahan lawar, balung, sate dan sebagainya dikerjakan di tempat ini. Bale-bale jineng juga dijadikan ruang membuat atau merangkai beragam sarana upacara keagamaan, ketika menyelenggarakan ritual keagamaan. Biasanya para

(3)

petani juga menempatkan alat-alat pertanian pada bangunan tersebut. Bliung, tambah, dan tengala ditaruh di kolong bale-balenya. Arit dan ani-ani di diselipkan di sela-sela ige-ige. Makan dan minum serta istirahat sejenak sembari tidur-tiduran pun lazim memilih bale-bale jineng yang sejuk.

Selain memiliki fungsi praktis untuk kegiatan sehari-hari, di masa lalu, jineng menujukkan kekayaan sawah yang dimiliki seseorang. Semakin besar ukuran jinengnya dapat dijadikan penanda akan luas harta sawah yang dimiliki. Lebih-lebih di rumahnya tidak hanya memiliki satu jineng, bisa dua atau lebih, dapat disimpulkan status sosial seorang atau keluarga dengan kepemilikan sawahnya. Jejak-jejak status sosial di masa lalu dengan keberadaan jinengnya hingga kini dapat ditemukan pada keluarga bangsawan yang dulu memang menguasai sawah ladang yang luas.

Jineng: Budaya Agraris

Kebudayaan petani di Nusantara mengenal mitologi padi yang dengan takzim dihormati sebagai Dewi Sri. Dewi Sri adalah sosok dewi kesuburan dan dewi pertanian yang cukup dipercaya pada budaya masyarakat Bali dan Jawa. Cerita Dewi Sri atau Nyo Pohaci Sang Hyang Sri di Sunda cukup populer. Mitos Dewi Sri bermula dari kisah wanita cantik putri Dewa Siwa. Pada suatu hari wanita cantik yang bernama Dewi Sri itu mati diracun. Para dewa membawa tubuh sang dewi ke bumi. Lalu karena kesucian jiwa Dewi Sri, dari kuburnya bertumbuh segala tumbuhan yang bermamfaat. Dari kepalanya muncul kelapa, dari bibirnya, hidung, dan telinganya muncul sayur-sayuran, kemudian dari rambutnya muncul bunga-bunga yang harum, serta dari payudaranya tumbuh buah-buahan. Selanjutnya, dari pusarnya bertumbuh padi. Berdasarkan mitos itu masyarakat memuja Dewi Sri, karena dari kesucian dan pengorbanannya memunculkan manfaat untuk umat manusia di bumi.

Atas kesuburan tanah Nusantara, peradaban masyarakatnya mengembangkan mata pencaharian bercocok tanam sehingga dikenal sebagai negara agraris. Iklim yang te ratur, curah hujan dan tanah yang subur merupakan faktor-faktor pendukung yang penting. Karena itu sejak zaman dahulu, bercocok tanam merupakan pekerjaan utama bangsa ini. Tercatat dalam sejarah, padi sudah ditanam di tanah air sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Bukti penanaman padi ini ada di Pulau Sulawesi. Hal ini tertuang dalam buku Indonesia People and History karangan Jean Gelman Taylor. Bukan hanya padi, masyarakat Nusantara juga

(4)

menaman kelapa, aren, umbi-umbian, dan buah-buahan tropis. Bahkan pada Candi Prambanan dan Borobudur terdapat relief seorang raja meletakkan retribusi pada beras. Beberapa relief juga menggambarkan hasil produk pertanian seperti pisang, durian, manggis, dan apel.

Pada zaman Majapahit, pertanian telah berkembang pesat karena perhatian kerajaan. Saat itu, Raja memberikan perlindungan tanah pertanian agar para petani bisa tenang dan mudah bercocok tanam. Kebijakan ini dilakukan untuk mensejahterakan rakyat Majapahit yang saat itu utamanya bekerja sebagai petani. Hal ini membuktikan pertanian menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat dan negara sejak zaman kuno. Muncul banyak tradisi dan kebudayaan untuk menghormati pertanian. Pada masyarakat Bali, saat upacara Galungan dan Kuningan, penghormatan terhadap pertanian direfleksikan dalam berbagai ragam hias. Pada hiasan janur melekung diselipkan hiasan yang mencerminkan hasil pertanian, seperti padi. Karena itu, jineng sebagai tempat penyimpanan padi juga memiliki nilai sakral, sebab pada ruang dalam jineng juga di-sungsung Ida Bhatara Sri sebagai manifestasi Sanghyang Widhi Wasa yang menganugrahkan kemakmuran.

Jineng: Transformasi

Seiring kemajuan zaman, kini jineng mengalami pergeseran bentuk, fungsi, dan makna. Dari awalnya sebagai tempat menyimpan padi/gabah dan linggih Ida Bathara Sri, kini jineng banyak beralih bentuk, fungsi, dan makna sebagai bangunan Bali yang tak ada hubungannya dengan pertanian. Bahkan bangunan ini kini banyak dimanfaatkan menjadi akomodasi pariwisata. Alih fungsi jineng secara besar-besaran dari sektor pertanian ke sektor non agraris di Bali terjadi era 1970-an. Hal tersebut menyusul kebijakan swasembada pangan oleh pemerintah. Pembangunan sarana dan prasasana irigasi seperti bendungan digencarkan. Pencetakan sawah-sawah baru dilakukan. Perubahan dalam budidaya padi, pola tanam, hingga pasca panen tak terelakkan. Varietas bibit padi lokal atau padi Bali diganti dengan bibit padi baru, antara lain varietas PP, PB5, C4, R, Cruing, dan jenis lainnya. Jenis padi ini memerlukan waktu pelihara lebih pendek atau sekitar 100 hari, dengan produktivitas lebih banyak. Pola memanen padi tak lagi memanfaatkan perkakas tradisional.

Proses pengolahan padi varietas baru, relatif simple. Usai nigtigang (panen), gabah dijemur. Setelah kering, jika dibutuhkan dibawa ke pabrik penggilingan/penyosohan untuk dijadikan beras. Prosesnya pendek. Beda dengan proses penanganan padi varietas lama (padi

(5)

Bali) dengan rentang waktu pelihara sekitar enam bulan dan pascapanen lebih rumit. Karena petani memilih menjual padinya dan dengan cepat menjadikan beras, maka jineng pun tak mutlak dibutuhkan. Petani enggan repot menyimpan gabah ke jineng. Apalagi harus naik turun tangga untuk memasukkan gabah ke dalam jineng. Alih fungsi jineng di tengah industri pariwisata Bali menjadikan jineng yang awalnya merupakan lumbung padi, beralih fungsi menjadi tempat tidur turis, sebagaimana vila. Sementara di tengah masyarakat Bali modern jineng beralih fungsi sebagai bangunan profan.

Bentuk unik dari jineng menjadikannya eksotik yang banyak diadopsi untuk kepentingan industri pariwisata. Tetapi untuk kebutuhan jagat pelancongan, ciri khas bentuk arsitektur jineng dipertahankan namun aspek estetikanya mengalami perkembangan. Unsur-unsur ornamentik seni rupa tradisional Bali kian memperindah wajah jineng turistik. Pola-pola hias ukiran Bali memenuhi bagian-bagian menonjol dari jineng. Misalnya, tiang besar jineng diukir rumit. Bahkan dihadirkan lebih mewah dengan warna kuning emas prada. Pintu bagian atas jineng dibuat megah bak pintu istana raja.

Terkait dengan aspek fungsinya, material yang digunakan membangun jineng sebagai vila juga disesuaikan. Atap ilalang diganti dengan genteng atau kayu sirap. Agar vestilasinya mengalir lancar, jineng yang difungsikan sebagai tempat tinggal ditambahkan jendala. Ruangan tempat tidur atau ruang tamunya dibuat lapang dan nyaman. Untuk lalu lalang masuk ke lantai atas dibuatkan tangga khusus. Sedangkan bale-bale di ruang bawah dilengkapi dengan tikar atau kasur dan bantal yang empuk untuk duduk bersantai atau bencengkerama dengan keluarga. Semuanya ditata dan dilengkapi, sehingga jineng jadi hunian yang menyenangkan.

Makna dari pergeseran dan perubahan bentuk dan fungsi jineng adalah transformasi, komersialisasi, dan relaknisasi. Transformasi budaya yang berlangsung dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam kebudayaan pertanian, di Bali, khususnya di Tabanan, direpresentasi oleh pergeseran dan perubahan bentuk dan fungsi jineng, salah satu bangunan tradisional yang pengawal ketahanan pangan penting dalam masyarakat agraris. Komersialisasi dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu komersialisasi eksternal dan komersialisasi internal. Komersialisasi eksternal adalah yang terjadi di industri pariwisata seperti sudah dikupas di atas. Sedangkan komersialisasi internal adalah muenguaknya sektor ekonomi para perajin jineng, baik untuk penjualan untuk jagat pariwisata maupun untuk kalangan masyarakat Bali sendiri.

(6)

Trend membeli atau membangun jineng di tengah masyarakat Bali dapat dipandang sebagai makna relaknisasi. Masyarakat yang membeli atau membangun jineng yang sama sekali tak ada kaitannya dengan budaya pertanian, lebih-lebih yang berkonteks sakral, menjadikan jineng sebagai tempat profan, bersantai, menerima tamu secara lesehan, bahkan menjadikan jineng sebagai simbol status sosial hidup mapan masyarakat masa kini. Karena itu, keberadaan jineng non budaya pertanian umumnya tidak memperhitungkan arah tempat menurut perhitungan filosofis dan teologis masyarakat Bali. Tidak sedikit masyarakat Bali menempatkan jineng di bangunan bertingkat yang paling atas, sehingga dari sana dapat melihat pemandangan dari segala arah. Seperti juga jineng untuk vila, jineng sebagai bangunan bergengsi masyarakat masa kini umumnya juga berbalur dengan estetika ukiran dan pulasan cat kuning emas tradisional Bali.

Catatan Akhir

Keberadaan jineng di tengah masyarakat agraris tradisional Tabanan diwarisi sebagai bangunan simbolik. Sementara di tengah masyarakat industri modern Bali (pariwisata), lumbung tempat penyimpanan hasil pertanian ini diadopsi dan dimodifikasi sebagai arsitektur eksotik bernilai komersial. Sedangkan masyarakat Bali pada umumnya, termasuk di Kabupaten Tabanan, kini melestarikan jineng dalam beragam kepentingan profan yang bersifat relaksasi. Mengacu dari realita ini, Kabupaten Tabanan yang dikenal sebagai daerah lumbung padi di Pulau Bali, patut mengambil sikap kompromistis terhadap jineng. Pertama, tetap menginternalisasi nilai sakralnya sebagai rasa syukur terhadap Hyang Widhi, Tuhan Yang Esa, atas karunia tumbuhan padi, beras, yang menjadi makanan pokok. Kedua, membukukan dan mendokumentasikan kelanggengan jineng secara digital sebagai kearifan budaya agraris tradisional yang sarat dengan nilai-nilai luhur.

Daftar Referensi

Bagus, I Gusti Ngurah (ed.). 1997. Masalah Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan. Denpasar : Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana. Geriya, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar:

Peusahaan Daerah Propinsi Bali.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Mardimin, Johanes. 1994. Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta : Kanisius.

(7)

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. (Terjemahan Alimandan), Jakarta : Kencana.

Sujarwa. 1999. Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sztompka, Piötr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. (Terjemahan Alimandan), Jakarta : Prenada. Team Universitas Udayana. 1977/1978. Penanggulangan Pengaruh Negatif Kebudayaan Asing

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan informasi, fenomena, dan permasalahan yang terjadi penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, ” Pengaruh Iklan dan Atribut Produk

Pada luka insisi operasi dilakukan infiltrasi anestesi local levobupivakain pada sekitar luka karena sekresi IL-10 akan tetap dipertahankan dibandingkan tanpa

Dari hasil survei pendahuluan terhadap 10 dokumen rekam medis pasien rawat inap dengan diagnosis Diabetes mellitus dapat diketahui ketidaktepatan kode diagnosis Diabetes cukup

komunitas yaitu cerminan dan kesadaran kritis, membangun identitas komunitas, tindakan representasi dan politis, praktek yang berhubungan dengan budaya, asosiasi

Tujuan dari program BSM- SMA NEGERI adalah membantu siswa dari kelurga tidak mampu agar dapat memperoleh layanan pendidikan yang layak atau untuk membantu siswa

Fenomena di atas menimbulkan suatu ide dan gagasan untuk memadukan klonthong kategori ukuran besar dan sedang yang mempunyai potensi bunyi mirip dengan gamelan (bonang) dan potensi

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, didalamnya terkandung pesan moral yang

Kata Kunci : Nilai Ekonomi, Sumberdaya Alam, Total Hutan Mangrove Pasca Rehabilitasi di Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara