• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pustaka Perencanaan Drainase Perkotaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tinjauan Pustaka Perencanaan Drainase Perkotaan"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI DAN KEGUNAAN DRAINASE

Drainase (drainage) berasal dari kata kerja „to drain‟ yang berarti mengeringkan atau mengalirkan air. Drainase merupakan terminologi yang digunakan yang untuk menyatakan sistem-sistem yang berkaitan dengan penanganan kelebihan air, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah (Hadihardja, Joetata.1997).

Secara umum drainase dapat pula didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha untuk mengalirkan air yang berlebihan dalam suatu konteks pemanfaatan tertentu (Hadihardja, Joetata.1997).

Selain itu juga diartikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi pada suatu kawasan, sehingga fungsi kawasan tersebut tidak terganggu. Drainase juga meliputi usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas (Suripin. 2004).

Drainase pada prinsipnya terbagi atas 2 macam yaitu: drainase untuk daerah perkotaan dan drainase untuk daerah pertanian. Drainase perkotaan adalah ilmu drainase yang mengkhususkan pengkajian pada kawasan perkotaan yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan fisik dan sosial budaya kawasan tersebut (Kodoatie. J. Robert dan Roestam S. 2005).

Drainase perkotaan tidak hanya terbatas pada teknik penyaluran dan pembuangan kelebihan air akibat limpasan air hujan akan tetapi juga meliputi penyaluran air buangan atau air limbah terutama yang berasal dari aktifitas domestik. Sesuai dengan prinsipnya sebagai jalur pembuangan maka waktu terjadi kelebihan air diusahakan untuk secepatnya dibuang agar tidak menimbulkan genangan yang dapat mengganggu aktifitas perkotaan, kerugian sosial ekonomi terutama yang menyangkut aspek kesehatan lingkungan (Kodoatie. J. Robert dan Roestam S. 2005).

Jaringan drainase perkotaan meliputi seluruh alur, baik alur alam maupun alur buatan yang hulunya terletak di kota dan bermuara di sungai yang melewati kota tersebut atau ke laut di tepi kota tersebut. Secara umum, kegunaan drainase, (Hardjosuprapto, M. Masduki.1999) adalah sebagai berikut :

(2)

1. Mengeringkan daerah becek dan genangan air. 2. Menurunkan permukaan air tanah.

3. Mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan dan sarana bangunan bangunan lain. 4. Mengendalikan limbah air hujan yang berlebihan

2.2 JENIS DRAINASE

2.2.1 Menurut Sejarah Terbentuknya, (Hadihardja, Joetata. 1997) yaitu: 1. Drainase alamiah

Terbentuk secara alami dan tidak terdapat bangunan-bangunan penunjang. Saluran ini terbentuk dari gerusan air yang bergerak

2. Drainase Buatan

Drainase yang dibuat oleh manusia dengan maksud dan tujuan tertentu sehingga memerlukan bangunan-bangunan khusus seperti saluran pasangan batu kali, gorong-gorong, dll.

2.2.2 Menurut Letak Bangunan, (Hadihardja, Joetata.1997) yaitu: 1. Drainase Permukaan Tanah

Saluran drainase yang berada di permukaan tanah berfungsi mengalirkan air limpasan permukaan.

2. Drainase Bawah Permukaan Tanah

Saluran drainase yang bertujuan mengalirkan air limpasan permukaan melalui media di bawah permukaan tanah, dikarenakan alas an-alasan tertentu, misal tuntutan artistik.

2.2.3 Menurut Fungsinya, (Hadihardja, Joetata.1997) yaitu: 1. Single Purpose

Berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan, seperti air hujan, air limbah domestik, atau air limbah industri.

2. Multi Purpose

Saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa macam air buangan baik tercampur maupun secara bergantian.

(3)

2.2.4 Menurut Konstruksinya, (Hadihardja, Joetata.1997) yaitu: 1. Saluran Terbuka

Yaitu saluran yang yang lebih cocok untuk drainase air hujan yang terletak di daerah yang mempunyai luasan yang cukup, atau untuk drainase air non-hujan yang tidak membahayakan kesehatan atau lingkungan.

2. Saluran Tertutup

Yaitu saluran pada umumnya sering dipakai untuk aliran air kotor, yang mengganggu kesehatan lingkungan, atau untuk saluran di tengah kota.

2.3 SISTEM DRAINASE

2.3.1 Jenis Sistem Drainase Berdasarkan Daerah Yang Akan Dilayani 1. Drainase Permukiman

Di kota-kota besar, air hujan biasanya ditampung di jalan-jalan dan dialirkan melalui pemasukan-pemasukan ke dalam pipa-pipa di dalam tanah yang akan membawanya ke tempat-tempat dimana dapat dituangkan dengan aman ke dalam suatu sungai, danau, dan laut. Pada beberapa contoh, air hujan dirembeskan jauh ke dalam tanah. Suatu pelepasan tunggal dapat dipergunakan, atau sejumlah titik pembuangan dapat dipilih berdasarkan titik topogrfi daerahnya. Air yang terkumpul haruslah dibuang sedekat mingkin ke sumbernya. Pengaliran dengan gaya berat lebih disukai, tetapi tidak selalu layak, sehingga perangkat-perangkat pompa dapat menjadi bagian yang penting dari suatu sistem drainase hujan kota besar.

2. Drainase Lahan

Drainase lahan membuang air permukaan yang berlebihan dari suatu daerah atau menurunkan air tanah ke zona akar untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman dan mengurangi penumpukan garam-garam tanah.

Sistem drainase lahan mempunyai berbagai segi yang sama dengan sistem drainase hujan kota. Parit terbuka, yang lebih dapat diterima di daerah pedesaan daripada di kota-kota besar, luas dipergunakan untuk drainase air permukaan dengan penghematan biaya yang cukup besar, dibandingkan dengan pipa-pipa di

(4)

bawah tanah. Bila kondisi cocok, parit-parit dapat juga bertindak sebagai sarana untuk menurunkan permukaan air tanah.

Namun parit-parit terbuka yang diletakkan pada jarak dekat akan mengganggu operasi pertanian, sehingga metode yang lebih umum adalah dengan selokan-selokan di bawah tanah. Tembikar lempung kasar dan pipa beton adalah bahan-bahan yang paling umum dipergunakan sebagai selokan bawah tanah, walaupun selokan-selokan kotak kayu serta pipa baja yang berhubung telah digunakan pula.

Rancangan untuk suatu sistem drainase pipa tembikar terutama dipengaruhi oleh keadaan topografi daerahnya. Untuk sistem alamiah dipergunakan pada topografi bergelombang yang hanya membutuhkan drainase ceruk dan lembah-lembah yang sempit. Jika seluruh daerah yang bersangkutan harus didrainase maka sistem pemanggang lebih ekonomis.

Sedangkan drainase utama berganda sering digunakan apabila dasar cekungan cukup lebar, untuk drainase penyadap biasanya digunakan bila sumber utama dari air kelebihan adalah drainase fari bukit-bukit. Beberapa kemungkinan diperlihatkan pada gambar dibawah ini :

Drainase Alamiah Drainase Pemanggang

(5)

Drainase Utama Berganda Drainase Penyadap

Gambar 2.1. Jenis-jenis drainase Sumber : Linsley, Ray K, dkk. 1991 3. Drainase Jalan Raya

Jalan raya menduduki jalur lahan yang panjang, sempit dan menimbulkan dua jenis masalah drainase. Masalah itu saling berkaitan sehingga perlu diatasi secara komplek. Air yang terkumpul di atas jalan (atau di atas lereng lahan yang berdekatan jika jalan itu terletak dalam galian) haruslah dibuang tanpa menimbulkan genangan atau kerusakan jalan serta daerah di sekitarnya. Jalan raya melintasi berbagai alur drainase alamiah, sehingga air yang dialirkan oleh alur-alur ini haruslah dibawa menyeberangi daerah hak jalan tanpa menghalangi aliran di dalam alur di hulu jalan dan tanpa merusakkan hak milik di luar hak jalan tersebut. (American Association Of State Highway and Transportation Officials, 1992). 2.3.2 Jenis Sistem Drainase Berdasarkan Keberadaan Air Hujan Dan Air

Kotor

1. Sistem Terpisah (separate system)

Pada sistem ini air hujan dan air kotor dilayani oleh sistem saluran masing-masing secara terpisah. Pemilihan ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain :

 Periode musim hujan dan kemarau yang terlalu lama.

 Kuantitas yang jauh berbeda antara air buangan dan air hujan.

 Air buangan memerlukan pengolahan terlebih dahulu sedangkan air hujan tidak perlu dan harus secepatnya dibuang ke sungai yang terdapat pada daerah yang ditinjau.

(6)

Keuntungan :

 Sistem saluran mempunyai dimensi yang kecil sehingga memudahkan pembuatannya dan operasinya.

 Penggunaan sistem terpisah mengurangi bahaya bagi kesehatan masyarakat.

 Pada instalasi pengolahan air buangan tidak ada tambahan beban kapasitas, karena penambahan air hujan.

 Pada sistem ini, untuk saluran air buangan bisa direncanakan pembilasan sendiri, baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau.

Kerugian :

 Harus membuat dua sistem saluran sehingga memerlukan tempat yang luas dan biaya yang cukup besar.

2. Sistem Tercampur (combined system)

Air kotor dan air hujan disalurkan melalui satu saluran yang sama. Saluran ini harus tertutup. Pemilihan sistem ini didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain:

 Debit masing-masing buangan relatif kecil sehingga dapat disatukan.  Kuantitas air hujan dan air buangan tidak jauh berbeda.

 Fluktuasi air hujan dari tahun ke tahun relatif kecil. Keuntungan :

 Hanya diperlukan sebuah sistem penyaluran air, sehingga dalam pemilihannya lebih ekonomis.

 Terjadi pengenceran air buangan oleh air hujan sehingga konsentrasi air buangan menurun.

Kerugian :

 Diperlukan areal yang luas untuk menempatkan instalasi tambahan untuk penanggulangan di saat-saat tertentu.

(7)

3. Sistem Kombinasi (pseudo separate system)

Sistem yang merupakan perpaduan antara saluran air hujan dan air buangan, yakni pada waktu musim hujan air buangan dan air hujan tercampur dalam saluran air buangan, sedangkan air hujan bertindak sebagai pengencer dan penggelontor. Kedua saluran ini tidak dapat bersatu tetapi dihubungkan dengan sistem perpipaan inseptor. Pemilihan sistem didasarkan pada:

 Perbedaan yang besar antara kuantitas air buangan yang akan disalurkan melalui jaringan penyalur air buangan dan kuantitas air hujan pada daerah pelayanan.

 Umumnya di dalam kota dilalui sungai-sungai sehingga air hujan secepatnya dapat dibuang ke dalam sungai-sungai tersebut.

 Periode musim kemarau dan musim hujan yang lama dan fluktuasi curah hujan yang tidak tetap.

2.3.3 Jenis Saluran Air Hujan

Pada sistem penyaluran terpisah, air hujan dialirkan tersendiri dengan menggunakan saluran terbuka. Saluran air hujan terdiri dari tiga jenis, yaitu:

1. Saluran Tertier, yaitu saluran yang terdapat pada jalan-jalan kecil, untuk kemudian menyalurkan air hujan menuju ke saluran yang lebih besar.

2. Saluran Sekunder, yaitu saluran lanjutan dari saluran tertier, dengan kuantitas air merupakan kumulatif dari saluran-saluran kecil, lalu disalurkan menuju saluran utama.

3. Saluran Primer, yaitu saluran yang menampung air hujan dari beberapa daerah pengaliran lewat saluran sekunder.

Gambar. 2.2 Jenis saluran air hujan sekunder

(8)

Untuk saluran air hujan yang melewati daerah ramai dan sibuk seperti perkantoran, daerah pertokoan, pasar, industri, rumah sakit, dll umumnya menggunakan saluran tertutup. Hal ini untuk menghindari agar orang tidak terperosok dan pada daerah ramai umumnya lahan sangat diperlukan, sehingga dengan saluran tertutup bagian atas saluran dapat digunakan untuk kepentingan lain, misalnya untuk tempat parkir, trotoar, dan sebagainya.

2.3.4 Tata Letak

1. Alternatif Tata Letak Saluran Drainase

Beberapa contoh model tata letak saluran yang dapat diterapkan dalam perencanaan sistem drainase. (Hadihardja, Joetata.1997)

a. Pola Alamiah

Letak conveyor drain (b) ada di bagian terendah (lembah) dari suatu daerah yang secara efektif berfungsi sebagai pengumpul dari anak cabang saluran atau collector drain (a), dengan collector dan conveyor drain merupakan saluran alamiah.

Gambar 2.3. pola alamiah b. Pola Siku

Conveyor drain (b) terletak di lembah dan merupakan saluran alamiah, sedangkan collector drain (a) dibuat tegak lurus dari conveyor drain.

a

a

(9)

Gambar 2.4. pola siku c. Pola Paralel

Collector drain yang menampung debit dari sungai-sungai yang lebih kecil, dibuat sejajar satu sama lain dan kemudian masuk dalam conveyor drain.

Gambar 2.5. pola paralel d. Pola “ Grid Iron”

Beberapa interceptor drain (a) dibuat satu sama lain sejajar, kemudian ditampung di collector drain (b) untuk selanjutnya masuk ke dalam conveyor drain.

Gambar 2.6. pola grid iron b c a a a b a a b

(10)

e. Pola Radial

Suatu daerah genangan dikeringkan melalui beberapa collector drain dari satu titik menyebar ke segala arah (sesuai dengan kondisi topografi daerah)

Gambar 2.7. pola radial f. Pola Jaring-jaring

Untuk mencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lainnya, maka dapat dibuat beberapa interceptor drain (a) yang kemudian ditampung ke dalam saluran collector drain (b), dan selanjutnya dialirkan menuju saluran conveyor drain.

Gambar 2.8. pola jaring-jaring 2. Susunan Dan Fungsi Saluran Dalam Jaringan Drainase

Dalam pengertian jaringan drainase, maka sesuai dengan fungsi dan sistem kerjanya, jenis saluran dapat dibedakan menjadi :

a. Interseptor Drain, adalah saluran yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya. a a a b c

(11)

b. Collector Drain, adalah saluran yang berfungsi sebagai pengumpul debit yang diperoleh dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang ke saluran conveyor (pembawa).

c. Conveyor Drain, adalah saluran yang berfungsi sebagai pembawa air buangan dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa harus membahayakan daerah yang dilalui.

Letak conveyor di bagian terendah lembah dari suatu daerah, sehingga secara efektif dapat berfungsi sebagai pengumpul dari anak cabang saluran yang ada. Dalam pengertian lain, saluran ini berbeda dengan sub surface drainage atau drainase bawah tanah.

2.3.5 Bangunan Penunjang

Untuk menjamin berfungsinya saluran drainase secara baik, maka diperlukan bangunan-bangunan pelengkap di tempat-tempat tertentu. Jenis bangunan pelengkap yang dimaksud meliputi:

1. Bangunan Silang, misal : gorong-gorong

2. Bangunan Pemecah Energi, misal : bangunan terjunan dan saluran curam 3. Bangunan Pengaman, misal : ground sill atau levelling structure

4. Bangunan Inlet, misal : grill samping atau datar 5. Bangunan Outlet, misal : kolam loncat air

6. Bangunan Pintu Air, misal : pintu geser, pintu otomatis 7. Bangunan Rumah Pompa

8. Bangunan Kolam Tandon atau Pengumpul 9. Bangunan Lubang Kontrol atan Manhole 10. Bangunan Instaasi Pengolah Limbah

Semua bangunan tersebut di atas tidak harus selalu ada pada jaringan drainase. Keberadaannya tergantung pada kebutuhan setempat yang biasanya dipengaruhi oleh fungsi saluran, kondisi lingkungan, dan tuntutan akan kesempurnaan jaringannya.

2.4 SISTEM HIDROLOGI

Perencanaan sistem drainase berkaitan erat dengan aspek hidrologi. Aspek hidrologi tersebut adalah hujan yang terjadi di suatu kawasan. Hujan sebagai sumber

(12)

air terbesar merupakan objek pertimbangan utama dalam perencanaan sistem drainase. Hujan sangat berpengaruh terutama dalam penentuan dimensi saluran drainase, karena air hujan inilah yang harus segera dibuang atau dialirkan melalui saluran drainase. Intensitas hujan yang tinggi pada suatu kawasan dapat menyebabkan terjadinya genangan air pada jalan, tempat parkir, dan fasilitas-fasilitas lainnya. Oleh karena itu, harus direncanakan suatu sistem drainase yang diharapkan mampu mengatasi kelebihan air dalam jumlah besar.

2.4.1 Karakteristik Air Hujan

Hujan pada tiap-tiap wilayah memiliki karakteristik masing-masing sesuai dengan kondisi wilayah tersebut. Karakteristik hujan antara lain :

1. Durasi hujan, adalah lama kejadian hujan (menitan, jam-jaman, harian) yang diperoleh dari hasil pencatatan alat pengukur hujan otomatis.

2. Intensitas hujan, adalah jumlah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu. Nilai ini tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya serta diperoleh dengan cara analisis data hujan baik secara statistik maupun empiris.

3. Lengkung intensitas hujan adalah grafik yang menyatakan hubungan antara intensitas hujan dengan durasi hujan.

4. Waktu konsentrasi (tc) adalah waktu yang diperlukan untuk mengalirkan air dari titik yang paling jauh pada daerah aliran ke titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir suatu saluran. Rumus untuk menghitung waktu konsentrasi :

tc = to + td

Waktu konsentrasi terdiri atas dua komponen, yaitu :

 Inlet time (to), yaitu waktu yang diperlukan air untuk mengalir di atas permukaan tanah menuju saluran drainase. Untuk menghitung to pada daerah pengaliran yang kecil dengan panjang limpasan sampai dengan ± 300 meter, menggunakan rumus : to =

1/3

5 , 0 1 , 1 26 , 3 o o S xL C x  keterangan :

(13)

C = koefisien pengaliran

Lo = panjang aliran limpasan (m) So = kemiringan (%)

 Conduit time (td), yaitu waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di sepanjang saluran sampai ke titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir.

Penentuan td dengan rumus : td = d d V L keterangan :

td = conduit time (menit ) Ld = panjang saluran (m)

Vd = kecepatan air dalam saluran (m/detik)

Kecepatan air dalam saluran tergantung kepada kondisi salurannya. Untuk saluran alami, sifat-sifat hidroliknya sulit ditentukan sehingga td dapat ditentukan dengan menggunakan perkiraan kecepatan air seperti pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Kecepatan untuk Saluran Alami Kemiringan Rata-rata Dasar Saluran (%) Kecepatan Rata-rata (m/detik) <1 1 – 2 2 – 4 4 – 6 6 – 10 10 – 15 0,40 0,60 0,90 1,20 1,50 2,40 Sumber : Drainase Perkotaan, 1997 2.4.2 Data Hujan

Data curah hujan di Indonesia dikumpulkan oleh dinas meteorologi dan Geofisika, Dephub. Dari sini penggunaan data curah hujan untuk :

1. Perhitungan dimensi saluran, baik yang tertutup maupun terbuka, dengan lining atau tanpa lining

2. Perhitungan dimensi bangunan pelengkap dan lintasan (gorong-gorong atau sipon)

3. Perhitungan bentang jembatan

(14)

Analisa curah hujan yaitu dengan memproses data curah hujan mentah, diolah menjadi data yang siap dipakai untuk perhitungan debit aliran. Data curah hujan yang akan dianalisa berupa array data tinggi hujan harian maksimum dalam setahun, selama paling sedikit 20 tahun pengamatan berturut-turut. Untuk menganalisa data curah hujan harian ini, kita dapat menggunakan beberapa metoda analisa distribusi probabilitas yang dipandang sangat berguna bagi perencanaan-perencanaan teknis secara teoritis. Dalam hal ini analisa dilakukan dengan berbagai metode yang sering dipakai dalam analisa curah hujan yang diterangkan langkah per langkah seperti dibawah ini.

a. Melengkapi data curah hujan yang hilang

Data hujan hasil pencatatan yang ada biasanya ada dalam kondisi yang tidak menerus atau terputus rangkaiannya. Menghadapi kondisi tersebut perlu adanya pengisian data yang kosong (hilang). Untuk melengkapi data hujan yang hilang dapat dengan cara mengambil data dari stasiun pengamat tetangga terdekat, dengan ketentuan sebagai berikut:

Jika selisih antara hujan tahunan normal dari stasiun yang datanya tdak lengkap dengan hujan tahunan normal semua stasiun kurang dari 10 %, maka perkiraan data yang hilang bisa mengambil harga rata-rata hitung dari stasiun– stasiun yang mengelilinginya atau metode aritmatik .

Jika selisihnya lebih dari pada 10 %, maka dapat menggunakan metoda perbandingan rasio normal, yaitu ;

di mana :

rx = curah hujan yang dilengkapi

Rn = rata-rata curah hujan pada stasiun pengamat yang salah satu tinggi curah hujannya sedang dilengkapi.

n = Banyaknya stasiun pengamat hujan untuk perhitungan n > 2

ri = Curah hujan pada tahun yang sama dengan rx pada stasiun pembanding. ) ( ) 1 ( 1 1 Rx rx Rn rn N R r n i   

(15)

Ri = Curah hujan rata-rata tahunan pada stasiun pengamat hujan pembanding

b. Uji Konsistensi Data Curah Hujan

Suatu rangkaian data curah hujan bisa mengalami ketidakkonsistensian atau non homogenitas yang bisa mengakibatkan hasil perhitungan menjadi tidak tepat. Ketidakkonsistensian data curah hujan disebabkan :

 Perubahan mendadak pada sistem lingkungan  Pemindahan alat ukur

 Perubahan cara pengukuran

Ketidakkonsistensian data hujan ditandai dengan beloknya grafik garis lurus yang terdiri dari :

 Absis, yaitu oleh harga rata-rata curah hujan dari paling sedikit 5 (lima) stasiun hujan yang datanya dipakai dalam perhitungan perencanaan sistem drainase .

 Ordinat, yaitu oleh curah hujan dari stasiun yang diuji konsistensiannya. Keduanya harus dalam tahun yang bersamaan dan diplot dalam koordinat kartesius, yang dimulai dari data yang terbaru. Harga rata-rata yang diplot merupakan harga kumulatif .

Konsistensi data hujan diuji dengan garis massa ganda (double mass curves technique). Dengan metoda ini dapat juga dilakukan koreksi datanya. Dasar metoda ini adalah membandingkan curah hujan tahunan akumulatif dari jaringan stasiun dasar. Curah hujan yang konsisten seharusnya membentuk garis lurus, namun apabila tidak membentuk garis lurus, maka diadakan koreksi sebagai berikut : Fk = TL TB tg tg    Rk = Fk. R dimana :

α dan β = sudut kemiringan data hujan dari stasiun yang dicari Fk = faktor koreksi

(16)

Rk = curah hujan setelah dikoreksi

Gambar. 2.9. Daerah dengan Stasiun Hujan A, B, dan C

Gambar. 2.10. Grafik data hujan stasiun A konsisten

Gambar. 2.11. Data Hujan Stasiun A yang tidak konsisten  A

 C  B

(17)

c. Menghitung Hujan Wilayah Rata-rata Daerah Aliran

Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah/daerah dan dinyatakan dalam mm (Soemarto, C.D., Ir., B.I.E DIPL.H., Hidrologi Teknik, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1995). Curah hujan daerah ini harus diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan. Cara-cara perhitungan curah hujan daerah dari pengamatan curah hujan di beberapa titik adalah sebagai berikut :

 Cara Rata-rata Aljabar

Cara ini adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah hujan di dalam dan di sekitar daerah yang bersangkutan.

R = n

1

(R1 + R2 + R3 + …+Rn) di mana :

R = curah hujan daerah (mm)

n = jumlah titik (pos-pos) pengamatan

R1 , R2 , R3… Rn = curah hujan di tiap titik pengamatan (mm)

Gambar. 2.12 Cara aljabar  Cara Polygon Thiessen

Jika titik-titik pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar merata, maka cara perhitungan curah hujan rata-rata dilakukan dengan memperhitungkan daerah

 A B  C D  E

(18)

pengaruh tiap titik pengamatan (Varshney, R.S., Engineering Hydrology, India, 1979). Curah hujan daerah itu dapat dihitung dengan persamaan sbb :

R = A1R1 + A2R2 + A3R3 + …+ AnRn A1 + A2 + A3 + … + An

= A1R1 + A2R2 + A3R3 + …+ AnRn A

= W1R1 + W2R2 + W3R3 + …+ WnRn

dimana :

R = curah hujan daerah

R1, R2, R3,…Rn = curah hujan di tiap titik pengamatan dan n adalah jumlah titik-titik pengamatan

A1, A2, A3,…An = bagian daerah yang mewakili tiap titik pengamatan

Gambar. 2.13 Cara Thiessen Dimana :

I = Stasiun I dengan luas Poligon A1 II = Stasiun II dengan luas poligon A2 III = Stasiun III dengan luas poligon A3 A1 = Luas daerah yang dibatasi POQ A2 = Luas daerah yang dibatasi POR A3 = Luas daerah yang dibatasi ROQ  Cara Isohyet

Peta ishoyet digambar pada peta topografi dengan perbedaan (interval) 10 sampai 20 mm berdasarkan data curah hujan titik-titik pengamatan di dalam dan di

R III R II

(19)

sekitar daerah yang dimaksud. Jadi garis ini menghubungkan titik-titik dengan kontur tinggi hujan yang sama.

Gambar 2.14 Cara Isohyet

Kemudian luas bagian diantara isohyet-isohyet yang berdekatan diukur, dan nilai rata-ratanya dihitung sebagai nilai rata-rata timbang nilai kontir, sbb :

n n n n A A A A d d A d d A d d d            ... 2 ... 2 2 2 1 1 2 2 1 1 1 0 Dengan :

A = A1 +A2 +…+An = luas areal total

d = tinggi curah hujan rata-rata areal d0, d1, d2,…,dn = curah hujan pada isohyet 0,1,2,…,n

A0, A1, A2,…,An = luas bagian areal yang dibatasi oleh isohyet-isohyet yg bersangkutan

Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan untuk membuat isohyet (Takeda, Kenzaku, Hidrologi Untuk Pengairan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1993).

d. Analisa Hujan Harian Maksimum

Analisa hujan harian maksimum dapat menggunakan beberapa cara yaitu :  Metode Gumbel

Hujan harian maksimum metode Gumbel dirumuskan sebagai berikut : RT = R +σR/σN (Yt – Yn)

(20)

dimana :

RT = HHM rencana dengan, PUH = 1 tahun

R = Presipitasi rata-rata dalam kisaran data HHMS (mm/24jam) σR = Standard Deviasi

σN= Expected Standard Deviasi Yn = Expected Mean Reduced Variate Yt = Reduced Variated untuk PUH = t tahun

Tabel 2.2.Reduced Variate (Yt) pada PUH t tahun PUH = t TAHUN REDUCED VARIATED 2 0,3665 5 1,4999 10 2,2502 25 3,1985 50 3,9019 100 4,6001

Sumber : Nemec, J., Engineering Hydrology, Tata-McGraw Hill Publishing Company, Ltd., New Delhi, 1972

Pada metode ini yang perlu dicari adalah rentang keyakinannya (convidence interval), yaitu keyakinan bahwa harga-harga perkiraan tersebut

mm/24 jam (Loebis, Joesron, Ir., M.Eng., Banjir Rencana Untuk Bangunan Air, Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta, 1992). Persamaannya adalah :

Rk = t(a). Se

Dimana :

Rk = rentang keyakinan (mm/24 jam) T(a) = fungsi a

Untuk a = 90%, t(a) = 1,64 Untuk a = 80%, t(a) = 1,282 Untuk a = 68%, t(a) = 1,00

(21)

Se = Probality error (eror deviasi) = N R b  b = 2 1 , 1 3 , 1 1 kK k = N Yn Yt  

N = Jumlah data tahun pengamatan  Metode Log Pearson Tipe III

Parameter-parameter statistik yang diperlukan oleh distribusi Person Tipe III adalah :

- Nilai tengah (mean) - Standar Deviasi

- Koefisien Kepencengan

Untuk menghitung banjir perencanaan dalam praktek, The Hydroloy Committee of The Water Resources Council USA, menganjurkan, pertama kali mentransformasi data ke nilai-nilai logaritmanya, kemudian menghitung parameter-parameter statistiknya. Karena transformasi tersebut, maka cara ini disebut Log Pearson Tipe III.

Langkah-langkah perhitungannya :

- Menyusun data-data curah hujan ( R ) mulai dari harga yang terbesar sampai dengan harga terkecil

- Merubah sejumlah N data curah hujan ke dalam bentuk logaritma Xi = log Ri

 Menghitung besarnya harga rata-rata besaran tersebut dengan persamaan:

N Xi X    Menghitung besarnya Cs dengan rumus :

3 3 ) )( 2 )( 1 (n n x X Xi nx Cs     

Harga Cs yang didapat digunakan untuk mencari nilai Kx pada tabel yang telah disediakan sesuai dengan PUH yang ditentukan.

(22)

 Menentukan harga Xt dengan rumus : Xt = X + Kx.x

 Harga Xt yang didapatkan, diantilogkan, maka akan didapatkan nilai dari HHM yang dicari.

Rt = Antilog Xt Distribusi Normal

Distribusi ini mempunyai probability density function sebagai berikut :

2 2 2 2 1 ) ( '        e x X P dimana:  = varian = rata-rata

Sifat khas lain yaitu nilai asimetrisnya hampir sama dengan nol dengan kurtosis tiga. Selain itu kemungkinan :

% 87 , 15 ) (x  P

 

% 14 , 84 ) ( % 50     x P x P

Dengan demikian kemungkinan varian berada pada daerah

x

dan

x

adalah 68,27%. Sejalan dengan itu maka yang berada antara

x2

dan

x2

adalah 95,44%

Distribusi Log Normal

Distribusi log normal merupakan hasil transformasi dari distribusi normal, yaitu dengan mengubah nilai variat X menjadi nilai logaritmik variant X. Distribusi Log Pearson Tipe III akan menjadi distribusi log normal apabila nilai koefesien kemencengan CS = 0,00. Secara matematis distribusi log-normal di tulis sebagai berikut : P(X)= ) 2 )( )( (log 1  S X exp             2 S X X log 2 1

(23)

P(X) = Peluang log normal X = nilai variant pengamatan

X = nilai rata-rata dari logaritmik variat X, umumnya dihitung nilai rata-rata geometriknya

X = {(X1)(X2)(X3)…(Xn)}1/n

S = deviasi standar dari logaritmik nilai variat X

Apabila nilai P(X) digambarkan pada kertas peluang logaritmik (logarithmic probability paper) akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dengan persamaan :

̅ = Y+k.S Keterangan :

Y = nilai logaritmik nilai X,atau In X

Y = rata-rata hitung (lebih baik rata-rata geometrik) nilai Y S = deviasi standar nilai Y

K = karakteristik distribusi peluang log-normal nilai variabel reduksi Gauss.

Distribusi Log Normal Dua Parameter

Distribusi log normal dua parameter mempunyai persamaan transformasi : Log X = logXk,SlogX

Keterangan :

Log X = nilai variat X yang diharapkan tarjadi pada peluang atau periode tertentu

X

log = rata- rata nilai X hasil pengamatan X

log

S = deviasi standar logaritmik nilai X hasil pengamatan

k = karakteristik dari distribusi normal.

Momen peringkat 1 dari X terhadap titik asal adalah :

M0 =            2 n n 2

e

Varian dari X :

e

1

.

n2 2 2

(24)

Distribusi Log Normal Tiga Parameter

Distribusi log normal tiga parameter memiliki batas bawah tidak selalu sama dengan nol, oleh karena itu perlu di modifikasikan suatu parameter dengan nilai sebagai batas bawah.

Fungsi dari pada distribusi log normal 3 parameter adalah :

 

               n n X in e X In X P 2 1 2 1 Keterangan :

P(X) = fungsi densitas peluang log normal variat X X = variabel random kontinyu

β = parameter batas bawah

= 3,14159

e = 2,71828

µn = rata rata populasi , trnsformasi dari variant In

X 

n

= deviasi standar populasi ,transformasi dari variant IN

X 

Dengan demikian diperlukan tiga parameter untuk penyelesaian, yaitu parameter :

Persamaan garisnya merupakan model matematik : Y = Yk.S

Keterangan :

Y = logaritma dari kejadian , pada periode ulang tertentu. Y = rata rata kejadian Y

S = deviasi standar kejadian Y

K = karakteristik dari distribusi log normal 3 parameter Atau dapat ditulis sbb:

In

X



X

k.

X

Dengan metode momen, maka untuk menghitung adalah :

CVt     

(25)

dimana :  

                        CV CVt CV W W W CVt X sampel dari CV CVt CV CVt S X 2 1 2 3 1 3 2 4 2 1 1 keterangan :

CV = koefesien variasi dari kejadian CVt = koefesien variasi dari

Untuk menghitung n dann

 

             2 1 2 1 CVt In n X  

1

2 1 2             InCVt CVt In n X

Berdasarkan perhitungan keenam jenis metoda tersebut, maka yang dipilih untuk menentukan intensitas hujan berdasarkan hasil analisa frekuensi adalah yang mempunyai penyimpangan maksimum yang terkecil.

e. Pemilihan Rumus Intensitas Hujan

Curah hujan jangka pendek dinyatakan dalam intensitas per jam yang disebut intensitas curah hujan (mm/jam). Besarnya intensitas curah hujan berbeda-beda yang disebabkan oleh lamanya curah hujan atau frekuensi kejadiannya. Beberapa rumus intensitas curah hujan yang dihubungkan dengan hal-hal ini, telah disusun sebagai rumus-rumus eksperimental. Yang biasanya digunakan antara lain :

 Metode Talbott

Rumus ini dikemukakan oleh Prof. Talbott dalam tahun 1881 dan disebut jenis Talbott. Rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan dimana tetapan-tetapan a dan b ditentukan dengan harga-harga yang diukur.

(26)

b t a I   dimana :

 

  

2 2 2 2 ) ( ) ( )( I I N I t I I It a          2 2 2 ) ( ) ( ) ( ) )( ( I I N t I N It I b          Metoda Sherman

Rumus ini dikemukakan oleh Prof. Sherman dalam tahun 1905 dan disebut jenis Sherman. Rumus ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya lebih dari 2 jam

Rumus yang digunakan :

n

t a I  dimana :

log a = (  log I ) . (  log2t ) – (  log t . log I ) . (  log t) N (  log2t ) – (  log t )2

n = (  log I .  log t) – N(  log t.log I) N (  log2t ) – (  log t )2  Metoda Ishiguro

Rumus ini dikemukakan oleh Dr. Ishiguro dalam tahun 1953. Rumus yang digunakan sebagai berikut :

I = a y t + b dimana : a = (  It .  I2 ) – (  I2t ).(  I ) N  I2 – (  I )2 b = (  I .  It ) – N ( I2t) N  I2 – (  I )2 dimana :

I = Intensitas hujan (mm/jam) t = Durasi Hujan (menit) a, b, n = konstanta

(27)

Dari hasil perhitungan intensitas hujan rencana dengan ketiga metode di atas, kemudian dihitung selisihnya dari harga intensitas hujan terpilih. Metode yang sebaiknya dipakai untuk menentukan intensitas hujan rencana adalah metode yang mempunyai selisih terkecil.

 Metode Mononobe

Menurut Dr. Mononobe intensitas hujan (I) di dalam rumus rasional dapat dihitung dengan rumus :

jam mm t R I c / 24 24 3 2        Keterangan :

R = curah hujan rancangan setempat dalam mm tc = lama waktu konsentrasi dalam jam

I = intensitas hujan dalam mm

2.5 DASAR PERENCANAAN

Sistem yang akan direncanakan adalah sistem terpisah. Di dalam perencanaan sistem penyaluran air hujan ini digunakan beberapa parameter yang merupakan dasar perencanaan sistem. Dalam menentukan arah jalur saluran air hujan yang direncanakan terdapat batasan – batasan sebagai berikut :

1. Arah pengaliran dalam saluran mengikuti garis ketinggian yang ada sehingga diharapkan pengaliran secara gravitasi dan menghindari pemompaan.

2. Pemanfaatan sungai/anak sungai sebagai badan air penerima dari outfall yang direncanakan.

Dalam parameter tersebut ditunjukkan adanya faktor pembatas yaitu kondisi geografi setempat. Dari kondisi ini dikembangkan suatu sistem dengan berbagai alternatif dengan mempertimbangkan segi teknis dan ekonomisnya (Joetata Hadihardjaja, 1995).

2.5.1 Aspek Aliran/Teknis

Faktor – faktor yang diperlukan dipertimbangkan untuk perancangan saluran tahan erosi adalah :

1. Jenis material yang membentuk tubuh saluran untuk menentukan koefisien kekasarannya.

(28)

2. Kecepatan aliran minimum yang diijinkan agar tidak terjadi pengendapan apabila air mengandung lumpur dan sisa – sisa kotoran.

3. Kemiringan dasar dan dinding saluran.

Penampang yang efisien, baik yang hidrolis maupun empiris. Beberapa kriteria perancangan dapat diuraikan berikut ini : a. Koefisien larian (run off)

Ketepatan dalam menetapkan besarnya debit air yang harus dialirkan melalui saluran drainase pada daerah tertentu, sangatlah penting dalam penentuan dimensi saluran. Menghitung besarnya debit rancangan drainase perkotaan pada umumnya digunakan metode rasional dan modifikasinya (Joetata Hadihardjaja, 1995).

Besarnya koefisien pengaliran dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.3.1 Koefisien Pengaliran Berdasarkan Jenis Permukaan dan Tata Guna Tanah Jenis Permukaan / Tata Guna Tanah Koefisien Pengaliran

1. Daerah Pertanian 2. Daerah Perkebunan 3. Tanah Kuburan 4. Tempat Bermain 5. Jalan Aspal 6. Jalan Beton 7. Jalan Batu 0,45 – 0,55 0,20 – 0,30 0,10 – 0,50 0,20 – 0,35 0,70 - 0,95 0,80 – 0,95 0,70 – 0,85 8. Perumputan

3. Tanah pasir, slope 2 % 4. Tanah pasir, slope 2 – 7 % 5. Tanah pasir, slope 7 % 9. Business 6. Pusat kota 7. Daerah pinggiran 10. Perumahan 8. Kepadatan 20 rumah / Ha 9. Kepadatan 20 – 60 rumah / Ha 10. Kepadatan 60 – 160 rumah /Ha

0,05 – 0,10 0,10 – 0,15 0,15 - 0,20 0,75 – 0,95 0,50 – 0,70 0,50 – 0,60 0,60 – 0,80 0,70 – 0,90

(29)

11. Daerah Industri 11. Industri Ringan 12. Industri Berat

0,50 – 0,80 0,60 – 0,90 (Sumber : Imam Subarkah,1980)

b. Bentuk – bentuk saluran

Bentuk – bentuk untuk saluran drainase tidak terlampau jauh berbeda dengan saluran air untuk irigasi pada umumnya. Dalam perancangan dimensi saluran harus diusahakan dapat memperoleh dimensi penampang yang ekonomis (Joetata Hadihardjaja, 1995).

Bentuk saluran drainase terdiri dari: 1. Bentuk trapesium

Pada umumnya saluran ini dari tanah, tetapi dimungkinkan juga dari pasangan batu kali. Saluran ini membutuhkan ruang yang cukup.

2. Bentuk segi empat

Saluran ini tidak banyak membutuhkan ruang. Sebagai konsekuensi saluran ini harus dari pasangan atau beton.

3. Bentuk lingkaran, parabola, dan bulat telur

Saluran ini berupa saluran dari pasangan atau kombinasi pasangan dan pipa beton. Dengan bentuk dasar saluran yang bulat memudahkan pengangkutan bahan endapan/limbah.

4. Bentuk tersusun

Saluran ini dapat berupa tanah maupun pasangan. Tampang saluran yang bawah berfungsi mengalirkan air rumah tangga pada kondisi tidak hujan, apabila terjadi hujan maka kelebihan air dapat ditampung pada saluran bagian atas (Joetata Hadihardjaja, 1995).

c. Macam material

Lapisan dasar dan dinding saluran drainase tanah erosi bisa dibuat dari : beton, pasangan batu kali, pasangan batu merah, aspal, kayu, besi cor, baja, dan lain – lain. Pilihan material tergantung pada tersedianya lahan serta harga bahan konstruksi saluran. Penampang melintang saluran drainase perkotaan pada umumnya berbentuk segi empat, karena dipandang lebih efisien di dalam pembebasan tanahnya jika dibandingkan dengan trapezium (Joetata Hadihardjaja, 1995).

(30)

d. Kemiringan saluran

Yang dimaksud dengan kemiringan saluran adalah kemiringan dasar saluran dan kemiringan dinding saluran.

Kemiringan dasar saluran merupakan kemiringan dasar saluran arah memanjang dimana umumnya dipengaruhi oleh kondisi topografi, serta tinggi tekanan yang diperlukan untuk adanya pengaliran sesuai dengan kecepatan yang diinginkan. Kemiringan dasar saluran maksimum yang diperbolehkan adalah 0,005 – 0,008 tergantung pada bahan saluran yang digunakan. Kemiringan yang lebih curam dari 0,002 bagi tanah lepas sampai dengan 0,005 untuk tanah padat akan menyebabkan erosi (Joetata Hadihardjaja, 1995).

e. Kecepatan yang diijinkan

Kecepatan minimum yang diijinkan adalah kecepatan terkecil yang tidak menimbulkan pengendapan dan tidak merangsang pertumbuhan tanaman akuatik serta lumut. Pada umumnya dalam praktek kecepatan sebesar 0,60 – 3,0 m/det dapat digunakan dengan aman apabila prosentase lumpur yang ada di air cukup kecil.

Kecepatan maksimum yang diijinkan berdasarkan material : 1. Untuk saluran berdinding tanah : v maks = 0,75 m/det 2. Untuk saluran berdinding batu : v maks = 2,5 m/det 3. Untuk saluran berdinding beton : v maks = 3 m/det f. Jagaan (freeboard)

Yang dimaksud dengan jagaan dari suatu saluran adalah jarak vertikal dari puncak tanggul sampai permukaan air pada kondisi perencanaan. Jagaan direncanakan untuk dapat mencegah peluapan air akibat gelombang serta fluktuasi permukaan air, akibat gerakan angin serta pasang surut. Jagaan tersebut direncanakan antara 5 % sampai dengan 30 % dari dalamnya aliran (Joetata Hadihardjaja, 1995).

g. Koefisien kekasaran Manning

Dari macam – macam jenis saluran, baik berupa saluran tanah maupun dengan pasangan, besarnya koefisien mengacu pada tabel berikut :

(31)

Tabel 2.3.2 Koefisien Kekasaran Manning Tipe Saluran Kondisi

baik cukup buruk  Saluran buatan :

1. Saluran tanah, lurus beraturan

2. Saluran tanah, digali biasanya

3. Saluran batuan, tidak lurus dan tidak beraturan 4. Saluran batuan, lurus

beraturan

5. Saluran batuan, vegetasi pada sisiknya

6. Dasar tanah, sisi batuan koral

7. Saluran berliku – liku kecepatan rendah

13. Saluran alam :

1. Bersih, lurus, tetapi tanpa pasir dan tanpa celah 2. Berliku, bersih, tetapi

berpasir dan berlubang 3. Berliku bersih, tidak

dalam, kurang beraturan

4. Aliran lambat, banyak tanaman dan lubang dalam

5. Tumbuh tinggi dan padat 14. Saluran dilapisi

1. Batu kosong tanpa adukan semen

2. Batu kosong dengan adukan semen

3. Lapisan beton sangat halus

4. Lapisan beton biasa dengan tulangan baja 5. Lapisan beton dengan

tulangan kayu 0,020 0,028 0,040 0,030 0,030 0,030 0,025 0,028 0,035 0,045 0,060 0,100 0,030 0,020 0,011 0,014 0,016 0,023 0,030 0,045 0,035 0,035 0,030 0,028 0,030 0,040 0,050 0,070 0,125 0,033 0,025 0,012 0,014 0,016 0,025 0,025 0,045 0,035 0,040 0,040 0,030 0,033 0,045 0,065 0,080 0,150 0,035 0,030 0,013 0,015 0,018 ( Sumber : Joetata, 1997)

(32)

2.5.2 Aspek Biaya

Di samping kriteria – kriteria yang disiapkan berdasarkan kondisi alam di atas, ada pula kriteria – kriteria yang dibuat kondisi batas yang lain. Kondisi batas ini meliputi antara lain aspek biaya, sosial, lingkungan dan lain sebagainya. Salah satu kriteria yang berdasarkan pada aspek biaya adalah kala ulang untuk debit rencana yaitu sebagai berikut

1. saluran kwarter : periode ulang 1 tahun 2. saluran tersier : periode ulang 2 tahun 3. saluran sekunder : periode ulang 5 tahun 4. saluran primer : periode ulang 10 tahun

2.6 PERHITUNGAN LIMPASAN HUJAN

Untuk menentukan besarnya debit aliran air berdasarkan curah hujan, perlu ditinjau hubungan antara aliran dengan curah hujan. Besarnya aliran dalam saluran ditentukan terutama oleh besarnya hujan, intensitas hujan, luas daerah hujan, lama waktu hujan, luas daerah aliran saluran, dan ciri-ciri daerah aliran tersebut (Joetata Hadihardjaja, 1995).

Metode pengukuran yang sering dipakai untuk menghitung besarnya aliran air dalam hubungannya dengan faktor-faktor diatas adalah Metode Rasional, dimana perumusannya adalah sebagai berikut :

Q = C . I . A

Atau kalau digunakan satuan metrik, maka rumus diatas menjadi : Q = 0,278 C . I . A

Dimana:

Q = debit aliran (m3/detik)

C = koefisien pengaliran, tidak berdimensi A = Luas daerah aliran saluran (m)

I =Intensitas Hujan Maksimum yang direncanakan untuk PUH tertentu (mm/detik)

Rumus rasional diatas, dipakai untuk menentukan besarnya banjir rencana maksimum bagi saluran-saluran dengan daerah aliran kecil, tidak lebih dari 80 ha. Untuk daerah aliran yang lebih besar dari 80 ha, maka perhitungan dengan rumus rasional tersebut harus dikalikan dengan koefisien penampungan (Cs). Sehingga untuk daerah aliran yang lebih besar dari 80 ha perhitungan dilakukan dengan Metode Modifikasi Rasional yaitu :

(33)

Q = 0,278 . C . Cs . I . A m3/detik 1. Time of Overland Flow

Adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh di daerah pematusan untuk masuk ke dalam saluran/badan air penerima yang terdekat. Perumusannya adalah sebagai berikut: 3 . 0 4 . 0 6 . 0 ) ( ) ( ) ( 33 . 6 So CoIe nLo to Dimana :

Lo = Panjang jarak dari tempat terjauh (awal pengaliran) sampai pada saluran/badan air penerima

C = Koefisien limpasan permukaan tempat air merayap So = Perbandingan antara H dengan L

n = Kekasaran manning 2. Overland Flow (Lo)

Merupakan suatu aliran limpasan permukaan alamiah pada daerah yang kita amati sebelum aliran tersebut masuk ke dalam saluran atau badan air penerima yang terdekat. Besarnya pengaliran tergantung pada koefisien pengaliran, koefisien penampungan, serta keadaan daerah tersebut.

3. Slope of Overland Flow

Adalah kemiringan dari aliran pada daerah yang kita tinjau. Slope ini dapat kita peroleh dari dari hasil perbandingan selisih tinggi antara tempat terjauh (awal aliran) dengan badan air penerima (akhir aliran), dengan panjang/jarak aliran tersebut dari awal hingga ke badan air penerima.

4. Time of Drain

Adalah waktu yang dibutuhkan air untuk mengalir selama berada di dalam saluran, sampai pada titik pengamatan yang kita tentukan.

Perumusannya adalah sebagai berikut :

) 60

( Vd

Ld td

(34)

Dimana:

L = panjang saluran (m)

V = Kecepatan aliran air di dalam saluran (m/dt) 5. Time of Concentration

Adalah waktu yang dibutuhkan air hujan untuk mengalir mulai dari awal pengalirannya sampai pada titik pengamatan yang kita tentukan. Perumusannya adalah sebagai berikut :

tc = to + td

Lama dari waktu konsentrasi ini tergantung pada kondisi daerah aliran, terutama jarak pengaliran dan kemiringan daerah pengaliran, dan koefisien pengaliranya (Joetata Hadihardjaja, 1995).

Besarnya time of inlet dipengaruhi banyak faktor, antara lain :

1. Kekasaran tanah, makin kasar permukaan tanah maka aliran makin kecil sehingga time of inlet makin besar

2. Adanya legokan pada permukaan tanah sehingga menghambat aliran, bahkan dapat mengurangi jumlah air yang mengalir

3. Kemiringan tanah yang akan mempengaruhi kecepatan aliran 4. Luas daerah pengaliran atau jarak daerah pengaliran ke stream inlet 5. Kepadatan rumah dan jenis permukaan tanah

Dalam perencanaan saluran air hujan, sebagian faktor yang disebutkan di atas sulit untuk diperhitungkan, sehingga untuk perencanaan selanjutnya time of inlet diperhitungkan berdasarkan besarnya koefisien pengaliran dan kemiringan rata– rata permukaan tanah.

Sedangkan kecepatan rata–rata aliran dapat diperkirakan berdasarkan kemiringan rata – rata dasar saluran, seperti tertera pada tabel 2.4.1

(35)

Tabel 2.4.1 Hubungan Kemiringan Rata – Rata Dasar Saluran dan Kecepatan Aliran Kemiringan rata – rata dasar

saluran (%)

Kecepatan aliran rata – rata (m/det)

Kurang dari 1 1 – 2 2 – 4 4 - 6 6 – 10 10 – 15 0,40 0,60 0,90 1,20 1,50 2,40

(Sumber : BUDS Project, 1978) 6. Rumus Kirpich

Rumus ini bisa digunakan untuk menginghitung td, to, maupun tc. Untuk menghitung td, maka yang digunakan adalah Ld, sedangkan untuk menghitung to yang digunakan adalah Lo, dan untuk menghitung tc, yang digunakan adalah jumlah dari Lo dan Ld.

Dirumuskan sebagai berikut :

to = 0.0195 Lo 0.77S

Sedangkan untuk tc dan td, maka yang diganti adalah koefisien Lo, seperti yang telah dijelaskan di atas.

7. Koefisien Penampungan

Merupakan efek penampungan dari suatu aliran terhadap banjir puncak (maksimum), dimana koefisien ini akan semakin besar kalau daerah alirannya semakin luas. Efek penampungan terhadap banjir maksimum diperhitungkan sebagai koefisien penampungan (Cs = Coefficient of Storage), dengan rumus :

Cs = 2tc g

2tc + td

dimana :

Cs = koefisien penampungan tc = waktu konsentrasi

(36)

8. Koefisien Pengaliran

Besar suatu pengaliran dapat kita nyatakan dalam ukuran tinggi, dan kita sebut sebagai tinggi aliran. Kalau ukuran besarnya hujan (dalam mm) untuk luas daerah yang sama, kita sebut tinggi hujan, maka perbandingan antara tinggi aliran dengan tinggi hujan (yang ditentukan untuk jangka waktu yag cukup panjang) disebut koefisien pengaliran, jadi :

C = Hujan Tinggi k Aliran Tinggi

Koefisien pengaliran ini dipengaruhi oleh : keadaan hujan, luas dan bentuk DAS, kemiringan DAS dan dasar saluran, daya infiltrasi dan perkolasi tanah kebasahan tanah, letak DAS terhadap arah angin, dan lain-lain. Harga C berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan perubahan pada DAS.

9. Kecepatan aliran dalam saluran ( V )

Kecepatan aliran yang diijinkan dalam suatu saluran telah memiliki suatu ketentuan-ketentuan tertentu. Secara umum, kecepatan aliran dalam saluran diisyaratkan sebesar 0,3 meter/detik atau lebih, dengan maksud agar tidak terjadi pengendapan material di dasar saluran. Dan kecepatan maksimumnya biasanya diisyaratkan antara 1 sampai 3 m/detik dengan maksud agar saluran tidak mudah tergerus, terutama untuk saluran berbentuk segi empat.

10. Intensitas Hujan

Penentuan intensitas hujan untuk perencanaan saluran mempertimbangkan : a. Periode ulang hujan rata-rata yang diperoleh

b. Waktu konsentrasi

Untuk keperluan perencanaan, digunakan intensitas hujan yang memiliki durasi sama dengan waktu konsentrasi pada PUH yang dipilih (Joetata Hadihardjaja, 1995).

2.7 PERANCANGAN SALURAN

Sebelum merencanakan dimensi saluran, langkah pertama yang harus diketahui adalah berapa debit rencananya. Untuk menghitung debit rencana perlu diketahui berapa luas daerah yang harus dikeringkan oleh saluran tersebut. Perhitungan besar air yang dibuang adalah berdasarkan tata guna lahan. Langkah pertama adalah merencanakan tata letak. Tata letak direncanakan berdasarkan peta kota dan peta topografi. Tentukan letak – letak saluran –

(37)

saluran induk. Setelah debit masing - masing saluran diketahui, barulah dilakukan perhitungan dimensi saluran. Untuk merencanakan dimensi penampang saluran drainase digunakan pendekatan rumus – rumus aliran seragam (Joetata Hadihardjaja, 1995).

Bentuk penampang saluran drainase dapat merupakan saluran terbuka maupun saluran tertutup tergantung pada kondisi daerahnya. Rumus kecepatan rata – rata pada perhitungan dimensi penampang saluran menggunakan rumus Manning, karena rumus ini mempunyai bentuk yang sangat sederhana tetap.

1. Penampang saluran segi empat

2 1 3 2 2 1 3 2 1 1 S R n A v A Q S R n v   

a. Angka kekasaran (n) dapat ditentukan berdasarkan jenis bahan yang dipergunakan.

b. Kemiringan tanah asli = kemiringan dasar saluran (S) dapat diketahui berdasarkan kondisi topografinya

c. Luas penampang (A) = bh d. Keliling basah (P) = b2h e. Jari – jari hidrolis ( R ) =

P A

f. Tinggi jagaan = 30 % h

g. Tinggi saluran (H) = h + tinggi jagaan

Untuk menentukan dimensi saluran dianjurkan untuk melakukan pendekatan terhadap perbandingan antara lebar dasar saluran (b) dengan kedalaman aliran dalam saluran (h) yang dihubungkan dengan kapasitas saluran, seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 2.5 Perbandingan Lebar Dasar Saluran dengan Tinggi Air yang Dianjurkan Berdasarkan Kapasitas Saluran

Kapasitas Saluran (m3/det) b : h 0,0 – 0,5 0,5 – 1,0 1,0 – 1,5 1,5 – 3,0 3,0 – 4,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0

(38)

4,5 – 6,0 6,0 – 7,5 7,5 – 9,0 9,0 – 11,0 3,5 4,0 4,5 5,0 (Sumber : Imam Subarkah, 1980 ) 2. Penampang Saluran Trapesium

rencana Q Q ana v A Q S R n v    dim , 1 12 3 2

a. Angka kekasaran ditentukan berdasarkan jenis bahan yang digunakan.

b. Kemiringan dasar saluran (S) ditentukan berdasarkan topografi (atau disebut S = 0,0006) c. Kemiringan dinding saluran berdasarkan bahan yang digunakan, dapat dilihat pada tabel

4.4.

d. Luas Penampang (A) = (b + mh)h e. Keliling Basah = b + 2h 1m2 f. Jari jari hidrolis = A/P

g. Tinggi jagaan = 25 % h

h. Tinggi saluran = h + tinggi jagaan

Tabel 2.6 Kemiringan Dinding Saluran yang Dianjurkan Berdasarkan Bahan yang Digunakan

Bahan Saluran Kemiringan Dinding

Batuan cadas Tanah Lumpur

Lempung keras atau tanah dengan lapisan beton

Tanah dengan pasangan batu atau tanah dengan saluran besar

Lempung atau tanah untuk saluran - saluran kecil

Tanah berpasir lepas

Lumpur berpasir atau lempung porous

Mendekati vertikal 0,25 : 1 (0,5 – 1) : 1 1 : 1 1,5 : 1 2 : 1 3 : 1

(Sumber : Ven Te Chow, 1978) 2.8 PERANCANGAN BANGUNAN

(39)

Dalam perancangan drainase , diperlukan bermacam – macam bangunan yang berfungsi sebagai sarana untuk:

1. Memperlancar surutnya genangan yang mungkin timbul di atas permukaan jalan karena Q hujan rencana.

2. Memperlancar arus saluran

3. Mengamankan dari bahaya degradasi pada dasar saluran

4. Mengatur saluran terhadap pasang surut, khususnya di daerah pantai Adapun bangunan – bangunan sebagaimana tersebut di atas adalah: a. Inlet tegak

Ditempatkan pada jarak – jarak tertentu di sepanjang tepi jalan (KERB) atau pada pertemuan KERB di perempatan jalan

Gambar 2.15 inlet tegak b. Jembatan

Bangunan ini dimaksudkan untuk mendukung pipa (saluran air/minyak) atau jalan yang melintang saluran drainase.

(40)

Gambar 2.16 Jembatan c. Inlet datar

Ditempatkan di pertigaan jalan, dimana pada arah melintang jalan terdapat saluran

Gambar 2.17 inlet datar d. Grill

Ditempatkan pada perempatan jalan, dimana di bawahnya terdapat saluran, yang berfungsi menerima air yang melewatinya. Berada pada tempat yang terendah dari jalan yang menurun.

Gambar 2.18 Grill e. Manhole

Bangunan ini diletakkan pada jarak – jarak tertentu di sepanjang trotoar, berfungsi untuk pemeliharaan saluran.

(41)

Bangunan ini dibuat untuk menghubungkan saluran di kaki bukit melintang jalan di bawahnya dan berakhir di sisi bawah dari bangunan penahan tanah yang mendukung struktur jalan tersebut (Joetata Hadihardjaja, 1995).

.

Gambar 2.19 Gorong-gorong Perhitungan dimensi gorong – gorong :

v A n gz A n Q . . 2 .   Keterangan :

Q = debit aliran (m3/det)

n = koefisien debit (dapat dilihat pada tabel 4.5) A = luas gorong – gorong (m2)

g = percepatan gravitasi (= 9,81 m/det2)

z = kehilangan tinggi energi pada gorong – gorong Tabel 2.7 Koefisien Debit Tinggi dasar dibangun

sama dengan saluran

Tinggi dasar dibangun lebih tinggi dari dasar saluran

Sisi n Ambang Sisi n

Segi empat Bulat 0,8 0,9 Segi empat Bulat Bulat Segi empat Segi empat Bulat 0,72 0,76 0,85 (Sumber : Ven Te Chow, 1978)

(42)

Hmasuk = koefisien masuk . (va – v)2/2g Keterangan :

Koefisien masuk = 0,8

va = kecepatan aliran pada saluran v = kecepatan dalam gorong – gorong g = percepatan gravitasi (= 9,81 m/det2) g. Ground Sill

Bangunan ini ditempatkan melintang saluran pada jarak – jarak tertentu sehingga dapat berfungsi sebagai pengaman terhadap bahaya degradasi terhadap dasar saluran.

h. Pintu Air

Bangunan pintu air dapat berupa manual maupun otomatis, berfungsi sebagai penahan air pasang atau banjir (Joetata Hadihardjaja, 1995).

i. Bangunan Terjun

Bangunan ini diperlukan bila penempatan saluran terpaksa harus melewati jalur dengan kemiringan dasar (S) yang cukup besar (Joetata Hadihardjaja, 1995).

.

Gambar 2.20 Bangunan terjun 2.9 SUMUR RESAPAN

Sumur resapan telah banyak digunakan pada jaman dulu, yaitu dengan membuat lubang-lubang galian di kebun halaman serta memanfaatkan sumur-sumur yang tidak dipakai sebagai penampung air hujan.

Konsep sumur resapan adalah member kesempatan dan jalan pada air hujan yang jatuh di atap atau lahan yang kedap air untuk meresap ke dalam tanah denga jalan menampung air

(43)

pada suatu sistem resapan. Sumur resapan ini merupakan sumur kosong dengan kapasitas tampungan yang cukup besar sebelum air meresap ke dalam tanah.

Berdasarkan konsep tersebut, maka ukuran atau dimensi sumur yang diperlukan untuk suatu lahan tergantung dari beberapa faktor, antara lain:

a. Luas permukaan penutupan,

Yaitu lahan yang airnya akan ditampung dalam sumur resapan, meliputi luas atap, lapangan parker dan perkerasan lain.

b. Karakteristik hujan

Meliputi intensitas hujan, lama hujan, selang waktu hujan. Secara umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi hujan maka makin lama berlangsungnya hujan sehingga memerlukan volume sumur resapan yang makin besar. Sementara selang waktu hujan yang sangat besar dapat mengurangi volume sumur yang diperlukan.

c. Koefisien permeabilitas tanah

Yaitu kemampuan tanah dalam melewatkan air per satuan waktu. Tanah berpasir mempunyai koefisien permeabilitas lebih tinggi dibandingkan tanah berlempung.

d. Tinggi muka air tanah

Pada kondisi muka air yang dalam, sumur resapan perlu dibuat secara besar-besaran karena tanah benar-benar memerlukan pengisian air melalui sumur-sumur resapan.

Secara teoritis, volume dan efisiensi sumur resapan dapat dihitung berdasarkan keseimbangan air yang masuk ke dalam sumur dan air meresap ke dalam tanah dan dapat dituliskan sebagai berikut:

( ) Dimana :

H = tinggi muka air dalam sumur (m) F = faktor geometrik (m)

Q = debit air masuk (m3/s) T = waktu pengaliran (sekon)

K = koefisien permeabilitas tanah (m/s) R = Jari-jari sumur (m)

(44)

a. Mengurangi aliran permukaaan dan mencegah terjadinya genangan air b. Mempertahankan tinggi muka air tanah dan menambah persediaan air tanah c. Mengurangi atau menahan terjadinya intrusi air laut bagi daerah yang berdekatan

dengan wilayah pantai

d. Mencegah penurunan atau amblasan lahan sebagai akibat pengambilan air tanah yang berlebihan

e. Mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah

Gambar 2.21 Skema Sumur Resapan

Gambar 2.22 Denah Sumur Resapan

Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan, menetapkan beberapa persyaratan umum yang harus dipenuhi sebuah sumur resapan yaitu :

Sumur resapan harus berada pada lahan yang datar, tidak pada tanah berlereng, curam atau labil.

(45)

Sumur resapan harus dijauhklan dari tempat penimbunan sampah, jauh dari septic tank (minimum lima meter diukur dari tepi), dan berjarak minimum satu meter dari fondasi bangunan.

Penggalian sumur resapan bisa sampai tanah berpasir atau maksimal dua meter di bawah permukaan air tanah. Kedalaman muka air (water table) tanah minimum 1,50 meter pada musim hujan.

Struktur tanah harus mempunyai permeabilitas tanah (kemampuan tanah menyerap air) lebih besar atau sama dengan 2,0 cm per jam (artinya, genagan air setinggi 2 cm akan teresap habis dalam 1 jam), dengan tiga klasifikasi, yaitu :

 Permeabilitas sedang, yaitu 2,0-3,6 cm per jam.

 Permeabilitas tanah agak cepat (pasir halus), yaitu 3,6-36 cm per jam.  Permeabilitas tanah cepat (pasir kasar), yaitu lebih besar dari 36 cm per jam. 2.9.1 Spesifikasi Sumur Resapan

Sumur resapan dapat dibuat oleh tukang pembuat sumur gali berpengalaman dengan memperhatikan persyaratan teknis tersebut dan spesifikasi sebagai berikut:

1. Penutup Sumur

Untuk penutup sumur dapat dipilih beragam bahan diantaranya :

 Pelat beton bertulang tebal 10 cm dicampur dengan satu bagian semen, dua bagian pasir, dan tiga bagian kerikil.

 Pelat beton tidak bertulang tebal 10 cm dengan campuran perbandingan yang sama, berbentuk cubung dan tidak di beri beban di atasnya atau,

 Ferocement (setebal 10 cm).

2. Dinding sumur bagian atas dan bawah

Untuk dinding sumur dapat digunakan bis beton. Dinding sumur bagian atas dapat menggunakan batu bata merah, batako, campuran satu bagian semen, empat bagian pasir, diplester dan di aci semen.

3. Pengisi Sumur

Pengisi sumur dapat berupa batu pecah ukuran 10-20 cm, pecahan bata merah ukuran 5-10 cm, ijuk, serta arang. Pecahan batu tersebut disusun berongga. 4. Saluran air hujan

(46)

Dapat digunakan pipa PVC berdiameter 110 mm, pipa beton berdiameter 200 mm, dan pipa beton setengah lingkaran berdiameter 200 mm.

Satu hal yang penting, setelah sumur resapan dibuat, jangan lupakan perawatannya. Cukup dengan memeriksa sumur resapan setiap menjelang musim hujan atau, paling tidak, tiga tahun sekali.

Dengan membuat sumur resapan di pekarangan setiap rumah, maka diharapkan volume banjir dapat diminimumkan dan sekaligus menjaga cadangan air dalam tanah.

Sumur resapan air hujan adalah prasarana untuk menampung dan meresapkan air hujan ke dalam tanah. Sedangkan Lahan pekarangan adalah lahan atau halaman yang dapat difungsikan untuk menempatkan sumur resapan air hujan.

Persyaratan umum yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut:  Sumur resapan air hujan ditempatkan pada lahan yang relatif datar;  Air yang masuk ke dalam sumur resapan adalah air hujan tidak tercemar;  Penetapan sumur resapan air hujan harus mempertimbangkan keamanan

bangunan sekitarnya;

 Harus memperhatikan peraturan daerah setempat;

 Hal-hal yang tidak memenuhi ketentuan ini harus disetujui Instansi yang berwenang.

Persyaratan teknis yang harus dipenuhi antara lain adalah sebagai berikut:  Ke dalam air tanah minimum 1,50 m pada musin hujan;

 Struktur tanah yang dapat digunakan harus mempunyai nilai permebilitas tanah ≥ 2,0 cm/jam.

 Jarak penempatan sumur resapan air hujan terhadap bangunan, dapat dilihat pada Tabel 1.

(47)

Perhitungan Sumur Resapan air Hujan antara lain : 1. Volume andil banjir digunakan Rumus :

Vab =0,855 Ctadah A tadah. R

Dimana;

Vab = Volume banjir yang akan ditampung sumur resapan (M3) Ctadah = Koefesien limpasan dari bidang tadah(tanpa satuan) A tadah = Luas bidang tadah (m2)

R = Tinggi hujan harian rata-rata (L/m2 hari). 2. Volume air hujan yang meresap digunakan rumus :

Vrsp = te/24.Atotal.K. Dimana:

Vrsp = Volume air hujan yang meresap (m2).

te = durasi hujan efektif (jam).= 0,9.R.0,92/60 (jam). Atotal = Luas dinding sumur+ luas alas sumur(m2). K = Koefesien permeabilitas tanah (m/hari).

Gambar

Gambar 2.1. Jenis-jenis drainase  Sumber : Linsley, Ray K, dkk. 1991  3.  Drainase Jalan Raya
Gambar 2.4. pola siku  c.  Pola Paralel
Gambar 2.7. pola radial  f.  Pola Jaring-jaring
Tabel 2.1 Kecepatan untuk Saluran Alami  Kemiringan Rata-rata  Dasar Saluran (%)  Kecepatan Rata-rata (m/detik)  &lt;1  1 – 2  2 – 4  4 – 6  6 – 10  10 – 15  0,40 0,60 0,90 1,20 1,50 2,40  Sumber : Drainase Perkotaan, 1997  2.4.2  Data Hujan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Stasiun pengukur curah hujan adalah pos-pos yang ditempatkan menyebar dalam suatu daerah aliran sungai secara khusus, guna mengamati besarnya curah hujan yang terjadi pada daerah

Saluran utama pada lokasi studi memiliki daerah tangkapan hujan /.. catchment area yang dapat dikatagorikan cukup luas untuk

Membuat shotcut (saluran drainase baru) di bawah jalan menuju Tukad Dati untuk memperkecil beban aliran pada saluran drainase utama dengan beton pracetak

Analisa distribusi frekuensi curah hujan adalah analisis mengenai pengulangan suatu kejadian untuk menetapkan besarnya hujan atau debit periode ulang tertentu

1. Luas permukaan penutupan, yaiu lahan yang airnya akan ditampung dalam sumur resapan, meliputi luas atap lapangan parker dan perkerasan- perkerasan lain.. Karakteristik

Daerah dengan curah hujan sekitar 1500 mm/thn masih mungkin ditanami karet, asal curah hujan turun merata sepanjang tahun pada daerah yang mempunyai curah hujan 5000

Pada saat curah hujan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung tinggi, dengan bentuk DAS yang panjang dan sempit serta lereng yang curam di daerah hulu hingga tengah,

𝑃𝑥 = ∑ 𝑃𝑖 𝑑𝑥𝑖2 ∑ 1 𝑑𝑥𝑖2 ………...………..2.2 Dengan: 𝑃𝑥 = data hujan yang hilang pada stasiun X mm Pi = besarnya curah hujan yang tercatat pada stasiun ke-i mm 𝑑𝑥𝑖 = jarak dari pos X ke