• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Wilayah DKI Jakarta

Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, luas wilayah daratan Provinsi DKI Jakarta adalah 661,52 km2, termasuk 110 pulau di Kepulauan Seribu, dan lautan seluas 6.997,50 km2. Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif, yaitu Kotamadya Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kotamadya Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2 (Perda No 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012). Citra Satelit Landsat untuk wilayah DKI Jakarta disajikan pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Citra Satelit Landsat Tahun 2001 untuk Wilayah DKI Jakarta (Sumber: SARI (Satellite Assessment for Rice in Indonesia) Project BPPT, 2001).

DKI Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter di atas permukaan laut. Hal ini mengakibatkan DKI Jakarta sering dilanda banjir. Sebelah selatan Jakarta merupakan dataran tinggi yang dikenal dengan daerah Puncak, Bogor. DKI Jakarta dialiri oleh 13 sungai yang semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ciliwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten. Selain itu terdapat Kepulauan Seribu, yang merupakan kabupaten administratif, terletak di Teluk Jakarta.

(2)

Secara geografis DKI Jakarta terletak antara 5°19'12" – 6°23'54" LS dan 106°22'42" – 106°58'18" BT. Keadaan Kota Jakarta umumnya beriklim panas dengan suhu udara maksimum berkisar 32,7°C - 34,0°C pada siang hari, dan suhu udara minimum berkisar 23,8°C -25,4°C pada malam hari. Rata-rata curah hujan sepanjang tahun 237,96 mm, selama periode 2002 – 2006 curah hujan terendah sebesar 122,0 mm terjadi pada tahun 2002 dan tertinggi sebesar 267,4 mm terjadi pada tahun 2005, dengan tingkat kelembaban udara mencapai 73,0 - 78,0 persen dan kecepatan angin rata-rata mencapai 2,2 m/detik - 2,5 m/detik (Perda No 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012).

Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menyatakan bahwa curah hujan tinggi yang terjadi pada bulan Februari tahun 2007 terjadi karena pengaruh cold

surge yaitu aliran monsoon trans-equatorial kuat yang mengalir dari belahan bumi utara dan faktor orografik. Ketika konveksi yang biasa terjadi di daratan akibat adanya pengaruh orografik pada sore hari, ditambah adanya aliran monsoon trans-equatorial kuat dari belahan bumi utara yang aktif pada waktu malam dan pagi dini hari bertemu, menimbulkan terjadinya aliran udara vertikal yang saling bersilangan, sehingga terjadi konveksi kuat di wilayah tersebut dalam waktu singkat. Aliran monsoon trans-equatorial ini memerankan faktor penting pada bentuk perulangan curah hujan tinggi di Pulau Jawa. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadi banjir besar di Jakarta tahun 2007 (Wu et al., 2007).

2.2. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung

Obyek penelitian yang digunakan adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang berada di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). DKI Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.997,5 km²), dengan penduduk berjumlah 9.588.198 jiwa (BPS, 2010). Megapolitan Jabodetabek mencakup wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, yang berpenduduk sekitar 23 juta jiwa, wilayah ini merupakan megapolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia.

Sungai Ciliwung mengalir sepanjang 97 km, mempunyai cakupan area seluas 476 km2, dan berlokasi di sebelah barat Pulau Jawa yang mengalir melalui dua propinsi yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta. Sungai Ciliwung bersumber dari Gunung Mandala Wangi di Kabupaten Bogor dengan ketinggian 3.002 m, sungai ini mengalir melewati beberapa gunung berapi aktif seperti Gunung Salak (2.211 m), Gunung Kendeng (1.364 m), dan Gunung Halimun (1.929 m), memotong dua kota Bogor dan Jakarta, sebelum akhirnya mengalir ke Laut Jawa (Tachikawa et al. (eds), 2004).

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung sempit dan memanjang di mana

upstream (hulu) sepanjang 17,2 km mempunyai lereng yang curam (slope 2 – 45%), 25,4 km di tengah mempunyai slope landai (2 – 15%), serta daerah downstream (hilir) sepanjang 55 km mempunyai slope yang sangat landai (0 – 2%). Rata-rata curah hujan tahunan mencapai 3.125 mm dengan rata-rata limpasan tahunan sebesar 16 m3/s seperti yang terekam di Stasiun Pengamatan Ciliwung Ratujaya/Depok (231 km2). Gambar 4 menunjukkan peta posisi stasiun pengamatan AWLR dan ARR di DAS Ciliwung, warna merah berarti alat telemetri tidak beroperasi sebaliknya warna hijau alat beroperasi dengan telemetri, dengan kondisi topografi, geografi, dan hidrologi seperti ini mengakibatkan Sungai Ciliwung sering meluap dan membanjiri beberapa bagian di kota Jakarta (Tachikawa et al. (eds), 2004).

(3)

Gambar 4. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan lokasi stasiun pengamatan aliran sungai Ciliwung (Sumber: Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung -

Cisadane).

Pada saat curah hujan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung tinggi, dengan bentuk DAS yang panjang dan sempit serta lereng yang curam di daerah hulu hingga tengah, daerah limpasan yang sangat kecil karena padat penduduk serta banyak yang menetap di hilir, sehingga curah hujan yang terjadi pada waktu yang singkat di daerah atas dapat mengakibatkan banjir dan genangan di wilayah Jakarta. Kondisi ini semakin parah pada saat banjir yang terjadi diwaktu bulan purnama di mana gelombang laut tertinggi (Tachikawa et al. (eds), 2004).

Tabel 1. Daftar Stasiun Pengamatan Hidrologi di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung milik Departemen Pekerjaan Umum.

2.3. Radar Cuaca C-Band Doppler (CDR)

Pergerakan air dari lautan ke atmosfer dan kembali lagi ke lautan, kadang-kadang melalui daratan, dikenal dengan istilah siklus hidrologi. Siklus/sistem hidrologi

No Nama Stasiun Stasiun ID Radio ID Letak Bujur (BT) Letak Lintang (LS) Elevasi (m) Sungai Stasiun

1 Cilember 301 6 106.915083 -6.652889 693 Ciliwung ARR 2 Katu Lampa 201 3 106.836611 -6.633083 357 Ciliwung AWLR 3 Ratu Jaya/Depok 202 2 106.818083 -6.414472 89 Ciliwung AWLR 4 Sugu Tamu 203 1 106.841333 -6.374389 70 Ciliwung AWLR 5 MT Haryono 205 5 106.862361 -6.276083 25 Ciliwung AWLR 6 Manggarai 101/204 4 106.8485 -6.207556 16 Ciliwung AWLR+ARR Sumber: Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung - Cisadane.

(4)

merupakan perubahan dari satu bentuk menjadi bentuk yang lain di alam yang terjadi dalam suatu siklus, atau bisa juga disebut siklus/daur air dalam berbagai bentuk seperti yang terlihat pada Gambar 5, meliputi proses evaporasi dari lautan dan badan-badan berair di daratan (misalnya: sungai, danau, vegetasi, dan tanah lembab) ke udara sebagai reservoir uap air, proses kondensasi ke dalam bentuk awan atau bentuk-bentuk pengembunan lain (embun, frost/ibun putih, kabut), kemudian kembali lagi ke daratan dan lautan dalam bentuk presipitasi (termasuk hujan). Selain proses evaporasi (termasuk transpirasi), kondensasi dan presipitasi, siklus ini juga mencakup proses transfer uap air, limpasan, dan peresapan tanah.

Gambar 5. Siklus Hidrologi sebagai proses kontinyu di mana air berpindah dari daratan dan lautan ke atmosfer kemudian kembali lagi ke lautan melalui daratan (Triatmodjo, 2008).

Presipitasi yang mencapai permukaan bumi dapat menjadi beberapa bentuk, termasuk diantaranya hujan, hujan beku, hujan rintik, salju, sleet, dan hujan es. Virga adalah presipitasi yang pada mulanya jatuh ke bumi tetapi menguap sebelum mencapai permukaannya (Suryatmojo, 2006).

Sejak perkembangannya dalam Perang Dunia II, radar telah menyediakan data di mana secara signifikan dapat lebih memahami tentang bagaimana presipitasi itu terbentuk (Collier, 1996). Hal ini dapat membawa perkembangan pada cara baru untuk melakukan peramalan cuaca ke depan untuk periode singkat.

Semua radar cuaca terdiri dari pemancar (transmitter) yang menghasilkan radiasi elektromagnetik dari suatu partikel yang dikenal dan yang memberikan frekuensi. Radiasi ini terkonsentrasi pada suatu bidang pancar (beam) biasanya 10 atau 20 lebarnya dari antenna, dan juga menerima bagian dari bidang pancar yang disebarkan kembali oleh partikel hidrometeorologi. Sebuah penerima mendeteksi sebaran kembali dari radiasi, memperkuat dan mengubah sinyal gelombang mikro menjadi sinyal frekuensi rendah yang berhubungan dengan bagian dari partikel hidrometerologi tersebut (Collier, 1996).

Gambar 6 memperlihatkan bahwa radiasi yang dipancarkan dari sebagian besar radar berupa pulse (denyut/pulsa), di mana sistem disinkronisasi dengan jam yang akurat dan rangkaian pulsa dibentuk dari perulangan frekuensi pulsa tertentu (Pulse

Repetition Frequency/PRF). Kekuatan yang diteruskan atau diterima biasanya disimbolkan dengan dB (decibels).

(5)

Radar echo diproduksi oleh fluktuasi presipitasi yang cepat. Kekuatan sinyal berubah dari satu pulsa ke pulsa berikutnya. Fluktuasi ini disebabkan oleh gerakan dari partikel presipitasi di dalam volume ruang yang diamati oleh bidang pancar (beam) radar pada semua jarak. Jika partikel tersebut bergerak, fase sinyal dari setiap partikel berubah, menghasilkan fluktuasi pada penerima radar (radar receiver).

Gambar 6. Blok diagram dasar mekanisme kerja radar cuaca Doppler.

Saat mulai bergerak, antena radar memancarkan sejumlah energi gelombang radio dalam waktu yang sangat singkat yang disebut pulsa. Setiap pulsa dipancarkan dalam waktu 0,0000016 detik dengan interval waktu sekitar 0,00019 detik. Gelombang radio yang bergerak di atmosfer memiliki kecepatan sama dengan kecepatan cahaya, dengan merekam arah dari antena radar, arah objek dapat diketahui. Umumnya, makin baik objek dalam memantulkan gelombang radio, makin kuat pula gelombang radio yang dipantulkannya (echo). Informasi yang diterima ini akan diproses dalam interval waktu tadi (0,00019 detik) dan diulang hingga 1.300 kali per detik, dengan memperhitungkan waktu yang dibutuhkan oleh gelombang radio saat meninggalkan antena, mengenai objek dan dipantulkan kembali ke antena, maka jarak objek dari radar dapat diperhitungkan pula.

Sinyal yang diterima radar kemudian akan diolah pengolah sinyal (signal

processor) pada penerima dan menghasilkan suatu file RAW yang merupakan data biner yang mengandung pengamatan mengenai data curah hujan untuk satu kali sapuan radar. Untuk melakukan pembacaan, data RAW radar cuaca yang diperoleh untuk satu kali pengamatan dengan metode volume scan diubah menjadi format netCDF dengan terlebih dahulu melakukan standarisasi waktu pengamatan pada data tersebut. Data yang telah berubah tersebut diproses lebih lanjut dengan metode Cressman untuk memperoleh data CAPPI (Constant Altitude Plan Position Indicator) yang merupakan representasi data curah hujan pada setiap level ketinggian secara konstan. Setelah data CAPPI diperoleh, dilakukan konversi dan pemilihan data pada level ketinggian yang dibutuhkan. Konversi data dilakukan dengan menggunakan metode Marshall-Palmer untuk memperoleh intensitas curah hujan dalam satuan mm/jam. Pemilihan data sendiri dimaksudkan agar file data curah hujan yang diperoleh ukurannya tidak terlalu besar.

CDR (C-band Doppler Radar) adalah salah satu radar cuaca milik BPPT yang memiliki frekuensi pancar 5,32 GHz, dan termasuk dalam rentang frekuensi C-band menurut standar IEEE, yaitu antara 4-8 GHz. Sebagai informasi, selain CDR Serpong, BPPT juga memiliki satu radar cuaca yang berlokasi di Padang. Radar cuaca Padang ini memiliki frekuensi pancar 9,7 GHz yang termasuk dalam rentang frekuensi X- band (8-12 GHz).

(6)

Spesifikasi teknis C-Band Doppler Radar (CDR) yang terpasang di Puspiptek, Serpong disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Spesifikasi Teknis C-Band Doppler Radar (CDR).

Parameter Nilai

Manufaktur Toshiba Electrical Company, Japan

Tinggi Tower 10 m

Diameter Antena 3 m

Lebar Bidang Pancar 1,6 derajat

Transmitter Peak Power 200 kW

Jangkauan (default) 175 km (Surveillance Mode), 105 km (Volume Scan Mode)

Resolusi 1 km (default)

Frekuensi 5.320 MHz

Lebar Spektral 4 MHz

Lebar Pulsa 1,0 microsec

Pulse Repeatation Frequency (PRF) 840 MHz (Surveillance Mode), 1360 MHz (Volume Scan Mode)

Rotasi Antena 5 rpm (default)

Azimuth 360 derajat

Elevasi 0,6 – 50 derajat

Sistem Operasi Sun Solaris & Red Hat Enterprise Linux 5

Sistem Proses Data Radar Sigmet RVP8 + IRIS Radar/Analysis ver. 8.12.1.1

Data RAW Reflectivity, Doppler Velocity, Spectral

Width

Sumber: Website HARIMAU Indonesia (http://neonet.bppt.go.id/harimau/index.php)

Pemilihan frekuensi radar cuaca didasari oleh karakteristik objek yang diamati oleh radar itu sendiri. Panjang gelombang optimal yang digunakan untuk mengamati objek di atmosfer seperti tetes hujan, awan, salju, hujan es, atau kabut, berada dalam kisaran 1-10 cm. Makin pendek gelombang (yang berarti makin tinggi frekuensi pancarnya), makin kecil ukuran objek yang dapat diamati dan makin mudah pula gelombang tersebut diserap/dihamburkan di atmosfer.

Radar cuaca yang memiliki frekuensi dalam rentang X-band/Ku-band umumnya sangat peka, tidak hanya untuk mendeteksi hujan, tetapi juga untuk mengamati partikel-partikel yang sangat kecil, misalnya awan, kabut atau salju. Namun karena gelombangnya lebih pendek, maka sinyalnya akan lebih mudah dijerab. Sehingga, biasanya radar dengan frekuensi tinggi ini hanya optimal untuk pengamatan jarak pendek saja.

Untuk wilayah Indonesia yang beriklim tropis, khususnya JABODETABEK (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), hujan merupakan bentuk presipitasi yang paling dominan terjadi. Hail (hujan es) juga dapat terbentuk, walaupun jarang dan hanya terjadi pada kondisi-kondisi ekstrem. Karena ukuran partikel untuk tetes hujan dan hail lebih besar dibandingkan partikel awan atau kabut, maka radar C-band dengan panjang gelombang 4-8 cm adalah yang paling optimal untuk pengamatan. Gambar 7

(7)

memperlihatkan salah satu citra yang dihasilkan oleh radar cuaca C-Band Doppler

Radar (CDR) BPPT.

Gambar 7. Citra radar cuaca C-Band Doppler (CDR) BPPT dalam mode PPI (Plan

Position Indicator) dengan jangkauan 175 km dari Puspiptek, Serpong.

Energi yang dipancarkan kembali dari partikel presipitasi, dalam bentuk volume di atas permukaan pada semua jarak terluar sampai 100 km atau lebih, serta pada azimuth rotasi bidang pancar radar saat axis vertikal, kemungkinan berhubungan dengan rata-rata presipitasi. Volume presipitasi yang seragam mempunyai persamaan:

(2.1) di mana: P : Presipitasi (mm). r : Jarak (km). : Rata-rata Pr (mm).

C : Konstanta radar, yang merupakan fungsi dari parameter radar dan presipitasi. K : Atenuasi spesifik (dB km-1).

Z : Reflektifitas radar (mm6m-3).

Reflektifitas radar didefinisikan sebagai:

(2.2) di mana:

N(D) : Distribusi ukuran butir dalam resolusi sel (mm-1m-3). D : Diameter butir (mm).

Z : Reflektifitas radar (mm6m-3).

Hal ini menunjukkan bahwa jika presipitasi merata dalam bentuk cair mengisi volume pulsa, maka daya rata-rata presipitasi kembali pada jarak r adalah proporsional pada Z/r2, di mana Z adalah faktor reflektifitas radar, maka Z akan terkait dengan tingkat curah hujan R oleh persamaan:

(8)

di mana:

a dan b : Konstanta empirik positif, yang nilainya tergantung dari lokasi geografi dan kondisi iklim/tipe hujannya. Menurut Marshall and Palmer, biasanya nilai

yang digunakan untuk a dan b adalah a = 200, b = 1,6 (Collier, 1996). R : Intensitas presipitasi/rain-rate (mm/jam).

Z : Reflektifitas radar (mm6m-3).

2.4. Model Hidrologi Terdistribusi Hujan – Limpasan

Sungai mempunyai fungsi mengumpulkan curah hujan dalam suatu daerah tertentu dan mengalirkannya ke laut. Sosrodarsono dan Takeda (eds) (2006) menyatakan bahwa daerah pengaliran sungai adalah daerah tempat presipitasi itu terpusat ke sungai. Garis batas daerah-daerah aliran yang berdampingan disebut batas daerah pengaliran. Daerah pengaliran, topografi, tumbuh-tumbuhan dan geologi mempunyai pengaruh terhadap debit banjir, corak banjir, debit pengaliran, dan seterusnya. Aliran sungai itu bergantung pada berbagai faktor secara bersamaan, salah satunya adalah faktor yang berhubungan dengan limpasan (runoff). Limpasan dibagi menjadi dua kelompok elemen, yaitu elemen meteorologi yang diwakili oleh curah hujan dan elemen daerah pengaliran yang menyatakan sifat fisik daerah pengaliran.

Faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok elemen meteorologi adalah: 1. Jenis presipitasi, mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap limpasan, yaitu

hujan atau salju. Jika hujan maka pengaruhnya adalah langsung dan hidrograf hanya dipengaruhi oleh intensitas curah hujan dan besarnya curah hujan.

2. Intensitas curah hujan, pengaruh intensitas curah hujan tergantung dari kapasitas infiltrasi. Jika intensitas curah hujan melampaui kapasitas infiltrasi, maka besarnya limpasan permukaan akan segera meningkat sesuai dengan peningkatan intensitas curah hujan.

3. Lamanya curah hujan, setiap daerah aliran sungai mempunyai lama curah hujan kritis. Jika lamanya curah hujan itu panjang, maka lamanya limpasan permukaan menjadi lebih panjang. Untuk curah hujan yang jangka waktunya panjang, limpasan permukaannya akan menjadi lebih besar meskipun intensitas curah hujan relatif sedang.

4. Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran, misalnya jika kondisi topografi, tanah, dan lain-lain di daerah aliran sungai itu sama dan mempunyai jumlah curah hujan yang sama, maka curah hujan yang distribusinya merata yang mengakibatkan debit puncak minimum. Banjir di daerah pengaliran yang besar kadang-kadang terjadi oleh curah hujan lebat yang distribusinya merata, dan seringkali terjadi oleh curah hujan biasa yang mencakup daerah yang luas meskipun intensitasnya kecil. Sebaliknya, di daerah pengaliran yang kecil, debit puncak maksimum dapat terjadi oleh curah hujan yang lebat dengan daerah hujan yang sempit.

5. Arah pergerakan curah hujan, jika curah hujan bergerak sepanjang sistem aliran sungai maka akan sangat mempengaruhi debit puncak dan lamanya limpasan permukaan.

6. Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah, jika kadar kelembaban lapisan teratas tinggi maka akan mudah terjadi banjir karena kapasitas infiltrasi yang kecil.

(9)

7. Kondisi meteorologi yang lain. Secara tidak langsung, suhu, kecepatan angin, kelembaban relatif, tekanan udara rata-rata, curah hujan tahunan, dan lain-lain yang juga mengontrol iklim di daerah tersebut dapat mempengaruhi limpasan.

Berbagai model sudah banyak digunakan untuk menghitung limpasan permukaan (runoff). Salah satu model hidrologi adalah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Model Hidrologi Terdistribusi (Distributed Hydrological

Model/DHM). Model hidrologi terdistribusi ini terdiri dari proses submodel

rainfall-runoff. Daerah aliran sungai (DAS) yang digunakan untuk studi dibagi menjadi beberapa sel grid dengan resolusi spasial yang didefinisikan oleh pengguna. Proses model rainfall-runoff akan menghasilkan nilai limpasan (runoff) yang terbentuk pada setiap sel grid. Jaringan kanal untuk studi DAS dapat menggambarkan satu set dari jaringan kanal imaginer antara 2 titik grid (pusat sel grid).

Karakteristik dari sub-model hujan – limpasan (rainfall-runoff) adalah model untuk menduga jumlah limpasan pada setiap sel grid (Kamimera et al., 2003). Variabilitas spasial pada skala sub-grid (SSSV/Subgrid Scale Spatial Variability) dari kapasitas simpanan air, dapat diperoleh dengan membagi setiap komputasi sel grid menjadi elemen penyimpanan lokal dan karakteristik oleh kapasitas simpanan lokal

W’m (skala dari 0 sampai nilai maksimum Wmm). Kapasitas simpanan dari semua sel grid Wm merupakan rata-rata dari semua kapasitas simpanan lokal. Fungsi distribusi dari W’m untuk setiap sel grid F(W’m) memberikan fraksi sel grid di mana kapasitas simpanannya kurang atau sama dengan W’m:

(2.4) di mana:

b : Parameter bentuk (b = 0,3).

Fimp : Fraksi area kedap air pada setiap sel grid (Fimp = 0,02).

Dengan distribusi tersebut, maksimum kapasitas simpanan lokal Wmm berhubungan dengan kapasitas simpanan rata-rata dari sel grid Wm :

(2.5)

Maksimum kadar air lokal pada area yang jenuh (W’) diwakili oleh :

(2.6)

di mana:

W : Kadar air total pada setiap sel grid.

Wm : Kapasitas simpanan lokal (Wm = 120 mm).

Untuk setiap sel grid, kita definisikan bahwa net presipitasi Pn = P – Ep, sehingga ketika Pn > 0, besarnya limpasan (runoff) R dapat dihitung :

(2.7)

(10)

di mana:

P : Presipitasi (mm).

Ep : Evaporasi potensial (kg/m2s). R : Runoff.

Salah satu contoh penelitian yang telah dilakukan dalam memanfaatkan data radar cuaca untuk peramalan banjir adalah di China (Zhijia et al., 2004). Setelah kejadian banjir besar di China pada tahun 1998, Pemerintah China berencana untuk membangun jaringan radar cuaca nasional dan menggunakan data curah hujan dari radar cuaca tersebut untuk prediksi banjir secara real time.

Masalah utama pada peramalan banjir secara real time adalah pada akurasi perkiraan curah hujan yang berasal dari data radar cuaca. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan penggabungan antara data radar cuaca dengan data pengamatan permukaan (raingauge). Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa dua seri data presipitasi dari radar cuaca dan pengamatan permukaan hampir serupa, khususnya pada waktu dan puncaknya. Meskipun hasilnya memuaskan, dari Gambar 8 terlihat juga bahwa terdapat perbedaan pada beberapa step waktu. Hal ini dikarenakan pada radar cuaca koreksi curah hujan terjadi setiap tiga jam, selanjutnya dibuat jumlah presipitasi wilayah akumulasi sekitar daerah aliran sungai setiap enam jam yang merupakan penjumlahan dari dua kali step setiap tiga jam.

Gambar 8. Grafik perbandingan antara data radar cuaca dan data pengamatan permukaan (raingauge) pada rata-rata presipitasi wilayah setiap 6 jam di DAS Huaihe, China, dengan luas DAS 158.160 km2 (Zhijia et al., 2004).

Penelitian yang selanjutnya dilakukan adalah membuat simulasi hidrograf limpasan yang terdiri dari limpasan permukaan, aliran dalam (interflow), dan limpasan air tanah dalam (groundwater), setiap grid sel dengan menggunakan Model Xinanjiang. Karena parameter-parameter yang ada dikalibrasi dengan menggunakan data pengamatan permukaan, hasil simulasi dari data radar cuaca lebih obyektif seperti yang terlihat pada Gambar 9. Meskipun demikian, selama error pengamatan menjadi perhatian, hasil berdasarkan data radar cuaca hampir sama dengan hasil dari data pengamatan permukaan. Gabungan antara data curah hujan dari radar cuaca dan model hidrologi Xinanjiang telah mengindikasikan bahwa teknik gabungan ini akan menjadi alat peramalan banjir yang sangat berguna pada masa yang akan datang di China.

(11)

Gambar 9. Grafik hidrograf limpasan antara hasil prediksi dan hasil observasi dengan menggunakan data curah hujan dari radar cuaca dan data pengamatan permukaan (raingauge) di DAS Huaihe, China, dengan luas DAS 158.160 km2 ((Zhijia et al., 2004).

Gambar

Gambar  3.  Citra  Satelit  Landsat  Tahun  2001  untuk  Wilayah  DKI  Jakarta  (Sumber:
Tabel  1. Daftar Stasiun Pengamatan Hidrologi di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS)  Ciliwung milik Departemen Pekerjaan Umum
Gambar 6. Blok diagram dasar mekanisme kerja radar cuaca Doppler.
Tabel 2. Spesifikasi Teknis C-Band Doppler Radar (CDR).
+3

Referensi

Dokumen terkait

Jika digabungkan penggunaan teknologi komputer dan telekomunikasi diharapkan perkembangan ini dapat memberikan kemudahan dalam segala bidang seper bidang akademik dalam

Untuk mencapai tujuan program pemberantasan penyakit (P2) ISPA, puskesmas telah merumuskan langkah-langkah, yaitu melaksanakan promosi penanggulangan ISPA, menemukan

Apabila mau meneliti dan menganalisa lebih lanjut saat-saat sebelum, selama, dan sesudah kelahirannya hingga 5 tahun pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945,

Proses belajar pendidikan jasmani merupakan suatu peristiwa belajar yang dilakukan oleh seluruh siswa dan siswi di sekolah, di mana dalam pelaksanaannya diperlukan adanya suatu

PENILAIAN BUKU TEKS PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA SEKOLAH DASAR KELAS IV..

c) Unit harus memiliki kemampuan untuk mengisolasi bayi: 1. Inkubator di area khusus.. d) Ruang harus dilengkapi paling sedikit enam steker listrik yang dipasangdengan tepat

ie ye atau ikat celup pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama yaitu menghias kain dengan cara diikat atau dalam bahasa <a)a dijumput sedikit, dengan tali atau

Full costing merupakan metode penetuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi kedalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya