• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Siklus Hidrologi. 2.2 Daerah Aliran Sungai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Siklus Hidrologi. 2.2 Daerah Aliran Sungai"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tidak pernah berhenti, air tersebut akan tertahan (sementara) di sungai, danau/waduk, dan dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk hidup lainnya. (Asdak, 2007)

Menurut Indarto (2010) Siklus air merupakan fokus utama dari ilmu hidrologi. Laut merupakan tempat penampungan air terbesar di bumi. Sinar matahari yang dipancarkan ke bumi memanaskan suhu air di permukaan laut, danau, atau yang terikat pada permukaan tanah. Kenaikan suhu memacu perubahan wujud air dari cair menjadi gas. Molekul air dilepas menjadi gas. Ini dikenal sebagai proses evaporasi (evaporation). Air yang terperangkap di permukaan tanaman juga berubah wujud menjadi gas karena pemanasan oleh sinar matahari. Proses ini dikenal transpirasi (transpiration). Air yang menguap melalui proses evaporasi dan transpirasi selanjutnya naik ke atmosfer membentuk uap air.

Uap air di atmosfer selanjutnya menjadi dingin dan terkondensasi membentuk awan (clouds). Kondensasi terjadi ketika suhu udara berubah. Air akan berubah bentuk jika suhu berfluktuasi. Sehingga, jika udara cukup dingin, uap air terkondensasi menjadi partikel-partikel di udara membentuk awan. Awan yang terbentuk selanjutnya dibawa oleh angin mengelilingi bumi, sehingga awan terdistribusi ke seluruh penjuru dunia. Ketika awan sudah tidak mampu lagi menampung air, awan melepas uap air yang ada di dalamnya ke dalam bentuk presipitasi (precipitation), yang dapat berupa salju, hujan, dan hujan es. (Indarto, 2010)

Selanjutnya, sebagian air hujan yang jatuh ke permukaan bumi diserap (intercepted) oleh permukaan tanaman, sisanya akan mengalir di permukaan tanah sebagai aliran permukaan (surface run-off). Aliran permukaan selanjutnya mengalir melalui sungai menjadi debit sungai (streamflow) atau tersimpan di permukaan tanah dalam bentuk danau (freshwater storage). Sebagian lagi masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi (infiltration) dan sebagian lagi mengalir di dalam lapisan tanah melalui aliran-air-tanah (sub surface flow). Pada lokasi tertentu air yang mengalir di dalam lapisan tanah, ke luar sebagai mata-air (spring) dan bergabung dengan aliran permukaan (surface run-off). Lebih jauh lagi, air yang terinfiltrasi mungkin dapat mengalami proses perkolasi ke dalam tanah menjadi aliran bawah tanah (groundwater flow). Siklus hidrologi ini berlangsung secara kontinu untuk menyediakan air bagi makhluk hidup di bumi. Tanpa proses ini tidak mungkin akan ada kehidupan di bumi. (Indarto, 2010)

2.2 Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. (Asdak, 2007)

Menurut Indarto (2010) Ukuran dan besar kecilnya daerah tangkapan hujan yang memberi konstribusi terhadap aliran sungai (contributing area) di dalam DAS berpengaruh langsung terhadap total volume aliran yang keluar dari DAS. Total volume aliran yang dihasilkan oleh DAS yang mempunyai daerah tangkapan hujan relatif luas, akan relatif lebih banyak dari DAS yang berukuran kecil dan volume air tersebut proposional terhadap luas daerah tangkapannya.

(2)

4 DAS merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai yang melaluinya. Sungai dan anak-anak sungai tersebut berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan serta sumber lainnya. Akhir-akhir ini, persoalan seperti erosi, sedimentasi, longsor, dan banjir pada DAS intensitasnya semakin meningkat. Persoalan-persoalan tersebut merupakan bentuk respon negatif dari komponen-komponen DAS terhadap kondisi curah hujan. Kuat atau lemahnya respon sangat dipengaruhi oleh karakteristik DAS baik secara fisik, maupun sosial ekonomi serta budaya masyarakatnya. Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. (2009)

Karakteristik fisik DAS merupakan variabel dasar yang menentukan proses hidrologi pada DAS. Pola pengaliran dan penyimpanan air dalam DAS sangat dipengaruhi oleh karakteristik tanah, bahan induk (geologi), morfometri DAS dan penggunaan lahan. Karakteristik ini menentukan banyaknya air hujan yang dialirkan atau tertahan, kecepatan aliran, dan waktu tempuh air dari tempat terjauh sampai dengan outlet (waktu konsentrasi) yang berpengaruh pada kejadian banjir, baik banjir yang berbentuk genangan maupun banjir bandang pada DAS tersebut. Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. (2009)

Menurut Rahayu S, Widodo R H, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. (2009) Morfometri DAS merupakan ukuran kuantitatif karakteristik DAS yang terkait dengan aspek geomorfologi suatu daerah. Karakteristik ini terkait dengan proses pengatusan (drainase) air hujan yang jatuh di dalam DAS. Parameter tersebut adalah luas DAS, bentuk DAS, jaringan sungai, kerapatan aliran, pola aliran, dan gradien kecuraman sungai.

a. Luas DAS

DAS merupakan tempat pengumpulan presipitasi ke suatu sistem sungai. Luas daerah aliran dapat diperkirakan dengan mengukur daerah tersebut pada peta topografi. (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009)

b. Bentuk DAS

Bentuk DAS mempengaruhi waktu konsentrasi air hujan yang mengalir menuju outlet. Semakin bulat bentuk DAS berarti semakin singkat waktu konsentrasi yang diperlukan, sehingga semakin tinggi fluktuasi banjir yang terjadi. Sebaliknya semakin lonjong bentuk DAS, waktu konsentrasi yang diperlukan semakin lama sehingga fluktuasi banjir semakin rendah. Bentuk DAS secara kuantitatif dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai nisbah memanjang ('elongation ratio'/Re) dan kebulatan ('circularity ratio'/Rc). (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009). Karakteristik bentuk DAS ditampilkan pada Tabel 1.

c. Jaringan sungai

Jaringan sungai dapat mempengaruhi besarnya debit aliran sungai yang dialirkan oleh anak-anak sungainya. Parameter ini dapat diukur secara kuantitatif dari nisbah percabangan yaitu perbandingan antara jumlah alur sungai orde tertentu dengan orde sungai satu tingkat di atasnya. Nilai ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nisbah percabangan berarti sungai tersebut memiliki banyak anak-anak sungai dan fluktuasi debit yang terjadi juga semakin besar. (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009)

Orde sungai adalah posisi percabangan alur sungai di dalam urutannya terhadap induk sungai pada suatu DAS. Semakin banyak jumlah orde sungai, semakin luas dan semakin panjang pula alur sungainya. Orde sungai dapat ditetapkan dengan metode Horton, Strahler, Shreve, dan Scheidegger. Namun pada umumnya metode Strahler lebih mudah untuk diterapkan dibandingkan dengan metode yang lainnya. Sketsa orde sungai menurut Strahler ditampilkan dalam Gambar 1. Berdasarkan metode Strahler, alur sungai paling hulu yang tidak mempunyai cabang disebut dengan orde pertama (orde 1),

(3)

5 pertemuan antara orde pertama disebut orde kedua (orde 2), demikian seterusnya sampai pada sungai utama ditandai dengan nomor orde yang paling besar.

Menurut BPDAS Tuntang dan Jragung (2006), Metode kuantitatif untuk mengklasifikasikan sungai dalam DAS adalah pemberian orde sungai maupun cabang-cabang sungai secara sistematis seperti pada Gambar 2. Alur sungai induk disebut dengan orde pertama (orde 1), percabangan pertama dari induk sungai disebut orde kedua (orde 2), percabangan dari orde 2 disebut orde 3, demikian seterusnya hingga sungai yang tidak mempunyai cabang ditandai dengan nomor orde paling besar.

Tabel 1. Karaktersitik Bentuk DAS

Tipe Karaktersitik Gambar

Bulu Burung

Jalur anak sungai di kiri-kanan sungai utama mengalir menuju sungai utama, debit banjir kecil karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai berbeda-beda. Banjir berlangsung agak lama.

Laut

Radial

Bentuk DAS menyerupai kipas atau lingkaran, anak-anak sungai berkonsentrasi ke suatu titik secara radial, banjir besar terjadi di titik pertemuan anak-anak sungai.

Laut

Paralel

Bentuk ini mempunyai corak dimana dua jalur aliran sungai yang sejajar bersatu di bagian hilir, banjir terjadi di titik pertemuan anak sungai.

Laut

Kompleks

Memiliki beberapa buah bentuk dari ketiga bentuk di atas.

(4)

6

Gambar 1. Sketsa orde sungai menurut Starhler (1957)

(sumber :http://www.fgmorph.com/fg_4_8.php)

(5)

7 d. Pola Aliran

Pola aliran sungai secara tidak langsung menunjukan karakteristik material bahan induk seperti permeabilitas, struktur geologi dan kemudahannya mengalami erosi. Pola aliran sungai sejajar (parallel) pada umumnya dijumpai pada DAS yang berada pada daerah dengan struktur patahan. (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009). Pola aliran dalam DAS dapat digolongkan menjadi:

1. Denditrik

Umumnya terdapat pada daerah dengan batuan sejenis dan penyebarannya luas, misalnya daerah yang ditutupi oleh endapan sedimen yang luas dan terletak pada suatu bidang horizontal di daerah dataran rendah. Batuan kapur ('limestone') dan batu lempung ('shale') teranyam bertopografi solusional dapat memiliki pola aliran denditrik. Pada topografi dengan lereng seragam, pola aliran yang terbentuk adalah denditrik medium, sedangkan pada topografi berteras kecil, pola aliran yang terbentuk adalah denditrik halus.

Bentuk pola denditrik yang lain adalah kombinasi denditrik rectangular yang terdapat pada batuan metamorf dengan puncak membulat. Pola ini memiliki saluran yang hampir sejajar, dalam dan bertekstur halus hingga sedang. Bentuk ini terjadi pada daerah basah. Pada batuan metamorfosa dengan bentuk topografi berpuncak sejajar, dapat membentuk pola denditrik rektangular halus dan terjadi pada daerah kering. Pada formasi batuan beku di daerah topografi yang menyerupai bukit membulat di daerah basah pola aliran yang terbentuk adalah pola dendritik medium.

2. Radial

Biasanya dijumpai di daerah lereng gunung api atau daerah dengan topografi berbentuk kubah 3. Rektangular

Terdapat di daerah batuan kapur 4. Trellis

Biasanya dijumpai pada daerah dengan lapisan sedimen di daerah pegunungan lipatan 5. Kombinasi denditrik dan trellis

Dapat dijumpai pada rangkaian pegunungan yang sejajar dan terdapat pada batuan structural terlipat dengan tekstur halus sampai sedang.

2.3 Presipitasi

Presipitasi adalah faktor utama yang mengendalikan berlangsungnya daur hidrologi dalam suatu wilayah DAS (merupakan elemen utama yang perlu diketahui mendasari pemahaman tentang kelembaban tanah, proses resapan air tanah, dan debit aliran). Proses terjadinya presipitasi diawali ketika sejumlah uap air di atmosfer bergerak ke tempat yang lebih tinggi oleh adanya beda tekanan uap air. Uap air yang bergerak dari tempat dengan tekanan uap air lebih besar ke tempat dengan tekanan uap air lebih kecil. Uap air yang bergerak ke tempat yang lebih tinggi (dengan suhu udara menjadi lebih rendah) tersebut pada ketinggian tertentu akan mengalami penjenuhan dan apabila hal ini diikuti dengan terjadinya kondensasi, maka uap air tersebut akan berubah bentuk menjadi butiran-butiran air hujan. (Asdak, 2007)

Menurut Asdak (2007) akan terjadi hujan apabila berlangsung tiga kejadian, yaitu:

1. Kenaikan masa uap air ke tempat yang lebih tinggi sampai saatnya atmosfer menjadi jenuh. 2. Terjadinya kondensasi atas partikel-partikel uap air di atmosfer.

3. Partikel-partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai hujan) karena gaya gravitasi.

Untuk menghitung curah hujan harian, bulanan, dan tahunan di suatu sub-DAS/DAS, umumnya digunakan dua cara perhitungan, yaitu Rata-rata aritmatik dan Teknik poligon (Thiessen polygon).

(6)

8 Teknik poligon dilakukan dengan cara menghubungkan satu alat penakar hujan dengan lainnya menggunakan garis. Pada peta daerah tangkapan air untuk masing-masing alat penakar hujan, daerah tersebut dibagi menjadi beberapa poligon (jarak garis pembagi dua penakar hujan yang berdekatan lebih kurang sama) (Asdak, 2007). Adapun cara menghitung curah hujan rata-rata wilayah dengan menggunakan Teknik poligon, ditampilkan dalam Rumus (1).

P =

𝑨𝟏 𝐱 𝑷𝟏 + 𝑨𝟐 𝐱 𝑷𝟐 +..….+ 𝑨𝒏 𝐱 𝑷𝒏

𝚺 𝐀 ...(1) Keterangan :

P = Curah hujan rata-rata wilayah A1, A2, A3 = Luas masing-masing poligon P1, P2, P3 = Curah hujan masing-masing stasiun

2.4 Aliran Permukaan

Air larian (surface runoff) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Air larian berlangsung ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah pengisian air pada cekungan tersebut selesai, air kemudian dapat mengalir di atas permukaan tanah dengan bebas. (Asdak, 2007).

Menurut Indarto (2010) Aliran permukaan (surface run-off) merujuk pada air di atas permukaan tanah melalui parit, kanal, atau sungai. Ada dua jenis aliran permukaan (surface run-off) yang terjadi selama hujan atau pelelehan es, yaitu aliran permukaan yang berasal dari kelebihan infiltrasi dan aliran permukaan yang berasal dari kejenuhan tanah.

Aliran permukaan yang berasal dari kelebihan infiltrasi terjadi pada kondisi tanah tidak jenuh. Pada kasus ini tanah dapat dalam keadaan agak kering, tetapi karakteristik tanah atau penutupan lahan tidak memungkinkan proses infiltrasi lebih lanjut sejalan dengan laju hujan. Aliran permukaan yang berasal dari kejenuhan tanah terjadi jika tanah sudah menjadi jenuh dan tidak ada lagi ruang pori kosong di dalam tanah yang memungkinkan air untuk berinfiltrasi. Hal ini dapat terjadi meskipun pada tanah yang umumnya memungkinkan sejumlah besar infiltrasi pada kondisi menjelang jenuh. (Indarto,2010)

Limpasan permukaan ini merupakan bagian yang penting dari puncak banjir. Bagian terbesar dari curah hujan lebih, mengalir selama perioda hujan dan sebagian sesudah perioda hujan. Jadi harus dipikirkan bahwa kadang-kadang limpasan permukaan itu dibagi dalam dua sumber yaitu air yang mengalir di atas permukaan tanah dan air yang menginfiltrasi dan mencapai lapisan yang impermeabel, kemudian sebagiannnya mengalir ke sungai. (Mori, K. 2006)

DAS menunjukan suatu luasan yang berkontribusi pada aliran permukaan. Suatu batas wilayah imaginer, dibatasi oleh punggung-punggung pegunungan dan lembah, di mana air yang jatuh pada setiap lokasi di dalam batas tersebut, mengalir dari bagian hulu DAS melalui anak-anak sungai ke sungai utama, sampai akhirnya ke luar lewat satu outlet. (Indarto, 2010)

Koefisien aliran mempunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai indikator aliran permukaan dalam DAS dan dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi aliran dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS. Sebagai indikator aliran permukaan biasanya dipakai dalam menentukan debit puncak suatu banjir, sedangkan sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi pengelolaan DAS, koefisien aliran dipakai sebagai salah satu indikator pengaruh pengelolaan DAS terhadap penurunan besarnya aliran permukaan. (Indriatmoko. 1998)

(7)

9 Laju dan volume air larian suatu DAS dipengaruhi oleh penyebaran dan intensitas curah hujan di DAS yang bersangkutan. Umumnya, laju air larian dan volume terbesar terjadi ketika seluruh DAS tersebut ikut berperan. Pengaruh DAS terhadap air larian adalah melalui bentuk dan ukuran (morfometri) DAS, topografi, geologi, dan tataguna lahan (jenis dan kerapatan vegetasi). Pengaruh vegetasi dan cara bercocok tanam terhadap air larian dapat diterangkan bahwa vegetasi dapat memperlambat jalannya air larian dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah (surface detention), dan dengan demikian, menurunkan laju air larian. (Asdak, 2007)

Menurut Asdak (2007) Koefisien air larian atau sering disingkat C adalah bilangan yang menunjukan perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan. Secara matematis, koefisien air larian dijabarkan dengan Rumus (2).

Koefisien air larian (C) = 𝑎𝑖𝑟 𝑙𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 (𝑚𝑚 )

𝑐𝑢𝑟𝑎 ℎ ℎ𝑢𝑗𝑎𝑛 (𝑚𝑚 )...(2)

Angka koefisien air larian ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan (fisik). Nilai C yang besar menunjukan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air larian. Hal ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air karena besarnya air yang akan menjadi air tanah berkurang. Kerugian lainnya adalah dengan semakin besarnya jumlah air hujan yang menjadi air larian, maka ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar.

Menurut Indriatmoko (1998) Koefisien aliran dapat didefinisikan sebagai nisbah antara aliran dan curah hujan pada selang waktu tertentu dan pada kondisi fisik DAS tertentu. Untuk mengukur besarnya koefisien aliran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

 Dihitung dari karakteristik fisik DAS (Metode Cook)

 Dihitung dari debit aliran tahunan, debit aliran sesaat dan laju aliran (Suyono, 1984).

Menghitung besarnya koefisien aliran suatu daerah aliran sungai dan memanfaatkan sistem informasi geografis yang dimiliki, dapat digunakan suatu model pendekatan yaitu metode Cook. Untuk menghitung besarnya koefisien aliran maka dilakukan perhitungan dengan memakai tabulasi yaitu dengan menjumlahkan koefisien aliran untuk masing-masing bentuk lahan. Rumus yang digunakan disajikan pada Rumus (3).

LBL

C total=

x Luas DAS ………(3)

JS Keterangan:

LB = Luas bentuk lahan JS = Jumlah skor

Menurut Cook (dalam Gunawan, T., 1992) faktor karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menghasilkan besarnya aliran permukaan adalah:

1. Relief (kemiringan lereng) 2. Infiltrasi

3. Vegetasi Penutup

4. Timbunan permukaan (Kerapatan Aliran)

Keempat faktor karakteristik tersebut memiliki karakteristik masing-masing dan penentuan skor masing-masing dalam metode cook untuk dapat menghasilkan aliran permukaan. Faktor karakteristik tersebut ditampilkan dalam Tabel 4.

(8)

10 Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan lahan relatif terhadap bidang datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat. Kemiringan lahan sangat erat hubungannya dengan besarnya erosi. Semakin besar kemiringan lereng, peresapan air hujan ke dalam tanah menjadi lebih kecil sehingga limpasan permukaan dan erosi menjadi lebih besar (Rahayu S, Widodo R H, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B., 2009). Pada kemiringan lereng sebelum menggunakan klasifikasi pada Tabel 4, dilakukan klasifikasi lereng terlebih dahulu pada daerah aliran sungai. Klasifikasi lereng disajikan dalam Tabel (2).

Tabel 2. Klasifikasi Lereng

Kelas Lereng Kelerengan (%) Keterangan

1 0-8 Datar

2 8-15 Landai

3 15-25 Agak curam

4 25-45 Curam

5 >45 Sangat curam

Sumber : SK Menteri Pertanian Nomor 837

Pada kerapatan aliran, sebelum menggunakan klasifikasi pada Tabel 2, dilakukan perhitungan terlebih dahulu. Klasifikasi kerapatan aliran dilakukan dengan mempertimbangkan besarnya rasio antara panjang sungai dengan luas DAS. Untuk menghitung besarnya Kerapatan Aliran rumus yang digunakan disajikan dalam Rumus (4) dan kelas kerapatan aliran menurut Linsley disajikan dalam Tabel 3. Dd = L/A ……….………...…..……….(4) Keterangan: Dd = Kerapatan Aliran (Km/Km2). L = Panjang Sungai (Km). A = Luas DAS (Km2).

Kondisi kemiringan lereng, jenis dan kerapatan penutup lahan, alur-alur sungai, danau/telaga mempengaruhi air hujan yang akan membentuk aliran permukaan. Aliran permukaan yang berlebihan menunjukan bahwa komponen-komponen fisik permukaan tersebut sudah tidak mampu lagi menghambat atau mengurangi air hujan yang membentuk aliran permukaan yang terjadi. (Gunawan T, 1991)

Tabel 3. Kelas Kerapatan Aliran

No Nilai Dd Keterangan

1 <1.6 Km/Km2 Kelas Tinggi

2 1.6-3.2 Km/Km2 Kelas Sedang

3 3.2-8 Km/Km2 Kelas Rendah

4 >8 Km/Km2 Kelas Sangat rendah Sumber: Linsley dalam Indriatmoko (1998)

(9)

11

Tabel 4. Karakteristik Das yang Dapat Menghasilkan Aliran Permukaan untuk Penentuan Skor (W)

Dalam Metode Cook Karakteristik

DAS yang di pertimbangkan

Karakteristik yang dapat menghasilkan aliran

100 (Ekstrim) 75 (Tinggi) 50 (Normal) 25 (Rendah)

Kemiringan Lereng/Relief (W) Medan terjal dengan rata-rata umumnya >30% (40) Perbukitan dengan lereng rata-rata 10-30% (30) Bergelombang dengan lereng rata-rata 5-10 % (20) Lereng relatif datar 0-5% (10) Infiltrasi (W) Tidak ada penutup tanah efektif, lapisan tanah tipis, kapasitas infiltrasi diabaikan (20) Lambat menyerap air, material liat/tanah dengan kapasitas infiltrasi rendah (15) Lempung dalam dengan infiltrasi setipe dengan tanah prairi (10) Pasir dalamatau tanah lain mampu

menyerap air cepat (5) Vegetasi Penutup (W) Tidak ada penutup efektif atau sejenisnya (20) Tanaman penutup sedikit sampai sedang, tidak ada tanaman pertanian dan penutup alam sedikit (15) Kira-kira 50 % DAS tertutup baik

oleh pepohonan dan rerumputan

(10)

Kira-kira 90 % DAS tertutup baik oleh kayuan

atau sejenisnya (5) Kerapatan Aliran (W) Diabaikan : beberapa depresi permukaan dangkal, alur drainase terjal dan kecil (20) Rendah: Sistem alur drainase kecil dan mudah

dikenali (15)

Normal: Simpanan depresi dalam bentuk danau, rawa telaga tidak lebih dari 2 % (10) Tinggi: Simpanan depresi permukaan tinggi, sistem drainase sukar dikenali, banyak dijumpai danau, rawa atau telaga

(5) Sumber: Chow 1964 dan Meijerink dalam Gunawan, T (1991)

2.5 Evapotranspirasi

Evapotranspirasi merupakan gabungan dari peristiwa evaporasi dan transpirasi. Evaporasi (penguapan) adalah peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah serta permukaan air ke udara. Sedangkan peristiwa penguapan dari tanaman disebut transpirasi. Dengan demikian, penguapan air dari permukaan tanah, permukaan air dan tanaman secara bersama-sama disebut evapotranspirasi. (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009)

Faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap evapotranspirasi adalah: a. Faktor-faktor meteorologi

 Radiasi matahari

(10)

12  Kelembaban

 Angin

 Tekanan udara b. Faktor-faktor geografi

 Kualitas air (warna, salinitas dan lain-lain)  Jeluk tubuh air

 Ukuran dan bentuk permukaan air c. Faktor-faktor lainnya

 Kandungan lengas tanah  Karakteristik kapiler tanah  Jeluk muka air tanah  Warna tanah

 Tipe, kerapatan dan tingginya vegetasi  Ketersediaan air (hujan, irigasi dan lain-lain)

Besarnya evapotranspirasi dapat diperkirakan dari hasil pengukuran panic evaporasi dan alat ukur lysimeter. Namun pengukuran langsung evaporasi maupun evapotranspirasi dari air maupun permukaan lahan yang luas akan mengalami banyak kendala. Untuk itu maka dikembangkan beberapa metode pendekatan dengan menggunakan input data yang diperkirakan berpengaruh terhadap besarnya evapotranspirasi. Besarnya evapotranspirasi juga dapat diperkirakan dengan mempergunakan metode Thornwaite, Blaney and Criddle, metode Penman-Monteith dan analisis neraca kelembaban tanah. (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B., 2009) Istilah evapotranspirasi digunakan pada evaporasi air dari permukaan yang basah disertai dengan proses 'transpirasi' yaitu evaporasi air dari jaringan tanaman. Sifat-sifat air lainnya mudah dipahami, yakni air mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, dan mengikuti hukum kesetimbangan massa: jumlah aliran air yang masuk dalam suatu sistem sama dengan jumlah aliran air yang keluar. Dengan catatan, perhitungan dilakukan selama periode dimana komponen 'penyimpanan air dalam tanah mempunyai nilai nol. (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B., 2009)

2.6 Penutupan Lahan

Berdasarkan uraian proses perjalanan air hujan dapat diketahui bahwa jenis dan kerapatan penutup lahan berfungsi sebagai penghambat air hujan yang akan membentuk aliran permukaan. Sifat dan jenis tanah, batuan dan luas penyebarannya akan mempengaruhi air hujan yang akan mengalami infiltrasi. (Gunawan, T., 1991)

Menurut Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. (2009) Vegetasi penutup lahan memegang peranan penting dalam proses intersepsi hujan yang jatuh dan transpirasi air yang terabsorpsi oleh akar. Lahan dengan penutupan yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga memperkecil terjadinya erosi percik ('splash erosion'), memperkecil koefisien aliran sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal ('sponge effect'). Beberapa kelas penggunaan lahan yang perlu diidentifikasi dalam melakukan analisis masalah hidrologi adalah:

1. Persentase tanaman pertanian

2. Persentase rumput dan padang penggembalaan 3. Persentase hutan

(11)

13 5. Persentase padang rumput dan pohon yang tersebar

6. Persentase lahan kosong 7. Persentase rawa dan waduk

Vegetasi menghalangi curah hujan yang jatuh, sehingga air hujan tidak jatuh langsung di permukaan tanah, akibatnya daya penghancur air hujan berkurang. Vegetasi juga dapat berfungsi untuk menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air terinfiltrasi. Penggunaan lahan yang paling efektif untuk mengurangi erosi adalah hutan namun rumput-rumputan yang tumbuh rapat dapat berfungsi sama efektifnya.

Menurut Chow (1964) dalam Gunawan, T (1991) Peranan penutup hutan terhadap proses perjalanan air di permukaan lahan dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Penutup hutan menahan tanah di tempat, yang berarti penutup hutan melindungi tanah. Penebangan hutan, dan penggunaan lahan lain mempercepat proses erosi, menimbulkan banjir dan sedimentasi.

2. Penutup hutan menambah simpanan air dalam tanah

Evapotranspirasi lahan berhutan lebih besar dari pada tipe penutup lahan yang lain, oleh karena itu tanah berpenutup hutan sering mengalami kekeringan pada musim kering. Volume aliran permukaan pada lahan hutan berkurang dan puncak banjir juga berkurang. Penebangan hutan meningkatkan volume aliran (streamflow) 30% untuk banjir sedang dan hanya 15% untuk banjir besar. Pada musim hujan , evapotranspirasi hutan hanya berperan kecil dalam mengurangi volume aliran langsung.

3. Penutup hutan berfungsi baik dalam infiltrasi

Penyalah gunaan lahan, seperti penebangan hutan, dan pengolahan lahan pertanian yang kurang tepat, mengurangi laju infiltrasi dan meningkatkan volume serta puncak banjir local. Oleh karena itu ada tidaknya penutup hutan mempengaruhi laju infiltrasi dan berhubungan langsung dengan terjadinya banjir.

Menurut Kent (1971) dalam Gunawan, T (1991) Pengaruh penggunaan lahan dan praktek konservasi terhadap proses hidrologi ada dua, yaitu merubah volume aliran langsung dan merubah beda waktu datang laju puncak aliran langsung. Pengaruh perubahan penggunaan lahan tergantung pada perubahan di dalam penutupan. Terasering dengan rumput atau tanaman permanen meningkatkan infiltrasi dan simpanan, berarti mengurangi aliran permukaan dan kecepatan aliran, sehingga menambah jarak atau lama aliran mencapai mulut sungai.

2.7 Fungsi Hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS)

Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah cabang ilmu hidrologi yang mempelajari pengaruh pengelolaan vegetasi dan lahan di daerah tangkapan air bagian hulu (upper catchment) terhadap daur air, termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas air, banjir, dan iklim di daerah hulu dan hilir. (Asdak, 2007)

Menurut Chow (1988) dalam Indarto (2010) Aplikasi ilmu hidrologi dapat dijumpai dalam hampir sebagian besar permasalahan air di dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti penyediaan air, pengelolaan air limbah dan air buangan, irigasi dan drainasi, pembangkit tenaga air, pengendalian banjir, masalah erosi dan sedimentasi. Fungsi praktis dari hidrologi adalah untuk membantu analisis terhadap permasalahan yang ada dan memberikan kontribusi terhadap perencanaan dan manajemen sumber daya air.

Fungsi hidrologi daerah aliran sungai (DAS) adalah peranan daerah tersebut dalam merespons curah hujan yang jatuh yang kemudian mengalir menjadi air permukaan. Suatu DAS dikatakan memiliki fungsi hidrologi yang baik apabila perannya baik dalam meredam lonjakan fluktuasi aliran

(12)

14 permukaan yang diakibatkan oleh turunnya hujan. Lebih lanjut berarti pula dapat menstabilkan besarnya luah serta memperpanjang ketersediaan aliran permukaan pada musim kering. (Djuwansah, 2006)

Pada dasarnya konsep hidrologi ini dapat diterapkan di setiap daerah. Akan tetapi karena pengukuran secara efektif untuk luah serta kualitas air permukaan yang dihasilkan hanya dapat diukur pada aliran sungai maka satuan wilayah pengukurannya harus mengikuti batasan daerah aliran sungai (catchment area). Menurut Djuwansah M.R. (2006) Fungsi hidrologi suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya, ditentukan oleh faktor geologi, bentuk wilayah, tanah dan tutupan lahan. Penurunan fungsi hidrologi suatu daerah dapat pula terjadi apabila tutupan lahan telah banyak berubah yang mengakibatkan berkurangnya jumlah air yang meresap ke dalam tanah. Dengan mengetahui kondisi fungsi hidrologi suatu DAS maka akan diketahui tingkat kesehatan DAS pada suatu saat sehingga dapat disusun suatu rencana konservasi atau rehabilitasinya.

Menurut Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. (2009) Masalah fungsi DAS sangat penting bagi pemerintah dan para pengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan dampak kerusakan fungsi hidrologis terhadap manusia dan infrastruktur secara ekonomi. Jenis dan besarnya dampak fungsi DAS bagi manusia sangat dipengaruhi oleh perubahan penutupan lahan, pembuatan infrastruktur (seperti dam, saluran irigasi) yang bisa mengubah sistem drainase dan penyimpanan air sementara pada skala lanskap, serta lokasi tempat tinggal/desa/kota.

Kelemahan dalam pengelolaan DAS yang umum diterapkan saat ini adalah memandang kepentingan fungsi DAS hanya dari sudut pandang hulu - hilir dan cenderung mengabaikan pentingnya 'zona transmisi' antar hulu - hilir. Sebagai contoh, perubahan badan sungai dapat berdampak besar bagi perilaku hidrologi sungai dan perubahan penggunaan lahan pada zona transmisi berdampak sama besarnya dengan perubahan penggunaan lahan pada bagian hulu DAS.

Menilai fungsi suatu DAS masih baik atau tidak, dapat dilihat dari rasio debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin). Klasifikasi dan acuan dalam menilai suatu DAS berdasarkan rasio debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin) terdapat dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor : 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Kriteria dan Indikator Kinerja DAS tersebut ditampilkan pada Lampiran 1.

Gambar

Tabel 1. Karaktersitik Bentuk DAS
Gambar 2. Pemberian tanda orde sungai menurut BPDAS Tuntang dan Jragung

Referensi

Dokumen terkait

Fajar Reggy (2007) menjelaskan bahwa akibat dari perubahan tata guna lahan di daerah hulu DAS Banjaran, air hujan yang turun ke bumi banyak melimpas menjadi aliran permukaan

Studi literatur yaitu dengan mengumpulkan beberapa teori mengenai hidrologi dan hidrogeologi pada Daerah Aliran Sungai (DAS).Studi kasus dilakukan dengan memberikan

Pada lahan terbuka atau tampa vegetasi, air hujan yang jatuh sebagian besar menjadi limpasan permukaan yang mengalir menuju sungai sehingga aliran sungai

Model simulasi yang dipakai pada penelitian ini batasannyaantara lain; model hanya menduga jumlah air yang masuk dari aliran permukaan dan air hujan tanpa mempertimbangkan

Monitoring tata air DAS dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi tentang aliran air (hasil air) yang keluar dari daerah tangkapan air (DTA) secara terukur, baik kuantitas,

terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam lima bagian, yakni (a) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman; (b) mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak

Hidrograf satuan didefinisikan sebagai hidrograf limpasan langsung yang disebabkan oleh curah hujan efektif dengan intensitas seragam jatuh merata diseluruh daerah aliran

Informasi yang dapat diperoleh pada fase ini adalah jumlah curah hujan, evapotranspirasi potensial, kandungan air tanah, perkolasi, aliran permukaan, aliran dasar, aliran lateral