• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Aliran Permukaan Berdasarkan Karakteristik Daerah Aliran Sungai Walanae, Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Aliran Permukaan Berdasarkan Karakteristik Daerah Aliran Sungai Walanae, Sulawesi Selatan"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN ALIRAN PERMUKAAN BERDASARKAN

KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI WALANAE,

SULAWESI SELATAN

ASRIANI ABUBAKAR

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pendugaan Aliran Permukaan Berdasarkan Karakteristik Daerah Aliran Sungai Walanae, Sulawesi Selatan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Asriani Abubakar

(4)

ABSTRAK

ASRIANI ABUBAKAR. Pendugaan Aliran Permukaan Berdasarkan Karakteristik Daerah Aliran Sungai Walanae, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN.

Pengaruh respon hidrologis berupa limpasan permukaan yang terjadi pada daerah aliran sungai (DAS) Walanae dapat diketahui melalui besar kecilnya nilai curah hujan yang jatuh di sepanjang DAS dan karakteristik biofisik DAS tersebut. Ketika hujan yang terjadi adalah kecil atau sedang, aliran permukaan hanya terjadi di daerah yang impermeabel dan jenuh di dalam suatu DAS atau langsung jatuh di atas permukaan air. Morfometri DAS yang diamati pada DAS Walanae adalah pola jaringan sungai, orde sungai, kerapatan aliran, rasio percabangan dan kemiringan lereng. Kondisi DAS Walanae dapat diketahui dengan menghitung koefisien regim sungai (KRS), yang merupakan nisbah antara debit maksimum dan minimum. Nilai KRS yang diperoleh tahun 2007 = 229 ; 2008 = 276 ; 2009 = 245 ; dan 2010 = 340. Nilai tersebut menunjukkan bahwa DAS Walanae telah mengalami gangguan atau kerusakan dibagian hulu DAS, karena nilai KRS >120 dan cenderung mengalami peningkatan tiap tahunnya.

Analisis pendugaan aliran permukaan DAS Walanae menggunakan metode Soil Conservation Service (SCS), diperoleh dengan menghitung nilai

curve number (CN) DAS. Berdasarkan hasil analisis, kemampuan DAS Walanae pada tahun 2010 dalam melimpaskan air lebih tinggi (154,29 m3/s) dibandingkan pada tahun 2005 (13,32 m3/s). Nilai limpasan yang besar ini berdasarkan nilai CN DAS yang besar pula, ketika nilai CN besar maka limpasan permukaan yang dihasilkan akan menjadi besar.

(5)

ABSTRACT

ASRIANI ABUBAKAR. Surface Runoff Estimation Based on Characteristics of The Walanae River Basin, South Sulawesi. Supervised by HIDAYAT PAWITAN.

Influence of hydrological response of surface runoff which occurred in Walanae Watershed can be known through large or small values of rainfall along river basin and the biophysical characteristics of river basin. When rainfall is small or moderate, surface runoff only occurred in region that impermeable and saturated in a river flow area / or direct falls on surface of the water. Morphometric observed in the riverbank of Walanae is the pattern river network, river order, flow drainage density, the ratio of river branching, and slope degree. Conditions of Walanae basin can be represented by calculating the coefficient of riverflow regim, which is the ratio between maximum and minimum discharges. The value of the river regim coefficients that obtained for each year respectively are; 2007 = 229; 2008 = 276; 2009 = 245; and 2010 = 340. These values indicate that the river basin Walanae has experienced degradation or malfunction of upstream watersheds, because the value of the coefficient of regim river >120 and tend to increase each year.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Program Sarjana Meteorologi Terapan

PENDUGAAN ALIRAN PERMUKAAN BERDASARKAN

KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI WALANAE,

SULAWESI SELATAN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(7)

Judul Skripsi : Pendugaan Aliran Permukaan Berdasarkan Karakteristik Daerah Aliran Sungai Walanae, Sulawesi Selatan

Nama : Asriani Abubakar NIM : G24090053

Disetujui oleh

Prof. Dr.Ir. Hidayat Pawitan M.Sc.E Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Tania June M.Sc Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Alhmadulillahi Robbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Pendugaan Aliran Permukaan Berdasarkan Karakteristik Daerah Aliran Sungai Walanae, Sulawesi Selatan berhasil diselesaikan. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang penulis buat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Keluarga besar khususnya Bapak, Ibu, dan Adik (Ardi) tercinta atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya selama ini yang tak terkira. 2. Bapak Prof. Dr.Ir. Hidayat Pawitan M.Sc.E selaku dosen pembimbing

atas segala bimbingan, saran, dan arahannya.

3. Bapak Ir Bregas Budianto, Ass.Dpl selaku pembimbing akademik. 4. Bapak Drs. Bambang Dwi Dasanto, M.Si dan Bapak Dr. Rahmat

Hidayat selaku penguji sidang tugas akhir penulis.

5. Seluruh Dosen dan staf Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB sebagai tempat menimba ilmu bagi penulis.

6. Seluruh staf Dinas Kehutanan Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

(BPDAS) Je’neberang dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)

Pompengan-Je’neberang yang telah membantu selama proses pengumpulan data.

7. Seluruh staf pengajar dan rekan-rekan (teman, adik dan kakak) di GUPPI SAMATA atas dukungan, semangat serta doa yang tak ternilai yang selalu diberikan.

8. Teman-teman seperjuangan (GFM 46 dan CSS 46) atas suka duka yang mewarnai kebersamaan selama di Institut Pertanian Bogor.

9. Kak Ikrima atas bantuan dan bimbingannya dalam pengolahan data penelitian penulis.

10.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Maret 2014

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 3

Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai 3

Daerah Aliran Sungai (DAS) 3

Karakterisitik Daerah Aliran Sungai 5

Limpasan Permukaan (runoff) 7

Metode Soil Conservation Service (SCS) 8

METODE 9

Bahan 9

Alat 9

Prosedur Analisis Data 10

Analisis Karakteristik dan Morfometri DAS 10

Analisis Curah Hujan Wilayah 11

Perhitungan Limpasan Permukaan dan Koefisien Limpsan 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS) Walanae 12

Karakteristik Curah Hujan dan Debit DAS Walanae 14 Analisis Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Limpasan Permukaan dan

Aliran Permukaan 16

Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) DAS Walanae 16

Limpasan Permukaan (run off) dan Koefisien Limpasan Permukaan 17

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 22

(11)

DAFTAR TABEL

1 Morfometri (faktor sungai) DAS Walanae Hulu 12

2 Morfometri (faktor areal) DAS Walanae Hulu 12

3 Nilai KRS DAS Walanae Hulu 16

4 Luas Kelompok Hidrologi Tanah DAS Walanae tahun 2010 16 5 Aliran permukaan dan koefisien limpasan DAS Walanae 18

DAFTAR GAMBAR

1 Batas DAS 4

2 Pola pengaliran sungai 6

3 Orde Sungai Metode Strahler 10

4 Kemiringan lereng DAS Walanae 14

5 Pola distribusi curah hujan rata-rata bulanan DAS Walanae 15 6 Perbandingan debit aliran dan curah hujan DAS Walanae Hulu 15 7 Kelompok hidrologi tanah (KHT) DAS Walanae tahun 2010 17 8 Korelasi debit observasi (pengukuran) dan limpasan permukaan DAS

Walanae tahun 2005 (a) dan 2010 (b) 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kriteria Kategori AMC 22

2 Karakteristik nilai Rb 22

3 Karakteristik nilai kerapatan indeks sungai(Dd) 22

4 Tingkat kelas lereng 23

5 Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) 23

6 Kriteria nilai CN berdasarkan tipe penggunaan lahan 23

7 Perhitungan CN DAS Walanae tahun 2005 24

8 Perhitungan CN DAS Walanae tahun 2010 24

9 Debit bulanan Bendung Sanrego 24

10 Debit bulanan Ujung Lamuru 25

11 Curah hujan bulanan Stasiun Bance 25

12 Curah hujan bulanan Stasiun Palattae 26

13 Curah hujan bulanan Stasiun Tapale 26

14 Peta ordo sungai Walanae Hulu 27

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah aliran sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Kondisi fisik DAS yang hingga saat ini telah mengalami gangguan (kerusakan) yang menyebabkan semakin tingginya frekuensi banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Perlu adanya pengelolaan DAS berupa upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (PP RI No 37 tahun 2012).

Perubahan penggunaan lahan dapat secara signifikan mengubah jumlah dan tipe pencemaran pada sebuah sistem sungai. Kerusakan lahan merupakan faktor utama penyebab besarnya erosi pada suatu DAS. Kerusakan lahan dapat menganggu pasokan/ketersediaan air untuk air baku air minum dan kegiatan domestik, kegiatan PLTA, pertanian, industri dan sebagainya. Semakin besar kawasan ruang terbuka hijau dikonversi menjadi bangunan-bangunan beton permanen, semakin besar aliran permukaan yang muncul. Hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.

Hujan yang terjadi pada suatu wilayah menyebabkan air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah sebagai infiltrasi. Namun karena kemampuan tanah dalam menyerap air terbatas, sehingga tidak semua air tersebut masuk ke dalam tanah, sebagian air hujan akan melimpas di atas permukaan tanah. Aliran air hujan di permukaan ini akan mengalir ke tempat yang lebih rendah hingga sampai ke sungai atau parit. Curah hujan yang tidak mampu terinfiltrasi oleh tanah akan mengalir di atas tanah dan biasa disebut dengan limpasan permukaan. Besar kecilnya aliran permukaan dipengaruhi oleh faktor yang berkaitan dengan iklim (khususnya curah hujan), dan faktor-faktor yang berkaitan dengan karakteristik daerah alirah sungai.

(13)

2

DAS Walanae termasuk dalam kategori DAS prioritas I (satu) dengan luas wilayah 478.932,72 Ha dan mencakup wilayah adminstrasi Kabupaten Maros, Bone, Wajo dan Soppeng dengan sungai utama Sungai Walanae yang bermuara di Teluk Bone. Pada saat banjir, aliran Sungai Walanae dapat masuk ke Danau Tempe yang menyebabkan peningkatan tinggi muka air di Danau Tempe (umumnya terjadi ketika terdapat peningkatan tinggi muka air Sungai Bila). Sedimentasi di Danau Tempe per tahun adalah 1-3 cm. Akibat sedimentasi ini, danau mengalami pendangkalan dan menyebabkan terjadinya bencana banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Pendangkalan yang terjadi pada Danau Tempe secara alami diakibatkan oleh sedimentasi yang dibawa oleh inlet sungai yang bermuara di Danau Tempe seperti Sungai Lawo, Sungai Batu-batu, Sungai Belokka, dan Sungai Walanae. Terjadinya pendangkalan tersebut mengakibatkan penurunan kapasitas tampung pada danau, sehingga memicu terjadinya bencana banjir di daerah tersebut (BPDAS Je’neberang Walanae 2010).

Peran DAS Walanae sangat penting dalam sistem tata air di Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, dan Maros. Kondisi penutupan lahan yang semakin terbuka dan tingginya sedimentasi mengakibatkan meluapnya sungai Walanae dan pendangkalan di Danau Tempe. Berdasarkan data dari Dinas PSDA Sulsel, tingkat sedimentasi di Sungai Walanae sebesar 210.131 mg/ltr dengan tingkat erosi rata-rata tiap sub DAS sebesar 68.804,67 ton/tahun. Penelitian ini menggunakan metode SCS-CN (Soil Conservation Service-Curve Number). Metode SCS pada penelitian ini akan digunakan untuk melihat seberapa besar limpasan permukaan yang terjadi di DAS Walanae yang mempertimbangkan faktor yang umum sangat berpengaruh pada kemampuan suatu DAS untuk melimpaskan debit, yaitu tipe penggunaan lahan. Adanya perubahan penutupan atau penggunaan di suatu wilayah dalam DAS akan mempengaruhi karakteristik debit puncak dan limpasan permukaannya.

Perumusan Masalah

Limpasan permukaan yang terjadi pada DAS Walanae dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu berupa faktor curah hujan dan faktor daerah aliran sungai yang menyatakan sifat-sifat fisik DAS (penggunaan lahan, topografi, jenis tanah dan pola pengaliran).

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mempelajari karakteristik biofisik DAS Walanae dan menduga debit limpasan permukaan berdasarkan data debit dan curah hujan.

Manfaat Penelitian

Hasil perhitungan yang dilakukan pada penelitian terkait morfometri dan debit limpasan DAS Walanae dapat memberikan gambaran terkait karakteristik DAS Walanae dalam keadaan baik atau telah mengalami gangguan (kerusakan).

(14)

3

Ruang Lingkup Penelitian

Analisis karakteristik daerah aliran sungai (DAS) ini dilakukan di DAS Walanae dengan luas 4466 Km2. Aspek yang dikaji dalam penelitian ini adalah karakteristik DAS berdasarkan faktor fisik dan meteorologis DAS itu sendiri. Selain itu, dilakukan analisis pengaruh curah hujan di DAS Walanae terhadap limpasan permukaan dengan menggunakan metode Soil Conservation Services

(SCS).

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai

Sistem hidrologi adalah suatu proses pergerakan air secara terus menerus dari atmosfer yang kemudian dalam bentuk presipitasi jatuh ke bumi melalui berbagai peristiwa dan proses masuk ke dalam saluran atau sungai, mengalir kembali ke laut dan menguap kembali ke udara (Seyhan 1990). Menurut Ward dan Robinson (1990) siklus hidrologi menyediakan konsep pengantar yang bermanfaat dalam menggambarkan hubungan antara presipitasi dan aliran sungai yang dapat dinyatakan dalam berbagai cara.

Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah sebagian akan masuk (terserap) ke dalam tanah (infiltration). Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban air tanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk akan bergerak secara lateral (horizontal) tempat penampungan air alamiah lainnya (baseflow) (Asdak 2001).

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (Watershed) yang umumnya disingkat DAS pada dasarnya merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas daratnya merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh oleh aktivitas daratan. Satu atau lebih DAS dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya ≤ 2000 km2 membentuk satu kesatuan wilayah pengelolaan SDA yang disebut Wilayah Sungai/River Basins

(15)

4

belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan.

DAS adalah daerah yang dibatasi oleh punggung-punggung gunung atau pegunungan dimana air yang jatuh di daerah tersebut akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik atau stasiun yang ditinjau. DAS ditentukan dengan menggunakan peta topografi yang dilengkapi dengan garis-garis kontur. Garis-garis kontur dipelajari untuk menentukan arah dari limpasan permukaan. Limpasan berasal dari titik-titik tertinggi dan bergerak menuju titik-titik lebih rendah dalam arah tegak lurus dengan garis-garis kontur. Daerah yang dibatasi oleh garis yang menghubungkan titik-titik tertinggi tersebut adalah DAS. Air hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalir menuju sungai utama yang ditinjau, sedang yang jatuh di luarnya akan mengalir ke sungai lain di sebelahnya (Triatmodjo 2010).

DAS suatu area di permukaan bumi di dalamnya terdapat sistem pengaliran yang terdiri dari satu sungai utama (main stream) dan beberapa anak cabangnya (tributaries) yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air dan mengalirkan air melalui satu keluaran (outlet) (Soewarno 1995). Luas masing-masing DAS berbeda-beda, ada yang kecil dan ada yang luas. DAS yang luas terdiri dari dari beberapa sub DAS, dan sub DAS ini terdiri dari beberapa sub-sub DAS, tergantung banyaknya anak sungai dari cabang sungai yang merupakan bagian dari suatu sistem sungai utama. DAS mempunyai karakteristik yang berkaitan erat dengan unsur utamanya, seperti tata guna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik DAS tersebut dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya aliran air sungai (Asdak 2001).

(16)

5

Karakterisitik Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai suatu daerah yang dibatasi oleh topografi alami, dimana semua air hujan yang jatuh didalamnya akan mengalir melalui suatu sungai dan keluar melalui outlet pada sungai tersebut, atau merupakan satuan hidrologi yang menggambarkan dan menggunakan satuan fisik-biologi dan satuan kegiatan sosial ekonomi untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam (Suripin 2001). DAS memiliki karakteristik yang berbeda-beda, perbedaan ini ditentukan oleh banyak faktor, antara lain adalah bentuk dan ukuran DAS, pola drainase serta profil melintang dan gradien memanjang sungai yang sangat mempengaruhi debit sedimen yang terjadi pada DAS tersebut (Sosrodarsono dan Takeda 2003). Berdasarkan karakteristik morfologi dan aliran sungainya, DAS dapat dibagi menjadi bagian hulu dan bagian hilir. Daerah hulu sungai (upland catchment) memiliki ciri berlereng curam, batasnya jelas, curah hujan tinggi dan evapotranspirasi rendah. Sedangkan daerah hilir sungai (lowland catchment) dicirikan oleh banjir pada saat hujan lebat, pada daerah yang curah hujannya agak kurang maka banjir jarang terjadi dan secara umum pemukiman dan pengelolaan lahan lebih intensif, pepohonan jarang, gradien sungai dan erosi rendah. Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) meliputi beberapa variable yang dapat diperoleh melalui pengukuran langsung, data sekunder, peta dan dari data penginderaan jauh (remote sensing) (Seyhan, 1990) menyatakan bahwa karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: faktor lahan (ground factor), yang meliputi topografi, tanah, geologi, geomorfologi dan faktor vegetasi dan penggunaan lahan.

Adapun Pola-pola aliran sungai menurut Soewarno (1991) yaitu:

1. Pola trellis, yaitu pola yang letak anak-anak sungai yang paralel menurut strike atau topografi yang paralel. Anak-anak sungai bermuara pada sungai induk secara tegak lurus. Pola pengaliran trellis mencirikan daerah pegunungan lipatan (folded mountains).

2. Pola rektanguler, dicirikan oleh induk sungainya memiliki kelokan-kelokan ± 90o, arah anak-anak sungai (tributary) terhadap sungai induknya berpotongan tegak lurus. Biasanya ditemukan di daerah pegunungan patahan (block mountains).

3. Pola dendritik, yaitu pola sungai yang anak-anak sungainya (tributaries) cenderung sejajar dengan induk sungainya. Anak-anak sungainya bermuara pada induk sungai dengan sudut lancip. Model pola dendritis seperti pohon dengan tatanan dahan dan ranting sebagai cabang-cabang dan anak-anak sungainya.

4. Pola radial sentripugal, pola pengaliran beberapa sungai di mana daerah hulu sungai-sungai itu saling berdekatan seakan terpusat pada satu titik tetapi muaranya menyebar masing-masing ke segala arah.

(17)

6

6. Pola paralel adalah pola pengaliran yang sejajar. Pola pengaliran semacam ini menunjukkan lereng yang curam.Beberapa wilayah di pantai barat Sumatera memperlihatkan pola pengaliran parallel.

7. Pola annular, pola pengaliran cenderung melingkar seperti gelang; tetapi bukan meander. Terdapat pada daerah berstruktur dome (kubah) yang topografinya telah berada pada stadium dewasa. Daerah dome yang semula (pada stadium remaja) tertutup oleh lapisan-lapisan batuan endapan yang berselang-seling antara lapisan batuan keras dengan lapisan batuan lembut.

Gambar 2 Pola pengaliran sungai (Strahler, 1957)

Morfometri DAS adalah pengukuran bentuk dan pola DAS yang dapat dilihat dari suatu peta. Gordon (1992) menjelaskan bahwa parameter dalam morfometri DAS saling berhubungan satu sama lain, sehingga seringkali salah satu parameter dapat dijadikan pewakil parameter lainnya. Respon hidrologi dari suatu DAS terhadap masukan curah hujan dijelaskan pula oleh Asdak (2001) yang menyatakan bahwa beberapa parameter morfometri DAS seperti luas, kemiringan lereng, bentuk, kerapatan drainase dapat berpengaruh terhadap besaran dan timing

dari hidrograf aliran yang dihasilkannya. Pengaruh luasan DAS terhadap bentuk hidrograf aliran adalah pada waktu konsentrasi aliran air di daerah outlet dimana semakin besar luas DAS, maka semakin banyak pula curah hujan yang diterima namun semakin lama waktu konsentrasi aliran air untuk mencapai debit puncaknya. Sehingga bentuk hidrograf dari DAS yang mempunyai luasan yang besar cenderung menjadi lebih panjang.

(18)

7 konsentrasi untuk mencapai debit puncak di daerah outlet cenderung lebih lama daripada DAS yang membulat dan lebar. Kerapatan drainase sangat berpengaruh dalam menentukan kecepatan limpasan di DAS. Hubungannya adalah semakin tinggi kerapatan drainase maka semakin besar kecepatan limpasan untuk curah hujan yang sama di DAS. Oleh karena itu, DAS dengan kerapatan drainase tinggi, maka debit puncaknya akan tercapai dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan DAS dengan kerapatan drainase rendah (Asdak 2001).

Limpasan Permukaan (runoff)

Hujan merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya aliran permukaan. Intensitas hujan akan mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan. Intensitas hujan yang tinggi akan memungkinkan tingginya aliran permukaan yang terjadi. Menurut Arsyad (2006) proses terjadinya aliran permukaan adalah curah hujan yang jatuh di atas permukaan tanah pada suatu wilayah pertama-tama akan masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi setelah ditahan oleh tajuk pohon sebagai air intersepsi. Infiltrasi akan berlangsung terus selama air masih berada di bawah kapasitas lapang. Apabila hujan terus berlangsung dan kapasitas lapang telah terpenuhi, maka kelebihan air hujan tersebut akan tetap terinfiltrasi yang selanjutnya akan menjadi air perkolasi dan sebagian digunakan untuk mengisi cekungan atau depresi permukaan tanah sebagai simpanan permukaan (depression storage), selanjutnya setelah simpanan depresi terpenuhi, kelebihan air tersebut akan menjadi genangan air yang disebut tambatan permukaan (detention storage). Sebelum menjadi aliran permukaan (over land flow), kelebihan air hujan diatas sebagian menguap atau terevaporasi walaupun jumlahnya sangat sedikit.

Limpasan permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau, dan lautan. Bagian penting dari limpasan dalam kaitannya dengan rancang bangun pengendali limpasan adalah besarnya debit puncak (peak flow) dan waktu tercapainya debit pucak, volume dan penyebaran limpasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan permukaan dapat dikelompokkan ke dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan karakteristik DAS. Lama waktu hujan, intensitas dan penyebaran hujan mempengaruhi laju dan volume limpasan. Pengaruh DAS terhadap limpasan adalah melalui bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi, dan keadaan tata guna lahan (Asdak 2001).

Seyhan (1990) menjelaskan rangkaian air yang memberikan kontribusi kepada debit sungai sebagai berikut :

1. Curah hujan di saluran (channel precipitation) merupakan curah hujan yang jatuh langsung pada permukaan air di sungai utama dan anak-anak sungai yang umumnya termasuk dalam limpasan permukaan. Curah hujan yang langsung pada sungai merupakan bagian yang sangat kecil dari curah hujan itu.

(19)

8

menginfiltrasi dan mencapai lapisan yang impermeabel, kemudian sebagiannya mengalir ke sungai (limpasan bawah permukaan).

3. Aliran dasar (base flow). Aliran ini adalah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah, mencapai permukaan air tanah dan bergerak menuju sungai.

Sosrodarsono dan Takeda (2003) menjelaskan elemen–elemen daerah aliran sungai yang berhubungan dengan daerah limpasan, yaitu :

1. Kondisi penggunaan tanah (landuse). Daerah hutan sulit mengadakan limpasan permukaan karena kapasitas infiltrasinya besar. Sebaliknya terjadi apabila daerah tersebut dikosongkan dan dibangun, maka kapasitas infiltrasi akan turun karena pemampatan permukaan tanah.

2. Daerah pengaliran. Debit banjir yang diharapkan persatuan daerah pengaliran itu adalah berbanding terbalik dengan daerah pengaliran jika karakteristik-karakteristik yang lain itu sama.

3. Kondisi topografi dalam daerah pengaliran. Corak, elevasi, gradien, arah dari daerah pengaliran mempunyai pengaruh terhadap sungai dan hidrologi daerah pengaliran tersebut.

4. Jenis tanah. Bentuk butir-butir tanah, corak dan cara mengendap adalah faktor-faktor yang menentukan kapasitas infiltrasi.

5. Faktor-faktor lainnya seperti karakteristik jaringan sungai, daerah pengaliran yang tidak langsung, dan drainase buatan.

Metode Soil Conservation Service (SCS)

Metode SCS awalnya diperkenalkan oleh US Soil Conservation Service

(sekarang Natural Resources Conservation Service, NRCS). Metode ini terdiri dari komponen kondisi fisik DAS seperti penutupan lahan dan jenis tanah. Kondisi penutupan lahan dan jenis tanah tersebut direpresentasikan oleh indeks

curve number (CN). Metode SCS umumnya digunakan untuk DAS dengan luas yang besar. Komponen yang digunakan dalam metode ini terlalu banyak, terkadang data yang dibutuhkan tidak ada sehingga butuh asumsi yang harus dibuat (Arsyad 2010).

Metode SCS merupakan hasil pengamatan curah hujan selama bertahun-tahun dan melibatkan banyak daerah pertanian di Amerika Serikat. Metode ini berlaku untuk DAS lebih kecil dari 13 km2 dengan rata-rata kemiringan lahan kurang dari 30% (Asdak 2001). Dinas konservasi tanah Amerika atau US Soil Conservation Service mengembangkan suatu metode yang mengaitkan karakteristik DAS seperti tanah, vegetasi, dan tata guna lahan dengan bilangan kurva limpasan permukaan (run off curve number) yang menunjukkan potensi air aliran untuk curah hujan tertentu.

(20)

9 oleh kondisi kelompok hidrologi tanah (KHT), AMC (Antecedent Moisture Condition), penggunaan lahan dan cara bercocok tanam (Murtiono 2008).

Persamaan yang digunakan dalam penentuan besarnya volume limpasan dengan metode SCS adalah sebagai berikut :

Nilai S dapat diperoleh berdasarkan persamaan :

Metode SCS untuk menentukan laju puncak aliran permukaan dikemukakan oleh Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat yang semula dikembangkan untuk curah hujan seragam (Arsyad 2010). Prinsip dasar perhitungan hidrograf satuan sintetik dengan metode ini adalah perhitungan bilangan kurva (curve number) aliran permukaan dan hujan dengan asumsi jatuh di DAS menyebar merata (Seyhan 1990). Pendekatan metode ini mengasumsikan bahwa volume curah hujan total dialokasikan untuk:

a. Initial abstraction (Ia) yaitu jumlah infitrasi yang harus dipenuhi sebelum aliran dimulai.

b. Retensi (S) yaitu jumlah hujan yang jatuh setelah initial abstraction

terpenuhi tetapi tidak menambah aliran yang terjadi. c. Direct Runoff (Q).

METODE

Bahan

Bahan atau data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Data curah hujan DAS Walanae tahun 2007-2010 stasiun Tapale dan Palattae (Sumber : Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Je’neberang). 2. Data curah hujan stasiun Bance tahun 2005 dan 2010 (Sumber : Balai

Besar Wilayah Sungai Pompengan Je’neberang).

3. Data penggunaan lahan DAS Walanae tahun 2005 dan 2010 (Sumber : Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kehutanan Je’neberang Walanae).

4. Data debit pengukuran DAS Walanae hulu di Bendung Sanrego tahun 2007-2010 (Sumber : Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan

Je’neberang).

5. Data debit pengukuran Ujung Lamuru tahun 2005 dan 2010 (Sumber : Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Je’neberang).

Alat

(21)

10

Prosedur Analisis Data

Analisis Karakteristik dan Morfometri DAS a. Penentuan Orde Sungai

Orde sungai adalah nomor urut setiap segmen sungai terhadap sungai induknya. Metode penentuan orde sungai yang digunakan adalah Metode Strahler. Aliran sungai yang paling ujung dan tidak memiliki anak sungai disebut orde pertama. Apabila dua aliran dengan orde sama bertemu maka akan terbentuk anak sungai dengan orde setingkat lebih tinggi. Apabila dua anak sungai yang berbeda orde bertemu maka orde pertemuan anak sungai tersebut adalah orde paling besar.

Gambar 3 Penentuan Orde Sungai (Strahler, 1957)

b. Perhitungan Rasio Percabangan dan Rasio Panjang Sungai

Secara matematis, perhitungan rasio percabangan dab rasio panjang sebagai berikut:

N(u) : Jumlah segmen sungai berorde u P(u) : Panjang rata-rata orde sungai berorde u

c. Perhitungan Kerapatan DAS dan Dimensi Fraktal

Kerapatan DAS merupakan perbandingan antara jumlah panjang semua sungai di dalam DAS dengan luas DAS.

Dd: kerapatan jaringan sungai (km/km2)

Lu: jumlah panjang semua sungai di dalam DAS (km) Au: luas DAS (km2)

Rb Rp

(22)

11 Persamaan dimensi fraktal sebagai berikut :

d : dimensi fraktal jaringan hidrologi sungai

Analisis Curah Hujan Wilayah

Curah hujan yang digunakan merupakan curah hujan yang mewakili bagian hulu dan tengah pada DAS Walanae. Curah hujan yang diolah sebagai data adalah curah hujan rata-rata dari jumlah tiap bulannya dengan periode 2007-2010. Metode yang digunakan dalam pengolahan data curah hujan ini adalah Metode rata-rata aritmatika. Metode ini cocok diterapkan apabila jumlah stasiun banyak dan tersebar secara merata. Untuk setiap stasiun diberi bobot yang sama, yaitu dengan menjumlahkan curah hujan pengukuran di setiap stasiun perbulannya dan membaginya dengan jumlah stasiun penakar.

Perhitungan Limpasan Permukaan dan Koefisien Limpsan

Dinas konservasi tanah Amerika atau US Soil Conservation Service

mengembangkan suatu metode yang mengaitkan karakteristik DAS seperti tanah, vegetasi, dan tata guna lahan dengan bilangan kurva limpasan permukaan (Run Off Curve Number) yang menunjukkan potensi air aliran untuk curah hujan tertentu. Menurut Arsyad (2010), bilangan kurva aliran permukaan merupakan pengaruh hidrologi bersama antara tanah, penggunaan lahan, perlakuan terhadap lahan, keadaan hidrologi dan kandungan air tanah sebelumnya. Metode bilangan kurva aliran permukaan menunjukkan penaksiran aliran permukaan dari sejumlah curah hujan, data tanah, dan penutup tanah.

Persamaan yang digunakan dalam penentuan besarnya volume limpasan dengan metode SCS adalah sebagai berikut :

dan

Pendugaan aliran permukaan dan koefisien limpasan pada DAS Walanae menggunakan data penutupan lahan tahun 2005 dan 2010. Kelompok hidrologi tanah pada DAS Walanae adalah kelompok hidrologi tanah C dan D yang digunakan untuk menghitung curve number di DAS Walanae. Selain itu,perlunya dilakukan perhitungan koefisien limpasan karena kondisi distribusi curah hujan yang tidak merata di DAS Walanae.

S : perbedaan antara curah hujan dan limpasan permukaan (mm) C : koefisien limpasan permukaan

Q : limpasan permukaan bulanan (mm) P : curah hujan bulanan (mm)

CN : curve number penggunaan lahan

(23)

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS) Walanae

Analisis morfometri DAS dilakukan untuk melihat kepekaan DAS saat mengubah hujan menjadi limpasan permukaan. Morfometri sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan keadaan jaringan alur sungai secara kuantitatif pada suatu DAS. Sifat yang khas dari suatu DAS dapat dilihat dari morfometri DASnya. Respon hidrologi dari suatu DAS terhadap masukan curah hujan dijelaskan oleh Asdak (2001) yang menyatakan bahwa beberapa parameter morfometri DAS seperti luas, kemiringan lereng, bentuk, kerapatan drainase dapat berpengaruh terhadap besaran dan timing dari hidrograf aliran yang dihasilkannya. Pengaruh luasan DAS terhadap bentuk hidrograf aliran adalah pada waktu konsentrasi aliran air di daerah outlet, dimana semakin besar luas DAS maka semakin banyak pula curah hujan yang diterima namun semakin lama waktu konsentrasi aliran air untuk mencapai debit puncaknya.

Aliran sungai dalam suatu DAS dihubungkan oleh suatu jaringan dimana arah cabang dan anak sungai mengalir menuju sungai induk yang lebih besar dan membentuk suatu pola tertentu. Pola yang terbentuk mengikuti kondisi topografi, geologi, iklim, vegetasi yang terdapat di dalam DAS tersebut. Pola aliran DAS Walanae umumnya merupakan pola dendritik, yaitu pola sungai dimana anak-anak sungainya (tributaries) cenderung sejajar dengan induk sungainya. Anak-anak sungainya bermuara pada induk sungai dengan sudut lancip. Model pola dendritik seperti pohon dengan tatanan dahan dan ranting sebagai cabang-cabang dan anak-anak sungainya. Pola ini biasanya terdapat pada daerah berstruktur datar, atau pada daerah batuan yang sejenis (homogen) dengan penyebaran yang luas (Soewarno 1991).

Tabel 1 Morfometri (faktor sungai) DAS Walanae Hulu Ordo

Tabel 2 Morfometri (faktor areal) DAS Walanae Hulu Variabel

Luas DAS (Km2) 439.6 Kerapatan drainase

(24)

13 Perhitungan morfometri (faktor sungai dan areal) diperoleh dari peta DEM (Digital Elevation Model) berdasarkan ketinggian DAS Walanae Hulu. Tabel 1 menunjukkan bahwa DAS Walanae di bagian hulu terdiri dari sungai sampai orde empat dengan luas DAS 439.6 Km2. Orde sungai adalah posisi percabangan alur sungai di dalam urutannya terhadap induk sungai di dalam suatu DAS. Jumlah segmen tiap ordo yang lebih tinggi akan lebih sedikit dibanding dengan jumlah segmen ordo sebelumnya. Rasio percabangan (Rb) rata-rata DAS Walanae Hulu adalah 2.8. Indeks rasio percabangan rata-rata DAS Walanae hulu < 3, indeks ini menujukkan alur sungai pada DAS Walanae hulu akan mempunyai kenaikan muka air banjir dengan cepat dengan penurunan yang berjalan cepat pula (Hidayah 2008). Selain itu nilai Rb pada DAS Walanae ini berpengaruh terhadap debit puncak suatu aliran hidrograf, nilai Rb yang kecil akan menyebabkan aliran permukaan yang bergerak secara cepat dan waktu tenggang menjadi singkat dan debit puncak aliran hidrograf menjadi bertambah besar.

Kerapatan jaringan sungai menggambarkan kapasitas penyimpanan air permukaan oleh suatu DAS. Kerapatan jaringan sungai suatu DAS dinyatakan dengan nilai Dd (Km/Km2) yang diperoleh dari perbandingan antara jumlah panjang semua sungai di dalam DAS dengan luas DAS. Semakin tinggi tingkat kerapatan aliran sungai, berarti semakin banyak air yang dapat tertampung di badan-badan sungai. Kerapatan aliran sungai DAS Walanae Hulu adalah 1,9 Km/Km2. Nilai kerapatan aliran sungai pada DAS Walanae termasuk ke dalam klasifikasi indeks sedang (0,25-10 Km/Km2) yang alur sungainya melewati batuan dengan resistensi yang lebih lunak sehingga angkutan sedimen yang terangkut aliran akan lebih besar. Jika nilai kerapatan aliran sungai lebih kecil dari 1 mile/mile2 (0,62 Km/Km2), maka DAS akan mengalami penggenangan, sedangkan jika nilai kerapatan aliran sungai lebih besar dari 5 mile/mile2 (3,10 Km/Km2), maka DAS akan sering mengalami kekeringan. Kerapatan drainase sangat berpengaruh dalam menentukan kecepatan limpasan di DAS. Hubungannya adalah semakin tinggi kerapatan drainase maka semakin besar kecepatan limpasan untuk curah hujan yang sama di DAS. Oleh karena itu, DAS dengan kerapatan drainase tinggi, maka debit puncaknya akan tercapai dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan DAS dengan kerapatan drainase rendah (Hidayah 2008).

(25)

14

Gambar 4 Peta kemiringan lereng DAS Walanae

Karakteristik Curah Hujan dan Debit DAS Walanae

DAS Walanae adalah salah satu dari 17 DAS yang dikelolah BPDAS Jeneberang - Walanae. Secara geografi terletak antara 3º 59’03” –5º 8’45” LS dan

119º 47’09” – 120º 47’03” BT dan secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Maros, Bone, Soppeng dan Wajo dengan luas DAS 478.932,72 Ha. DAS Walanae terdiri dari 7 sub DAS, yaitu : Sanrego, Minraleng dan Batu Puteh yang terletak dibagian hulu sungai ; Malanroe, Mario dan Walanae Tengah terletak dibagian tengah sungai ; serta Walanae Hilir yang terletak dihilir sungai. Klasifikasi iklim di wilayah DAS Walanae tergolong tipe B/C atau agak basah, karena wilayahnya yang luas maka curah hujan di DAS Walanae bervariasi menurut titik pengukuran di kabupaten.

(26)

15

Gambar 5 Pola distribusi curah hujan DAS Walanae hulu tahun 2007-2010 Analisis regresi linier sederhana menunjukkan korelasi antara data curah hujan bulanan dan debit aliran di DAS Walanae yang bertujuan untuk melihat derajat hubungan keeratan. Nilai R2 yang diperoleh dibagian hulu adalah 0.243. Hal tersebut menjelaskan bahwa hanya sekitar 20% curah hujan di hulu DAS berpengaruh terhadap pergerakan debit aliran yang terjadi di hulu DAS Walanae.

Gambar 6 Perbandingan debit aliran dan curah hujan bulanan DAS Walanae Hulu

Dalam penentuan baik buruknya kondisi suatu DAS, dapat dilihat dari nilai debit pengukuran pada DAS tersebut berdasarkan acuan nisbah antara debit maksimum dan debit minimum yang disebut dengan koefisien regim sungai (KRS). Apabila nilai nisbah KRS relatif kecil (<50) maka DAS dapat dikatakan dalam kondisi baik, dan begitupun sebaliknya (RLPS 2009).

0

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

(27)

16

Tabel 3 Perhitungan nilai KRS Walanae Hulu Tahun Qmaksimum

Data yang digunakan merupakan data debit harian rata-rata tahunan. Selama periode tahun 2007-2010 nilai KRS Walanae hulu cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi DAS Walanae hulu dalam kondisi yang kurang baik (mengalami kerusakan), karena curah hujan yang turun lebih banyak menjadi limpasan permukaan dibandingkan yang mengisi persediaan air tanah pada DAS Walanae hulu. Nilai KRS yang tinggi menunjukkan bahwa kisaran nilai limpasan permukaan yang terjadi ketika musim hujan adalah besar (banjir), sedangkan pada musim kemarau limpasan permukaan yang terjadi sangat kecil atau menunjukkan kekeringan. Kondisi ini menunjukkan bahwa daya resapan lahan suatu DAS/Sub DAS kurang mampu menahan dan menyimpan air hujan yang jatuh, sehingga air yang menjadi limpasan permukaan banyak yang terus masuk ke sungai dan terbuang ke laut akibatnya ketersediaan air di DAS/Sub DAS saat musim kemarau sedikit (RLPS 2009).

Analisis Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Limpasan Permukaan dan Aliran Permukaan

Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) DAS Walanae

Kelompok hidrologi tanah (Soil Hydrology Group/SHG) menunjukkan potensi infiltrasi tanah setelah mengalami keadaan basah pada kurun waktu tertentu (Asdak 2006). KHT DAS Walanae tahun 2010 terdiri atas kelompok C dan D yang ditunjukkan pada Gambar 7, dengan KHT terbesar adalah D dengan luas 3624 Km2. Persentase luas KHT D adalah 81% dari luas keseluruhan DAS Walanae, sedangkan untuk KHT C seluas 841 Km2. KHT C dan D memiliki laju infiltrasi yang berkisar antara 0-4 mm/jam, nilai laju infiltrasi yang tergolong kecil dan menunjukkan bahwa tanah di DAS Walanae berpotensi sangat baik dalam melimpaskan air dan buruk dalam menginfiltrasikan air. Rendahnya kemampuan tanah dalam menyerap air pada KHT D menyebabkan perlunya kewaspadaan yang dapat menimbulkan terjadinya genangan/banjir di wilayah tersebut saat hujan dengan intensitas tinggi (Afrina 2013).

(28)

17

Gambar 7 Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) DAS Walanae tahun 2010

Limpasan Permukaan (run off) dan Koefisien Limpasan Permukaan

Besarnya aliran permukaan dapat menjadi kecil jika curah hujan tidak melebihi kapasitas infiltrasi. Selama hujan yang terjadi adalah kecil atau sedang, aliran permukaan hanya terjadi di daerah yang impermeabel dan jenuh di dalam suatu DAS atau langsung jatuh di atas permukaan air. Apabila curah hujan yang jatuh jumlahnya lebih besar dari jumlah air yang dibutuhkan untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi dan cadangan depresi, maka barulah bisa terjadi aliran permukaan. Apabila hujan yang terjadi kecil, maka hampir semua curah hujan yang jatuh terintersepsi oleh vegetasi yang lebat (Kodoatie dan Syarief 2005).

Pendugaan aliran permukaan menggunakan metode SCS diperoleh dengan menghitung nilai CN (curve number) DAS. Nilai CN pada DAS ini mirip dengan nilai C (koefisien limpasan). Perhitungan nilai CN DAS didapatkan dari nilai CN masing-masing tipe penggunaan lahan yang dikalikan dengan luas tiap penggunaan lahan untuk tahun 2005 dan 2010. Nilai CN ini digunakan untuk menghitung nilai S, yang menggambarkan perbedaan antara curah hujan dan limpasan. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan retensi, yaitu jumlah hujan yang jatuh setelah initial abstraction terpenuhi tetapi tidak menambah aliran yang terjadi.

(29)

18

yang tinggi pada area tersebut. Sebaliknya nilai CN yang tinggi menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas tanah dalam menyimpan air, sehingga air yang jatuh ke permukaan tanah lebih banyak menjadi aliran permukaan dan berpengaruh langsung pada penurunan debit .

Tabel 5 Aliran permukaan dan koefisien limpasan DAS Walanae Bulan

Pendugaan debit aliran DAS Walanae diperoleh dengan memanfaatkan data penutupan lahan DAS Walanae tahun 2005 dan 2010. Nilai CN merupakan representasi dari penutupan lahan, kelembaban tanah, dan jenis tanah. Nilai CN tahun 2010 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2005, hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan DAS Walanae pada tahun 2010 dalam melimpaskan air lebih tinggi. Nilai S menunjukkan besarnya air yang terinfiltrasi yang dipengaruhi oleh faktor CN DAS, semakin besar nilai CN DAS maka nilai S semakin kecil dan air yang dilimpaskan lebih banyak. Pendugaan limpasan permukaan dengan metode SCS menghasilkan nilai Q yang semakin kecil seiring besarnya nilai curah hujan. Peningkatan nilai limpasan permukaaan dari tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai limpasan yang besar ini berdasarkan nilai CN DAS yang besar pula, ketika nilai CN besar maka limpasan permukaan yang dihasilkan akan menjadi besar.

(30)

19 Nilai rata-rata C bulanan DAS Walanae mengalami peningkatan dari tahun 2005 ke 2010, hal tersebut menggambarkan kondisi DAS Walanae kurang baik atau telah mengalami kerusakan. Selain itu, nilai C ini juga menyatakan bahwa jumlah curah hujan yang jatuh pada permukaan DAS Walanae lebih banyak dari curah hujan yang diperlukan sehingga terjadi limpasan. Ketika nilai C mengalami peningkatan yang mendekati 1, maka akan terjadi aliran debit air yang semakin besar oleh saluran drainase.

(a)

(b)

Gambar 8 Korelasi debit observasi (pengukuran) dan limpasan permukaan DAS Walanae tahun 2005 (a) dan 2010 (b)

Data debit pengukuran yang digunakan merupakan data debit observasi tahun 2005 dan 2010 di Ujung Lamuru. Hasil regresi linier debit observasi dan pendugaan limpasan permukaan (Q SCS) menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) yaitu 0.62 (2005) dan 0.72 (2010). Nilai R2 ini merupakan gambaran limpasan permukaan yang terjadi akibat curah hujan yang turun di sekitar DAS Walanae. Korelasi antara observasi dan dugaan pada tahun 2005 dan 2010 merepresentasikan sebagian besar aliran limpasan permukaan pendugaan SCS mempunyai niai yang lebih kecil dari nilai debit observasinya.

(31)

20

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Analisis morfometri DAS yang dilakukan pada DAS Walanae menunjukkan bahwa DAS Walanae merupakan DAS yang memiliki pola aliran dendritik dengan luas daerah aliran 439,62 Km2 dibagian hulu DAS. Nilai rasio percabangan DAS Walanae hulu berada pada indeks <3 yang menggambarkan alur sungai pada DAS Walanae mempunyai kenaikan dan penurunan nuka air yang cepat. Nilai kerapatan DAS Walanae termasuk indeks sedang yang berarti kemampuan DAS Walanae dalam menampung air cukup banyak. Kerapatan drainase sangat berpengaruh dalam menentukan kecepatan limpasan di DAS. Hubungannya adalah semakin tinggi kerapatan drainase maka semakin besar kecepatan limpasan untuk curah hujan yang sama di DAS. Topografi DAS Walanae didominasi oleh kemiringan lereng curam dengan persentase 47 % dari keseluruhan luas DAS Walanae yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa DAS Walanae cenderung menghasilkan limpasan permukaan yang cukup besar dari bagian hilir hingga tengah DAS.

Klasifikasi iklim di wilayah DAS Walanae tergolong tipe B/C atau agak basah, karena wilayahnya yang luas maka curah hujan di DAS Walanae bervariasi menurut titik pengukuran di kabupaten. Pola curah hujan pada DAS Walanae berdasarkan data curah hujan dari BBWS Pompengan – Je’neberang tahun 2007 -2010 menunjukkan tipe lokal, yaitu pola yang dicirikan dengan satu puncak musim hujan yang merupakan kebalikan dari pola hujan tipe muson. Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Mei-Juni-Juli. Curah hujan tertinggi pada bulan Mei-Juli secara berurutan adalah 2007 (281 mm ; 522 mm; 392 mm), 2008 (654 mm; 417 mm; 19), 2009 (174 mm; 236 mm; 300 mm), dan 2010 (411 mm; 780 mm; 573). Pendugaan debit aliran DAS Walanae diperoleh dengan memanfaatkan data penutupan lahan DAS Walanae tahun 2005 dan 2010. Nilai CN tahun 2010 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2005, hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan DAS Walanae pada tahun 2010 dalam melimpaskan air lebih tinggi. Pendugaan limpasan permukaan dengan metode SCS menghasilkan nilai Q yang semakin kecil seiring besarnya nilai curah hujan. Nilai limpasan yang besar ini berdasarkan nilai CN DAS yang besar pula, ketika nilai CN besar maka limpasan permukaan yang dihasilkan akan menjadi besar.

Saran

(32)

21

DAFTAR PUSTAKA

Afrina DP. 2013. Pemanfaatan data pengindraan jauh untuk analisis perubahan lahan dan curah hujan terhadap aliran permukaan di DAS Ciliwung [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Arsyad S. 2010. Pengawetan Tanah dan Air, Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas

Pertanian. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Asdak C. 2001. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.

Bhola PK dan Singh A. 2010. Rainfall-Runoff Modeling of River Kosi Using SCS-CN Method And Ann [Tesis]. Rourkela Department of Civil Engineering National Institute of Technology Rourkela.

[BPDAS] Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Je’neberang-Walanae. 2010. Laporan Karakteristik DAS Je’neberang-Walanae 2010, BPDAS Jeneberang-Walanae. Makassar.

Gordon BD. 1992. Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen Bagian I. Jakarta (ID) : PT. PustakaBinaman Pressindo.

Hidayah R. 2008. Analisis Morfometri Sub Daerah Aliran Sungai Karangumus dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis [skripsi]. Samarinda (ID) : Universitas Mulawarman.

Kodoatie RJ dan Rustam Syarif. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Yogyakarta (ID) : ANDI.

Murtiono UH. 2008. Kajian Model Estimasi Volume Limpasan Permukaan, Debit Puncak Aliran, dan Erosi Tanah dengan Model Soil Conservation Service (SCS), Rasional, dan Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE), Studi Kasus di DAS Keduang, wonogiri. J Forum Geografi. 22(2):169-185. [RLPS] Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2009. Pedoman Monitoring

dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta (ID) : Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.

Seyhan E. 1990.Dasar-dasar Hidrologi. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.

Soewarno.1991. Hidrologi Pengukuran dan Pengelolaan Data Aliran Sungai (Hidrometrik). Bandung (ID) : Penerbit Nova.

Soewarno.1995. Hidrologi : Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data Jilid 1. Bandung (ID) : Penerbit Nova.

Sosrodarsono S. dan K. Takeda. 2003. Hidrologi Untuk Pengairan. Cetakan ke sembilan. Jakarta (ID) :Pradayana Paramita.

Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta (ID) : Penerbit Andi.

Triatmodjo B. 2010. Hidrologi Terapan. Yogyakarta (ID) : Beta Offset.

(33)

22

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kriteria kategori AMC AMC ∑ CH 5 hari

Lampiran 2 Karakteristik nilai Rb

No Rb Keterangan

1 < 3 Kenaikan muka air banjir dengan cepat, sedangkan penurunnya berjalan cepat.

2 3-5 Kenaikan muka air banjir tidak terlalu cepat, sedangkan penurunannya berjalan tidak terlalu cepat juga (sedang).

3 >5 Kenaikan muka air banjir dengan cepat, sedangkan penurunannya berjalan lambat (abnormal).

Sumber : (Soewarno 1991)

Lampiran 3 Karakteristik nilai kerapatan indeks sungai (Dd)

No Dd (km/km2) Kelas kerapatan Keterangan

1 < 0.25 Rendah Alur sungai melewati batuan dengan

resistensi keras, maka angkutan sedimen yang terangkut aliran sungai lebih kecil jika dibandingkan pada alur sungai yang melewati batuan dengan resistensi yang lebih lunak, apabila kondisi lain yang mempengaruhinya.

2 0.25 – 10 Sedang Alur sungai melewati batuan dengan

resistensi yang lebih lunak, sehingga angkutan sedimen yang terangkut aliran akan lebih besar.

3 10 – 25 Tinggi Alur sungai melewati batuan dengan

resistensi yang lunak, sehingga angkutan sedimen yang terangkut aliran akan lebih besar.

4 >25 Sangat tinggi Alur sungai melewati batuan yang kedap air. Keadaan ini akan menunjukkan bahwa air hujan yang menjadi aliran akan lebih besar jika dibandingkan suatu daerah dengan D rendah melewati batuan yang permebelitas besar.

(34)

23

Lampiran 4 Tingkat kelas lereng

No Relief Lereng

1 Datar 0-3%

2 Berombak/landai 3-8%

3 Bergelombang/Agak miring 8-15%

4 Berbukit/miring 15-30%

5 Agak curam 30-45%

6 Curam 45-65%

7 Sangat curam >65%

Sumber : Arsyad (2000).

Lampiran 5 Kriteria Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) menurut US SCS 1972

KHT Keterangan Laju Infiltrasi

(mm/jam) A

Potensi aliran permukaan rendah, termasuk tanah liat berpasir dengan solum dalam dan permeabilitas cepat.

8 – 12

B

Potensi aliran permukaan agak rendah, seperti pada kelompok A tetapi bersolum dangkal dan permeabilitas sedang – tinggi.

4 – 8

C

Potensi aliran permukaan agak tinggi, tekstur berliat, solum dalam, kandungan liat tinggi dan permeabilitas rendah.

1 – 4

D

Potensi aliran permukaan tinggi, tekstur berliat, solum dangkal, kandungan liat tinggi dan permeabilitas rendah.

0 – 1 Sumber : Arsyad (2000).

Lampiran 6 Kriteria nilai CN berdasarkan penggunaan lahan pada AMC II

(35)

24

Lampiran 7 Perhitungan CN DAS Walanae tahun 2005

Penutupan Lahan A (Km2) CN CN DAS S

Lampiran 8 Perhitungan CN DAS Walanae tahun 2005

Penutupan Lahan A (Km2) CN CN DAS S

Lampiran 9 Debit bulanan (m3/s) Bendung Sanrego

(36)

25

Lampiran 10 Debit bulanan (m3/s) Ujung Lamuru

Bulan 2005 2010

Jan 70 100

Feb 110 104

Mar 68 109

Apr 118 25

May 66 314

Jun 33 609

Jul 19 285

Aug 8 247

Sep 9 302

Oct 12 172

Nov 17 283

Dec 34 121

Lampiran 11 Curah hujan bulanan (mm) Stasiun Bance

Bulan 2005 2010

Jan 74 197

Feb 348 150

Mar 177 186

Apr 168 114

May 188 304

Jun 78 634

Jul 75 578

Aug 43 315

Sep 39 342

Oct 32 391

Nov 52 307

(37)

26

Lampiran 12 Curah hujan bulanan (mm) Sstasiun Palattae

Bulan 2007 2008 2009 2010

Jan 171 173 92 61

Feb 88 74 130 162

Mar 106 201 104 258

Apr 165 415 113 199

May 305 736 81 418

Jun 437 505 126 844

Jul 409 228 293 583

Aug 97 160 130 601

Sep 58 79 61 243

Oct 95 303 90 226

Nov 86 78 272 168

Dec 103 158 184 112

Lampiran 13 Curah hujan bulanan (mm) Sstasiun Tapale

Bulan 2007 2008 2009 2010

Jan 146 138 97 79

Feb 130 78 0 151

Mar 43 144 268 107

Apr 237 250 112 171

May 257 571 66 403

Jun 606 329 145 715

Jul 375 161 307 563

Aug 10 188 0 328

Sep 45 60 0 253

Oct 76 306 27 351

Nov 111 226 62 343

(38)

27

(39)

28

(40)

29

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 23 September 1991. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangn Bapak Abu Bakar dan Ibu Anisah Tasar. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA GUPPI Samata dan pada tahun yang sama penulis lolos seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Kementrian Agama dan penulis diterima di Departemen Geofisika dan Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis cukup aktif dalam menjalani dan mengikuti berbagai organisasi intra kampus salah satunya HIMAGRETO (Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi), IKAMI Sul-SelBar (Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar Indonesia-Sulawesi Selatan Barat) , dan beberapa event kepanitiaan. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi diluar kampus yaitu CSS MoRA. Penulis juga ikut berpartisipasi dalam IPB Goes to Field (IGTF) 2012 di Demak, Jawa Tengah pada bulan Juni selama satu bulan, dengan tema kegiatan “Pengukuran Kadar Salinitas pada Lahan Ex-Tambak,

Gambar

Gambar 2  Pola pengaliran sungai (Strahler, 1957)
Gambar 3  Penentuan Orde Sungai (Strahler, 1957)
Tabel  1  Morfometri (faktor sungai) DAS Walanae Hulu
Gambar 6  Perbandingan debit aliran dan curah hujan bulanan DAS Walanae
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Curah Hujan Harian Maksimum Untuk Pendugaan Debit Puncak Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu adalah benar karya

Lokasi daerah aliran sungai (DAS) yang dibahas dalam penelitian ini adalah daerah aliran sungai (DAS) Way Ketibung yg merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Sekampung

Bukit Barisan dengan hutan yang masih terjaga dan curah hujan yang cukup tinggi menjadikan Provinsi Sumatera Barat memiliki banyak Daerah Aliran Sungai (DAS) kecil, yang

Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggung- punggung gunung atau pegunungan dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut akan mengalir

Dari hasil pemantauan pada DAS Wai Ruhu sebagai lokasi penelitian, dapat dijelaskan bahwa tinggi rendahnya curah hujan akan mempengaruhi fluktuasi volume aliran permukaan DAS dan

Penelitian dilakukan berdasarkan sistem DAS/ sub DAS dengan input air berupa curah hujan yang jatuh dalam sub DAS yang diteliti dan hasil air berupa debit

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis aliran permukaan DAS Bila menggunakan model SWAT dan melihat kontribusi aliran permukaan pada tiap penggunaan lahan DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai areal yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di