TUGAS AKHIR
EVALUASI KEAMANAN JEMBATAN GELAGAR BETON
BERTULANG BALOK “T” DALAM STANDAR TAHUN 1997
BERDASARKAN PEMBEBANAN RSNI T-02-2005
DISUSUN OLEH:
BAYU KURNIAWAN
08/268794/TK/34070
JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
TUGAS AKHIR
EVALUASI KEAMANAN JEMBATAN GELAGAR BETON
BERTULANG BALOK “T” DALAM STANDAR TAHUN 1997
BERDASARKAN PEMBEBANAN RSNI T-02-2005
dipersiapkan dan disusun olehBayu Kurniawan
08/268794/TK/34070
telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal : ………
Susunan Dewan Penguji Dosen Pembimbing
Dr. -Ing. Ir. Andreas Triwiyono
Dosen Penguji I Dosen Penguji II
Dr. -Ing. Ir. Djoko Sulistyo Ir. Darmanto, Dip.HE., M.Sc.
Tugas Akhir ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
Tanggal ………..
Mengetahui
Ketua Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan
Prof. Ir. Bambang Suhendro M.Sc., Ph.D. NIP. 195612261980101001
iii
iv
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat, Hidayah serta Karunia-Nya yang senantiasa Ia berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dalam rangka memenuhi syarat akademik untuk menyelesaikan Program Studi S-1 di Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir ini penulis mendapat banyak bantuan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. -Ing. Ir. Andreas Triwiyono selaku dosen pembimbing Tugas Akhir
2. Bapak Dr. -Ing. Ir. Djoko Sulistyo selaku dosen penguji tugas akhir. 3. Bapak Ir. Darmanto, Dip.HE., M.Sc.selaku dosen penguji tugas skhir. 4. Bapak dan Mamah, serta Mba Ajeng dan seluruh keluarga yang selalu
mendukung penulis.
5. Teman-teman Sipil UGM angkatan 2008 yang selalu menemani dan berbagi dalam semua kegiatan baik di dalam maupun di luar kampus. Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, penulis menerima saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk dijadikan acuan dalam penyusunan tugas / makalah selanjutnya.
Semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan juga bagi penulis.
Yogyakarta, Oktober 2012
v
Daftar Isi
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi... v
Daftar Gambar ... vii
Daftar Tabel ... ix Intisari ... xi Abstract ... xii BAB I Pendahuluan ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 2 1.3. Manfaat ... 2 1.4. Batasan Masalah ... 3
BAB II Tinjauan Pustaka ... 4
BAB III Landasan Teori... 6
3.1. Umum ... 6
3.2. Jembatan Balok T ... 6
3.3. Perbedaan Peraturan Pembebanan ... 9
3.4. Analisis Pelat Lantai Kendaraan berdasarkan Metode M. Pigeaud ... 11
3.5. Pembebanan Jembatan Jalan Raya berdasarkan RSNI-T-02-2005 ... 19
3.6. Kombinasi Beban ... 35
3.7. Analisis Lendutan ... 39
3.8. Perancangan dan Analisis Balok T ... 41
BAB IV Metodologi Penelitian ... 48
4.1. Umum ... 48
4.2. Langkah-langkah Analisis ... 48
4.3. Bagan Alir Penelitian ... 50
BAB V Analisis dan Pembahasan ... 51
vi
5.2. Analisis Pembebanan Jembatan ... 57
5.3. Analisis Lendutan ... 78
5.4. Analisis Kapasitas Pelat Lantai Kendaraan ... 80
5.5. Analisis Kapasitas Gelagar Balok -T ... 82
5.6. Pembahasan ... 86 BAB VI Penutup ... 96 6.1. Kesimpulan ... 96 6.2. Saran ... 97 Daftar Pustaka ... 98 Lampiran
vii
Daftar Gambar
Gambar 3. 1 Penampang melintang jembatan balok T ... 7
Gambar 3. 2 Penampang memanjang jembatan balok T... 7
Gambar 3. 3 Bidang beban roda dan penyebaran beban dalam metode M. Pigeaud ... 12
Gambar 3. 4 Penyebaran beban dalam metode M. Pigeaud ... 12
Gambar 3. 5 Kombinasi perletakan sisi pelat dan faktor koreksinya ... 13
Gambar 3. 6 Beban terpusat berada tepat di tengah pelat ... 15
Gambar 3. 7 Dua beban terpusat simetris sumbu panjang pelat ... 15
Gambar 3. 8 Dua beban terpusat simetris terhadap sumbu pendek pelat... 16
Gambar 3. 9 Satu beban terletak simetris terhadap sumbu pendek pelat ... 16
Gambar 3. 10 Satu beban terletak simetris terhadap sumbu panjang pelat ... 17
Gambar 3. 11 Beban terpusat berada sembarang pada pelat ... 17
Gambar 3. 12 Penyebaran beban roda kendaraan dalam analisis geser pons ... 18
Gambar 3. 13 Beban lajur “D” ... 24
Gambar 3. 14 Pembebanan truk "T" ... 26
Gambar 3. 15 Pembebanan untuk pejalan kaki ... 28
Gambar 3. 16 Penampang melintang balok T terhubung ... 42
Gambar 3. 17 Penampang melintang balok T terisolasi ... 43
Gambar 3. 18 Balok T tulangan tunggal ... 44
Gambar 4. 1 Bagan alir penelitian... 50
Gambar 5. 1 Gambar potongan pelat ... 51
Gambar 5. 2 Kondisi pembebanan 2 ... 54
Gambar 5. 3 Formasi (i) kondisi pembebanan 2 ... 54
Gambar 5. 4 Formasi (ii) kondisi pembebanan 2 ... 55
Gambar 5. 5 Model jembatan bentang 20 meter pada SAP 2000 ... 57
Gambar 5. 6 Pembebanan beban tersebar merata (BTR) ... 59
Gambar 5. 7 Pembebanan beban garis (BTR) ... 59
viii
Gambar 5. 9 Penyaluran beban angin ... 68
Gambar 5. 10 Beban roda truk ... 79
Gambar 5. 11 Potongan tengah bentang gelagar ... 82
Gambar 5. 12 Potongan tepi bentang gelagar ... 84
Gambar 5. 13 Perbandingan hasil lendutan dengan lendutan batas ... 88
Gambar 5. 14 Grafik perbandingan gaya geser beban truk dan beban lajur ... 89
Gambar 5. 15 Grafik perbandingan momen lentur beban truk dan beban lajur .... 90
Gambar 5. 18 Grafik perbandingan VU dan ϕ Vn ... 91
ix
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Perbandingan hasil pembebanan beban lajur “D” dan beban truk “T”
(Asmadi, 2009) ... 4
Tabel 2.2 Perbandingan hasil analisis pelat dalam berbagai posisi pembebanan arah sumbu pendek pelat ... 5
Tabel 3. 1 Perbedaan peraturan pembebanan ... 9
Tabel 3. 2 Koefisien reduksi momen (rm) (Siswanto, 1999) ... 14
Tabel 3. 3 Berat isi untuk beban mati (kN/m3) (RSNI T-02-2005) ... 20
Tabel 3. 4 Sifat-sifat untuk tekanan tanah (RSNI T-02-2005) ... 22
Tabel 3. 5 Jumlah lajur lalu lintas rencana (RSNI T-02-2005) ... 23
Tabel 3. 6 Faktor distribusi untuk pembebanan truk "T" (RSNI T-02-2005) ... 26
Tabel 3. 7 Temperatur jembatan rata-rata nominal (RSNI T-02-2005) ... 30
Tabel 3. 8 Sifat bahan rata-rata akibat pengaruh temperatur (RSNI T-02-2005) . 30 Tabel 3. 9 Kecepatan angin rencana VW (RSNI T-02-2005)... 31
Tabel 3. 10 Koefisien seret CW (RSNI T-02-2005) ... 31
Tabel 3. 11 Faktor kepentingan (RSNI T-02-2005) ... 33
Tabel 3. 12 Faktor tipe bangunan (RSNI T-02-2005) ... 34
Tabel 3. 13 Ringkasan aksi-aksi rencana (RSNI T-02-2005) ... 35
Tabel 3. 14 Kombinasi beban untuk keadaaan batas layan (RSNI T-02-2005) .... 36
Tabel 3. 15 Kombinasi beban umum untuk keadaan batas kelayanan dan ultimit (sumber RSNI T-02-2005) ... 38
Tabel 5. 1 Hasil output SAP 2000 untuk beban tetap (PMS)... 58
Tabel 5. 2 Hasil output SAP 2000 untuk beban mati tambahan (PMA) ... 58
Tabel 5. 3 Hasil output SAP 2000 untuk beban lajur “D” (TTD) ... 60
Tabel 5. 4 Hasil analisis garis pengaruh untuk bentang 5 meter ... 61
Tabel 5. 5 Hasil analisis garis pengaruh untuk bentang 10 meter ... 61
Tabel 5. 6 Hasil analisis garis pengaruh untuk bentang 15 meter ... 62
Tabel 5. 7 Hasil analisis garis pengaruh untuk bentang 20 meter ... 63
x
Tabel 5. 9 Hasil analisis pembebanan untuk beban truk "T" (TTT) ... 66
Tabel 5. 10 Hasil output SAP 2000 untuk beban rem (TTB) ... 67
Tabel 5. 11 Hasil output SAP 2000 untuk beban pejalan kaki (TTP)... 67
Tabel 5. 12 Hasil output SAP 2000 untuk beban angin (TEW) ... 69
Tabel 5. 13 Hasil output SAP 2000 untuk beban gempa (TEQ) ... 70
Tabel 5. 14 Gaya geser ultimit untuk masing-masing bentang ... 71
Tabel 5. 15 Momen lentur ultimit untuk masing-masing bentang ... 72
Tabel 5. 16 Kombinasi beban keadaan ultimit bentang 5 meter. ... 73
Tabel 5. 17 Kombinasi beban keadaan ultimit bentang 10 meter ... 74
Tabel 5. 18 Kombinasi beban keadaan ultimit bentang 15 meter ... 75
Tabel 5. 19 Kombinasi beban keadaan ultimit bentang 20 meter ... 76
Tabel 5. 20 Kombinasi beban keadaan ultimit bentang 25 meter ... 77
Tabel 5. 21 Gaya geser dan momen lentur ultimit ... 78
Tabel 5. 22 Hasil analisis lendutan ... 80
Tabel 5. 23 Data potongan tengah bentang gelagar ... 83
Tabel 5. 24 Data potongan tepi bentang gelagar ... 84
Tabel 5. 25 Hasil analisis kapasitas gelagar ... 85
Tabel 5. 26 Hasil analisis pembebanan pelat lantai kendaraan (momen) ... 86
Tabel 5. 29 Perbandingan hasil desain ulang dengan momen ultimit ... 92
Tabel 5. 30 Perbandingan hasil desain ulang dengan momen ultimit ... 92
Tabel 5. 31 Perbandingan jumlah tulangan desain ulang ... 93
Tabel 5. 32 Hasil desain ulang gelagar untuk gaya geser bentang 5 meter ... 93
Tabel 5. 33 Hasil desain ulang gelagar untuk gaya geser bentang 10 meter ... 93
Tabel 5. 34 Hasil desain ulang gelagar untuk gaya geser bentang 15 meter ... 94
Tabel 5. 35 Hasil desain ulang gelagar untuk gaya geser bentang 20 meter ... 94
Tabel 5. 36 Hasil desain ulang gelagar untuk gaya geser bentang 25 meter ... 94
xi
Intisari
Pada tahun 1997, Departemen Pekerjaan Umum melalui Direktorat Jenderal Bina Marga menerbitkan Standar Jembatan Gelagar Beton Bertulang Balok “T” untuk mempermudah perencanaan serta pelaksanaan. Standar tersebut berisi spesifikasi serta detail jembatan bentang 5 – 25 meter dengan menggunakan gelagar beton bertulang balok –T dengan pembebanan mengacu pada Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya tahun 1987 (PPPJJR 1987). Melalui RSNI T-02-2005, Pembebanan untuk Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum membuat peraturan pembebanan baru untuk jembatan yang dijadikan acuan dalam perancangan jembatan.
Dibandingkan dengan PPPJJR 1987, pada RSNI T-02-2005 terdapat beberapa perubahan, antara lain beban kendaraan, beban angin dan beban gempa. Selain itu standar jembatan balok –T tersebut didasarkan pada metode Allowable
Stress Design (ASD). Untuk mengetahui apakah standar tersebut masih bisa
digunakan maka diperlukan evaluasi keamanannya. Evaluasi dilakukan terhadap pelat lantai dan gelagar jembatan. Evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan kapasitas lentur dan geser jembatan dengan kuat perlu yang dihitung berdasarkan pembebanan yang baru (RSNI T-02-2005) dengan metode
Load and Resistance Factor Design (LRFD). Jika pelat lantai dan gelagar tidak
aman, akan dilakukan perancangan kebutuhan tulangan geser atau tulangan longitudinal dengan dimensi tetap.
Hasil analisis menunjukkan bahwa spesifikasi jembatan sesuai dengan standar tersebut tidak memenuhi syarat pembebanan sesuai RSNI T-02-2005 untuk pelat lantai dan gelagarnya khususnya untuk bentang > 10 meter. Desain ulang dilakukan dengan mengubah jarak tulangan pada pelat lantai dan mengubah tulangan lentur gelagar dari 295 MPa menjadi 390 MPa.
xii
Abstract
In 1997, Public Works Department (PU) through Directorate General of Highways issued “Standar Jembatan Gelagar Beton Bertulang Balok “T”” to facilitate planning and construction of short-span bridge. The standard contains spesifications and design of bridge for 5-25 meters using T-beam reinforced concrete girder in which the load assignment was based on “Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya tahun 1987” (PPPJJR 1987. Through RSNI T-02-2005, “Pembebanan untuk Jembatan”, Public Works Department made new regulations in loading assigntment for bridges, which will be used as a code in designing a bridge.
Comparing to PPPJJR 1987, RSNI T-02-2005 has many changes in vehicle load, wind load and earthquake load. The other difference is the analytical method used, RSNI T-02-2005 use Load and Resistance Factor Design (LRFD) while PPPJJR 1987 use Allowable Stress Design (ASD). By evaluating the safety, it can be known whether the standard can still be used or not. Evaluation is done by analysing foor plate and girder and redesigning will be done to the reinforcement if needed.
Analysis result show that the standard is not meeting the requirement according to RSNI T-02-2005, neither the plate nor the girder for > 10 metres span. The redesigning is done by changing the distance of floor plate reinforcement, and changing the quality of beam reinforcement from 295 MPa to 390 MPa.
1
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Jembatan adalah struktur yang fungsi utamanya untuk menghubungkan dua daerah yang terpisah oleh kondisi-kondisi alam seperti sungai, lembah, laut dan sebagainya. Jembatan mempunyai peranan penting karena bersama jalan menjadi tulang punggung sistem transportasi. Dengan semakin meningkatnya transportasi, perkembangan jembatan juga menjadi suatu keharusan agar terjadi keselarasan dengan prasarana lain.
Bentuk jembatan paling sederhana dapat berupa gelagar bentang sederhana (simple beam) atau bentang menerus (continuous beam), yang biasa digunakan untuk jembatan bentang 5-20 m. Jenis jembatan lainnya adalah cantilever bridges,
arch bridges, suspension bridges dan cable-stayed bridges yang mampu
digunakan untuk bentang-bentang yang lebih panjang, dimana saat ini jembatan dengan bentang terpanjang adalah Akashi Kaikyo Bridge di Jepang dengan panjang 1991 meter dengan model suspension bridges.
Salah satu jenis dari beam bridges adalah jembatan balok – T yang banyak digunakan di Indonesia untuk jembatan bentang pendek. Untuk mempermudah perencanaan dan pelaksanaan, pada tahun 1997 Departemen Pekerjaan Umum menerbitkan Standar Jembatan Gelagar Beton Bertulang Balok –T untuk bentang 5 – 25 meter, sehingga tercapai efisiensi dan penghematan waktu dalam pembangungannya.
Dalam perencanaannya, standar tersebut didasarkan pada standar pembebanan yang dikeluarkan oleh Bina Marga yakni Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya tahun 1987, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan Jalan Raya (SNI 03-2833-1992), Bridge Management System (BMS) tahun 1992 dan SK SNI T-15-1991-03, dimana saat ini sudah ada peraturan terbaru, yakni RSNI T-02-2005 Pembebanan untuk Jembatan, yang menggantikan peraturan-peraturan tersebut. RSNI tersebut mengakomodasi
2
beban-beban seperti pada peraturan-peraturan di atas, dimana hampir semua beban mengalami kenaikan.
Oleh karena itu standar tersebut perlu dievaluasi menggunakan RSNI T-02-2005 sehingga dapat diketahui apakah standar tersebut masih bisa digunakan. Evaluasi dilakukan pada bentang 5, 10, 15, 20 dan 25 meter terhadap pelat serta balok gelagarnya agar diketahui hubungan antara kapasitas yang ada dengan beban yang harus dipikul sesuai dengan peraturan tersebut.
1.2. Tujuan
Tujuan dari evaluasi Standar Jembatan Gelagar Beton Bertulang Balok –T ini seoerti tersebut di bawah ini.
1. Membandingkan besar momen ultimit dan gaya geser ultimit yang terjadi pada pelat lantai jembatan bentang 5, 10, 15, 20 dan 25 meter terhadap kapasitasnya.
2. Membandingkan besar momen ultimit dan gaya geser ultimit yang terjadi pada gelagar jembatan bentang 5, 10, 15, 20 dan 25 meter terhadap kapasitasnya.
3. Membandingkan lendutan yang terjadi dengan lendutan batas.
4. Mendesain ulang pelat lantai dan atau gelagar apabila kapasitas momen atau gaya gesernya tidak mencukupi.
1.3. Manfaat
Manfaat dari tugas akhir ini adalah agar pembaca dan juga pihak terkait, Departemen Pekerjaan Umum, dapat mengetahui apakah Standar Jembatan Gelagar Beton Bertulang Balok – T ini sesuai RSNI T-02-2005 sehingga dapat digunakan sebagai dasar perancangan untuk jembatan bentang 5 – 25 meter.
3
1.4. Batasan Masalah
Batasan masalah yang ditentukan dalam evaluasi Standar Jembatan Gelagar Beton Bertulang Balok –T ini adalah seperti tersebut di bawah ini.
1. Analisis ulang dilakukan terhadap pelat lantai dan gelagar balok T terhadap bentang 5, 10, 15, 20 dan 25..
2. Analisis pelat menggunakan metode M. Pigeaud.
3. Tinjauan dilakukan terhadap momen lentur dan gaya geser.
4. Beban yang digunakan dalam re-analisis adalah beban mati/tetap, beban mati tambahan, beban hidup + kejut, beban rem, beban pejalan kaki, beban angin dan beban gempa sesuai RSNI T-02-2005.
4
BAB II
Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai perancangan jembatan menggunakan peraturan pembebanan berdasarkan RSNI T-02-2005 sudah banyak dilakukan. Dalam tugas akhir dari Rokhmany (2011), dilakukan perbandingan antara hasil perancangan jembatan komposit baja-beton menggunakan metode LRFD (RSNI T-02-2005)dan metode ASD (AISC 1989). Dari hasil penelitian didapat bahwa untuk jembatan komposit metode LRFD memberikan angka aman yang lebih tinggi dibandingkan metode ASD.
Pembebanan lalu-lintas dalam RSNI T-02-2005 terdapat dua macam, yakni beban lajur “D” dan beban truk “T” dimana untuk perancangan diambil nilai terbesar dari dua pembebanan tersebut. Dalam tugas akhir dari Asmadi (2009), beban truk “T” memberikan hasil pembebanan yang lebih besar daripada beban lajur “D” baik untuk momen lentur ataupun gaya geser. Perbandingan hasil pembebanan dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2. 1 Perbandingan hasil pembebanan beban lajur “D” dan beban truk “T” (Asmadi, 2009)
Bentang (m)
Beban lajur “D” Beban truk “T” Gaya geser (kN) Momen lentur (kNm) Gaya geser (kN) Momen lentur (kNm) 10 50,96 163,03 111,51 206,21 15 69,31 313,35 125,26 397,15 20 87,66 505,55 132,13 588,09
Dalam analisis beban hidup pada pelat lantai menggunakan metode M. Pigeaud, kondisi pembebanan memberikan pengaruh yang signifikan. Tabel 2.2. menunjukkan perbandingan hasil analisis momen lentur berdasarkan metode M. Pigeaud dari beberapa penelitian sebelumnya.
5
Tabel 2. 2 Perbandingan hasil analisis pelat dalam berbagai kondisi pembebanan arah sumbu pendek pelat
Penelitian Dimensi pelat Hasil analisis momen (kNm/m) (m x m) Kondisi 1 Kondisi 2 Kondisi 3 Asmadi (2009) 20,0 x 1,6 16,11 22,62 - Siswanto (1999) 5,0 x 2,0 12,81 14,73 13,88 (Penjelasan mengenai kondisi pembebanan dapat dilihat pada sub-bab 3.4. hal 11)
6
BAB III
Landasan Teori
3.1. Umum
Jembatan adalah terminologi umum untuk konstruksi yang diperuntukkan menjadi sarana penghubung dua daerah yang terpisah oleh sungai, palung, lembah, danau, selat, dan jalan baik untuk transportasi jalan raya, jalan kereta api, orang, binatang maupun transportasi air atau jalan air (Raka dalam Asmadi, 2009)
Secara umum jembatan dibagi menjadi 4 bagian utama, yakni struktur atas (super-structure), struktur bawah (sub-structure), jalan pendekat dan bangunan pengaman (Siswanto, 1999).
Struktur atas adalah bagian-bagian jembatan yang memindahkan beban-beban lantai jembatan ke perletakan. Struktur atas terdiri atas gelagar-gelagar induk, struktur tumpuan atau perletakan, struktur lantai jembatan dan pertambatan arah melintang dan memanjang. Struktur bawah adalah struktur yang langsung berdiri di atas tanah. Struktur bawah terdiri atas fondasi, pangkal jembatan dan pilar. Jalan pendekat merupakan jalan yang menghubungkan ruas jalan dengan struktur jembatan, sedangkan bangunan pengaman merupakan bangunan yang diperlukan untuk mengamankan jembatan terhadap lalu-lintas darat, lalu-lintas air, penggerusan air dan lain-lain (Siswanto, 1999)
3.2. Jembatan Balok T
Jembatan dapat dikategorikan menjadi bermacam-macam jenis / tipe bergantung pada hal apa yang ditinjau, seperti fungsi, material yang dipakai, struktur dan lain-lain. Berdasarkan bahan / material yang digunakan, jembatan dapat diklasifikasikan menjadi (Siswanto, 1999):
a. Jembatan kayu b. Jembatan baja
c. Jembatan beton bertulang (konvensional, prategang) d. Jembatan bambu
7
e. Jembatan komposit
f. Jembatan pasangan batu kali atau bata
Dari keenam jenis diatas, jembatan beton bertulang dan jembatan baja adalah jenis yang paling banyak digunakan. Salah satu tipe jembatan yang menggunakan baton bertulang sebagai bahan / material adalah jembatan balok – T seperti pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2.
Gambar 3. 1 Penampang melintang jembatan balok T
(Standar Jembatan Gelagar Beton Bertulang Balok “T”, 1997)
Gambar 3. 2 Penampang memanjang jembatan balok T
(Standar Jembatan Gelagar Beton Bertulang Balok “T”, 1997)
Berdasarkan SNI 03-2487-2002, Tata cara perhitungan struktur beton untuk bangunan gedung , ketentuan-ketentuan tentang balok –T adalah sebagai berikut:
1) Pada konstruksi balok –T, bagian sayap dan badan harus dibuat menyatu (monolit) atau harus dilekatkan secara efektif sehingga menjadi satu kesatuan.
8
2) Lebar pelat efektif sebagai bagian dari sayap balok –T tidak boleh melebihi seperempat bentang balok, dan lebar efektif sayap dari masing-masing sisi badan balok tidak boleh melebihi:
(1) delapan kali tebal pelat, dan
(2) setengah jarak bersih antara balok-balok yang bersebelahan.
3) Untuk balok yang mempunyai pelat hanya pada satu sisi, lebar efektif sayap dari sisi badan tidak boleh lebih dari:
(1) seperduabelas dari bentang balok, (2) enam kali tebal pelat, dan
(3) setengan jarak bersih antara balok-balok yang bersebelahan.
4) Balok –T tunggal, dimana bentuk T-nya diperlukan untuk menambah luas daerah tekan, harus mempunyai sayap tidak kurang dari setengah lebar badan balok, dan lebar efektif sayap tidak lebih dari empat kali lebar badan balok.
5) Bila tulangan lentur utama pelat, yang merupakan bagian sayap balok – T (terkecuali untuk konsteuksi pelat rusuk), dipasang sejajar dengan balok, maka harus disediakan penulangan di sisi atas pelat yang dipasang tegak lurus terhadap balok berdasarkan ketentuan berikut: (1) Tulangan transversal tersebut harus direncanakan untuk memikul
beban terfaktor selebar efektif pelat yang dianggap berperilaku sebagai kantilever. Untuk balok –T tunggal, seluruh lebar dari sayap yang membantang harus diperhitungkan. Untuk balok –T lainnya, hanya selebar bagian pelat efektifnya saja yang perlu diperhitungkan.
(2) Tulangan transversal harus dipasang dengan spasi tidak melebihi lima kali tebal pelat dan juga tidak melebihi 500 mm.
9
3.3. Perbedaan Peraturan Pembebanan
Dalam evaluasi Standar Jembatan Gelagar Beton Bertulang Balok –T ini, analisis dilakukan terhadap pelat lantai kendaraan dan gelagar balok – T dengan menggunakan peraturan pembeban terbaru sebagai acuan yakni RSNI T-02-2005, Pembebanan untuk jembatan. Sedangkan aturan yang digunakan dalam pembuatan Standar tersebut adalah Pedoman Perencanaan Jembatan Jalan raya SKBI-1.3.28.1987, UDC:624.042:624. Perbedaan antara pembebanan yang lama dengna peraturan terbaru dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3. 1 Perbedaan peraturan pembebanan
Perbedaan Pembebanan SKBI 1987 Pembebanan RSNI 2005 Beban D (lajur) 2,2 t/m’, per lajur
(8 kN/m2)
9 kPa (9 kN/m2) Beban T (truk) 45 ton (total)
20 ton (beban gandar roda belakang)
50 ton (total)
22,5 ton (beban gandar roda belakang)
Beban angin 150 kg/m2 TEW = 0,0006 . CW . (VW)2 Ab
(kN) Beban gempa SNI 1992 - Tata Cara
Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan
Jalan Raya
SNI 2008 – Standar Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Jembatan
Kombinasi beban I. M + (H + K) + Ta + Tu II. M + Ta + Ah + Gg + A + SR + Tm III. I + Rm + Gg + A + SR + Tm + S IV. M + Gh + Tag + Gg + AHg + Tu V. M + Pl VI. M + (H+K) + Ta + S + I. 1,3 PMS + 2 PMA + 1,8 TTT / TTD + 1,8 TTB + TBF /TET /TEF/ TEW II. 1,3 PMS + 2 PMA + 1,8 TTP + TTT / TTD / TBF / TET III. . 1,3 PMS + 2 PMA + 1,8 TTT / TTD + TEF + TTB / TBF / TET / TEW IV. 1,3 PMS + 2 PMA + 1,2 TEW
10
Tb
Dengan:
A : beban angin Ah : gaya aliran &
hanyutan
AHg : gaya aliran &
hanyutan saat gempa
Gg : gaya gesek pada
tumpuan
Gh : gaya horisontal
ekivalen akibat gempa
(H+K) : beban hidup +
kejut
M : beban mati
Pl : gaya saat pelaksanaan
Rm : gaya rem
S : gaya sentrifugal SR : gaya akibat susut
rangkak
Tm : gaya akibat perubahan
suhu
Ta : gaya tekanan tanah
Tag : gaya tekanan tanah
saat gempa Tb : gaya tumbuk Tu : gaya angkat + TTT / TTD / TTB / TBF / TET / TEF V. 1,3 PMS + 2 PMA + TEQ + TTT / TTD VI. 1,3 PMS + 2 PMA + TBF / TET / TEF Dengan: PMS : berat sendiri
PMA : beban mati tambahan
TTD : beban lajur “D"
TTT : beban truk “T”
TTB : gaya rem
TTP : beban pejalan kaki
TEW : angin
TEQ : gempa
TBF : gesekan perletakan
TET : tempertatur
11
3.4. Analisis Pelat Lantai Kendaraan berdasarkan Metode M. Pigeaud
Dalam analisis struktur dan perancangan jembatan yang dibebani kelompok beban terkonsentrasi, terdapat pendistribusian beban ke struktur utama jembatan (primary structure of the bridge), gelagar longitudinal utama dan gelagar melintang. Di samping itu, pendistribusian beban tersebut masih ditambah dengan pendistribusian tegangan lokal (local stress distribution) pada pelat lantai kendaraan yang ditimbulkan oleh beban roda kendaraaan. Distribusi tegangan ini, umumnya terbatas pada pelat lantai kendaraan saja yang membentang antara gelagar memanjang dengan gelagar melintang (Siswanto, 1999).
Akibat lendutan struktur jembatan secara keseluruhan, tiap gelagar memanjang dan gelagar melintang mempunyai nilai lendutan yang berbeda sehingga kondisi batas pelat kendaraan menjadi sangat rumit. Untuk menyederhanakan kondisi batas ini dari segi analisis struktur, dengan memberikan suatu faktor tertentu untuk memperhitungkan konntinuitas pelat di atas tumpuannya. Pengasumsian ini dipergunakan oleh M. Pigeaud dalam membuat metode analisis struktur lantai kendaraan pada jembatan (Siswanto, 1999).
Metode M. Pigeaud disusun berdasarkan penyelesaian persamaan Langrange untuk pelat tipis berlendutan kecil dan berlaku untuk sembarang rasio panjang terhadap lebar pelat dan nilai rasio sisi bidang beban terhadap sisi pelat yang berkesusaian. Notasi yang dipergunakan dalam metode ini diperlihatkan seperti pada Gambar 3.3. dan Gambar 3.4.
12
Gambar 3. 3 Bidang beban roda dan penyebaran beban dalam metode M. Pigeaud (Siswanto, 1999)
Gambar 3. 4 Penyebaran beban dalam metode M. Pigeaud (Siswanto, 1999)
Beban roda diasumsikan disebarkan 45° sampai ke tulangan pelat. Menurut Standar Pembebanan untuk Jembatan (RSNI – T – 02 – 2005), nilai u dan v ditentukan sebagai berikut:
u = 500 + 2h (3.1)
13
dengan:
u : asumsi panjang bidang beban roda (mm)
v : asumsi lebar bidang beban roda (mm)
h : tinggi penyebaran beban roda (mm)
Langkah-langkah Umum Penggumaam Metode M. Pigeaud 3.4.1.
Secara umum penggunaan Metode M. Pigeaud untuk menentukan momen pada pelat lantai dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
a. Menghitung nilai u dan v sehingga nilai u/B dan v/L ditemukan.
b. Menentukan faktor koreksi perletakan f1 berdasarkan keadaan keempat
sisi pelat seperti yang ditunjukan Gambar 3.5.
Gambar 3. 5 Kombinasi perletakan sisi pelat dan faktor koreksinya (Aswani, 1975 dalam Siswanto, 1999)
c. Menentukan rasio sisi panjang terhadap sisi pendek terkoreksi, k
(3.3)
dengan:
f1 : faktor koreksi perletakan
L : panjang pelat
B : lebar pelat
Pada pelat bertanda “+” (gambar), bila nilai k < 1 makan nilai L dan B dipertukarkan, demikian juga nilai u dan v.
d. Menentukan nilai koefisien m1 dan I dengan cara memplotkan nilai u/B
dan v/L pada grafik M. Pigeaud sesuai dengan nilai k dari Persamaan 3.3.
+
fl =1,0
14
e. Menghitung momen lentur pada arah lebat dan panjang pelat, Mx dan My
sebagai berikut:
Mx = P (m1 + υ m2) (3.4)
My = P (m2 + υ m1) (3.5)
dengan:
P : beban roda
m1 : koefisien momen lebar pelat
m2 : koefisien momen panjang pelat
Mx : momen lentur arah lebar
My : Momen lentur arah panjang
υ : poisson ratio
f. Menentukan momen lentur berdasarkan kondisi perletakan keempat sisinya, rm. Untuk pelat yang bertumpuan jepit atau pelat bersifat
menerus pada keempat sisinya, niali Mx dan My direduksi sebesar 20%
sedangkan kondisi perletakan yang lain ditentukan berdasarkan letak pelat seperti disajikan Tabel 3.2.
Tabel 3. 2 Koefisien reduksi momen (rm) (Siswanto, 1999)
Letak pelat umum Letak pelat khusus rm Bentang tengah Pelat dalam
Pelat tepi
0,70 0,85 Tumpuan Pelat tumpuan ujung
Pelat tumpuan penultimate Pelat tumpuan dalam
0,25 0,95 0,9
Adanya koefisien reduksi momen mengakibatkan Persamaan 3.6 dan Persamaan 3.7. menjadi
Mx = rm P (m1 + v m2) (3.6)
15
Kondisi Pembebanan 3.4.2.
Untuk pembebanan hidup berupa beban roda kendaraan terdapat beberapa kondisi letak beban sebagai berikut:
a. Beban terpusat berada tepat di tengah pelat (Gambar 3.6)
1) dicari koefisien momen m1 dan m2
untuk u/B dan v/L,
2) besarnya momen rencana:
Mx = P (m1 + υ m2) (3.8)
My = P (m2 + υ m1) (3.9)
b. Dua beban terpusat simetris terhadap sumbu panjang pelat (Gambar 3.7) 1) dicari koefisien momen m1 dan m2
(i) untuk u = 2(u1 + x) dan v = v,
lalu dikalikan dengan (u1 + x)
2) dicari m1 dan m2 (ii) untuk u = 2x
dan v = v, kemudian dikalikan dengan (x)
3) harga m1 dan m2 diperoleh dari (i)
dikurangi (ii) 4) Momen rencana:
(3.10) (3.11)
l
Gambar 3. 6 Beban terpusat berada tepat di tengah pelat (Siswanto, 1999)
Gambar 3. 7 Dua beban terpusat simetris sumbu panjang pelat
16
c. Dua beban terpusat simetris terhadap sumbu pendek pelat (Gambar 3.8) 1) dicari koefisien momen m1 dan m2
(i) untuk u = u dan v = 2(v1 + y),
lalu dikalikan (v1 + y)
2) dicari m1 dan m2 (ii) untuk u = u
dan v = 2y, lalu dikalikan dengan
(y)
3) harga m1 dan m2 diperoleh dari (i)
dikurangi (ii) 4) Momen rencana:
(3.12) (3.13)
d. Satu beban terletak simetris terhadap sumbu pendek pelat (Gambar 3.9) 1) langkah-langkah mencari m1 dan
m2 seperti pada kondisi
pembebanan b, 2) Momen rencana: (3.14) (3.15) l l l
Gambar 3. 8 Dua beban terpusat simetris terhadap sumbu pendek pelat (Siswanto, 1999)
Gambar 3. 9 Satu beban terletak simetris terhadap sumbu pendek pelat (Siswanto, 1999)
17
e. Satu beban terletak simetris terhadap sumbu panjang pelat (Gambar 3.10) 1) langkah-langkah mencari m1 dan
m2 seperti pada kondisi
pembebanan c, 2) Momen rencana:
(3.16) (3.17)
f. Beban terpusat berada sembarang pada pelat (Gambar 3.11)
1) dicari koefisien momen m1 dan m2
(i) untuk u = 2(u1 + x) dan v = (v1
+ y), kemudian dikalikan dengan ((u1 + x)(v1 + y)),
2) dicari koefisien momen m1 dan m2
(ii) untuk u = 2x dan v = 2y, kemudian dikalikan dengan (xy) 3) dicari koefisien momen m1 dan m2
(iii) untuk u = 2(u1 + x) dan v =
2y, kemudian dikalikan dengan (y(u1 + x)),
l
l l
Gambar 3. 10 Satu beban terletak simetris terhadap sumbu panjang pelat (Siswanto, 1999)
Gambar 3. 11 Beban terpusat berada sembarang pada pelat (Siswanto, 1999)
18
4) dicari koefisien momen m1 dan m2 (iv) untuk u = 2x dan v = 2(v1 + y),
kemudian dikalikan dengan (x(v1 + y))
5) harga m1 dan m2 diperoleh dari (i + ii) dikurangi (iii + iv)
6) Momen rencana:
(3.18)
(3.19)
Analisis pelat terhadap geser 3.4.3.
Tegangan geser pons dapat terjadi di sekitar beban terpusat, ditentukan antara lain oleh tahanan tarik beton di bidang kritis yang berupa piramida atau kerucut terpancung di sekitar beban atau reaksi tumpuan terpusat tersebut yang akan berusaha lepas dari (menembus) panel. Bidang kritis untuk perhitungan geser pons dapat dianggap tegak lurus pada bidang panel dan terletak pada jarak d/2 dari keliling beban (reaksi) terpusat yang bersangkutan, dimana d adalah tinggi efektif pelat (Gambar 3.12)
Gambar 3. 12 Penyebaran beban roda kendaraan dalam analisis geser pons
Dimensi bidang penyebaran roda sebesar 500 mm x 300 mm (p x l), dengan nilai u dan v sebesar:
u = 500 + 2t + d v = 300 + 2t + d
19
Besarnya kuat geser dari pelat (Vn) dalam menahan geser pons dapat
dihitung sesuai Persamaan 3.20.
√
(3.20) dengan:
bo : keliling bidang penyebaran beban di tengah dari tebal pelat
= 2 (u + v)
d : tebal pelat
3.5. Pembebanan Jembatan Jalan Raya berdasarkan RSNI-T-02-2005
Perhitungan pembebanan jembatan direncanakan dengan menggunakan aturan yang terdapat pada RSNI-T-02-2005. Meskipun masih dalam bentuk rencana atau draft namun peraturan ini telah disesuaikan dengan keadaan saat ini serta peraturan terkait yang terbaru, yaitu dengan merubah nilai serta faktor pembebanan yang ada.
Aksi dan beban tetap 3.5.1.
Beban mati jembatan terdiri dari berat masing-masing bagian struktural dan elemen-elemen non-struktural. Masing-masing berat elemen ini harus dianggap sebagai aksi yang tidak dipisahkandan tidak boleh menjadi bagian-bagian pada waktu menerapkan faktor beban biasa dan terkurangi.
Beban-beban yang termasuk dalam beban tetap adalah sebagai berikut: a. Berat sendiri
Berat sendiri dari bangunan adalah berat dari bagian tersebut dan elemen-elemen struktural lain yang dipikulnya, yakni berat bahan dan bagian dari jembatan yang merupakan elemen struktural serta elemen non-struktural yang dianggap tetap. Berat isi untuk berbagai jenis bahan dapat dilihat pada Tabel 3.3.
20
Tabel 3. 3 Berat isi untuk beban mati (kN/m3) (RSNI T-02-2005)
No. Bahan Berat Isi (kN/m3)
No. Bahan Berat Isi (kN/m3) 1 Lapisan aspal 22,00 15 Beton bertulang 25,00 2 Aspal beton 24,00 16 Beton siklop 23,00 3 Macadam 22,50 17 Beton ringan 22,00 4 Tanah padat 20,00 18 Besi tempa 76,80 5 Lempung lepas 12,80 19 Besi tuang 72,50 6 Lumpur lunak 17,50 20 Baja 78,50 7 Kerikil padat 22,00 21 Batu pasangan 21,00 8 Kerikil lepas 16,00 22 Alumunium paduan 28,00 9 Pasir padat 20,00 23 Timbal 114,00 10 Pasir kering 17,50 24 Neoprene 11,50 11 Pasir lepas 16,00 25 Kayu (ringan) 8,00 12 Pasir basah 23,00 26 Kayu (keras) 11,20 13 Beton biasa 24,00 27 Air murni 10,00 14 Beton prategang 26,00 28 Air garam 10,25
b. Beban mati tambahan
Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban pada jembatan yang merupakan elemen non-struktural dan mungkin besarnya berubah selama umur jembatan, seperti lapis aspal dan genangan air hujan.
c. Pengaruh penyusutan dan rangkak
Pengaruh rangkak dan penyusutan harus diperhitungkan dalam perencanaan jembatan-jembatan beton. Pengaruh ini harus dihitung dengan menggunakan beban mati dari jembatan. Apabila rangkak dan penyusutan bisa mengurangi pengaruh muatan lainnya maka harga dari rangkak dan penyusutan tersebut harus diambil minimum (misalnya pada waktu transfer dari beton prategang).
21
d. Pengaruh prategang
Prategang akan menyebabkan pengaruh sekunder pada komponen-komponen yang terkekang pada bangunan statis tidak tentu. Pengaruh sekunder tersebut harus diperhitungkan baik pada batas daya layan ataupun batas ultimit.
Prategangan harus diperhitungkan sebelum (selama pelaksanaan) dan sesudah kehilangan tegangan dalam kombinasinya dengan beban-beban lainnya.
Pengaruh utama dari prategang dipertimbangkan sebagai berikut:
a. pada keadaan batas daya layan, gaya prategang dapat dianggap bekerja suatu sistem beban pada unsur. Nilai rencana dari beban prategang tersebut harus dihitung dengan menggunakan faktor beban daya layan sebesar 1,0.
b. pada keadaan batas ultimit, pengaruh utama dari prategang tidak dianggap sebagai beban yang bekerja, melainkan harus tercakup dalam perhitungan kekuatan unsur.
e. Tekanan tanah
Koefisien tekanan tanah nominal harus dihitung dari sifat-sifat tanah. Sifat-sifat tanah (kepadatan, kadar kelembaban, kohesi, sudut geser dalam dan lain sebagainya) bisa diperoleh dari pengukuran dan pengujian tanah.
Tekanan tanah lateral mempunyai hubungan yang tidak linier dengan sifat-sifat bahan tanah. Tekanan tanah lateral daya layan dihitung berdasarkan harga nominakl ws, c dan φ.
Tekanan tanah lateral ultimit dihitung dengan menggunakan harga nominal dari ws dan harga rencana dari c dan φ. Harga-harga rencana dari c dan φ
diperoleh dari harga nominal dengan menggunakan Faktor Pengurangan Kekuatan
22
Tabel 3. 4 Sifat-sifat untuk tekanan tanah (RSNI T-02-2005)
Sifat-sifat Bahan untuk Menghitung Tekanan Tanah
Keadaan Batas Ultimit Biasa Terkurangi Aktif : ws* = φ* = c* = ws tan -1 (KϕR tan φ) ws tan-1 [(tan φ) / ) c / Pasif : ws* = φ* = c* = ws tan-1 [ (tan φ) / ) c / ws tan -1 (KϕR tan φ) Vertikal : ws* = ws ws
Pada bagian tanah di belakang dinding penahan harus diperhitungkan adanya beban tambahan yang bekerja apabila beban lalu lintas kemungkinan akan bekerja pada bagian daerah keruntuhan aktif teoritis. Besarnya beban tambahan ini adalah setara dengan tanah setebal 0,6 meter yang bekerja secara merata pada bagian tanah yang dilewati oleh beban lalu lintas tersebut. Beban tambahan ini hanya diterapkan untuk menghitung tekanan tanah dalam arah lateral saja, dan faktor beban yang digunakan harus sama seperti yang telah ditentukan dalam menghitung takanan tanah arah lateral. Faktor pengaruh pengurangan dari beban tambahan ini harus nol.
Tekanan tanah lateral dalam keadaan diam biasanya tidak diperhitungkan pada Keadaan Batas Ultimit. Apabila keadaan demikian timbul, maka Faktor Beban Ultimit yang digunakan untuk menghitung harga rencana dari tekanan tanah dalam keadaan diam harus sama seperti untuk tekanan tanah dalam keadaan aktif. Faktor Beban Daya Layan untuk tekanan tanah dalam keadaan diam adalah 1,0, tetapi dalam pemilihan harga nominal yang memadai untuk tekanan harus hati-hati.
23
f. Pengaruh tetap pelaksanaan
Pengaruh tetap pelaksanaan adalah beban muncul disebabkan oleh metoda dan urut-urutan pelaksanaan jembatan beban ini biasanya mempunyai kaitan dengan aksi-aksi lainnya, seperti pra-penegangan dan berat sendiri. Dalam hal ini, pengaruh faktor ini tetap harus dikombinasikan dengan aksi-aksi tersebut dengan faktor beban yang sesuai. Bila pengaruh tetap yang terjadi tidak begitu terkait dengan aksi rencana lainnya, maka pengaruh tersebut harus dimaksudkan dalam batas daya layan dan batas ultimit dengan menggunakan faktor beban yang tercantum.
Beban lalu lintas 3.5.2.
Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri dari beban lajur “D” dan beban truk “T”. Beban lajur “D” bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu irin-iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri.
a. Lajur lalu lintas rencana
Lajur lalu lintas Rencana harus mempunyai lebar 2,75 m. Jumlah maksimum lajur lalu lintas yang digunakan untuk berbagai lebar jembatan bisa dilihat dalam Tabel 3.5. Lajur lalu lintas rencana harus disusun sejajar dengan sumbu memanjang jembatan.
Tabel 3. 5 Jumlah lajur lalu lintas rencana (RSNI T-02-2005)
Tipe Jembatan (1) Lebar Jalur Kendaraan (m) (2)
Jumlah Lajur Lalu-lintas Rencana (nl)
Satu Lajur 4,0 – 5,0 1 Dua arah, tanpa
median 5,5 – 8,25 11,3 – 15,0 2 (3) 4 Banyak arah 8,25 – 11,25 11,3 – 15,0 15,1 – 18,75 18,8 – 22,5 3 4 5 6
24
CATATAN 1 Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus ditentukan oleh Instansi yang berwenang.
CATATAN 2 Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb/rintangan/median dengan median untuk banyak arah. CATATAN 3 Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur kendaraan
adalah 6.0 m. Lebar jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemudi seolah-olah memungkinkan untuk menyiap.
b. Beban lajur “D”
Beban lajur “D” terdiri atas beban tersebar merata (BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT) seperti pada Gambar 3.13.
Gambar 3. 13 Beban lajur “D”
(RSNI T-02-2005)
BTR mempunyai intensitas sebesar q kPa, dimana besarnya q tergantung pada panjang total yang dibebani L seperti berikut:
L ≤ 30 m ; q = 9,0 kPa (3.21)
25
dengan:
q : intensitas beban BTR
L : panjang total jembatan yang dibebani
BGT berupa beban garis dengan intensitas p kN/m yang ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya intensitas p adalah 49,0 kN/m.
Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang dari atau sama dengan 5,5 m, maka beban “D” harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100%. Sedangkan apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban “D” harus ditempatkan pada jumlah lajur lalu-lintas rencana (nl) yang mendekati, dengan
intensitas 100%. Hasilnya adalah beban garis ekuivalen sebesar nl x 2,75 q kN/m
dan beban terpusat ekuivalen sebesar n1 x 2,75 p kN, kedua-duanya bekerja
berupa strip pada jalur sebesar nl x 2,75 m.
Beban “D” tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas 50%.
c. Beban truk “T”
Pembebanan truk “T” terdiri dari kendaraan truk semi trailer yang mempunyai susunan dan berat as seperti terlihat pada Gambar 3.14. Berat dari masing-masing as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0 m sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan.
26
Gambar 3. 14 Pembebanan truk "T"
(RSNI T-02-2005)
Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh momen dan geser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan dengan:
1) menyebar beban truk tunggal “T” pada balok memanjang sesuai dengan faktor yang diberikan dalam Tabel 3.6.
Tabel 3. 6 Faktor distribusi untuk pembebanan truk "T" (RSNI T-02-2005)
Jenis bangunan atas Jembatan jalur tunggal Jembatan jalur majemuk
Pelat lantai beton di atas: - balok baja I atau balok
beton pratekan
- balok beton bertulang T
- balok kayu
S/4,2
(bila S>3,0 m lihat catatan 1) S/4,0
(bila S>1,8 m lihat catatan 1) S/4,8
(bila S>3,7 m lihat catatan 1)
S/3,4
(bila S>3,0 m lihat catatan 1) S/3,6
(bila S>1,8 m lihat catatan 1) S/4,2
(bila S>3,7 m lihat catatan 1)
Lantai papan kayu S/2,4 S/2,2
Lantai baja gelombang
27
Kisi-kisi baja:
- kurang dari tebal 100 mm
- tebal 100 mm atau lebih
S/2,6 S/3,6
(bila S>3,7 m lihat catatan 1)
S/2,4 S/3,0
(bila S>3,7 m lihat catatan 1)
CATATAN 1 Dalam hal ini, beban pada tiap balok memanjang adalah reaksi beban roda dengan menganggap lantai antara gelagar sebgai balok sederhana.
CATATAN 2 Geser balok dihitung untuk beban roda dengan reaksi 2S yang disebarkan oleh S/faktor ≥ 0,5.
CATATAN 3 S adalah jarak rata-rat antara balok memanjang.
2) momen lentur ultimit rencana akibat pembebanan truk “T” yang diberikan dapat digunakan untuk pelat lantai yang membentangi gelagar atau balok dalam arah melintang dengan bentang 0,6 dan 7,4 m.
3) bentang efektif S diambil sebagai berikut:
i. untuk pelat lantai yang bersatu dengan balok atau dinding (tanpa peninggian), S = bentang bersih;
ii. untuk pelat lantai yang didukung pada gelagar dari bahan berbeda atau tidak dicor menjadi satu kesatuan, S = bentang bersih + setengah lebar dudukan tumpuan.
d. Gaya rem
Bekerjanya gaya-gaya di arah memanjang jembatan akibat gaya rem dan traksi harus ditinjau berlaku untuk kedua jurusan lalulintas. Pengaruh ini diperhitungkan senilai dengan gaya rem sebesar 5% dari beban lajur “D” yang dianggap ada pada semua jalur lalu lintas. Gaya rem tersebut dianggap bekerja horisontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,8 m diatas permukaan lantai kendaraan.
e. Pembebanan untuk pejalan kaki
Semua elemen dari trotoar atau jembatan penyeberangan yang langung memikul pejalan kaki harus direncanakan untuk beban nominal 5 kPa. Jembatan
28
pejalan kaki dan trotoar pada jembatan jalan raya harus direncanakan untuk memikul beban per m2 dari luas yang dibebani seperti pada Gambar 3.15.
Gambar 3. 15 Pembebanan untuk pejalan kaki
(sumber : RSNI T-02-2005)
Aksi Lingkungan 3.5.3.
Aksi lingkungan memasukkan pengaruh temperatur, angin, banjir, gempa dan penyebab penyebab alamiah lainnya.
Besarnya beban rencana yang diberikan dalam standar ini dihitung berdasarkan analisa statistik dari kejadian-kejadian umum yang tercatat tanpa memperhitungkan hal khusus yang mungkin akan memperbesar pengaruh setempat. Perencana mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian khusus setempat dan harus memperhitungkannya dalam perencanaan.
a. Penurunan
Jembatan harus direncanakan untuk bisa menahan terjadinya penurunan yang diperkirakan, termasuk perbedaan penurunan, sebagai aksi daya layan. Pengaruh penurunan mungkin bisa dikurangi dengan adanya rangkak dan interaksi pada struktur tanah. 0 2 4 6 0 20 40 60 80 100 120 In te n sit as B e b an ( kPa) Luas Beban (m2)
Jembatan dan trotoar yang berdiri sendiri terhadap bangunan atas
Trotoar yang dipasang pada bangunan atas jembatan
29
Penurunan dapat diperkirakan dari pengujian yang dilakukan terhadap bahan fondasi yang digunakan. Apabila perencana memutuskan untuk tidak melakukan pengujian akan tetapi besarnya penurunan diambil sebagai suatu anggapan, maka nilai anggapan tersebut merupakan batas atas dari penurunan yang bakal terjadi. Apabila nilai penurunan ini adalah besar, perencanaan bangunan bawah dan bangunan atas jembatan harus memuat ketentuan khusus untuk mengatasi penurunan tersebut.
b. Pengaruh temperatur / suhu
Pengaruh temperatur dibagi menjadi:
i. variasi temperatur jembatan rata-rata digunakan dalam menghitung pergerakan pada temperatur dan sambungan pelat lantai, dan untuk menghitung beban akibat terjadinya pengekangan dari pergerakan tersebut. Variasi temperatur rata-rata berbagai tipe bangunan jembatan diberikan dalam Tabel 3.7. Besarnya harga koefisien perpanjangan dan modulus elastisitas yang digunakan untuk menghitung besarnya pergerakan dan gaya yang terjadi diberikan dalam Tabel 3.8. Perencana harus menentukan besarnya temperatur jembatan rata-rata yang diperlukan untuk memasang sambungan siar muai, perletakan dan lain sebagainya, dan harus memastikan bahwa temperatur tersebut tercantum dalam gambar rencana. ii. variasi temperatur di dalam bangunan atas jembatan atau perbedaan
temperatur disebabkan oleh pemanasan langsung dari sinar matahari diwaktu siang pada bagian atas permukaan lantai dan pelepasan kembali radiasi dari seluruh permukaan jembatan diwaktu malam. Pada tipe jembatan yang lebar mungkin diperlukan untuk meninjau gradien perbedaan temperatur dalam arah melintang.
Pada tipe jembatan yang lebar mungkin diperlukan untuk meninjau gradien perbedaan temperatur dalam arah melintang.
30
Tabel 3. 7 Temperatur jembatan rata-rata nominal (RSNI T-02-2005)
Tipe Bangunan Atas Temperatur Jembatan Rata-rata minimum (1)
Temperatur Jembatan Rata-rata Maksimum Lantai beton di atas gelagar
atau boks beton 15° C 40° C Lantai beton di atas gelagar,
boks atau rangka baja 15° C 40° C Lantai pelat baja di atas
gelagar, boks, atau rangka baja
15° C 40° C
CATATAN 1 Temperatur jembatan rata-rata minimum bisa dikurangi 5°C untuk lokasi yang terletak ada ketinggian lebih besar dari 500 m diatas permukaan laut.
Tabel 3. 8 Sifat bahan rata-rata akibat pengaruh temperatur (RSNI T-02-2005)
Bahan Koefisien Perpanjangan Akibat Suhu
Modulus Elastisitas (MPa) Baja 12 x 10-6 per °C 200.000 Beton:
Kuat tekan < 30 MPa Kuat tekan > 30 MPa
10 x 10-6 per °C 11 x 10-6 per °C 25.000 34.000 Alumunium 24 x 10-6 per °C 70.000 c. Beban Angin
Gaya nominal ultimit dan daya layan jembatan akibat angin tergantung kecepatan angin rencana sebagai berikut:
TEW = 0,0006 Cw (Vw)2 Ab (3.23)
dengan:
31
Cw : koefisien seret (Tabel 3.10.)
Ab : luas koefisien bagian samping jembatan (m2)
Kecepatan angin rencana harus diambil seperti yang diberikan dalam Tabel 3.9.
Tabel 3. 9 Kecepatan angin rencana VW (RSNI T-02-2005)
Keadaan Batas Lokasi Sampai 5 km dari pantai > 5 km dari pantai Daya layan 30 m/s 25 m/s Ultimit 35 m/s 30 m/s
Luas ekuivalen bagian samping jembatan adalah luas total bagian yang masif dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Untuk jembatan rangka, luas ekuivalen ini dianggap 30% dari luas yang dibatasi oleh batang-batang bagian terluar. Angin harus dianggap bekerja secara merata padaseluruh bangunan atas.
Apabila suatu kendaraan sedang berada di atas jembatan, beban garis merata tambahan arah horisontal harus diterapkan pada permukaan lantai seperti diberikan dengan persamaan:
TEW = 0,0012 Cw (Vw)2 Ab (3.24)
dengan:
Cw = 1,2
Tabel 3. 10 Koefisien seret CW (RSNI T-02-2005) Tipe Jembatan Cw
Bangunan atas masif: (1), (2)
b/d = 1,0 b/d = 2,0 b/d ≥ 6,0 2,1 (3) 1,5 (3) 1,25 (3) Bangunan atas rangka 1,2
32
CATATAN 1 b : lebar keseluruhan jembatan dihitung dari sisi luar
sandaran
d : tinggi bangunan atas, termasuk tinggi bagian sandaran
yang masif
CATATAN 2 Untuk harga b / d bisa diinterpolasi linier
CATATAN 3 Apabila bangunan atas mempunyai superelevasi Cw harus
dinaikkan sebesar 3 % untuk setiap derajat superelevasi, dengan kenaikan maksimum 2,5 %.
d. Pengaruh gempa
Beban rencana gempa minimum diperoleh dari rumus berikut:
TEQ = Kh I WT (3.25)
dimana:
Kh = C S (3.26)
dengan pengertian :
TEQ : gaya geser dasar total dalam arah yang ditinjau (kN)
Kh : koefisien beban gempa horisontal
C : koefisien geser dasar untuk daerah , waktu dan kondisi setempat yang sesuai
I : faktor kepentingan
S : faktor tipe bangunan
WT : berat total nominal bangunan yang mempengaruhi percepatan gempa,
diambil sebagai beban mati ditambah beban mati tambahan (kN)
Nilai Kv , berdasarkan SNI 03-2833-200X, Standar perencanaan ketahanan
gempa untuk jembatan, adalah sebesar 0,5-0,67 Kh.
Waktu dasar getaran jembatan yang digunakan untuk menghitung geser dasar harus dihitung dari analisa yang meninjau seluruh elemen bangunan yang memberikan kekakuan dan fleksibilitas dari sistem fondasi.
33
Untuk bangunan yang mempunyai satu derajat kebebasan yang sederhana, rumus berikut bisa digunakan:
√
(3.27) dengan pengertian :
T : waktu getar dalam detik untuk freebody pilar dengan derajat kebebasan tunggal pada jembatan bentang sederhana
g : percepatan gravitasi (m/dt2)
WTP : berat total nominal bangunan atas termasuk beban mati tambahan
ditambah setengah berat dari pilar (bila perlu dipertimbangkan) (kN)
Kp : kekakuan gabungan sebagai gaya horisontal yang diperlukan untuk
menimbulkan satu satuan lendutan pada bagian atas pilar (kN/m)
Jembatan biasanya mempunyai waktu getar yang berbeda pada arah memanjang dan melintang sehingga beban rencana statis ekuivalen yang berbeda harus dihitung untuk masing-masing arah.
Faktor kepentingan I ditentukan dari Tabel 3.11. Faktor lebih besar memberikan frekuensi lebih rendah dari kerusakan bangunan yang diharapkan selama umur jembatan.
Tabel 3. 11 Faktor kepentingan (RSNI T-02-2005)
1. Jembatan memuat lebih dari 2000 kendaraan/hari, jembatan pada jalan raya utama atau arteri dan jembatan dimana tidak ada rute alternatif.
1,2 2. Seluruh jembatan permanen lainnya dimana rute
alternatif tersedia, tidak termasuk jembatan yang direncanakan untuk pembebanan lalu lintas yang dikurangi.
1,0
3. Jembatan sementara (misal: Bailey) dan jembatan yang direncanakan untuk pembebanan lalu lintas yang dikurangi
0,8
Faktor tipe bangunan, S ,yang berkaitan dengan kapasitas penyerapan energi (kekenyalan) dari jembatan, diberikan dalam Tabel 3.12.
34
Tabel 3. 12 Faktor tipe bangunan (RSNI T-02-2005)
Tipe Jembatan (1)
Jembatan dengan Daerah Sendi Bertulang atau Baja
Jembatan dengan Saerah Sendi Beton Prategang Prategang Parsial (2) Prategang Penuh (2) Tipe A (3) (4) 1,0 F 1,15 F 1,3 F Tipe B (3) (4) 1,0 F 1,15 F 1,3 F Tipe C (4) 3 3,0 3
CATATAN 1 Jembatan mungkin mempunyai tipe bangunan yang berbeda pada arah melintang dan memanjang, dan tipe bangunan yang sesuai harus digunakan untuk masing-masing arah. CATATAN 2 Yang dimaksud dalam tabel ini, beton prategang parsial
mempunyai prapenegangan yang cukup untuk kira-kira mengimbangi pengaruh dari beban tetap rencana dan selebihnya diimbangi oleh tulangan biasa. Beton prategang penuh mempunyai prapenegangan yang cukup untuk mengimbangi pengaruh beban total rencana.
CATATAN 3 F =Faktor perangkaan
= 1,25 – 0,025 n ; F ≥ 1,00 (3.28)
n : jumlah sendi plastis yang menahan deformasi arah lateral pada masing-masing monolit dari jembatan yang berdiri sendiri-sendiri (misalnya : bagian-bagian yang dipisahkan oleh sambungan siar muai yang memberikan keleluasan untuk bergerak dalam arah lateral secara sendirisendiri)
CATATAN 4 Tipe A : jembatan daktail (bangunan atas bersatu dengan bangunan bawah)
Tipe B : jembatan daktail (bangunan atas terpisah dengan bangunan bawah)
35
Kantilever horisontal harus direncanakan untuk percepatan arah vertikal (ke atas atau kebawah) sebesar 0,1 g. Beban keatas jangan dikurangi oleh berat sendiri kantilever dan bangunan pelengkapnya.
3.6. Kombinasi Beban
Aksi rencana digolongkan ke dalam aksi tetap dan transien, seperti terlihat dalam Tabel 3.13. Kombinasi beban umumnya didasarkan kepada beberapa kemungkinan tipe yang berbeda dari aksi yang bekerja secara bersamaan. Aksi rencana ditentukan dari aksi nominal yaitu mengalikan aksi nominal dengan faktor beban yang memadai. Seluruh pengaruh aksi rencana harus mengambil faktor beban yang sama, apakah itu biasa atau terkurangi. Disini keadaan paling berbahaya harus diambil.
Tabel 3. 13 Ringkasan aksi-aksi rencana (RSNI T-02-2005)
Aksi Lamanya
waktu (3)
Faktor Beban pada keadaan batas
Nama Simbol (1) Daya Layan K Keadaan Ultimit Normal Terkurangi
Berat sendiri PMS Tetap 1,0 * (3) * (3)
Beban mati tambahan PMS Tetap 1,0/1,3
(3)
2,0/1,4 (3)
0,7/0,8 (3) Penyusutan & rangkak PSR Tetap 1,0 1,0 -
Prategang PPR Tetap 1,0 1,0 -
Tekanan Tanah PTA Tetap 1,0 * (3) * (3)
Beban Pelaksanaan Tetap
PPL Tetap 1,0 1,25 0,8
Beban lajur “D” TTD Tran 1,0 1,8 -
Beban truk “T” TTT Tran 1,0 1,8 -
Gaya Rem TTB Tran 1,0 1,8 -
Gaya Sentrifugal TTR Tran 1,0 1,8 -
Beban Trotoar TTP Tran 1,0 1,8 -
Beban-beban tumbukan TTC Tran * (3) * (3) -
Penurunan PES Tetap 1,0 * (3) -
Temperatur TET Tran 1,0 1,2 0,8
Aliran/Benda hanyutan TEF Tran 1,0 * (3) -
Hidro/daya apung TEU Tran 1,0 1 1,0
Angin TEW Tran 1,0 1,2 -
Gempa TEQ Tran - 1 -
Gesekan TBF Tran 1,0 1,3 0,8
Getaran TVI Tran 1,0 - -
36
CATATAN (1) Simbol yang terlihat hanya untuk beban nominal, simbol untuk beban rencana menggunakan tanda bintang, untuk : PMS : berat
sendiri nominal, P*MS : berat sendiri rencana
CATATAN (2) Tran : transien
CATATAN (3) Untuk penjelasan lihat Pasal yang sesuai ( RSNI T-02-2005) a. Kombinasi beban untuk keadaan batas daya layan
Kombinasi pada keadaan batas daya layan primer terdiri dari jumlah pengaruh aksi tetap dengan satu aksi transien. Pada keadaan batas daya layan, lebih dari satu aksi transien bisa terjadi secara bersamaan sesuai Tabel 3.14.
Tabel 3. 14 Kombinasi beban untuk keadaaan batas layan (RSNI T-02-2005)
Kombinasi primer Aksi tetap + satu aksi transien (1) (2) Kombinasi sekunder Kombinasi primer + 0,7 x (satu aksi transien
lainnya)
Kombinasi tersier Kombinasi primer + 0,5 x (dua atau lebih aksi transien)
CATATAN 1 Beban lajur "D" yaitu TTD atau beban truk "T" yaitu TTT
diperlukan untuk membangkitkan gaya rem TTB dan gaya
sentrifugal TTR pada jembatan. Tidak ada faktor pengurangan
yang harus digunakan apabila TTB atau TTR terjadi dalam
kombinasi dengan TTD atau TTT sebagai kombinasi primer.
CATATAN 2 Gesekan pada perletakan TBF bisa terjadi bersamaan dengan
pengaruh temperatur TET dan harus dianggap sebagai satu
aksi untuk kombinasi beban. b. Kombinasi pada keadaan batas ultimit
Kombinasi pada keadaan batas ultimit terdiri dari jumlah pengaruh aksi tetap dengan satu pengaruh transien.
37
Gaya rem TTB atau gaya sentrifugal TTR bisa digabungkan dengan
pembebanan lajur "D" yaitu TTD atau pembebanan truk "T" yaitu TTT, dan
kombinasinya bisa dianggap sebagai satu aksi untuk kombinasi beban . Gesekan pada perletakan TBF dan pengaruh temperatur TET bisa juga digabungkan dengan
cara yang sama.
Pada keadaan batas ultimit, tidak diadakan aksi transien lain untuk kombinasi dengan aksi gempa.
Beberapa aksi kemungkinan dapat terjadi pada tingkat daya layan pada waktu yang sama dengan aksi lainnya yang terjadi pada tingkat ultimit. Kemungkinan terjadinya kombinasi seperti ini harus diperhitungkan, tetapi hanya satu aksi pada tingkat daya layan yang dimasukkan pada kombinasi pembebanan.
38
Tabel 3. 15 Kombinasi beban umum untuk keadaan batas kelayanan dan ultimit (sumber RSNI T-02-2005)
Aksi Kelayanan Ultimit
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Aksi Permanen:
Berat sendiri Beban mati tambahan
Susut rangkak Pratekan
Pengaruh beban tetap pelaksanaan Tekanan tanah
Penurunan
X X X X X X X X X X X X
Aksi Transien:
Beban lajur “D” atau beban truk “T” X O O O O X O O O O
Gaya rem ayau gaya sentrifugal X O O O O X O O O
Beban pejalan kaki X X
Gesekan perletakan O O X O O O O O O O
Pengaruh suhu O O X O O O O O O O O
Aliran / hanyutan / batang kayu dan hidrostastik /apung O O X O O O X O O
Beban angin O O X O O O X O Aksi khusus: Gempa X Beban tumbukan Pengaruh getaran X X Beban pelaksanaan X X
“X” berarti beban yang selalu aktif
“O” berarti beban yang boleh dikombinasikan dengan beban aktif, tunggal atau seperti yang ditunjukkan.
Salah satu (1) = semua beban “x” + beban “o”
atau (2) = (1) + 0,7 beban “o” atau (3) = (1) + 0,5 beban “o” + 0,5 beban “o”
Tiap satu dari beban “o” pada tingkat kelayanan boleh ditinjau bersama dengan beban aktif “x” untuk menghasilkan beban terburuk.
39
3.7. Analisis Lendutan
Lendutan balok dan pelat akibat beban layan harus dikontrol sebagai berikut:
a) Geometrik dari penampang harus direncanakan untuk melawan lendutan akibat pengaruh tetap sehingga sisa lendutan (positif atau negatif) masih dalam batas yang dapat diterima.
b) Agar lendutan tidak mengganggu tampak dari struktur, lendutan akibat pengaruh tetap yang diberikan pada Peraturan Pembebanan untuk Jembatan Jalan Raya harus sedemikian sehingga pada bagian tengah bentang tidak melebihi 1/300 bentang.
c) Lendutan akibat beban rencana untuk daya layan pada Peraturan Pembebanan untuk Jembatan Jalan Raya tidak melampaui 1/250 bentang.
d) Lendutan akibat beban hidup layan termasuk kejut harus dalam batas yang sesuai dengan struktur dan kegunaannya. Kecuali dilakukan penyelidikan lebih lanjut, dan tidak melampaui L/800 untuk bentang dan L/400 untuk kantilever.
Lendutan sesaat pada balok 3.7.1.
Lendutan yang terjadi sesaat sesudah bekerjanya beban harus dihitung dengan metoda atau formula standar untuk lendutan elastis, dengan memperhitungkan pengaruh retak dan tulangan terhadap kekakuan komponen struktur.
Harga Ief dapat ditentukan dari penampang melintang yang ditinjau sebagai berikut :
a) Untuk balok di atas dua perletakan, diambil di tengah bentang.
b) Untuk bentang tengah pada balok menerus dua ujung, diambil dari 70% harga di tengah bentang ditambah 15% dari harga masing-masing perletakan menerus.
c) Untuk bentang tepi pada balok menerus salah satu ujungnya, diambil 85% dari harga di tengah bentang ditambah 15% harga untuk perletakan menerus.
40
Lendutan jangka panjang 3.7.2.
Untuk balok beton bertulang atau prategang, lendutan yang terjadi setelah lendutan sesaat harus dihitung sebagai jumlah dari :
- komponen susut dari lendutan jangka panjang, ditentukan dari perkiraan sifat-sifat susut beton dan prinsip mekanika; dan
- lendutan rangkak jangka panjang tambahan, dihitung dengan mengalikan deformasi beton jangka pendek akibat beban dengan koefisien rangkak yang memadai.
Jika tidak dihitung dengan analisis yang lebih mendetail dan teliti, lendutan jangka panjang untuk komponen struktur lentur beton normal dan beton ringan harus dihitung dengan mengalikan lendutan sesaat akibat beban tetap dengan salah satu faktor berikut ini:
a) Bila lendutan sesaat didasarkan pada Ig, faktor pengali untuk lendutan jangka panjang harus diambil 4.
b) Bila lendutan sesaat didasarkan pada Ief, faktor pengali untuk lendutan jangka panjang harus diambil:
( )
(3.29) dengan:
As’ : luas tulangan tekan
As : luas tulangan tarik
Lendutan (δ) akibat beban terbagi merata (Q) yang dalam jembatan berupa beban mati dapat dihitung dengan persamaan 3.30.
(3.30) dengan:
41
E : modulus elastisitas bahan
I : momen inersia penampang
Sedangkan untuk lendutan pada tengah bentang akibat beban terpusat dapat dihitung dengan Persamaan 3.31.
(3.31) dengan:
P : beban terpusat
b : jarak beban ke tumpuan terdekat
3.8. Perancangan dan Analisis Balok
Perancangan balok tampang –T tidak seperti halnya perancangan balok persegi. Ukuran balok umumnya sudah ditetapkan sehingga luasan tulangan saja yang masih harus ditentukan. Namun demikian bila ukuran belum diketahui maka perkiraan ukuran balok tampang T dapat didekati melalui perancangan tampang balok persegi lebih dahulu. Kondisi seimbang pada balok –T tidak berbeda dari balok persegi, karena posisi garis netral seimbang (cb) hanya bergantung pada
tinggi efektif (d) dan kualitas baja (fy), cb = 600 d / (600 + fy). Untuk mendapatkan
kondisi seimbang beban yang dikerjakan umumnya sangat besar, misalnya pada jembatan.
Analisis kekuatan momen lentur (Mn)
3.8.1.
Tidak selalu seluruh lebar sayap boleh diperhitungkan sebagai bagian dari balok tampang T dalam perhitungan kapasitas lentur, untuk pendekatan nilai lebar sayap digunakan SNI 03-2847-2002 dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pelat sayap balok tampang T terhubung dan terangkai dengan balok tampang T lainnya sehingga terdapat tampang T sisi tengah (interior dan sisi tepi (eksterior), disebut balok tampang T terhubung seperti pada Gambar 3.16.