• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Hiper-realitas Masyarakat Konsumer:

Lumpuhnya Kesadaran di Tengah Derasnya Gelombang Modernisasi melalui Sistem Komoditas Kapitalisme

Oleh: Ahmad Afif Hidayatullah (110710021)

Dewasa ini, masyarakat modern sedang dilanda krisis berupa “ketidaksadaran kolektif” akan terjadinya proses “pencetakan kembali diri” dan dekonstruksi “makna kehidupan” sebagai akibat menjelmanya dunia “realitas semu.” Sehari-hari kita melihat serangkaian tayangan televisi mulai dari sinetron, infotainment, komedi, iklan-iklan, hingga berita-berita yang menyajikan informasi paling aktual. Di sisi lain, kita melihat banyak muda-mudi yang dengan penuh gairah berlomba menampilkan model-model gaya pakaian produk-produk baru sebagaimana disajikan di banyak pusat perbelanjaan modern (mall). Dengan mengaca kembali pada kenyataan di atas, sadarkah bahwa mereka dan bahkan kita ini tengah memasuki gerbang dunia “realitas semu” ini?

Pada dasarnya, penjelmaan dunia “realitas semu” ini merupakan ekses dari perkembangan ekonomi kapitalisme yang mewabah hampir di seluruh belahan dunia. Diskursus kapitalisme yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi, komoditas, dan tayangan-tayangan di berbagai media massa telah memasifkan proses dekonstruksi atas diri manusia sehingga memungkinkannya untuk merefleksikan pesona citra-citra (image) komoditas dan tayangan-tayangan itu ke dalam dirinya sendiri. Dalam konteks demikian, kapitalisme telah menjadi ideologi yang mengaktivasi “irasionalitas” perilaku manusia menjadi semakin konsumtif.

Ideologi kapitalisme yang dipahami di sini, meminjam kata-kata Yasraf Amir Piliang “tidak saja mengharuskan arus produksi dan konsumsi yang konstan, akan tetapi konstan dalam kecepatan yang bersaing.” Dalam hal ini, kata kunci yang digunakan untuk memahami diskursus kapitalisme mutakhir ialah “diferensiasi”. Istilah diferesiasi secara sederhana dapat dipahami sebagai proses berkelanjutan untuk mengkostruksi citra-citra pada produk yang akan membedakan satu produk dengan produk lainnya. Dengan mengacu pada

(2)

pengertian ini, diskursus kapitalisme selanjutnya dikembangkan melalui proses-proses peremajaan pada segala aspek kehidupan dalam wujud komoditas. Adapun perwujudan dari “peremajaan” di atas dapat kita jumpai pada fenomena pencarian gaya hidup zaman sekarang di pusat-pusat kebugaran (fitness), salon kecantikan, pelatihan kepribadian, pusat perbelanjaan (mall), dan tempat-tempat lain yang membangkitkan hasrat manusia konsumer akan keremajaan. Oleh karena itu, semakin teranglah bahwa keremajaan yang dewasa ini didambakan banyak kalangan (bahkan oleh orang yang sudah tua) sudah menjadi sebuah komoditas ala kapitalisme. Sedangkan komoditas ini yang disenantiasa dibubuhi citra-citra pada gilirannya akan menjadi pondasi-pondasi penyangga dunia “realitas semu.”

Ringkasnya, apa yang sehari-hari dipertontonkan secara berulang-ulang pada masyarakat dewasa ini (seperti model pakaian, bentuk ideal tubuh, gaya hidup modern, dan sebagainya) merupakan sebuah realitas semu atau hiper-realitas; sebuah simulacrum raksasa yang benar-benar terlepas dari realitas, yang lahir dari proses simulasi atas realitas yang justru menggantikan yang riil (Oberly, 2003, dalam Mantra, Kompas, 13/04/2012). Dalam keadaan demikian, maka garis demarkasi antara kepalsuan (sebagaimana citra-citra yang ditampilkan komoditas kapitalisme) dan realitas (apa yang benar-benar menjadi kebutuhan manusia) menjadi semakin kabur – untuk tidak mengatakannya hilang sama sekali. Dalam medan pemikiran Baudrillard, penciptaan dunia kebudayaan dewasa ini mengikuti satu model produksi yang disebutnya “simulasi” (penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul atau realitas) hiper-realitas (Baudrillard, 1993, dalam Yasraf).

Model simulasi berbeda dengan model representasi Ferdinand Saussure. Representasi model Saussurean adalah semiologi signifikasi, yaitu sistem tanda sebagai entitas yang memiliki dua sisi penanda (wahana-tanda) dan petanda (makna) yang selalu merujuk pada realitas sehingga wahana-tanda dapat ditukar dengan makna (Eco, 2009). Jika representasi berpijak pada prinsip kesepadanan antara tanda dan realitas, maka sebaliknya simulasi berangkat dari utopia prinsip kesepadanan ini sehingga menghilangkan setiap rujukan realitas dari tanda (Baudrillard, 1983, dalam Dodi Mantra). Melalui penerapan model simulasi ini,

(3)

maka manusia seperti menyaksikan fatamorgana yang dikiranya nyata, padahal sesungguhnya apa yang dilihatnya itu hanyalah khayalan karena bias hasil pengamatannya saja. Dengan kata lain, hiper-realitas sebagai hasil dari reproduksi simulasi yang terus-menerus atas realitas pada akhirnya akan menjadi bentuk dekonstruksi dari representasi itu sendiri; yaitu simulasi menggusur sesuatu yang benar-benar riil sehingga menciptakan simulacrum raksasa atau hiper-realitas yang sama sekali tercerabut dari akar realitasnya. Dengan memakai analogi peta – yang pada awalnya merupakan representasi simbolik dari keadaan territorial sesungguhnya di lapangan nyata, maka dalam penerapan model simulasi ini fungsi peta terbalik menjadi keadaan teritorial yang nyata itu dan sebaliknya territorial menjadi peta yang berupa simbol-simbol maya.

Oleh karena itulah, sebagaimana dijelaskan sebelumnya Baudlirrad menekankan bahwa simulasi bukanlah dianggap sekadar bentuk kepura-puraan (dissimalation). Hal ini dikarenakan realitas dalam kepura-puraan tetaplah utuh, tetap terdapat perbedaan jelas kepalsuan dan realitas. Lebih jauh simulasi menimbulkan problem hilangnya antara “benar” dan “salah”, antara “yang kenyataan” dan “yang fatamorgana”, antara “yang peta” dan “yang territorial”. Sebagai sebuah hiper-realitas, ideologi kapitalisme mutakhir yang bertopang pada teknologi media dan informasi merupakan sebuah simulacrum raksasa yang tiada habis direproduksi melalui simulasi tayangan iklan-iklan, infotainment, sinetron, film, dan sebagainya melalui media televisi, majalah, tabloid, koran, dan internet. Sebagai akibatnya, realitas-realitas (teritorial) sosio-ekonomi, budaya, dan politik kini mengalami kontaminasi yang akut dengan model-model (peta) khayali yang ditawarkan melalui media informasi tersebut. Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa tempat seperti Hollywood, pusat-pusat perbelanjaan (mall), hingga bintang-bintang layar kaca boyband asal Korea yang belakangan mengalami booming merupakan model-model yang membangun citra-citra, nilai-nilai, dan makna-makna yang menentukan dalam kehidupan sosial, budaya, atau politik.

Dalam diskursus simulasi di atas, dapat dibayangkan hampir sudah tidak tersisa lagi ruang realitas yang “steril” dari penetrasi berbagai variasi simulasi ala kapitalisme mutakhir. Apalagi perkembangan pesat teknologi informasi (terutama

(4)

berupa media cyber-electronic) sekarang terbukti telah mampu mengatasi keterbatasan spasio-temporal manusia. Melalui media cyber-electronic misalnya, manusia memungkinkan menjalin hubungan dengan rekannya di tempat dan waktu yang berlainan, mampu mengakses kejadian/peristiwa yang terjadi di luar tempat ia berada, dan berbagai macam kemungkinan lain yang tidak dimungkinkan jika ia hanya terpaku pada keadaan spasio-temporalnya yang terbatas. Seakan-akan, keadaan riil dari kawasan teritorial yang terbatas sekat-sekat geografis ini telah mengalami penyusutan, “terlipat-lipat” hingga tak lebih berupa layar kaca atau memory bank. Dengan demikian, daya jangkau dari teknologi informasi yang hampir tak terbatas itu telah merusak kesenyapan “dunia sesungguhnya” dengan aneka kegaduhan informasi yang tidak dapat dibedakan secara jelas antara “keaslian” dan “kepalsuannya.”

Dalam konteks perkembangan kapitalisme sekarang inilah, Baudrillard melihat bahwa penggunaan ruang begitu didominasi oleh proses konsumerisme, sirkuit informasi (media massa, iklan), dan ekstase komunikasi (Yasraf Amir Piliang). Saat ini, orang merasa perlu membeli blackberry, meskipun sebenarnya ia cukup berkomunikasi jarak jauh dengan handphone biasa. Hal ini semakin memperjelas kenyataan bahwa manusia semakin takhluk pada gemilau materialitas yang dipoles dalam “bungkus” citra “modern, stylish, elegan, keren” oleh mesin-mesin kapitalisme.

Ringkasnya dapat dinyatakan, manusia yang awal mulanya hanya melakukan konsumsi berdasarkan kebutuhan riilnya sekarang sudah berubah menjadi manusia yang terperdaya oleh simulacrum raksasa jelmaan “kerakusan” kapitalisme yang bermaksud “mengembangbiakkan” hasrat-hasrat manusia untuk memuaskan segala keinginannya yang tanpa batas. Meskipun godaan materi yang ditawarkan kapitalisme tersebut penuh tipuan dan kesemuan, anehnya manusia – bahkan dalam tataran kolektif – menyadarinya sebagai kenyataan dan sebaliknya terhadap dunia riilnya, ia seakan-akan seperti penderita amnesia yang melupakan karakter aslinya.

(5)

Menjamurnya budaya konsumer yang lahir dari hasil simulasi komodifikasi produk kapitalisme berkembang hingga mencapai titik ekstrim menjadi sebuah simulacrum murni yang tidak lagi merujuk pada realitas. Ketika komoditas kapitalisme yang dibumbui citra-citra “menawan” itu menjadi simulacrum, model simulasi yang menampilkan citra-citra produk kapitalisme ini menjadi lebih nyata dari pada kenyataan “apa adanya” produk tersebut sebelum “ditempeli” citra-citra. Televisi, majalah, koran, radio, internet, dan beberapa media informasi lainnya adalah wahana di mana proses simulasi tersebut dijalankan sehingga memproduksi simulacra yang menopang hiper-realitas budaya konsumerisme masyarakat.

Dapat kita cermati bagaimana di dalam hiper-realitas budaya konsumerisme menjadi sesuatu yang nyata, bahkan lebih nyata dari kenyataan yang mengacu pada karakter asli masyarakat itu sendiri. Kenyataan yang sesungguhnya tentang karakter asli manusia (subjek) ialah tindakan konsumsi yang dilakukan secara wajar sesuai tuntutan kebutuhannya (objek). Namun, seiring hadirnya sistem komoditas kapitalisme, manusia tidak bertindak sebagai “subjek” yang mengontrol “objek”, tapi justru terbalik menjadi dikontrol oleh “objek”. Manusia kini hidup di dalam sebuah “ketamakan” konsumsi, sesuai irama nafsu dan keinginan yang sengaja dikembangbiakkan oleh sistem kapitalisme untuk mengeruk keuntungan dari komodifikasi produknya. Sekarang ini, dalam diri manusia berlaku sebuah keinginan-keinginan akan objek-objek yang bukan disebabkan kebutuhan (ketidakcukupan alamiah), melainkan disebabkan oleh keinginan semu yang sengaja diciptakan oleh sistem kapitalisme sehingga subjek secara tidak sadar meyakininya dan memanifestasikannya dalam tindakan konsumtif yang di ambang batas kewajaran (irasional).

Di sinilah, terlihat bagaimana budaya masyarakat konsumer sebagai sebuah hiper-realitas menjadi sistem pertukaran penanda dengan penanda yang kosong yang tidak memiliki rujukan pada realitas, sehingga pada akhirnya penanda tersebut tidak dapat ditukar dengan petanda (makna) yang relevan. Relasi antara penanda dengan penanda dalam ruang hiper-realitas itu hanya menghasilkan makna kosong, semu, dan menipu kesadaran manusia sesuai karakter aslinya.

(6)

Keadaan yang dirasakan dalam diri manusia berupa ketegangan keinginan akan objek-objek merupakan sebuah penanda yang merujuk pada penanda lain, yaitu citra-citra yang menampilkan simbol-simbol gaya hidup seperti, modern (tidak kuno), trendy, casual, maskulin, feminim, dan sebagainya.

Untuk lebih jelasnya, kita ambil contoh mengenai standar kecantikan perempuan Indonesia dewasa ini yang dibangun dan ditopang oleh industri adalah perempuan berkulit putih dan bertubuh langsing. Oleh karena itu demi mendapatkan kulit putih, remaja putri sekarang pada memakai produk pemutih dan menghindari kulit dari terpaan sinar matahari. Padahal, sinar matahari mengaktifkan vitamin D di kulit yang akan membantu penyerapan kalsium di tulang. Sementara, demi bentuk tubuhnya yang diidamkan, para remaja putri rela diet superketat sehingga berat tubuhnya di bawah berat normal (langsing). Padahal, sejatinya berat badan yang cukup justru akan melindungi tulang dari kerapuhan. Tidak cukup melakukan diet, mereka menggunakan obat-obatan tertentu, khususnya obat pelangsing yang dikonsumsi serampangan. Padahal konsumsi serampangan dari obat pelangsing tersebut dapat memicu menopause dini (Kompas, 11/10/2011).

Dari contoh di atas, dapat kita cermati bagaimana standar kecantikan “putih-langsing” merupakan sebuah simulacrum yang lahir dari simulasi sinetron-sinetron dan tayangan iklan produk-produk kecantikan perempuan. Pergeseran mengenai “standar kecantikan” ini bisa kita lihat pada tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 2012 sosok perempuan ideal disimulasikan seperti aktris Agnes Monica, Luna Maya, dan Dewi Persik berbeda dengan sosok Chitra Dewi atau Titin Sumarni di sekitar tahun 1950-1960. Pergeseran itu juga terjadi misalnya dengan membandingkan “standar kecantikan” perempuan tradisional yang lebih menekankan pada kelembutan dan kehalusan tata perilakunya dengan perempuan modern yang lebih menonjolkan sisi seksualitas tubuh. Dalam konteks perempuan modern di atas, terlihat bagaimana sebuah penanda “kulit putih” dan “tubuh langsing” ditukar dengan penanda “produk-produk kecantikan.” Kemudian, penanda “produk kecantikan” tersebut ditukar kembali dengan penanda “kecantikan” yang ideal bagi perempuan. Bahkan, akhir-akhir ini kecantikan

(7)

perempuan itu pun disimulasikan kembali menjadi “berkulit coklat.” Beginilah, penanda tersebut saling berkelindan membentuk suatu jaring-jaring yang rapuh tanpa makna yang otentik, namun terbukti berhasil menjerat “subjek” perempuan untuk terus-menerus mengkonsumsi produk-produk buatan sistem komoditas kapitalisme.

Bagi Baudrillard (dalam Mantra, 2012), hiper-realitas sendiri merupakan sebuah bentuk baru dari dominasi. Dewasa ini, gelombang modernisasi di bawah cengkeraman kapitalisme atas dasar pertukaran penanda dengan penanda telah memicu krisis kesadaran dalam kehidupan sosial-budaya. Tidak sedikit, para manusia yang menjadi korban. Sebagaimana ditunjukkan di atas, para remaja putri menjadi korban kapitalisme dengan mengonsumsi produk-produk kecantikan yang pada dasarnya membahayakan kesehatan tubuhnya. Hal ini tentunya tidak dapat dibiarkan karena akan mengancam kelanjutan generasi penerus bangsa. Namun, perlawanan terhadap hiper-realitas kapitalisme tersebut tidaklah semudah membalik telapak tangan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan perlawanan tersebut justru menjadikan sistem komoditas kapitalisme semakin resisten.

Namun, juga tidak berarti hiper-realitas itu telah menihilkan segala bentuk gerakan perlawanan. Melalui artikelnya tentang hiper-realitas, Dodi Mantra (Kompas, 13/04/2012) yang mengutip Baudrillard menawarkan satu bentuk perlawanan pada hiper-realitas, yaitu penolakan untuk berpartisipasi. Dalam pandangan penulis, bentuk perlawanan tersebut di arahkan pada media yang fungsi aslinya telah dibelokkan oleh sistem komoditas total kapitalisme. Adapun bentuk gerakan perlawanan tersebut ialah dengan melakukan pembongkaran terhadap simulasi dan simulacra yang menopang hiper-realitas sekaligus berupaya untuk tidak terserap secara tidak sadar ke dalamnya.

Dengan mengacu pada karakteristik hiper-realitas yang mengakibatkan semakin hilangnya garis pemisah antara yang realitas dan yang semu, maka gerakan perlawanan di sini dapat ditafsirkan secara positif maupun negatif. Dalam arti negatif, sebagaimana yang terlihat dari sikap Baudrillard yang fatalis dan pesimistik dalam memandang “nasib” masa depan, penyikapan secara negatif ini perlu dilenyapkan. Kita tidak perlu meniru sikap Baudrillard tersebut. Lebih bijak,

(8)

kita menyikapi masalah ini secara positif. Bukankah kita sudah belajar dari Socrates melalui Plato, bahwa kebenaran (realitas, pengetahuan sejati) berbeda dengan selubung kepalsuan (simulasi, hiper-realitas)? Karena yakin akan perbedaan itu, kita berani memperjuangkan yang benar dan yang sejati (realitas). Meminjam kata-kata Dodi Mantra, yang riil tetap tak akan pernah terserap sepenuhnya oleh simulasi, dan bahwasanya perlawanan secara gigih dengan membongkar dan menampilkan retakan di dalam hiper-realitas dapat menjadi agenda penting bagi gerakan hari ini.

(9)

Daftar Pustaka

________.(tanpa tahun). Lifestyle ecstasy: Kebudayaan pop dalam masyarakat Indonesia (Editor: Idi Subandi Ibrahim). Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. Eco, U. (2009). Teori semiotika: Signifikasi komunikasi, teori kode, serta

produksi-tanda. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Risiko di Balik “Keindahan”. (2011, 11 Oktober). Kompas, hlm. 14. Hiper-realitas Perekonomian Nasional. (2012, 13 April), hlm. 6.

Referensi

Dokumen terkait

Peserta didik mampu membaca Q.S.at- Tiin dengan tartil, mengetahui makna Q.S.at- Tiin dengan benar, mencontohkan perilaku saling mengingatkan dalam hal kebajikan

Model Pembelajaran TGT adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa yang

Distribusi dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Semarang, 2016/ Population Distribution and Density by Subdistrict in Semarang Municipality, 2016 ......31 Jumlah

Microsoft Visual Foxpro 9.0 yang digunakan merupakan pemrograman berbasis Windows yang didukung oleh berbagai fasilitas yang akan memudahkan dalam pengelolaan aplikasi

Dari perincian isi buku itu, tampak bahwa Mushthafa al-Syiba’i hendak meyakinkan umat Islam betapa pentingnya posisi hadits bagi umat Islam, sekaligus pada saat yang sama

Pengertian KLB : (1) Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB adalah kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi KLB beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menerapkan

Terdapat kesalahan dalam proses evaluasi penawaran Evaluasi penawaran ulang Ditemukan kesalahan dalam dokumen pemilihan atau tidak sesuai dengan. ketentuan dalam Perpres ini

Simpulan penelitian ini adalah penerapan model Numbered Heads Together berbantuan media gambar dapat meningkatkan hasil belajar matematika.. Peneliti menyampaikan beberapa