7 2. 1. Pola Asuh Orangtua
2.1.1. Pengertian Pola Asuh
Secara bahasa, pola asuh terdiri dari dua kata, yaitu “pola” dan “asuh”. Pola yaitu suatu bentuk, keteraturan suatu hal, sedangkan asuh berarti suatu sikap mendidik. Pola asuh adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara terpadu dalam jangka waktu yang lama oleh orang tua kepada anaknya, dengan tujuan untuk membimbing dan melindungi anak.
Pola asuh adalah semua interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi di sini termasuk ekspresi sikap, nilai, perhatian dalam membimbing, mengurus dan melatih perilaku anak Amin & Harianti (2018) Perlakuan anak yang di tunjukkan merupakan cerminan dari bagaimana orang tua dalam mendidik anaknya tersebut. Pola asuh pada dasarnya diciptakan oleh adanya interaksi antara orang tua dan anak dalam hubungan sehari-hari yang sewaktu-waktu akan berubah, sehingga orang tua akan menghasilkan anak-anak sealiran, karena orang tua tidak akan mengajarkan dengan kata-kata saja melainkan dengan contoh-contoh yang nyata Shochib (1998).
Pola asuh atau mengasuh anak adalah semua aktivitas orang tua yang berkaitan dengan pertumbuhan fisik dan otak. Apabila pola asuh orang tua yang diberikan orang tua kepada anak salah akan berdampak pada kepribadian anak itu sendiri. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua merupakan kesepakatan bersama antara ayah dan Ibu. Jika terdapat perbedaan sikap antara ayah dan Ibu dalam penerapan pola pendidikan kepada anak, hal ini akan membuat kondisi keluarga tidak stabil. Di dalam kehidupan sehari-hari di rumah, seperti telah diketahui terdapat macam-macam pola pendidikan atau pola asuh yang diterapkan oleh orangtua.
Orangtua dalam pengasuhan anak mempunyai tujuan untuk membentuk anak menjadi yang terbaik sesuai dengan apa yang dianggap ideal oleh para orang
tua dalam pengasuhan anak diberikan istilah disiplin sebagai pelatihan dalam mengendalikan dan mengontrol diri Hurlock (1990)
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkakan bahwa pola asuh orangtua adalah cara atau model orangtua dalam membimbing dan mendidik anak dalam sebuah lingkungan asuhnya dan mampu menciptakan suatu kondisi lingkungan keluarga yang humoris dan lingkungan di masyarakat, Pada dasarnya tidak ada orang tua menginginkan anak yang memiliki perilaku yang tidak baik dan sifat yang kuran baik.
2.1.2. Jenis Pola Asuh Orangtua
Orang tua adalah ayah dan Ibu, baik melalui hubungan biologis maupun sosial. Umumnya orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam membesarkan anak, dan panggilan ayah atau Ibu juga dapat diberikan untuk pria atau wanita yang bukan merupakan orang tua kandung. Contohnya adalah pada orang tua angkat (karena anak tersebut di adopsi), atau Ibu tiri (istri dari ayah biologis anak), dan ayah tiri (suami dari Ibu biologis anak).
Ada beberapa pendapat yang berkaitan dengan macam-macam pola asuh orang tua di antaranya yaitu:
a. Menurut Eva Latifah
Orangtua selalu mempunyai pengaruh yang paling kuat pada anak-anak. Setiap orang tua mempunyai gaya tersendiri dalam hubungan dengan anak-anaknya, dan ini mempengaruhi perkembangan sosial anak. Sejumlah penelitian telah mengkaji beragam jenis pola asuh yang digunakan para orang tua dalam mengasuh anak-anaknya. Pola asuh yang berbeda-beda berkaitan erat dengan sifat kepribadian yang akan di tunjukkan oleh anak akan berbeda-beda, dalam hal ini para ahli membagi pola asuh ke dalam empat bagian yaitu otoritatif, otoritarian, permisif, dan acuh tak acuh dapat dilihat dalam Tabel II-1 Latifah (2012).
Tabel II-1
Ragam Pola Asuh Secara Umum Menurut Eva Latipah
Pola Asuh Karakteristik Orangtua Kecenderungan Perilaku Anak
Authoritative Menyediakan lingkungan rumah yang penuh kasih sayang dan suportif.
Menerapkan espetasi (harapan) dan setandar yang tinggi dalam prilaku.
Menjelaskan mengapa beberapa perilaku dapat diterima dan sebagian lainnya lagi tidak.
Menegakkan peraturan-peraturan secara konsisten. Melibatkan anak dalam proses
pengambilan keputusan dalam keluarga.
Secara bertahap melonggarkan batasan-batasan saat anak semakin bertanggung jawab dan mandiri.
Gembira Percaya diri
Memiliki rasa ingin tahu yang sehat
Tidak manja dan mandiri Tidak memiliki kontrol
diri yang baik.
Memiliki keterampilan sosial yang efektif. Termotivasi dan
berprestasi di sekolah.
Authoritarian Jarang menampilkan kehangatan emosional Menerapkan harapan dan
standar yang tinggi dalam berprilaku.
Menegakkan aturan-aturan tanpa melihat kebutuhan anak.
Mengharapkan anak
mematuhi aturan tanpa tanya terlebih dahulu.
Sedikit ruang untuk berdialog antara orang tua dan anak.
Tidak bahagia Cemas
Percaya diri rendah Kurang inisiatif Bergantung pada orang
lain
Keterampilan sosial dan proposi rendah
Gaya komunikasi koersif. Pembangkang
Permisif Menyediakan lingkungan rumah yang penuh kasih dan suportif
Menerapkan sedikit harapan atau standar berperilaku Jarang memberi hukuman
pada prilaku yang tidak tepat Membiarkan anak mengambil
keputusan secara mandiri
Egois
Tidak termotivasi Bergantung pada orang
lain
Menuntut perhatian orang lain
Tidak patuh Impulsif (perilaku
manusia yang tiba-tiba berubah)
Acuh tak acuh Hanya menyediakan sedikit dukungan emosional Menerapkan sedikit harapan
Tidak patuh Banyak menuntut Kontrol diri rendah
dan standar berprilaku Menunjukkan sedikit minat Orang tua nampak lebih sibuk
mengurus masalahnya sendiri
Kesulitan mengelola frustasi
Kurang memiliki sasaran-sasaran jangka panjang Berdasarkan beberapa penelitian, dari keempat pola asuh di atas yang ideal bagi beberapa anak adalah pola asuh otoritatif. Orang tua dengan pola asuh authoritative menghadirkan (a)lingkungan rumah yang penuh kasih sayang dan dukungan (b)memberikan harapan dan standar tinggi terhadap prestasi, (c)memberikan penjelasan mengapa suatu prilaku dapat atau tidak diterima, (d)menegakkan aturan-aturan keluarga secara konsisten, (e)melibatkan anak dalam mengambil keputusan, (f)dan menyediakan kesempatan bagi anak untuk menikmati kebebasan berprilaku sesuai usianya. Konsekuensinya, anak-anak yang diasuh denga pola authoritative umumnya gembira, bersemangat, percaya diri, dan mandiri. Mereka juga mudah dalam menjalin pertemanan, memiliki keterampilan social yang baik, dan menunjukkan kepedulian terhadap hak dan kebutuhan orang lain. Mereka juga termotivasi untuk berprestasi bagus di sekolah sehingga seringkali meraih prestasi yang tinggi Latifah(2012)
b. Menurut Diane Baumrind
Diane mengidentifikasi tiga cara orang tua yang bervariasi, meliputi tingkat kontrol orang tua terhadap anak, kejelasan komunikasi orang tua dan anak dan tuntutan orang tua kepada anak untuk menjadi matang. Cara mendidik anak diantaranya yaitu orang tua yang otoriter, orang tua yang membiarkan, dan orang tua dapat dipercaya.
1) Orangtua yang Otoriter
Pengasuhan otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah perintah orang tua. Orang tua yang otoriter biasanya memiliki sikap yang “acceptance” rendah namun kontrolnya tinggi, suka hukum secara fisik, bersikap mengomando (mengharuskan apa yang mereka suruh tanpa komplen), bersikap kaku dan cenderung bersikap menolak Yusuf (2012)
Anak dari hasil pola asuh orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri, merasa
canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar rendah dibandingkan dengan anak-anak lain.
2) Orangtua yang Membiarkan
Orang tua yang memberikan kebebasan sebanyak mungkin kepada anak mereka dan menempatkan harapan-harapan kepada anak mereka. Orang tua yang permisif ini sikap “acceptance” nya tinggi, namun kontrolnya rendah serta memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan/keinginan.
Akibat dari orang tua yang membiarkan anaknya akan menyebabkan anak tidak pernah belajar mengendalikan pirilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan agar semua kemauannya dituruti.
3) Orangtua dapat dipercaya
Pengasuhan authoritative adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperhatikan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi mereka juga bersifat responsive, menghargai dan menghormati pemikiran, perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam mengambil keputusan.
c. Menurut Dian Baumrid
Baumrid (Yusuf, 2012) mengemukakan empat gaya pola asuh orang tua yaitu, authoritarian, permissive, authoritative. Untuk mendapatkan bagaimana gambaran dari ketiga pola asuh di atas dapat dilihat pada
Tabel II-2
Pengaruh “Parenting Style” Terhadap Prilaku Anak menurut Diana Baumrind
Parenting Style
Sikap Atau Perilaku
OrangTua Profil Perilaku Anak Authoritarian Sikap “acceptance” rendah,
namun kontrolnya tinggi Suka menghukum secara fisik Bersikap mengomando
(mengharuskan/memerintahanak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi)
Bersikap kaku (keras)
Cenderung emosional dan bersikap menolak
Mudah tersinggung Penakut
Pemurung, tidak bahagia Mudah terpengaruh Mudah stress
Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas Tidak bersahabat Permissif Sikap “acceptance” rendah,
namun controlnya rendah Memberikan kebebasan kepada
anak untuk menyatakan dorongan/keinginan.
Bersifat impulsive dan agresif
Suka memberontak
Kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri
Suka mendominasi Tidak jelas arah hidupnya Prestasinya rendah Authoritative Sikap “acceptance” rendah,
namun controlnya tinggi Bersikap responsive terhadap
kebutuhan anak Mendorong anak untuk
menyatakan pendapat atau pertanyaan
Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk
Bersikap bersahabat Memiliki rasa percaya
diri
Mampu mengendalikan diri
Bersikap sopan Mau bekerja sama Memiliki rasa ingin
tahunya yang tinggi Mempunyai tujuan/arahan
hidup yang jelas Berorientasi terhadap
prestasi
2. 2. Pola Asuh Berdasarkan Gender 2.2.1. Pengertian Gender
Istilah gender mengacu pada dimensi sosial-budaya pada seseorang sebagai laki-laki atau perempuan, sementara seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Sementara sedikit sekali aspek dari perkembangan remaja yang lebih mendasari identitas diri mereka dan hubungan sosial mereka daripada masalah gender Santrock (2003). Kata
gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘gender’. Jika dilihat dari kamus bahasa Inggris, tidak secara jelas dibedakan pengertian antara seks dan gender. Sering sekali gender dipersamakan dengan seks (jenis kelamin laki-laki dan perempuan). Untuk memahami konsep gender harus dapat dibedakan antara kata gender dengan seks (jenis kelamin). Pengertian seks (jenis kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin (penyipatan) manusia ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memilki jakun (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi, seperti rahim dan vagina untuk melahirkan, memprduksi sel telur, memiliki vagina dan punya alat untuk menyusui Dwijowijoto (2011)
Gender berdasarkan teori kodrat alam (alamiah) menurut Umar (Suryadi & Idris, 2010), perbedaan biologis yang membedakan jenis kelamin, dalam memandang gender, telah melahirkan dua terori besar yaitu nature dan teori nurture. Teori gender nature memandang perbedaan gender dalam kodrat alam (alamiah) yang tidak perlu dipermasalahkan. Sedangkan teori nature lebih memandang perbedaan gender sebagai hasil rekayasa budaya dan bukan kodrati, sehingga perbedaan gender tidak berlaku universal dan dapat dipertaruhkan.
Teori kodrat alam mengacu kepada kodrat manusia secara alami, dan manusia harus menerimanya. Teori ini memandang laki terlahir sebagai laki-laki dan peremepuan terlahir sebagai peremepuan dalam penampilan fiisik, fisik-fisik secara biologis, dan peran sosialnya. Sanksi sosial akan menuduh laki-laki yang berpenampilan feminism dengan sebutan banci, dan perempuan yang berpenampian maskulin sebagai tomboy. Sejak lahir secara biologis antar laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki berkumis, berjenggot, dan memiliki jakun, sedangkan perempuan memiliki ciri-ciri biologis 4M yaitu bisa menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Berdasarkan pandangan teori ini apa yang dimiliki laki-laki tersebut tidak dimiliki oleh perempuan, demikian juga sebaliknya, sehingga laki-laki dan perempuan akan saling membutuhkan untuk saling melengkapi.
Perempuan yang memilki fungsi kodrat fisik yang berkaitan dengan menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui, dianggap sangat berkaitan akan perkembangan psikologi yang dibutuhkan untuk mengasuh anak yang telah dilahirkan, seperti sikap seseorang Ibu yang ditunjukkan memiliki sikap halus, penyabar, lemah lembut dan kasih sayang. Sedangkan lawan jenisnya yang terlahir sebagai laki-laki memiliki ciri fisik seperti mampu memproduksi sperma, berjakun, berkumis dan berjenggot dipandang mereprentasikan fisik laki-laki yang kuat, dan agresif Suryadi & Idris (2010)
Sementara itu, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, mengartikan gender adalah peranan sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peranan-peranan sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya yaitu laki-laki dan perempuan Dwijowijoto (2011)
Menurut Erik H. Erikson, bahwa remaja mencapai titik balik yang penting dalam perkembangan identitas. Semua perubahan fisik, sosial, dan kognitif yang terjadi pada masa remaja akan mengantarkan remaja untuk menjawab pertanyaan “siapa saya”, termasuk pemantapan peran gender atau gender intensification. Remaja laki-laki lekat dengan model peran maskulin, semetara pada remaja perempuan lebih tertarik pada penampilan fisik dan cara berpakaian. Dicapainya pubertas, dengan ciri-ciri kelamin sekunder juga telah berkembang, membersihkan pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan gender.
Pada masa remaja akhir disini biasanya lebih toleran terhadap peran gender pada diri maupun orang lain. Evolusi terhadap peran gender sebagai pria dan wanita ini akan terus berlangsung selama rentang kehidupan, pada saat setiap individu akan melalui masa transisi dalam hidupnya seperti perkawinan, menjadi orang tua (parenthood), usia paruh baya, dan usia lanjut dapat dilihat pada
Tabel II-3
Gender Typing menurut Milestone Laura E Beark
Usia Gender Stereotyping Gender Identity
1-5 tahun Muncul preferensi terhadap permainan yang sesuai dengan gender.
Melakukan stereotype gender dalam aktivitas, pekerjaan dan perilaku.
Berinteraksi dengan teman sebaya yang memiliki gender yang sama. Anak laki-laki bermain dengan
kelompok besar, anak perempuan bermain dengan kelompok kecil/berpasangan.
Perkembangan gender melalui tiap tahap: gender labeling, gender stability, dan gender consistency
6-11 tahun Stereotype terhadap gender meluas, khususnya mengenai traits
kepribadian dan prestasi.
Stereotype terhadap gender mulai lebih fleksibel.
Preferensi maskulin pada anak laki-laki dan androgini pada anak perempuan semakin kuat.
12-18 tahun Konformitas terhadap peran gender meningkat pada remaja awal kemudian mengalami penurunan. Pemisahan gender mulai diabaikan
Pada remaja awal gender identiti sangat “tradisional” setelah itu stereotype menurun
Menurut Singgih dkk (Rochman, 2005) masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki dewasa. Menurut Soesilowindradini garis pemisah antara awal masa remaja dan akhir masa remaja terletak kira-kira di sekitar usia 17 tahun. Awal masa remaja berlangsung kira-kira di usia 13 tahun sampai 16/17 dan akhir dari masa remaja itu sendiri dimulai dari usia 16/17 tahun sampai 21 tahun. Sedangkan menurut Syaikh dan Mahfuzh menyatakan bahwa usia 12 ahun sampai 15 tahun disebut fase permulaannya remaja, usia 15 tahun sampai 18 tahun disebut sebagai fase pertengahan remaja, untuk usia 18 tahun samapi usia 22 tahun disebut fase paripurna remaja, dan usia 22 sampai 30 tahun sebagai fase kematangan dan pemuda.
Pada umumnya permulaan masa remaja ditandai oleh perubahan-perubahan fisik yang mendahului kematangan seksual. Bersamaan dengan itu, dumulai proses perkembangan psikis remaja, mereka mulai melepaskan diri dari ikatan orang tuanya. Kemudian terlihat pula perubahan-perubahan yang ada di dalam diri mereka untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat (Rochman, 2005).
Kebanyakan orang berfikir bahwa untuk mengetahui jenis kelamin adalah dengan mengembangkan gambaran-gambaran tentang bermacam-macam tipe pria dan wanita, disamping itu berfikir tentang wanita “pada umumnya” kita akan memikirkan tentang pengelompokan wanita yang lebih khusus seperti kaum Ibu, wanita karir dan lain sebagainya. Sedangkan untuk keyakinan kita kepada kaum laki-laki membedakannya menjadi tipe-tipe seperti kaum bapak-bapak, para pengusaha, perampok, atau ditaktor dan lain sebagainya. kita spesifikasikan dalam Tabel II-4 Sears, Freedman, & Peplau (2013)
Tabel II-4
Stereotip Jenis Kelamin yang Lazim Menurut
(Brewer, Dull, & Lui, 1981; Clifton, McGrarth, & Wick, 1976; Taylor, 1981) Lebih Khas untuk Pria Lebih Khas untuk Wanita Agresif
Mandiri
Tidak emosional Objektif
Dominan
Menyukai matematika dan ilmu pengetahuan alam Aktif Suka bersaing Logis Keduniawian Percaya diri
Bertindak sebagai pemimpin Senang berpetualang Ambisius lemah lembut bijaksana cerewet religious
peka terhadap perasaan orang lain rapi
tertarik pada penampilan diri pendiam
mengungkapkan perasaan yang lembut menyukai seni dan kesusastraan mudah menangis
tergantung
tidak menyukai kata-kata kasar kebutuhan akan rasa aman besar 2.2.2. Pola Asuh Berdasarkan Gender
Cara mengasuh anak laki-laki maupun perempuan sampai saat ini sudah tidak bisa dibedakan lagi bisa jadi disetarakan karena di zaman sekarang yang mulai canggih dan pergaulan yang semakin bebas yang menyebabkan orang tua harus lebih tegas dalam menghadapi anak perempuan maupun anak laki-laki.
Orang tua memilki peran penting terhadap perkembangan gender dan membantu perilaku yang sesuai dengan peran gender pada anak. Orang tua pada umumnya berbicara pada bayi perempuan akan sangat berbeda ketika berbicara dengan bayi laki-laki, cara orang tua dalam memilih pakaian, mendesain kamar, dan memilih mainan yang sesuai untuk anak laki-laki atau perempuan. Ketika
anak-anak mulai tumbuh dan berkembang, orang tua akan mendorong mereka untuk melakukan aktivitas sesuai dengan gender mereka
Ayah memiliki peran penting dalam pembentukan gender typing. Menurut Hetherington apabila seorang ayah sebagai model atau anak tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk interaksi dengan ayahnya, kemungkinan anak akan mengalami kesulitas untuk mengembangkan gender identity dan gender typing. Apabila peran ayah hilang dalam sosok anak laki-laki, perkembangan gender identity dan gender typing anak itu akan bermasalah. Sementara bila terjadi pada anak perempuan akibatnya perkembangan gender anak akan terlambat dan aanak akan mengalami hambatan utuk berinteraksi dengan lawan jenisnya Indrijati (2016)
Seorang anak perempuan akan merasa penting akan sosialisasi sosial apa bia ia memiliki interaksi dengan figure ayah yang hangat, responsive dan maskulin dan akan memberikan hadiah kepada anak apabila si anak perempuan tersebut bisa berprilaku feminim.
2. 3. Motivasi Belajar 2.3.1. Pengertian Motivasi
Motivasi merupakan keinginan yang terdapat pada seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan atau sesuatu yang menjadi dasar atau alasan seseorang berperilaku. Dengan motivasi yang ada dalam diri kita pun akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan yang berhubungan dengan kejiwaan, perasaan dan juga emosi pada diri kita yang akan bertindak atau melakukan suatu kegiatan atau apapun itu.
Motivasi dibutuhkan dalam diri kita, untuk melakukan semua aktivitas dalam kehidupan ini dengan adanya motivasi kita memiliki dorongan untuk bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Nawawi dalam Abdus Salam, menjelaskan bahwa kata motivasi (motivation) dari kata dasar motif (motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian, motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu kegiatan.
Menurut Hariandja dalam Abdus Salam mendefinisikan motivasi sebagai faktor-faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras atau lemah Salam (2008)
Wlodkowski menjelaskan motivasi adalah sebagai suatu kondisi yang menyebabkan atau yang menghasilkan sebuah perubahan perilaku tertentu (Siregar & Nara, 2011) Selain itu motivasi juga dapat diartikan sebagai dorongan individu untuk melakukan tindakan karena individu tersebut ingin melakukannya apabila mendapatkan dorongan motivasi, inividu yang termotivasi akan membuat pilihan yang positif untuk melakukan sesuatu, karena dapat memuaskan apa yang individu inginkan. Sedangkan menurut Jamaris (2013), motivasi merupakan faktor penting yang selalu mendapat perhatian di dalam berbagai usaha yang ditujukan untuk mendidik dan membelajarkan manusia, baik itu di dalam pendidikan formal, nonformal ataupun informal.
Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual, peran yang luas adalah dalm menimbulkan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar, siswa memiliki motivasi yang kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar Sardiman (2011). Motivasi belajar siswa dapat dilihat dari sikap dan perilaku siswa selama proses belajar mengajar, siswa yang terlihat tertarik selama belajar, siswa yang berperan aktif dan lain sebagainya. Dilihat dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah kondisi fisiologi dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas guna mencapai tujuan. Motivasi belajar merupakan kekuatan yang ada pada siswa sebagai pendorong atau penggerak siswa melakukan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegitan belajar tersebut untuk mencapai suatu tujuan belajar, yaitu perubahan tingkah laku siswa kecakapan, kebiasaan, dan penguasaan ilmu pengetahuan.
2.3.2. Pengertian Belajar
Manusia adalah makhluk yang belajar. Sejak manusia dilahirkan, belajar merupakan aktivitas utama. Belajar tidak hanya melibatkan penguasaan suatu
kemampuan akademik, tetapi juga melibatkan perkembangan emosional, interaksi sosial, dan perkembangan kepribadian Marliany (2010).
Selain itu menurut Gagne dalam Willis (A.Syaeroji, 2014) menyebutkan bahwa dalam pembelajaran matematika ada dua objek yang dapat diperoleh siswa, yaitu objek langsung dan objek tidak langsung. Objek tak langsung yaitu kemmapuan menyelidiki dan kemampuan memecahkan masalah, belajar mandiri, berfikir positif terhadap matematika, dan tahu bagaimana semestinya belajar. Sedangkan objek langsung dalam pembelajaran matematika berupa fakta, keterampilan, konsep dan aturan. Dengan sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah hanya semata-mata mengumpulkan atau menghapal fakta -fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Orang tua yang memiliki pikiran seperti ini mereka akan merasa bangga ketika anak-anak mereka bisa menyebutkan kembali segala informasi atau pengetahuan yang didapat dari hasil mereka dalam membaca buku atau yang disampaikan oleh guru dalam proses pembelajaran berlangsung.
Belajar merupakan suatu perubahan yang didapat dari suatu proses pencarian atau pengalaman dan belajar merupakan hal yang sangat penting karena hampir semua pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku manusia dibentuk, diubah dan berkembang melalui belajar. Menurut Syah (2006), belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu sangat tergantung pada proses belajar yang dialami siswa. Baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri Syah, (2006).
Menurut Bigss seperti yang tunjukkan oleh (Syah, 2012) mendefinisikan belajar dalam tiga rumusan belajar, yaitu rumusan kuantitatif rumusan institusional, rumusan kualitatif. Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut pandang berapa banyak materi yang dapat mereka kuasai. Pengertian belajar secara kuantitatif siswa bisa dianggap telah belajar ketika siswa dapat menguasai
metari yang telah disampaikan oleh guru atau bisa mengulang kembali apa yang telah mereka dapat dari hasil membaca atau apa yang telah disampaikan oleh guru. Secara institusional, belajar dipandang sebagai proses validasi terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah siswa pelajari. Bukti institusional yang menunjukkan siswa telah belajar dapat diketahui dalam hubungannya dengan proses mengajar. Ukurannya yaitu, semakin baik mutu dalam mengajar yang dilakukan oleh guru akan semakin baik pula mutu yang diperoleh siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai dalam suatu evaluasi dari sebuah proses pembelajaran tersebut. Pengertian belajar secara kualitatif adalah proses memperoleh arti-arti atau pemahaman serta cara menafsirkan dunia di sekeliling siswa, belajar dalam pengertian ini difokuskan pada pencapaian bagaimana daya pikir siswa atau tindakan yang berkualitas dalam memecahkan suatu masalah yang akan dihadapi saat ini maupun nanti.
Belajar adalah sebuah proses yang kompleks di dalamnya terkandung beberapa aspek. Aspek – aspek tersebut adalah Siregar & Nara (2011)
a. Bertambahnya ilmu pengetahuan
b. Adanya kemampuan mengingat dan mereproduksi c. Adanya penerapan pengetahuan
d. Menyimpulkan makna
e. Menafsirkan dan mengaitkannya dengan realitas dan f. Adanya perubahan sebagai pribadi.
Proses belajar siswa juga mempunyai tiga episode atau fase, yaitu penerimaan informasi, perubahan materi dan penilaian materi. Proses pembelajaran siswa tidak selamanya akan berjalan dengan mulus dan baik. Sering kali dalam proses belajar, seorang siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Kesulitan-kesulitan tersebut sering disebut “Learning Disability” yang mempunyai arti ketidakmampuan belajar. Kesulitan belajar identik dengan kesukaran siswa dalam menerima atau menyerap suatu pelajaran di sekolah. Kesulitan yang terjadi ini akan berdampak pada prses belajar tidak akan berjalan secara efektif, sehingga berpengaruh terhadap hasil belajarnya itu sendiri. Proses belajar pun memerlukan faktor-faktor dalam
mempengaruhi belajar anak. faktor-faktor ersebut dibedakan menjadi dua golongan yaitu Purwanto (2013)
a. Faktor yang terdapat pada diri organisme itu sendiri yang kita sebut faktor individual.
b. Faktor yang ada pada luar individu yaitu yang kita sebut sebagai faktor sosial, yang termasuk dalam faktor individual yaitu: faktor pertumbuhan, kecerdasa, latihan, motivasi dan faktor dari pribadi itu sendiri. Sedangkan yang termasuk faktor sosial antara lain faktor keluarga atau bisa juga bagaimana keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang dipergunakan dalam belajar mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan motivasi sosial.
Penjelasan menurut psikologi dalam Syah (2012), mengatakan belajar adalah bahwa pengalaman hidup yang terjadi sehari – hari dalam bentuk apa pun sangat memungkinkan untuk diartikan sebagai belajar. Kenapa alasannya sampai batas tertentu pengalaman hidup juga berpengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian suatu makhluk hidup yang bersangkutan (Syah, 2012)
Bertolak dari beberapa definisi yang telah dibahas di atas, secara umum pengertian belajar dapat diartikan sebagai proses atau usaha yang dilakukan oleh setiap inividu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku baik dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, maupun sikap dan nilai yang positif sebagai sebuah pengalaman untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan ajar yang telah dipelajari.
2. 4. Fungsi Motivasi Belajar Matematika
Menurut Nasution (2004) motivasi mempunyai tiga fungsinya yaitu: 1. Mendorong manusia untuk berbuat
Dalam hal ini motivasi yang ada bisa mendorong para peserta didik untuk melaksanakan aktifitas pembelajaran matematika.
2. Menentukan arah perbuatan
Yaitu kearah tujuan kehendak yang dicapai. Misalnya peserta didik mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh guru agar bisa membantu nilai matematika khusus bagi anak yang kurang aktif ketika pembelajaran dikelas.
3. Menyeleksi perbuatan
Yaitu menentukan perbuatan apa yang harus dijalankan agar serasi guna mencapai tujuan yang maksimal, menyampingkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan itu.
Selain menurut Nasution motivasi mempunyai fungsi menurut Hamalik (2000) yaitu sebagai berikut :
1. Mendorong timbulnya suatu perbuatan atau sikap. Tanpa motivasi tidak akan timbul perbuatan seperti belajar.
2. Sebagai pengarah atau arahan, artinya mengarah perbuatan kepada pencapaian tujuan yang diinginkan.
3. Sebagai penggerak, memiliki arti menggerakkan tingkah laku seseorang baik dalam perbuatan maupun dalam ucapan. Kuat lemahnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan seseorang.
Berbagai fungsi motivasi dalam sebuah proses pembelajaran sangatlah penting, karena motivasi dapat mendorong siswa dalam melakukan aktivitas-aktivitas tertentu yang berhubungan dengan kegiatan belajar dan pembelajaarn yang terjadi. Motivasi yang ada dalam diri siswa dapat memberikan semangat kepada siswa untuk melakukan kegiatan belajar matematika dan memberikan solusi. Berdasarkan pernyataan tersebut, harus dilakukan suatu upaya agar siswa memiliki motivasi belajar matematika yang tinggi. Dengan demikian siswa yang bersangkutan dapat mencapai hasil yang optimal dalam belajar.
2. 5. Jenis-jenis Motivasi Belajar Matematika
Motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik Uno (2008), berikut penjelasan mengenai motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik:
2.5.1. Motivasi Intrinsik
Konsep motivasi intrinsik yaitu mengidentifikasikan tingkah laku seseorang yang merasa senang terhadap sesuatu, apabila ia menyenangi kegiatan itu ia akan termotivasi untuk melakukan kegiatan tersebut. Jika seseorang menghadapi tantangan dan ia merasa yakin bahwa dirinya mampu biasanya orang
tersebut akan mencoba untuk melakukan tantangan tersebut hingga ia mencapai apa yang ia inginkan.
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari diri individu itu sendiri tanpa adanya ransangan dari luar. Faktor-faktor yang berasal dari diri individu tanpa adanya rangsangan dari luar yaitu: 1) faktor kebutuhan, 2) persepsi individu mengenai diri sendiri, 3) harga diri dan prestasi, 4) adanya keinginan dan cita-cita untuk masa depan, 5) adanya hasrat untuk berhasil, 6) keinginan untuk kemajuan dirinya sendiri, dan 7) kepuasan kinerja Majid (2013).
2.5.2. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang terdapat dari luar diri individu (Siregar & Nara, 2011). Faktor-faktor motivasi yang berasal dari luar diri individu yaitu: 1) pemberian hadiah, 2) kompetisi, 3), hukuman, 4) pujian, 5) situasi lingkungan, dan 6) sistem imbalan yang diberikan Majid (2013)
Motivasi intrinsik dalam kenyataanya memiliki daya tahan yang lebih kuat dibandingan motivasi ektrinsik. Hal ini disebabkan karena faktor motivasi ekstrinsik yang mudah mengakibatkan daya motivasi individu rendah ketika faktor-faktor ekstrinsik mengecewakan seseorang diri individu.
Ada beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi belajar dalam diri individu di sekolah Sadiman , Rahardjo, Haryono, & Rahardjito (2012).
a. Memberi angka b. Hadiah
c. Saingan atau kompetisi d. Ego-envolvement e. Memberi ulangan f. Mengetahui hasil g. Pujian h. Hukuman i. Minat
2. 6. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Matematika Menurut Darsono (2000) mengemukakan faktor yang mempengaruhi motivasi belajar matematika adalah sebagai berikut:
a. Cita-cita atau Aspirasi
Cita-cita disebut juga aspirasi adalah suatu target yang ingin dicapai. Penentuan target ini tidak sama bagi semua siswa. Target ini diartikan sebagai tujuan yang ditetapkan dalam suatu kegiatan yang mengandung makna bagi setiap siswa.
b. Kemampuan belajar
Dalam belajar dibutuhkan berbagai kemampuan. Kemampuan ini meliputi berbagai aspek psikis yang terdapat dalam diri siswa, misalnya pengamatan, perhatian, ingatan, dan daya pikir.
c. Kondisi Siswa
Siswa adalah makhluk yang terdiri dari suatu psikofisik. Jadi kondisi siswa sangat factor mempengaruhi bagaimana motivasi belajar siswa disini berkaitan dengan kondisi fisik dan kondisi psikologinya.
d. Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan merupakan unsur-unsur yang datang dari luar diri siswa. Lingkungan siswa, sebagaimana juga lingkungan individu pada umumnya, ada tiga lingkungan yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
e. Unsur-unsur Dinamis dalam Belajar
Unsur dinamis dalam belajar adalah unsur-unsur yang beberapanya dalam proses belajar. Selain dari faktor di atas yang mempengaruhi adanya motivasi belajar siswa, ada beberapa ciri-ciri yang ada pada diri siswa, Sardiman (2011) mengemukakan ciri-ciir motivasi belajar yang ada pada diri siswa diantaranya adalah:
a. Tekun dalam menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak akan menyerah sebelum selesai)
b. Ulet dalam menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa) tidak perlu memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapai)
c. Menunjukkan minat terhadap macam-macam masalah d. Lebih senang bekerja mandiri
e. Cepat bosan pada tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang efektif)
f. Dapat mmepertahankan pendapaat
g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini h. Senang mencari dan memecahkan masalah
Selain faktor yang mempengaruhi motivasi di atas juga menghasilkan bagaimana ciri-ciri yang terdapat pada diri siswa dan menghasilkan indikator yang berperan penting dalam motivasi belajar siswa karena motivasi belajar adalah suatu daya, dorongan atau kekuatan, baik yang datang dari diri sendiri maupun dari luar yang mendorong peserta didik untuk belajar, dan indikator motivasi belajar.
Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan Hamalik (2001). Motivasi belajarnya sendiri yaitu dapat timbul karena adanya faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan dan cita – cita Uno (2008). Sedangkan belajar adalah perubahan tingkah laku secara potensi terjadi sebagai hasil dari praktik untuk mencapai tujuan tertentu.
Jadi motivasi belajar adalah dorongan yang menggerakkan indiviu untuk bertingkahlaku demi mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini tujuan yang dimaksud adalah tujuan belajar matematika. Hakikatnya motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa yang sedang belajar untuk perubahan tingkah laku, pada umunya indikator motivasi belajar dapat diklasifikasikan sebagai berikut Uno (2008).
a. Adanya hasrat dan keinginan untuk berhasil; b. Adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar; c. Adanya harapan dan cita – cita masa depan; d. Adanya penghargaan dalam belajar;
e. Adanya lingkungan belajar yang kondusif sehingga memungkinkan seorang siswa dapat belajar dengan baik;
2. 7. Tinjauan Hasil Penelitian Yang Relevan
Setelah melihat dan mencari berbagai skripsi serta jurnal yang ada, peneliti menemukan beberapa skripsi serta jurnal yang memiliki kesamaan di salah satu variabelnya, diantarnya:
a. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu, Hernawati, Rakhmawati (2008), di Ciawi Kabupaten Tasikmalaya dengan judul “Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua (Parenting Style) dengan Kesehatan Remaja di Ciawi Kabupaten Tasikmalaya”. Berdasarkan hasil penelitian yang di lakasanakan oleh Siti Yuyun Rahayu dkk, penelitian ini bertjuan untuk menguji hubungan antara pola asuh orang tua dengan kesehatan mental remaja di Ciawi Kabupaten Tasikmalaya. Jenis penelitian yang digunakan bersifat korelasional dengan menggunakan analisis rank speerman. Untuk mengukur pola asuh menggunakan parental questionnaire-revised dan untuk mengukur kesehatan mental menggunkan indikator kesehatan mental secara umum dari Dwairy, penarikan sampel menggunakan teknik purposive menghasilkan sebanyak 57 pasang orang tua dan anak yang berusia remaja. Hasil penelitian ini secara umum menunjukkan tidak terdapat hubungan antara parenting style (pola asuh orang tua) dengan kesehatan mental remaja, (rs= 0, 127), artinya makin otoriter orang tua makin rendah tingkat kesehatan mental remaja. dapat disimpulkan bahwa pola asuh secara mandiri tidak dapat diprediksi kesehatan mental remaja, namun bersamaan faktor lain saling mempengaruhi.
Dari penelitian di atas, terdapat kemiripan dengan masalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Akan tetapi, secara khusus penelitian tersebut tidak sama persis dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Oleh karena itu, berikut ini merupakan pemaparannya. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Yuyun Rahayu dkk, memilki kesamaan dengan peneliti yaitu variabel X nya Pola Asuh Orang Tua akan tetapi terdapat perbedaan yakni di variabel Y penulis menggunakan Motivasi Belajar Matematika Siswa, selain itu dari isi materi, dan lokasi pun berbeda.
b. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryani (2012) di Universitas Jambi, dengan judul “Meningkatkan Motivasi belajar Matematika Serta Pemahaman Barisan dan Deret Bagi Siswa Kelas XI Program Keahlian Gambar dan
Survey Pemetaan Melalui Teknik Mengajar Jigsau di SMKN 3 Kota Jambi”. Penelitian tersebeut merupakan jurnal nasional. Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas atau bisa disebut PTK, penelitian tesebut dilakukan dalam 3 siklus, setiap siklus terdiri dari: perencanaan, pelaksanaan, observasi dan evaluasi serta refleksi. Sedangkan teknik mengajar yang digunakan adalah metode jigsaw pada materi Barisan dan Deret. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan motivasi belajar siswa sebesar 21, 36%. Skor hasil uji kompetensi menunjukkan adanya peningkatan sebesar 13, 3%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknik jigsaw dapat meningkatkan motivasi belajar siswa pada pembelajaran matematika serta pemahaman Baris dan Deret bagi siswa kelas XI program Keahlian Gambar Bangun dan Survai Pemetaan di SMKN 3 Kota Jambi Semester 2 Tahun 2011.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Fitri Haryani terdapat kemiripan masalah peneliti yang akan dilakukan oleh peneliti. Akan tetapi, secara khusus peneliti tersebut tidak sama persis dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Oleh karena itu, berikut ini merupakan pemaparannya. Penelitian yang dilakukan oleh Fitri Haryani memiliki kesamaan di salah satu variabelnya yaitu Motivasi Belajar Matematika akan tetapi terdapat perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh Fitri Haryani dengan peneliti di variable X peneliti menggunakan Pola Asuh Orang Tua, selain itu dari isi materi, metode serta lokasi penelitian.
c. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sonita (2013) di Universitar Negeri Padang, dengan judul “Hubungan antara Pola Asung Orang Tua dengan Disiplin Siswa di Sekolah”. Penelitian tersebut merupakan jurnal nasional. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif korelasional dengan temuan bahwa pola asuh orang tua yang dominan dirasakan oleh siswa yang diterapkan orang tua adalah pola asuh outhoritative, siswa SMPN 12 Padang menunjukkan hubungan antara pola asuh orang tua dengan disiplin siswa di sekolah di mana hasil (r = 0, 071) dengan nilai sig 0, 428 dan nilai sig>0, 05, berdasarkan keofisien korelasi tersebut dapat ditafsirkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan disiplin siswa di sekolah.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Sera Sonita terdapat kemiripan maslah penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Akan tetapi secara khusus penelitian tersebut tidak lah sama persis dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Oleh karena itu, berikut ini merupakan pemaparannya. Penelitian yang dilakukan oleh Sera Sonita memiliki kesamaan dengan peneliti yaitu divariabel X nya Pola Asuh Orang Tua akan tetapi terdapat perbedaan yaitu divariabel Y peneliti menggunakan Motivasi Belajar Matematika Siswa, selain itu dari isi materi, lokasi serta sampel yang digunakan pun berbeda.
d. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Miftahuddin dan Suyoto (2014), jurusan manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Purwokerto dengan skirpsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Keterlibatan Anak dalam Keputusan Pembelian Gedget (studi kasus pelajar SMP di Kota Purwokerto). Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 69 orang. Untuk menjawab hipotesis yang diajukan, digunakan analisis regresi, dan (analisys of variance) ANOVA. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pola asuh orang tua tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keterlibatan anak dalam pembelian gadget. Disisi lain, diketahui pola asuh orang tua berpengaruh terhadap strategi yang digunakan oleh anak dalam upaya mempengaruhi keputusan pembelian. Selanjutya diindikasikan pula antara pelajaran laki-laki dan pelajar perempuan tidak terdapat perbedaan dalam menerapkan strategi untuk mempengaruhi keputusan tersebut.
Dari penelitian yang dilakukan oleh M. Agung Miftahuddin dan Suyoto terdapat kemiripan masalah penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Akan tetapi secara khusus penelitian tersebut tidak sama persis dengan apa yang akan dilakukan oleh peneliti. Oleh karna itu, berikut pemaparannya. Penelitian yang dilakukan oleh M. Agung Muftahuddin dan Suyoto memiliki ke samaan di salah satu variabelnya yaitu variabel X yaiti Pola Asung Orang Tua diamana terdapat di variabel X peneliti juga. Dengan demikian terdapat perbedaan di variabel Y nya peneliti menggunakan Motivasi belajar Matematika selain perbedaan di variabel X nya terdapat perbedaan di isi materi, jumlah sampel yang digunakan serta lokasi penelitiannya pun berbeda.
e. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sanusi (2016) jurusan matematika, Fakultas Tarbyah dan Keguruan IAIN Syekh Nurjati Cirebon. dengan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Penggunaan Metode Permainan Matematika terhadap Motivasi Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMPN 1 Mundu Kabupaten Cirebon Pokok Bahasan Bangun Ruang”. Hasil penelitian yang diperoleh diketahui bahwa penggunaan metode permainan matematika termasuk dalam kategori lbaik dengan skor rata – rata sebesar 76, 4%, dan motivasi belajar sebelum (pre-test) kategri baik dengan skor rata – rata sebesar 74, 32% dan motivasi belajar matematika siswa sesudah (pos-test) kategori baik dengan skor rata – rata sebesar 78, 90%. Hal ini menunjukkan nilai t sebesar 101, 293 dengan signifikan 0, 000. Dengan nilai signifikan yang lebih kecil dari 0, 05 berarti hipotesis penelitian diterima.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Uci Sanusi terdapat kemiripin masalah penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti. Akan tetapi secara khusus penelitian tersebut tidak sama persis dengan apa yang akan dilakukan oleh peneliti. Oleh karena itu, berikut merupakan pemaparannya. Penelitian yang dilakukan oleh Uci Sanusi memiliki kesamaan di salah satu variabelnya yaitu Motivasi belajar yang terdapat di variabel Y di peneliti akan tetapi terdapat perbedaan di variabel X nya peneliti menggunakan Pola Asuh Orang Tua selain itu terdapat perbedaan di isi materi, lokasi, teknik pengambilan data, sampel dan jumlah sampel yang digunakan.
f. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ja’far (2016) jurusan matematika, Fakultas Tarbyah dan Keguruan IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Dengan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Hasil tes Formatif Matematika Terhadap Motivasi Belajar Siswa di Kelas VIII SMPN 2 Gunung Jati”. Berdaasarkan pengolahan data menggunakan program SPSS 16. 0 diperoleh nilai korelasi sebesar 0. 013 dan nilai regresi dengan df 66 diperoleh ttabel sebesar 1, 996. Sedangkan uji hiptesis diperoleh bahwa thitung = 2, 563 karena –thitung < ttabel yaitu 2, 563 < -1, 996 sehingga kesimpulannya bahwa hipotesis diterima. Artinya terdapat pengaruh positif hasil tes formatif matematika (X) terhaap motifasi belajar (Y). Berdasarkan kefisien determinasi diperoleh nilai (R squer) sebesar 0, 091 atau
9, 1%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil tes formatif matematika memberikan kontribusi sebesar 9, 1% terhadap motivasi belajar siswa.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Ja’far terdapat kemiripan masalah penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Akan tetapi secara khusus penelitian tersebut tidak sama persis dengan apa yang akan dilakukan oleh peneliti. Oleh karena itu berikut pemaparannya. Penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Ja’far memiliki kesamaan dengan peneliti di salah satu variablnya yaitu Motivasi belajar Matematika yang terdpaat di variabel Y di peneliti, tetapi terdaat perbedaan di varibel X di mana peneliti menggunakan Pola Asuh OrangTua, selain itu juga terdapat perbedaan di isi materi, metode, serta lokasi penelitian.
Dari keenam penelitian yang relevan di atas dapat di ihat lebih jelas pada Tabel II-5 berikut.
Tabel II-5
Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian yang Relevam
No A B C D E F G H I J K L M N 1 Siti Yuyun Rahayu, dkk. (2008) √ √ √ 2 Fitri Haryani (2012) √ √ √ √ 3 Sera Sonita (2013) √ √ √ 4 M. Agung Miftahuddin dan Suyoto (2014) √ √ √ √ 5 Mohammad Ja’far (2016) √ √ √ 6 Uci Sanusi (2016) √ √ √ 7 Reni Hawa Susilawati (2018) √ √ √ Keterangan
A= Hubungan H= Kesehatan Remaja
B= Analisis I= Barisan dan deret
D= Meningkatkan K= keterlibatan anak dalam pembelian gedjet
E= Pemahaman L= metode Permainan Anak
F= Pola Asuh Orangtua M= Hasil Tes Formatif
G= Motivasi Belajar Matematika N= Teknik Mengajar Jigsaw
2. 8. Kerangka Pemikiran
Pola asuh merupakan suatu cara orang tua dalam mendidik anak dengan menunjukkan keteladanan yang nyata. Disaat orang tua memberikan contoh baik dalam berperilaku dan berbicara, anak akan mengikuti hal yang sama sesuai dengan apa yang orang tuanya lakukan, contohnya jika orang tua sering bertengkar di depan anak, anak akan menjadi pribadi yang kasar dan bertempramen buruk. Terdapat empat bentuk pola asuh yaitu, authoritative, authoritarian, permisif, dan acuh tak acuh, dari ke empat pola asuh tersebut terdapat pola asuh yang ideal untuk diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya yaitu pola asuh authoritative yang dapat menjadikan anak semakin termotivasi dan berprestasi dalam pembelajaran di sekolah. Kenyatannya tidak semua orang tua bisa menciptakan lingkungan keluarga dengan pola asuh aothoritative terutama mayoritas dari pekerjaan orang tua murid di MTs PUI Cikaso yaitu buruh yang mengharuskan orang tua berangkat pagi pulang sore, ada pula siswa yang tidak tinggal dengan orang tuanya dikarenakan orang tua yang bekerja di luar kota, sehingga mengakibatkan kurangnya perhatian dan pengawasan orang tua dalam proses belajar anak.
Motivasi yang baik akan berakibat pada keberhasilan anak dalam hasil belajar. Pola asuh orang tua bukanlah faktor penentu dari keberhasilan anak dalam belajar, motivasi belajar anak juga merupakan faktor pendukungnya. Semakin tinggi motivasi belajar anak anak akan semakin rajin dan tekun dalam mengerjakan tugas akan tetapi apabila seorang anak kurang termotivasi dalam belajar anak tersebut cenderung malas dalam belajar terutama jika bertemu dengan soal yang menurut anak tersebut susah terutama pada pembelajaran matematika.
Matematika adalah pelajaran yang sangat tidak di sukai oleh kebanyakan anak di sekolah dengan alasan banyaknya rumus yang harus di hafal, dan terkadang soal latihan cenderung tidak sesuai dengan soal yang di contohkan oleh guru. Hal itulah yang membuat anak semakin enggan dengan pelajaran matematika, dengan motivasi yang tinggi anak tidak mudah goyah dan putus asa untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Berdasarkan uraian di atas bahwa jika pola asuh yang baik diberikan oleh orang tua dan anak memiliki motivasi belajar yang tinggi. Hal tersebut akan membantu siswa dalam mencapai keberhasilan dalam belajar, terutama dalam pembelajaran matematika, dapat di lihat pada Gambar II-1
Gambar II-1 Kerangka Berpikir Dapat
mempengaruhi
Dengan Ciri-ciri Tekun dalam proses
pembelajaran, tidak mudah goyah dan putus asa.
Penerapan Pola Asuh Orang Tua dalam Mendidik Anak