• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH USHUL FIQH SADDU AL-DZARI AH SEBAGAI SALAH SATU PIRANTI IJTIHAD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH USHUL FIQH SADDU AL-DZARI AH SEBAGAI SALAH SATU PIRANTI IJTIHAD"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH USHUL FIQH

“SADDU AL-DZARI’AH SEBAGAI SALAH SATU PIRANTI IJTIHAD”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh Dosen Pengampu: Dr. Jaja Nurjanah, M.A

Disusun oleh: Kelompok 3

Muhammad Fajar 2007035073

Novi Rohmatul Uyuni 2007035078

Siti Aisyah 2007035061

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA 2021

(2)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Saddu Al-Dzari’ah Sebagai Salah Satu Piranti Ijtihad ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Pak Jaja Nurjanah pada mata kuliah Ushul Fiqh. Disamping itu, dibuatnya makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai Saddu Al-Dzari’ah dalam memahami ilmu agama khususnya pada bab dalam menentukan hukum Islam, bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Jaja Nurjanah selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqh yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dengan baik hati telah menyebarkan sebahagian pengetahuan yang dimilikinya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami sangat menyadari, makalah yang kami susun masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran yang membangun demi kemajuan makalah yang akan kami buat ke depannya.

Tangerang, 29 Maret 2021

(3)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI... ii BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 1 C. Tujuan Pembahasan ... 1 BAB II PEMBAHASAN ... 2

A. Pengertian Saddu Al-Dzari’ah ... 2

B. Kedudukan Saddu Al-Dzuri’ah ... 2

C. Tujuan Saddu Al-Dzari’ah ... 3

D. Syarat Realisasi Kaidah Saddu Al-Zari’ah ... 3

E. Ruang Lingkup Saddu Adz-Dzari’ah ... 5

F. Klasifikasi Saddu Al-Dzari’ah ... 5

G. Pandangan Ulama Mengenai Saddu Al-Dzari’ah Serta Ikhtilaf Tentangnya... 7

H. Titik Temu ... 11

BAB III PENUTUP ... 12

KESIMPULAN ... 12

(4)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya.

Bila seseorang hendak mendapatkan ilmu pengetahuan umpamanya, maka ia harus belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia mesti melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Kegiatan pokok dalam hal ini adalah belajar atau menuntut ilmu, sedangkan kegiatan lain itu disebut perantara, jalan, atau

pendahuluan.

Kemudian perumpamaan lainnya, sebelum melakukan zina, ada hal-hal yang mendahuluinya, seperti rangsangan yang mendorong berbuat zina dan penyediaan kesempatan untuk melakukan zina itu. Dalam hal ini, zina disebut perbuatan pokok yang dituju, sedangkan hal-hal yang

mendahuluinya disebut perantara atau pendahuluan.1 B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari Saddu Al-Dzari’ah?

2. Apa saja syarat yang harus dipenuhi dalam mengaplikasikan Saddu Al-Dzari’ah?

3. Apa saja klasifikasi dari Saddu Al-Dzariah?

4. Bagaimana pendapat ulama terhadap Saddu Al-Dzari’ah? 5. Apa kesimpulan dari pembahasan Saddu Al-Dzari’ah?

C. Tujuan Pembahasan

Tujuan dari penyususnan makalah ini ialah: 1. Mengetahui definisi dari Saddu Al-Dzari’ah

2. Memahami fungsi serta tujuan dari Saddu Al-Dzari’ah 3. Mengetahui pendapat ulama mengenai Saddu Al-Dzari’ah

(5)

2

4. Mengetahui kesimpulan tentang Saddu Al-Dzari’ah dengan pemahaman yang lebih mudah dimengerti.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Saddu Al-Dzari’ah

Secara lughowi (Bahasa), al-Dzari’ah itu berarti:

“Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara bissi atau ma’nawi, baik atau buruk.”

Arti lughowi ini mengandung konotasi yang netral tanpa memmberikan penilaian kepada hasil perbuatan. Pengertian netral inilah yang diangkat oleh Ibnu Qayyim ke dalam rumusan definisi tentang dzari’ah, yaitu: “Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu.”

Selanjutnya Badran memberikan definisi yang tidak netral terhadap dzari’ah itu sebagai berikut:

“Apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang mengandung kerusakan.”

Untuk menempatkannya dalam bahasan sesuai dengan yang dituju, kata dzari’ah itu didahului dengan saddu yang artinya “menutup”; maksudnya adalah “menutup jalan terjadinya kerusakan.”2

B. Kedudukan Saddu Al-Dzuri’ah

Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa mesipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah (perantara) bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum washilah itu adalah

sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok. Masalah ini menjadi perhatian ulama karena banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan ke arah itu, misalnya:

2 Ibid hlm. 424.

(6)

3

a. Q.S. Al-An’am (6): 108 yang terjemahannya ialah:

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.”

Ssebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghina itu menjadi dilarang.

b. Q.S. An-Nur (24): 31 yang artinya:

“Janganlah perempuan itu mengentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi di dalamnya.”

Sebenarnya menghentakkan kaki itu boleh-boleh saja bagi perempuan, namun karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.

Dari dua contoh ayat di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun semula pada

dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya. C. Tujuan Saddu Al-Dzari’ah

Saddu Adz-Dzari'ah memiliki tujuan utama dalam mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan mafsadah (kerusakan). Penggunaan terhadap mafsadah dilakukan karena ia bersifat terlarang. D. Syarat Realisasi Kaidah Saddu Al-Zari’ah

Sadd al-dzarî`ah sebagai salah satu piranti ijtihad memiliki sumbangsih yang sangat besar dalam perkembangan fikih Islam. Meski demikian, sadd al-dzarî`ah tidak dapat diterapkan dengan hanya bersandar pada hawa nafsu. Ada standar dan batasan-batasan yang harus diperhatikan sehingga piranti tersebut tetap sejalan dengan tujuan dasar diturunkannya hukum syariah. Setidaknya ada lima poin yang dianggap sebagai standar atau syarat realisasi sadd dzarî`ah, yaitu:

1. Mafsadah yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan dengan maslahat yang didapatkan.

(7)

4

Karena jika tidak, maka akan membawa umat pada kerugian dan kehancuran. Namun jika mafsadah yang ditimbulkan lebih rendah dari maslahat yang mungkin dihasilkan, maka tidak boleh menggunakan kaidah sadd al-dzarî`ah. Jika mafsadah dan maslahat berada pada satu tingkatan, maka dzarî`ah dapat ditutup atau dibuka sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

2. Tidak bertentangan dengan maqâshid syariah.

Syariah Islam datang dengan membawa maslahat bagi umat manusia. Jika dikaji lebih mendalam mengenai tujuan dasar diturunkannya hukum syariat, maka akan diketahui bahwa segala perintah Allah selalu membawa maslahat bagi umat manusia, sementara semua larangan-Nya demi menjaga umat manusia agar tidak jatuh pada kerusakan dan kebinasaan. Penerapan sadd al-dzarî`ah tidak boleh keluar dari tujuan dasar diturunkannya syariah. Jika tidak, justru akan membawa madharat bagi umat manusia.

3. Tidak bertentangan dengan prinsip dasar dan kaidah umum syariah. Syariat sebagai hukum Allah memiliki prinsip-prinsip dasar yang bermuara pada maslahat bagi umat manusia. Prinsip dasar tersebut di antaranya bersifat universal, moderat dan adil. Syariah Islam akan selalu sesuai dengan ruang dan waktu. Penerapan sadd al-dzarî`ah harus selalu mengacu pada prinsip dan kaidah umum ini agar tidak terjadi ketimpangan dalam masyarakat. Yang dimaksudkan dengan kaidah umum adalah kaidah fiqhiyyah kulliyyah, yatu konsepsi universal yang dapat dijadikan sebagi acuan untuk mengetahui persoalan yang bersifat partikular.

4. Tidak menggugurkan hak yang telah ditetapkan syariah.

Hak dalam Islam merupakan anugerah Tuhan yang dapat diketahui melalui berbagai sumber hukum yang mengacu pada nas syariah. Dengan demikian, hak secara syariah hanya dapat diketahui melalui dalil. Meski demikian, Islam tetap memberikan batasan-batasan tertentu terhadap individu dalam menggunakan hak yang dimilikinya. Batasan tersebut berkisar seputar maslahat dan mafsadah yang akan ditimbulkan pada masyarakat sekitar. Tidak diperkenankan

menggunakan hak, jika dapat berakibat pada timbulnya madharat pada orang lain. Maka, tidak ada hak mutlak dalam Islam. Hak sendiri masih dibagi mejadi tiga; hak manusia dengan Tuhan, hak manusia dengan sesama manusia dan hak yang mengandung hak Tuhan dan manusia sekaligus. Hak tersebut harus selalu dijaga sehingga tidak

(8)

5

diperkenankan menerapkan kaidah sadd al-dzarî`ah yang kiranya dapat menggugurkan berbagai hak di atas.

5. Ketetapan hukum pada sarana tersebut tidak menjurus pada keterbelakangan dan kemunduran umat.

Efektifitas suatu hukum dalam upaya membangun suatu tatanan

masyarakat sangat berkaitan erat dengan sarana yang digunakan. Suatu sarana dibolehkan jika menjurus pada tujuan yang dapat membawa mashahat, dan dilarang jika berdampak pada mafsadah. Jika seorang mujtahid sudah mengetahui secara pasti mengenai maslahat yang akan ditimbulkan, maka ia sudah dapat memberikan ketetapan hukum pada sarana yang akan digunakan. Jika suatu perbuatan tidak mengandung nilai maslahat, atau dapat menggugurkan maslahat lain yang lebih penting atau dapat berakibat pada madharat yang lebih besar, maka seorang mujtahid harus melarang sarana yang akan digunakan. Secara sederhana, sadd al-dzarî`ah tidak dapat diterapkan jika berdampak pada kemunduran dan keterbelakangan umat Islam.3

E. Ruang Lingkup Saddu Adz-Dzari’ah

Cakupan Saddu Adz-Dzariah bersifat universal dan sangat luas. Apapun yang bepotensi mendatangkan kerusakan, maka itu sudah termasuk ke dalam ruang lingkup Saddu Adz-Dzari’ah.

F. Klasifikasi Saddu Al-Dzari’ah

Dzari’ah dapat dikelompokkan dengan melihat kepada beberapa segi: 1. Dengan memandang kepada akibat (dampak) yang ditimbulkannya,

Ibnu Qayyim membagi dzari’ah menjadi empat, yaitu:

a. Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.

b. Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak, baik dengan sengaja seperti nikah muhalil, atau tidak sengaja seperti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun karena dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh hukumnya.

c. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan

3 Lebih lengkapnya lihat, Eli Warti Maliki, op. cit., hal. 122-128. Lihat juga, Prof. Dr. Zainul `Abidin

(9)

6

yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya, seperti berhiasnya seorang perempuan yang baru kehilangan suaminya dalam masa ‘iddah. Berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baruu saja suaminya meninggal dan masih dalam masa ‘iddah keadaannya menjadi lain.

d. Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.

2. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syatibi membagi dzari’ah kepada 4 macam, yaitu:

a. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, apabila perbuatan dzari’ah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya menggali lubang di tanah sendiri dekat pintu rumah seseorang di waktu gelap, dan setiap orang yang keluar dari rumah itu pasti akan terjatuh ke dalam lubang tersebut. Sebenarnya menggali lubang itu boleh-boleh saja. Namun penggalian yang dilakukan dalam kondisi yang seperti itu akan mendatangkan kerusakan.

b. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan yang dilarang. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik pengolah minuman keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya. Menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mmesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras; namun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk diolah menjadi minuman keras.

c. Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakannya. Hal ini berarti bila dzari’ah itu tidak

dihindarkan sering kali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan terlarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya sering dijadikan sarana untuk riba.

d. Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang dilalui orang. Menurut kebiasaannya tidak ada orang yang

(10)

7

berlalu (lewat) di tempat itu yang akan terjatuh ke dalam lubang. Namun tidak menutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lubang.

G. Pandangan Ulama Mengenai Saddu Al-Dzari’ah Serta Ikhtilaf Tentangnya Tidak semua ulama sepakat dengan saddu dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu pertama yang menerima sepenuhnya, kedua yang tidak menerima sepenuhnya, ketiga yang menolak sepenuhnya.4

Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam Qur’an Surah Al-An’am: 108 yang artinya berbunyi:

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.”

Para ulama di kalangan Mazhab Maliki misalnya, bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H) misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam al Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqat. Imam Al qurt}ubi juga mengatakan bahwa: “berpegang kepada sadd dzarai’ dan menerapkannya adalah madzhab Malik dan pengikutnya” Diantara contoh yang dipakai ulama Malikiyyah dalam aplikasi sadd Dzari’ah adalah pada perkara bai’al-ajal, juga pada jual beli makanan yang tidak ada wujudnya.

Begitupula madzhab Hambali, misalnya Ibnu Qudamah (w: 62 H) berkata: “Dzari’ah itu dipakai, sebagaimana dalil-dali yang telah kita berikan sebelumnya”. Ibnu Taimiyyah (w: 728 H) juga mengatakan bahwa “Sesungguhnya Allah SWT, menutup dzari’ah yang menuju kepada keharaman, bahwasanya Dia mngharamkannya dan melarangnya”. Ibnu-l-Qayyim (w: 751 H) juga mengatakan bahwa: “Bab Sadd Dzari’ah adalah satu dari seperempat taklif”. Al Zarkasyi (w: 772 H) juga berkata: “Dzarai’ itu diterima menurut kami pada Ushul”. Dari semua pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa ulama hana>bilah memakai sadd dzari’ah

4 Hifdhotul Munawwaroh, “Sadd Al-Dzari’at Dan Aplikasinya Pada Permasalahan Fiqih

(11)

8

sebagaimana ulama malikiyyah, terutama Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim yang memperluas pembahasannya tentang sadd Dzari’ah pada kitabnya, I’lamu Muqi’in li Ibnu Qayyim dan Majmu’ Fatawa li Ibnu Taimiyyah.5

Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasuskasus yang lain. Ulama madzhab hanafi, misalnya Ibnu Najim (w: 970 H) menuliskan kaidah fiqhiyyah pada bukunya Al Asybah wa Nadzha’ir,

لازي

ررضلا

yang mana itu merupaan ka’idah asal yang memiliki beberapa kaidah di antaranya

ء ْرَد

ساَفملا

د

َىلْوَأ

ْن م

بْلَج

ح لاَصملا

yang erat sekali kaitannya dengan sadd

dzari’ah. Contoh kasus penggunaan saddu adz-dzari’ah adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Wanita tersebut dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Karena, dengan berhias, wanita itu akan menarik perhatian lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.6

Sementara itu, Imam Syafi’i (w: 204 H) menggunakan saddu dzari’ah pada kitabnya “Al-Umm” dan menolak menggunakan (meniadakan) saddu dzari’ah pada pembahasan yang lain di kitab yang sama. Contoh kasus beliau menggunakan saddu adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun. Sementara itu, contoh kasus dimana beliau membolehkan jual beli hewan yang sedang hamil, dimana menurutnya tidak merusak akad jual beli dan dilakukan bi-l-ridha.7

Dari kedua keadaan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi’i memakai sadd dzari’ah dengan sangat hati-hati, apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan tejadi atau sekurangkurangnya kemungkinan besar (galabah al-zhan) akan terjadi. Perbedaan antara

5 Ibrahim bin mahna bin ‘Abdilahi bin Mahanna, sadd Dzarai’ ‘Inda Syaikh

Islam ibnu Taimiyyah, 66-68 & hal 70-74

6 Ibrahim bin mahna bin ‘Abdilahi bin Mahanna, sadd Dzarai’, Op.Cit, 75-78 7 Ibid hlm. 79-81

(12)

9

Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd al-dzari’ah adalah dalam masalah niat dan akad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi yang dilihat adalah akad yang disepakati oleh orang yang betransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah. Menurut mereka, selama tidak ada indikasi-indikasi yang menunjukan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:

يفربتعملا

ةينلاهللاارماوأ

و

يفربتعملا

مسلاادابعلارومأ

ظفللاو

Artinya, “Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya”.

Akan tetapi jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator yang ada, maka berlaku kaidah:

يناعملابةربعلا

ظافللأابلا

ينابملاو

Artinya, “Yang menjadi patokan dasar adalah makna/ niat, bukan lafaldan bentuk”.

Sedangkan menurut ulama malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya, maka sah. Namun apabila tidak sesuai dnegan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah. Apabila ada indikator yang menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun bila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbatannya dianggap fasid (rusak), namun tidak ada efek hukumnya.8

Selain itu, Imam Syafi’i menolak sadd dzari’ah dengan alasan bahwa dasar pemikiran saddu dzari’ah itu adalah ijtihad bil ra’yi yang tidak diterima oleh syafi’i kecuali qiyas. Alasan yang kedua adalah bahwa syari’ah ditetapkan dengan dzawahir.9

Ulama yang menolak sadd dzari’ah secara mutlak adalah Ulama Dzahiriyyah. Penolakan itusesuai dengan prinsip mereka yang hanya

8 Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan

Islam kementerian Agama, 2012), hlm. 159

9 Su’ud bin mulluh sultan al ‘anzi, Saddu Dzarai’ ‘inda-l- Imam Ibnu

(13)

10

menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.

Ibnu Hazm (w: 1064 M), bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adz-dzari’ah dalam kitabnya alIhkam fi Ushul al-ahkam. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-dzari’ah dalam pembahasan tentang alihtiyath.10 Penolakan tersebut dikarenakan beberapa alasan:

1. Hadits yang dikemukakan oleh ulama yang mengamalkan sadd dzari’ah (hadits nu’man bin basyir) itu dilemahkan dari segi sanad dan maksud artinya. Hadits itu diriwayatkan dalam banyak versi yang berbeda perawinya. Maksud hadits tersebut ialah yang menggembala didalam padang yang terlarang, sedangkan yang enggembala disekitarnya tidak dilarang. Antara menggembala didalam dan disekitar padang itu hukumnya tidak sama. Karena itu, hukumnya kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah (boleh).

2. Dasar pemikiran sadd al dzari’ah itu adalah ijtihad dengan berpatokan kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama Zahiriyyah menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu seperti itu.

3. Hukum syara’ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah dalam Al Qur’an atau dalam Sunnah dan Ijma’ ulama. Adapun yang ditetapkan diluar ketiga sumber tersebut bukanlah hukum syara’. Dalam hubungannya dengan saddu dzari’ah dalam bentuk kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya dengan nas atau ijma’, hanyalah hukum pokok atau maqas}id, sedangkan hukum pada was}ilah atau dzari’ah tidak pernah ditetapkan oleh nas atau ijma’. Oleh karena itu, cara seperti ini ditolak.11

Sesuai dengan firman Allah yang artinya:

“Janganlah kamu katakan berdasarkan ucapan lisanmu suatu kebohongan, ini halal dan ini haram, karena mengada-ada terhadap Allah dalam bentuk bohong.” Q.S. An-Nahl: 116

10 Ali bin Ahmad bin Hazm Al Andalusi, Al Ihkam fi Usuli-l-Ahkam, jilid 6, hlm. 484 11 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, hal: 406

(14)

11

Dengan argumentasi di atas, kalangan ulama Zahiriyah dengan tegas menolak sadd dzari’ah. Akan tetapi, pada dasarnya, Ibnu Hazm sendiri memakai sadd dzari’ah, beliau juga menuliskan bab pembatalan ihtiyath. Hal ini bertentangan dengan pendapat beliau pertama, beliau berkata: Bahwasanya setiap segala sesuatu yang dihukumi dengan berdasarkan tuduhan atau kehati-hatian yang belum yakin kebenaran perkaranya, atau dengan sesuatu yang ditakutkan sebagai dzari’ah kepada sesuatu yang belum ada (ragu), maka ia telah menghukumi dengan dzan (keraguan), dan apabila seseorang menghukumi sesuatu atas dasar

keraguan, maka ia telah menghukumini dengan kebohongan dan kebatilan. Dan ini tidak diperbolehkan.

Dari ungkapan beliau di atas, dapat diambil kesimpulan jika suatu perkara itu sudah yakin akan membawa mafsadah, maka diperbolehkan hukumnya mengambil dzari’ah tersebut, hal ini sesuai dengan perkara jual beli barang yang akan dipakai untuk maksiat. Ibnu hazm menghukuminya dengan “haram” karena akan membawa mafsadah yang pasti, yaitu

dipergunakannya barang tersebut untuk kemaksiatan. Untuk itu, dapat diambil kesimpulan bahwa Ibnu hazm sendiri tidak mengingkari sadd dzari’ah secara mutlak, akan tetapi beliau sangat berhati-hati dalam mengaplikasikannya.12

H. Titik Temu

Pada umumnya semua ulama menerima metode sadd adzdzari’ah, Hanya saja penerapannya yang berbeda. Perbedaan tentang ukuran kualifikasi dzari’ah yang akan menimbulkan kerusakan dan yang dilarang.

Dzari’ah yang dimaksudkan sebagai dalil syara adalah dzari’ah yang tidak disinggung oleh nash tetapi mengarah kepada hukum yang dimaksud. Misalnya, tidakan-tindakan yang dapat merangsang bangkitnya syahwat, merupakan dzari’ah terhadap perbuatan zina.

Tetapi dalam hal ini tidak ada nash yang melarangnya. Meskipun demikian, karena mengarah kepada hukum yang dilarang, maka larangan yang berlaku pada yang dituju (zina) dapat diterapkan di sini didasarkan pada dalil sadd al- dzarî`ah.13

12 Ja’far bin Abdurrahman Qasas, Qaidatu saddu Dzarai’ wa atsaruha al

fiqhiyyu, hlm. 22

(15)

12

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

Secara bahasa adz-dzari’ah ialah suatu jalan, perantara, media, atau jembatan menuju perbuatan pokok yang ingin dilakukan. Pengertian adz-dzariah dalam segi bahasa juga mendapat dua pengertian yang bersifat netral dan kritis.

Saddu Adz-Dzari’ah juga memiliki kedudukan yang cukup signifikan dalam melakukan ijtihad terhadap suatu hukum, bahkan beberapa ulama

mengkategorikannya sebagai proses dalam hukum syara’ meskipun tidak terdapat dalil atau nash yang secara mendetail menganjurkan dilakukannya hal itu.

Tujuan Saddu Adz-Dzariah juga memiliki peran penting, yang mana dapat mencegah kemaksiatan, kemungkaran, ataupun hal merusak lainnya. Baik bagi diri sendiri, maupun orang lain.

Dalam merealisasikan Saddu Adz-Dzarah juga terdapat beberapa syarat yang perlu dipenuhi. Selain itu, ruang lingkup yang dimiliki oleh adz-dzari’ah cukup luas.

Klasifikasi Saddu Adz-Dzariah dibagi menjadi dua kelompok: dilihat dari segi dampak yang ditimbulkannya (pelakunya) dan dilihat dari segi kerusakan yang timbul.

Para jumhur ulama berbeda pendapat mengenai haruskah dilakukannya Adz-Dzari’ah ini, tetapi pada akhirnya tidak ada nash yang melarang akan

dilakukannya adz-dzari’ah dan pada dasarnya segala sesuatu itu dibolehkan, kecuali Allah telah menurunkan larangan atasnya atau sesuatu yang boleh dilakukan, namun melampaui batas dalam mencapainya. Memakan buah durian misalnya, boleh. Namun akan terlarang apabila dimakan secara berlebihan, apalagi jika berpotensi menyebabkan kematian.

(16)

13

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 2014. Jakarta: Departemen Agama RI.

Munawwaroh, Hifdhotul. “Sadd Al-Dzari’at Dan Aplikasinya Pada Permasalahan Fiqih Kontemporer.” Ijtihad: Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam 12, no. 1 (2018): 63–84.

Syarifudin, P.D.H.A. Ushul Fiqih Jilid II. Ushul Fiqih. Logos Wacana Ilmu, 2014. https://books.google.co.id/books?id=uI9ADwAAQBAJ.

Ja’far bin Abdurrahman Qasas, Qaidatu saddu Dzarai’ wa atsaruha al-fiqhiyyu

Ali bin Ahmad bin Hazm Al Andalusi, Al Ihkam fi Usuli-l-Ahkam, jilid 6

Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam kementerian Agama, 2012)

Su’ud bin mulluh sultan al ‘anzi, Saddu Dzarai’ ‘inda-l- Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah,

wa atsaruhu fi ikhtiyaratihi alfiqhiyyahh

Ibrahim bin mahna bin ‘Abdilahi bin Mahanna, sadd Dzarai’ ‘Inda Syaikh Islam ibnu

Referensi

Dokumen terkait