• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ushul Fiqh dan Tipologi Penelitian Hukum Islam. Sadari INISA Shalahuddin Al-Ayyubi Bekasi-Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ushul Fiqh dan Tipologi Penelitian Hukum Islam. Sadari INISA Shalahuddin Al-Ayyubi Bekasi-Indonesia"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Ushul Fiqh dan Tipologi Penelitian Hukum Islam

Sadari

suff_asect@yahoo.com

INISA Shalahuddin Al-Ayyubi Bekasi-Indonesia

Abstract

This article integrates between the sacred text (nash) and reality (al-waqi '), as the most important form in understanding Islamic law. The text in the perspective asy-Syatibi has three ways of reading namely qira'ah salafiyyah, qira'ah ta'wiliyyah and qira'ah maqashidiyyah, which serves to search for maslahah. The concept of maslahah has three conditions that is indicated by the syara' argument for acceptance, indicated by the syara' argument to be rejected and shown by specific propositions for acceptance or rejection. Then on the third condition is processed again into two first, related maslahah which is not shown by a specific proposition justifying or canceling, but there is a nass that is in line with the maslahah, second, related maslahah not shown by certain propositions that cancel or justify, but maslahah is in line with the action syara', this is known as maslahah mursalah, which offers the momentum of law as a breakthrough discipline in understanding social phenomena, as the opening of the ijtihad door horizon. Through the science of ushul fiqh sourced from the as-Qur'an and as-Sunnah would certainly be able to answer the problematics throughout the ages. The strength of the methodology of ushul fiqh (qawaid ushuliyah) and the methodology of fiqh understanding (qawaid al-fiqhiyyah) will be the driving force in building Islamic self-image especially for the Indonesian nation. The new spirit of ushul fiqh methodologically and philosophically comprehensive becomes a necessity.

Keyword : Ushul Fiqh, Research Tipology and Islamic Law

Abstrak

Artikel ini mengintegrasikan antara teks suci (nash) dan kenyataan (al-waqi '), sebagai bentuk paling penting dalam memahami hukum Islam. Teks dalam perspektif asy-Syatibi memiliki tiga cara membaca yaitu qira'ah salafiyyah, qira'ah ta'wiliyyah dan qira'ah maqashidiyyah, yang berfungsi untuk mencari maslahah. Konsep maslahah memiliki tiga kondisi yang ditunjukkan oleh argumen syara 'untuk penerimaan, ditunjukkan oleh argumen syara' untuk ditolak dan ditunjukkan oleh proposisi khusus untuk penerimaan atau penolakan. Kemudian pada kondisi ketiga diproses lagi menjadi dua pertama, terkait maslahah yang tidak ditunjukkan oleh proposisi tertentu yang membenarkan atau membatalkan, tetapi ada nass yang sejalan dengan maslahah, kedua, terkait maslahah yang tidak ditunjukkan oleh proposisi tertentu yang membatalkan atau membenarkan, tetapi maslahah sejalan dengan aksi syara ', ini dikenal sebagai maslahah mursalah, yang menawarkan momentum hukum sebagai terobosan disiplin dalam memahami fenomena sosial, sebagai pembukaan cakrawala pintu ijtihad. Melalui ilmu ushul fiqh yang bersumber dari as-Qur'an dan as-Sunnah tentu akan mampu menjawab problematika sepanjang zaman. Kekuatan metodologi ushul fiqh (qawaid ushuliyah) dan metodologi

(2)

pemahaman fiqh (qawaid al-fiqhiyyah) akan menjadi kekuatan pendorong dalam membangun citra diri Islam khususnya untuk bangsa Indonesia. Semangat baru ushul fiqh yang komprehensif secara metodologi dan filosofis menjadi suatu keharusan. Kata kunci: Ushul Fiqh, Tipologi Penelitian dan Hukum Islam

Pendahuluan

Dalam khazanah intelektual Islam, Ilmu ushul fiqh merupakan metodologi terpenting yang pernah ditemukan oleh dunia pemikiran Islam dan tidak dimiliki oleh umat lainnya.1 Oleh karena itu ilmu ini memiliki kedudukan yang tak tergantikan bagi

dunia Muslim2. Dalam rangka mengembalikan urgensi ilmiah ini, Syekh Musthafa Abdul

Raziq, pada tahun 1994, melontarkan pikiran bahwa ilmu ushul fiqh merupakan bagian dari filsafat Islam dalam arti yang sesungguhnya. Suara Raziq sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya, tamhid li tarkh al-falsafah al-Islamiyah.3 Itu merupakan suara yang boleh

dibilang pelopor untuk menempatkan kembali ushul fiqh ke dalam posisi yang sebenarnya, yakni bagian terpenting dari filsafat Islam. Hal ini terjadi karena selama ini ilmu ushul fiqh sering dianggap sebagai bagian dari ilmu-ilmu syari’ah semata dan jauh dari perhatian pakar filsafat Islam.4

1 Thaha Jabir al-Alwai, Source Methodolgy in Islamic Jurisprudence, edisi 2, Edisi

bahasa Inggris oleh Yusuf Talal Delorenzo dan Anas.S al-Shaikh ali (Herndon Virgin : IIIT, 1416/1994), xi. Abdul Hamid Abu Sulaiman dan Ali Garisyah memberikan pernyataan serupa, lihat : Abdul Hamid, Abu Sulaiman, Crisis in The Muslim Mind (Herndon-Virgin : III : 1415/19993), 37. Ali Garisah, Metode Pemikiran Islam : Manhaj at-Tafkir al-Islami (Jakarta : Gemas Insani Press, 1989), h. 56

2 Berkaitan dengan ini, Abdul Hamid Abu Sulaiman menyatakan bahwa “Tidak ada

ide atau institusi sosial yang dapat memperoleh legitimasi atau penerimaan dari para sarjana muslim Sunni, jika tidak lolos dari tes metodologi tradisional (ushul fiqh). Ide-ide dan instutisi yang gagal dalam tes ini akan berlanjut sebagai objek asing dalam tubuh pemikiran muslim dan membangkitkan ketegangan psikologis”, Abu Sulaiman, Towards

an Islamic Theory of International Relations : New Directions for Methodology and Thounght (Herndon- Virgina : IIIT, 1993), h. 68

3 Hamid Thahir, madkhal li dirasat al-falsafah al-Islamiyyah (Kairo : Hajar,

1985/1405), h. 31-2

4 Hassan Hanafi sebagai professor filsafat Islam Universitas Kairo juga

memberikan perhatian besar pada ilmu ushul fiqh. Ketika belajar di Sorbone, menulis tesis berjudul : “Les Methodes d’Exerrgeses : Esei Sur la”, dalam bidang ilmu ushul fiqh berjudul “L’Exegeses de La Phenomenologie”, “L’etat de La Methode Phenomenologue et

son Apllication an Phenomene Religieux” yang kemudian mendapat penghargaan untuk

penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir. Disamping itu, Hanafi juga pernah men-tahqiq salah satu kitab induk dalam ushul fiqh yakni kitab al-mu’tamad fi ushul al-fiqh karya Abu

al-Husayn al-Basahri, lihat Abu al-Husayn al-Bashir, al-mu’tamad fi ushul fiqh (Damaskus :

(3)

Seiring proses perkembangannya, rintisan Raziq tersebut didukung oleh banyak pakar, seperti Hamid Thahir5 dan Seyyed Hossein Nasr.6 Alasannya, karena ushul fiqh

secara metodologis pembahasannya mirip dengan ilmu kalam yang membahas “dasar-dasar kalam”, yang sebenarnya wilayah kajian ilmu kalam. Disamping itu, kalau filsafat kenabian (prophetic philosophy) dianggap sebagai ciri khas filsafat Islam7 maka ilmu

ushul fiqh adalah wujud konkrit filsafat kenabian secara benar dan dapat dipertanggung

jawabkan secara ilmiah.

Kalau al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai inspirasi pemikiran filosofi ciri khas filsafat Islam8, maka ilmu ushul fiqh merupakan wujud nyata dari filsafat Islam tersebut.

Ia meletakkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber utama dalam argumentasi hukum. Bahkan argumentasi rasional tidak boleh lepas dari payungan atau naungan Qur’an dan as-Sunnah. Dengan kata lain, suatu argumentasi yang tidak direstui oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, maka argumentasi itu akan dianggap produk dari luar Islam.

Etimologi dan Terminologi Ushul Fiqh

Ushul fiqh adalah kalimat majemuk (tarkib idhafi) yang telah menjadi nama bagi

suatu displin ilmu tertentu. Di tinjau dari segi etimologi, ushul fiqh terdiri dari mudhaf dan

mudhaf ilaih.

Menurut aslinya kalimat tersebut bukan merupakan nama bagi suatu displin ilmu tertentu, tetapi masing-masing dari mudhaf dan mudhaf ilaih yang mempunyai pengertian sendiri-sendiri. Untuk itu, sebelum memberikan definisi ushul fiqh, terlebih dahulu mengetahui pengertian lafazh “ushul” (yang menjadi mudhaf) dan lafazh “fiqh” (yang menjadi mudhaf ilaih).

Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu

tujuan dan perbuatan, seperti firman Allah Swt yang berbunyi :

اًثيِدَح َنوُهَقْفَي َنوُداَكَي َلَ ِم ْوَقْلٱ ِء َلَُؤ ََٰه ِلاَمَف

Artinya : “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafiq) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun”. (Q.S an-Nisa [4] : 78]

Juga sabda Rusulullah yang berbunyi :

اريخ هب الله دري نم نيدلا يف ههقفي

Artinya : “Barang siapa dikehendaki Allah sebagai orang yang baik, pasti Allah akan memahamkannnya dalam persoalan Agama”

Intelektual Islam : Pemikiran Hasan Hanafi tentang Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam

(Yogyakarta : ITTAQA Press, 1998), h. 15-6

5 Hamid Thahir, Madkhal li Dirasat al-Falsafah al-Islamiyyah (Kairo : Hajar,1985/1405),

h. 31-2

6 Seyyed Hossein Nasr, “The Meaninng and Role of Philosophy in Islam”, dalam

Studia Islamica Vol. 37, (1973), h. 62-3

7 Seyyed Hossein Nasr, “The Qur’an and The Hadits as Sourse and Inspiration of

Islamic Philosophy”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic

Philosophy (London-New York : Routledge, 1996), h. 36-7

8 Seyyed Hossein Nasr, “The Qur’an and The Hadits as Sourse and Inspiration of

Islamic Philosophy”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy., h. 36-7

(4)

Sedangkan pengertian fiqh menurut terminologi para faqaha’ (alih fiqh) adalah tidak jauh dari pengertian fiqh menurut etimologi. Hanya saja pengertian fiqh menurut

terminologi lebih khusus dari pada menurut etimologi.

Fiqh menurut terminologi adalah “pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (mendetail)” yakni :

1) Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang praktis.

Oleh karena itu, hukum-hukum mengenai i’tiqad (keyakinan) seperti ke-Esa-an Allah, terutama pada rasul, serta penyampaike-Esa-an risalah Allah oleh para rasul, keyakinan tentang kiamat dan hal-hal yang terjadi pada saat ini, kesemuanya tidak termasuk di dalam pengertian fiqh menurut istilah.

2) pengetahuan tentang dalil-dalil yang terinci (mendetail) pada setiap permasalahan. Seperti bila disertai dikatakan, membeli secara berpesan, itu menyerahkan uangnya dahulu pada waktu akad, maka ia disertai dalilnya dari al-Qur’an. Jika dikatakan, bahwa setiap penambahan dari harta pokok itu disebut riba, maka hal itu disertai dalil dari al-Qur’an.

Dari sini dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, makruh, atau wajib beserta dalilnya masing-masing.

Adapun pengertian ‘ashl’ (jamaknya : ushul) menurut etimologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan penelitian

ushul secara terminologi, karena ushul fiqh menurut terminologi adalah “dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh.

Oleh karena itu Syekh Kamaluddin ibn Hilmman di dalam Tharir memberikan definisi ushul fiqh, bahwa ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i, sebagai contoh, ushul fiqh menetapkan bahwa perintah (amar) itu menunjukkan hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram. Perintah untuk menjauhi berarti larangan untuk mendekatinya, dan tidak ada bentuk larangan yang lebih konkrit dari bentuk larangan tersebut.

Sehingga jelaslah bahwa perbedaan fiqh dan ushul fiqh, bahwa ushul fiqh merupakan method (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqh (faqih) di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil syar’i, serta mengklasifikasikan dalil-dalil tersebut berdasarkan kualitasnya. Dalil-dalil dari al-Qur’an harus didahulukan dari qiyas serta dalil-dalil lain yang tidak berdasarkan nash al-Qur’an dan as-Sunnah (hadits). Sedangkan fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i berdasarkan metode-metode tersebut.

Ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang latarbelakangnya terhitung pada periode awal kemunculannya–sebelum adanya penyusunan–hal itu dapat ditelusuri hingga masa awal-awal kemunculan Islam. Ushul fiqh meletakkan fondasi ijtihad ahkam (plural dari hukum) dan sebagai konsekuensinya tatkala terjadi ijtihad hukum fiqh dan istinbath (inferensi) hukum betapapun sederhananya maka terdapat juga kaidah ushul, meskipun tidak tertulis.

(5)

Dewasa ini ushul fiqh Islami merupakan ilmu yang sangat terus menyebar dimana-mana, serta memiliki pembahasan yang sangat detail, rinci, jelas melalui karya-karya modern dari para pakar yang terkemuka. Ushul fiqh, senantiasa mengalami dinamika naturalnya, dengan kata lain ushul fiqh mendapati banyat tantangan dari sebagian faktor eksternal dan internal, namun tantangan tersebut menjadikan ushul fiqh banyak mengalami banyak kemajuan dan progresifitas.

Di antara faktor eksternal adalah kurangnya perhatian saudara-saudara

ahlusunnah terhadap pentingnya ijtihad, sedangkan faktor internal-nya, yakni

dikarenakan kurang serius dimana menjadi penyebab kurang berkembangnya multi dimensional ushul fiqh pada kurun dan abad terakhir hingga keberadaannya kira-kira hampir punah dan kini tidak terlalu dikenal.

Namun bagaimanapun juga seorang juris (faqih) punya tugas berat untuk menjaga eksistensi ushul fiqh yakni dengan terus melakukan istinbath (inferensi) hukum, yang senantiasa berurusan dengan teks kitab dan tradisi, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah (hadis) Islami. Urgensi penggunaan teks-teks ini telah menyebabkan kurang lebih setengah dari pembahasan ushul fiqh dialokasikan untuk menjelaskan kaidah-kaidah yang menjadi penuntun bagaimana mengambil manfaat dari lafaz-lafaz yang termaktub dalam kitab suci dan sunnah ketika melakukan inferensi hukum.

Ushul Fiqh dalam Konteks Studi Islam

Dalam bahasa inggris ushul al-fiqh dikenal istilah methodology of Islamic thought juga approaches to Islamic studies yang dalam bahasa Arab barangkali bisa dipahami sebagai mahajiyyat at-tafkhir dan muqarabat fi ad-dirasat al-islamiyyah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut bisa diartikan sebagai metodologi pemikiran

Islam atau pendekatan dalam pengakajian Islam dan semacamnya yang belakangan ini

menjadi salah satu mata kuliah penting dilembaga-lembaga yang menawarkan kajian Islam (Islamic studies dirasat Islamiyyah).

Dalam artikel ini, memunculkan pertanyaan tentang istilah atau ilmu apa yang pada mula awal Islam mempelajari metode-metode yang digunakan sebagai landasan dalam upaya memahami ajaran wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah). Tampaknya tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa ilmu yang demikian itu pada masa awal Islam dikenal dengan ushul al-fiqh.

Secara bahasa ushul merupakan bentuk jamak dari ashlun yang berarti dasar-dasar, pokok-pokok, ataupun landasan-landasan, sedangkan fiqh arti dasarnya faham (pemahaman). Dengan demikian secara etimologis ushul al-fiqh dapat diartikan sebagai dasar-dasar pemahaman ajaran-ajaran Islam (huwa ma yubna alaihi al-fiqh).

Berangkat dari pengertian etimologi ini maka dapat dipahami bahwa ushul fiqh merupakan satu ilmu yang mempelajari dasar-dasar, motode-metode, pendekatan-pendekatan dan teori-teori yang digunakan dalam memahami ajaran Islam. Ini berarti menempatkan ushul fiqh pada posisi sentral dalam studi keislaman dan seringkali disebut sebagai the queen of Islamic science. Dalam bahasa Taha Jabir al-Alwani, menurutnya :

“Ushul al-fiqh is riqhtly considered to be the most importan method of research ever devised by muslim thought. Indeed, as the solid foundation upon which all

(6)

Islamic disciplines are based, ushul al-fiqh not only benefited civilization but to the intellectual enrichment of world civilization as awhole”.9

Jika demikian adanya, maka semua sarjana yang menggeluti studi Islam diharapkan mempunyai bekal cukup, paling tidak mengenal prinsip-prinsip dasar yang dibahas dalam ushul fiqh, satu ilmu yang sudah dikenal sejak awal Islam. Sebab melalui

ushul fiqh para sarjana akan mengetahui, misalnya bagaimana memahami al-Qur’an,

as-Sunnah, bagaimana jika terjadi pertentangan (ta’arud) antara kedua sumber tersebut dan bagaimana pula menyelesaikan persoalan kontemporer sesuai dengan tuntutan masa dengan tetap berlandaskan ajaran wahyu melalui proses dan mekanisme ijtihad.

Memamg harus diakui, bahwa selama ini ushul fiqh hanya selalu dikaitkan dengan persoalan hukum Islam, dan seolah-olah displin ilmu diluar hukum Islam tidak memerlukan ushul fiqh. Hal ini terjadi karena beberapa hal antara lain :

Pertama, asy-Syafi’i seringkali dinobatkan sebagai pendiri ushul fiqh, sedangkan

ia sendiri dikenal sebagai ahli hukum Islam (fiqh).10 Hukum Islam dipandang sebagai

salah satu ajaran pokok dalam Islam, sebagaian sarjana mengatakan sebagai ajaran paling inti, bahkan pada masa awal Islam istilah ulama identik dengan fuqaha.11

Kedua, pada masa pra-modren hukum Islam, terutama yang terkait dengan

persoalan mazhab, dipandang bertanggungjawab atas kemunduran umat Islam. Karena itu, segala sesuatu yang terkait dengan hukum Islam–termasuk ushul fiqh–dipandang sebelah mata oleh mareka yang menggeluti kajian diluar hukum Islam.

Hubungan Ushul Fiqh dengan Fiqh

Hubungan ilmu ushul fiqh dengan fiqh adalah seperti hubungan ilmu manthiq (logika) dengan filsafat, bahwa manthiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal, agar tidak terjadi kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan ilmu nahwu dengan bahasa Arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatikal bahasa Arab. Demikian juga ushul fiqh, di dalamnya merupakan kaidah yang dipelihara oleh seorang fuqaha’ (jamak dari faqih) agar tidak terjadi kesalahan di dalam meng-istinbat-kan (menggali) hukum.

Disamping itu, ushul fiqh juga membedakan antara istinbath yang benar dengan yang salah. Sebagai mana ilmu nahwu yang berfungsi untuk membedakan antara susunan bahasa yang benar dengan susunan yang salah, dan ilmu manthiq untuk mengetahui argumentasi yang ilmiah degan yang non- ilmiah.

Obyek Pembahasan Ushul Fiqh

Dari penjelasan tentang hubungan antara ushul fiqh dengan fiqh serta perbedaan dengan objek fiqh. Objek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia serta dalil-dalilnya yang terinci. Sedangkan obyek ushul fiqh adalah

9 Taha Jabir al-Alwani, Usul al-Fiqh al-Islami (Varginia : The International Institute of

Islamic Thonght, 1990), h. xi

10 Philip K.Hitti, Makers of Arab History (London : Macmillan, 1968). h. 2

11 George Makdisi, Tabaqat Biograph : Law and Orthodoxy in Classical Islam (t.tp :

(7)

mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua disiplin ilmu tersebut (ushul fiqh dan fiqh) sama-sama membahas dalil-dalil syara’ akan tetapi memiliki tinjauannya berbeda. Ushul fiqh meninjau dari segi metode penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil tersebut. Sedangkan fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang ada hubungannya dengan perbuatan manusia.

Dalam hal ini, ushul fiqh menjelaskan tentang ke-hujjah-an Qur’an, bahwa al-Qur’an harus didahulukan dari pada as-Sunnah (hadits) dan al-al-Qur’an merupakan sumber hukum pertamanya. Juga tentang dalil-dalil yang zhanni dan yang qath’i (pasti), serta jalan yang harus ditempuh ketika terjadi pertentangan antar zhahir nash al-Qur’an dan as-Sunnah (hadits). Ushul fiqh juga menjelaskan tentang perbedaan dilalah (penunjuk) ungkapan yang berbeda-beda, seperti kedudukan dilalah yang khas (khusus) terhadap

dilalah yang ‘am (umum). Begitu juga objek dari dalil-dalil tersebut, yaitu orang yang

menjadi sasaran dari hukum syara’ harus melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan.

Ushul fiqh juga menjelaskan tentang keadaan seseorang yang bersifat

situasional atau kondisional seperti tidak atau belum mengerti hukum syara’, salah, lupa dan sebagainya yang dapat menggugurkan atau meringankan tuntutan hukum syara’.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa objek pembahasan ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan metodologi yang dipergunakan oleh ahli fiqh di dalam menggali hukum syara’. Sehingga ia tidak keluar dari jalur yang benar. Jadi objek pembahasan ushul fiqh meliputi klasifikasi dalil, orang-orang yang dibebani hukum syara’ sesuai dengan aplikasi dalil-dalil tersebut, orang-orang ahli atau yang berhak dalam hukum syara’, serta orang-orang yang tidak berhak, kaidah-kaidah bahasa yang dijadikan petunjuk oleh ahli fiqh untuk menetapkan hukum-hukum syara’ dari nash, kaidah-kaidah dalam menggunakan qiyas dan menetapkan titik persamaan (‘illat jami’ah) antara hukum pokok (asal) yang diqiyasi dan hukum cabang (furu’) yang diqiyaskan.

Kemaslahatan yang diperhitungkan oleh syara’ adalah kaidah-kaidah umum yang dijadikan landasan oleh qiyas atau menjadikan qiyas sebagai hukum asal lantaran tidak ada nash yang khusus untuk meng-qiyas-kan hukum-hukum cabang. Juga meliputi pembahasan tentang maslahah yang bertentangan dengan qiyas yang secara global disebut istihsan.

Disamping itu, ushul fiqh juga menjelaskan tentang hukum-hukum syara’ berserta tujuannya, pembagiannya, rukhsah, ‘azimah dan lain-lain sebagai kategori metodologi yang dipergunakan oleh ahli fiqh untuk menggali hukum syara’. Ushul fiqh selalu mengembalikan dalil-dalil hukum syara’ kepada Allah Swt, karena pada dasarnya yang berhak menetapkan hukum-hukum syara’ hanyalah Allah Swt.

Sedangkan dalil-dalil yang ada hanyalah berfungsi sebagai sarana untuk Allah terhadap manusia, sementara as-Sunnah (hadits) berfungsi sebagai penjelasan yang merinci al-Qur’an, karena Rasulullah Saw, tidak mengucapkan sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya. Jadi objek pembahasan ilmu ushul fiqh ini bermuara pada hukum syara’ yang ditinjau dari segi hakekatnya, kriterianya, dan macam-macamnya. Hakim (Allah) dari segi-segi dalil-dalilnya yang menetapkan hukumannya, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani hukum) dan cara untuk menggali hukum yakni dengan berijtihad.

(8)

Perbedaan antara Qawa’id Fiqhiyyah dengan Ushul Fiqh

Ushul fiqh berbeda dengan kaidah yang menghimpun hukum cabang yang

merupakan teori umum tentang hukum Islam. Kaidah ini diajarkan di Falkultas Syari’ah dengan nama qawa’id fiqhiyyah. Sebagian pengkajian masih belum jelas letak perbedaan antara ushul fiqh dengan qawa’id fiqhiyyah, sehingga perlu menjelaskan perbedaan tersebut.

Perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan ushul fiqh ialah bahwa ushul fiqh, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, adalah kaidah metode yang diperlukan oleh ahli fiqh di dalam menggali hukum syara’, agar tidak terjadi kesalahan. Sedangkan

qawa’id fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang serupa (sejenis) lantaran

ada titik persamaan, atau adanya ketetapan fiqh yang merangkaikan kaidah tersebut. Seperti kaidah pemilikan dalam syari’ah, kaidah dhaman, kaidah-kaidah khiyar, kaidah-kaidah-kaidah-kaidah fasakh secara umum. Jadi qawa’id fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah atau teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-masalah fiqh yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid. Seperti yang dapat terlihat dalam kitab

qawa’id al-ahkam karya Izzuddin ibn Abdis Salam Asy-Syafi’i, kitab al-furuq karya al-Qarafi

al-Maliki, kitab al-asybah wan nazha’ir karya Ibnu Nujain al-Hamafi, kitab al-qawanin karya ibn Jizi al-Mali, kitab tabshirat al-hukkam dan kitab qawa’id ibnu Hajib al-Kubra yang memuat berbagai masalah fiqh madzahib Hanabil.

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa ruang lingkup pembahasan

qawa’id fiqhiyyah adalah masalah-masalah fiqh, bukan ushul fiqh yang didasarkan pada

himpunan masalah-masalah fiqh yang mempunyai titik persamaan. Dengan demikian dapat menetapkan hubungan ketiga disiplin ilmu tersebut sebagai berikut bahwa ushul

fiqh adalah dasar untuk menggali hukum-hukum fiqh yang bermacam-macam dan dapat

dihubungkan antara yang bersatu dengan yang lain, maka ditetapkan suatu kaidah umum yang menghimpun hukum-hukum tersebut yang disebut teori atau kaidah fiqh.

Aliran-aliran Ushul Fiqh

Secara historis dalam sejarah perkembangan ushul fiqh, dikenalkan dua aliran yang terjadi antara lain dari akibat adanya hukum Islam, sebagaimana dijelaskan bibawah ini.

1) Aliran Mutakallimin

Aliran pertama disebut aliran syafi’iyyah dan jumhur mutakallimin (ahli kalam). Aliran ini membangun ushul fiqh secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitupula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli maupun aqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan mazhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah

furu’ dan ada kalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli

dapat dijadikan kaidah.

Namun pada kenyataannya di kalangan syafi’iyyah sendiri terjadi pertentangan, misalnya al-Amidi yang mengajukan kehujahan ijma’ sukuti, padahal Imam Syafi’i sendiri tidak mengakuinya. Padahal ijma’ yang diakui secara mutlak oleh imam Syafi’i adalah

ijma’ dikalangan sahabat saja secara jelas. Pendapat al-Amidi tersebut sebenarnya

merupakan salah satu konsekuensi dari usahanya bersama al-Qarafi (tokoh ushul fiqh Malikiyah) untuk menyatukan dua aliran ushul fiqh.

(9)

Sebagai akibat dari perhatian yang terlalu difokuskan pada masalah teoritis, aliran ini sering tidak bisa menyentuh permasalahan praktis. Aspek bahasa dalam aliran ini sangat dominan, seperti penentuan tentang tahsin (menganggap sesuatu itu baik dan dapat dicapai akal atau tidak). Permasalahan tersebut biasanya berkaitan dengan permasalahan tentang hakim (pembuatan hukum syara’) yang berkaitan pula dengan masalah aqidah.

Selain itu, aliran ini seringkali terjebak terhadap masalah yang tidak mungkin terjadi dan terhadap kema’syuman Rasulullah Saw. Kitab standar ini antara lain: ar-risalah (Imam asy-Syafi’i, al-Mu’tamad (Abu al-Husain Muhammad ibn’ Ali al-Bashir), al-burhan fi

ushul fiqh (Imam Haramain Juwaini), dan mankhul min ta’liqat ushul, shafa al-ghalil fi bayan asy-syabah wa al-mukhil wa masalik at-ta’lil, al-mushfa fi ilmi al-ushul, ketiga

terakhir ini merupakan karangan Imam Abu Hamid al-Ghazali.

2) Aliran Fuqaha

Aliran kedua dikenal dengan istilah aliran fuqaha’ yang dianut oleh para ulama mazhab Hanafi. Dinamakan mazhab fuqaha’, karena dalam menyusun teorinya aliran ini, banyak dipengaruhi oleh furu’ yang ada dalam mazhab mereka, dan aliran ini berusaha untuk menerapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap kaidah baru. Supaya bisa diterapkan mereka mengubah atau membuat kaidah baru pada masalah furu’ tersebut. Diantaranya kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini antara lain: kitab al-ushul (Imam Abu Hasan Sarakhsi), kitab ushul (Abu Bakar Jashash), ushul sarakhsi (Imam Sarakhsi), ta’sis an-nazhar (Imam Abu Zaid Dabusi) dan kasyaf asrar (Imam al-Bazdawi).

Sedangkan kitab-kitab ushul yang menggabungkan kedua teori diatas antara lain: at-tahrir, disusun oleh Kamal ad-Din Ibnu Human Hanafi (w.861 H), tanqih

al-ushul, disusun oleh Shadr asy-Syari’ah (w.747 H)12, jama’u al-jawami, disusun oleh Taj

ad-Din Abd al-Wahab as-Subki asy-Syafi’i (w. 771 H) dan musallam ats-tsubut, disusun oleh Muhibullah Ibnu Abd al-Syakur (w.1119 H). Pada abad 8 muncul Imam asy-Syathibi (w.790 H) yang menyusun kitab al-muwafaqat fi al-ushul asy-syari’ah. Pembahasan ushul fiqh yang dikemukakan dalam kitab tersebut sebagai kitab ushul fiqh kontemporer yang komprehensif dan akomodatif untuk zaman sekarang.

Tipologi Penelitian Hukum Islam

Artikel ini sebagai wujud penelitian hukum Islam, secara garis besar kiranya dapat dibedakan menjadi dua bagian:

1) Penelitian hukum Islam deskriptif (wasfi)

Penelitian hukum Islam deskriptif tidak mempertanyakan apa hukumnya, dengan kata lain tidak mencari norma hukum terbaik yang harus dipegangi, melainkan mendeskripsikan fenomena hukum dengan mencari hubungan variabel-variabel hukum dan variabel-variabel non-hukum. Disini pernyataan adalah apa hubungannya?

12 Kitab ini merupakan rangkuman dari tiga kitab ushul fiqh yaitu, al-kasyaf al-asrar

(Imam Bazdawi), Mahshul (Faqih ad-Din ar-Razi asy-Syafi’i) dan mukhtashar Ibnu al-Hajib (Ibnu al-al-Hajib Al-Maliki).

(10)

variabel hukum dalam penelitian deskriptif ini dapat dilihat baik sebagai variabel

independen maupun sebagai variabel dependen.

Contoh penelitian model ini misalnya: penelitian tentang apa pengaruh penerapan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap tingkat perceraian. Ini merupakan contoh penelitian deskriptif dengan melihat hukum sebagai

variabel idependen. Sebaliknya penelitian mengenai pengaruh adat masyarakat terhadap

rumusan pasal-pasal tertentu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, ini juga merupakan penelitian deskriptif yang sifatnya bisa antropologis, sosiologis, historis, politik dan semacamnya.13

2) Penelitian Hukum Islam Normatif (mi’yari)

Penelitian hukum Islam normatif bertujuan menyelidiki norma-norma hukum Islam untuk menemukan kaidah tingkah laku yang dipandang terbaik. Dengan kata lain penelitian normatif melakukan penyelidikan terhadap norma hukum Islam dalam tataran dunia das sollen. Di zaman lampau para ahli hukum Islam membuat penjenjangan norma-norma hukum Islam itu dengan membaginya menjadi jenjang yaitu: asas-asas umum

(al-ushul al-kuliyyah) disebut juga al-(al-ushul dan peraturan-peraturan hukum konkrit (al-ahkam al-far’iyyah) disebut juga al-furu’. Namun di zaman modern ini para ahli hukum Islam

mengembangkan suatu cabang baru kajian hukum Islam, yaitu studi filsafat hukum Islam yang mengkaji antara lain nilai-nilai dasar hukum Islam. Dari pengembangan ini maka perjenjangan hukum Islam itu dapat dibuat menjadi tiga lapis (jenjang) yaitu:

Perjenjangan Hukum Islam

No Jenjang

I Norma-norma dasar atau nilai-nilai filosofi (al-qiyam al-asasiyyah)

Yaitu norma-norma abstrak yang merupakan nilai-nilai dalam hukum Islam seperti : (a) Kemaslahatan

13 Penelitian hukum Islam dengan pedekatan antropologis dapat dilihat dalam

tulisan Ziba Mir-Hosseini, Marriage on Trail : A Study of Islamic Family Law, Iran and

Marocco Compared (London-New York : I. B. Tauris & Co.Ltd, 1993). Penelitian hukum

Islam dengan pendekatan sosiologi dikembangkan oleh M. Atho Mudzhar dalam tulisannya “Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi”, dalam pidato pengukuhan

Guru Besar Madya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 15 september 1999. Secara

khusus studi hukum waris Islam dengan pendekatan sisiologis dilakukan oleh Martha Mundy, “The Family, Inheritance, and The Islam : A Re-examination of the sociology of far’id Law,” dalam Aziz al-Azmeh (ed), Islamic Law : Social and Historical Contexts (London-New York : Routledge, 1988), 1-123. Karya David S. Powers, Studies in Qur’an and

Hadits : The formation of Islamic Law of Inheriance (Berkeley-Los Angeles-london :

Univerity of California press, 1986), hal ini dapat dianggap sebagai studi hukum waris Islam dengan pendekatan historis. Untuk pendekatan politik terhadap kajian hukum Islam dapat diwakili oleh tulisan Abdul Fattah, “Teks dan peluruh : Problematika Hukum Islam dan Hukum Positif dalam sistem Politik Mesir Tahun Tujuh Puluhan dan Delapan Puluhan”, dalam Johannes de Heijer dan Syamsul Anwar (ed), Islam, Negara dan Hukum, alih Bahasa Syamsul Anwar (Jakarta : INIS, 1993), 1-35.

(11)

(b) Keadilan (c) Kebebasan (d) Persamaan (e) Persaudaraan (f) Akidah

(g) Ajaran-ajaran pokok dalam etika Islam (akhlak). II Norma-norma tengah

Yaitu norma-norma yang terletak antara dan sekaligus menjembatani nilai-nilai dasar dengan peraturan hukum konkret. Norma-norma tengah ini dalam ilmu hukum Islam merupakan dokrin-donkrin (asas-asas) umum hukum Islam, dan secara konkritnya dibedakan menjadi dua macam yaitu :

(a) an-nadhariyyat al-fiqhiyyah (asas-asas hukum Islam)

(b) al-qawa’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah hukum Islam)

III Peraturan-peraturan hukum konkret (al-ahkam al-far’iyyah)

Pelapisan-pelapisan norma-norma hukum Islam ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini :

Pelapisan Norma Hukum Islam

Berdasarkan bagan tersebut diatas, ketiga lapisan nomor ini tersusun secara

hirarkis dimana norma yang paling abstrak dikonkritisasi atau

diejawantahkan dalam nomor yang lebih konkrit. Dengan kata lain nilai-nilai dasar (filosofis) dikonkritisasi dalam norma-norma tengah baik berupa asas-asas hukum Islam (an-qawa’id al-fiqhiyyah), maupun kaidah-kaidah hukum Islam (al-ahkam al-far’iyyah), misalnya :

Pertama, nilai dasar kemaslatan dikonkritisasi misalnya dalam norma tengah

(doktrin umum) yang berupa kaidah fiqhiyyah, yaitu antara lain “kesukaran memberi

kemudahan”.14 Norma tengah atau doktrin umum ini dikonkritisasi boleh berbuka puasa

14 Teks aslinya, ريسيت ةقشملا, az-Zarqa’, Syarh Qawa’id Faqhiyyah (Beirut: Dar

(12)

bagi musafir, dan dalam hukum perikatan debitur yang sedang kesulitan dana diberi kesempatan penjadwalan kembali pembayaran hutangnya.

Kedua, nilai dasar kebebasan diejawantahkan dalam norma tengah, yaitu

misalnya dalam asas hukum Islam berupa asas kebebasan berkontrak ini (mabda’ hurriya

at-ta’aqud),15 dan asas kebebasan berkontrak ini dikonkritisasi lagi dalam bentuk norma

konkrit, misalnya boleh (mubah) hukumnya membuat lagi dalam apa saja, seperti akad sewa beli, asuransi (at-ta’min), sepanjang tidak melanggar ketertiban umum syar’i dan akhlak Islam.

Ketiga, nilai dasar keadilan diejawantahkan dalam bidang hukum kewarisan

dalam asas bahwa setiap orang, baik lelaki maupun perempuan, mendapatkan bagian warisan dari peninggalan orang tua atau kerabatnya.16 Asas ini dikonkritasi lagi dalam

peraturan hukum, konkritnya berupa ketentuan mengenai rincian bagian masing-masing ahli waris.

Atas dasar pelapisan norma-norma hukum Islam ini, maka penelitian normatif hukum Islam dapat dibedakan menjadi:

a) Penelitian filosofis, yaitu kajian mengenai nilai-nilai dasar hukum Islam

b) Penelitian doktrinal, yaitu kajian untuk menemukan doktrin-doktrin asas-asas umum hukum Islam

c) Penelitian klinis, yaitu disebut juga sebagai penemuan syar’i untuk menemukan hukum in concrito guna jawab suatu kasus tertentu.

Pelapisan-pelapisan norma-norma hukum Islam model penelitian normatif dapat dilihat dalam bagan di bawah ini :

Model Penelitian Hukum Islam

15 Mengenai asas kebebasan berkontrak dalam hukum Islam, lihat az-Zarqa’, al-fiqh

al-Islamin fi tsaubihi al-jadid (Damaskus: Matani’ Alifba al-Adib, 1968),h. 466

16 Sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an : Artinya : “lelaki mendapat bagian

(warisan) dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat mereka dan wanitapun mendapat bagian (warisam) dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat mereka…” (QS. An-Nisa [4]:7)

(13)

Penerapan normatif hukum Islam dalam metodologi klasik umumnya bersifat sui

generis, dalam arti penyelidikan mengenai norma-norma hukum Islam lebih banyak

dilihat dari segi ajaran normatif dan karenanya terfokus pada teks-teks (al-Qur’an dan as-Sunnah).

Berdasarkan tesis al-Ghazali tentang pemaduan wahyu dan akal (yang meliputi rasio dan pengalaman) manusia dan pandangannya bahwa ilmu umum menyelidiki tingkah laku, kiranya penelitian hukum normatif hukum Islam ini dapat dikembangkan tidak hanya melalui teks-teks saja (bersifat sui generasi), tetapi juga dapat dipadukan dengan pengalaman, sehingga menjadi penelitian sui generis-kum-empiris, yang berarti norma-norma hukum tidak hanya dicari di dalam teks-teks syari’ah belaka, tetapi juga dalam kehidupan manusia dan perilaku masyarakat itu sendiri.

Pemaduan ini dilakukan dengan membuat hubungan diletakan antara teks-teks syari’ah dan pengalaman eksistensial manusia, di mana teks-teks itu menjadi sumber yang memberikan pengarahan tingkah laku dalam kehidupan, tetapi pengalaman eksitensial kehidupan dalam suatu lokasi sosial tertentu juga memberi wawasan bagaimana teks-teks syari’ah itu harus dipahami dan ditafsirkan. Apabila hukum-hukum yang diperoleh dari kenyataan masyarakat kepada dengan ketentuan teks, maka kenyataan direkontruksi dan dihadapkan kepada yang ideal dalam suatu hubungan dialektis.17

Contoh paling sederhana adalah pasal 171 huruf h dari KHI (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia) yang merupakan hasil pemaduan kreatif antara norma tekstual yang melarang pengangkatan anak dengan kenyataan empiris masyarakat dimana terdapat banyak kasus pengangkatan anak. Pasal tersebut merumuskan anak angkat sebagai “anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya berlebihan dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan keputusan pengadilan”. Begitu pula pasal 185 dan 209 KHI tidak lain dari suatu sintensis antara normatif tekstual fiqh dan kenyataan masyarakat.

Penutup

Artikel ini menawarkan paradigma baru berupa aksiologi ushul fiqh, aksiologi merupakan fungsi suatu ilmu atau nilai kegunaan suatu ilmu. Dalam pandangan tradisional, aksiologi ilmu ushul fiqh adalah penerapan kaidah-kaidah dan teori-teori atas dalil-dalil terperinci untuk pendapatkan hukum-hukum syara’ yang ditinjaukannya. Dengan penerapan itu, diharapkan manusia dapat mengetahui maksud nash-nash

syari’ah, yang tiada lain merupakan maksud Allah sebagai pencipta syari’ah. Oleh karena

itu, tujuan ilmu ushul fiqh pada dasarnya adalah untuk membimbing manusia dalam menangkap maksud Allah secara benar. Oleh karena itu, segala kaidah dan teori dalam ilmu ini selalu diarahkan dalam rangka menangkap maksud Tuhan.

Dalam aksiologi ilmu ushul fiqh, fuqaha’ menyatakan bahwa maksud Allah menurunkan syari’ah ke dunia ini adalah litahqiqi mashalih an-nas (mewujudkan kemaslahatan manusia) baik di dunia ini, maupun akhirat nanti. Untuk itu, aksiologi ilmu

ushul fiqh sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari aksiologi fiqh. Ilmu ushul fiqh pada

(14)

akhirnya juga merupakan bagian dari upaya mewujudkan kemaslahatan manusia, sebab manusia tidak mungkin mampu mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat kalau tidak mengetahui terlebih dahulu hukum syari’ah, karena untuk mengetahui hukum-hukum syari’ah itulah manusia membuat dan menyusun ushul fiqh.

Daftar Pustaka

Abdu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum, cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Abdul Hadi, Abu Sari' Muhammad, al-Ath'imah wa az-Zabaih fi al-Fiqh al-Islami, t.tp : Dar al-I'tisham, t.t.

Abdullah, Amin, Mazhab Jogja: Menggegas Paradigma Ushul, Fiqh Kontemporer, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga dan Ar-Ruzz Press, Yogyakarta, 2002.

Al-‘Alim, Yusuf Hamid, al-Maqashid al-‘Ammah li asy-Syari’ah al-Islamiyyah, Herndorn, Virginia: International Insitute of Islamic Yhought, 1991.

Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al-Bari, t.tp : tp, t.t.

Al-Alwani, Taha Jabir, Usul al-Fiqh al-Islami, Varginia : The International Institute of Islamic

Thonght, 1990.

Al-Alwani, Thaha Jabir, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, terj. Yusdani, cet. Ke-1, Yogyakarta : UII Press, 2001.

Al-Alwani, Thaha Jabir, Source Methodolgy in Islamic Jurisprudence, edisi 2, Edisi bahasa Inggris oleh Yusuf Talal Delorenzo dan Anas. S. al-Shaikh Ali, Herndon Virgin : IIIT, 1416/1994.

Al-Bashir, Abu al-Husayn, al-Mu’tamad fi Ushul Fiqh, Damaskus : al-Ma’had al-Ilmi li ad-Dirasah al-Arabiyah, 1964.

Al-Bashri, Abu Husayn, fiqh Islami fi Tsaubihi jadid, Damaskus: atabi’ Alifb al-Adib, 1968

Al-Husari, Ahmad, Nazhariyyah al-Hukm wa Mashadir at-Tasri fi Ushul al-Fiqh al-Islami, Kairo: Maktabah al-Kuliyat al-Azhariyyah, 1981/1401.

Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, Edisi: Muhammad Hudlri at-Tunisi, Mesir: Mathba’ah as-Salafiyyah, 1341

Asy-Syaukani, Muhammad Ibn ‘Ali ibn Muhammad, Thalab ‘Ilm wa Thabaqat

al-Muta’allimin : Ada bath-Thalab wa Muhtaha al-‘Arab, t.t : Dar al-Arqam, 1981.

Az-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Beirut: Dar al-Garbi al-Islami, 1983.

Az-Zarqa’, al-Fiqh al-Islamin fi Tsaubihi al-Jadid, Damaskus: Matani’ Alifba al-Adib, 1968. Az-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Faqhiyyah, Beirut: Dar al-Garbi al-Islami, 1983.

Dagobrt D.Runes, Dictionary of Philosophy, ttp: Alittlefield, Adam i& Co,1960.

Fattah, Abdul, “Teks dan peluruh : Problematika Hukum Islam dan Hukum Positif dalam sistem Politik Mesir Tahun Tujuh Puluhan dan Delapan Puluhan”, dalam Johannes de Heijer dan Syamsul Anwar (ed), Islam, Negara dan Hukum, alih Bahasa Syamsul Anwar, Jakarta : INIS, 1993.

Garisah, Ali, Metode Pemikiran Isalm : Manhaj at-Tafkir al-Islami, Jakarta: Games Insani Press, 1989.

Hallaq, Wael B., “Was the Gateof Ijtihad Closed”, dalam International Journal of Middle Eastern Studies, 16, 1984.

(15)

Hamid A, Abdul. Abu Sulaiman, Crisis in The Muslim Mind, Herndo-Virgin: IIIT 1415/1993. Hitti, Philip K, Makers of Arab History. London : Masmillan, 1968.

Hudhari, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang : Dina Utama, 2014. Mahmashani, Shubhi, Falsafat at-Tasri’, t.tp : tp, t.t.

Makdisi, George, Tabaqat Biograph : law and orthodoxy in Classical Islam, t.tp : Islamic Studies, 1993.

Mir-Hosseini, Ziba Mir-Hosseini, Marriage on Trail : A Study of Islamic Family Law, Iran and

Marocco Compared, London-New York : I.B.Tauris & Co.Ltd, 1993.

Mudzhar, M. Atho Mudzhar dalam tulisannya “Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi”, dalam pidato pengukuhan Guru Besar Madya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 15 september 1999.

Mundy, Martha, “The Family, Inheritance, and The Islam : A Re-examination of the sociology of far’id Law,” dalam Aziz al-Azmeh (ed), Islamic Law : Social and

Historical Contexts, London-New York : Routledge, 1988.

Nasr, Seyyed Hossein, “The Meaning and Role of Philosophy in islam”, dalam Studi Islamica, Vol. 37, 1973.

Nasr, Seyyed Hossein, “The Qur’an and The Hadits as Sourse and Inspiration of Islamic

Philosophy”, dalam S.H Nasr dan Oliver Leaman, Hstory of Islamic Philosophy,

London-New York : Routledge, 1996.

Powers, David S, Studies in Qur’an and Hadits : The formation of Islamic Law of Inheriance, Berkeley-Los Angeles-london : Univerity of California press, 1986.

Ridwan, Ahmad Hasan, Reformasi Intelektual Islam : Pemikiran Hasan Hanafi tentang

Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, Yogyakarta : ITTAQA Press, 1998.

Runes, Dagobret D, Dictionary of Philosophy, t.tp : Alittlefield, Adam I & Co, 1960. Safi, Louay, The Fondation of Knowledge, Selarong: UII & IIIT, 1996.

Sulaiman, Abdul Hamid Abu, Crisis in The Muslim Mind, Herndon-Virgin : IIIt1415/19993. Sulaiman, Abu, Towards an Islamic Theory of International Relations : New Directions for

Methodology and Thounght, Herndon- Virgina : IIIT, 1993.

Sumantri, Jujun S. Suria, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Syalabi, M. Musthafa, Ushul Fiqh al-Islami, Beirut: Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1986. Syalabi, M.Musthafa, Ushul Fiqh al-Islami, Beirut: Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1986. Syaukani, Imam, Rekontruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia dan Relevan

Relevansinya bagi pembangunan hukum Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada, 2006.

Thahir,Hamid, Madkhal li Dirasat al-Falsafah al-Islamiyyah, Kairo : Hajar,1985/1405. Zahrah, Abu, Ushul al-Fiqh, t.tp : Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.

Zayd, Musthafa, al-Mashlahah fi at-Tasyri’al-Islami wa Najm ad-Diin ath-Thufi, edisi kedua, Kairo: Daral-Fikr al-‘Arabi, 1964.

Referensi

Dokumen terkait

1. Mendampingi dan tidak membiarkan anak ketika berperilaku tantrum. Strategi yang seharusnya diterapkan oleh orang tua maupun guru ketika menangani anak yang

Pneumokoniosis merupakan penyakit paru akibat kerja yang disebabkan oleh deposisi debu di dalam paru dan reaksi jaringan paru akibat pajanan debu tersebut. *eaksi

Perguruan Pencak Silat Beladiri tangan Kosong (BETAKO) M erpati putih merupakan warisan budaya peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia yang pada awalnya merupakan ilmu

Ketentuan selengkapnya tentang organisasi PPS Betako Merpati Putih diatur lebih lanjut oleh Pengurus Pusat dengan persetujuan Guru Besar yang isinya dijiwai

Dalam pertimbangan majelis hakim Motif tersebut didasarkan pada pesan saksi Muchdi kepada Adnan Buyung Nasution agar Munir diperingatkan untuk tidak terlalu vokal, dan

Sensodyne miliki varian lengkap untuk masalah pada gigi dengan kandungan kesehatan gigi yang baik dibandingkan merek lain.

13 Hukum Berdasarkan Bentuk Hukum Berdasarkan Tempat berlakunya Hukum Berdasarkan Waktu berlakunya 3.Kebenaran 4.Penjelasan 5.Kemampuan 6.Menyampaikan pendapat

..IMPROVING STUDENTS' SPEAKING SKILLS THROUGH COCKTAIL PARTY TECHNIQUE (A CLASSROOM ACTION RESEARCH OF THE SECOND YEAR STUDENTS OF SMP NEGERI 1 AMPEL IN 2015/2016 ACADEMIC