• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FENOMENA IJIME DALAM MASYARAKAT JEPANG. harafiah sebagai tindakan menyiksa, memarahi, dan mencaci maki. Kata tersebut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II FENOMENA IJIME DALAM MASYARAKAT JEPANG. harafiah sebagai tindakan menyiksa, memarahi, dan mencaci maki. Kata tersebut"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FENOMENA IJIME DALAM MASYARAKAT JEPANG

2.1 Pengertian Ijime

Istilah ijime berasal dari kata kerja ijimeru ( 苛める ) yang memiliki arti harafiah sebagai tindakan menyiksa, memarahi, dan mencaci maki. Kata tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah istilah sosial yang digunakan untuk menggambarkan salah satu bentuk tindakan penganiayaan yang terjadi dalam masyarakat Jepang. Para sosiolog Jepang secara sederhana mendefinisikan ijime sebagai tindakan penganiayaan yang terjadi di dalam kelompok masyarakat Jepang. Definisi tersebut membuat masyarakat internasional sering mengidentikkan ijime dengan tindakan bullying yang kerap terjadi di negara-negara Barat. Akan tetapi, kata bullying, yang juga memiliki arti sebagai tindakan menganiaya, tidak memberikan batasan yang jelas mengenai bentuk penganiayaan yang dilakukan sehingga tindakan bullying di negara-negara Barat umumnya

(2)

mengacu pada segala bentuk tindakan yang bertujuan untuk menyiksa fisik korban.13

Berbeda halnya dengan tindakan bullying, yang dikategorikan sebagai tindakan ijime tidak hanya tindakan penyiksaan fisikal. Secara umum, ijime di Jepang dapat didefinisikan sebagai berikut:

A type of aggressive behaviour by (which) someone who holds a dominant position in a group interaction process, by intentional or collective acts, causes mental and/or physical suffering to another inside a group (Morita, 1985)14

Terjemahan : Sebuah tingkah laku agresif yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki posisi dominan di dalam proses interaksi sebuah grup melalui tindakan yang disengaja atau serangkaian tindakan yang menimbulkan penderitaan mental dan/atau fisik orang lain yang berada di dalam grup yang sama.

Meskipun definisi tersebut seolah terlihat serupa dengan definisi bullying di negara-negara Barat, tetapi seorang sosiolog Jepang bernama Mitsuru Taki menekankan dua hal yang menjadi perbedaan paling mendasar diantara keduanya. Pertama, definisi ijime yang dikemukakan oleh Morita tersebut memberikan penekanan pada ide posisi dominan yang berkaitan erat dengan interaksi di dalam satu grup yang sama. Hal ini berarti korban dan pelaku memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Korban ijime bisa saja orang-orang yang berada dalam kelas yang sama, lingkungan pekerjaan yang sama, bahkan tidak jarang masih merupakan anggota keluarga dari si pelaku. Yang menjadi perbedaan mencolok antara korban dan pelaku adalah pelaku memiliki posisi yang lebih berkuasa

13

http://saniroy.wordpress.com/2006/10/18.

14

Taki Mitsuru, “Ijime bullying”: characteristic, causality, and intervention, http://www.ijimebullying.com.

(3)

dibandingkan korban. Dominasi kekuasaan itu seolah menjadi legitimasi15 bahwa si pelaku berhak untuk melakukan ijime terhadap orang lain yang tidak disukainya.

Hal kedua yang membedakan ijime dengan bullying adalah sasaran utama dari tindakan ijime bukanlah fisik melainkan mental korban . Inilah yang menjadi karakteristik dari ijime di Jepang. Tujuan dari tindakan ijime adalah untuk menjatuhkan mental korban, membuat korban merasa rendah diri dan tidak pantas berada di dalam satu kelompok yang sama dengan si pelaku. Kedua poin di atas mengindikasikan perbedaan yang jelas antara ijime dengan bouryoku yang juga kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat Jepang. Bouryoku ( 暴力 ) merupakan tindakan kekerasan yang bermaksud untuk menyakiti korban secara fisik dan atau bertujuan untuk mengambil keuntungan dari si korban. Bouryoku dapat menimpa siapa saja, baik yang akrab maupun yang sama sekali asing bagi si pelaku. Sebaliknya, ijime merupakan tindakan penganiayaan yang menimpa seseorang di dalam satu grup yang sama dengan si pelaku dengan tujuan menjatuhkan mental korban bahkan ketika pelaku melakukan kekerasan secara fisikal. Si pelaku menyadari bahwa efek yang ditimbulkan dari tindakan ijime yang dilakukan di hadapan kelompoknya akan membuat mental korban lebih menderita lagi.

Untuk memberikan batasan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan tindakan ijime, Mitsuru Taki kemudian melakukan penelitian mengenai tindakan ijime yang terjadi di lingkungan sekolah dan kantor. Berdasarkan hasil penelitiannya, ia mendefinisikan ijime sebagai berikut:

15

Legitimasi: pernyataan yang diakui keabsahannya; pengesahan. (Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer; Drs. Peter Salim dan Yeni Salim; 1991) hal 848

(4)

Ijime’ is a mean behaviour or a negative attitude that has clear intention to embarrass or humiliate others who occupy weaker position in a same group. It is assumed to be a dynamic used to keep or recover one’s dignity by aggrieving others. Consequently, its main purpose is to inflict mental suffering on others, regardless of the form such as physical, verbal, psychological, and social.16 Terjemahan: Ijime adalah sebuah tingkah laku kejam atau sikap negatif dengan maksud yang jelas untuk mempermalukan atau menghina orang lain yang menempati posisi lemah di dalam satu grup yang sama. Tindakan ini bersifat dinamis dan diasumsikan sebagai cara untuk menjaga atau mengembalikan martabat seseorang dengan membuat orang lain menderita. Oleh sebab itu, tujuan utama dari tindakan ini adalah untuk menimbulkan penderitaan mental pada diri orang lain, dengan melakukan berbagai bentuk penyiksaan baik berupa penyiksaan fisikal, verbal, psikologis, maupun sosial.

2.2 Penyebab Terjadinya Ijime dalam Masyarakat Jepang

Jepang memiliki struktur masyarakat yang unik yaitu struktur masyarakat kelompok atau lazim disebut sebagai shuudan shugi ( 集 団 主 義 ) . Yang dimaksud dengan struktur masyarakat kelompok adalah sebuah struktur yang lebih mengutamakan individu sebagai bagian dari satu kelompok masyarakat dibandingkan dengan individu sebagai sebuah personal. Masyarakat Jepang mengelompokkan diri mereka dengan orang-orang di sekitarnya sesuai dengan kriteria tertentu seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, diakui ke dalam satu kelompok masyarakat tertentu menjadi prioritas utama bagi individu demi mendapatkan identitas diri. Ketika seseorang diakui oleh satu kelompok masyarakat maka pada saat itulah dia menjadi manusia seutuhnya.17

Sejak masa kanak-kanak, individu Jepang telah diajarkan sebuah prinsip sosial yang disebut shuudan ishiki (集団意識)atau dengan kata lain kesadaran untuk hidup berkelompok.18 Misalnya saja, ketika duduk di bangku TK mereka akan

16

Taki Mitsuru, Loc.cit

17

Nakane Chie, Japanese Society, (London:Charles E.Tuttle Company:1984) hal 1-8

18

(5)

membentuk kelompok bermain yang disebut ~kumi/gumi. Jika seorang anak sudah bergabung dengan salah satu kumi maka dia tidak bisa seenaknya bergabung dalam permainan yang dilakukan oleh kumi yang lain. Bagi mereka, anggota dari kumi diluar kelompok bermain mereka adalah orang asing.19

Menginjak usia SD, pertemanan kelompok ini mulai memperluas wilayahnya selain sebagai kelompok bermain. Anak-anak yang berasal dari TK yang sama cenderung akan bergabung menjadi satu kelompok. Mereka kemudian akan membentuk kelompok makan siang, kelompok belajar, atau kelompok tamasya dan sebagainya, yang terbentuk sejak mereka pertama kali menginjak bangku pendidikan sekolah dasar. Hanya bersama kelompok-kelompok inilah mereka akan menghabiskan masa SD mereka.

Pertemanan kelompok semacam ini akan terus berlanjut hingga ke tingkat SMP, SMA, bahkan universitas dan tempat kerja. Semakin tinggi jenjang kehidupan yang dimasuki maka semakin ketat dan beragam pula kriteria yang dituntut agar bisa bergabung dengan satu kelompok tertentu, terutama ketika seseorang menginjak usia remaja. Hal ini terlihat jelas di kelompok-kelompok yang terbentuk semasa SMU, misalnya kelompok murid populer, kelompok murid pandai, kelompok OSIS, bahkan kelompok yang terbentuk karena anggotanya tergabung dalam satu ekstrakurikuler yang sama. 20

Akan tetapi, tidak semua individu sanggup memenuhi kriteria yang diminta oleh satu kelompok tertentu supaya dapat menjadi bagian dari kelompok mereka. Individu-individu inilah yang biasanya akan menjadi korban tindakan ijime. Ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kiteria kelompok dapat disebabkan

19

Hiroshi F Iwama, Japan’s Group Orientation in Secondary School, (USA: 1993)hal 75

20

(6)

oleh berbagai macam hal, misalnya cacat fisik, prestasi belajar yang standar, orang yang lemah secara fisik maupun mental, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, korban ijime adalah orang-orang yang berbeda dengan orang-orang di sekeliling mereka. Terkadang perbedaan itu tidak selalu buruk, ada pula orang yang dijadikan sasaran ijime karena mereka memiliki kelebihan dalam bakat atau kepintaran.

Pernyataan di atas diperkuat oleh Merry White yang merumuskan tiga tipe anak-anak yang umumnya menjadi ijimerarekko seperti diuraikan di bawah ini:

First unpopular children are not part of any group; they are alienated or have been rejected by cliques within the class. Some of these children attempt to gain acceptance by hanging around, visibly available to the others, or being explicitly pushy (deshabari). Others withdraw. They may excluded for many reason, such as, “being a nuisance” or “being slow”, ”being a messy, dirty person”, “being a liar”, “being two faced”. But the most common reason reported is that outcast is “different”. Second, these children may exhibit qualities that produces jealousy or competition in the group and chief here is majime (seriousness). The third outstanding characteristic of unpopular children is said to be a “victim mentally” –higaisha ishiki- that provokes bullying (1987:46)

Terjemahan: Pertama, anak-anak yang tidak populer bukanlah bagian dari grup manapun; mereka diasingkan atau ditolak oleh grup-grup yang ada di dalam kelas. Beberapa dari anak-anak ini berusaha untuk diterima dengan bergaul, selalu terlihat oleh yang lain, atau dengan jelas memaksa untuk diterima (deshabari). Sebagian lainnya menarik diri dari pergaulan. Mereka diasingkan karena berbagai macam alasan misalnya (karena dicap sebagai) “orang yang sangat mengganggu” atau “orang yang lambat” “orang yang jorok dan berantakan” “pembohong”, “bermuka dua”. Akan tetapi, umumnya mereka menjadi korban karena mereka “berbeda”. Kedua, anak-anak ini mungkin memiliki kualitas yang menimbulkan rasa cemburu atau persaingan di dalam grup, terutama karena mereka majime (serius). Karakteristik utama yang ketiga dari anak-anak tidak popular adalah mereka dikatakan memiliki “mental korban”-higaisha ishiki-yang menyebabkan terjadinya ijime.

(7)

Bagi masyarakat Jepang yang mementingkan kebersamaan dalam kelompok, homogenitas21 individu menjadi sebuah keharusan supaya dapat bertahan hidup di dalam sistem tersebut. Hal ini menyebabkan memiliki perbedaan dengan orang lain menjadi semacam momok yang menakutkan bagi masyarakat Jepang karena mereka akan dipaksa untuk menjadi sama atau dikucilkan.22 Sesuai dengan peribahasa yang mengatakan deru kugi wa utareru yang berarti paku yang menonjol harus dipalu. Peribahasa tersebut mengibaratkan orang-orang yang memiliki perbedaan sebagai sebuah paku yang menonjol. Paku tersebut harus dibuat sama kedudukannya dengan paku-paku lain dengan cara dipalu. Maka apabila seseorang berbeda dengan orang lain di sekitarnya, dengan cara halus atau kasar, orang tersebut akan dipaksa untuk menjadi sama dengan yang lain.

2.3 Bentuk-bentuk Tindakan Ijime

Tujuan utama dari tindakan ijime adalah menganiaya secara mental. Akan tetapi sering pula tindakan ijime juga melibatkan penyiksaan fisik yang mengarah pada tindakan kriminal. Yoshio Murakami mengklasifikasikan tindakan ijime ke dalam dua kelompok, yaitu penganiayaan fisik dan penganiayaan mental.23

2.3.a Penganiayaan Mental

Murakami mengungkapkan bahwa sekitar tujuh puluh persen tindakan ijime mengambil bentuk tindakan penganiayaan mental. Tindakan ini melibatkan

21

Homogenitas memiliki arti persamaan macam, jenis, sifat, watak dari anggota-anggota suatu kelompok;sifat/keadaan homogen (KBBI edisi kedua; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia;1991) hal 357

22

John Clammer, Difference and Modernity: Social Theory and Contemporary Japanese Society.(London:1995) hal 18

23

(8)

perbuatan mengancam, memberikan nama julukan dengan tujuan mengolok-olok korban, menghina, tidak mengikutsertakan korban dalam kegiatan kelompok serta menjadikan korban sebagai objek bulan-bulanan secara terus menerus di hadapan khayalak ramai yang menyebabkan korban ijime merasa dipermalukan dan kemudian timbul perasaan rendah diri. Beberapa nama julukan yang umum digunakan antara lain baikin (kuman), shine (mati lo!) dan kusai (dasar bau).24

2. 3. b Penganiayaan Fisik

Penganiayaan mental sering kali diikuti pula dengan penganiayaan fisik. Yang dimaksud dengan penganiayaan fisik adalah tindakan ijime yang melibatkan fisik untuk diperolok. Keberadaan korban ijime dianggap terlalu mengganggu kenyamanan sehingga ijimekko sering menyerang secara fisik demi kesenangan dan kepuasan mereka. Penganiayaan fisik ini juga dilakukan secara terus menerus dan biasanya tidak ada yang berani membela korban ijime ketika hal ini terjadi. Contoh dari bentuk penganiayaan fisik antara lain menjambak rambut, menyiram air kotor ke sekujur tubuh korban, menampar, melakukan pelecehan seksual, dan sebagainya.25

2.4 Dampak Tindakan Ijime terhadap Korban

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa identitas seseorang baru bisa dia dapatkan ketika dia diakui oleh satu kelompok tertentu. Contoh sederhana dari kasus ini adalah ketika memperkenalkan diri kepada orang asing. Jika pada beberapa negara, proses perkenalan diri cukup dengan menyebutkan nama saja,

24

Ibid hal 150

25

(9)

lain halnya dengan orang Jepang yang secara otomatis akan menyebutkan kelompok tempatnya terkait juga.26 Ruang lingkup kelompok yang dimaksud disini tidak hanya sekedar tempat orang tersebut bersekolah atau bekerja saja, tetapi mencakup wilayah pengertian yang lebih luas misalnya tempat tinggal, kampong halaman, garis keturunan dan sebagainya.(H Kato et al. 1971: 23) Orang Jepang lebih memilih untuk memperkenalkan diri sebagai,”トヨタの高橋です”, yang berarti bahwa dia adalah Takahashi yang bekerja di perusahaan Toyota, dibandingkan sekedar menyebut namanya (beserta nama keluarga) saja. Ada kebanggaan tersendiri bagi orang Jepang untuk menunjukkan bahwa dia diakui ke dalam satu kelompok tertentu. Apalagi jika kelompok tersebut cukup terkenal di mata orang lain.

Bagi mereka yang tidak termasuk ke dalam kelompok masyarakat manapun, tentu saja konsekuensi yang harus mereka terima adalah menjadi sasaran tindakan ijime. Tindakan ijime tersebut dapat berupa sekedar cemoohan atau ejekan, hinaan, bahkan hingga menjurus ke arah kekerasan fisik dari orang-orang di sekitar mereka.

Penganiayaan yang dilakukan secara kontinuitas, baik secara fisik maupun psikologis tentu menimbulkan dampak negatif bagi korban. Begitu pula halnya dengan ijime. Berikut ini adalah beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh ijime yang berhasil penulis kumpulkan dari beberapa sumber, yaitu:

1. Muncul rasa takut dalam diri korban terhadap pelaku.

Hal ini timbul bersama dengan kekhawatiran korban bahwa si pelaku dapat senantiasa menyiksa dirinya kapan saja si pelaku inginkan. Oleh sebab itu,

26

(10)

korban ijime cenderung berusaha menghindari untuk berada di tempat yang sama dengan si pelaku supaya dapat terhindar dari kemungkinan diijime.27 Contoh kasus dari dampak ini terjadi pada bulan Februari 1984 di distrik Hokuriku. Seorang murid SMP menolak untuk kembali bersekolah karena telah menjadi korban ijime selama enam bulan. Sehari sebelumnya, korban pulang dalam kondisi fisik sudah mengalami luka memar di sekujur wajah dan tubuhnya yang diduga sebagai akibat dari pemukulan. Setelah diusut oleh kedua orangtuanya, anak tersebut ternyata telah menjadi sasaran ijime yang dilakukan oleh para murid serta guru di sekolah tersebut. Ketika ayah anak tersebut meminta kepala sekolah untuk menghukum para pelaku, kepala sekolah menolak dengan alasan bahwa anak tersebut telah melakukan pelanggaran yang membuatnya pantas dihukum. Pelanggaran yang dilakukan oleh anak tersebut ternyata hanya karena anak itu memiliki rambut lima sentimeter lebih panjang dari batas yang telah ditentukan pihak sekolah (korban berjenis kelamin laki-laki). Kesalahan itu telah membuatnya menjadi “berbeda” dengan anak-anak lain sehingga ia akhirnya menjadi korban ijime. Kasus di atas ditutup setelah si anak memilih untuk keluar dari sekolah tersebut. 28

2. Timbulnya perasaan minder, putus asa, kesepian dan sebagainya

Perasaan negatif seperti minder, putus asa, kesepian dan sebagainya, umumnya tumbuh dalam diri korban yang kerap mengalami penganiayaan mental, seperti diejek, dihina, diasingkan, dan ditolak. Penganiayaan semacam ini lambat laun akan membuat si korban merasa bahwa dirinya memang persis

27

Yoshio Murakami, Bullies in Classroom, (USA: 1993) hal 148

28

(11)

seperti yang dituduhkan oleh pelaku. Misalnya jika seorang korban terus-menerus dihina sebagai “sampah” oleh masyarakat, maka perlahan dia akan meyakini bahwa dia memang sampah seperti yang masyarakat katakan.29 3. Mendorong korban ijime untuk melakukan bunuh diri

Apabila korban ijime termasuk seseorang bermental lemah atau korban merasa dirinya tidak sanggup menahan penderitaan menjadi objek bulan-bulanan, maka ini adalah solusi terakhir yang dianggap paling ampuh untuk mengakhiri semuanya. Kasus bunuh diri yang dilakukan korban ijime meningkat pesat ketika memasuki tahun 1980-an. Angka bunuh diri yang melonjak tajam akibat ijime membuat pemerintah sadar bahwa ijime merupakan masalah sosial serius dalam masyarakat Jepang.30

4. Tidak memiliki identitas diri31

Seperti telah dipaparkan di atas, pengakuan masyarakat merupakan suatu cara untuk mengukuhkan keberadaan individu dalam masyarakat Jepang. Hal ini dikarenakan seseorang bukanlah milik dirinya sendiri melainkan milik kelompok (masyarakat). Pengakuan dari salah satu kelompok bertujuan untuk membangun identitas individu tersebut sebagai bagian dari masyarakat Jepang. Seseorang yang mengalami ijime sudah pasti tidak memiliki kelompok yang bersedia mengakui dirinya sebagai bagian dari mereka. Dengan demikian,

29

Taki Mitsuru, Loc, cit

30

Akiko Dogakinai, “Ijime: A social illness of Japan” http://www.cause-effectresearchofijime/mht/.

31

Identitas diri adalah sebuah citra tentang diri berdasarkan informasi-informasi yang didapat dari lingkungan sekitar (Teori peran, konsep derivasi dan implikasinya. Edy Suhardono, Jakarta:1994) hal 49

(12)

korban ijime jelas tidak memiliki identitas diri dalam masyarakat yang membuat keadaan mereka semakin terpuruk.32

5. Korban dapat berbalik menjadi pelaku

Tidak sedikit korban ijime berbalik menjadi pelaku ijime bagi orang lain. Korban ijime yang membutuhkan cara untuk melampiaskan stres mereka, kerap mengijime orang lain yang mereka anggap memiliki posisi lebih rendah daripada mereka atau orang lain yang tidak memiliki hubungan dengan kelompok yang menjadikan dirinya sebagai sasaran ijime. Hal inilah yang menyebabkan ijime menjadi semacam lingkaran setan yang tidak berujung karena pola yang terus menerus berulang semacam ini.33

Selain dapat berbalik menjadi pelaku di luar kelompoknya, ketakutan apabila dia akan terus menjadi korban ijime selamanya, sanggup mendorong korban ijime melakukan pembunuhan sadis terhadap pelaku. Seperti yang menimpa Kamazawa Yoshiaki, murid sebuah SMU swasta di daerah Osaka pada tahun 1984.

Kamazawa Yoshiaki, sixteen, was the son of a sushi shop operator in Osaka and attended a private high school in the city. His body was found on the afternoon of November 2 in a river in the Tenma area. His head had been struck dozens of times with a hammer and his eyes had been gouged out. Police suspicions focused almost immediately on two of Yoshiaki’s classmates, A and B, both fifteen. After preliminary questioning, they were arrested on November 11 on suspicion of murder.34

Terjemahan: Kamazawa Yoshiaki, enam belas tahun, adalah anak dari seorang operator toko Sushi di Osaka dan bersekolah di sebuah SMU swasta di kota tersebut.

32

Takie Sugiyama Lebra, Op. cit hal 23

33

Yoshio Murakami, Op. cit hal 151

34

(13)

Tubuhnya ditemukan pada sore hari tanggal 2 November di sebuah sungai di area Tenma . Kepala korban telah dipukul berkali-kali dengan palu dan kedua matanya dicungkil keluar. Polisi dengan segera mengarahkan kecurigaan pada teman sekelas Yoshiaki, A dan B, keduanya berusia 15 tahun. Setelah pemeriksaan mendalam, mereka akhirnya ditangkap dengan tuduhan pembunuhan pada tanggal 11 November.

Kasus di atas terjadi karena kedua pelaku tidak tahan menerima tindakan ijime yang terus menerus dilakukan oleh korban. Mereka sepakat untuk membunuh Yoshiaki demi mengakhiri penderitaan mereka sebagai korban ijime. Setelah berhasil memanggil korban ke taman, keduanya bergantian memukul kepala Yoshiaki dengan menggunakan palu. Seolah takut Yoshiaki akan bangun kembali (meskipun mereka telah melihat Yoshiaki berlumuran darah dengan kepala pecah), salah satu dari mereka mencungkil keluar bola mata Yoshiaki dengan menggunakan ujung palu yang sama dan kemudian membuang mayat tersebut ke sungai terdekat.

Referensi

Dokumen terkait

 Membran ACV bergerak ke atas dan piston ACV menutup saluran udara /memotong aliran udara, sehingga campuran bensin dan udara dari Slow Jet menjadi lebih kaya. SLOW

Hubungan Lingkungan Kerja Dengan Stres Kerja Perawat Di Ruangan Mawar RSUD Pasangkayu Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 15 responden yang menyatakan lingkungan kerja

Dalam serbuan tersebut, sebanyak 35 orang pekerja asing telah ditahan kerana tidak mempunyai dokumen perjalanan diri yang sah, tidak mempunyai permit kerja, serta

Untuk mencegah timbulnya masalah di kemudian hari, pihak kreditor sebaiknya lebih berhati-hati dalam menganalisa dan menetapkan jaminan milik pihak ketiga sebagai jaminan utang

Hasil penelitian tentang hubungan pengetahuan keselamatan kerja dengan kewaspadaan terhadap kecelakaan kerja pada karyawan bagian pengisian LPG PT.Pertamina

Sehingga bila siswa diberikan soal yang bertipe sama siswa tidak akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan, didukung hasil penelitian Syafi’I (2014: 16) menyatakan

Okey sekarang kita mulai, kaka minta tutup mata adik secara berlahan, rasakan seluruh tubuh adik sangat rileks dan nyaman, bayangkan adik disebuah pantai dengan

P-2 Saudara-saudara, disilakan berdiri jika memungkinkan. Mari menyerahkan persembahan kita dalam doa kepada Tuhan. Ya Tuhan, kami mengucap syukur dengan memberi persembahan