HUBUNGAN TINGKAT PEMAPARAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA PENGEMUDI BECAK MESIN
DI KOTA PEMATANG SIANTAR TAHUN 2010
SKRIPSI
Oleh
041000001 Ishari Wida Utami
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN TINGKAT PEMAPARAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA PENGEMUDI BECAK MESIN
DI KOTA PEMATANG SIANTAR TAHUN 2010
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh
041000001
ISHARI WIDA UTAMI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi Dengan Judu l:
HUBUNGAN TINGKAT PEMAPARAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA PENGEMUDI BECAK MESIN DI KOTA
PEMATANG SIANTAR TAHUN 2010
Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh
NIM. 041000001 ISHARI WIDA UTAMI
Telah Diuji Dan Dipertahankan Dihadapan Timpenguji Skripsi Pada Tanggal 23 Juli 2010
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima
Tim Penguji
Medan, September 2010 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Dekan,
ABSTRAK
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki, defenisi ini menunjukkan bahwa bising itu sangat subjektif, tergantung dari masing-masing individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Pengaruh khusus akibat kebisingan berupa gangguan pendengaran, gangguan kehamilan, pertumbuhan bayi, gangguan komunisasi, gangguan istirahat, gangguan tidur, psikofisiologis, gangguan mental, kinerja, pengaruh terhadap perilaku pemukiman, ketidak nyamanan, dan juga gangguan berbagai aktivitas sehari-hari. Saat ini kebisingan telah menjadi masalah yang banyak di hadapi penduduk. Untuk kegiatan pembangunan secara fisik seperti sarana transportasi harus dikendalikan tingkat kebisingannya sehingga tidak melampaui batas.
Penelitian ini dilakukan di Kota Pematang Siantar yang bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar .
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Adapun variabel yang diukur adalah tingkat pemasaran kebisingan dan gangguan pendengaran. Pengukuran tingkat kebisingan menggunakan Sound Level Meter, pengukuran ketulian dengan menggunakan alat Audiometri dan pengukuran tinnitus dan vertigo dengan menggunakan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengemudi becak yang berjumlah 57 orang dan pengambilan sample dengan menggunakan rumus Lemeshow.
Hasil penelitian menunjukkan hanya 15 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami ketulian, sebanyak 27 responden menyatakan tidak mengalami ketulian. hanya 12 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami tinitus, sedangkan sebanyak 30 responden menyatakan tidak mengalami tinitus. Dan 18 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami vertigo, sebanyak 24 responden menyatakan tidak mengalami vertigo. Hasil analisis yang lain menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat kebisinga dengan terjadinya ketulian (p=0,001), tinnitus (p=0,000) dan vertigo (p=0,011).
Berdasarkan hasil penelitian disarankan diharapkan kepada pengemudi becak untuk mengurangi kebisingan dengan cara mengganti motor dengan sepeda motor yang tidak mengakibatkan polusi udara, penggunaan APD yang dapat mengurangi tingkat paparan kebisingan pada telinga, apabila terpapar kebisingan yang sangat tinggi sebaiknya pengendara becak melakukan istirahat beberapa saat ditempat yang intensitas suara rendah (tidak bising) untuk menormalkan fungsi pendengaran (telinga), diharapkan kepada instansi terkait seperti dinas Kesehatan, DLLAJ dan instansi terkait lainnya melakukan penyuluhan kepada pengemudi becak tentang pengaruh kebisingan dan cara pengendaliannya.
ABSTRACT
Noise is the sound or noise that disturbs or is not desired, this definition shows that the noise is very subjective, depending on each individual, time and place of occurrence of noise. Special influence in the form of hearing loss due to noise, interruptions of pregnancy, infant growth, impaired communication are, the disturbance of rest, sleep disturbances, psikofisiologis, mental disorders, performance, influence on settlement behavior, inconvenience, and disruption of daily activities. Current noise has become a problem that many people face. For physical development activities such as transportation facilities must be controlled so that noise levels do not exceed the limits. This research was conducted in the city Pematang Siantar which aims to find out the correlation between noise exposure with hearing loss in rickshaw driver in the city of Pematang Siantar machine.
Type a descriptive study with quantitative approach. The variables measured is the level of marketing noise and hearing loss. Measurement of noise levels using a Sound Level Meter, measurement of hearing loss by using audiometry and measurement of tinnitus and vertigo with the use of interviews using a questionnaire. The population in this study are all pedicab drivers who numbered 57 people and taking sample using the formula Lemeshow.
Results showed that 15 respondents who were above the noise threshold states experiencing deafness, as many as 27 respondents said no experience of deafness. only 12 respondents who were above the noise threshold states experiencing tinnitus, while as many as 30 respondents said not having tinnitus. And 18 respondents who were above the noise threshold states experienced vertigo, a total of 24 respondents said not experience vertigo. The result of another analysis showed a significant correlation between the occurrence of deafness kebisinga level (p = 0.001), tinnitus (p = 0.000) and vertigo (p = 0.011).
Based on this research are expected to cycle rickshaw is recommended to reduce noise by replacing the motor with a motorcycle that does not cause air pollution, use of PPE that can reduce noise exposure level of the ears, when exposed to very high noise pedicab driver should do some time resting place of the low-intensity sound (no noise) to normalize the function of hearing (ears), is expected to relevant agencies such as health services, DLLAJ and other relevant agencies to educate about the effect of pedicab drivers and how to control noise.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ishari Wida Utami
Tempat/ Tanggal lahir : Pematang Siantar, 8 Desember 1985
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Nama Orang Tua :
Ayah : Iskandar
Ibu : Hartini
Anak ke : 1 (satu) dari 2 bersaudara
Alamat Rumah Orang Tua : Kompleks RS. Laras PTPN IV, Ser Belawan
Alamat : Jl. Seksama Gg. Adil No.17
Riwayat Pendidikan
Tahun 1991-1993 : TK Melati Pematang Siantar
Tahun 1993-1999 : SD Negeri 091250 Marihat Ulu
Tahun 1999-2001 : SMP Swasta Sultan Agung Pematang Siantar
Tahun 2001-2004 : SMA Negeri I Dolok Batu Nanggar
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat kasih dan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Hubungan Tingkat
Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran pada Pengemudi Becak Mesin di Kota
Pematang Siantar Tahun 2010”.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dibuat untuk dapat menyelesaikan
pendidikan Strata I pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan dari berbagai
hal. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak yang
bersifat membangu n demi kebaikan isi skripsi ini.
Selama proses pendidikan dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak
mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :
1. DR. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. Ir. Indra Cahaya, MSi selaku ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. dr. Devi Nuraini Santi, Mkes selaku Dosen Pembimbing skripsi I yang telah
4. Evi Naria, MKes, selaku Dosen Pembimbing skripsi II yang telah banyak
memberikan bimbingan dan pengarahan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
5. Prof.dr. Rozaini Nst, SKM selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
6. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
7. Teristimewa kepada kedua orang tuaku tercinta Ayahanda Iskandar, Ibunda Hartini
dan Adikku tersayang Winda Lesmana yang telah banyak memberikan doa,
dukungan moril dan materi selama penulis mengikuti dan menyelesaikan
perkuliahan ini.
8. Teman-temanku seperjuangan stambuk 2004 Ika, Youlan, Yabin, Yani, Dome ,
Fitri, Zie Zie, Marila Sari yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam
penyelesaian skripsi ini.
9. Adik-adik Kelasku yang telah banyak membantu Sylvia Azhari, Gabriella Septiani,
Asri Budiningsih, Hendra Dinata, Fadillah Widyaningsih, Widya Agnesia, Neni
Simanjuntak, Olvariani Sitepu, Elfrida, Iskandar, Andriansyah Munthe.
10. Terkhusus buat Musrijal yang telah banyak membantu dan memberi masukan dan
Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa akan membalas semua kebaikan dan bantuan
yang telah penulis terima selama ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan
berkat dan rahmatNya bagi kita semua. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat bagi para pembaca khususnya keluarga besar Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
Medan, Juli 2010 Penulis
DAFTAR ISI
2.2. Anatomi Telinga Dan Mekanisme Mendengar ... 7
2.3. Defenisi Kebisingan ... 8
2.3.1. Bunyi dan Mekanisme Kebisingan ... 8
2.3.2. Jenis Kebisingan... 10
2.3.2.1. Kebisingan Tetap ... 10
2.3.2.2. Kebisingan Tidak Tetap ... 10
2.3.3. Sumber- sumber Bising ... 11
2.3.4. Pengukuran Kebisingan ... 11
2.3.5. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan ... 12
2.3.6. Pengaruh Kebisingan Pada Pendengaran ... 13
2.3.7. Pembagian Efek Kebisingan Terhadap Pendengaran ... 15
2.3.8. Keluhan Pendengaran ... 16
2.3.8.1. Ketulian ... 17
2.3.8.2. Tinitus ... 18
2.3.8.2.1. Patofisiologi Tinitus ... 19
2.3.8.3. Vertigo ... 20
2.3.8.4. Kaitan Kebisingan Dengan Produktifitas Kerja ... 23
2.3.8.5. Pengendalian Kebisingan ... 24
2.4. Kerangka Konsep ... 25
BAB III METODE PENELITIAN ... 26
3.4.3. Cara Kerja Penelitian/ Pengukuran ... 28
3.4.3.1.Audiometer ... 28
4.1. Gambaran umum Kota Pematang Siantar ... 33
4.1.1. Geografi ... 33
4.1.2. Kependudukan ... 33
4.1.2.1. Pertumbuhan Penduduk ... 33
4.1.2.2. Mata Pencarian Penduduk ... 33
4.2. Hasil Penelitian ... 35
4.2.1. Identitas Responden ... 35
4.2.2. Gangguan Pendengaran pada Responden ... 36
4.2.3. Gangguan Akibat Bising pada Responden ... 37
4.2.4. Tingkat Pemaparan ... 38
4.2.5. Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengurangi Kebisingan ... 39
4.3. Analisa Statistik ... 39
BAB V PEMBAHASAN ... 42
5.1. Karakteristik Responden ... 42
5.2. Gangguan Pendengaran pada Pengemudi Becak ... 43
5.3. Tingkat Pemaparan Kebisingan ... 44
5.4. Upaya Mengurangi Kebisingan Becak Mesin ... 45
5.5. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran ... 45
5.5.1. Ketulian ... 45
5.5.2. Tinitus ... 46
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 48
6.1. Kesimpulan ... 48 6.2. Saran ... 49
DAFTAR PUSTAKA
KUESIONER PENELITIAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Pengukuran Audiometri
Lampiran 2. Tabel Hasil Penelitian dan Pengukuran Sound Level Meter Lampiran 3. Tabel Kuesioner Hasil Penelitian Responden
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 2.1. Intensitas dan waktu paparan bising yang diperkenankan ... 12
Tabel 4.1. Luas daerah, Jumlah Kepala keluarga, Rata-rata jiwa dan Kepadatan Penduduk diperinci menurut kecamatan di Kota Pematang Siantar
tahun 2010 ... 35 Tabel 4.2. Distribusi penduduk menurut tingkat pendidikan Kota Pematang
Siantar tahun 2007 ... 35 Tabel 4.3. Distribusi responden menurut identitas responden pengemudi
becak mesin di Kota Pematang Siantar
Tahun 2010... 36 Tabel 4.4. Gangguan pendengaran pada responden pengemudi
becak mesin di Kota Pematang Siantar
Tahun 2010... 37 Tabel 4.5. Gangguan Akibat Bising pada Responden pengemudi
becak mesin di Kota Pematang Siantar
Tahun 2010... 39 Tabel 4.6 Tingkat Pemaparan Kebisingan yang diterima responden
pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar
Tahun 2010... 39 Tabel 4.7. Penggunaan APD pada Responden pengemudi
becak mesin di Kota Pematang Siantar
Tahun 2010... 40 Tabel 4.8. Alasan tidak menggunakan APD pada Responden
pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar
Tahun 2010... 40 Tabel 4.9 Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Ketulian
Pada Pengemudi Becak Mesin Tahun 2010 ... 41 Tabel 4.10.Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Tinitus
Pada Pengemudi Becak Mesin Tahun 2010 ... 41 Tabel 4.11. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan vertigo
ABSTRAK
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki, defenisi ini menunjukkan bahwa bising itu sangat subjektif, tergantung dari masing-masing individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Pengaruh khusus akibat kebisingan berupa gangguan pendengaran, gangguan kehamilan, pertumbuhan bayi, gangguan komunisasi, gangguan istirahat, gangguan tidur, psikofisiologis, gangguan mental, kinerja, pengaruh terhadap perilaku pemukiman, ketidak nyamanan, dan juga gangguan berbagai aktivitas sehari-hari. Saat ini kebisingan telah menjadi masalah yang banyak di hadapi penduduk. Untuk kegiatan pembangunan secara fisik seperti sarana transportasi harus dikendalikan tingkat kebisingannya sehingga tidak melampaui batas.
Penelitian ini dilakukan di Kota Pematang Siantar yang bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar .
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Adapun variabel yang diukur adalah tingkat pemasaran kebisingan dan gangguan pendengaran. Pengukuran tingkat kebisingan menggunakan Sound Level Meter, pengukuran ketulian dengan menggunakan alat Audiometri dan pengukuran tinnitus dan vertigo dengan menggunakan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengemudi becak yang berjumlah 57 orang dan pengambilan sample dengan menggunakan rumus Lemeshow.
Hasil penelitian menunjukkan hanya 15 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami ketulian, sebanyak 27 responden menyatakan tidak mengalami ketulian. hanya 12 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami tinitus, sedangkan sebanyak 30 responden menyatakan tidak mengalami tinitus. Dan 18 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami vertigo, sebanyak 24 responden menyatakan tidak mengalami vertigo. Hasil analisis yang lain menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat kebisinga dengan terjadinya ketulian (p=0,001), tinnitus (p=0,000) dan vertigo (p=0,011).
Berdasarkan hasil penelitian disarankan diharapkan kepada pengemudi becak untuk mengurangi kebisingan dengan cara mengganti motor dengan sepeda motor yang tidak mengakibatkan polusi udara, penggunaan APD yang dapat mengurangi tingkat paparan kebisingan pada telinga, apabila terpapar kebisingan yang sangat tinggi sebaiknya pengendara becak melakukan istirahat beberapa saat ditempat yang intensitas suara rendah (tidak bising) untuk menormalkan fungsi pendengaran (telinga), diharapkan kepada instansi terkait seperti dinas Kesehatan, DLLAJ dan instansi terkait lainnya melakukan penyuluhan kepada pengemudi becak tentang pengaruh kebisingan dan cara pengendaliannya.
ABSTRACT
Noise is the sound or noise that disturbs or is not desired, this definition shows that the noise is very subjective, depending on each individual, time and place of occurrence of noise. Special influence in the form of hearing loss due to noise, interruptions of pregnancy, infant growth, impaired communication are, the disturbance of rest, sleep disturbances, psikofisiologis, mental disorders, performance, influence on settlement behavior, inconvenience, and disruption of daily activities. Current noise has become a problem that many people face. For physical development activities such as transportation facilities must be controlled so that noise levels do not exceed the limits. This research was conducted in the city Pematang Siantar which aims to find out the correlation between noise exposure with hearing loss in rickshaw driver in the city of Pematang Siantar machine.
Type a descriptive study with quantitative approach. The variables measured is the level of marketing noise and hearing loss. Measurement of noise levels using a Sound Level Meter, measurement of hearing loss by using audiometry and measurement of tinnitus and vertigo with the use of interviews using a questionnaire. The population in this study are all pedicab drivers who numbered 57 people and taking sample using the formula Lemeshow.
Results showed that 15 respondents who were above the noise threshold states experiencing deafness, as many as 27 respondents said no experience of deafness. only 12 respondents who were above the noise threshold states experiencing tinnitus, while as many as 30 respondents said not having tinnitus. And 18 respondents who were above the noise threshold states experienced vertigo, a total of 24 respondents said not experience vertigo. The result of another analysis showed a significant correlation between the occurrence of deafness kebisinga level (p = 0.001), tinnitus (p = 0.000) and vertigo (p = 0.011).
Based on this research are expected to cycle rickshaw is recommended to reduce noise by replacing the motor with a motorcycle that does not cause air pollution, use of PPE that can reduce noise exposure level of the ears, when exposed to very high noise pedicab driver should do some time resting place of the low-intensity sound (no noise) to normalize the function of hearing (ears), is expected to relevant agencies such as health services, DLLAJ and other relevant agencies to educate about the effect of pedicab drivers and how to control noise.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pembangunan Indonesia dilaksanakan pada segala bidang guna mewujudkan
manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materi
maupun spiritual. Visi pembangunan kesehatan di Indonesia yang dilaksanakan adalah
Indonesia Sehat 2010 dimana penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat,
mampu memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2002).
Menurut teori yang dikemukakan oleh H.L. Blum bahwa status kesehatan sangat
dipengaruhi oleh faktor keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan.
Sedangkan untuk meningkatkan status kesehatan seseorang diperlukan lingkungan yang
kondusif. Salah satu cara adalah bebas dari polusi, baik polusi udara maupun polusi suara.
Akan tetapi lingkungan yang bebas polusi sangat jarang kita temui pada saat sekarang ini.
Hal ini terjadi karena bertambahnya urbanisasi sehubungan dengan bertambahnya
transportasi yang pesat dan pertambahan penggunaan mesin-mesin baru, yang lebih besar
dan berkekuatan dimana-mana, bising telah menjadi hasil sampingan yang tidak dapat
diabaikan dari kehidupan kita yang telah dimekanisasi dan merupakan bahaya yang serius
pula terhadap kesehatan kita (Doelle,1993).
Suara yang tidak diinginkan akan memberikan efek yang kurang baik terhadap
kesehatan. Suara merupakan gelombang mekanik yang dihantarkan oleh suara medium
intensitas (loudness), frekuensi, periodesitas (kontinue atau terputus) dan durasinya.
Faktor-faktor tersebut juga ikut memperngaruhi dampak suatu kebisingan terhadap kesehatan
(Mansyur, 2003).
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki, defenisi
ini menunjukkan bahwa bising itu sangat subjektif, tergantung dari masing-masing
individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Sedangkan secara audiologi, bising adalah
campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekwensi (Adriana, 2005).
Pengaruh buruk kebisingan, didefenisikan sebagai suatu perubahan morfologi dan
fisiologi suara organisme yang mengakibatkan penurunan kapasitas fungsional untuk
mengatasi adanya stress tambahan atau peningkatan kerentanan suatu organisme terhadap
pengaruh efek faktor lingkungan yang merugikan, termasuk pengaruh yang bersifat
sementara maupun gangguan jangka panjang terhadap suatu organ atau seseorang secara
fisik, psikologis atau sosial.
Pengaruh khusus akibat kebisingan berupa gangguan pendengaran, gangguan
kehamilan, pertumbuhan bayi, gangguan komunisasi, gangguan istirahat, gangguan tidur,
psikofisiologis, gangguan mental, kinerja, pengaruh terhadap perilaku pemukiman, ketidak
nyamanan, dan juga gangguan berbagai aktivitas sehari-hari (Mansyur, 2003). Cacat
pendengaran akibat kerja (occupational deafness/ noise induced hearing loss) adalah hilangnya sebahagiaan atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat permanen,
mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan
Saat ini kebisingan telah menjadi masalah yang banyak di hadapi penduduk kota
besar (Wardhana, 2004). Kebisingan merupakan salah satu faktor penting penyebab
terjadinya stress dalam kehidupan modern (Chandra, 2007). Karena merupakan suatu unsur
lingkungan yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan hidup.
Untuk kegiatan pembangunan secara fisik seperti sarana transportasi harus dikendalikan
tingkat kebisingannya sehingga tidak melampaui batas.
Berdasarkan survei “Multi Center Study” di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara
lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang
tertinggi tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan
masalah sosial di tengah masyarakat. Sementara itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk dunia menderita gangguan
pendengaran dan 75 juta-140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara (Depkes RI, 2004).
Sektor transportasi telah dikenal sebagai salah satu sektor yang sangat berperan
dalam pembangunan ekonomi yang menyeluruh. Namun sektor ini dikenal pula sebagai
salah satu sektor yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan misalnya udara
(polusi) dan kebisingan mesin alat transportasi seperti mobil, taksi, angkutan kota, sepeda
motor dan becak mesin.
Becak mesin merupakan salah satu alat transportasi yang banyak terdapat di
kota-kota besar. Suara yang dihasilkan menjadi sumber kebisingan di jalan raya. Selain itu,
berdasarkan hasil penelitian Bangun (2003), bahwa hasil pengukuran tingkat pemaparan
pemaparan kebisingan becak mesin dibawah 85 dB sebanyak 6 orang, serta hampir semua
responden (87,7%) mengalami keluhan kesehatan akibat pemaparan kebisingan.
Salah satu transportasi yang paling banyak diminati oleh masyarakat khususnya
Kota Pematang Siantar adalah becak mesin. Sehingga kota Siantar sering juga dikenal
masyarakat dengan sebutan kota becak mesin. Selain itu juga, hampir seluruh masyarakat
memiliki pekerjaan sebagai pengemudi becak mesin. Becak mesin yang ada di kota Siantar
memiliki bentuk yang unik dari yang lain,sehingga menambah kekhasannya di banding
daerah lainnya.
Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh peneliti, didapat data dari kantor
Dinas Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJ) Kota Pematang Siantar bahwa
banyaknya becak motor yang beroperasi didaerah tersebut adalah 357 unit. Becak motor ini
tersebar di setiap sudut kota Pematang Siantar. Masyarakat kota Pematang Siantar sering
mengeluhkan suara bising becak mesin yang melintas dekat rumah saat mereka istirahat
maupun lokasi tempat mereka beraktifitas. Lokasi pangkalan becak terletak di
pinggir-pinggir jalan raya sehingga tidak ideal karena sekitarnya terdapat sekolah dan kantor yang
memerlukan suasana tenang dan tidak bising.
Suara bising yang ditimbulkan becak mesin di Pematang Siantar dapat melebihi
Nilai Ambang Batas yang dapat mengakibatkan gangguan pada pendengaran. Sehingga hal
tersebut menjadi dasar bagi peneliti guna mengetahui hubungan tingkat pemaparan
kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin di Kota Pematang
Siantar tahun 2010.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan
pendengaran pada pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar Tahun 2010.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik pengemudi becak.
2. Untuk mengetahui tingkat kebisingan suara becak.
3. Untuk mengetahui gangguan pendengaran yang terjadi pada pengemudi becak.
4. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pemaparan kebisingan dengan
gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar.
1. Bagi pengemudi becak sebagai bahan informasi mengenai kebisingan dan akibat
yang ditimbulkannya.
2. Bagi Fakultas, sebagai bahan bacaan dan masukan bagi peneliti lain untuk
melakukan penelitian selanjutnya.
3. Bagi pihak Pemerintah Kota Pematang Siantar sebagai bahan pertimbangan
dalam membuat kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
4. Bagi peneliti sebagai sarana untuk memperdalam pengetahuan serta
mengembangkan ilmu yang telah dipelajari selama perkuliahan.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bunyi
2.1.1 Defenisi Bunyi
Bunyi atau suara di defenisikan sebagai serangkaian gelombang yang merambat dari
suara sumber getar sebagai akibat perubahan kerapatan dan juga tekanan udara (J.F.Gabriel,
1996). Defenisi lain suara adalah sensasi yang dihasilkan apabila getaran longitudinal
molekul dari lingkungan luar, yaitu pemadatan dan perenggangan dari
molekul-molekul yang silih berganti, mengenai membran timpani. Pola dari gerakan ini
digambarkan sebagai perubahan-perubahan tekanan pada membran timpani tiap unit waktu
merupakan sederatan gelombang dan gerakan ini dalam lingkungan sekitar kita umumnya
dinamakan gelombang suara. Bunyi merupakan perubahan tekanan dalam udara yang
ditangkap oleh gendang telinga dan disalurkan ke otak (Eko, 2003).
2.2. Anatomi Telinga Dan Mekanisme Mendengar
Telinga terdiri dari 3 bagian utama yaitu :
1. Telinga Bagian Luar
Terdiri dari daun telinga dan liang telinga (audiotory canal), dibatasi oleh membran timpani. Telinga bagian luar berfungsi sebagai mikrofon yaitu menampung gelombang
suara dan menyebabkan membran timpani bergetar. Semakin tinggi frekuensi getaran
semakin cepat pula membran tersebut bergetar begitu pula sebaliknya.
Terdiri dari osside yaitu 3 tulang kecil (tulang pendengaran yang halus). Martil
landasan-sanggurdi yang berfungsi memperbesar getaran dari membran timpani dan
meneruskan getaran yang telah diperbesar ke oval window yang bersifat fleksibel. Oval window ini terdapat pada ujung dari cochlea.
3. Telinga Bagian Dalam
Yang juga disebut cochlea dan berbentuk rumah siput. Cochlea mengandung cairan,
di dalamnya terdapat membran basiler dan organ corti yang terdiri dari sel-sel rambut
yang merupakan reseptor pendengaran. Getaran dari oval window akan diteruskan oleh
cairan dalam cochlea, mengantarkan membran basiler. Getaran ini merupakan implus
bagi organ corti yang selanjutnya diteruskan ke otak melalui syaraf pendengar (Buchari,
2007).
2.3. Defenisi Kebisingan
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam
tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan (Kep MENLH No : Kep-48/MENLH/11/1996). Kebisingan adalah
suara atau bunyi yang tidak dikehandaki atau dapat diartikan pula sebebagai suara yang
salah pada tempat dan waktu yang salah (Chandra, 2007).
2.3.1. Bunyi Dan Mekanisme Kebisingan
Bunyi dinyatakan sebagai sensasi pendengaran yang lewat telinga dan timbul karena
penyimpangan tekanan udara. Penyimpangan ini biasanya disebabkan oleh beberapa benda
yang bergetar, misalnya dawai gitar yang dipetik atau garpu tala yang dipukul. Sewaktu
kita maka membran ini akan bergetar sebagai jawaban pada fluktuasi tekanan udara
tersebut. Getaran ini melalui saluran dan proses tertentu akan sampai diotak kita dimana hal
ini diinterprestasikan sebagai suara.
Pada kondisi atau aktifitas tertentu, misalnya saat seseoarang berpindah dari satu
lokasi ke lokasi lain dengan perbedaan tingkat ketinggian lokasi cukup besar dalam waktu
relatif singkat, akan timbul perbedaan tekanan udara antara bagian depan dan belakang
gendang telinga. Akibatnya gendang telinga tidak dapat bergetar secara efisien, dan sudah
barang tentu pendengaran akan terganggu (Tambunan, 2005).
Suara bising akan dapat terjadi apabila ada 3 (tiga) hal yaitu : sumber bising,
media/udara, dan penerima. Dari sumber bising, suara akan merambat melalui udara dalam
bentuk gelombang sampai suara tersebut diterima oleh pendengar/penerima. Kebisingan
tidak akan terjadi tanpa adanya media/udara. Pengurangan kebisingan dapat dilakukan
dengan jalan penggunaan isolasi/isolator antara sumber dan penerima (Doelle, 1993).
Telinga manusia hanya mampu menangkap suara yang ukuran intensitasnya bekisar
antara 20-20.000Hz dan dengan frekuensi suara sekitar 80 dB (batas aman) (Chandra,
2007). Lebar responden telinga manusia diantara 0 dB-140 dB yang dapat didengar. Dan
batas intensitas suara tertinggi adalah 140 dB dimana untuk mendengarkan suara itu sudah
timbul perasaan sakit pada alat pendengaran (Doelle, 1993). Pajanan terhadap suara atau
bunyi yang melampaui batas aman di atas dalam waktu yang lama dapat menyebabkan
terjadinya ketulian sementara atau permanen (Chandra, 2007).
2.3.2. Jenis Kebisingan
1. Kebisingan tetap (steady noise)
2. Kebisingan tidak tetap (non steady noise)
2.3.2.1.Kebisingan Tetap (steady noise)
Kebisingan tetap (steady noise) dibedakan menjadi dua, yaitu : (Tambunan, 2005)
a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frekuensi noise)
Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam,contohnya
suara mesin, suara kipas dan sebagainya.
b. Broad Band Noise
c. Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise sama-sama digolongkan
sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah broad band noise terjadi
pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan nada murni).
2.3.2.2.Kebisingan Tidak Tetap
Kebisingan tidak tetap (non steady noise) dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a. Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise)
Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu.
b. Intermitten noise
Sesuai dengan terjemahannya, intermitten noise adalah kebisingan yang terputus-putus
dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan lalu lintas.
c. Impulsive noise
Kebisingan impulsive dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakkan
telinga) dalam waktu relative singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat-alat
2.3.3. Sumber-Sumber Bising
Sumber bising adalah suatu hal yang tidak dapat diragukan lagi sebagai asal atau
aktivitas yang menghasilkan suara bising yang merusak pendengaran baik bersifat
sementara ataupun permanen. Sumber bising utama dalam pengendalian bising lingkungan
diklasifikasikan dalam kelompok :
a. Bising interior, berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga, mesin gudang dan aktifitas
di dalam ruangan atau gedung.
b. Bising luar, bising yang dikategorikan berasal dari aktifitas diluar ruangan seperti
transportasi udara, termasuk bus, mobil, sepeda motor, transportasi air, kereta api dan
pesawat terbang dan bising yang berasal dari industri. Untuk bising transportasi yang
paling penting diketahui bahwa makin besar kendaraan akan semakin keras suara bising
yang dihasilkan (Doelle, 1993).
2.3.4 Pengukuran Kebisingan
Beberapa alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan, yaitu :
1. Audiometer, biasanya dipakai untuk mengukur kebisingan yaitu dengan
membandingkan dengan suara yang intensitasnya diketahui.
2. Noisemeter, alat ini mengambil suara dalam sebuah mikrofon dan memindahkan
energinya ke impuls listrik. Hasil pengukurannya merupakan energi total, dicatat
sebagai aliran listrik yang hampir sama dengan kebisingan yang ditangkap.
3. The Equivalent Continous Level, alat ini digunakan untuk menganalisa suatu kebisingan
4. Octave Band Analizer, alat ini digunakan untuk menganalisa suatu kebisingan dengan
spektrum frekuensi yang luas (Oloan, 2005).
5. Sound Level Meter, Alat ini digunakan untuk mengukur kebisingan antara 30-130 dB
dan dari frekuensi 20-20.000 Hz. Sound Level Meter terdiri dari mikrofon, amplifier,
dan sirkuit attenuator dan beberapa alat lain. Sound Level Meter dilengkapi dengan tombol pengaturan skala pembobotan seperti A, B, C dan D. Skala A, contohnya adalah
rentang skala pembobotan yang melingkupi frekuensi suara rendah dan frekuensi suara
tinggi yang masih dapat diterima oleh telinga manusia normal. Sementara itu skala B, C
dan D digunakan untuk keperluan-keperluan khusus, misalnya pengukuran kebisingan
yang dihasilkan oleh pesawat terbang bermesin jet (Sihar, 2005).
2.3.5. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan
Pengawasan kebisingan berpedoman pada nilai ambang batas (NAB) seperti pada
tabel 2.1 dibawah ini :
Tabel 2.1. Intensitas dan waktu paparan bising yang diperkenankan Waktu pemaparan tiap hari (jam) Batas suara (dB.A)
16 80
8 85
4 90
2 95
1 100
½ 105
¼ 110
1/8 115
Sumber : Depkes RI, 1999
Dengan adanya pemaparan 8 jam tiap hari, batas suara yang masih diperbolehkan
Tingkat kebisingan maksimum yang dianjurkan maupun diperbolehkan adalah
rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada siang hari, petang hari dan malam hari. Siang
hari adalah waktu yang digunakan oleh kebanyakan orang untuk bekerja dan berpergian.
Petang hari adalah waktu yang digunakan oleh kebannyakan orang untuk istirahat di rumah
tetapi belum tidur. Malam hari adalah waktu yang digunakan kebanyakan orang untuk
tidur.
Pembagian waktu pagi, siang dan malam hari disesuaikan dengan kegiatan
kehidupan masyarakat setempat. Biasanya pagi hari adalah pukul 06.00 - 09.00, siang hari
adalah pukul 14.00 – 17.00 dan malam hari adalah pukul 17.00 – 22.00 (Kep MENLH No :
Kep-48/MENLH/11/1996).
2.3.6. Gangguan Kebisingan Pada Pendengaran
1. Adaptasi bila telinga terpapar oleh kebisingan
Mula-mula telinga akan merasa terganggu oleh kebisingan tersebut, tetapi
lama-kelamaan telinga tidak merasa terganggu lagi karena suara terasa tidak begitu keras seperti
pada awal pemaparan.
2. Peningkatan ambang dengar sementara
Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahan akan
kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam
bahkan sampai beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran
sementara ini mula-mula terjadi pada frekuensi 4000 Hz, tetapi bila pemaparan berlangsung
lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan menyebar pada frekuensi
ambang pendengarannya. Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung
dari sensitivitas masing-masing individu.
3. Peningkatan ambang dengar menetap
Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama terjadi
pada frekuensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen,
tidak dapat disembuhkan. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi
setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15
tahun setelah terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa
pendengarannya telah berkurang dan baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan
audiogram.
Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh
setelah istirahat beberapa jam (1-2 jam). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang
cukup lama (10-15 tahun) akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ corti sampai
terjadi destruksi total organ corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi mungkin karena
rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat mengakibatkan perubahan
metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kehilangan pendengaran yang permanen.
Umumnya frekuensi pendengaran yang mengalami penurunan intensitas adalah antara
3000-6000 Hz dan kerusakan alat corti untuk reseptor bunyi yang terberat terjadi pada
frekuensi 4000 Hz (4 K notch). Ini merupakan proses yang lambat dan tersembunyi,
sehingga pada tahap awal tidak disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat dibuktikan
Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut terus berlangsung dalam waktu
yang cukup lama, akhirnya pengaruh penurunan pendengaran akan menyabar ke frekuensi
percakapan (500-2000 Hz). Pada saat itu pekerja mulai merasakan ketulian karena tidak
dapat mendengar pembicaraan sekitarnya (Tri, 2005).
2.3.7. Pembagian Efek Kebisingan Terhadap Pendengaran
Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2 kategori
yaitu : (Andriana, 2003)
1. Noise Induced Temporary Threshold Shift (NITTS)
Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai
perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi pada
frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “notch” yang curam pada
frekuensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch.
Pada tingkat awal terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat sementara,
yang disebut juga NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising biasanya
pendengaran dapat kembali normal.
2. Noise Induced Permanent Threshold Shift (NIPTS)
Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran akibat
suara bising, dan hal ini disebut dengan “occupational hearing loss” atau kehilangan
pendengaran karena pekerjaan atau mana lainnya ketulian akibat bising.
Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu bekerja
dilingkungan bising selama 10-15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada :
b. Kepekaan seseorang terhadap suara bising
NIPTS biasanya terjadi disekitar frekuansi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat
dan menyebar ke frekuensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan, tetapi apabila
sudah menyebar sampai ke frekuensi yang lebih rendah (2000 Hz dan 3000 Hz) keluhan
akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan
pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke frekuensi yang lebih
rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah. Notch
bermula pada frekuensi 3000-6000 Hz, dan setelah beberapa waktu gambaran audiogram
menjadi datar pada frekuensi yang lebih tinggi. Kehilangan pendengaran pada frekuensi
4000 Hz akan terus bertambah dan menetap setelah 10 tahun dan kemudian
perkembangannya menjadi lebih lambat.
2.3.8. Keluhan Pendengaran
Keluhan pendengaran adalah perubahan pada tingkat pendengaran yang berakibat
kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal memahami
pembicaraan.
No Gradasi Parameter
4 Berat Kesulitan dalam percakapan keras/teriak mulai jarak >1,5 m 5 Tuli total Kehilangan kemampuan pendengaran dalam berkomunikasih Sumber : Buchari, 2007
2.3.8.1.Ketulian
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara (speech
discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekuensi tinggi dapat menyebabkan
kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi,
seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali.
Ketulian biasanya bilateral. Selain itu tinitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan
akhirnya dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi. Secara umum
gambaran ketulian pada tuli akibat bising (noise induced hearing loss) adalah :
a. Bersifat sensorineural
b. Hampir selalu bilateral
c. Jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat (profound hearing loss) derajat
ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB.
d. Apabila paparan bising dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran yang
signifikan.
e. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz,
dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekuensi 4000 Hz.
f. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekuensi 3000, 4000 dan 6000
Selain pengaruh terhadap pendengaran (auditori), bising yang berlebihan juga
mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi bicara, gangguan
konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang
terjadi.
Derajat ketulian menuru ISO adalah : (Buchari, 2007)
1. Jika peningkatan ambang batas antara 0-<25 normal.
2. Jika peningkatan ambang batas antara 26-40 tuli ringan.
3. Jika peningkatan ambang batas antara 41-60 tuli sedang.
4. Jika peningkatan ambang batas antara 61-90 tuli berat.
5. Jika peningkatan ambang batas antara >9 tuli sangat berat.
2.3.8.2.Tinitus
Tinitus adalah suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan
mendengarkan bunyi tanpa ada rangsangan bunyi dari luar. Keluhan ini dapat berupa bunyi
mendengung, menderu, mendesis, atau berbagai macam bunyi yang lain.
Tinitus dapat dibagi atas 2, yaitu :
a. Tinitus obyektif, bila suara tersebut dapat juga didengar oleh pemeriksa atau dengan
auskultasi di sekitar telinga. Tinitus obyektif bersifat vibritorik, berasal dari
transmisi vibrasi sistem vaskuler atau kardoivaskuler di sekitar telinga.
b. Tinitus subjektif, bila suara tersebut hanya didengar oleh pasien sendiri, jenis ini
sering terjadi. Tinitus subjektif bersifat nonvibratorik, disebabkan oleh proses iritatif
atau perubahan degeneratif traktus auditorius mulai dari sel-sel rambut getar koklea
2.3.8.2.1.Patofisiologi Tinitus
Pada tinitus terjadi aktifitas elektrik pada area auditorius yang menimbulkan
perasaan adanya bunyi, namun implus yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal yang
ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber implus abnormal di dalam tubuh pasien
sendiri.
Implus abnormal itu dapat ditimbulkan oleh berbagai kelainan telinga. Tinitus dapat
terjadi dalam berbagai intensitas. Tinitus dengan nada rendah, seperti bergemuruh atau nada
tinggi, seperti berdengung. Tinitus dapat terus menerus atau hilang timbul terdengar.
Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga terjadi
karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh gangguan konduksi, biasanya
berupa bunyi dengan nada rendah. Jika disertai dengan inflamasi, bunyi dengung ini terasa
berdenyut (tinitus pulsasi).
Tinitus dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi pada
sumbatan liang telinga karena serumen atau tumor, tuba katar, otitis media, otosklerosis,
dan lain-lain.
Tinitus dengan nada rendah yang berpulsasi tanpa gangguan pendengaran
merupakan gejala dini yang penting pada tumor glomus jugulare. Tinitus objektif sering
ditimbulkan oleh gangguan vaskuler. Bunyinya seirama dengan denyut nadi, misalnya pada
aneurisma dan aterosklerosis. Gangguan mekanis dapat juga mengakibatkan tinitus
objektif, seperti tuba eustachius terbuka, sehingga ketika bernafas membran timpani
bergerak dan terrjadi tinitus. Kejang klonus muskulus tensor timpani dan muskulus
Bila ada gangguan vaskuler di telinga tengah, seperti tumor karotis (carotid-body
tumour), maka suara aliran darah akan mengakibatkan tinitus juga. Pada tuli sensorineural,
biasanya timbul tinitus subjektif nada tinggi (sekitar 4000 Hz). Pada intoksikasi obat seperti
salisilat, kina, streptomysin, dehidro-streptomysin, garamysin, digitalis, kanamysin, dapat
terjadi tinitus nada tinggi, terus menerus atau hilang timbul.
Pada hipertensi endolimfatik seperti penyakit meniere dapat terjadi tinitus pada nada
rendah dan tinggi, sehingga terdengar bergemuruh atau berdengung. Ganguan ini disertai
dengan tuli sensorineural dan vertigo.
Gangguan vaskuler koklea terminalis yang terjadi pada pasien yang stres akibat
gangguan keseimbangan endokrin, seperti menjelang menstruasi, hipometabolisme atau
saat hamil dapat juga timbul tinitus atau gangguan tersebut akan hilang bila keadaannya
sudah kembali normal.
2.3.8.3.Vertigo
Vertigo atau yang disebut juga dizziness, giddiness, dan lightheadedness adalah
adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya dengan gejala
lain yang timbul, terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan oleh gangguan alat
keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit.
Vertigo adalah perasaan olah penderita bergerak atau berputar, atau
seolah-olah benda di sekitar penderita bergerak atau berputar, yang biasanya disertai dengan mual
dan kehilangan keseimbangan. Hal ini bisa berlangsung beberapa menit, sampai beberapa
jam, bahkan hari. Penderita vertigo merasa lebih baik jika berbaring diam, namun demikian
Gejala-gejala vertigo meliputi :
1. Pusing
2. Kepala terasa ringan
3. Rasa terapung, terayun
4. Mual
5. Keringat dingin
6. Pucat
7. Muntah
8. Sempoyongan waktu berdiri atau berjalan
9. Nistagmus
Gejala-gejala di atas dapat diperhebat dengan berubahnya posisi kepala. Secara
garis besar, vertigo ada dua, yaitu vertigo perifer dan vertigo sentral.
a. Vertigo Perifer
Vertigo perifer (peripheral vertigo) disebabkan oleh disfungsi struktur perifer
hingga ke batang otak (brain stem).
b. Vertigo Sentral
Vertigo sentral (central vertigo) melibatkan proses penyakit yang mempengaruhi
batang otak (brain stem) atau cerebellum.
Perbadaan vertigo perifer dengan vertigo sentral :
1. Vertigo perifer beronset akut (waktunya singkat atau serangannya cepat terjadi),
durasi gejala pada vertigo perifer terjadi dalam hitungan menit, harian, mingguan,
namun berulang (recurrent).
2. Penyebab umum vertigo perifer adalah infeksi (labyrinthitis), neuronitis, iskemia,
trauma, toksin. Penyabab umum vertigo senterl adalah vaskuler, demyelinating,
neoplasma.
3. Intensitas vertigo perifer sedang hingga berat, sedangkan vertigo sentral ringan
hingga sedang.
4. Mual (nausea) dan muntah (vomiting) umumnya terjadi pada vertigo perifer dan
jarang terjadi pada vertigo sentral.
5. Vertigo perifer umumnya berhubungan dengan posisi (positionally related),
sedangkan vertigo sentral jarang berhubungan dengan posisi.
6. Kehilangan pendengaran (hearing loss) hingga ketulian umumnya terjadi pada
vertigo perifer dan jarang terjadi pada vertigo sentral.
7. Tinitus (telinga berdenging) sering kali menyertai vertigo perifer. Pada vertigo
sentral, biasanya tidak disertai tinitus.
8. Pada vertigo perifer tidak ada defisit neurologis. Defisit neurologis umumnya
terjadipada vertigo sentral.
Tingkat kebisingan yang membahayakan daya dengar di tempat kerja tergantung
pada tingkat kebisingan tertentu dan berapa lama pekerja terpapar terhadap kebisingan
setiap hari (Alfaris, 2008).
Pengaruh-pengaruh dari kebisingan antara lain :
a. Gangguan
Menurut WHO, kebisingan adalah suara-suara yang tidak dikehendaki. Besarnya
gangguan bergantung pada jenis dan intensitas suara kebisingan. Pada umumnya
kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi yang terputus-putus atau yang
datangnya secara tiba-tiba dan tidak terduga. Pengaruh kebisingan akan sangat teras apabila
sumber kebisingan tersebut tidak diketahui.
b. Komunikasi dengan pembicara
Resiko potensial pada pendengaran terjadi, apabila komunikasi dengan pembicaraan
harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan komunikasi semacam itu dapat
menyebabkan gangguan pada pekerja atau bahkan mengakibatkan kesalahan dan
kecelakaan kerja terutama pada pekerja baru.
Pengaruh pada komunikasi percakapan dapat dipastikan dengan cara mengukur
rata-rata intensitas oktaf-oktaf diantara 600-1200; 1200-1400; dan 2400-4800 Hz. Nilai yang
dihasilkan disebut tingkat gangguan pembicaraan (speech interference level).
c. Efek pada pekerjaan
Kebisingan dapat mengganggu konsentrasi pekerja pada pekerjaannya, terutama
pekerja yang lebih banyak menggunakan otak, kebisingan sebaiknya ditekan serendah
mungkin.
d. Reaksi masyarakat
Apabila kebisingan akibat suara proses produksi sudah demikian hebatnya,
pengaruhnya pasti sangat besar. Masyarakat sekitarpun pasti mengajukan protes dan
menentut agar kegiatan produksi tersebut segera dihentikan (Chandra, 2007).
Telah diuraikan sebelumnya bahwa lingkungan dan kondisi kerja yang tidak sehat
merupakan beban tambahan kerja bagi karyawan atau tenaga kerja. Sebaliknya lingkungan
yang higienis disamping tidak menjadi beban tambahan, juga meningkatkan gairah dan
motivasi kerja (Notoatmodjo, 2003).
2.3.8.5. Pengendalian Kebisingan
Kebisingan dapat dikendalikan dengan berbagai cara (Chandra, 2007). Dikenal
beberapa cara pengendalian kebisingan yaitu :
a. Mengurangi vibrasi sumber kebisingan, berarti mengurangi tingkat kebisingan yang
dikeluarkan sumbernya
b. Menutupi sumber suara
c. Melemahkan kebisingan dengan bahan penyerap suara atau peredam suara
d. Menghalingi merambatnya suara (penghalang)
e. Melindungi ruang tempat manusia atau makhluk lainnya berada dari suara
f. Melindungi telinga dari suara (Doelle, 1993)
Penggunaan proteksi dengan sumbatan telinga dapat mengurangi kebisingan sekitar
karena terasa risih adanya benda asing di telinganya. Untuk itu penyuluhan terhadap
mereka agar menyadari pentingnya tutup telinga bagi kesehatannya, dan akhirnya mau
memakainya (Notoatmodjo, 2003)
2.4. Kerangka Konsep
2.5. Hipotesis Penelitian
Ho = Tidak ada hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan
pendengaran pada pengemudi becak mesin.
Ha = Ada hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran
pada pengemudi becak mesin.
- Ketulian
- Tinitus
- Vertigo
Karekteristik :
- Penggunaan APD
- Lama bekerja
- Usia Kebisingan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei deskriptif dengan
populasi seluruh pengemudi becak yang berpangkalan disekitar Jalan Sutomo dan Jalan
Merdeka.
3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di pangkalan Jalan Sutomo dan Jalan Merdeka Pematang
Siantar pada tahun 2010.
3.2.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan bulan Februari- April 2010.
3.3. Populasi Dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar
Tahun 2010 yang berjumlah 357 unit.
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari pengemudi becak karena
pengemudi becak yang paling sering terpapar dengan kebisingan yang ditimbulkan oleh
becak. Jumlah sampel yang akan diteliti dihitung dengan menggunakan rumus Lemeshow
)
N = Besar Populasi (357 unit)
n = Besar Sampel
d = Galat pendugaan (0,1)
Z = Tingkat kepercayaan (90%=1,645)
P = Proporsi populasi (0,5)
Setelah dilakukan perhitungan menggunakan rumus di atas maka diketahui jumlah
sampel dari populasi 357 orang didapat sampel penelitian sebanyak 57 responden.
a. Melakukan pengukuran kebisingan pada becak mesin saat berjalan dan tingkat
kebisingan di pangkalan becak Kota Pematang Siantar menggunakan Sound
Level Meter.
b. Melakukan pengukuran ketulian responden dengan menggunakan Audoimeter.
c. Observasi terhadap pengemudi becak dan kondisi becak responden (karena
pengemudi becak yang langsung terpapar oleh kebisingan becak)
d. Wawancara dengan menggunakan kuesioner.
3.4.2. Data Sekunder
Diperoleh dari kantor Dinas Lalu Lintas Dan Angkut an Jalan Raya (DLLAJ) Kota
Pematang Siantar dan instansi terkait lainnya serta mengumpulkan literatur / teori yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
3.4.3. Cara Kerja Penelitian / Pengukuran
3.4.3.1.Pengukuran Kebisingan Dengan Alat Audiometer
a. Wawancara dengan menggunakan kuesioner.
b. Sebelum pemeriksaan sampel harus terbebas dari paparan bising selama 8 jam agar
didapatkan gambaran audiogram yang dapat dipercaya.
c. Pengenalan nada pada sampel, sampel diminta menekan tombol bila mendengar
nada.
d. Pemerisaan pendengaran dilaksanakan berturut-turut dari frekuensi 500 Hz, 1000
Hz, 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz dan 8000 Hz.
e. Responden dikatakan tuli jika responden tidak dapat mendengar pada frekuensi 500
f. Pada tiap-tiap frekuensi diberikan intensitas bunyi mulai dari 40-50 dB untuk pasien
normal, kemudian dinaikkan secara bertahap dan diturunkan lagi hingga batas
dimana sampel terakhir masih bisa mendengar nada yang diberikan.
g. Pemeriksaan dilakukan pada telinga kanan selanjutnya telinga kiri.
h. Mencatat hasil pemeriksaan pada lembar data.
3.4.3.2. Pengukuran Kebisingan Dengan Alat Sound Level Meter
a. Tekan tombol “ON/OFF” sampai dilayar muncul menu
b. Lakukan navigasi sesuai dengan kebutuhan menu yang diinginkan .Perubahan menu
dilakukan dengan cara menekan tombol tanda panah kearah kanan-kiri ,atas-bawah
sesuai menu yang diinginkan,kemudian tekan tombol enter.
c. Untuk Perubahan Set-Up dasar yang terdiri dari :
d. Waktu dan tanggal
e. Karakter Display
f. Lampu Pencahayaan layer
g. Kontras ,bahasa
h. Kondisi kekuatan batterei
i. Tempatkan alat pada titik pengukuran yang telah ditetapkan dengan
mempertimbangkan keamanan dan keselamatan peralatan.
j. Tekan tombol “Run”,untuk memulai pengumpulan data
k. Tekan tombol “Pause” untuk menghentikan sementara pengumpulan data dan
dilanjutkan kemudian.
m. Matikan alat dengan menekan tombol ON/OFF sampai layar mati
n. Mencatat hasil pemeriksaan pada lembar data.
3.5. Defenisi Operasional
1. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) adalah pekerja yang memakai alat-alat
pelindung dirinya seperti helm penutup yang sesuai standar seperti helm.
2. Lamanya bekerja adalah jumlah jam kerja pengemudi becak setiap hari dan dalam
penelitian ini khususnya bagi yang telah memiliki masa kerja lebih dari 3 tahun.
3. Usia adalah umur responden saat dilakukan penelitian yang dilihat dari KTP.
4. Tingkat pemaparan kebisingan adalah intensitas suara bising yang dialami
pengemudi becak selama bekerja yang dirata-ratakan selama satu hari.
Dikategorikan berdasarkan Nilai Ambang Batas (NAB) :
a. Kategori baik apabila Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan < 85 dB.
b. Kategori tidak baik apabila Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan > 85 dB.
5. Gangguan pendengaran adalah gangguan yang dirasakan oleh pengendara becak
yang meliputi ketulian, tinitus dan vertigo.
a. Ketulian adalah suatu kondisi dimana terjadi gangguan pada pendengaran dan
terjadi kerusakan yang diukur dengan Audiometri dengan frekuensi 500 Hz,
1000 Hz, 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz dan 8000 Hz.
b. Tinitus adalah suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan
mendengarkan bunyi tanpa ada rangsang bunyi dari luar (telinga mendenging).
c. Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau
otonomik yang disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh oleh
berbagai keadaan atau penyakit (pusing, perasaan berputar-putar).
6. Pengukuran dengan Sound Level Meter adalah pencatatan angka yang terbaca di
alat ukur kebisingan (Sound Level Meter), untuk mengetahui berapa tingkat
kebisingan pada pengemudi becak.
7. Pengukuran dengan Audiometer adalah pencatatan angka yang terbaca di alat ukur
ketulian (Audiometer), untuk mengetahui ada atau tidak gangguan pendengaran
pengemudi becak.
3.6. Aspek Pengukuran
Aspek pengukuran adalah untuk melihat gambaran hubungan tingkat pemaparan
kebisingan terhadap gangguan pendengaran (ketulian, vertigo, tinitus) yang dirasakan oleh
pengemudi becak mesin tersebut melalui metoda wawancara langsung dengan
menggunakan kuesioner yang telah disiapkan.
3.7. Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat pemaparan kebisingan
dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin menggunakan Uji
Chi-Square.
a. Ho adalah tidak ada hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan
pendengaran.
b. Ha adalah ada hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran.
Ho ditolak apabila sρ < α dengan α = 0,05 yang artinya ada hubungan antara tingkat
dengan menggunakan SPSS. Hasil yang diperoleh digunakan untuk penarikan kesimpulan,
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Kota Pematang Siantar 4.1.1. Geografi
Secara geografis wilayah Kota Pematang Siantar berada antara 3o01’ 09”-2o54’ 40”
Lintang Utara dan 99o 6’ 23”-99o 1’ 10” dengan luas wilayah 79,97 km2 dengan batas-batas
sebagai berikut :
Batas Utara : Kabupaten Simalungun
Batas Selatan : Kabupaten Simalungun
Batas Timur : Kabupaten Simalungun
Batas Barat : Kabupaten Simalungun
Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Siantar Martoba (40,75
km2) sedangkan kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Siantar Selatan (2,02
km2). Struktur geologis wilayah ini adalah berada pada ketinggian 0,5-5 meter di atas
permukaan laut dengan permukaan tanah yang berbukit-bukit.
4.1.2. Kependudukan
4.1.2.1. Pertumbuhan Penduduk
Jumlah penduduk Kota Pematang Siantar berdasarkan profil pada tahun 2002 adalah
242.124 jiwa sedangkan pada tahun 2007 adalah 542.124 jiwa dengan demikian dapat
dilihat laju pertumbuhan penduduk yaitu sebesar 2,23% pertahun.
4.1.2.2. Mata Pencarian Penduduk
Pada tahun 2007, sektor industri memberikan kontribusi utama pada perekonomian
relative lebih di sektor perdagangan 35,14 %, disusul sector perdagangan, hotel dan
restoran sebesar 23,40% dan sector-sektor jasa lainnya sebesar 12,60%. Sedangkan lainnya
(18,62%) meliputi pengangkutan dan komunikasi, listrik, gas dan air bersih, bangunan,
pertanian, keuangan, pertambangan dan penggalian.
Tabel 4.1. Luas Daerah, Jumlah Kepala Keluarga, Rata-rata Jiwa dan Kepadatan Pendudduk diperinci Menurut Kecamatan di Kota Pematang Siantar Tahun 2007
Sumber : Biro Pusat Statistik Kota Pematang Siantar, 2007
Kecamatan yang memiliki luas daerah terluas adalah Selatan Martoba yaitu 40,75
Ha, Jumlah kelurahan terbanyak yaitu Siantar selatan sebanyak 9, Sedangkan jumlah
penduduk terbanyak pada Kecamatan Siantar Marihat sebesar 8013 jiwa. Selanjutnya dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Menurut Tingkat pendidikan Kota Pematang Siantar tahun 2007
No Tingkat Pendidikan Jumlah (%)
1 Tingkat tamat SD 20,13%
2 Belum pernah sekolah 4,61%
3 Tamat SD 24,08%
4 SLTP 27,69%
5 SLTA 26,04%
6 Akademi/perguruan tinggi 3,50%
Untuk tingkat pendidikan masyarakat Kota Pematang Siantar yang terbanyak
tamatan SLTP sebesar 27,96% dan yang paling sedikit adalah tamatan Akademi/perguruan
tinggi sebesar 3,50%.
4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Identitas Responden
Identitas responden yang dinilai pada penelitian ini antara lain umur, masa kerja,
jam kerja dan kondisi knalpot.
Tabel 4.3. Distribusi Responden Menurut Identitas Responden Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010
No Identitas Responden Jumlah (orang) %
1 Umur
4 Kondisi Kenalpot
Standart 57 100,0
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa berdasarkan kelompok umur responden
yang terbanyak adalah pada umur 30-35 tahun yaitu sebanyak 16 orang (28,1%), sedangkan
responden yang paling sedikit adalah 1,8% pada usia >54 tahun.
Pada tabel diatas juga dapat dilihat sebanyak 43,9% mempunyai masa kerja 3-9
tahun, dan sebanyak 3 responden memiliki masa kerja >30 tahun. Sedangkan untuk jam
kerja responden adalah 35 responden bekerja selama 8 jam dan hanya 3 orang responden
yang menyatakan bahwa responden bekerja selama 10 jam setiap harinya.
Berdasarkan kondisi knalpot maka dapat diketahui bahwa semua responden yaitu 57
responden (100,0) memiliki kondisi knalpot yang standart.
4.2.2.Gangguan Pendegaran pada Responden
Dari kuesioner dapat dilihat adanya hubungan kebisingan terhadap terjadinya
gangguan pendengaran (ketulian, tinnitus, vertigo) pada responden yang dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
Tabel 4.4. Gangguan Pendengaran pada Responden Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010
No Keterangan Jumlah (orang) %
1 Pengetahuan responden tentang hubungan kebisingan dengan ketulian
Total 57 100,0
No Keterangan Jumlah (orang) %
3 Hubungan kebisingan terhadap tinitus (telinga berdengung)
Ya
4 Hubungan kebisingan terhadap vertigo
Tabel diatas dapat menunjukkan bahwa sebanyak 30 responden (52,6%)
menyatakan tidak ada hubungan kebisingan terhadap terjadinya ketulian, dan 27 responden
(47,4%) menyatakan ada hubungan kebisingan terhadap ketulian. Sedangkan penyebab
ketulian sendiri, sebanyak 49 responden (86,0%) mengetahui penyebab ketulian, dan
sisanya sebanyak 8 responden (14,0%) menyatakan tidak mengetahui penyebab ketulian.
Dari 57 responden, sebanyak 37 responden (64,9%) menyatakan tidak ada
hubungan kebisingan terhadap terjadinya tinitus, hanya 20 responden (35,1%) menyatakan
ada hubungan antara kebisingan terhadap terjadinya tinitus. Sebanyak 34 responden
(59,6%) menyatakan tidak ada hubungan kebisingan terhadap vertigo, dan sisanya
sebanyak 23 responden (40,4%) menyatakan ada hubungan antara kebisingan terhadap
4.2.3. Gangguan Akibat Bising pada Responden
Dari kuesioner dapat dilihat adanya gangguan akibat bising pada responden yang
dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 4.5. Gangguan Akibat Bising pada Responden Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010
No Gangguan Akibat Bising Jumlah (orang) %
1 Mengalami Gangguan pendengaran karena
Susah mendengar orang lain Telinga berdengung
Telinga terasa panas
25
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebesar 52,6% responden menyatakan
mengalami gangguan pendengaran karena kebisingan selama mengemudi becak dan 27
responden (47,4%) menyatakan tidak mengalami gangguan, sedangkan 32 orang (56,1%)
menyatakan mengalami gangguan pada alat pendengaran berupa telinga berdengung, 43,9%
susah mendengar orang lain.
4.2.4. Tingkat Pemaparan
Hasil pengukuran yang dilakukan pada responden di klasifikasikan berdasarkan
tingkat kebisingan dengan Nilai Ambang Bising 85 db A sebagai batas yang diperbolehkan
Tabel 4.6. Tingkat Pemaparan Kebisingan yang Diterima Responden Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010
No Tingkat Kebisingan Jumlah (orang) %
1 Dibawah Nilai Ambang Bising 15 26,3
2 Diatas Nilai Ambang Bising 42 73,7
Total 57 100,0
Tabel diatas menunjukkan sebesar 42 responden (73,7%) berada diatas nilai ambang
bising dan sisanya sebesar 26,3% berada dibawah nilai ambang bising.
4.2.5. Upaya yang dilakukan Untuk Mengurangi Kebisingan
Obeservasi terhadap responden maka didapatkan hasil bahwa banyak responden
yang tidak Alat Pelindung Diri selama bekerja, seperti pada tabel berikut ini :
Tabel 4.7. Penggunaan APD pada responden Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010
No Penggunaan APD Jumlah (orang) %
1 Ya 7 12,3
2 Tidak 50 87,7
Total 57 100,0
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat sebanyak 50 responden tidak menggunakan
Alat pelindung diri (APD) dan hanya 7 orang (12,3%) yang menggunakan Alat pelindung
diri (APD).
Tabel 4.8. Alasan tidak menggunakan Alat pelindung diri (APD) pada Responden Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010
No Alasan tidak
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa yang menjadi alasan responden untuk
sebanyak 25 responden (40,3%), dan hanya 2 orang (3,2%) responden yang tidak
mengetahui alat apa yang digunakan sebagai APD.
4.3. Analisa Statistik
Analisa statistika untuk menguji apakah ada hubungan antara tingkat kebisingan
dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin di kota Pematang Siantar
dipakai analisa dengan Uji Chi-square dapat di tunjukkan dengan Crosstabs dan didapat
hasil sebagai berikut :
Tabel 4.9. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Ketulian pada Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010
No Tingkat Kebisingan Ketulian Total
Ya % Tidak %
1 Dibawah Ambang Bising 15 26,3 0 0,0 15
2 Diatas Ambang Bising 21 36,8 21 36,8 42
Total 36 61,2 21 36,8 57
P= 0,001
Tabel 4.9 diatas dapat diketahui bahwa responden yang berada diatas ambang bising
dan mengalami ketulian yaitu sebanyak 21 orang (36,8%). Dari uji Chi-square yang
dilakukan diperoleh p(0,001)< α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
tingkat pemaparan kebisingan dengan ketulian pada pengemudi becak di Kota Pematang
Siantar.
Tabel 4.10. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Tinitus pada Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010
No Tingkat Kebisingan Tinitus Total
Ya % Tidak %
1 Dibawah Ambang Bising 15 26,3 0 0,0 15
2 Diatas Ambang Bising 20 35,1 22 35,6 42
Total 35 61,4 22 35,6 57