• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA KATA ṢIRĀṬ, SABĪL, DAN, ṬARĪQ DALAM AL- QUR AN (Studi Komparasi Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA KATA ṢIRĀṬ, SABĪL, DAN, ṬARĪQ DALAM AL- QUR AN (Studi Komparasi Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah)"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA KATA ṢIRĀṬ, SABĪL, DAN, ṬARĪQ DALAM

AL-QUR’AN

(Studi Komparasi Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh : Oleh:

Achmad Yasir Arrojab NIM: 1111034000017

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

ُه َمَّل َع َو َنَاْر ُق

لا َمَّل َعَت ْن َم ْمُك ُرْي َخ

ْ

(6)

vi

Nomor: 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987 1. Konsonan

No Arab Latin No Arab Latin

1 ا Tidak dilambangkan 16 ط ṭ 2 ة B 17 ظ ẓ 3 ت T 18 ع ‗ 4 ث ṡ 19 غ G 5 ج J 20 ف F 6 ح ḥ 21 ق Q 7 خ Kh 22 ك K 8 د D 23 ل L 9 ذ Ż 24 م M 10 ز R 25 ن N 11 ش Z 26 و W 12 س S 27 ه H 13 ش Sy 28 ء ‗ 14 ص ṣ 29 ي Y 15 ض ḍ 2. Vokal Pendek - َ--- = a تـت ك kataba - َ--- = i ل ئُس su‘ila - َُ-- = ُت ى ْر ي yażhabu

(7)

vii وّيلىبج ditulis jāhiliyyah

b. Fatḥah + alif layyinah, ditulis ā (a dengan garis di atas) ىعسي ditulis yas‟ā

c. Kasrah + yā‘ sukun, ditulis ī (i dengan garis di atas) ديجم ditulis majīd

d. Ḍammah + wāu sukun, ditulid ū (u dengan garis di atas) ضوسف ditulis Furūḍ

4. Diftong

ْي أ = ai فْي ك = kaifa ْو أ = au ل ْو ح = ḥaula 5. Kata Sandang (لا)

Kata sandang dilambangkan dengan ‗al-‘, baik dikuti huruf syamsiyyah maupun

qamariyyah.

6. Tasydid (- َّ—(

Syiddah atau tasydid dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi syiddah. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syiddah

tersebut terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf

al-syamsiyyah. Misalnya, kata ُة زوُسَّضلا tidak ditulis aḍ-ḍarūratu melainkan ditulis

al-ḍarūratu.

(8)

viii

Islāmiyyah.

Catatan: ketentuan ini tidak berlaku terhadap kata-kata serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab seperti zakat, salat, dan sebagainya, kecuali dikehendaki lafal aslinya.

b. Bila diharakati karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t. Contoh: اللهةمعن ditulis ni„mat Allāh.

8. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut penulisannya. Contoh: ضوسفلا يوذ żawī al-furūḍ, ةّنس لىأ ahl al-sunnah.

9. Singkatan

swt., = subḥanahu wa ta„ālā saw., = ṣallā Allāh „alaih wa salam as., = „alaih al-salām

ra., = raḍiya Allāh „anh QS. = al-Qur‘an Surat M = Masehi H = Hijriyah w. = Wafat h. = Halaman v = Volume

(9)

ix

meskipun secara umum ketiganya sama-sama diartikan sebagai ―jalan‖. Para ulama‘ berbeda pendapat dalam memaknai kata ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq. Ada yang mengartikan dengan jalan lurus, agama Islam, al-Qur‘an, dan Hukum Tuhan, tergantung kata yang mengikutinya. Dalam al-Qur'an kata ṣirâṭ ditemukan sebanyak 45 kali, kesemuanya dalam bentuk tunggal, 32 kali diantaranya dirangkaikan dengan kata mustaqim, sedangkan selebihnya bersambung dengan berbagai kata seperti as-ŝāwiy, as-ŝāwa, atau al-jāhim, dan ada pula kata ṣirâṭ yang dinisbahkan kepada Tuhan seperti

ṣirâṭaka, ṣirâṭi, ṣirâṭ azīz hamīd dan sebagainya. Sedangkan kata sabîl dalam

al-Qur'an terulang sebanyak 166 kali dalam bentuk mufrad, sedangkan bentuk jamaknya, subul terulang sebanyak 10 kali sehingga jumlah keseluruhannya 176 kali. Dan kata ṭarīq dalam al-Qur‘an disebut sebanyak 6 kali. Penelitian ini bersifat kepustakaan murni dengan menggunakan metode mauḍū‟i, yakni dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki maksud yang sama dan membahas satu topik masalah kemudian menganalisanya dari berbagai aspek. Sehingga, sumber utama (primer) yang penulis pakai dalam penelitian ini adalah al-Qur‘an, tafsir Al-Misbah, tafsir Al-Azhar dan sumber data sekundernya adalah kitab-kitab tafsir, buku-buku yang berkaitan, skripsi, artikel, dan lain-lain. Sedangkan studi yang penulis gunakan adalah studi komparatif. Penelitian ini membandingkan antara dua mufasir yaitu M. Quraish Shihab dengan tafsir Misbah dan Buya Hamka dengan tafsir Al-Azhar. Dari perbandingan kedua tafsir tersebut, kemudian penulis menyimpulkan bahwa ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq tidak hanya berarti jalan, namun bisa dipahami dengan maksud lain tergantung kata yang mengiringinya. ṣirâṭ, dengan kata yang mengirinya, selalu dalam konteks kebaikan dan kebenaran. Berbeda dengan sabîl dan ṭarīq yang bisa dalam konteks kebenaran maupun kebathilan. Sehingga, dapat dipahami bahwa

sabîl dan ṭarīq adalah jalan-jalan kecil yang belum pasti kebenarannya. sabîl dan ṭarīq yang benar pasti bermuara kepada ṣirâṭ. Kata ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq dapat

dikategorikan dalam beberapa konteks, seperti ketauhidan, keimanan, ketaqwaan, ibadah, ketetapan dan hukum Tuhan, bahkan konteks sosial. Sehingga, ada banyak jalan bagi manusia untuk mencapai kebenaran.

Sepanjang penelitian dan pengamatan yang penulis lakukan, penulis menemukan dua skripsi yang berkaitan dengan penelitian ini:

Pertama, skripsi oleh Usnul Ngakibah yang berjudul ―Studi Analis Penafsiran

Ṣiraṭ dan Sābīl dalam Tafsir Jami‟ Bayan fi Ta‟wīl al Qur‟an, Karya Ibn Jarīr al-Ṭabari‖.1

Dalam skripsinya Usnul mencoba menganalisis penafsiran kata ṣirāṭ dan

sabīl dengan menggunakan metode Tahlili. Ia menjelaskan bahwa menurut Ibn Jarir

al-Ṭabari, kata ṣiraṭ berarti jalan yang lurus, agama yang lurus, dan jalan surga. Sedangkan kata ṣabīl diartikan sebagai jihad dan agama islam.

1 Usnul Ngakibah, ―Studi Analis Penafsiran Ṣiraṭ dan Sābīl dalam Tafsir Jami‘ al-Bayan fi

Ta‘wīl al-Qur‘an, Karya Ibn Jarīr al-Ṭabari‖, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universtas Islam Negri Sunan Kalijaga)

(10)

x

para ulama berbeda pendapat mengenai makna ṣirāṭ dan sabīl terlebih tentang ṣirāṭ

al-mustaqīm. Namum, dari pembahasan saudara Mukhlisin terdapat salah satu kata

yang tidak di cantumkan akan tetapi memiliki makna yang sama yaitu kata ṭarīq. Untuk itu, penulis mencoba menganalisis kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan di tambah dengan kata

ṭarīq agar bisa melengkapi pembahasan ini. Selain itu penulis pun membedakan dari

pembahasan saudara Mukhlisin dengan membandingkan dua ulama tafsir yang berbeda yaitu mufassir kontemporer (Muhammad Quraish sihab, Tafsir al-Misbah) dengan mufassir (Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar) dan menggunakan buku karya Ulama seperti M. Quraish Shihab “Lentera Al-Qur‟an”. Kemudian penulis menggunakan metode tafsir mauḍū‟i. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan umat Islam terpecah, melainkan semakin tergugah untuk memahami maksud dan kandungan, serta pesan maupun hikmah dari perbedaan tersebut. Untuk itu, setidaknya kita sebagai umat Islam, paham dan mengerti pesan dari kata ṣirāṭ,

sabīl dan ṭarīq yang tertulis dalam al-Qur‘an, bahwa ada banyak jalan bagi manusia

untuk menuju kebenaran.

2 Mukhlisin, ―Analisis Makna Ṣiraṭ dan Sābīl Dalam al-Qur‟an (Studi Tematik Ayat-ayat

(11)

xi

Segala puja, puji, dan rasa syukur, penulis haturkan kepada Allah swt., atas segala nikmat dan pertolongan yang telah, sedang, dan yang akan selalu Ia berikan kepada penulis. Dialah Tuhan dimana tempat penulis mengadu dan berkeluh kesah ketika penulis sudah merasa lelah dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada-Nya penulis meminta kekuatan agar selalu dikuatkan dalam menyelesaikan skripsi ini. Atas petunjuk dan rahmat dari-Nya penulis dapat mengolah data menjadi kata, mengolah kata menjadi kalimat, mengolah kalimat menjadi paragraf-paragraf yang berisi ide, kemudian dari kumpulan paragraf menjadi bab-bab dan akhirnya menjadi skripsi ini.

Shalawat dan salam seiring kecintaan, akan selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muḥammad saw., beserta keluarga dan para sahabatnya. Seseungguhnya Ia dan merekalah yang sangat berjasa dalam menyampaikan pesan-pesan Allah swt.

Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul

“MAKNA KATA ṢIRĀṬ, SABĪL, DAN, ṬARĪQ DALAM

AL-QUR’AN (Studi Komparasi Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah)”

ini tidak akan selesai dengan daya dan upaya penulis sendiri. Melainkan, ada banyak sosok, kerabat, dan orang-orang spesial dari berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langung telah banyak membantu penulis, sehingga akhirnya tulisan ini selesai. Maka, pada kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya, yaitu kepada:

(12)

xii

Fakultas Ushuluddin. Kepada Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum MA., selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir . Kepada Ibu Banun Binaningrum M.Pd., selaku Sekertaris Jurusan Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir serta Civitas Akademik Fakultas Ushuluddin.

2. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA. Selaku pembimbing, yang dengan ikhlas dan sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Rasa terima kasih penulis ucapkan juga kepada bapak Eva Nugraha M.A., yang telah memberikan arahan serta memberikan nasihat-nasihat yang bermanfaat bagi penulis.

3. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya Jurusan Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir yang dengan sabar dan ikhlas telah mengajarkan dan membagikan berbagai wawasan, ilmu, serta pengalaman kepada penulis selama penulis kuliah di kampus tercinta ini.

4. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‘an (PSQ) Ciputat, dan Perpustakaan Iman Jama‘ Lebak Bulus yang telah memberikan fasilitas serta rujukan-rujukan sebagai sumber referensi.

5. Kedua orang tua tercinta penulis. Yaitu, Bapak H. Bahori S.Pd.I. dan Ibu Hj. Nur Asi‘ah S.Pd.I. Karena dorongan moril maupun materi merekalah penulis bisa tercatat sebagai mahasiswa UIN Jakarta, dan karena perhatian serta doa merekalah penulis dapat bertahan serta dapat meyelesaikan skripsi ini,

(13)

xiii penulis menjadi sosok yang sukses.

6. Ucap terima kasih selanjutnya penulis haturkan kepada adik-adik penulis yaitu, Shifa Fikriah dan A. Nasrullah Abd Fatah. Terimakasih juga kepada Nia Tazmia, Siti Mazkah, Nurul Ikhsan, Muhaimin Lutfi, Anwar Saputra, Ibnu Arfandi, Fadhlan Ahada, Putri Rahmawati, Mia Musfiroh dan segenap Ikatan Alumni Pondok Pesantren Ibadurrahman Angkatan 5 (Gravity), Sebenarnya merekalah yang selalu menyemangati dan memotivasi serta penulis jadikan motivasi agar tetap sabar dan selalu berjuang untuk segera menyelesaikan tulisan ini, serta segera pula menjadi orang yang sukses (berguna bagi keluarga, bangsa dan agama).

7. Ucap terima kasih selanjutnya kepada guru-guru TK Ibadurrahman Kota Tangerang, SDN 02 Poris Gaga Kota Tangerang, Pondok Pesantren Mumtaz Ibadurrahman Kota Tangerang. Dengan ilmu-ilmu yang mereka (guru-guru) berikan dan ajarkanlah hingga akhirnya penulis bisa sampai di UIN jakarta ini dan penulis berdoa semoga mereka selalu sehat sehingga bisa mencetak generasi baru yang lebih baik lagi.

8. Kepada teman-teman seperjuangan ushuludin 2011 khususnya TH A, B, C, D, dan E merekalah yang membuat kuliah hari per harinya menjadi semakin indah untuk dijalani, mereka jugalah yang banyak mewarnai hidup penulis selama di kampus ini, mulai dari proak bareng, belajar dikelas bareng, diskusi bareng, seminar cari ilmu dan konsumsi bareng, nongkrong iseng

(14)

xiv

cerita bersama mereka. Terkhusus kisah bersama TH A karena merekalah teman yang pertama kali penulis kenal di UIN jakarta, khususnya lagi untuk Ahmad Toib, M. Ainul Yakin, Arif Rahman (Alm), dan Ubay memorian proak 2011 bersama mereka tak akan penulis lupakan.

9. Teman-teman yaitu Abd Musiandi, Saiful, M. Arif Aprian, dan Rajab Husain. yang selalu memberikan inspirasi dan tidak pernah bosan untuk dikunjungi, dan selalu memberikan semangat baik yang langsung maupun yang melewati ceng-cengannya you are is the best.

Akhirnya, penulis berharap kepada Allah swt., Semoga karya ini dapat menambah wawasan mengenai Qur‘an, Ulum al-Qur‘ān, dan bermanfaat bagi semua yang mau membacanya, terkhusus bagi penulis. Semoga tulisan ini menjadi tulisan pertama penulis dan dicatat sebagai amal baik bagi penulis.

Tangerang, 19 Desember 2016 Hormat saya

Achmad Yasir Arrojab Penulis

(15)

xv

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI………. . iv

MOTO………. v PEDOMAN TRANSLITASI ... vi ABSTRAK ... ix KATA PENGANTAR ... xi DAFTAR ISI ... xv BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Tinjauan Pustaka ... 7

G. Metodologi Penelitian ... 8

H. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : Sekilas Tentang Buya Hamka Dan M. Quraish Shihab 1. Buya Hamka A. Riwayat Hidup ... 12

B. Karya-karya Hamka ... 16

C. Metode Tafsir Al-Azhar ... 17

2. M. Quraish Shihab A. Riwayat Hidup ... 18

B. Karya-karya M. Quraish Shihab ... 21

C. Metode Tafsir Al-Miṣbah ... 23

BAB III: Sinonimitas (Mutarādif) Dan Pengertian Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq 1. Definisi Sinonim (Mutarādif) ... 29

2. Sinonim (Mutarādif) Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq………. 32

(16)

xvi

A. Perbedaan dan Persamaan Penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq……… 44 B. Relevansi Penafsiran Buya Hamka dan M. Quraish Shihab

Tentang Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq Dalam Konteks Jaman

Sekarang………... 63

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 71 B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA ... 75

(17)

1

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. dinyatakan sebagai wahyu dari Allah. Wahyu ini membantu manusia untuk memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan meruapakan pelita bagi umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Kitab suci ini memperkenalkan dirinya sebagai hudan li an-nās (petunjuk bagi seluruh umat manusia).1 Dari sini kitab suci al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat, yakni bukti kebenaran yang allah turunkan untuk manusia.2

Al-Qur’an juga adalah kalam Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw dalam bahasa Arab, yang disampaikan kepada umat manusia. Bahasa yang demikian indah, redaksinya yang demikian teliti, dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung, telah menyentuh kalbu masyarakat yang berdecak kagum, walaupun nalar atau paham sebagian dari mereka menolaknya. Dan fungsinya sebagai hudan li

an-nās ditujukan kepada seluruh umat manusia.3

Dari segi balaghah, al-Qur’an juga memiliki makna yang sangat mendalam. Setiap kata dalam al-Qur’an memiliki makna tersendiri, yang itu berbeda dengan kata lain meskipun secara tekstual memiliki arti yang sama. Sehingga,

1 QS. al-Baqarah: 2: 23

2 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah pesan, kesan, dan keserasian al-Qur‟an (Ciputat:

Lentera Hati, 2000) jilid. 1, h. v

3

Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, 2000) jilid. 1, h.

(18)

bisa dikatakan bahwa ada sinonimitas dalam setiap kata yang ada dalam al-Qur’an. Banyak contoh dalam al-Qur’an yang redaksinya berbeda berbeda, tetapi secara terminologi memiliki arti yang sama. Namun, jika dipandang dari segi balaghahnya memiliki makna yang berbeda. Seperti kata qara‟a dan talā yang dua-duanya berarti membaca. Tapi jika dipahami dari segi balaghah, dua kata ini memiliki makna dan maksud yang berbeda. Kemudian kata hudan dan

rasydan yang dua kata itu, secara bahasa memiliki arti petunjuk, namun dilihat

dari balaghahnya, dua kata tersebut juga memiliki kandungan yang berbeda.4 Setiap kata dalam al-Qur’an memiliki makna tersendiri dan tidak tergantikan oleh kata lain.5 Senada dengan yang dikatakan oleh Muhammad Syahrur bahwa setiap kata dalam al-Qur’an memiliki makna sendiri dan tidak ada kata sinonim. Seperti kata qasam dan hilf yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sama, yaitu sumpah. Begitu juga dengan kata ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq Kata ash-ṣirâṭ terambil dari akar kata ṣarāṭha, karena huruf sin bergandengan dengan huruf ra, maka huruf sin terucapkan shad menjadi ṣirâṭ atau zai menjadi zirath, yang asal mulanya bermakna menelan.6 Kata ṣirâṭ dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak 45 kali. Kesemuanya dalam bentuk tunggal, 32 di antaranya dirangkaikan dengan kata mustaqīm, selebihnya dirangkaikan dengan kata as-sawy, sawa‟, dan al-jahim.7 Ini berbeda dengan kata sabîl yang

4

W.Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur‟an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995) jilid. 1 h. 131

5

Mahmud Saltut, Tafsir Al-Qur‟an Al-Karim, (Bandung: Sinar Baru

Algensindo, 2000), h. 786 h. 1993, dan jilid 4, h. 2432. Baca juga Imam Ibnu Katsir Al-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur‟an Al-„Adhim, Juz. I, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, L.C, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000, cet: 1), h. 131

6 Ibn Al-Mandhur, Lisan Al-Arab, Jilid 3, (Kairo: Daar al-Ma’arif,)

7 Muhammad Zaki Muhammad Khadzr,” Mu’jam Kalimaat Al-Qur’an Al-Karim”. juz 16

(Al-Maktabah Asy-Syamilah, 2005), h. 4, Baca juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan,

(19)

juga seringkali diartikan dengan jalan. Kata sabîl terbentuk dari huruf

sinba‟-lam dengan kata kerja sabala - yasbulu, yang artinya melepas atau mengurai.8

Kata sabîl diulang sebanyak 176 kali,9 166 di antaranya dalam bentuk tunggal seperti kata sabîli Allah (jalan Allah)10, sabîl al-Mukminin (jalan orang-orang mukmin), sabîl al-Mujrimin (jalan orang-orang yang berbuat dosa), dan lain sebagainya, dan 10 yang lainnya dalam bentuk jamak, seperti kata subul

as-salam (jalan-jalan kedamaian).11 Dan Kata ṭarīq Secara bahasa ṭarīq dapat berarti jalan, sistem, cara, perjalanan, aturan hidup, lintasan, garis dan bisa disebut Madzhab. Mengetahui adanya jalan, perlu mengetahui “cara” melintasi jalan itu agar tidak tersesat. ṭarīq itu adalah metode bimbingan spiritual kepada individu (perorangan) dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatannya dengan Tuhan. jika dilihat secara seksama ṭarīq tidak jauh berbeda dengan ṣabīl yaitu suatu jalan-jalan kecil yang pada akhir nya bermuara kepada ṣirāṭ. Kata ṭarīq didalam al-Qur’an disebut sebanyak 6 kali.

8 Ibn Al-Mandhur, op. cit, jilid 3, hlm. 1930. Baca juga Munzir Hitami, “Revolusi Sejarah

Manusia”, (Yogyakarta:PT LkiS Pelangi Aksara, tth), h. 68

9 Muhammad Zakii Muhammad Khadzr, op. cit, juz. 14, h. 3. 10

Kata sabîlillah dalam al-Qur’an terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat: 154, 190, 195, 217, 218, 244, 246, 261, 261, dan 273, Q.S. Ali Imran [3] ayat: 13, 99, 146, 157, 167, dan 169, Q.S. An-Nisa’ [4] ayat: 74, 75, 76, 84, 89, 94, 95, 100, 160, dan 167, Q.S. Al-Maida [5] ayat: 54 , Q.S. Al-An’am [6] ayat: 116, Q.S. Al- A’raf [7] ayat: 45 dan 86, Q.S. Al-Anfal [8] ayat: 36, 47, 60, 72, dan 74, Q.S. At- Taubah [9] ayat: 19, 20, 34, 38, 41, 60, 81, 111, dan 120, Q.S. Huud [11] ayat: 19, Q.S. Ibrahim [14] ayat: 3, Q.S. An-Nahl [16] ayat: 88 dan 94, Q.S. Al-Hajj [22] ayat: 9, 25, dan 58, Q.S. An-Nuur [24] ayat: 22, Q.S. Luqman [31] ayat: 6, Q.S. Shadd [38] ayat: 26, Q.S. Muhammad [47] ayat: 1, 4, 32, 34, dan 38, Q.S. Hujurat [49] ayat: 15, Q.S.a Hadiid [57] ayat: 10, Q.S. Al-Mujadalah [58] ayat: 16, Q.S. Ash-Shaaff [61] ayat: 11, Q.S. Al-Munafiquun [63] ayat: 2, Q.S. Al- Muzammil [73] ayat: 20.

11 Sabîl Mukminin (jalan orang-orang mukmin) Q.S. Al-Mu’min [40] :29. Sabîl

al-Mujrimin (jalan orang-orang yang berbuat dosa) Q.S. Al-An’am [6] :55..Subul as Salam

(20)

didalam al-Qur’an ṭarīq disandingkan dengan kata (Ṭarīqa Jahannam)12 dan juga disandingkan dengan kata (Ṭarīqin Mustaqim).13 Begitu juga dengan kata

ṣirāṭ, sabīl, dan ṭarīq yang seringkali tiga kata ini diartikan sama, yaitu sebagai

jalan. Meskipun demikian, jika dipahami dari segi balaghahnya, tiga kata tersebut memiliki maksud dan tujuan yang berbeda. Maka dari itu, dalam penelitian ini, penulis akan memfokuskan kajian secara mendalam tentang makna dan maksud dalam kata ṣirāṭ, sabīl, dan ṭarīq.

Ada alasan yang sangat mempenaruhi penulis untuk mengkaji tentang perbedaan makna kata ṣirāṭ, sabīl, dan ṭarīq. Ketika melakuakan kajian pustaka di beberapa terjemahan al-Qur’an, penulis menemukan bahwa kata ṣirāṭ, sabīl, dan ṭarīq ini dimaknai sebagai jalan. Seperti yang kita ketahui bahwa al-Qur’an adalah sebuah mukjizat. Jika sebuah mukjizat, maka al-Qur’an tidak mungkin menggunakan beberapa kata yang memiliki makna yang sama, untuk maksud dan tujuan yang sama pula, karena nanti nya hal itu akan mengurangi sisi kemukjizatan al-Qur’an.

Berangkat dari masalah tersebut penulis merasa penting untuk membahas hal ini. Bagaimana memahami makna, maksud dan tujuan penggunaan kata

ṣirāṭ, sabīl, dan Ṭarīq dalam al-Qur’an ?

Untuk lebih mempertajam penelitian ini, penulis melakukan kajian pustaka dengan menggunakan kitab tafsir al-Azhar dan tafsir al-Misbah, karena kedua kitab tafsir ini merupakan tafsir nusantara, dan itu akan mempermudah penulis

12 QS. An-Nisa : 169 13 QS. Al-Ahqaf : 30

(21)

untuk menemukan dan membandingkan penafsiran dari kata ṣirāṭ, sabīl, dan

ṭarīq.

Oleh karena hal itu, penulis terdorong melakukan penelitian skripsi dengan judul “Makna kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq dalam Al-Qur’an (Studi

Komparasi dalam Tafsir Al-Miṣbah dan Tafsir Al-Azhar)” untuk

membahas secara khusus dan lebih mendalam tentang makna, maksud dan tujuan kata ṣirāṭ, sabīl, dan ṭarīq.

B. Identifikasi Masalah

Bila diidentifikasi, maka masalah yang akan muncul dari topik di atas adalah:

1. Apa maksud dan tujuan kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ,ṭarīq dalam al-Qur’an ? 2. Bagaimana kedua mufasir menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang di

dalamnya terdapat kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ,ṭarīq ?

3. Bagaimana pemaknaan kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq dalam al-Qur’an yang menunjukkan arti kata jalan ?

4. Apa pesan yang ingin di sampaikan dalam penafsiran kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ,ṭarīq dalam al-Qur’an ?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas yaitu hanya kepada penafsiran kata-kata ṣirāṭ,

(22)

ṣabīl, dan ṭarīq dalam Al- Qur’an. dengan menggunakan penafsiran Ulama

kontemporer yaitu Buya Hamka dengan Tafsir Al-Azhar nya dan penafsiran Muhammad Quraish Shihab dengan Tafsir al-Miṣbah nya yang bercorak kebahasaan. Penulis juga membatasi ayat-ayat yang akan ditafsirkan, yaitu Qs. al-Fatihah ayat 6-7, al-Baqarah ayat 108, al-Maidah 16, an-Nisa 168-169 dan Thoha 104.

2. Perumusan Masalah

Penelitian ini hanya memfokuskan kepada penafsiran kata-kata

ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq dalam al-Qur’an. Maka rumusan masalahnya adalah

: bagaimana para mufasir kontemporer (yang dimaksud disini adalah Buya Hamka dan Muhammad Quraish shihab) dalam menafsirkan kata ṣirāṭ,

ṣabīl, dan ṭarīq dalam al-Qur’an ? dan bagaimana relevansi kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq pada zaman sekarang ?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui konteks penggunaan kata-kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq dalam al-Qur’an;

2. Untuk mengetahui hikmah penggunaan kata-kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq dalam al-Qur’an;

3. Untuk memberikan sumbangsih terhadap penelitian bidang tafsir dan hadis;

(23)

4. Sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program strata satu (S-1) pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Manfaat Penelitian

1. Untuk menambah pengetahuan dan khazanah keilmuan islam terutama tentang masalah kebahasaan yang terdapat dalam al-Qur’an.

2. Sebagai sumbangsih pemikiran terhadap penelitian tentang makna kata-kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq dalam al-Qur’an.

F. Tinjauan Pustaka

Sepanjang penelitian dan pengamatan yang penulis lakukan, penulis menemukan dua skripsi yang berkaitan dengan penelitian ini:

Pertama, skripsi oleh Usnul Ngakibah yang berjudul “Studi Analis

Penafsiran ṣiraṭ dan ṣābīl dalam Tafsir Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wīl al Qur‟an, Karya Ibn Jarīr al-Ṭabari”.14

Dalam skripsinya Usnul mencoba menganalisis penafsiran kata ṣirāṭ dan sabīl dengan menggunakan metode Tahlili. Ia menjelaskan bahwa menurut Ibn Jarir al-Ṭabari, kata ṣiraṭ berarti jalan yang lurus, agama yang lurus, dan jalan surga. Sedangkan kata sabīl diartikan sebagai jihad dan agama islam.

14 Usnul Ngakibah, “Studi Analis Penafsiran Ṣiraṭ dan Sābīl dalam Tafsir Jami’ al-Bayan fi

Ta’wīl al-Qur’an, Karya Ibn Jarīr al-Ṭabari”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universtas Islam Negri Sunan Kalijaga)

(24)

Kedua, skripsi oleh Mukhlisin yang berjudul “Analisis Makna Ṣiraṭ

dan Sābīl Dalam al-Qur‟an (Studi Tematik Ayat-ayat Mutaraddifat)”.15

Dalam skripsinya Mukhlisin mencoba menganalisis penafsiran makna kata

ṣirāṭ dan sabīl, menurutnya para ulama berbeda pendapat mengenai makna ṣirāṭ dan sabīl terlebih tentang ṣirāṭ al-mustaqīm. Namum, dari

pembahasan saudara Mukhlisin terdapat salah satu kata yang tidak di cantumkan akan tetapi memilikin makna yang sama yaitu kata ṭarīq. Untuk itu, penulis mencoba menganalisis kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan di tambah dengan kata ṭarīq agar bisa melengkapi pembahasan ini. Selain itu penulis pun membedakan dari pembahasan saudara Mukhlisin dengan membandingkan dua ulama tafsir yang berbeda yaitu mufassir kontemporer (Muhammad Quraish sihab, Tafsir al-Misbah) dengan mufassir (Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar) dan menggunakan buku karya Ulama seperti M. Quraish Shihab

“Lentera Al-Qur‟an”. Kemudian penulis menggunakan metode tafsir mauḍū‟i. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan umat Islam

terpecah, melainkan semakin tergugah untuk memahami maksud dan kandungan, serta pesan maupun hikmah dari perbedaan tersebut. Untuk itu, setidaknya kita sebagai umat Islam, paham dan mengerti pesan dari kata

ṣirāṭ, sabīl dan ṭarīq yang tertulis dalam al-Qur’an, bahwa ada banyak jalan

bagi manusia untuk menuju kebenaran.

G. Metodologi Penelitian

15

Mukhlisin, “Analisis Makna Ṣiraṭ dan Sābīl Dalam al-Qur‟an (Studi Tematik Ayat-ayat

(25)

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini berjenis Penelitian pustaka (library research)16. Penulis menggunakan jenis penelitian ini untuk mengeksplorasi dan mengidentifikasi informasi.17 Dalam hal ini adalah ayat-ayat al-Qu’an yang didalamnya terdapat kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq.

2. Sumber Data

a) Sumber data penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur’an yang didalamnya terdapat kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq. Kemudian ayat-ayat yang telah terkumpul akan ditafsirkan dan penulis membatasi hanya menggunakan kitab-kitab tafsir yang bercorak kebahasaan baik modern maupun kontemporer. Kitab itu adalah Tafsir Al-Azhar dan Tafsir al-Miṣbah Pembatasan ini dikarenakan penulis ingin mengkaji makna ayat dilihat dari sudut pandang ke dua mufassir.

b) Sedangkan sumber lainnya di dapatkan dari beberapa dokumen, tulisan-tulisan yang dipublikasikan dalam bentuk buku, jurnal ataupun artikel yang menguraikan pembahasan berkaitan dengan yang diteliti.

16 Library research adalah penelitian yang menitikberatkan pada literatur dengan cara

menganalisis muatan isi dari literatur-literatur terkait dengan penelitian. Baca, Sutrisno Hadi,

Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offest, 1994), h. 3

17

(26)

3. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode tematik,18 yaitu dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata-kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq. 4. Metode Penulisan

Dalam teknik penulisan, penulis mengacu kepada Pedoman Akademik Program Strata 1 2013/2014 UIN Syarif Hidayatullah. Dan menggunakan pedoman translitrasi Romanisasi Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama kali diterbitkan tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan Library Congress (LC).

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, ada lima bab pokok kajian yang penulis sajikan, serta beberapa sub bab pembahasan. Demi terciptanya karya yang indah dan pemahaman secara komprehensif, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab pertama, merupakan pendahuluan dari kajian ini yang berisi dasar pemikiran yang melatar belakangi terpilihnya kajian ini, selanjutnya ada identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, bab ini membahas tentang biografi singkat dari Buya Hamka dan M. Quraish Sihab. Dan juga di bab ini akan dibahas tentang

18

(27)

meodologi tafsir, corak tafsir, dan sistematika penafsiran dari tafsir al-Azhar dan tafsir al-Misbah

Bab ketiga, bab ini akan membahas tentang sinonimitas Kata ṣirāṭ,

ṣabīl, dan ṭarīq dalam al-Qur’an dan pengertian tentang Kata ṣirāṭ, ṣabīl,

dan ṭarīq.

Bab keempat, bab ini merupakan bab inti pembahasan penulis yang akan membahas perbandingan penafsiran kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq menurut Analisa penafsiran Hamka dan Quraish sihab dalam menafsirkan ayat-ayat yang telah penulis tentukan dan juga Relevansi Penafsiran Buya Hamka dan M. Quraish Shihab Tentang Kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq dalam konteks jaman sekarang.

Bab kelima, merupakan penutup yang berisi simpulan yang dilakukan oleh penulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan saran untuk melakukan riset lanjutan dari penulis.

(28)

12

Pada bab ini penulis akan mencantumkan riwayat hidup seorang mufasir nusantara yang memiliki nama lengkap H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dan M. Quraish Shihab.

A. Riwayat Hidup Buya Hamka

Hamka merupakan singkatan dari H.Abdul Malik Karim Amrullah. Nama ini adalah nama sesudah beliau menunaikan ibadah haji pada 1927 dan mendapat tambahan haji. Beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Tanah Sirah, dalam Nagarai Sungai Batang, di tepi Danau Maninjau,1 Sumatera Barat, pada 17 februari 1908 (14 Muharram 1326 H). Ayahnya seorang ulama terkenal Dr. H.Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul pembawa faham-faham islam di Minangkabau.2 Ibu Hamka bernama Shofiyah. Ayah dari Shofiyah punya gelar adat Bagindo Nan Batuah. Di kala mudanya, Bagindo terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pancak silat. Di waktu Hamka masih kecil, selalu mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan mendalam dari kakeknya. Buya Hamka dalam memorinya mengatakan “Ayahku menaruh harapan atas kelahiranku agar aku kelak menjadi orang alim pula seperti ayahnya, neneknya dan kakek-kakeknya yang terdahulu.” Ketika Hamka lahir, ayahnya

1

Danau maninjau adalah sebuah danau di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia.

(29)

mengatakan kepada neneknya bahwa kelak, setelah sepuluh tahun, si malik akan dikirim ke Mesir agar menjadi Ulama.3

Hamka mengawali pendidikan membaca al-Qur‟an di rumah orang tuanya ketika mereka sekeluarga memutuskan pindah dari Maninjau ke Padang Panjang pada tahun 1941 M. Dan setahun kemudian, setelah Hamka mencapai tujuh tahun, dia dimasukan ke sekolah desa. Pada tahun 1916 sekolah Diniyah Putra4 dan pada tahun 1918 belajar juga di Thawalib School5. Pagi hari ke Sekolah Desa, sore hari belajar di Sekolah Diniyah, dan pada malam harinya berada di Surau bersama teman-teman sebayanya. Ini merupakan aktifitas harian seorang Hamka di masa kecilnya dan ini juga merupakan keinginan ayahnya agar kelak anaknya menjadi ulama seperti dirinya.

Semenjak usia muda Hamka sudah dikenal sebagai seorang yang suka berkelana. Pemuda Hamka merantau ke jawa pada usia 16 tahun, untuk berguru pada HOS. Cokroaminoto, RM.Suryopranoto, Ki Bagus Hadikusumo dan H. Fakhrudin di Yogyakarta. Sekitar tahun 1924 M.6 ia juga banyak belajar pada Abang iparnya, yaitu Buya AR. Sutan Mansur, yang waktu itu menjabat sebagai voorzitter (ketua) Muhammadiyah Cabang Pekalongan. Di tahun 1935 M dia pulang ke Padang Panjang. Waktu itu mulailah muncul dan tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Diawal tahun 1927, Hamka menginjak pada usia 19 tahun telah berlayar ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ketika di

3

Dr. Mafri Amir, MA, Literatur Tafsir Indonesia (Tangerang Selatan Banten: CV. Sejahtera Kita, 2013), h. 171.

4 Sekolah diniyah putra ini didirikan oleh Zainuddin Labia Yanusi, kakak Rahman

El-Yanusiyah pendiri Diniyah Putri yang berlokasi di pasar Usang Padang Panjang

5

Thawalib School adalah pengembangan pendidikan yang ada di Surau Jembatan Besi.

6 Moh. Damami, Tasawuf Positif (dalam Pemikiran Hamka) (Yogyakarta: Fajar Pustaka

(30)

Makkah, Hmaka mendirikan organisasi Persatuan Hindia Timur dengan maksud memberikan pelajaran agama, terutama pengetahuan manasik haji bagi calon jamaah haji Indonesia.7

Sekembalinya dari makkah, ia di nikahkan oleh ayahnya dengan Siti Rahma, yang pada saat itu Hamka berusia 21 tahun dan usia istrinya 15 tahun. Pernikahannya dengan Siti Rahma yang bahagia dikaruniai 10 anak 7 diantaranya laki-laki dan 3 perempuan. Namun usia perkawinannya hanya sampai 43 tahun, karena istrinya meninggal dunia mendahuluinya, tepatnya di Jakarta pada tanggal 1 januari 1972. Setelah satu tahun kepergian Siti Rahma, Hamka menikah lagi dengan Hj.Siti Khadijah dari Cirebon (Jawa Barat), pada tanggal 19 Agustus 1973, dan mendampinginya sampai akhir hayat.8

Pada tahun 1950 Hamka pindah ke Jakarta. Kemudian pada tahun 1952 diangkat menjadi anggota “Badan Pertimbangan Kebudayaan” dari kementrian PP dan K (sekarang Departemen Pendidikan Nasional / Depdiknas). Dan menjadi guru besar di Universitas Islam di Makasar dan Perguruan Tinggi Islam, serta menjadi penasehat pada Kementrian Agama.9

Modal Hamka yang utama sebagai seorang intelektual-otodidak adalah keberanian dan ketekunan. Karena dedikasinya di bidang dakwah, pada tahun 1960 universitas Al-Azhar Cairo menganugrahkan Doktor Honoris Causa kepada Hamka yang membawakan pidato ilmiah berjudul “Pengaruh Ajaran dan Pikiran Syekh Mohammad Abduh di Indonesia”. Kemudian di tahun 1976

7 Moh. Damami, Tasawuf Positif….., h, 48. 8

Nasir Tamara, dkk, Hamka Dimata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1983).

9

(31)

untuk ke dua kalinya ia mendapat gelar yang sama dari universitas Kebangsaan Malaysia.10

Di masa karirnya Hamka juga pernah menjabat sebagai ketua umum MUI (Majelis Ulama Indonesia), dan mengundurkan diri pada tahun 1981 tepatnya pada bulan Mei. Fatwa Hamka yang terkenal saat menjabat sebagai ketum MUI adalah bahwa umat muslim diharamkan mengucapkan dan mengahadiri perayaan natal, namun pemerintah kurang bisa menerima fatwa tersebut. Bagi Hamka walau langit runtuh, kebeneran harus tetap disampaikan, karena baginya haram seorang muslim berbuat munafik hanya semata-mata sebuah jabatan. Oleh karenanya Hamka lebih memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Meminjam perkataan Hamka bahwa “Fatwa boleh dicabut, tetapi kebenaran tak bisa diingkari”.11

Dan masih banyak lagi krir Hamka selama hidupnya yang sangat berpengaruh bagi kemajuan politik maupun dalam keilmuan.

Hal ini terbukti dengan adanya karya-karya yang di hasilkannya. Dimulai dari usianya ketika 17 tahun (1925) sehingga menjelang wafatnya, dalam usia 73 tahun (1981). Hamka telah menulis 84 judul artikel, salah satunya adalah “Dari Hati ke Hati”, dan juga telah menulis buku sebanyak kurang lebih 113, mencakup dalam bidang filsafat, agama, dan sastra.12

10 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta: Penerbit

Djembatan, 1992), h. 29.

11

Hamka Tasawuf Moderen ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001 ), h. 159

12

(32)

B. Karya-karya Hamka

Selain sebagai ulama Hamka juga menguasai berbagai ilmu pengetahua seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik, baik Islam maupun barat. Ia juga dikenal sebagai ulama yang produktif dalam menulis, dalam hidupnya Hamka telah banyak mengarang buku-buku yang cukup mewarnai pembaharuan islam di Indonesia.

Jumlah karangannya kurang lebih mencapai 133 judul buku karya yang paling utama atau karya monumentalnya adalah tafsir Al-Azhar. Secara umum karya-karyanya dapat dilihat antara lain: Khatibul umam (ditulis dalam bahasa Arab), Pembela Islam (Tarikh Abu Bakar as-Shidiq) 1929, Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929), Hikmat Isra‟ Mi‟raj, Arkanul Islam (1932), Laila Majnun (1932), Majalah „Tentara‟ (4 nomor) 1932, Majalah al-Mahdi (9 nomor) 1932, Mati Mengandung Malu (salinan al-Manfalithi) 1934, Dibawah lindungan Ka‟bah (1936), Tenggelamnya Kapal Van Dar Wicjk (1937), Didalam Lembah Kehidupan (1939), Tuan Direktur (1939), Dijemput Mamaknya (1939), Keadilan Ilahy (1939), Tasawuf Moderen (1939), Filsafat Hidup (1939), Pada tahun 1940 diantaranya: Merantau ke Deli, Margaretta Gautier (terjemah), Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Majalah „Semangat Islam‟ 1943, di tahun 1946: Majalah „Menara‟, Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Di bantingkan Ombak Masyarakat, Di dalam Lembah Cita-Cita, Sesudah Naskah Reville (1947).

(33)

C. Metode Tafsir Al-Azhar

Metode pada setiap tafsir merupakan ciri khas yang terdapat didalam tafsir tersebut adapun metode tafsir al-Azhar adalah termasuk dalam kelompok tafsir

bi ra’yi. Karena dalam menafsirkan al-Qur‟an Hamka mengemukakan

pendapat-pendapat beliau tentang tafsir ayat-ayat tersebut, terutama mengenai maksud kata (etimologis) atau mengenai permasalahn yang akan dibahas.13 Contohnya: Tafsir al-Qur‟an surat al-Fatihah ayat 6 bahwa hamka menjelaskan ayat “  ” (Tunjukilah kami jalan yang lurus) maksudnya

minta ditunjuki dan dipimpin supaya tercapai jalan yang lurus. Adapun menuju jalan yang lurus seseorang harus memiliki al-Irsyad, at-Taufiq, al-Ilham dan ad-Dilalah. demikian contoh yang mnggambarkan bahwa Hamka dalam menafsirkan ayat mengutip ayat per-ayat dan menjabarkannya dengan jelas. Jika dilihat dari urutan suratnya, Tafsir Al-Azhar menggunakan tartib mushafi. Karena itu, metode nya disebut dengan metode Tahlili. Dalam hal memilih sumber referensi untuk Tafsir al-Azhar, Hamka tidak fanatik terhadap satu karya tafsir dan tidak terpaku pada satu mazhab pemikiran. Hamka mengutip berbagai kitab, bukan hanya kitab tafsir melainkan kitab hadis dan sebagainya yang menurutnya penting untuk dikutup. Akan tetapi, ada beberapa kitab tafsir yang diakuinya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tafsirnya. Bukan saja dari segi pemikiran, melainkan haluan serta coraknya.14 Contohnya: masih dengan surat al-Fatihah beliau menafsirkan surat al-Fatihah ayat 6

13 Hamka, Kenang-Kenangan Hidup ……, h. 40. 14

Dr. Mafri Amir, MA, Literatur Tafsir Indonesia (Tangerang Selatan Banten: CV. Sejahtera Kita, 2013), h. 171.

(34)

dengan mengutip pendapat-pendapat para ulama, pendapat para mufasir, pendapat para muhadis dan Hadis-hadis Nabi.

A. Riwayat Hidup M. Quraish Shihab

M Quraish Shihab adalah Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944/21 Safar 1363 H. Ayahnya adalah Prof. KH. Abdurrahman Shihab keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir dan dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.15

Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang. Kemudian ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Darul-Hadis al-Faqihiyyah. Pada awal 1958 setelah selesai menempuh pendidikan menengah, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah al-Azhar. Kemudian pada 1967, ia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas al-Azhar Kairo Mesir. Selanjutnya dia meneruskan studinya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar Master of Arts (MA) untuk spesialisasi bidang Tafsir Quran dengan tesisnya yang berjudul I'jaz

al-Tasyri'i li al-Qur’an al-Karim (kemukjizatan al-Quran al-Karim dari Segi

Hukum).16 Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercaya untuk

15

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1998), h. 6

16

(35)

menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) Wilayah VII Indonesia Bagian Timur, maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).17 Demi cita-citanya, pada tahun 1980 M. Quraish Shihab menuntut ilmu kembali ke almamaternya dulu, al-Azhar, dengan spesialisasi studi tafsir al- Qur‟an. Untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini, hanya ditempuh dalam waktu dua tahun yang berarti selesai pada tahun 1982. Disertasinya yang berjudul “Nazhm Durar li

al-Biqa’iy: Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian terhadap Kitab Nazm al-Durār

karya al-Biqa‟i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat Summa Cum Laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah al-Syaraf al-‘Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa). Pendidikan Tingginya yang kebanyakan ditempuh di Timur Tengah, al- Azhar, Kairo sampai mendapatkan gelar M.A dan Ph.D-nya. Atas prestasinya, ia tercatat sebagai orang yang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.18

Dalam perjalanan karir dan aktifitasnya, Quraish Shihab memiliki jasa yang cukup besar di berbagai hal. Sekembalinya dari Mesir, sejak tahun 1984, ia

17 Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Jembatan Merah, 1988), h. 111 18

Quraish Shihab, Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu'i Atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2000)

(36)

pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum al-Qur‟an di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. selain itu, ia juga menduduki berbagai jabatan, anatara lain: Ketua Majlis Ulama Indonesia Pusat (MUI) sejak 1984, Anggota Lajnah Pentashhih al-Qur‟an Departeman Agama sejak 1989, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak 1989, dan Ketua Lembaga Pengembangan. Ia juga berkecimpung di beberapa organisasi profesional, antara lain: Pengurus perhimpunan Ilmu-Ilmu Syariah, Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisiten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.19

Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktifitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Quraish Shihab aktif dalam kegiatan tulis-menulis seperti menulis untuk surat kabar Pelita dalam rubrik "Pelita Hati." Kemudian rubric "Tafsir al-Amanah" dalam majalah Amanah di Jakarta yang terbit dua minggu sekali. Ia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta, ia juga menulis berbagai buku suntingan dan

19

(37)

jurnal ilmiah, diantaranya Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); dan Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988). Di samping kegiatan tersebut di atas, Quraish Shihab juga dikenal penceramah yang handal. Kegiatan ceramah ini ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid at-Tin dan Fathullah, ia juga mengisi pengajian di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV atau media elektronik, khususnya di bulan Ramadhan.

B. Karya-karya M. Quraish Shihab

Diantara karya-karya Quraish Shihab adalah sebagai berikut:

1. Mukjizat al-Quran di Tinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan pemberitaan Ghaib (Bandung: Mizan, 1996).

2. Tafsir al-Amanah (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992). 3. Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1992).

4. Studi Kritis al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994).

5. Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhi Atas berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996).

6. Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1998). 7. Fatwa-fatwa Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999).

8. Tafsir al-Quran al-Karim; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah,1999).

(38)

10. Logika Agama; Batas-batas Akal dan Kedudukan Wahyu dalam al-Quran.

11. Yang Tersembunyi Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 1997).

12. Menjemput Maut Bekal Perjalanan Menuju Allah. 13. Islam Madzhab Indonesia.

14. Panduan Puasa Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1997). 15. Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1997).

16. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984).

17. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987).

18. Mahkota Tuntuna Ilahi; Tafsir Surat al Fatihah (Jakarta: Untagma, 1988).

19. Hidangan Ilahi; Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 1997).

20. Menyingkap Tabir Ilahi; Tafsir asma al-Husna (Bandung: Lentera Hati, 1998).

21. Tafsir Ayat-ayat Pendek (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999). 22. Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2003).

23. Secercah Cahaya Ilahi (Bandung: Mizan, 2002).

24. Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2001).

(39)

C. Metode Tafsir al-Misbah

Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab ditulis dalam bahasa Indonesia yang berisi 30 juz ayat-ayat al-Quran yang terbagi menjadi 15 jilid berukuran besar. Pada setiap jilidnya berisi satu, dua atau tiga juz. Kitab ini dicetak pertama kali pada tahun 2001 untuk jilid satu sampai tiga belas. Sedangkan jilid empat belas sampai lima belas dicetak pada tahun 2003.

Dalam menulis tafsir, metode tulisan Quraish Shihab lebih bernuansa kepada tafsir tahlili. Ia menjelaskan ayat-ayat al-Quran dari segi ketelitian redaksi kemudian menyusun kandungannya dengan redaksi indah yang lebih menonjolkan petunjuk al-Quran bagi kehidupan manusia serta menghubungkan pengertian ayat-ayat al-Quran dengan hukum-hukum alam yang terjadi dalam masyarakat. Uraian yang ia paparkan sangat memperhatikan kosa kata atau ungkapan al-Quran dengan menyajikan pandangan-pandangan para pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana ungkapan tersebut digunakan al- Quran, lalu memahami ayat dan dasar penggunaan kata tersebut oleh al- Quran.20

Contoh: Kata Shirat yang dimohonkan dalam surah al-fatihah ini adalah yang mustaqim yakni “ yang lurus “. Kata ini terambil dari kata qama-yaqumu yang arti aslinya adalah mengandalkan kekuatan betis atau memegangnya secara teguh sampai yang bersangkutan dapat berdiri tegak lurus. Karena itu, kata qama bisa diterjemahkan “berdiri” atau “tegak lurus”. Dalam surat al-Fatihah ini kata mustaqim diartikan “lurus”. Dengan demikian yang diharapkan

20

(40)

bukan hanya shirat yakni jalan yang lebar dan luas tetapi juga yang lurus. Karena jalan yang hanya lebar dan luas tetapi berliku-liku, maka sungguh panjang jalan yang ditempuh guna mencapai tujuan. Shirat al-mustaqim adalah jalan luas, lebar, dan terdekat menuju tujuan. jalan luas lagi lurus itu adalah segala jalan yang dapat menganar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.21

Penulisan kitab Tafsir al-Misbah adalah sebagai berikut:

a) Menjelaskan Nama Surat.

Sebelum memulai pembahasan yang lebih mendalam, Quraish mengawali penulisannya dengan menjelaskan nama surat dan menggolongkan ayat-ayat pada Makkiyah dan Madaniyah.

Contoh: Pada surat al-An’ām adalah surat Makiyah. Secara redaksional penamaan itu nampaknya disebabkan kata al-An’ām ditemukan dalam surah ini sebanyak enam kali. Nama ini merupakan satu-satunya yang dikenal pada masa Rasul saw.22

b) Menjelaskan Isi Kandungan Ayat.

Setelah menjelaskan nama surat, kemudian ia mengulas secara global isi kandungan surat diiringi dengan riwayat-riwayat dan pendapat-pendapat para mufassir terkait ayat tersebut.

Contoh: Masih dalam surat al-An’ām kelompok 1 (ayat 1-3) M. Qurasih Shihab menjelaskan tentang surat al-An’ām ayat 1-3. Ayat ini satu

21

Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,

Vol.I, II, dan III, (Jakarta: Lentera Hati, 2000)

22

Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,

(41)

dari empat surat al-Qur‟an selain al-Fatihah yang dimulai dengan al-hamdulillah. 23

c) Mengemukakan Ayat-Ayat di Awal Pembahasan.

Setiap memulai pembahasan, Quraish Shihab mengemukakan satu, dua atau lebih ayat-ayat al-Quran yang mengacu pada satu tujuan yang menyatu.

Contoh: Pada surat al-Mȃ‟idah ayat 1 M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa ayat-ayat yang dimulai dengan panggilan yȃ ayyuha

alladɀÎna ȃmanȗ adalah ayat-ayat yang turun di Mekah. Panggilan

semacam ini, bukan saja merupakan panggilan mesra, tetapi juga dimaksudkan agar yang diajak mempersiapkan diri melaksanakan kandungan ajakan.24

d) Menjelaskan Pengertian Ayat secara Global.

Kemudian ia menyebutkan ayat-ayat secara global, sehingga sebelum memasuki penafsiran yang menjadi topik utama, pembaca terlebih dahulu mengetahui makna ayat-ayat secara umum.

Contoh: Pada awal surat al-An’ām M. Quraish Shihab menulis bahwa sebagian ulama mengecualikan beberapa ayat dalam surat

al-An’ām sekitar enam ayat yang menurut mereka turun setelah nabi

23

Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,

Vol. IV (Jakarta: Lentera Hati, 2001) hal. 7

24

Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,

(42)

berhijrah ke Madinah, yaitu ayat 90-93 dan 150-153 kendati ada riwayat yang hanya menyebut dua ayat, yaitu 90 dan 91.25

e) Menjelaskan Kosa Kata.

Selanjutnya, Quraish Shihab menjelaskan pengertian kata-kata secara bahasa pada kata-kata yang sulit dipahami oleh pembaca.

Contoh: M. Quraish Shihab menjelaskan pengertian kata ṣirāṭ dalam surat al-Fatihah ayat 6-7 beliau berpendapat kata ṣirāṭ yang dimohonkan dalam surat ini adalah yang mustaqim yakni “yang lurus”.26

f) Menjelaskan Sebab-sebab Turunnya Ayat.

Terhadap ayat yang mempunyai asbāb al-nuzul dari riwayat sahih yang menjadi pegangan para ahli tafsir, Maka Quraish Shihab Menjelaskan lebih dahulu.

Contoh: M. Quraish Shihab menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat seperti dalam surat at-Taubah ayat 9 Quraish Shihab menulis dalam tafsirnya bahwa suatu riwayat menyatakan surat at-Taubah ayat 9 menjelaskan larangan orang-orang yang musyrik mendekati masjid turun berkenaan dengan rencana beberapa kaum muslimin untuk merampas unta-unta yang dibawa oleh serombongan kaum musyrikin dari suku penduduk Yamamah, dibawah pimpinan Syuraih Ibn Dhubai‟ah yang digelar al-Hutham, dengan alas an

25

Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,

Vol. IV (Jakarta: Lentera Hati, 2001) hal. 3

26

Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,

(43)

bahwa unta-unta itu adalah milik kaum muslimin yang pernah mereka rampas.27

g) Memandang Satu Surat Sebagai Satu Kesatuan Ayat-ayat yang Serasi. Al-Quran merupakan kumpulan ayat-ayat yang pada hakikatnya adalah simbol atau tanda yang tampak. Tapi simbol tersebut tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang lain yang tidak tersurat, tapi tersirat. Hubungan keduanya terjalin begitu rupa, sehingga bila tanda dan simbol itu dipahami oleh pikiran maka makna tersirat akan dapat dipahami pula oleh seseorang.28 Dalam penanfsirannya, ia sedikit banyak terpengaruh terhadap pola penafsiran Ibrahim al Biqa‟i, yaitu seorang ahli tafsir, pengarang buku Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-suwar yang berisi tentang keserasian susunan ayat-ayat al-Quran.

Contoh: Dalam tafsirnya M. Quraish Shihab selalu menyangkut pautkan surat-surat atau ayat-ayat yang saling berkaitan seperti surat an-Nisȃ‟ yang mencangkup sekian banyak ayat yang mengandung uraian tentang akad, baik secara tegas maupun tersirat yang tegas antara lain akad nikah dan shidȃq (mahar), serta akad perjanjian keamanan dan kerja sama. Al- Biqȃ‟i mengemukakan hubungan yang lebih rinci. Menurutnya, pada akhir surat yang lalu ( QS. an-Nisȃ‟(4): 160 ), telah diuraikan bahwa orang-orang Yahudi yang melakukan kezaliman dengan mengabaikan perjanjian mereka dengan Allah swt., telah dijatuhi sanksi, yakni berupa

27

Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,

Vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001)

28

(44)

diharamkannya atas mereka aneka makanan yang baik-baik yang telah dihalalkan bagi mereka, yakni yang dijelaskan dalam QS. al-An‟ȃm (6): 145. Dalam surat an-Nisȃ‟ itu, Allah melanjutkan kecaman-Nya kepada Ahl al-Kitȃb dan mengakhirinya dengan uraian tentang warisan serta keharusan memenuhi perjanjian dan ketetapan-ketetapan Allah Yang Maha Mengetahui.29

h) Gaya Bahasa.

Quraish Shihab menyadari bahwa penulisan tafsir al-Quran selalu dipengaruhi oleh tempat dan waktu dimana para mufassir berada.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan metode tahlili atau analisis adalah penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Qur‟an dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufassir dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mushhaf melalui penafsiran kosakata, penjelasan asbab al-nuzul, munasabah, serta kandungan ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufassir itu.

29

Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,

(45)

29

BAB III

Sinonimitas (Mutarādif) dan Pengertian Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq

Pada bab ini penulis mencantumkan tentang sinonimitas dalam al-Qur‟an, dengan mencantumkan sinonimitas diharapkan dapat mempermudah penulis dalam memahami kata Ṣirāṭ, Sabīl dan Ṭarīq dan pengertian tentang kata Ṣirāṭ, Sabīl dan Ṭarīq dalam al-Qur‟an.

1. Definisi Sinonim (Mutarādif)

Dalam bahasa Arab Al-Tarāduf ( فاارت ) berasal dari akar kata ( لا ر) ف ra‟- dal - fa‟ ( فاري- فر ) yang bentuk mashdarnya ialah ( ْفِا . Al-Ridf ialah رل(ا

segala sesuatu yang mengikuti sesuatu lainnya. Sedangkan Al-Tarāduf bermakna apabila sesuatu mengikuti sesuatu lainnya di belakangnya. Bentuk jamaknya adalah al-Rudāfā ( رفافّا ), dikatakan telah datang rombongan kaum لا berturut-turut ( رفافر ىرقل ءرج ) maksudnya yakni bagian satu mengikuti bagian

yang lainnya. Perkataan Mutarādif ( فاارت ) adalah isim Fa‟il (lil musyārakah). م

Mutarādif adalah beberapa kata dengan satu arti, berbeda dengan kata musytarak, karena kata ini menunjukkan kesatuan lafadz dengan berbagai pengertian.1

Al-Murtadif ( فاارتملا ) ialah mengendarai sesuatu di belakang pengendara

atau membonceng. Perkataan bagi malam dan siang berturutan, karena setiap

1

(46)

salah satu dari keduanya mengikuti yang lain.2 Maksud dari tarāduf al-syakhsān

(نءرصخشلا فاات ) ialah saling membantu atau gotong royong, dapat dipahami juga

dengan saling mengikuti atau membonceng.3 Al-Tarāduf dilihat dari sisi istilah tidak ditemukan kesepakatan umum diantara para ulama, akademisi klasik dan kontemporer.Imam Sibawaih (w. 180 H.) diduga sebagai orang pertama yang menampakkan penjelasan mengenai tarāduf dalam ilmu bahasa. Ia membagi konteks hubungan antara lafadz dengan makna, menjadi tiga macam yakni: lafadz-lafadz yang beraneka ragam dan mempunyai makna yang beraneka ragam pula, satu lafadz mempunyai aneka makna yang berbeda-beda dan beragam lafadz namun hanya mempunyai satu makna. Pembagian tersebut disinyalir sebagai awal munculnya konsep musytarak lafz}i dan al-Mutarādif.4 Menurut al-Murtada al-Zabadi (w. 1205 H.) ia mendefinisikan Mutarādif dengan menjadikan banyak nama pada satu hal. Pengertian ini tidak keluar dari pernyataan yang disampaikan oleh imam Sibawaih dalam klasifikasi hubungan antara lafadz dengan makna.5 Hal yang berbeda disampaikan oleh al-Suyuti bahwa Mutarādif ialah beberapa dengan satu arti, namun beliau membatasi pada beberapa kata yang memang mempunyai batasan tertentu, seperti kata al-Insān dengan al-Basyar dan al-Saif dengan al-Sārim. Kedua kata ini mempunyai

2Muhammad Nūruddīn al-Munajjad, al-Tarāduf fî al-Qur‟ān al-Karīm, (Baina

al-Mazāriyah wa al-Tatbīq), h. 29.

3Emīl Badi‟ Ya‟qūb, Mausū‟ah Ulūm Lughāh „Arābiyah, (Beirut: Dār

al-Kutūb al-„Ilmiyah, 2006), h. 294.

4Muhammad Nūruddīn al-Munajjad, al-Tarāduf fî al-Qur‟ān al-Karīm, (Baina

al-Mazāriyah wa al-Tatbīq), h.30.

5Muhammad Nūruddīn al-Munajjad, al-Tarāduf fî al-Qur‟ān al-Karīm, (Baina

(47)

batasan dari segi zat dan sifatnya.6 Mutarādif menurut istilah bahasa adalah beraneka ragamnya lafadz berjumlah dua atau lebih dengan disepakati satu makna. Seperti al-asad, al- Sab‟, al-lais, dan asāmah ( ةمءرسأ , ريلا ,ع رسلا , رسلأا )

yang menunjukkan mempunyai satu makna yakni singa. Begitu juga dengan al-husām, al-saif, al-muhannad dan al-yamānī ( وءررميلا, ررىحملا ,فيررسلا , ءررسحلا )

memiliki satu makna yaitu pedang. Mutarādif (sinonim) yakni lafadz bermacam-macam dengan kesesuaian makna. Bangsa Arab adalah bangsa paling kaya bahasa dengan sinonimnya al-Mutarādifat. Misalnya kata al-Saif

رسلا في

) ) memiliki lebih dari seribu nama, kata al-Asad ( رس ) mempunyai lima لأا

ratus nama. Kata al-„Asl رسعلا ) ) namanya lebih dari delapan puluh nama.7 Ada yang berpendapat bahwa Mutarādif serupa dengan al-Nazāir dan Musytarak serupa dengan al-Wujūh. Sebenarnya ada sedikit perbedaan antara al-Musytarak dan al-Wujūh, antara lain al-Wujūh dapat terjadi pada lafadz tunggal dan dapat juga akibat rangkaian kata-kata, berbeda dengan Musytarak yang tertuju kepada satu lafadz saja. Ada juga perbedaan antara Mutarādif dengan al-Nazāir. Kendati keduanya serupa, tetapi letak perbedaannya pada kedalaman analisa. Ketika seseorang berkata insân )نءرسوا) nazir serupa dengan kata basyar ( ارشب ), sekedar berhenti di sana, tidak menganalisa lebih jauh apa kesamaan dan perbedaannya. Seharusnya ada penjelasan lebih jauh.8

6 Jalāluddin al-Suyūti, al-Muzīr fî „ulūm al-Lugah wa „Anwaā‟uhā, (Kairo: Maktabah

Dāral-Turās,) h. 403.

7 Emīl Badi‟ Ya‟qūb, Mausū‟ah Ulūm al-Lughāh al-„Arābiyah, h. 294. 8

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir , ed: Abd. Syakur. DJ, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h. 120.

(48)

2. Sinonim (Mutarādif) Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq Kata Ṣirāṭ

Kata ṣirāṭ ( طا ار صلا) berasal dari akar kata ) ط-ر-ص ( shod- ra‟- tho, yang

bentuk jamaknya adalah ( ط ار ص) yang berarti jalan atau lorong. Kata ṣirāṭ juga di artikan sebagai ( ْمَّى ه ج ِهْت م ل ع اْسٍج) jembatan di atas neraka.9

Kata Sabīl

Kata sabīl ( ْي ِ ر سلا) berasal dari akar kata (ل- ب-س) sin- ba‟- lam, yang

bentuk jamaknya adalah ( ْس ا و- لْى س و- س) yang berarti jalan.10  Kata Ṭarīq

Kata ṭarīq ( رْيِا طلا) berasal dari akar kata (ق-ر-ط) tho- ra‟- kof. yang

bentuk jamaknya adalah ( ق اررْط ا و- ق ارر ط) jalan,lorong, dan gang atau ( ة قْيِا طلا) jalan atau cara.11

3. Pengertian Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq Secara Istilah

Para ulama‟ berbeda pendapat dalam menafsirkan kata ṣirâṭ, sabîl dan tarīq Perbedaan itu terjadi bukan karena sebab, melainkan ada beberapa masalah yang menjadikan adanya perbedaan tersebut. Di antaranya adalah perselisihan mengenai makna ṣirâṭ, sabîl, dan tarīq sendiri, serta bagaimana implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Muhammad Ibnu Jarir Aththabari dalam kitab tafsirnya, Jami‟ul Bayān at Ta‟wi al-Qur‟an, memaknai

ṣirâṭ, sabîl dan ṭarīq adalah jalan yang benar yang di dalamnya terdapat

9 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.

773.

10

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 608.

11

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 849.

(49)

ganjaran bagi yang berbuat baik dan adzab bagi yang berbuat kebathilan, yang semua itu terdapat dalam Islam.12

Sebagai ummat Islam, kita tahu bahwa segala urusan manusia telah diatur oleh agama, termasuk bagaimana jalan untuk mengantarkan kepada keridhoa‟an allah. Rasyid Ridla, dalam tafsirnya Al-Manar, menjelaskan bahwa segala sesuatu yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, baik berupa ilmu pengetahuan, kesopanan, dan hukum adalah ṣirâṭ

al-mustaqim.13 Semua itu bisa tercapai jika manusia memperoleh pedoman yaitu

agama yang di dalamnya tercakup segala kebenaran dan keadilan.

Berbeda lagi dengan Muhammad Husain at-Taba‟tabai, yang mengatakan bahwa ṣirâṭ bermakna sabîl dan ṭarīq akan tetapi maknanya lebih dekat dengan

sabîl. Menurutnya, allah mensifati ṣirâṭ dengan lurus dan menjadikannya

sebagai jalan yang dilalui oleh orang-orang yang diberi nikmat oleh allah.14

Ṣirâṭ al-mustaqim adalah puncak ibadah manusia kepada allah, karena

mencakup segala kegiatan manusia dan jalan untuk mendekatkan diri kepada allah swt. Sedangkan manusia hanya berdoa untuk mendapatkan petunjuk Allah supaya bisa menuju jalan yang lurus. Sebab, hanya jalan inilah yang bisa mengantarkan manusiamenuju kebenaran, yaitu allah swt.

12Muhammad Abu Ja‟far bin Jarir Aththabari, Jami‟ul Bayan fi Tafsir al-Qur‟an, Juz I,

(Beirut: Dar Al-Ma‟arif, 1972), hlm. 58

13 Rasyid Ridla, Tafsir Al-Manar, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1343 H), hm. 65 14

Muhammad Husain al-Thaba‟tabai, Tafsir Al-Mizan, Juz I, (Beirut: Dar al-Muassasah, 1991), hlm. 28

Referensi

Dokumen terkait

penelitian tafsir tematik yang digagas oleh '‘Abd al -Hayy al-Farmawi, 16 sebagaimana yang dikutip oleh M.Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur'an yakni, (1)

Terhadap ayat yang mempunyai asba>b al-nuzu>l dari riwayat s}ah}ih yang menjadi pegangan para ahli tafsir, maka Quraish Shihab Menjelaskan lebih dahulu.

Quraish Shihab, adalah satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk- petunjuk ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha

Penelitian lain mengenai kedua tokoh tersebut masih cukup banyak diantaranya Konsep keluarga Sakinah dalam Tafsir Al-Misbah (Studi Tematik atas penafsiran M. Quraish

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2007.. M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera

Dalam tafsir Al-Misbah ini, metode yang digunakan Quraish Shihab tidak jauh berbeda dengan Hamka, yaitu menggunakan metode tahlili (analitik), yaitu sebuah

Kitab Tafsir al-Mishbah adalah salah satu karya Muhammad Quraish Shihab dari sekian banyak karya-karyanya. Tafsir al-Misbah ini lahir dari keinginan Quraish Shihab

Quraish Shihab, adalah satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk- petunjuk ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha