• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skala prioritas utama dan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ditujukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skala prioritas utama dan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ditujukan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Skala prioritas utama dan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta penguatan daya saing perekonomian. Adapun misi pembangunan nasionalnya diarahkan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera, aman dan damai, serta meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi Indonesia yang adil dan demokratis (BAPPENAS 2010).

Selanjutnya pemerintah menyatakan bahwa untuk mewujudkan misi pembangunan tersebut di atas diperlukan sarana dan prasarana, di antaranya adalah berupa jaringan komunikasi dan informatika, yang selain memungkinkan pertukaran informasi secara cepat (real time) menembus batas ruang dan waktu, juga berperan sangat penting, baik dalam proses produksi maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi. Bersamaan dengan itu, telekomunikasi juga dipandang sebagai elemen yang sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi, seperti perdagangan, industri, dan pertanian.

Upaya pemerintah dalam mengembangkan infrastruktur jaringan komunikasi dan informatika serta telekomunikasi juga menjadi penting, karena sebagaimana dikemukakan Mugniesyah (2009) ada dua komitmen yang harus dipenuhi pemerintah Indonesia. Pertama, merespon United Nation Development Programme (UNDP) yang telah menetapkan bahwa akses penduduk terhadap teknologi yang berperan dalam proses difusi dan penciptaan menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia di sebuah negara. Kedua, pemerintah Indonesia tunduk pada komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals atau MDGs), khususnya rumusan tujuan kedelapan, yaitu mengembangkan suatu kerja sama global untuk pembangunan; yang salah satu targetnya adalah bekerja sama dengan sektor swasta, guna memberikan manfaat teknologi baru, khususnya informasi dan

(2)

komunikasi bagi masyarakat luas. Terdapat tiga indikator dari target tersebut, yaitu (1) jaringan telepon dan subscriber seluler per 1000 orang, (2) komputer personal (personal computer atau PC) per 100 orang, dan (3) pengguna internet per 1000 orang.

Semakin berkembangnya infrastruktur telekomunikasi baik yang dilakukan pemerintah maupun swasta, disertai meningkatnya pendapatan pada warga masyarakat di lain pihak, telah berdampak pada meluasnya jaringan telepon seluler (selanjutnya ditulis ponsel) sekaligus meningkatnya pengguna ponsel. Hasil studi lembaga penelitian ROA (Research On Asia) Group menyatakan bahwa pengguna ponsel di Indonesia tercatat sebanyak 68 juta pada akhir tahun 2006. Kondisi ini menjadikan Indonesia akan menempati peringkat ketiga pasar ponsel terbesar di Asia setelah Cina dan India (Novita 2010). Selanjutnya, data lembaga riset Wireless Intelligence Global Comms, menunjukkan bahwa sampai dengan kuartal I-2010 lalu total konsumen ponsel mencapai 171 juta pelanggan, atau 72,3 persen terhadap total penduduk Indonesia yang tersebar di perkotaan dan perdesaan (Haraito dan Hidayat 2010). Dengan demikian, ponsel menjadi inovasi bagi masyarakat perdesaan.

Penduduk di perdesaan Indonesia umumnya dominan terdiri atas rumahtangga pertanian. Menurut Badan Pusat Statistik, terdapat 25,4 juta rumahtangga pertanian di perdesaan Indonesia pada tahun 2003, yang terdiri dari 54,9 persen di Jawa dan 45,1 persen di luar Jawa. Sebagaimana diketahui, sejak diintroduksikannya Revolusi Hijau, inovasi yang diintroduksikan kepada masyarakat petani umumnya berupa teknologi pertanian, baik berupa teknologi produksi maupun pasca panen beragam komoditi. Teknologi pertanian sebagai inovasi dipandang mampu meningkatkan produktivitas usahatani, yang pada gilirannya diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Dalam konteks tersebut, sebagaimana dikutip oleh Mugniesyah (2006), Rogers dan Shoemaker (1971) serta Rogers (1995) mengembangkan konsep difusi inovasi, yang diartikan sebagai proses melalui mana suatu inovasi dikomunikasikan kepada anggota-anggota sistem sosial melalui saluran-saluran komunikasi tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Berdasar definisi tersebut, difusi inovasi mencakup empat unsur penting: inovasi, saluran komunikasi, sistem sosial, dan waktu. Selanjutnya,

(3)

kedua ahli menyatakan bahwa waktu tersebut eksis dalam proses difusi khususnya pada tiga aspek, yaitu: (1) proses keputusan inovasi, dimana individu melangsungkan proses dari tahap pengenalan suatu inovasi sampai kepada menolak atau menerima inovasi, (2) keinovativan individu atau unit pengambilan keputusan inovasi lainnya -yang diartikan sebagai keterdinian atau keterlambatan relatif di mana suatu inovasi diadopsi- dibandingkan dengan anggota sistem sosial lainnya, dan (3) laju adopsi inovasi dalam suatu sistem sosial.

Telah ada sejumlah penelitian berkenaan difusi inovasi pertanian di Indonesia, namun demikian, sebagian besar peneliti lebih memfokuskan pada aspek yang pertama, yakni proses keputusan inovasi. Hal tersebut sebagaimana dijumpai pada beberapa penelitian, dintaranya adalah: (a) Studi Hubungan Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Supra Insus dengan Adopsi Supra Insus di Tingkat Petani dan Kelompok Tani (Mugniesyah dan Lubis 1990), (b) “Adopsi Inovasi Teknologi Tabela bagi Petani Padi Sawah” (Novarianto 1999), (c) “Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani” di Kabupaten Karawang (Sadono 1999), (d) “Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi” (Agussabti 2002), dan (e) ”Jaringan Komunikasi Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian” (Rangkuti 2007).

Meskipun sejumlah penelitian tersebut di atas merujuk pada Teori Pengambilan Keputusan Inovasi dari Rogers dan Shoemaker (1971), kecuali penelitian Mugniesyah dan Lubis, penelitian selainnya hanya berfokus pada adopsi inovasi pada tingkat individu petani, tidak mempertimbangkan aspek sistem sosial dimana inovasi tersebut diintroduksikan; sementara penelitian mengenai aspek difusi inovasi lainnya, yakni laju difusi dan kategori adopter, belum banyak dilakukan. Hal ini setidaknya, setelah penelitian rintisan yang dilakukan Soewardi (1972) dalam Sajogyo dan Sajogyo (1982) dan Sastramihardja dan Veronica (1976) baru dijumpai adanya studi laju adopsi, sebagaimana dilakukan oleh Nugraha (2010) dalam studinya yang berjudul “Studi Difusi Inovasi System of Rice Intensification (SRI) di Kabupaten Tasikmalaya”.

Berdasar penjelasan di atas, sejumlah penelitian tentang adopsi dan difusi inovasi, hampir semuanya berkenaan dengan inovasi teknologi pertanian. Di pihak

(4)

lain, meskipun telah ada sejumlah studi berkenaan ponsel, namun belum menggunakan teori difusi inovasi, karena fokusnya lebih kepada aspek sikap dan perilaku individu dalam penggunaan ponsel; sebagaimana dijumpai pada sejumlah studi, di antaranya pada penelitian: (a) “Pengaruh Penggunaan Ponsel pada Remaja terhadap Interaksi Sosial Remaja” (Utaminingsih 2006), (b) “Sikap dan Perilaku Mahasiswa terhadap Penggunaan Ponsel” (Mulyandari 2006), (c) “Persepsi dan Perilaku Remaja dalam Menggunakan Ponsel” (Lutfiyah 2007), dan (d) “Sikap dan Perilaku Remaja Desa dalam Menggunakan Ponsel” (Prayifto 2010). Meningkatnya pengguna ponsel di kalangan masyarakat perdesaan mencerminkan adanya penerimaan anggota masyarakat akan pentingnya ponsel sebagai bagian dari perilaku komunikasi mereka. Kondisi tersebut menjadi menarik untuk diteliti, mengingat hampir semua penelitian tersebut di atas berfokus pada inovasi pertanian yang bersumber dari pemerintah, sementara ponsel bersumber dari pihak pengusaha yang diadopsi oleh individu tanpa ada campur tangan langsung pemerintah. Di pihak lain, para ahli dan peneliti terdahulu mengemukakan bahwa masyarakat perdesaan pada umumnya, dicirikan oleh pola komunikasi lokalit, dimana komunikasi interpersonal dominan berperan sebagai media sekaligus sumber informasi bagi mereka. Sehubungan dengan itu, penelitian difusi inovasi dan pola pemanfaatan ponsel di kalangan masyarakat perdesaan menjadi penting.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Merespon ajakan pemerintah terhadap pihak swasta untuk membangun infrastruktur telekomunikasi guna meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi yang mereka butuhkan, pihak Perusahaan Telekomunikasi XL dan Telkomsel telah membangun masing-masing satu menara Base Transceiver Stations (BTS) di Desa Kemang Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, berturut-turut pada tahun 2008 dan 2010. Sebagaimana dikemukakan Mugniesyah (2007), Desa Kemang tergolong desa yang terisolir, karena letaknya ada di sekitar wilayah hutan, baik itu hutan lindung maupun hutan produksi milik Perhutani. Kehadiran dua menara BTS ini telah mendorong warga Desa Kemang untuk memiliki ponsel sesuai dengan motivasinya masing-masing. Merujuk pendapat

(5)

Rogers dan Shoemaker (1971), khususnya pada dua aspek dalam difusi inovasi, bagaimanakah laju adopsi inovasi ponsel dan pola kategori adopter ponsel di kalangan masyarakat Desa Kemang?

Berdasar pada paradigma laju adopsi menurut Rogers dan Shoemaker (1971), terdapat sejumlah variabel dari lima faktor yang dianggap mempengaruhi laju adopsi, yaitu: pendapat individu terhadap karakteristik inovasi, saluran komunikasi, tipe pengambilan keputusan inovasi, karakteristik sistem sosial, dan promosi oleh agen promosi. Sehubungan dengan itu, variabel-variabel apa sajakah (dari kelima faktor tersebut) yang mempengaruhi laju adopsi inovasi ponsel di masyarakat Desa Kemang?

Sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker, laju difusi inovasi diukur oleh jumlah orang yang mengadopsi inovasi sejak inovasi tersebut diintroduksikan sampai pada suatu periode tertentu. Cepat lambatnya laju adopsi tersebut berhubungan dengan keinovativan (innovativeness), yakni derajat dimana seorang individu akan mengadopsi inovasi lebih dini dibanding anggota sistem sosial lainnya. Berdasar tingkat keinovativan tersebut, kedua ahli merumuskan sebaran kategori adopter ke dalam lima kategori: inovator, penganut dini, penganut awal terbanyak, penganut lambat terbanyak, dan kaum kolot, masing-masing memiliki karakteristik sosial-ekonomi, perilaku komunikasi dan pribadi tertentu. Adakah sebaran kategori adopter yang terjadi di Desa Kemang mengikuti pola sebaran sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker? Bagaimanakah karakteristik kelima kategori adopter ponsel di Desa Kemang tersebut?

Sebagaimana dikutip Mugniesyah (2006), Rogers dan Shoemaker (1971) juga mengemukakan konsep adopsi berlebihan (over adoption) yang diartikan sebagai individu yang mengadopsi suatu inovasi padahal seharusnya ia menolaknya, atau sebaliknya. Sehubungan dengan itu, apakah gejala adopsi berlebihan ponsel terjadi di masyarakat Desa Kemang?

Mengingat bahwa masyarakat perdesaan, khususnya masyarakat petani dominan dicirikan oleh pola komunikasi lokalit -dimana komunikasi interpersonal dominan berperan sebagai media sekaligus sumber informasi bagi mereka- maka komunikasi melalui media ponsel menjadi suatu hal yang baru. Sehubungan

(6)

dengan hal tersebut, bagaimanakah pola pemanfaatan ponsel menurut karakteristik kategori adopter yang ada di masyarakat Desa Kemang?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasar perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini terutama untuk mengetahui:

1. Laju adopsi inovasi ponsel pada warga masyarakat di Desa Kemang, sejak pertama ponsel tersebut masuk di desa ini sampai dengan penelitian dilaksanakan, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2. Tingkat keinovativan dan karakteristik adopter ponsel serta hubungannya dengan pola sebaran kategori adopter ponsel pada warga masyarakat Desa Kemang.

3. Pola pemanfaatan ponsel menurut karakteristik kategori adopter yang ada di masyarakat Desa Kemang.

Ada tidaknya fenomena adopsi berlebihan (over adoption) ponsel di kalangan masyarakat Desa Kemang.

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Bagi penulis, penelitian ini memberikan pengalaman dalam menerapkan sejumlah konsep dan teori berkenaan proses difusi inovasi untuk menganalisis fenomena meningkatnya penggunaan media komunikasi ponsel pada masyarakat perdesaan.

2. Bagi Pemda Tingkat II Cianjur, khususnya Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat menjadi masukan bagi pemanfaatan ponsel sebagai media penyuluhan pertanian dan pengembangan cyber extension di perdesaan.

3. Bagi pihak lain, khususnya para peneliti di bidang riset difusi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan informasi awal bagi studi difusi inovasi ponsel di berbagai wilayah perdesaan lainnya, sehingga diharapkan dapat berkontribusi pada pengembangan komunikasi pembangunan pertanian di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini sangat berkaitan dengan penelitian yang akan dikaji oleh peneliti yaitu dalam perumusan masalah peneliti merumuskan bagaimana pengalaman spiritual haji

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Pendekatan dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang memberikan tekanan utama pada penjelasan konsep dasar yang kemudian dipergunakan sebagai sarana

Audit, Bonus Audit, Pengalaman Audit, Kualitas Audit. Persaingan dalam bisnis jasa akuntan publik yang semakin ketat, keinginan menghimpun klien sebanyak mungkin dan harapan agar

Perbandingan distribusi severitas antara yang menggunakan KDE dengan yang menggunakan suatu model distribusi tertentu dilakukan untuk melihat secara visual, manakah dari

Sistem Monitoring Pertumbuhan Balita merupakan sistem yang dibuat dengan tujuan untuk mempermudah pemantauan terhadap pertumbuhan balita berbasis web (KMS Online),

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah virus Covid-19 adalah dengan menerapkan perilaku Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di mana dalam penerapannya

 Inflasi Kota Bengkulu bulan Juni 2017 terjadi pada semua kelompok pengeluaran, di mana kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan mengalami Inflasi