• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI SENGKETA TANAH Oleh Herul Anwar (Mahasiswa Hukum Universitas Pakuan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI SENGKETA TANAH Oleh Herul Anwar (Mahasiswa Hukum Universitas Pakuan)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI SENGKETA TANAH

Oleh Herul Anwar

(Mahasiswa Hukum Universitas Pakuan) ABSTRAK

Peradilan merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan dan kepastian hukum yang memuaskan dalam suatu perkara. Dari pengadilan ini diharapkan suatu keputusan yang tidak berat sebelah, karena itu jalan yang sebaik-baiknya untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan. Khususnya bagi penegakan hukum administrasi negara dan tata usaha negara, untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat diperlukan adanya sarana hukum yaitu Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara hanya terbatas pada penyelesaian sengketa yang timbul antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat, atau penyelesaian sengketa ekstern administrasi negara, tidak termasuk penyelesaian sengketa intern, yaitu sengketa yang timbul antara sesama administrasi negara.

Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menentukan bahwa negara Indonesia adalah negara

hukum. Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan atau dalam rangka

(2)

merealisir tujuan negara harus memiliki dasar hukum atau dasar kewenangan. Dalam kepustakaan Hukum Tata Usaha Negara, setiap aktifitas pemerintah harus berdasarkan hukum dikenal dengan istilah asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau wetmatigheid van bestuur), artinya setiap aktifitas pemerintah harus memiliki dasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut maka aparat pemerintah tidak memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.1

Langgengnya suatu negara hukum, maka penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia ditandai dengan pencantumannya dalam konstitusi. Pemerintah harus memegang teguh

1 Indriharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Sinar Harapan, 1993), hal. 83.

konstitusi dan menjalankan segala undang-undang serta peraturan pelaksanaannya dengan benar dan bersama masyarakat menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut. Makna negara hukum adalah apabila segala aktivitas kenegaraan dari lembaga-lembaga negara maupun aktivitas kemasyarakatan dari seluruh warga negara didasarkan pada hukum, yang berarti pengaturan tata kehidupan seluruh warga negara harus dibingkai oleh hukum. Oleh karena itu hukum harus dijadikan sebagai panglima dan menempatkan bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan berada dan tunduk kepada hukum.

Prinsip negara hukum menjamin suatu kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum, dimana jaminan dari suatu kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dalam setiap kebijaksanaan administrasi negara harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang

(3)

berwujud suatu ketetapan. Namun dalam kenyataannya sering terjadi bahwa ketetapan yang dikeluarkan administrasi negara dianggap bertentangan dengan hukum atau merugikan kepentingan warga negara atau badan hukum perdata, akibatnya, perlindungan hukum dan keadilan yang diberikan kepada masyarakat adalah dengan menggugat badan atau pejabat administrasi negara yang mengeluarkan ketetapan itu di muka pengadilan. Salah satu usaha pemerintah untuk menjamin perlindungan keadilan bagi anggota masyarakat ialah dengan cara diwujudkan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986, yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan kemudian di ubah menjadi Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Perwujudan dan penyempurnaan Peradilan Tata Usaha Negara ini dimaksudkan bukan hanya untuk

perlindungan serta kepastian hukum bagi anggota masyarakat, tetapi untuk kepentingan administrasi negara agar mendapatkan tempat secara wajar sehingga benturan yang timbul akibat keputusan administrasi negara mendapat penyelesaian yang adil dan menyatu.

Kemudian salah satu bidang yang mengatur tata kehidupan warga negara yang juga tunduk pada hukum adalah bidang Pertanahan/Agraria. Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 dan dijabarkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) telah mengatur masalah pertanahan di Indonesia sebagai salah satu peraturan yang harus dipatuhi. Salah satu tujuan pembentukan UUPA adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat, yakni melalui kegiatan pendaftaran tanah untuk seluruh wilayah Indonesia yang produknya adalah pemberian alat bukti

(4)

kepemilikan hak atas tanah/sertifikat hak milik atas tanah.

Mengingat demikian besarnya peranan tanah dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik serta pengaruhnya terhadap laju atau lambannya suatu proses pembangunan maka diperlukan peraturan yang mampu menjamin hak-hak seseorang dan/atau badan hukum terhadap tanah atas miliknya.2

Namun kenyataannya, landasan yuridis yang mengatur masalah pertanahan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara konsekuen dengan berbagai alasan, sehingga menimbulkan masalah/sengketa pertanahan. Sumber masalah/sengketa pertanahan yang ada sekarang antara lain disebabkan : 1. Pemilikan atau penguasaan tanah

yang tidak seimbang dan tidak merata;

2. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah non pertanian;

2 Eddy Pranjoto, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional, (Bandung : CV. Utomo, 2006), hal. 9.

3. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;

4. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah (hak ulayat);

5. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.

Permasalahan tersebut di atas memaksa masyarakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa tanah yang dialami melalui lembaga peradilan baik peradilan umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan masalah pertanahan yang terjadi akibat konflik struktural karena kebijakan pemerintah di masa lalu dapat diselesaikan melalui suatu komisi atau badan peradilan khusus yang dibentuk dengan undang-undang. Secara konvensional penyelesaian sengketa tanah biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian sengketa di depan pengadilan. Peradilan merupakan tumpuan harapan bagi

(5)

pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan yang memuaskan dalam suatu perkara. Dari pengadilan ini diharapkan suatu putusan yang tidak berat sebelah, karena itu jalan yang sebaiknya untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan.

Dalam penyelesaian sengketa tanah melalui jalur pengadilan/litigasi didasarkan kepada objek sengketa tanah, hal ini berkaitan dengan kewenangan untuk mengadili sengketa tanah apakah termasuk kepada kompetensi/kewenangan absolut Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara.

Kewenangan absolut peradilan/atribusi

kompetensi/kewenangan (attributie van rechtsmacht) adalah menyangkut tentang pembagian wewenang antar badan-badan peradilan berdasarkan jenis lingkungan pengadilan, misalnya pembagian antara wewenang Peradilan

Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum.

Kewenangan absolut Peradilan Tata Usaha Negara hanya sebatas mengadili sengketa yang berada dalam hukum publik, yaitu sengketa yang timbul akibat perbuatan pemerintah dalam hukum publik yang bersifat ekstern yang bersegi satu dan bersifat konkrit, individual dan final yang tertuang dalam suatu keputusan Pejabat Tata Usaha Negara.3

Pada dasarnya kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kompetensi/ kewenangan absolut mengadili sengketa tata usaha Negara (Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986). Menurut Pasal 1 butir (10) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat

(6)

dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara. Untuk menilai dan menentukan apakah suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat administrasi itu bertentangan dengan hukum atau tidak. Berdasarkan pengertian di atas maka terhadap sengketa tanah dapat diselesaikan penyelesaiannya ke Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal mengenai pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah atau keputusan yang berisikan penolakan atau permohonan untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan atau oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Namun dalam praktiknya kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Umum menimbulkan permasalahan dalam pemeriksaan dan pemutusan sengketa pertanahan, sehingga konsekuensi logisnya adalah sering terjadinya

putusan pengadilan yang menyatakan permohonan gugatan penggugat tidak dapat diterima atau ditolak dimana dalam pertimbangan hukumnya didasarkan kepada kewenangan mengadili sehingga merugikan pihak yang berselisih khususnya bagi pihak yang menggugat sengketa tanah tersebut, dan permasalahan selanjutnya adalah tidak bisanya dilakukan eksekusi terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara sehingga memperlambat proses penegakan hukum untuk menuntut hak yang dimilikinya yang akhirnya menimbulkan keresahan dan kebingungan di masyarakat.

Selain daripada perihal di atas, dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan pengertian dari kekuasaan kehakiman, yaitu:

“Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”

(7)

Berhubungan dengan ketentuan Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan pula dalam Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman yaitu:

“Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”

Dari dua pengertian yang didasarkan aturan hukum positif di Indonesia, jelas dinyatakan bahwa adanya independensi kekuasaan sehingga pelaku kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan bahwa pelaku dari kekuasaan kehakiman, yaitu :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Dalam pelaksanaan kewenangan dari kekuasaan kehakiman tersebut, baik Mahkamah Agung, maupun peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara, memiliki kewenangan absolut yang berbeda satu sama lainnya. Dalam Pasal 20 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan tentang kewenangan dari Mahkamah Agung, yaitu :

a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan

(8)

peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;

b. Menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang-undang-undang; dan

c. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

Selain itu dalam Pasal 25 Ayat (2), (3), (4), (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan tentang kewenangan dari Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara, yaitu :

“Ayat (2) Peradilan Umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. (5) Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Kewenangan yang dimiliki oleh badan-badan kekuasaan kehakiman sebagai pelaku utama, memiliki pemahaman suatu kompetensi Absolut suatu peradilan dalam menangani suatu permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat. Kompetensi Absolut, dapat diartikan sebagai kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.

Bertitik tolak dari suatu kewenangan Absolut yang dimiliki oleh 4 (empat) peradilan dalam pembahasan di atas, Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, menambahkan beberapa peradilan khusus, baik yang bersifat tetap maupun Ad Hoc serta memiliki

(9)

kompetensi kewenangan yang berbeda, diantaranya yaitu :4 a. Pengadilan HAM b. Pengadilan Tipikor c. Pengadilan Niaga d. Pengadilan Perikanan e. Pengadilan Anak

f. Pengadilan Hubungan Kerja Industrial

g. Pengadilan Pajak

h. Mahkamah Syariah Provinsi Nanggore Aceh Darussalam

i. Pengadilan Adat di Papua

Secara eksplisit penambahan peradilan yang bersifat khusus dan Ad-Hoc, guna tercapainya kekuasaan kehakiman yang lebih mandiri dan profesionalitasnya suatu lembaga peradilan yang benar-benar bersih dari rekayasa keadilan sehingga dalam kompetensinya pun hanya berkaitan dengan kompentesi absolut yang dimilikinya, namun dalam penanganannya semuanya akan bermuara di Mahkamah Agung, sebagai

4 Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, ( Jakarta : Seketariat Jenderal dan Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, 2006), hal. 50-51.

pemberi Keputusan Tetap bila terjadi upaya hukum kasasi.

Berhubungan dengan kemajemukan kekuasaan Kehakiman yang terdiri dari peradilan-peradilan, namun di sisi lain kemajemukan dalam peradilan tersebut, tetap dikendalikan oleh pejabat-pejabat struktural secara Internal dalam peradilan, yang salah satunya yaitu hakim, sehingga dalam hal ini perlunya beberapa prinsip-prinsip dasar bagi hakim dalam melaksanakan peranan peradilan yang baik, prinsip-prinsip tersebut dinyatakan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :

“ Ayat (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; (2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum; (3) Hakim dan hakim konstitusi wajib mengerti Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.”

(10)

Prinsip-prinsip tersebut bertujuan untuk tercapainya peradilan yang sehat, tidak memihak, memiliki kekuasaan yang mandiri tanpa campur tangan dari lembaga eksekutif maupun legislatif.

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan.

Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dimulai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 serta mulai beroperasi pertama kali pada tanggal 14 Januari 1991 dengan diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1990 tentang Pembentukan Peradilan Tinggi Tata

Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang serta Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Sekarang telah meliputi 4 Pengadilan Tinggi TUN serta 26 Pengadilan Tata Usaha Negara.5

Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 telah diatur tentang kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.

Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus

5 Ujang Abdullah, “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia”, tersedia di http://www.ptun.palembang.go.id, diakses tanggal 01 Maret 2012.

(11)

menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili. Pengadilan TUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara untuk tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi dan peninjauan kembali.

Khusus untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 maka Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat memeriksa, memutus dan menyelesaikannya sebagai badan peradilan tingkat pertama dan terhadap putusan Pengadilan Tinggi. Tata Usaha Negara tersebut tidak tersedia upaya

hukum banding melainkan langsung mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

Sebelum membahas tentang Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa pertahanan di Indonesia, penulis akan memberikan sedikit gambaran mengenai istilah Kompetansi yang dimaksud dalam lingkup suatu Peradilan. Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.6

6 S.F.Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta : Liberty, 2003), hal:59.

(12)

Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.

Untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi relatifnya diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyatakan:

“(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota. (2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi. “

Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak yang bersengketa yaitu Penggugat dan Tergugat diatur tersendiri dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang menyebutkan:

(1) Tempat kedudukan Tergugat; (2) Tempat Kedudukan salah satu

Tergugat;

(3) Tempat kediaman Penggugat diteruskan ke Pengadilan tempat kedudukan Tergugat;

(4) Tempat kediaman Penggugat, (dalam keadaan tertentu

(13)

berdasarkan Peraturan Pemerintah);

(5) PTUN Jakarta, apabila tempat kediaman Penggugat dan tempat kedudukan Tergugat berada diluar negeri;

(6) Tempat kedudukan Tergugat, bila tempat kediaman Penggugat di luar negeri dan tempat kedudukan Tergugat didalam negeri.

Dengan ketentuan tersebut maka pada prinsipnya gugatan diajukan ke pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan Tergugat sedangkan yang bersifat eksepsional di Pengadilan Tata Usaha Negara tempat kedudukan Penggugat diatur kemudian setelah ada Peraturan Pemerintah, akan tetapi sampai sekarang ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum ada sehingga belum dapat diterapkan. Adapun Kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi

atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan perbuatan Badan/Pejabat TUN lainnya baik perbuatan materiil (material daad) maupun penerbitan peraturan (regeling) masing-masing merupakan kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.

Kompetensi absolut Pengadilan TUN diatur dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyebutkan:

” Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang

(14)

Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 Angka (9) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari rumusan pasal tersebut, persyaratan keputusan Tata Usaha Negara yang dapat menjadi obyek di

Pengadilan Tata Usaha Negara meliputi :

1. Penetapan tertulis;

2. Dikeluarkan oleh

Badan/Pejabat TUN;

3. Berisi tindakan hukum TUN; 4. Berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

5. Bersifat konkrit, individual dan final;

6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Keenam persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, Keputusan Tata Usaha Negara harus memenuhi keenam persyaratan tersebut. Selain itu, kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara termasuk pula ketentuan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu dalam hal Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan suatu

(15)

keputusan yang dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu merupakan kewajibannya.

Dalam praktik keputusan-keputusan badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berpontesi menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu antara lain :

1. Keputusan tentang Perizinan, secara yuridis suatu izin adalah adalah merupakan persetujuan yang diberikan pemerintah (Badan/Pejabat TUN) kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk melakukan aktivitas tertentu.

Menurut Philipus M. Hadjon,7 tujuan diadakannya Perizinan pada pokoknya adalah:

a. Mengarahkan atau mengendalikan aktivitas tertentu (misalkan: izin prinsip, IMB, izin

7

Philipus M. Hadjon. “Pelaksanaan Otonomi Daerah dengan Perijinan yang rawan gugatan”, makalah Temu Ilmiah Hut Peratun XIII, Medan, 2004.

pertambangan, izin pengusahaan hutan, izin berburu, dan sebagainya); b. Mencegah bahaya atau

gangguan (misalkan: gangguan/ herder ordonantie, amdal, dan sebagainya); c. Melindungi obyek tertentu

(misalkan: izin masuk obyek wisata, cagar budaya, dan sebagainya);

d. Distribusi benda atau barang lelang (misalkan: izin trayek, izin perdagangan satwa langka, dan sebagainya); e. Seleksi orang atau aktivitas

tertentu (misalkan: SIM, izin memiliki senjata api, izin penelitian, dan sebagainya). 2. Keputusan tentang Status

Hukum, Hak dan Kewajiban a. Status hukum perorangan

atau Badan Hukum Perdata, misalkan: akta kelahiran, akta kematian, akta pendirian/pembubaran

badan hukum, KTP, Ijazah, Sertifikat (Tanda Lulus Ujian), dan sebagainya); b. Hak/ Kewajiban perorangan

atau Badan Hukum Perdata terhadap suatu barang untuk

(16)

jasa, misalkan: pemberian/pencabutan hak atas tanah, hak untuk melakukan pekerjaan, dan sebagainya).

3. Keputusan tentang Kepegawaian

a. Keputusan tentang mutasi PNS, dimana pegawai yag dimutasi keberatan karena merasa dirugikan, menghambat karier atau karena mutasi itu dianggap

hukuman disiplin

terselubung;

b. Keputusan tentang hukuman disiplin PNS, di mana pegawai yang bersangkutan menganggap hukuman itu tidak sesuai prosedur atau tidak adil;

c. Keputusan tentang pemberhentian PNS, misalnya dalam rangka perampingan pegawai atau

likuidasi suatu instansi, dan sebagainya.

Dari pembahasan di atas mengenai kompetensi peradilan Tata Usaha Negara, dan persyaratan atas keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan obyek di Pengadilan Tata Usaha Negara, dapat disimpulkan bahwa setiap ketetapan yang dapat dijadikan sebagai objek dari sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara, dapat diselesaikan dalam lingkup kompetensi Absolut yang dimiliki oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Berhubungan dengan hal tersebut dapat dilihat suatu acuan yuridis dari permasalahan-permasalahan pertanahan di Indonesia, perihal tersebut memiliki permasalahan yang sama yaitu terkait pemberian hak atas tanah, dan pemberian hak atas tanah tersebut dapat menjadi objek sengketa dihadapan peradilan Tata

(17)

Usaha Negara, bila keputusan/penetapan yang dikeluarkan sesuai dengan hal-hal yang meliputi yaitu :

1. Merupakan suatu Penetapan tertulis;

2. Dikeluarkan oleh

Badan/Pejabat TUN;

3. Berisi tindakan hukum TUN; 4. Berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

5. Bersifat konkrit, individual dan final;

6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata

Pembahasan di atas memiliki pemahaman bahwa, dalam lingkup permasalahan pertahanan, peradilan Tata Usaha memiliki kewenangan yang mutlak secara absolut, untuk memberikan keadilan kepada masyarakat atas penetapan tertulis yang merugikan secara keperdataan, dan penetapan tertulis biasanya

terdapat dalam Sertifikat Hak Atas Tanah.

Hak Atas Tanah

Di dalam Pasal 4 Ayat (1) UUPA Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak-hak atas tanah tersebut dapat berbentuk Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak membuka tanah, Hak memungut hasil hutan, Hak-hak yang tidak termasuk hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam pasal 53 yaitu : hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Berikut ini penjelasan dari penguasaan hak-hak

(18)

atas tanah menurut UUPA Nomor 5 Tahun 1960, yaitu :

a. Hak Milik

Di dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Hak Milik adalah hak turun-temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan di dalam Pasal 6 yaitu mempunyai fungsi sosial.

b. Hak Guna Usaha (HGU)

Hak Guna Usaha adalah hak yang diberikan oleh negara kepada perusahaan pertanian, perikanan atau perusahaan peternakan untuk melakukan kegiatan usahanya di Indonesia.

c. Hak Pakai

Hak Pakai di dalam UUPA diatur mulai dari Pasal 41 hingga Pasal 43, yang menyatakan bahwa Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah

milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang- undang ini.

d. Hak Sewa

UUPA Nomor 5 Tahun 1960 mengatur hak sewa ini dimulai dari Pasal 44 hingga Pasal 45. Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sebagai sewa.

(19)

Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Perihal penerbitan Hak Atas Tanah, maka ruang lingkup tersebut merupakan ruang lingkup daripada pendaftaran Hak Atas Tanah, dengan suatu pengertian bahwa suatu penerbitan Hak Atas Tanah tidak akan terjadi bila tidak ada pendaftaran Hak Atas Tanah, baik itu Pendaftaran Pertama kali dan bukan yang pertama kalinya.

Pendaftaran tanah yang dimaksud adalah “suatu rangkaian kegiatan” yang dilakukan oleh negara/pemerintah secara “terus-menerus” dan “teratur”, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan penyajiannya bagi kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan sertifikat sebagai tanda buktinya dan pemeliharaannya.

Pendaftaran tanah dilaksanakan oleh pemerintah bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Kegiatan dalam pendaftaran tanah antara lain berupa pengumpulan data fisik tanah yang haknya terdaftar, kegiatan ini dapat dilimpahkan kepada pihak swasta.8 Tetapi untuk memperoleh kekuatan hukum hasilnya memerlukan pengesahan Pejabat Pendaftaran yang berwenang baru dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Data yang dihimpun dalam pendaftaran tanah untuk penerbitan sertifikat pada dasarnya meliputi dua bidang yaitu; Pertama, data fisik mengenai tanahnya: lokasi, batas-batas, luas bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Kedua, data yuridis mengenai haknya: hak apa,

8

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, (Jakarta : Djambatan, 1999), hal. 72.

(20)

siapa pemegang hak, ada atau tidak adanya hak pihak lain.

Proses Penyelesaian Sengketa

Pertanahan di Peradilan Tata Usaha Negara

Secara garis besar proses penyelesaian sengketa pertanahan di Peradilan Tata Usaha Negara tidak berbeda jauh dengan proses penyelesaian sengketa administrasi lainnya yang menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara, di mana proses penyelesaian sengketa tersebut berpedoman kepada tahapan-tahapan pemeriksaan perkara ketentuan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

1. Penelitian Administrasi

Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, merupakan tahap pertama untuk memeriksa gugatan yang

masuk dan telah didaftar serta mendapat nomor register yaitu setelah Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya dengan membayar uang panjar perkara.

2. Proses Dismissal

Setelah Penelitian Administrasi, Ketua melakukan proses dismissal, berupa proses untuk meneliti apakah gugatan yang diajukan penggugat layak dilanjutkan atau tidak. Pemeriksaan Disimissal, dilakukan secara singkat dalam rapat permusyawaratan oleh ketua dan ketua dapat menunjuk seorang hakim sebagai reporteur (raportir).

3. Pemeriksaan Persiapan

Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. Tujuan pemeriksaan persiapan

(21)

adalah untuk mematangkan perkara. Segala sesuatu yang akan dilakukan dari jalan pemeriksaan tersebut diserahkan kearifan dan kebijaksanaan ketua majelis.

4. Persidangan

Dalam pemeriksaan persidangan ada dengan acara biasa dan acara cepat Ketua Majelis/Hakim memerintahkan panitera memanggil para pihak untuk pemeriksaan persidangan dengan surat tercatat. Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat. Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan

gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis. 5. Putusan

Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut. Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakataan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.

Apabila musyawarah majelis tersebut tidak dapat

(22)

menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya. Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan. Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.

Berhubungan dengan proses pemeriksaan tersebut bila dilihat objek, subjek amar putusan serta pertimbangan hakim dalam Penetapan Putusan TUN yang telah berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht Van Gewijsde) Nomor 76/G/2006/PTUN-BDG Jo Nomor 149/B/2007/PT TUN-Jkt Jo Nomor 84K/TUN/2008 Jo Nomor 35 PK/TUN/2009 tanggal 12 Januari.

Objek Gugatan

1. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 43/Kel.Citarum, tanggal 21-12/1993, tercatat atas nama PT. Bank Mandiri, berkedudukan di Jakarta, Gambar Situasi tanggal 13 Desember 1993 Nomor 8980/1993 luas 2.935 M2, terletak di Jalan Surapati Nomor 2, Kota Bandung. 2. Sertifikat Hak Milik Nomor

293/Kel. Cihapit tanggal 25/1/1991, tercatat atas nama PT. Bank Mandiri, berkedudukan di Jakarta. Surat Ukur tanggal 7 Mei 1987 Nomor 252/1987 luas 4.220 M2

(23)

terletak di Jalan Surapati Nomor 2, Kota Bandung.

3. Sertifikat Hak Pakai No.10/Kel Cihapit, tanggal 20/5/1985, Gambar Situasi tanggal 30 Juli 1984, Nomor 5784/1982, Luas 1.100 M2, tercatat atas nama Departemen Hankam cq TNI Angkatan Laut, terletak di Jalan Dipenogoro Nomor 23, Kota Bandung.

4. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 127/Kel.Citarum tanggal 29 Maret 2005 tercatat atas nama PT Taspen, Surat Ukur tanggal 21 Februari 2005 Nomor 131/Citarum/2005 luas 962 M2 terletak di Jalan Dipenogoro Nomor 23, Kota Bandung.

5. Sertifikat Hak Pengelolaan No. 8/Kel Citarum tanggal 13 Maret 1997 atas nama Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Gambar Situasi tanggal 5 Agustus 1996 Nomor 8254/1996 luas 18.000M2, terletak di Jalan Dipenogoro, Kota Bandung.

6. Sertifikat Hak Pakai No. 8Kel Cihapit tanggal 3 April 1984 atas nama Pemerintah Propinsi Tingkat I Jawa Barat, Surat Ukur tanggal 28 Juni 1940 Nomor 197 luas 1.400 M2, terletak di Jalan Dipenogoro, Kota Bandung.

7. Sertifikat Hak Milik No. 307/Kel Citarum tanggal 20/9/2000 tercatat atas nama Auw Sia Tjeuw, Surat Ukur tanggal 12 Juli 2000 No. 15/Citarum/2000, luas 1.118 M2, terletak di Jalan Dipenogoro No. 19 (dahulu Nomor 21), Kota Bandung. 8. Sertifikat Hak Milik Nomor 69/Kel.

Citarum tanggal 16/2/1991 tercatat atas nama Abdulrahman Habibie, Surat Ukur tanggal 28 Juni 1940 Nomor 199/1940 luas 1113 M2 terletak di Jalan Dipenogoro Nomor 21 Kota Bandung.

9. Sertifikat Hak Milik No. 174/Kel/Citarum atas nama Ir Dandan Riza Wardana, Gambar Situasi tanggal 9 April 1996 Nomor 2578/1996 Luas 1.180 M2 terletak di

(24)

Jalan Aryajipang Nomor 6 Kota Bandung.

Subjek Yang Digugat.

Adapun Subjek dari Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu :

1. Penggugat

a) Eutik Suhanah; b) Wati;

c) Hj. Eti Erawati. 2. Tergugat :

a) Tergugat I, yaitu Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung. b) Tergugat II, yaitu :

1) PT. Bank Mandiri

2) Komandon Denal Bandung atas nama Departemen HANKAM Cq Tni Angkatan Laut

3) PT. Taspen.

4) Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat.

5) Auw Sia Tjeuw.

6) Ir. Suryatim Abdulrahman Habibie.

Alasan Gugatan

Berdasarkan ketentuan Pasal 53 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu :

1) Seseorang atau badan hukum

perdata yang merasa

kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.

Adapun alasan yang dimaksud dalam isi gugatan, berdasarkan ketentuan Pasal 53 angka (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun

(25)

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu :

2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :

a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b) Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara pada waktu

mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;

c) Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara pada waktu

mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) setelah

mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut

dengan keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.

Amar Putusan

Adapun amar putusan dalam Penetapan Putusan TUN yang telah berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht

Van Gewijsde) Nomor

76/G/2006/PTUN-BDG Jo Nomor 149/B/2007/PT TUN-Jkt Jo Nomor 84K/TUN/2008 Jo Nomor 35 PK/TUN/2009 tanggal 12 Januari 2010, yaitu :

a. Mengadili, yaitu :

1) Mengabulkan Permohonan Peninjauan Kembali dari Pra Pemohon Peninjauan Kembali : 1. Eutik Suhanah, 2. Wati dan 3. Hj Eti Erawati, ketiganya diwakili oleh kuasanya : 1. Edi Rohaedi, S.H., M.,H dan 2. Nandang Kusnadi, S.H, tersebut.

2) Membatalkan Putussan Mahkamah Agung nomor 84

(26)

K/TUN/2008 tanggal 20 Agustus 2008 dan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 149/B/2007/PT.TUN-JKT, tanggal 26 Nopember 2007 yang dimohonkan peninjauan kembali ini.

b. Mengadili Kembali : 1) Dalam Eksepsi

Menyatakan menolak Eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi 1. Tergugat II Intervensi 2, Tergugat II Intervensi 3, Tergugat II Intervensi 4, Tergugat II Intervensi 5 dan Tergugat II Intervensi 6 untuk seluruhnya. 2) Dalam Penundaan

Menunda pelaksanaan lebih lanjut dan terbitnya Surat Keputusan Tergugat berupa Sertifikat-sertifikat hak atas nama Tergugat II Intervensi 1. Tergugat II Intervensi 2, Tergugat II

Intervensi 3, Tergugat II Intervensi 4, Tergugat II Intervensi 5 dan Tergugat II Intervensi 6 serta sertifikat lainnya yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini sampai adanya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan Hukum tetap.

3) Dalam Pokok Perkara

a) Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian; b) Menyatakan Batal obyek

Sengketa berupa Surat Keputusan Tergugat, c) Mewajibkan Tergugat

untuk mencabut dan mencoret obyek sengketa berupa Surat Keputusan Tergugat

d) Mewajibkan Penguggat membayar biaya Perkara.

(27)

Pertimbangan Hukum Hakim

Adapun Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Putusan TUN yang telah berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht Van Gewijsde) Nomor 76/G/2006/PTUN-BDG Jo Nomor 149/B/2007/PT TUN-Jkt Jo Nomor 84K/TUN/2008 Jo Nomor 35 PK/TUN/2009 tanggal 12 Januari 2010, yaitu :

1. Bahwa Bukti P. PK 1 s/d 5 dapat diterima sebagai bukti baru (Novum) karena telah sesuai dengan Pasal 67 huruf b Undang-Undang Mahkamah Agung RI, oleh karena dengan adanya Novum tersebut (terutama P.PK-3) yaitu Putusan Pengadilan Negeri Bandung JNo. 11/1984 tertanggal 16 September 1948 yang sudah berkekuatan hokum tetap dan P.PK-4 yaitu Penetapan Pengadilan Negeri Bandung 1971) maka dalam hal ini tidak perlu dipermasalahkan lagi tentang

status kepemilikan tanah-tanah tersebut oleh para Penggugat/Para Pemohon Peninjauan Kembali. Dengan demikian terbitnya Keputusan-Keputusan Tata Usaha Negara yang terdiri dari Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 43 Tahun 1993, Sertifikat Hak Milik Nomor 293 Tahun 1991, Sertifikat Hak Pakai Nomor 10 Tahun 1985, Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 127 Tahun 2005, Sertifikat Hak Pakai Nomor 8 Tahun 1984, Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 8 Tahun 1997, Sertifikat Hak Milik Nomor 307 Tahun 2000, Sertifikat Hak Milik Nomor 174 Tahun 1996 yang dinyatakan Cacat Hukum oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sudah Tepat dan Benar. 2. Mengenai alasan-alasan ke 2, 3 dan

4 :

Bahwa Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta sebagai Judex Factie dan Mahkamah Agung sebagai Judex

(28)

Juris dalam hal init telah lagi, oleh karenanya Mahkamah Agung pada Tingkat Peninjauan Kembali sependapat dengan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung.

Penutup

Ruang lingkup sengketa pertanahan yang menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan yang dianut di Indonesia di dasarkan kepada suatu konsep dalam Proses Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Peradilan Tata Usaha Negara, yang mengacu kepada Penelitian Administrasi, Proses Dismissal, Pemeriksaan Persiapan, Persidangan, Putusan.

Dalam membentuk Peradilan Tata Usaha Yang Baik, di mana dalam memberikan putusan-putusannya harus sesuai dengan keadilan, keadilan disini, adalah seimbang dalam putusan yang diberikan, karena keadilan yang nyata tak akan pernah dapat dibuktikan selama keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi.

Jaminan Kepastian Hukum yang berlaku tidak saja menjadi milik masyarakat pada umumnya akan tetapi pemerintah pun memiliki keadilan yang seharusnya, dalam keputusan ini tidak adanya keadilan yang nyata bagi kedua belah pihak, karena keadilan tersebut hanya ada dalam lingkup pihak penggugat saja, dan tidak adanya uang konpensasi dalam putusan tersebut untuk pemerintah yang menjaga tanah itu hingga tahun 2008.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta : Seketariat Jenderal dan Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, 2006

Eddy Pranjoto, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional, Bandung : CV. Utomo, 2006.

Indriharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta : Sinar Harapan, 1993.

Ujang Abdullah, “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia”,

tersedia di

http://www.ptun.palembang.go.i d, diakses tanggal 01 Maret 2012. S.F.Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta : Liberty, 2003.

Philipus M. Hadjon. “Pelaksanaan Otonomi Daerah dengan Perijinan yang rawan gugatan”, makalah Temu Ilmiah Hut Peratun XIII, Medan, 2004.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Jakarta : Djambatan, 1999.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pro- porsi komisaris independen, ukuran dewan komisaris, reputasi auditor, risiko

Strategi keibubapaan tradisi atau dunia nyata amat sesuai untuk diamalkan dalam keibubapaan siber, di mana ibu bapa melindungi anak-anak kecil dengan mengawasi mereka secara

Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden >80% memiliki tahap proses pengambilan keputusan yang baik yaitu proses pengenalan kebutuhan, pencarian informasi,

Jika informasi mengenai peraturan lainnya yang berlaku belum tersedia di bagian lain dalam lembaran data keselamatan bahan ini, maka hal ini akan dijelaskan dalam bagian

Walaupun pemburukan yang jelas dan bertahap mungkin tidak ditemukan pada semua kasus, gejala neurologis fokal adalah lebih sering pada demensia vaskular dibandingkan

Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan secara mendalam berbagai aspek yang terkait dengan realisasi kredit pembiayaan mikro pertanian, termasuk aksesibilitas petani

Hasil penelitian ini adalah (1) terdapat sejumlah 169 makna ungkapan konotatif pada karangan cerita pendek siswa kelas VII PK 1 dan VII PK 2 MTs Negeri 1