• Tidak ada hasil yang ditemukan

s sej 043837 chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "s sej 043837 chapter1"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembelajaran sejarah dewasa ini lebih berorientasi kepada penyampaian

pengetahuan (transfer of knowledge) dari guru kepada peserta didik.

Konsekwensinya, guru berperan sebagai pusat kegiatan belajar, sementara

siswa sebagai peserta pasif yang hanya menerima materi.

Dalam posisinya sebagai penyampai materi, guru kurang peka terhadap

perkembangan masyarakat sehingga materi pembelajaran seringkali lepas dari

konteks dan situasi nyata dalam lingkungan sosial siswa. Hal ini terjadi karena

pembelajaran sejarah di sekolah, baik sebagai sebuah disiplin ilmu maupun

sebagai bagian dari rumpun Ilmu Pengetahuan Sosial lebih menekankan pada

pewarisan nilai (perenialisme) dan pendekatan disipliner.

Pembelajaran sejarah yang lebih menekankan kepada aspek kognitif ini

mengakibatkan kesenjangan antara peristiwa masa lalu dengan situasi masa

kini. Dengan demikian, sejarah hanya diletakan dalam konteks jamannya,

tidak mampu melintasi waktu, ruang geografis serta kondisi sosial budaya

Pendekatan konvensional ini diikuti penerapannya dalam pembelajaran

di kelas yang bersifat intruksional. Akhirnya, keberhasilan belajar siswa

diukur atau dievaluasi secara kuantitatif untuk mengetahui aspek kognitif atau

pengetahuan yang telah diserap; bukan pada aktifitas dalam proses

(2)

Pendekatan ini menyebabkan peserta didik tidak memiliki kesempatan

untuk memaknai materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari atau

masalah-masalah sosial yang dihadapi.

Padahal pembelajaran sejarah juga diharapkan dapat membangun

persepsi dan cara pandang siswa mengenai materi yang dipelajari,

mengembangkan masalah baru dan membangun konsep-konsep baru dengan

menggunakan evaluasi yang dilakukan pada saat KBM berlangsung (Nana

Supriatna, . 2007:17)

Salah satu metode pembelajaran sejarah yang dipandang dapat

mencapai tujuan di atas, adalah sebuah metode yang menggunakan model

berpikir sinektik yang dikenalkan oleh William J.J. Gordon (M.D. Dahlan

[Eds.], 1990: 87)

Berpikir sinektik adalah proses menemukan pertalian dari segala hal

yang tidak diketahui sebelumnya atau bahkan bertentangan. Ia meliputi

berbagai upaya mengkoordinasikan segala sesuatu ke dalam suatu struktur

baru agar ditemukan hubungan antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata

lain berpikir sinektik adalah proses identifikasi segala hal yang tidak diketahui

sebelumnya untuk dicari jalan keluarnya, dibuat dugaan-dugaan atau hipotesa

(www.lovinlearning.org/heroes/Synectics/What_is_Synectics.htm).

Dalam tataran praktis dan aplikatif, aktifitas sinektik bersifat metaporik

dengan menemukan analogi-analogi yang dengan sendirinya kreatifitas

menjadi suatu yang disadari. Metapora-metapora membentuk hubungan

(3)

Model pembelajaran seperti ini mengajak siswa untuk menjiwai dan

menghayati sejumlah pengetahuan ke dalam ranah afeksi sehingga terjadi

proses persepsi dan penghayatan yang mendorong siswa memaknai setiap

pengalaman pembelajaran sejarah.

M.D. Dahlan (Eds.1990: 90) menyebutkan bahwa aktifitas metaporik

yang merupakan ciri inheren dari teori sinektik ini akan membantu peserta

didik untuk dapat menghubungkan ide-ide dari hal-hal yang telah dikenalnya

menuju ke hal-hal yang baru atau dari suatu perspektif baru ke hal yang

dikenal. Strategi sinektik menurutnya, mempergunakan aktifitas metaporik

yang terencana, dan memberikan struktur langsung yang mana individu bebas

mengembangkan imajinasi, afeksi dan pemahaman mereka ke dalam

pengalaman sehari-hari

Sebagai gambaran aplikatif dalam KBM dapat dikemukakan fakta

historis berupa penderitaan masa penjajahan dengan analogi seekor kucing

yang dikurung, disiksa dan tidak diberi makan oleh pemiliknya. Pertama, guru

mendeskripsikan penderitaan nenek moyang di masa penjajahan. Ke-dua,

siswa disuruh untuk mengidentifikasi dan membayangkan hal apa saja yang

dialami binatang tersebut (analogi langsung). Dalam hal ini guru dapat menilai

hasil identifikasi siswa; mana yang relevan dan yang tidak relevan. Guru juga

dapat menambahkannya bila dipandang perlu.

Ke-tiga, agar siswa dapat lebih berempati, guru dapat menyuruh siswa

menjadi analog personal. Guru dapat menyuruh, misalkan: “Anggaplah kalian

(4)

Selanjutnya, murid berimajinasi dan mengidentifikasi hal apa saja yang

mungkin dialami dan diraskan.

Ke-empat, guru juga dapat menyuruh siswa untuk mengidentifikasi

objek yang menjadi kebalikan dari masa penjajahan, misal masa kemerdekaan

(analogi pertentangan). Hal ini dimaksudkan agar lebih menekankan dan

melibatkan aspek emosional siswa.

Dalam contoh di atas peserta didik dituntut untuk memberikan batasan

karakteristiknya dan disempurnakannya dalam sebuah konsep. Dalam contoh

ini, mereka diharapkan menemukan konsep penjajahan dan

menginternalisirnya ke dalam ranah afeksinya melalui analogi yang relatif

mudah diketahui, seperti contoh seekor kucing yang disiksa tersebut. Agar

lebih membangkitkan emosional peserta didik, seperti dalam contoh di atas,

guru menyuruh para siswanya “menjadi” analog yang berperan langsung

(analogi personal).

Contoh di atas dapat menstimulus peserta didik untuk menemukan sisi

persamaan dan perbedaannya. Mereka dituntut untuk bersifat analitis dan

melakukan konvergensi yang mendorong energi kreatif untuk membangkitkan

aspek afeksi, merasa lebih bebas, lebih berperan serta saling memahami satu

dengan yang lainnya.

Selanjutnya dari pengalaman sinektis di atas, siswa akan memiliki

integritas, berjiwa sosial tinggi, bertanggung-jawab, kreatif, mandiri dan

memiliki kemampuan untuk memandang segala persoalan secara

(5)

Namun penerapan metode ini dalam proses KBM di Indonesia masih

terhitung langka. Hal ini bukan hanya karena kurangnya sosialisasi tetapi juga

menyangkut berbagai faktor, seperti beban guru untuk mengejar target

kurikulum dan guru yang selalu menjadi pusat kegiatan belajar. Guru merasa

dirinya hanya merupakan penyampai bahan pelajaran dan bukan sebagai

fasilitator yang membuat siswa belajar.

Pandangan ini juga diperburuk dengan beredarnya buku-buku sumber

sejarah yang berusaha menjadi buku pegangan yang paling lengkap dengan

memuat sebanyak mungkin fakta-fakta sejarah. Guru seringkali memilih buku

sumber pegangan siswa yang relevan dengan dokumen kurikulum yang

dikeluarkan pemerintah. Mereka menganggap bahwa semua uraian materi

tersebut harus disampaikan kepada siswanya hingga selesai melalui KBM di

kelas.

Dengan demikian, kurangnya sosialisasi metode sinektik ini juga

disebabkan oleh lingkungan dan tuntutan kurikulum serta sistem yang selama

ini dianut oleh dunia pendidikan.

Berangkat dari karakteristik teori sinektik di atas, penulis

menawarkannya sebagai salah satu metode pembelajaran sejarah dengan

harapan dapat meningkatkan kualitas pengajaran. Lebih jauhnya, siswa dapat

dipandang sebagai individu yang mandiri, memiliki potensi belajar,

pengembang ilmu dan kemampuan memecahkan suatu permasalahan (problem

(6)

Manfaat lain dari metode sinektik adalah dapat membentuk kreatifitas

individu dan kelompok. Pengalaman sinektik dapat menumbuhkan jiwa sosial

para siswa. Mereka belajar bersama dengan melihat bagaimana

rekan-rekannya bereaksi kepada suatu ide atau masalah. Hal ini akan menyebabkan

setaiap individu berpartsipasi dalam suasana belajar yang menyenangkan.

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Untuk membatasi pemasalahan penelitian maka difokuskan penelitian

ini pada rumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah implementasi metode sinektik dalam pembelajaran sejarah di

SMPLBN-A Pajajaran Bandung?”

Untuk merinci masalah maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana guru sejarah membuat perencanaan pembelajaran metode

sinektik di SMPLBN-A Pajajaran Bandung?

2. Bagaimana guru sejarah melaksanakan tahapan pembelajaran metode

sinektik di SMPLBN-A Pajajaran Bandung?

3. Bagaimana hasil pelaksanaan pembelajaran metode sinektik di

SMPLBN-A Pajajaran Bandung?

4. Apa saja kendala yang dihadapai dan cara mengatasinya dalam

pelaksanaan pembelajaran metode sinektik di SMPLBN-A Pajajaran

(7)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini secara umum untuk mendapatkan

gambaran implementasi metode sinektik dalam pembelajaran sejarah di

SMPLBN-A Pajajaran Bandung.

Sedangkan secara khusus adalah:

1. Untuk mendapatkan gambaran spesifik mengenai perencanaan

pembelajaran metode sinektik di SMPLBN-A Pajajaran Bandung.

2. Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan pembelajaran metode sinektik

di SMPLBN-A Pajajaran Bandung.

3. Untuk mengetahui hasil pelaksanaan pembelajaran metode sinektik di

SMPLBN-A Pajajaran Bandung

4. Untuk mendapatkan gambaran mengenai upaya mengatasi kendala yang

dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran metode sinektik di

SMPLBN-A Pajajaran Bandung.

D. Manfaat Penelitian

1. Dari sisi kajian ilmiah, sebagai suatu masukan mengenai pelaksanaan

pembelajaran sejarah di SMPLBN-A Pajajaran Bandung, melalui metode

sinektik yang selanjutnya dapat dirumuskan mengenai aspek-aspek

penting dalam pedoman pembelajaran sejarah di SMPLBN-A Pajajaran

Bandung.

2. Bagi guru, sebagai gambaran dalam meningkatkan kualitas pembelajaran

(8)

3. Bagi Peneliti, dapat memberikan satu jawaban mengenai permasalahan

penelitian tindakan kelas dalam pembelajaran sejarah di SMPLBN-A

Pajajaran Bandung.

E. Klarifikasi Konsep 1. Metode Sinektik

Sinektik secara bahasa berasal dari kata synectikos (Yunani) yang

berarti bringing forth together (menjadi bersama-sama) atau bringing

different things into unified connection (menggiring berbagai hal yang

beragam ke dalam kesatuan yang berhubungan).

Sinektik adalah sebuah teknik penyelesaian masalah yang sering

dipakai dalam kelompok. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh

William Gordon pada tahun 1961 untuk keperluan pengembangan

aktivitas kelompok dalam organisasai industri lewat buku karangannya,

Synectics.

(www.amazon.com/Synectics-Developmnet-Creative-William-Gordon).

Dalam tataran praktis dan aplikatif, aktifitas sinektik bersifat

metaporik dengan menemukan analogi-analogi yang dengan sendirinya

kreatifias menjadi suatu yang disadari. Metapora-metapora membentuk

hubungan persamaan serta membedakan obyek atau ide yang satu dengan

yang lainnya (M.D. Dahlan [Eds.], 1990: 89).

Dalam PBM, sinektik membantu kreativitas dengan rekayasa

pembelajaran secara aktif, kreatif juga menyenangkan. Model ini

(9)

satu topik yang dibahas melalui pengungkapan secara teori dan praktek

baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

Siswa Tunanetra adalah siswa yang mengalami hambatan dalam

penglihatan dengan visus 1/6 pada jenjang SMPLB (Irham Hosni, 1990:

23)

2. Pembelajaran Sejarah a. Pengertian Belajar

Banyak ahli mengemukakan berbagai pendapatnya yang

berlainan tentang pengertian belajar sesuai dengan pandangan dan

pemahaman yang dimilikinya. Berdasarkan sudut pandang yang

berlainan itulah muncul berbagai batasan pengertian belajar yang

cukup beragam. Winkel ( 1984 ) dalam Aam ( 2005 : 8 0

mengemukakan bahwa : “ Belajar adalah suatu aktivitas mental (

psikis ) individu yang berlangsung dalam interaktif aktif dengan

lingkungannya yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam

pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap.”

Sedangkan moh. Surya ( 1979 ) dalam Aam ( 2005 : 8 )

berpendapat bahwa : “ Belajar merupakan proses usaha yang

dilakukan individu untuk memperoleh perubahan perilaku yang baru

secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri

dalam interaksi dengan lingkungannya.”

Lebih lanjut Gagne dalam ( Dimyati dan Mudjiono, 2002 : 10 )

(10)

dengan hasil belajar berupa kapabilitas dan setelah belajar seseorang

akan memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap serta nilai yang

dipengaruhi oleh stimulasi lingkungan dan proses kognitif yang

dilakukan oleh pembelajar.

Dari berbagai pandangan yang telah dikemukakan oleh

beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan tentang pengertian belajar.

Belajar adalah suatu peroses yang menyebabkan perubahan perilaku

pada diri siswa atau individu yang tercermin dari hasil belajarnya, yang

meliputi aspek pengetahuan ( kognitif ), keterampilan ( psikomotorik ),

serta nilai dan sikap ( afektif ) yang dipengaruhi oleh stimulasi

lingkungan dan pengalaman-pengalaman belajar yang dialami oleh

individu tersebut.

b. Pembelajaran

Istilah belajar amat erat kaitannya dengan pembelajaran.

Pembelajaran dapat diartikan sebagai upaya mengorganisasi

lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik

Oemar Hamalik ( 1999 : 57 ) memandang pembelajaran

sebagai suatu kombinasi yang tersusun dari unsur-unsur manusiawi,

material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling

mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Selanjutnya, Hamalik (1999: 57) menyebutkan ciri-ciri dari

(11)

c ) adanya kesalingtergantungan antara unsur-unsur pembelajaran yang

serasi dalam suatu keseluruhan .

Sedangkan Sudjana ( 1993 : 5-6 ) mengemukakan bahwa

pembelajaran diartikan sebagai upaya yang sistematis dan disengaja

untuk menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar-mengajar,

dalam kegiatan ini terjadi interaksi antara dua pihak yaitu antara

peserta didik ( warga belajar ) yaitu melakukan kegiatan belajar

dengan pendidik ( sumber belajar ) yang melakukan kegiatan mengajar

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, pembelajaran

mengadung hal-hal pokok yaitu a) adanya rencana yang sistematis dan

disengaja mengenai penciptaan kondisi-kondisi yang memunkinkan

siswa untuk belajar, (b) adanya tujuan pembelajaran yang ingin

dicapai dan telah ditetapkan sebelumnya, (c) adanya saling

ketergantungan antara unsur-unsur dalam pembelajaran yang

ditunjukan dengan adanya interaksi antara unsur-unsur tersebut.

Prinsipnya pembelajaran merupakan perbuatan untuk merubah

tingkah laku seseorang .

c. Aktvitas Belajar Siswa

Aktivitas belajar adalah melakukan kegiatan belajar sehingga

aktipitas belajar merupakan prinsip penting pada produk belajar

seseorang yang disebut dengan hasil belajar. Aktivitas belajara siswa

(12)

(psikis). Uzer Usman (1995) mengkategorikan bahwa aktivitas belajar

siswa dapat digolongkan kedalam beberapa hal yaitu:

1. Aktivitas visual (visual activities) seperti membaca grapik, menulis

data percobaan, melakukan eksperimen dan demontrasi percobaan.

2. Aktivitas lisan (oral activities) seperti menceritakan prinsip kerja

roaller coaster, bertanya jawab serta berdiskusi mengenai konsep

usaha dan energi.

3. Aktivitas mendengarkan (listening acvities) seperti mendengarkan

orang lain berbicara.

4. Aktivitas gerak (motor activities) seperti mengukur panjang dan

membuat alat percobaan.

5. Aktivitas menulis (writing activities) seperti merangkum konsep

usaha dan energi, membuat laporan percobaan dan menulis buku

pelajaran.

Jadi dengan mengklasifikasikan aktivitas seperti diuraikan di

atas, menunjukan bahwa aktivitas belajar itu cukup kompleks,

bervariasi dan menuntut adanya kerjasama serta peran aktif pembelajar

sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

d. Strategi Pembelajaran

Salah satu faktor pendukung dalam pencapaian hasil belajar

agar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang di harapkan ialah dengan

(13)

Reber (1988) dalam (Syah , 1995 : 214) dikemukakan bahwa

strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan yang terdiri atas

seperangkat langkah untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan

pembelajaran.

Selanjutnya Michael J.Lawson dalam (Syah,1995 :214)

mengemukakan bahwa strategi pembelajaran merupakan prosedur

mental yang berbentuk tatanan langkah yang menggunakan upaya

ranah cipta untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dapat

diartikan bahwa strategi pembelajaran merupakan sejumlah langkah

yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pembelajaran

tertentu. Zamroni dalam (Setiawan , 2004 :1-2) mengemukakan bahwa

paradigma pembelajaran yang diharapkan untuk dikembangkan saat ini

merupakan pembelajaran yang memiliki ciri- ciri sebagai berikut :

1. Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning)

daripada pengajaran (teaching).

2. Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel.

3. Pendidikan berperan untuk membelajarkan siswa dengan guru

berperan sebagai fasilitator.

4. Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan da

senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

Mencermati perkembangan pembelajaran saat ini dan untuk

(14)

pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM)

dalam kegiatan pembelajaran. Strategi pembelajaran PAKEM

merupakan strategi pembelajaran terpadu yang mengguanakan

strategi, metoda, pendekatan dan teknik pengajaran terpadu yang

dirancang sedemikian rupa baik prosedur maupun tujuan

pembelajarannya sehingga dapat terlaksana dan tercapai dengan baik

(Setiawan, 2004 : 4)

e. Hasil Belajar

Dalam kegiatan belajar, berhasil tidaknya proses yang telah

dilakukan seseorang dapat dilihat dari hasil yang telah dicapai dalam

belajar, yaitu berupa hasil belajar.

Abin Samsudin (1987:133) dalam Gunawan (2000:11)

mengemukakan seseorang dapat dinyatakan berhasil dalam

pembelajaran, kalau ia telah mengalami perubahan setelah terjadi

proses pembelajaran tersebut pada prilaku dan perubahan seperti apa

yang diharapkan guru.

Senada dengan Abin di atas, Nana Sujana (1999:3)

mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan kemajuan-kemajuan

yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.

Untuk mengetahui sejauh mana kemajuan yang diperoleh siswa

ini dapat diketahui dari evaluasi belajar. Evaluasi hasil belajar ini

merupakan kegiatan untuk menentukan nilai belajar siswa melalui

(15)

hasil belajar ini haruslah mencakup ranah-ranah yang terkandung

dalam tujuan pembelajaran.

Sedangkan ranah-ranah yang menjadi tujuan pendidikan, secara

umum dikategorikan ke dalam kognitif afektif dan psikomotor (Davies

dalam Dimiati dan Mudjiono: 201-202

f. Asal Kata Sejarah

Perkataan sejarah mula-mula berasal dari bahasa Arab

“syajaratun” (baca: syajarah) artinya pohon kayu. Pohon

menggambarkan pertumbuhan terus menerus dari bumi ke udara dengan

mempunyai cabang, dahan dan daun, kembang atau bunga serta

buahnya.

Memang di dalam kata sejarah itu tersimpan makna pertumbuhan

atau kejadian (Yamin, 1985: 4) begitulah sejarah yang berarti pohon,

juga berarti keturunan, asal-usul atau silsilah. Orang yang sudah lama

berhubungan dengan ilmu sejarah, termasuk mereka yang

mempelajarinya dengan agak mendalam, arti kata syajarah tidak sama

dengan sejarah akan tetapi kedua perkataan itu berhubungan satu dengan

yang lain (Ismaun: 1992: 3).

3. Pengertian Siswa Tunanetra

Tunanetra berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua kata,

yaitu “tuna” yang berarti kurang, dan “netra” yang berati mata atau

penglihatan. Jadi istilah “tunanetra” diartikan sebagai “kurang penglihatan”,

(16)

kurang berfungsi sebagaimana mestinya sehingga mengakibatkan timbulnya

kesulitan atau hambatan dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari.

Kondisi seperti ini disebabkan oleh adanya gangguan secara nyata pada

organ mata dan atau syarafnya.

Oleh karena itu, istilah lain untuk tunanetra adalah “gangguan

penglihatan” yang sering digunakan dalam literatur berbahasa asing dengan

istilah “visual impairment”. Jadi istilah “siswa tunanetra” di Indonesia”

sama dengan istilah yang digunakan dalam berbagai literatur asing, yaitu

“children with visual impairment” sehingga diartikan siswa yang

mengalami gangguan penglihatan.

Sementara itu, Nesker Simmons, dkk. (Asep A. Sopyan, 2006: 26)

mengklasifikasikan gangguan penglihatan ke dalam: (a) Totally blind, yaitu

tidak dapat membedakan terang dari gelap; (b) Light perception dapat

membedakan terang dari gelap; (c) Form or motion perception dapat melihat

bentuk atau gerakan pada jarak beberapa kaki; (d) Guiding vision memiliki

cukup penglihatan untuk membantu siswa dalam berpindah tempat

(bergerak).

Dari kedua definisi di atas dapat dijelaskan bahwa tunanetra atau

gangguan penglihatan diklasifikasikan berdasarkan dua aspek, yaitu aspek

medis yang didasarkan pada pengukuran, dan aspek fungsional yaitu

didasarkan pada bagaimana siswa memanfaatkan penglihatannya untuk

(17)

Jadi definisi siswa tunanetra dari aspek pendidikan adalah siswa yang

mengalami gangguan penglihatan sedemikian rupa yang mengakibatkan

mereka mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses pendidikannya,

sehingga memerlukan tulisan Braille bagi yang buta dan tulisan yang dicetak

tebal atau diperbesar atau menggunakan alat bantu khusus bagi yang masih

memiliki sisa penglihatan. Perlu ditambahkan pula bahwa siswa tunanetra

juga merupakan bagian dari istilah siswa kebutuhan khusus yang sekarang

sedang trend digunakan oleh para ahli pendidikan luar biasa.

G. Langkah-Langkah Pembelajaran Sejarah

Dalam kegiatan proses belajar-mengajar metode pembelajaran

sangatlah diperlukan. Hal ini dikarenakan keberhasilan dari kegiatan

belajar-mengajar salah satinya ditentukan oleh kreativitas guru dalam

mengembangkan materi pembelajaran dengan metode yang tepat dan cocok

bagi peserta didik. Sehingga tujuan yang hendak dicapai lebih mudah

diterima dan menjadi tolak ukur keberhasilan dari sebuah pembelajaran.

Metode sinetik merupakan bagian dari sekian banyak metode dalam

dunia pendidikan yang diharpkan menjadi alternatif bagi guru dalam

menyampaikan materi ajarnya kepada peserta didik. Diharapkan dengan

metode ini tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan maksimal.

Selain dari itu, manfaat metode ini juga diharapkan dapat

meningkatkan pemahaman dan kreativitas peserta didik dalam menghadapi

(18)

metode ini menuntut peran pendukung di antaranya lingkunagn belajar yang

kondusif dan fasilitas yang memadai guru.

Secara lebih kongkrit, langkah-langkah yang akan dilakukan pada saat

penerapan metode sinetik dalam pembelajaran sejarah adalah:

1. Pertemuan ke-1

a. Guru menyajikan informasi tentang topik yang akan dibahas

b. Guru menjelaskan materi yang telah diinformasikan pada pertemuan

sebelumnya.

c. Guru meminta siswa untuk menganalogikannya.

d. Para siswa memberikan hasil analoginya secara langsung di dalam

kelas secara sendiri-sendiri.

2. Pertemuan ke-2

Setelah mendapatkan gambaran situasi dan kondisi kelas dari

pertemuan pertama, maka guru melakukan pengelolaan kelas sebagai

berikut:

a. Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 3

sampai 4 orang.

b. Setiap kelompok kecil diberikan permasalahan yang sama oleh guru.

c. Setiap siswa berdiskusi dengan anggota kelompoknya yang telah

ditetapkan sebelumnya atas permasalahan yang diberitahukan

(19)

3. Pertemuan ke-3

Langkah-langkah pembelajaran dalam pertemuan ini sebagai

berikut:

a. Guru meminta siswa memberikan tanggapan terhadap representasi dari

kelompok lain.

b. Guru memberikan arahan kepada setiap kelompok dalam mengerjakan

tugas yang diberikan oleh guru

c. Guru memberikan penguatan terhadap materi yang disampaikan

kepada siswa yang berbentuk tugas yang didiskusikan melalui

kelompok kecil.

d. Guru bersama siswa menyimpulkan materi yang didiskusikan

sekaligus memberikan penguatan atas tanggapan dari siswa.

4. Pertemuan ke-4

Begitupun pada pertemuan ini tidak jauh berbeda dengan

pertemuan-pertemuan sebelumnya, tapi lebih dititikberatkan kepada

hal-hal berikut:

a. Pada pertemuan ini setiap kelompok membandingkan permasalahan

yang diberikan sebelumnya dengan permasalahan sekarang

b. Setiap kelompok mendiskusikan dengan anggota kelompoknya atas

permasalahan yang diberikan oleh guru.

c. Selama berlangsungnya diskusi kelompok guru berperan sebagai

(20)

d. Hasil diskusi kelompok kecil dipresentasikan oleh setiap anggota

kelompoknya.

5. Pertemuan ke- 5

Pada pertemuan ini guru memberi penekanan terhadap daya pikir

kreatif siswa melalui:

a. Pada setiap pertemua guru memberikan permasalahan yang

berbeda-beda.

b. Pada pertemuan ini guru memberikan permasalahan berbeda-beda pada

setiap kelompok.

c. Guru meminta siswa untuk menganalisis permasalahan yang diberikan

guru.

d. Setiap siswa diharuskan mengkritisi setiap presentasi oleh kelompok

lainnya.

e. Guru meminta siswa memberikan solusi dari setiap permasalahan yang

diberikan.

f. Guru bersama siswa menyimpulkan permasalahan yang didiskusikan

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Kecenderungan lebih banyaknya frase eksosentris direktif yang berfungsi sebagai penanda nomina lokatif di dalam novel ini berkaitan dengan data struktur dan makna

Untuk melakukan klasifikasi dengan menggunakan metode Support Vector Machine(SVM) dari data hasil dari fitur ekstraksi dengan MFCC dilakukan parsing terhadap setiap

Pada masing-masing umur tegakan dilakukan pendugaan parameter tegakan (diameter, jumlah pohon, dan volume) dengan mensimulasikan 8 ukuran plot contoh (mulai dari 10 m x 10

Waste transportation adalah jenis pemborosan yang terjadi karena transportasi yang berlebihan sepanjang proses value stream. Berdasarkan Tabel I.4 diketahui

Ada perbedaan yang bermakna durasi menangis bayi pada bayi prematur yang dilakukan tindakan facilitated tucking dan musik saat dilakukan tindakan pengambilan

Melakukan sima’ (mendengarkan) qari’ kesayangan lalu kemudian dibacakan secara ber- ulang-ulang, juga bisa dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan tersebut. “Apalagi

Mengingat laju pertumbuhan 6,06 persen (c to c) belum mencapai target pemda sebesar 7,1 – 7,4 persen, serta memperhatikan kontribusi belanja pemerintah terhadap PDRB yang

Pada viabilitas spermatozoa pemberian kombinasi vitamin C 0,36 mg/ hari dan E 1,44 mg/hari lebih memberikan fungsi yang lebih baik dalam mempertahankan