BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembelajaran sejarah dewasa ini lebih berorientasi kepada penyampaian
pengetahuan (transfer of knowledge) dari guru kepada peserta didik.
Konsekwensinya, guru berperan sebagai pusat kegiatan belajar, sementara
siswa sebagai peserta pasif yang hanya menerima materi.
Dalam posisinya sebagai penyampai materi, guru kurang peka terhadap
perkembangan masyarakat sehingga materi pembelajaran seringkali lepas dari
konteks dan situasi nyata dalam lingkungan sosial siswa. Hal ini terjadi karena
pembelajaran sejarah di sekolah, baik sebagai sebuah disiplin ilmu maupun
sebagai bagian dari rumpun Ilmu Pengetahuan Sosial lebih menekankan pada
pewarisan nilai (perenialisme) dan pendekatan disipliner.
Pembelajaran sejarah yang lebih menekankan kepada aspek kognitif ini
mengakibatkan kesenjangan antara peristiwa masa lalu dengan situasi masa
kini. Dengan demikian, sejarah hanya diletakan dalam konteks jamannya,
tidak mampu melintasi waktu, ruang geografis serta kondisi sosial budaya
Pendekatan konvensional ini diikuti penerapannya dalam pembelajaran
di kelas yang bersifat intruksional. Akhirnya, keberhasilan belajar siswa
diukur atau dievaluasi secara kuantitatif untuk mengetahui aspek kognitif atau
pengetahuan yang telah diserap; bukan pada aktifitas dalam proses
Pendekatan ini menyebabkan peserta didik tidak memiliki kesempatan
untuk memaknai materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari atau
masalah-masalah sosial yang dihadapi.
Padahal pembelajaran sejarah juga diharapkan dapat membangun
persepsi dan cara pandang siswa mengenai materi yang dipelajari,
mengembangkan masalah baru dan membangun konsep-konsep baru dengan
menggunakan evaluasi yang dilakukan pada saat KBM berlangsung (Nana
Supriatna, . 2007:17)
Salah satu metode pembelajaran sejarah yang dipandang dapat
mencapai tujuan di atas, adalah sebuah metode yang menggunakan model
berpikir sinektik yang dikenalkan oleh William J.J. Gordon (M.D. Dahlan
[Eds.], 1990: 87)
Berpikir sinektik adalah proses menemukan pertalian dari segala hal
yang tidak diketahui sebelumnya atau bahkan bertentangan. Ia meliputi
berbagai upaya mengkoordinasikan segala sesuatu ke dalam suatu struktur
baru agar ditemukan hubungan antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata
lain berpikir sinektik adalah proses identifikasi segala hal yang tidak diketahui
sebelumnya untuk dicari jalan keluarnya, dibuat dugaan-dugaan atau hipotesa
(www.lovinlearning.org/heroes/Synectics/What_is_Synectics.htm).
Dalam tataran praktis dan aplikatif, aktifitas sinektik bersifat metaporik
dengan menemukan analogi-analogi yang dengan sendirinya kreatifitas
menjadi suatu yang disadari. Metapora-metapora membentuk hubungan
Model pembelajaran seperti ini mengajak siswa untuk menjiwai dan
menghayati sejumlah pengetahuan ke dalam ranah afeksi sehingga terjadi
proses persepsi dan penghayatan yang mendorong siswa memaknai setiap
pengalaman pembelajaran sejarah.
M.D. Dahlan (Eds.1990: 90) menyebutkan bahwa aktifitas metaporik
yang merupakan ciri inheren dari teori sinektik ini akan membantu peserta
didik untuk dapat menghubungkan ide-ide dari hal-hal yang telah dikenalnya
menuju ke hal-hal yang baru atau dari suatu perspektif baru ke hal yang
dikenal. Strategi sinektik menurutnya, mempergunakan aktifitas metaporik
yang terencana, dan memberikan struktur langsung yang mana individu bebas
mengembangkan imajinasi, afeksi dan pemahaman mereka ke dalam
pengalaman sehari-hari
Sebagai gambaran aplikatif dalam KBM dapat dikemukakan fakta
historis berupa penderitaan masa penjajahan dengan analogi seekor kucing
yang dikurung, disiksa dan tidak diberi makan oleh pemiliknya. Pertama, guru
mendeskripsikan penderitaan nenek moyang di masa penjajahan. Ke-dua,
siswa disuruh untuk mengidentifikasi dan membayangkan hal apa saja yang
dialami binatang tersebut (analogi langsung). Dalam hal ini guru dapat menilai
hasil identifikasi siswa; mana yang relevan dan yang tidak relevan. Guru juga
dapat menambahkannya bila dipandang perlu.
Ke-tiga, agar siswa dapat lebih berempati, guru dapat menyuruh siswa
menjadi analog personal. Guru dapat menyuruh, misalkan: “Anggaplah kalian
Selanjutnya, murid berimajinasi dan mengidentifikasi hal apa saja yang
mungkin dialami dan diraskan.
Ke-empat, guru juga dapat menyuruh siswa untuk mengidentifikasi
objek yang menjadi kebalikan dari masa penjajahan, misal masa kemerdekaan
(analogi pertentangan). Hal ini dimaksudkan agar lebih menekankan dan
melibatkan aspek emosional siswa.
Dalam contoh di atas peserta didik dituntut untuk memberikan batasan
karakteristiknya dan disempurnakannya dalam sebuah konsep. Dalam contoh
ini, mereka diharapkan menemukan konsep penjajahan dan
menginternalisirnya ke dalam ranah afeksinya melalui analogi yang relatif
mudah diketahui, seperti contoh seekor kucing yang disiksa tersebut. Agar
lebih membangkitkan emosional peserta didik, seperti dalam contoh di atas,
guru menyuruh para siswanya “menjadi” analog yang berperan langsung
(analogi personal).
Contoh di atas dapat menstimulus peserta didik untuk menemukan sisi
persamaan dan perbedaannya. Mereka dituntut untuk bersifat analitis dan
melakukan konvergensi yang mendorong energi kreatif untuk membangkitkan
aspek afeksi, merasa lebih bebas, lebih berperan serta saling memahami satu
dengan yang lainnya.
Selanjutnya dari pengalaman sinektis di atas, siswa akan memiliki
integritas, berjiwa sosial tinggi, bertanggung-jawab, kreatif, mandiri dan
memiliki kemampuan untuk memandang segala persoalan secara
Namun penerapan metode ini dalam proses KBM di Indonesia masih
terhitung langka. Hal ini bukan hanya karena kurangnya sosialisasi tetapi juga
menyangkut berbagai faktor, seperti beban guru untuk mengejar target
kurikulum dan guru yang selalu menjadi pusat kegiatan belajar. Guru merasa
dirinya hanya merupakan penyampai bahan pelajaran dan bukan sebagai
fasilitator yang membuat siswa belajar.
Pandangan ini juga diperburuk dengan beredarnya buku-buku sumber
sejarah yang berusaha menjadi buku pegangan yang paling lengkap dengan
memuat sebanyak mungkin fakta-fakta sejarah. Guru seringkali memilih buku
sumber pegangan siswa yang relevan dengan dokumen kurikulum yang
dikeluarkan pemerintah. Mereka menganggap bahwa semua uraian materi
tersebut harus disampaikan kepada siswanya hingga selesai melalui KBM di
kelas.
Dengan demikian, kurangnya sosialisasi metode sinektik ini juga
disebabkan oleh lingkungan dan tuntutan kurikulum serta sistem yang selama
ini dianut oleh dunia pendidikan.
Berangkat dari karakteristik teori sinektik di atas, penulis
menawarkannya sebagai salah satu metode pembelajaran sejarah dengan
harapan dapat meningkatkan kualitas pengajaran. Lebih jauhnya, siswa dapat
dipandang sebagai individu yang mandiri, memiliki potensi belajar,
pengembang ilmu dan kemampuan memecahkan suatu permasalahan (problem
Manfaat lain dari metode sinektik adalah dapat membentuk kreatifitas
individu dan kelompok. Pengalaman sinektik dapat menumbuhkan jiwa sosial
para siswa. Mereka belajar bersama dengan melihat bagaimana
rekan-rekannya bereaksi kepada suatu ide atau masalah. Hal ini akan menyebabkan
setaiap individu berpartsipasi dalam suasana belajar yang menyenangkan.
B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Untuk membatasi pemasalahan penelitian maka difokuskan penelitian
ini pada rumusan masalah sebagai berikut:
“Bagaimanakah implementasi metode sinektik dalam pembelajaran sejarah di
SMPLBN-A Pajajaran Bandung?”
Untuk merinci masalah maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana guru sejarah membuat perencanaan pembelajaran metode
sinektik di SMPLBN-A Pajajaran Bandung?
2. Bagaimana guru sejarah melaksanakan tahapan pembelajaran metode
sinektik di SMPLBN-A Pajajaran Bandung?
3. Bagaimana hasil pelaksanaan pembelajaran metode sinektik di
SMPLBN-A Pajajaran Bandung?
4. Apa saja kendala yang dihadapai dan cara mengatasinya dalam
pelaksanaan pembelajaran metode sinektik di SMPLBN-A Pajajaran
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini secara umum untuk mendapatkan
gambaran implementasi metode sinektik dalam pembelajaran sejarah di
SMPLBN-A Pajajaran Bandung.
Sedangkan secara khusus adalah:
1. Untuk mendapatkan gambaran spesifik mengenai perencanaan
pembelajaran metode sinektik di SMPLBN-A Pajajaran Bandung.
2. Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan pembelajaran metode sinektik
di SMPLBN-A Pajajaran Bandung.
3. Untuk mengetahui hasil pelaksanaan pembelajaran metode sinektik di
SMPLBN-A Pajajaran Bandung
4. Untuk mendapatkan gambaran mengenai upaya mengatasi kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran metode sinektik di
SMPLBN-A Pajajaran Bandung.
D. Manfaat Penelitian
1. Dari sisi kajian ilmiah, sebagai suatu masukan mengenai pelaksanaan
pembelajaran sejarah di SMPLBN-A Pajajaran Bandung, melalui metode
sinektik yang selanjutnya dapat dirumuskan mengenai aspek-aspek
penting dalam pedoman pembelajaran sejarah di SMPLBN-A Pajajaran
Bandung.
2. Bagi guru, sebagai gambaran dalam meningkatkan kualitas pembelajaran
3. Bagi Peneliti, dapat memberikan satu jawaban mengenai permasalahan
penelitian tindakan kelas dalam pembelajaran sejarah di SMPLBN-A
Pajajaran Bandung.
E. Klarifikasi Konsep 1. Metode Sinektik
Sinektik secara bahasa berasal dari kata synectikos (Yunani) yang
berarti bringing forth together (menjadi bersama-sama) atau bringing
different things into unified connection (menggiring berbagai hal yang
beragam ke dalam kesatuan yang berhubungan).
Sinektik adalah sebuah teknik penyelesaian masalah yang sering
dipakai dalam kelompok. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh
William Gordon pada tahun 1961 untuk keperluan pengembangan
aktivitas kelompok dalam organisasai industri lewat buku karangannya,
Synectics.
(www.amazon.com/Synectics-Developmnet-Creative-William-Gordon).
Dalam tataran praktis dan aplikatif, aktifitas sinektik bersifat
metaporik dengan menemukan analogi-analogi yang dengan sendirinya
kreatifias menjadi suatu yang disadari. Metapora-metapora membentuk
hubungan persamaan serta membedakan obyek atau ide yang satu dengan
yang lainnya (M.D. Dahlan [Eds.], 1990: 89).
Dalam PBM, sinektik membantu kreativitas dengan rekayasa
pembelajaran secara aktif, kreatif juga menyenangkan. Model ini
satu topik yang dibahas melalui pengungkapan secara teori dan praktek
baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Siswa Tunanetra adalah siswa yang mengalami hambatan dalam
penglihatan dengan visus 1/6 pada jenjang SMPLB (Irham Hosni, 1990:
23)
2. Pembelajaran Sejarah a. Pengertian Belajar
Banyak ahli mengemukakan berbagai pendapatnya yang
berlainan tentang pengertian belajar sesuai dengan pandangan dan
pemahaman yang dimilikinya. Berdasarkan sudut pandang yang
berlainan itulah muncul berbagai batasan pengertian belajar yang
cukup beragam. Winkel ( 1984 ) dalam Aam ( 2005 : 8 0
mengemukakan bahwa : “ Belajar adalah suatu aktivitas mental (
psikis ) individu yang berlangsung dalam interaktif aktif dengan
lingkungannya yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap.”
Sedangkan moh. Surya ( 1979 ) dalam Aam ( 2005 : 8 )
berpendapat bahwa : “ Belajar merupakan proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh perubahan perilaku yang baru
secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya.”
Lebih lanjut Gagne dalam ( Dimyati dan Mudjiono, 2002 : 10 )
dengan hasil belajar berupa kapabilitas dan setelah belajar seseorang
akan memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap serta nilai yang
dipengaruhi oleh stimulasi lingkungan dan proses kognitif yang
dilakukan oleh pembelajar.
Dari berbagai pandangan yang telah dikemukakan oleh
beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan tentang pengertian belajar.
Belajar adalah suatu peroses yang menyebabkan perubahan perilaku
pada diri siswa atau individu yang tercermin dari hasil belajarnya, yang
meliputi aspek pengetahuan ( kognitif ), keterampilan ( psikomotorik ),
serta nilai dan sikap ( afektif ) yang dipengaruhi oleh stimulasi
lingkungan dan pengalaman-pengalaman belajar yang dialami oleh
individu tersebut.
b. Pembelajaran
Istilah belajar amat erat kaitannya dengan pembelajaran.
Pembelajaran dapat diartikan sebagai upaya mengorganisasi
lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik
Oemar Hamalik ( 1999 : 57 ) memandang pembelajaran
sebagai suatu kombinasi yang tersusun dari unsur-unsur manusiawi,
material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling
mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Selanjutnya, Hamalik (1999: 57) menyebutkan ciri-ciri dari
c ) adanya kesalingtergantungan antara unsur-unsur pembelajaran yang
serasi dalam suatu keseluruhan .
Sedangkan Sudjana ( 1993 : 5-6 ) mengemukakan bahwa
pembelajaran diartikan sebagai upaya yang sistematis dan disengaja
untuk menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar-mengajar,
dalam kegiatan ini terjadi interaksi antara dua pihak yaitu antara
peserta didik ( warga belajar ) yaitu melakukan kegiatan belajar
dengan pendidik ( sumber belajar ) yang melakukan kegiatan mengajar
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, pembelajaran
mengadung hal-hal pokok yaitu a) adanya rencana yang sistematis dan
disengaja mengenai penciptaan kondisi-kondisi yang memunkinkan
siswa untuk belajar, (b) adanya tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai dan telah ditetapkan sebelumnya, (c) adanya saling
ketergantungan antara unsur-unsur dalam pembelajaran yang
ditunjukan dengan adanya interaksi antara unsur-unsur tersebut.
Prinsipnya pembelajaran merupakan perbuatan untuk merubah
tingkah laku seseorang .
c. Aktvitas Belajar Siswa
Aktivitas belajar adalah melakukan kegiatan belajar sehingga
aktipitas belajar merupakan prinsip penting pada produk belajar
seseorang yang disebut dengan hasil belajar. Aktivitas belajara siswa
(psikis). Uzer Usman (1995) mengkategorikan bahwa aktivitas belajar
siswa dapat digolongkan kedalam beberapa hal yaitu:
1. Aktivitas visual (visual activities) seperti membaca grapik, menulis
data percobaan, melakukan eksperimen dan demontrasi percobaan.
2. Aktivitas lisan (oral activities) seperti menceritakan prinsip kerja
roaller coaster, bertanya jawab serta berdiskusi mengenai konsep
usaha dan energi.
3. Aktivitas mendengarkan (listening acvities) seperti mendengarkan
orang lain berbicara.
4. Aktivitas gerak (motor activities) seperti mengukur panjang dan
membuat alat percobaan.
5. Aktivitas menulis (writing activities) seperti merangkum konsep
usaha dan energi, membuat laporan percobaan dan menulis buku
pelajaran.
Jadi dengan mengklasifikasikan aktivitas seperti diuraikan di
atas, menunjukan bahwa aktivitas belajar itu cukup kompleks,
bervariasi dan menuntut adanya kerjasama serta peran aktif pembelajar
sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
d. Strategi Pembelajaran
Salah satu faktor pendukung dalam pencapaian hasil belajar
agar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang di harapkan ialah dengan
Reber (1988) dalam (Syah , 1995 : 214) dikemukakan bahwa
strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan yang terdiri atas
seperangkat langkah untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan
pembelajaran.
Selanjutnya Michael J.Lawson dalam (Syah,1995 :214)
mengemukakan bahwa strategi pembelajaran merupakan prosedur
mental yang berbentuk tatanan langkah yang menggunakan upaya
ranah cipta untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dapat
diartikan bahwa strategi pembelajaran merupakan sejumlah langkah
yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pembelajaran
tertentu. Zamroni dalam (Setiawan , 2004 :1-2) mengemukakan bahwa
paradigma pembelajaran yang diharapkan untuk dikembangkan saat ini
merupakan pembelajaran yang memiliki ciri- ciri sebagai berikut :
1. Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning)
daripada pengajaran (teaching).
2. Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel.
3. Pendidikan berperan untuk membelajarkan siswa dengan guru
berperan sebagai fasilitator.
4. Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan da
senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Mencermati perkembangan pembelajaran saat ini dan untuk
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM)
dalam kegiatan pembelajaran. Strategi pembelajaran PAKEM
merupakan strategi pembelajaran terpadu yang mengguanakan
strategi, metoda, pendekatan dan teknik pengajaran terpadu yang
dirancang sedemikian rupa baik prosedur maupun tujuan
pembelajarannya sehingga dapat terlaksana dan tercapai dengan baik
(Setiawan, 2004 : 4)
e. Hasil Belajar
Dalam kegiatan belajar, berhasil tidaknya proses yang telah
dilakukan seseorang dapat dilihat dari hasil yang telah dicapai dalam
belajar, yaitu berupa hasil belajar.
Abin Samsudin (1987:133) dalam Gunawan (2000:11)
mengemukakan seseorang dapat dinyatakan berhasil dalam
pembelajaran, kalau ia telah mengalami perubahan setelah terjadi
proses pembelajaran tersebut pada prilaku dan perubahan seperti apa
yang diharapkan guru.
Senada dengan Abin di atas, Nana Sujana (1999:3)
mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan kemajuan-kemajuan
yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.
Untuk mengetahui sejauh mana kemajuan yang diperoleh siswa
ini dapat diketahui dari evaluasi belajar. Evaluasi hasil belajar ini
merupakan kegiatan untuk menentukan nilai belajar siswa melalui
hasil belajar ini haruslah mencakup ranah-ranah yang terkandung
dalam tujuan pembelajaran.
Sedangkan ranah-ranah yang menjadi tujuan pendidikan, secara
umum dikategorikan ke dalam kognitif afektif dan psikomotor (Davies
dalam Dimiati dan Mudjiono: 201-202
f. Asal Kata Sejarah
Perkataan sejarah mula-mula berasal dari bahasa Arab
“syajaratun” (baca: syajarah) artinya pohon kayu. Pohon
menggambarkan pertumbuhan terus menerus dari bumi ke udara dengan
mempunyai cabang, dahan dan daun, kembang atau bunga serta
buahnya.
Memang di dalam kata sejarah itu tersimpan makna pertumbuhan
atau kejadian (Yamin, 1985: 4) begitulah sejarah yang berarti pohon,
juga berarti keturunan, asal-usul atau silsilah. Orang yang sudah lama
berhubungan dengan ilmu sejarah, termasuk mereka yang
mempelajarinya dengan agak mendalam, arti kata syajarah tidak sama
dengan sejarah akan tetapi kedua perkataan itu berhubungan satu dengan
yang lain (Ismaun: 1992: 3).
3. Pengertian Siswa Tunanetra
Tunanetra berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua kata,
yaitu “tuna” yang berarti kurang, dan “netra” yang berati mata atau
penglihatan. Jadi istilah “tunanetra” diartikan sebagai “kurang penglihatan”,
kurang berfungsi sebagaimana mestinya sehingga mengakibatkan timbulnya
kesulitan atau hambatan dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari.
Kondisi seperti ini disebabkan oleh adanya gangguan secara nyata pada
organ mata dan atau syarafnya.
Oleh karena itu, istilah lain untuk tunanetra adalah “gangguan
penglihatan” yang sering digunakan dalam literatur berbahasa asing dengan
istilah “visual impairment”. Jadi istilah “siswa tunanetra” di Indonesia”
sama dengan istilah yang digunakan dalam berbagai literatur asing, yaitu
“children with visual impairment” sehingga diartikan siswa yang
mengalami gangguan penglihatan.
Sementara itu, Nesker Simmons, dkk. (Asep A. Sopyan, 2006: 26)
mengklasifikasikan gangguan penglihatan ke dalam: (a) Totally blind, yaitu
tidak dapat membedakan terang dari gelap; (b) Light perception dapat
membedakan terang dari gelap; (c) Form or motion perception dapat melihat
bentuk atau gerakan pada jarak beberapa kaki; (d) Guiding vision memiliki
cukup penglihatan untuk membantu siswa dalam berpindah tempat
(bergerak).
Dari kedua definisi di atas dapat dijelaskan bahwa tunanetra atau
gangguan penglihatan diklasifikasikan berdasarkan dua aspek, yaitu aspek
medis yang didasarkan pada pengukuran, dan aspek fungsional yaitu
didasarkan pada bagaimana siswa memanfaatkan penglihatannya untuk
Jadi definisi siswa tunanetra dari aspek pendidikan adalah siswa yang
mengalami gangguan penglihatan sedemikian rupa yang mengakibatkan
mereka mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses pendidikannya,
sehingga memerlukan tulisan Braille bagi yang buta dan tulisan yang dicetak
tebal atau diperbesar atau menggunakan alat bantu khusus bagi yang masih
memiliki sisa penglihatan. Perlu ditambahkan pula bahwa siswa tunanetra
juga merupakan bagian dari istilah siswa kebutuhan khusus yang sekarang
sedang trend digunakan oleh para ahli pendidikan luar biasa.
G. Langkah-Langkah Pembelajaran Sejarah
Dalam kegiatan proses belajar-mengajar metode pembelajaran
sangatlah diperlukan. Hal ini dikarenakan keberhasilan dari kegiatan
belajar-mengajar salah satinya ditentukan oleh kreativitas guru dalam
mengembangkan materi pembelajaran dengan metode yang tepat dan cocok
bagi peserta didik. Sehingga tujuan yang hendak dicapai lebih mudah
diterima dan menjadi tolak ukur keberhasilan dari sebuah pembelajaran.
Metode sinetik merupakan bagian dari sekian banyak metode dalam
dunia pendidikan yang diharpkan menjadi alternatif bagi guru dalam
menyampaikan materi ajarnya kepada peserta didik. Diharapkan dengan
metode ini tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan maksimal.
Selain dari itu, manfaat metode ini juga diharapkan dapat
meningkatkan pemahaman dan kreativitas peserta didik dalam menghadapi
metode ini menuntut peran pendukung di antaranya lingkunagn belajar yang
kondusif dan fasilitas yang memadai guru.
Secara lebih kongkrit, langkah-langkah yang akan dilakukan pada saat
penerapan metode sinetik dalam pembelajaran sejarah adalah:
1. Pertemuan ke-1
a. Guru menyajikan informasi tentang topik yang akan dibahas
b. Guru menjelaskan materi yang telah diinformasikan pada pertemuan
sebelumnya.
c. Guru meminta siswa untuk menganalogikannya.
d. Para siswa memberikan hasil analoginya secara langsung di dalam
kelas secara sendiri-sendiri.
2. Pertemuan ke-2
Setelah mendapatkan gambaran situasi dan kondisi kelas dari
pertemuan pertama, maka guru melakukan pengelolaan kelas sebagai
berikut:
a. Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 3
sampai 4 orang.
b. Setiap kelompok kecil diberikan permasalahan yang sama oleh guru.
c. Setiap siswa berdiskusi dengan anggota kelompoknya yang telah
ditetapkan sebelumnya atas permasalahan yang diberitahukan
3. Pertemuan ke-3
Langkah-langkah pembelajaran dalam pertemuan ini sebagai
berikut:
a. Guru meminta siswa memberikan tanggapan terhadap representasi dari
kelompok lain.
b. Guru memberikan arahan kepada setiap kelompok dalam mengerjakan
tugas yang diberikan oleh guru
c. Guru memberikan penguatan terhadap materi yang disampaikan
kepada siswa yang berbentuk tugas yang didiskusikan melalui
kelompok kecil.
d. Guru bersama siswa menyimpulkan materi yang didiskusikan
sekaligus memberikan penguatan atas tanggapan dari siswa.
4. Pertemuan ke-4
Begitupun pada pertemuan ini tidak jauh berbeda dengan
pertemuan-pertemuan sebelumnya, tapi lebih dititikberatkan kepada
hal-hal berikut:
a. Pada pertemuan ini setiap kelompok membandingkan permasalahan
yang diberikan sebelumnya dengan permasalahan sekarang
b. Setiap kelompok mendiskusikan dengan anggota kelompoknya atas
permasalahan yang diberikan oleh guru.
c. Selama berlangsungnya diskusi kelompok guru berperan sebagai
d. Hasil diskusi kelompok kecil dipresentasikan oleh setiap anggota
kelompoknya.
5. Pertemuan ke- 5
Pada pertemuan ini guru memberi penekanan terhadap daya pikir
kreatif siswa melalui:
a. Pada setiap pertemua guru memberikan permasalahan yang
berbeda-beda.
b. Pada pertemuan ini guru memberikan permasalahan berbeda-beda pada
setiap kelompok.
c. Guru meminta siswa untuk menganalisis permasalahan yang diberikan
guru.
d. Setiap siswa diharuskan mengkritisi setiap presentasi oleh kelompok
lainnya.
e. Guru meminta siswa memberikan solusi dari setiap permasalahan yang
diberikan.
f. Guru bersama siswa menyimpulkan permasalahan yang didiskusikan