• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1 Konsep, Konsteruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Flypaper Effect

Istilah Flypaper Effect diperkenalkan pertama kali oleh Courant, Gramlich, dan Rubinfeld (1997). Definisi Flypaper Effect menurut Mutiara Maimunah (2006, 37-51) yaitu:

“Flypaper effect merupakan suatu kondisi yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak dengan menggunakan dana transfer (gants) yang di proksikan dengan DAU dari pada menggunakan kemampuan sendiri, diproksikan dengan PAD.”

Ini berarti bahwa Flypaper effect suatu keadaan dimana belanja daerah lebih besar baergantung kepada bantuan transfer dari pada memggunakan pendapatan daerah sendiri (PAD).

Turnbull (1998, 44) fenomena Flypaper Effect membawa implikasi: “The phenomenon of flypaper effect had brought broader implications that the transfer would increase the local government spending.”

Ini berarti flypaper effect membawa implikasi lebih luas bahwa transfer akan meningkatkan belanja pemerintah daerah yang lebih besar dari pada penerimaan transfer itu sendiri. Sementara itu, Gorodnichenko (2011, 38) berpendapat bahwa fenomena flypaper effect:

“Flypaper Effect phenomenon can occur in two versions. firstly, lead to the increase in local taxes and excessive of government budget spending. Secondly, lead to higher elasticity of local government expenditure to transfer rather than the elasticity of local government expenditure to local

(2)

text revenue. Those above studies, support the hypothesis of flypaper effect.”

Penjelasan tersebut menjelaskan bahwa flypaper effect dapat terjadi dalam dua versi, yaitu:

1) Merujuk pada peningkatan pajak daerah dan anggaran belanja pemerintah

yang berlebihan

2) Mengarah pada elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah.

Penelitian tentang flypaper effect dalam bidang ekonomi dapat dikelompokan menjadi dua aliran pemikiran, yaitu model birokratik (bureaucratic model) dan ilusi fiskal (fiscal illusion model). Model birokratik meneliti flypaper effect dari surut pandang birokrat, sedangkan model ilusi fiskal mendasarkan kajiannya dari sudut pandang masyarakat yang mengalami keterbatasan informasi terhadap anggaran pemerintah daerahnya.

Model birokratik menegaskan flypaper effect sebagai akibat dari perilaku birokrat yang leluasa untuk membelanjakan transfer daripada menaikan pajak. Model ilusi fiskal pertama kali dikemukakan oleh ekonom Italis bernama Amilcare Puviani yang menggambarkan ilusi fiskal terjadi saat pembuatan keputusan yang memiliki kewenangan dalam suatu institusi menciptakan ilusi dalam penyusunan keuangan (rekayasa) sehingga mampu mengarahkan pihak lain pada penilaian maupun tindakan tertentu.

(3)

Roemer dan Silvestre (2000, 75) berpendapat flypaper effect,

“Secara umum dipahami sebagai ketidaksamaan pengaruh pengeluaran publik dari bantuan pemerintah federal dan peningkatan pendapatan dengan jumlah yang sama. Berapapun bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah harus memberikan pengaruh yang sama besarnya, sebagai contoh adalah bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebagai bantuan kepada pemerintah daerah, mestinya memberikan pengaruh yang sama besar yaitu sebesar satu rupiah pada peningkatan pendapatan pemerintah atau masyarakat lokal.”

Bila hal ini terjadi, dimana ada kecenderungan bahwa pengaruh pengeluaran publik dalam bentuk bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tidak memberikan pengaruh yang sama besarnya maka hal inilah yang disebut dengan flypaper effect.

Widarjono (2006, 115-123) menemukan adanya flypaper effect pada wilayah barat dan timur di Indonesia. Ia menunjukan bahwa flypaper effect yang terjadi di daerah timur (Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Irian) lebih besar daripada daerah barat (Jawa dan Sumatera). Temuan ini menunjukan pengaruh transfer (grants) terhadap belanja daerah lebih signifikan dibandingkan pengaruh pendapatan daerah terhadap belanja daerah.

2.1.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Dalam jurnalnya Rokhaniyah mengemukakan, keberhasilan

penyelenggaraan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari kemampuan daerah dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuangan merupakan indikator penting dalam mengukur tingkatan otonomi daerah. Sumber keuangan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan

(4)

sumber non Pendapatan Asli Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah dapat dicapai apabila sumber keuangan daerah dapat membiayai aktifitas daerah yang berasal dari PAD.

PAD merupakan salah satu komponen sumber penerimaan keuangan Negara disamping penerimaan lainnya berupa dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah juga sisa anggaran tahun sebelumnya dapat ditambahkan sebagai sumber pendanaan penyelenggaraan pemerintah di daerah. Pemerintah daerah diharapkan dapat lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan secara maksimal, namun tentu saja dalam koridor perundang-undangan yang berlaku khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui PAD. Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah itu sendiri.

Adapun penegertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18 adalah:

“Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah Pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Pendapan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah yang dikelola sendiri oleh pemerintah daerah. Pendapatan daerah juga merupakan pendapatan yang diperoleh oleh pemerintah daerah dan

(5)

digali dari potensi pendapatan yang ada di daerah. Dengan kata lain Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan yang diterima oleh pemerintah daerah atas segala sumber-sumber atau potensi yang ada pada daerah yang harus diolah oleh pemerintah daerah didalam memperoleh pendapatan daerah.

Dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

kabupaten/kota dilarang:

1) Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan

ekonomi biaya tinggi

2) Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat

mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan import/eksport.

Menurut Halim (2004, 67), mengatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah

(PAD) adalah:

“Semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. PAD dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.”

Adapun uraian keempat jenis pendapatan tersebut, yaitu: 1. Pajak Daerah

Menurut Zain (2010, 314) mengemukakan bahwa Pajak Daerah adalah: “kontribusi wajib pajak kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

(6)

Menurut Mardiasmo (2002, 5) mengemukakan bahwa Pajak Daerah adalah:

“iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku digunakan untuk membiayai penyelenggarakan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.”

Adapun jenis-jenis Pajak Daerah menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 terdiri dari:

1. Pajak Hotel 2. Pajak restoran 3. Pajak Hiburan

4. Pajak Reklame

5. Pajak Penerangan Jalan

6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C

7. Pajak Parkir 2. Retribusi Daerah

Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2010 telah disetujui dan

disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, menyatakan Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/ atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.

Menurut Kadjatmito (2002, 78) retribusi untuk Kabupaten dan Kota dapat dibagi menjadi 2, yakni:

(7)

1. Retrubusi untuk kabupaten/kota ditetapkan sesuai kewenangan masing-masing daerah, terdiri dari 10 jenis retribusi jasa umum, 4 jenis retribusi perizinan tertentu.

2. Retribusi untuk kabupaten/kota ditetapkan sesuai jasa/pelayanan yang diberikan oleh masing-masing daerah, terdiri dari 13 jenis retribusi jasa usaha.

Jenis pendapatan retribusi untuk kabupaten/kota meliputi objek pendapatan berikut:

 Retribusi Pelayanan Kesehatan

 Retribusi Pelayanan Persampahan

 Retribusi Penggantian Biaya KTP dan Akta Catatan Sipil

 Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat

 Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum

 Retribusi Pelayanan Pasar

 Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor

 Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran

 Retribusi Sewa Alat Berat

 Retribusi Pemanfaatan Tanah

 Retribusi Terminal

 Retribusi Rumah Potong Hewan

 Retribusi Jasa Usaha Tempat Rekreasi dan Olahraga

(8)

 Retribusi Penjualan Produksi Daerah

 Retribusi Iuran Tetap Usaha Pertambangan

 Retribusi Pemeriksaan Hewan Ternak, Hasil Ternak dan Hasil Lainnya

 Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan

 Retribusi Ijin Gangguan /Keramaian (HO)

 Retribusi Ijin Trayek

 Retribusi Ijin Usaha Perikanan

 Retribusi Ijin Penyelenggaraan Reklame

 Retribusi Ijin Usaha Pariwisata

 Retribusi Ijin Dispensasi Penggunaan Jalan

 Retribusi Ijin Bongkar Muat

 Retribusi Ijin Pengusahaan Angkutan Karyawan

 Retribusi Ijin Air Bawah Tanah

 Retribusi Pelayanan Bidang Ketenagakerjaan

 Retribusi Penggantian Biaya Akte

 Retribusi Ijin Pemanfaatan Tanah

 Retribusi Ijin Usaha Bidang Perdagangan

 Retribusi Ijin Usaha Bidang Perindustrian

(9)

3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan

Menurut Halim (2004, 68) hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dapat dipisahkan merupakan:

“hasil penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.”

Ciri pokok perusahan daerah adalah adanya kesatuan produksi dalam arti luas termasuk member jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum dan memupuk pendapatan.

4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, meliputi:

Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemda. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan sebagai berikut:

a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan b. Jasa giro

c. Pendapatan bunga

d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing

e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah.

f. Hasil penjualan asset daerah yang tidak dipisahkan g. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah

h. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan i. Pendapatan denda pajak

j. Pendapatan denda retribusi k. Pendapatan eksekusi atas jaminan

(10)

l. Pendapatan dari pengenmbalian m. Fasilitas social dan umum

n. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan o. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan

2.1.3 Dana Alokasi Umum (DAU)

Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Pasal 27, jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandinganantara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota.

Khairani (2008, 54-75) mengemukakan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan:

“Jenis pendapatan daerah yang masuk kelompok dan perimbangan. DAU diberikan kepada semua Kabupaten dan Kota dengan tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskalnya, dan diretribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya.”

Dengan kata lain, DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi dan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah.

(11)

Saragih (2003, 104) berpendapat bahwa:

“Bagi daerah yang relatif minim Sumber Daya Alam (SDA), DAU merupakan sumber pendapatan penting guna mendukung operasional pemerintah sehari-hari serta sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Tujuan DAU disamping untuk mendukung sumber penerimaan daerah juga sebagai pemerataan (equalization) kemampuan keuangan pemerintah daerah.”

Halim (2009, 25) berpendapat dalam jurnalnya bahwa:

“Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pembelanjaan.”

Ini berarti bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu transfer dana pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi.

Adapun cara menghitung DAU menurut Halim (2009) adalah sebagai berikut: “1. Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari

penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.

2. Dana Alokasi Umum untuk daerah provinsi dan untuk kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi Umum sebagaimana ditetapkan diatas.

3. Dana Alokasi Umum untuk suatu kabupaten/kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk kabupaten/kota yang ditetapkan APBN dengan porsi kabupaten/kota yang bersangkutan. 4. Porsi kabupaten/kota sebagaimana dimaksud diatas merupakan

(12)

Dari jumlah DAU 90% yang ditunjukan untuk kabupaten/kota, maka setiap kabupaten/kota akan mendapatkan DAU sesuai dengan hasil perhitungan “Formula DAU” yang ditetapkan berdasarkan Celah Fiskal dan Alokasi Dana. 2.1.3.1 Formulasi DAU

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai prioritas nasional.

1) Formula DAU

Sesuai dengan PP No. 55 Tahun 2005 Pasal 40, Formula DAU menggunakan pendekatan Celah Fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah dan Alokasi Dasar (AD) berupa gaji PNS daerah.

Rumus formula DAU:

Di mana:

AD: Gaji PNS Daerah

CF: Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal

Formula Khusus DAU, yaitu:

a) DAU untuk Provinsi

DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)

DAU = Jumlah DAU untuk Provinsi X Bobot Provinsi yang Bersangkutan Jumlah bobot seluruh Provinsi

(13)

b) DAU untuk Kabupaten/Kota

Maka Formula untuk menghitung bobot DAU Daerah adalah

2) Variabel DAU

a. Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang

digunakan untuk pendekatan perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari: jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi (IKK), Produk Domestok Regional Bruto (PDRB) per kapita.

b. Komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil.

Alokasi DAU ke suatu kabupaten/kota = 90% x 25%

DAU = Jumlah DAU untuk Kab/Kota X Bobot Provinsi yang Bersangkutan Jumlah bobot seluruh Kab./Kota

Bobot DAU Daerah = Kebutuhan DAU Daerah

(14)

2.1.3.2 Tahapan Perhitungan DAU

1) Tahapan Akademis

Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU dilakukan oleh Tim Independen dari berbagai universitas dengan tujuan untuk memperoleh kebijakan perhitungan DAU yang sesuai dengan ketentuan UU dan karakteristik Otonomi Daerah di Indonesia.

2) Tahap Administratif

Dalam tahap ini Departemen Keuangan Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk penyiapan data dasar perhitungan DAU termasuk di dalamnya kegiatan konsolidasi dan verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran data yang akan digunakan.

3) Tahapan Teknis

Merupakan tahap pembuatan simulasi perhitungan DAU yang akan dikonsultasikan pemerintah kepada DPR RI dan dilakukan berdasarkan formula DAU sebagaimana diamatkan Undang-Undang dengan menggunakan data yang tersedia serta memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis.

(15)

4) Tahapan Politis

Merupakan tahap akhir, pembahasan perhitungan dan alokasi DAU antara pemerintah dengan panitia kerja belanja daerah panitia anggaran DPR RI untuk konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil perhitungan DAU.

2.1.4 Belanja Modal

Menurut Halim (2004, 73) tentang pengertian belanja modal, yaitu: “Belanja Modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambahkan belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada Kelompok Belanja Administrasi Umum.”

Berdasarkan Keputusan Menteri dalam Negeri No. 29 Tahun 2009,

belanja modal dibagi menjadi dua, yaitu:

“1. Belanja Publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum.

2. Belanja Aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur.”

Berdasarkan artikel yang peneliti baca pada

http://www.ksap.org/Riset&Artikel/Art16.pdf Belanja Modal dikategorikan menjadi 5 kategori utama:

1. Belanja Modal Tanah

2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin

3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan

(16)

5. Belanja Modal Fisik Lainnya

Berikut ini merupakan penjelasan dari 5 kategori utama dari belanja modal:

1) Belanja Modal Tanah

Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan, pembelian, pembebasan penyelesaian untuk balik nama atas

sewa, pengosongan, pengurungan, perataan, pematangan tanah,

pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.

2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan, penambahan, penggantian dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari dua belas bulan dan sampai perlatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai.

3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan

Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan, penambahan, penggantian, dan termasuk

(17)

pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan, pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan, penambahan, penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan serta perawatan dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan jalan, irigasi, dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan, irogasi, dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

5) Belanja Modal Fisik Lainnya

Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan, penambahan, penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan serta perawatanm terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan kedalam keriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan serta irigasi dan jaringan yang termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang-barang purbakala, dan barang-barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah.

Berikut ini adalah tabel komponen biaya yang termasuk dalam belanja modal:

(18)

Tabel 2.1

Jenis Belanja Modal dan Komponen-Komponennya

Jenis Belanja Modal Komponen Biaya yang Dimungkinkan di dalam Belanja Modal

Belanja Modal Tanah 1. Belanja Modal Pembebasan Tanah

2. Belanja Tanah Pembayaran Honor Tim

Tanah

3. Belanja Modal Pembuatan Sertifikat Tanah

4. Belanja Modal Pengurungan dan

Pematangan Tanah

5. Belanja Modal Biaya Pengukuran Tanah

6. Belanja Modal Perjalanan Pengadaan Tanah

Belanja Modal Gedung dan Bangunan

7. Belanja Modal Bahan Baku Gedung dan

Bangunan

8. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan

Honor Pengelola Teknis Gedung dan Bangunan

9. Belanja Modal Sewa Peralatan Gedung dan Bangunan

10. Belanja Modal Perencanaan dan

Pengawasan Gedung dan Bangunan

11. Belanja Modal Pengosongan dan

Pembongkaran Bangunan Lama Gedung dan Bangunan

12. Belanja Modal Perizinan Gedung dan Bangunan

13. Belanja Modal Honor Perjalanan Gedung dan Bangunan

Belanja Modal Peralatan dan Mesin

14. Belanja Modal Bahan Baku Peralatan dan Mesin

15. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Peralatan dan

(19)

Mesin

16. Belanja Modal Sewa Peralatan, Peralatan dan Mesin

17. Belanja Modal Perencanaan dan

Pengawasan Peralatan dan Mesin

18. Belanja Modal Perizinan Peralatan dan Mesin

19. Belanja Modal Pemasangan Peralatan dan Mesin

20. Belanja Modal Honor Perjalanan Peralatan dan Mesin

Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringa

21. Belanja Modal Bahan Baku Jalan dan Jembatan

22. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Jalan dan Jembatan 23. Belanja Modal Sewa Peralatan Jalan dan

Jembatan

24. Belanja Modal Perencanaan dan

Pengawasan Jalan dan Jembatan

25. Belanja Modal Pengosongan dan

Pembongkaran Bangunan Lama Jalan dan Jembatan

26. Belanja Modal Perizinan Jalan dan

Jembatan

27. Belanja Modal Honor Perjalanan Jalan dan Jembatan

28. Belanja Modal Bahan Baku Irigasi dan Jaringan

29. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Irigasi dan Jaringan 30. Belanja Modal Sewa Peralatan Irigasi dan

Jaringan

(20)

Pengawasan Irigasi dan Jaringan

32. Belanja Modal Pengosongan dan

Pembongkaran Bangunan Lama Irigasi dan Jaringan

33. Belanja Modal Perizinan Irigasi dan Jaringan

34. Belanja Modal Honor Perjalanan Irigasi dan Jaringan

Belanja Modal Fisik dan Lainnya

35. Belanja Modal Bahan Baku Fisik Lainnya 36. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan

Honor Pengelola Teknis Fisik Lainnya 37. Belanja Modal Sewa Peralatan Fisik

Lainnya

38. Belanja Modal Perencanaan dan

Pengawasan Fisik Lainnya

39. Belanja Modal Perizinan Fisik Lainnya 40. Belanja Modal Jasa Konsultan Fisik

Lainnya

2.1.5 Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya mengenai flypaper effect yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) telah dilakukan diantaranya oleh:

Maimunah (2006) yang meneliti di Sumatera, memperoleh hasil yaitu PAD tidak signifikan berpengaruh terhadap belanja daerah. Hal tersebut berarti terjadi flypaper effect. Hal ini sesuai dengan hipotesisnya yang menyatakan bahwa pengaruh DAU terhadap belanja daerah lebih besar dari pada PAD

(21)

terhadap belanja daerah yang diterima. Ia juga meneliti bahwa flypaper effect berpengaruh untuk memprediksi belanja daerah periode kedepan dan juga tidak terdapat perbedaan terjadinya flypaper effect baik pada daerah yang PAD-nya rendah maupun daerah PAD-nya tinggi di kabupaten/kota di Pulau Sumatera.

Kuncoro (2007) menemukan flypaper effect di Indonesia dengan

menggunakan data tahun 1988-2003 dan menyimpulkan flypaper teffect terjadi. Dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa birokrat pemerintahan daerah bertindak sangat reaktif terhadap transfer yang diterima dari pusat. Ada indikasi peningkatan belanja yang tinggi tersebut disebabkan karena inefisiensi belanja pemerintah daerah terutama belanja operasional.

Penelitian yang dilakukan oleh Maimunah dan Rusdi (2008) yang dilakukan di Pulau Sumatera yang menyatakan bahwa adanya pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah lebih besar dari pada pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah. Hasil ini menunjukan bahwa pemerintah daerah memiliki ketergantungan yang kuat terhadap transfer dari pemerintah pusat dari pada pendapatan sendiri dalam memenuhi kebutuhan belanjanya.

Sukriy dan Halim (2003) maenyatakan bahwa DAU berpengaruh terhadap Belanja Pemerintah Daerah dan PAD berpengaruh terhadap Belanja Pemerintah Daerah.

Tovmo (2002) menemukan flypaper effect yang terjadi di Norwegia dipengaruhi oleh heterogenitas (kekuatan politik) di dalam local council. Local

(22)

council yang terdiri dari partai-partai politik kecil cenderung berpengaruh pada transfer dari pemerintah pusat dalam memenuhi belanja publiknya (flypaper effect).

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada periode pengamatan yang akan dilakukan, yaitu selama 5 tahun periode dari tahun 2008-2012. Lokasi penelitian dilakukan pada daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Objek penelitian dilakukan pada Belanja Modal. Berikut ini hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

Tabel 2.2

Tinjauan Penelitian Sebelumnya

No Peneliti Judul Lokasi

Penelitian

Hasil Penelitian

1 Maimunah

(2006)

Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja

Daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Pulau Sumatera Telah terjadi Flypaper Effect dalam merespon belanja transfer

DAU dan PAD di Pulau itu.

2 Kuncoro

(2007)

Fenomena Flypaper Effect pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Bandung

Indonesia Adanya respon yang

berlebihan dari

pemerinta daerah

dalam merespon

perubahan alokasi

transfer ini dikenal

dengan fenomaena

(23)

3 Maimunah

dan Rusdi

(2008)

Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja

Daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Pulau Sumatera Adanya ketergantungan yang tinggi PEMDA

terhadap DAU dari pada PAD dalam memenuhi kebutuhan belanjanya. 4 Sukriy dan Halim (2003)

Pengaruh Dana Alokasi

Umum (DAU) dan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja

Daerah pada Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali Pulau Jawa dan Bali Dengan digunakan

lag, pengaruh DAU

terhadap Belanja

daerah justru lebih kuat dari pada PAD. Hal ini berarti terjadi flypaper effect dalam

respon Pemda

terhadap DAU dan PAD.

5 Tovmo

(2002)

The Flypaper Effect and Political Strength Australia Adanya ketergantungan dari pemerintah pusat dalam memenuhi belanja publiknya (flypaper effect). 2.2 Kerangka Pemikiran

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 akan berpengaruh terhadap pengelolaan keuangan daerah. Hal ini berkaitan erat dengan konsep otonomi dan desentralisasi yang pada hakekatnya memberikan kekuasaan, kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada pemerintahan daerah guna mengatur dan menentukan penggunaan dana untuk melaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah.

(24)

APBD memuat pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah. Adapun sumber-sumber pendapatan daerah tersebut terdiri dari :

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

2. Dana Perimbangan

3. Pinjaman Daerah

4. Lain-Lain Pendapatan daerah yang sah

PAD adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana perimbangan diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dana perimbangan terdiri dari :

1. Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan sumber daya alam (SDA).

2. Dana Alokasi Umum

3. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana transfer dari pemerintah pusat kepada daerah yang barsifat bantuan (grants) yang kewenangan pengaturan dan penggunaanya diserahkan kepada pemerintah daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan komponen terbesar dalam dana perimbangan dan perannya sangat strategis dalam menciptakan pemerataan dan keadilan antar daerah untuk mengatasi rendahnya

(25)

kapasitas fiskal di daerah. Dengan proporsi yang cukup besar dan diberikannya kewenangan untuk pemanfaatan yang luas, akan member makna otonomi yang lebih nyata bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah.

Flypaper effect tidak disimbolkan dalam kerangka pemikiran karena flypaper effect merupakan suatu fenomena yang terjadi saat pemerintah daerah merespon belanja lebih banyak dengan menggunakan DAU dari pada PAD. Fenomena flypaper effect muncul dengan kecenderungan peningkatan belanja daerah bahwa penggunaan DAU tahun sebelumnya dapat dijadikan prediksi belanja daerah. Belanja daerah ini juga tidak disimbolkan dalam kerangka pemikiran.

Hubungan Antara DAU dengan Belanja Modal

Pemerintah pusat mengharapkan dengan adanya desentralisai fiskal pemerintah daerah lebih mengoptimalkan kemampuan dalam mengelola sumber daya yang dimiliki sehingga tidak hanya mengandalkan DAU. Dengan adanya transfer DAU dari Pemerintah Pusat maka daerah bisa lebih fokus untuk menggunakan PAD yang dimilikinya untuk membiayai belanja modal yang menunjang tujuan pemerintah yaitu meningktakan pelayanan publik.

Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalamAPBN untuk menambah asset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk kualitas pelayanan public. Besarnya belanja modal yang dialokasikan pemerintah daerah dalam

(26)

APBN tentu sangat dipengaruhi oleh posisi keuangan pada daerah tersebut. Posisi keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) pada daerah tersebut.

Hubungan Antara PAD dengan Belanja Modal

Daerah yang ditunjang dengan sarana dan prasarana memadai akan berpengaruh pada tingkat produktivitas masyarakatnya dan akan manarik investor untuk menanamkan modalnya pada daerah tersebut yang pada akhirnya akan menanamkan pendapatan asli daerah. Peningkatan PAD diharapkan mampu member efek yang signifikan terhadap pengalokasian anggaran modal belanja oleh pemerintah.

Peningkatan belanja modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat kontibusi publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD. Dengan kata lain, pembangunan barbagai fasilitas sektor publik akan berujung pada peningkatan pendapatan daerah. Pelaksanaan desentralisasi membuat pembangunan menjadi prioritas utama pemerintah daerah untuk menunjang peningkatan PAD.

(27)

Gambar 2.1

Model Kerangka Pemikiran

2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah dugaan atau jawaban sementara yang akan diuji kebenarannya, melalui analisis data yang relevan dan kebenarannya akan diketahui setelah dilakukan penelitian. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hipotesis akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H1 : Dana Alokasi Umum (DAU)berpengaruh positif terhadap Belanja Modal.

H2 : Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap Belanja Modal.

Untuk menentukan flypaper effect, tidak digunakan hipotesis, karena flypaper effect merupakan sebuah fenomena yang terjadi saat pemerintah daerah merespon belanja daerah lebih boros dengan menggunakan DAU dari pada menggunakan PAD.

Dana Alokasi Umum (DAU)

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Referensi

Dokumen terkait

Meneliti sampel atau bagian dari satu populasi dimungkinkan untuk melakukan generalisasi untuk populasi (Silalahi, 2012: 253). Populasi dalam penelitian ini

adapun untuk biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan melihat dari penempatan tugas karyawan dengan waktu penyelesaian optimum yaitu Rp 4.925.250,00 dengan

Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa jumlah pasien asma yang memiliki riwayat penyakit asma pada keluarga lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki

KPPN selaku KPA Penyalur DAK Fisik dan Dana Desa hanya dapat melaksanakan penyaluran DAK Fisik dari Kas Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) berdasarkan pada

Limbah kotoran ternak yang dihasilkan juga tercatat setiap harinya.perlu ditingkatkan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan oleh peternakan BBG mengenai pengolahan limbah

(pemulihan) dan semua kegiatan sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat lalu mengenai tingkat kemajuan pembangunan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Karangayu

Hasil penelitian ini adalah pelaksanaan proses penyidikan terhadap tindak pidana persetubuhan dengan tersangka orang dewasa dan korban dibawah umur yang diperiksan di

Sehingga peneliti memiliki tujuan penelitian untuk menganalisis tingkat kelayakan investasi, penambahan alat konveksi pada usaha Ella Convection dari berbagai