• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masukan Bagi Perumusan. KEBIJAKAN KOMPREHENSIF PERGULAAN NASIONAL ( Dokumen 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Masukan Bagi Perumusan. KEBIJAKAN KOMPREHENSIF PERGULAAN NASIONAL ( Dokumen 1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Masukan Bagi Perumusan

KEBIJAKAN KOMPREHENSIF

PERGULAAN NASIONAL

( Dokumen 1) KATA PENGANTAR

Kajian ringkas ini merupakan tindak lanjut salah satu kesimpulan rapat Dewan Gula Indonesia tanggal 17 Desember 2004, yang meminta Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melakukan kajian akademik sebagai latar belakang dan bahan pertimbangan dalam perumusan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Kebijakan Pergulaan Nasional. Kajian dilakukan secara singkat dengan melibatkan nara sumber dari berbagai instansi terkait, baik instansi pemerintah, yakni Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian dan Dewan Gula Indonesia, maupun organisasi non pemerintah dan semi pemerintah, seperti Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (Gapperindo) dan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI).

Hasil kajian ditulis dalam dua dokumen. Dokumen 1, “Masukan bagi Perumusan

Kebijakan Komprehensif Pergulaan Nasional”, memuat sintesis permasalahan, justifikasi, dan butir-butir diktum yang dipandang perlu dicakup di dalam Inpres Kebijakan Pergulaan Nasional. Dokumen 1 disusun dengan mengekstrak informasi dari Dokumen 2 yang lebih

panjang. Dokumen 2, “Analisis Kebijakan tentang Kebijakan Komprehensif Pergulaan

Nasional”, memuat uraian komprehensif tentang permasalahan dan rekomendasi kebijakan pergulaan nasional yang dapat dijadikan sebagai referensi justifikasi maupun rumusan kebijakan.

Mudah-mudahan kedua dokumen ini dapat dijadikan bahan referensi bagi Dewan Gula Indonesia untuk penyelesaian Inpres tersebut.

Jakarta, Januari 2005

Kepala Badan Litbang Pertanian,

(2)

TIM PENGKAJI

Penanggung Jawab : Dr. Ir. Achmad Suryana,

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Ketua Pelaksana : Dr. Pantjar Simatupang,

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Tim Penulis : Dr. Pantjar Simatupang (PSE)

Dr. M. Husni Malian, (PSE) Drs. Prajogo U. Hadi, Mec (PSE) Ir. Sudi Mardianto, MSi (PSE) Ir. Ali Susmiadi, MS (P3GI-LRPI) Dr. I Wayan R Susila (LRPI)

Mitra Diskusi : Dr. Agus Pakpahan (Gapperindo)

Dr. Erwidodo (Departemen Perdagangan) Dr. Hasanuddin Ibrahim (Ditjen Perkebunan) Dr. Har Adi Basri, MSc (Ditjen BP2HP) Ir. Agus Supriyono, MSc (Gapperindo) Ir. Ning Pribadi, MSc (BBKP)

Ir. Fais Achmad (Departemen Perindustrian) Ir. Colo Sewoko (DGI)

Tg. Marpaung (RNI)

(3)

I. PERMASALAHAN

Sebagai negara dengan basis sumber daya agraris, Indonesia pernah menjadi salah satu produsen dan eksportir gula pasir (selanjutnya disebut gula) yang terbesar di dunia pada dekade 1930-40 an. Namun seiring dengan semakin menurunnya produktivitas gula nasional, predikat negara pengekspor gula yang disandang Indonesia berganti menjadi negara pengimpor gula yang cukup besar saat ini. Perkembangan yang kurang menggembirakan tersebut menunjukkan bahwa industri gula nasional sedang menghadapi suatu permasalahan yang sangat kompleks. Ada tiga permasalahan utama yang dihadapi oleh Indonesia berkaitan dengan agribisnis pergulaan. Pertama, industri gula mengidap ”penyakit industrial” yang kronis, yang disebabkan oleh sindroma deindustrialisasi, regresi industri dan disintegrasi industri. Kedua, industri gula rentan terhadap ancaman. Ketiga, kebutuhan gula domestik terus meningkat dan terdiferensiasi.

1.1. Industri Gula Mengidap “Penyakit Industrial” Kronis.

Penyakit industrial (industrial sickness) kronis yang telah lama menggerogoti industri gula nasional kini sudah sampai pada fase akut yang apabila tidak dilakukan tindakan penyelamatan melalui kebijakan komprehensif akan menyebabkan industri gula nasional mengalami kematian yang tidak mungkin diselamatkan lagi. Penyakit industrial tersebut diindikasikan oleh sindroma berikut :

a. Deindustrialisasi

Sindroma deindustrialisasi sudah berlangsung sejak akhir dekade 1920-an, diindikasikan penurunan produksi gula nasional dari 2,9 juta ton pada tahun 1930 menjadi 1,7 juta ton pada tahun 2003, dan penurunan jumah pabrik gula 179 unit pada tahun 1930 menjadi 58 unit pada tahun 2003. Deindustrialisasi sudah pada fase akut sebagaimana ditunjukkan oleh fenomena bangkrutnya pabrik gula yang terjadi secara berkelanjutan.

b. Regresi industri

Sindroma regresi industri diindikasikan oleh kemunduran produktivitas dan efisiensi industri yang pada akhirnya juga kemunduran daya saing industri gula. Inovasi teknologi dan kelembagaan, yang menjadi sumber utama pertumbuhan produksi dan basis daya saing industri gula pada zaman kolonial, sejak zaman kemerdekaan mengalami kemunduran, sebagaimana ditunjukkan oleh data penurunan produktivitas tebu maupun rendemen gula tebu. Produktivitas tebu menurun dari 137,84 ton pada tahun 1940 menjadi 77,39 ton pada tahun 2004, dan rendemen gula tebu menurun dari 12,74 persen pada

(4)

tahun 1940 menjadi 7,67 persen pada tahun 2004, sehingga produktivitas gula hablur menurun dari 17,63 ton gula/ha pada tahun 1940 menjadi 5,94 ton gula/ha pada tahun 2004.

Sesungguhnya, dalam tren jangka panjang, luas tanam tebu mengalami peningkatan dari 196.592 ha pada tahun 1930 menjadi 345.550 ha pada tahun 2004. Dengan demikian, penurunan produksi gula terutama disebabkan oleh penurunan produktivitas tebu maupun rendemen gula tebu. Penurunan produktivitas ini yang menjadi penyebab utama penurunan daya saing industri gula. Penurunan produktivitas ini merupakan perpaduan dari masalah internal pada ketiga pilar industri gula :

a. Penurunan produktivitas/efisiensi usahatani; b. Penurunan produktivitas/efisiensi pabrik gula;

c. Penurunan produktivitas/inovasi lembaga penelitian dan pengembangan. c. Disintegrasi industri

Industri gula merupakan salah satu industri yang amat menbutuhkan koherensi diantara ketiga pilar penopangnya : usahatani tebu, pabrik gula, dan lembaga penelitian. Pada zaman kolonial, ketiga pilar tersebut dapat diintegrasikan “sempurna” berkat campur tangan pemerintah yang memiliki kekuasaan memaksa atas semua pelaku pada ketiga pilar industri tersebut. Namun sejak zaman kemerdekaan, khususnya setelah nasionalisasi pabrik gula pada akhir tahun 1950-an, penghapusan sistem glebagan, dan pengakhiran hak otonomi petani dalam mengelola usahatani, serta pemisahan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia (P3GI) dari “konsorsium“ pabrik gula telah menyebabkan ketiga pilar gula tidak lagi terintegrasi dengan kuat. Bahkan, sifat interrelasi antar ketiga pilar condong menjadi bersifat “antagonistik” atau “saling memperdayai” sehingga semakin memperburuk kinerja masing-masing maupun kinerja industri secara agregat.

1.2. Industri Gula Rentan Terhadap Ancaman Persaingan .

Sindroma penyakit industrial telah menyebabkan biaya pokok produksi gula cenderung meningkat sementara profitabilitas usahatani tebu cenderung menurun, yang berarti kemampuan bersaing industri gula mengalami penurunan. Disisi lain, harga gula internasional cenderung menurun, antara lain karena semua negara produsen gula memberikan dukungan domestik dan atau subsidi ekspor untuk melindungi dan mempromosikan industri gula masing-masing. Tanpa proteksi, biaya pokok produksi gula di Jawa lebih tinggi dari harga gula impor. Pada kondisi ini, sistem industri gula di Jawa tidak mampu bertahan hidup tanpa perlindungan dari pemerintah.

(5)

Selain terhadap tekanan persaingan dari gula impor, industri gula domestik juga rentan terhadap tekanan persaingan dari komoditas lain, utamanya padi, dalam hal penggunaan lahan usahatani. Berbeda dengan usahatani tebu, produktivitas usahatani padi meningkat tajam dalam 30 tahun terakhir sebagai hasil dari terobosan teknologi varietas unggul padi berumur pendek dan amat responsif terhadap pupuk, dan kemampuan bersaing usahatani padi lebih besar daripada usahatani tebu. Disisi lain, pemerintah juga konsisten memberikan dukungan harga untuk gabah yang dijual petani padi. Dengan demikian, usahatani tebu tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap usahatani padi.

Namun demikian, inferioritas bersaing industri gula yang terjadi saat ini tidak sepenuhnya menggambarkan realita kondisi pasar “sempurna”. Harga gula dunia bersifat artifisial, jauh lebih rendah dari semestinya, karena negara-negara produsen gula memberikan dukungan domestik dan subsidi ekspor yang amat besar kepada industri gula domestik masing-masing. Penelitian yang dilakukan konsultan internasional Booker Tate (1999) menunjukkan bahwa dengan menggunakan standar internasional biaya pokok produksi gula di Indonesia tidaklah tergolong tinggi, masih lebih rendah dari median seluruh negara-negara penghasil gula. Disisi lain, harga gabah yang diterima petani padi juga bersifat artifisial karena proteksi yang diberikan pemerintah.

1.3. Kebutuhan Gula Domestik Terus Meningkat dan Terdiferensiasi.

Perpaduan antara pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan serta perkembangan industri makanan dan minuman telah mendorong akselerasi peningkatan permintaan gula domestik. Dalam tiga tahun terakhir konsumsi gula tebu domestik meningkat dengan laju 3,3 persen per tahun. Perpaduan antara peningkatan konsumsi dan penurunan produksi gula tebu telah menyebabkan akselerasi defisit yang harus ditutupi melalui impor dalam jumlah yang semakin besar. Peningkatan ketergantungan terhadap impor gula dipandang sebagai ancaman terhadap ketahanan pangan nasional an kehilangan kesempatan pasar bagi industri gula domestik. Akselerasi peningkatan impor tidak dapat diterima baik secara politik maupun secara ekonomi sehingga harus diredam melalui peningkatan produksi gula tebu domestik.

Disamping untuk kebutuhan konsumsi langsung, kebutuhan gula rafinasi untuk bahan baku industri maupun makanan khusus (specialty food) juga mengalami peningkatan. Pada saat ini, kebutuhan gula rafinasi dipenuhi dari impor atau produksi pabrik gula rafinasi domestik yang baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir dengan menggunakan bahan baku gula mentah (raw sugar) impor. Dengan demikian, kebijakan komprehensif pergulaan nasional haruslah mencakup kebijakan pengembangan gula rafinasi.

(6)

II. JUSTIFIKASI REVITALISASI INDUSTRI GULA

Anjuran agar pemerintah melaksanakan kebijakan komprehensif untuk merevitalisasi industri pergulaan nasional didasarkan oleh pertimbangan ekonomi, sosial dan politik. Secara ekonomi, revitalisasi industri gula nasional merupakan pilihan yang rasional, karena di satu sisi potensi pasar gula domestik cukup besar dan masih akan terus meningkat, sementara di sisi lain industri gula yang sedang sakit masih dapat dipulihkan.Apabila dapat didukung dengan kebijakan proteksi sekaligus promosi yagn komprehensif.

Lagi pula, walaupun secara absolut tidak efisien, industri gula di Jawa relatif masih efisien dibandingkan dengan industri gula di beberapa negara lain. Selain itu, rendahnya daya saing industri gula di Jawa tidak sepenuhnya akibat inefisiensi intrinsiknya, tetapi juga karena bias kebijakan pemerintah Indonesia sendiri (lebih mendukung usahatani padi) dan dampak eksternalitas kebijakan negara lain. Oleh karena itu, demi keadilan, industri gula domestik amat wajar memperoleh perlindungan dan dukungan promosi dari pemerintah.

Tanpa perlindungan dan dukungan promosi menuju industri yang efisien dan progresif, industri gula nasional akan mengalami kebangkrutan total. Jika hal itu terjadi, maka Indonesia akan kehilangan kesempatan pasar dan peluang usaha. Hilangnya peluang usaha, selain mempunyai dampak ekonomi tetapi juga akan menimbulkan masalah sosial yang signifikan. Dengan luas lahan tebu Indonesia sekitar 345.000 ha (rata-rata 2000-2004), dan dengan asumsi peneyrapan tenaga kerja sekitar 600 HOK/ha/tahun, maka usaha tani tebu dapat menciptakan 207 juta HOK (hari orang kerja) per tahun. Dengan rata-rata hari kerja per tahun 250 HOK, maka usaha tani tebu menyerap sekitar 828 ribu tenaga kerja penuh per tahun. Angka ini akan menjadi lebih besar apabila serapan tenaga kerja di berbagai PG di pulau Jawa di perhitungkan. Apabila kesempatan kerja ini hilang tanpa diikuti penciptaan lapangan kerja di kegiatan usaha dan sektor lain (yang nampaknya akan sulit dikembangkan dalam waktu singkat), maka masalah-masalah sosial akan mencuat sebagai persoalan ikutan yang dapat mengganggu stabilitas sosial dan politik.

Dari satu sisi saja, yaitu kesempatan kerja, resiko ongkos politik cukup besar untuk d iemban pemerintah jika industri gula Indonesia dibiarkan terpuruk. Resiko politik akan lebih besar lagi, apabila dilihat gula sebagai salah satu komoditas strategis ditinjau dari sistem pertanian dan perekonomian nasional.

(7)

III. ARAH, STRATEGI DAN PETA JALAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA.

Banyak kalangan menilai bahwa kebijakan pemerintah akhir-akhir ini dipandang pro petani, tetapi banyak pula yang melihatnya sebagai kebijakan parsial (tidak komprehensif) dan kurang jelas keterkaitannya antara satu sektor dengan sektor yang lain dalam kerangka pengembangan industri gula yang efisien. Berbagai kebijakan itu tampaknya tambal sulam,

dikeluarkan manakala ada masalah (reaktif) dan cenderung bersifat ad-hoc. Memecahkan

masalah produktivitas dan inefisiensi industri gula nasional tidaklah cukup hanya dengan menerapkan hambatan perdagangan atau pembatasan impor, tetapi harus dikombinasikan

dengan agenda restrukturisasi yang jelas dan terencana, serta support lainnya dari

pemerintah. Membangun industri gula yang efisien memerlukan suatu rancangan kebijakan yang menyeluruh, memiliki keterkaitan dan keselarasan yang jelas antara satu kebijakan dengan yang lain, dan terintegrasi sehingga cukup efektif untuk mencapai tujuan yang sama. Untuk itu perlu dirumuskan arah, strategi dan peta jalan pengembangan industri gula nasional, seperti yang akan diuraikan berikut ini.

3.1. Arah Kebijakan

Industri gula tebu hanya dapat tumbuh berkembang berkelanjutan bila ditopang oleh tiga pilar yang kokoh, berimbang dan terintegrasi, yaitu :

a. Usahatani tebu b. Pabrik gula

c. Penelitian dan pengembangan

Untuk semua pabrik gula BUMN, bahan baku tebu sebagian besar berasal dari tebu rakyat, sehingga relasi padu-padan usahatani tebu dan pabrik gula menjadi simpul kritis untuk vitalitas usaha pabrik gula maupun usahatani tebu. Inovasi dan reinovasi teknologi maupun manajemen industri juga amat vital dan harus padu dengan usahatani dan pabrik gula. Terpisahnya kepemilikan dan manajemen ketiga pilar industri tersebut merupakan akar penyebab utama munculnya fenomena deindustrialisasi industri gula tebu.

Oleh karena itu, ke depan pengembangan industri gula tebu hendaknya di arahkan untuk konsolidasi manajemen. Seluruh pabrik gula BUMN disatukan dalam satu badan usaha dan saham mayoritasnya di miliki oleh petani tebu untuk lebih menjamin kelangsungan penyediaan bahan baku. Lembaga penelitian merupakan bagian integral dari perusahaan.

(8)

3.2. Strategi

Strategi kebijakan yang dapat ditempuh dalam pengembangan industri gula nasional adalah:

1. Revitalisasi Usahatani Tebu

(i). Melanjutkan program peningkatan produktivitas dan rendemen tebu petani

melalui program bongkar ratoon, dengan melibatkan petani penangkar tebu

dalam penyediaan bibit bermutu.

(ii). Memberdayakan petani untuk meningkatkan kualitas usahatani melalui fasilitasi penyediaan sarana produksi (pupuk) dengan harga yang wajar, kredit usahatani, dan penyuluhan/pendampingan penerapan inovasi teknologi dan kelembagaan.

(iii). Melindungi petani dari inefisiensi yang mungkin terjadi di PG. Untuk itu diperlukan jaminan rendemen minimum dalam bentuk peraturan khusus (hal sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah India).

2. Restrukturisasi dan Rehabilitasi Pabrik Gula

a. Melakukan technology improvement terhadap PG BUMN di Jawa yang ditempuh melalui 3 tahap, yaitu :

(i). Melakukan audit teknologi untuk semua PG guna mengetahui sumber inefisiensi

dan cara penanganan/perbaikannya.

(ii). Melakukan perbaikan teknologi melalui rehabilitasi PG yang secara finansial dan ekonomi masih layak dipertahankan. Dukungan kebijakan investasi dari pemerintah mutlak diperlukan untuk melaksanakan langkah ini.

(iii). Melakukan restrukturisasi PG dengan arah jangka panjang untuk merestrukturisasi kepemilikan saham dengan melibatkan petani tebu sebagai salah satu komponen pemilik utama.

b. Untuk menjamin kepastian berusaha PG-PG di Luar Jawa, diperlukan kerja sama antara PG dengan Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat. Salah satu kebijakan yang dapat ditempuh adalah melibatkan masyarakat di sekitar PG sebagai pemasok bahan baku tebu.

3. Regulasi Promotif

(i). Memisahkan antara domain publik (pemerintah) dan domain privat (swasta).

Hal ini untuk mencegah kesan ”interventionist” pemerintah dalam mengatur industri gula dan industri berbasis tebu.

(9)

(ii). Melakukan harmonisasi tarif produk jadi yang mengandung gula dalam waktu tertentu, sehingga produk ini dapat bersaing dengan produk sejenis di pasar domestik.

(iii). Pemahaman bersama dari jajaran kabinet dan birokrasi pemerintahan bahwa masalah fundamental dari industri gula nasional adalah efisiensi dan produktivitas. Untuk itu diperlukan koordinasi antar departemen dan lembaga non departemen, Gubernur serta Bupati/Walikota, sehingga menciptakan suatu harmoni pembangunan.

(iv). Untuk mengikat jajaran kabinet dan birokrasi pemerintahan dalam pengembangan industri gula nasional, diperlukan suatu Instruksi Presiden (Inpres) yang mengatur secara terinci instrumen kebijakan yang akan ditempuh dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

3.3. Peta Jalan (Roadmap) Pengembangan Industri Gula.

Pengembangan industri gula pada masa yang akan datang, perlu disusun dalam Program Jangka Pendek (3 tahun), Program Jangka Menengah (10 tahun) dan Jangka Panjang (20 tahun).

Program Jangka Pendek ditujukan untuk melakukan rehabilitasi PG di Jawa, sehingga mampu menghasilkan gula hablur dengan harga pokok yang dapat bersaing dengan harga gula di pasar internasional. Sebagai patokan, harga pokok gula hablur sebesar Rp. 2.000/kg. Program rehabilitasi ini hendaknya tidak diarahkan untuk

mendapatkan unified products dalam bentuk gula putih, tetapi dapat juga ditujukan untuk

memproduksi refined white sugar dan produk lanjutan maupun produk ikutan. Dengan

demikian, tarif impor gula mulai tahun 2007 dapat dikurangi bertahap.

Program Jangka Menengah ditujukan untuk pengembangan PG di Luar Jawa, dengan memanfaatkan lahan kering eks transmigrasi yang kurang kompetitif bagi pengembangan tanaman pangan. Untuk menarik investor, pemerintah perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pajak penghasilan, bea masuk barang modal dan bahan pembantu, pajak pertambahan nilai dan pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu. Dalam program ini investor dapat memilih produk-produk yang

akan dihasilkan (gula putih, raw sugar, refined white sugar, atau produk lainnya), sesuai

dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di setiap daerah.

Program Jangka Panjang ditujukan untuk pengalihan pemilikan PG BUMN kepada petani tebu, serta pengembangan industri berbasis tebu, seperti ethanol, alkohol untuk industri, bahan campuran bensin dan sebagainya. Dalam pengalihan pemilikan PG ini

(10)

tebu. Sementara itu, untuk pengembangan industri-industri lainnya, serta sejalan dengan peningkatan permintaan terhadap produk tersebut di pasar domestik dan pasar internasional.

Revitalisasi kegiatan Research and Development (R & D) melalui penyediaan dana penelitian dan pengembangan yang dapat dipungut dari: (1) Setiap kenaikan produktivitas

gula hablur/ha, PG memberikan 2,4 persen dari gain yang diperoleh; (2) Untuk penjualan

gula yang dilakukan PG dan asosiasi petani tebu, pemerintah memungut 0,1 persen untuk kegiatan R & D.

IV. RANCANGAN DASAR KEBIJAKAN KOMPREHENSIF

Industri gula tebu hanya dapat tumbuh berkembang berkelanjutan bila ditopang oleh tiga pilar yang kokoh, berimbang dan terintegrasi, yaitu :

1. Usahatani tebu

2. Pabrik gula

3. Penelitian dan pengembangan

Permasalahan industri gula dapat didiagnosa dengan mengkaji permasalahan yang terdapat di setiap pilar dan relasi antar pilar. Dengan sendirinya, kebijakan revitalisasi industri pergulaan nasional haruslah dipandang secara integratif, dalam artian mencakup revitalisasi setiap pilar dan relasi antar pilar.

Dengan demikian, kebijakan industri komprehensif (comprehensive industrial policy) yang bertujuan untuk membangun ketiga pilar secara kokoh, berimbang, dan terintegrasi merupakan salah satu inti dari kebijakan revitalisasi industri gula nasional. Kebijakan parsial yang difokuskan pada salah satu pilar seperti Program Peningkatan Produktivitas Gula

melalui bongkar ratoon, yang dilakukan Departemen Pertanian dan Program Rehabilitasi

atau Restrukturisasi Pabrik Gula yang dilakukan oleh Kementrian Badan Usaha Milik Negara, atau Program Perbaikan Distribusi dan Perdagangan Gula dari Departemen Perdagangan akan kurang efektif dan efisien bila tidak dilakukan secara terintegrasi.

Sudah barang tentu, upaya untuk merevitalisasi ketiga pilar industri gula secara kokoh, berimbang dan terpadu haruslah pula didukung oleh berbagai kebijakan penunjang. Elemen-elemen utama kebijakan penunjang ini antara lain : kebijakan perdagangan, kebijakan fiskal, dan kebijakan moneter. Kebijakan penunjang ini haruslah pula dirancang dan dilaksanakan secara konsisten, koheren dan koresponden, sehingga dapat efektif dan efisien dalam mewujudkan tujuan revitalisasi industri gula nasional.

(11)

Dengan demikian, kebijakan terpadu dan komprehensif revitalisasi industri gula nasional bersifat imperatif. Dengan menyadari kewenangan untuk membuat setiap komponen kebijakan berada pada masing-masing departemen/lembaga teknis sesuai dengan tugas pokoknya, maka kebijakan komprehensif revitalisasi industri gula haruslah dirancang oleh suatu Tim atau Lembaga dengan melibatkan pejabat kompeten dari departemen/lembaga terkait. Sesuai dengan mandatnya, Dewan Gula Indonesia dapat bertindak sebagai koordinator dalam merumuskan kebijakan dan mengevaluasi pelaksanaan dari komprehensif tersebut. Oleh karena itu menyangkut tugas dan kewenangan antar departemen, maka garis-garis besar kebijakan komprehensif tersebut perlu dituangkan dalam suatu Instruksi Presiden (Inpres) yang mencakup instruksi umum tentang arah dan target kebijakan maupun instruksi spesifik tentang tindakan yang harus dilaksanakan menteri tertentu.

Pemikiran tentang arah kebijakan jangka panjang yang disarankan adalah: Terbangunnya industri pergulaan tangguh dan integratif, ditopang oleh pilar usahatani tebu rakyat, pabrik gula dan lembaga penelitian yang padu-padan, dan dimiliki bersama oleh petani tebu, investor swasta dan pemerintah. Untuk mengisi arah kebijakan jangka panjang tersebut, pembangunan industri diarahkan sedemikian rupa sehingga konsisten dengan perubahan pasar dan lingkungan strategis jangka panjang, yang dirancang dalam peta jalan (road map) pembangunan industri gula jangka panjang, dan setiap kebijakan harus selalu memperhatikan kepentingan petani tebu, pengusaha pabrik gula tebu, pengusaha pabrik gula rafinasi, konsumen gula industri dan konsumen gula rumah tangga, kemampuan keuangan negara, serta kesehatan perekonomian makro secara adil dan berimbang.

Inpres juga perlu menetapkan target dan jangka waktu pelaksanaan kebijakan. Berikut beberapa target yang diusulkan untuk dimasukkan dalam Inpres :

1. Tercapainya swasembada gula putih tebu pada tahun 2009;

2. Tercapainya kemandirian bersaing pada tahun 2009;

3. Tercapainya swasembada gula putih tebu maupun gula industri pada tahun 2015;

4. Pada tahun 2009 setidaknya 10 persen saham pabrik gula telah dimiliki petani tebu

dan akan meningkat terus, sehingga pada tahun 2020 saham yang dimiliki petani mencapai 51 persen.

Instruksi spesifik tentang tindakan yang harus dilaksanakan menteri tertentu ditampilkan pada Tabel 1.

(12)

Tabel 1. Butir-butir pemikiran yang disarankan diatur dalam Inpres Kebijakan Pergulaan Nasional

No. Instruksi Kepada Tugas Yang Diemban

1. a. Menteri Negara BUMN

b. Menteri Keuangan

c. Menteri Perindustrian

Restrukturisasi dan rehabilitasi pabrik gula BUMN di Jawa ;

a. Konsolidasi atau penyatuan PG-PG BUMN dalam

satu badan usaha atau beberapa BUMN berdasarkan lokasi regional

b. Privatisasi kepemilikan PG dengan melibatkan

petani tebu dan investor swasta sebagai pemilik saham

c. Rehabilitasi dan modernisasi PG

d. Skema bantuan modal untuk kepemilikan saham

petani dan rehabilitasi pabrik

2. a. Menteri Pertanian

b. Menteri Keuangan Revitalisasi usahatani tani : a. Melanjutkan program bongkar ratoon

b. Memfasilitasi pemberdayaan petani dalam

penerapan inovasi teknologi

c. Menyediakan bantuan modal untuk bongkar

ratoon melalui APBN atau kredit perbankan

d. Mempersiapkan organisasi petani menuju

konsolidasi usahatani – PG dan kepemilikan PG oleh petani

3. a. Menteri Pertanian

b. Menteri Negara BUMN

c. Menteri Keuangan

Revitalisasi dan integrasi P3GI dengan konsorsium PG:

a. Penyisihan dana untuk penelitian dan

pengembangan dari hasil penjualan (1 %) gula dan peningkatan produktivitas (2,5 %)

b. Penyatuan manajemen P3GI dengan konsorsium

PG

4. Menteri Keuangan Penetapan tarif impor untuk mendukung harga

minimum gula yang cukup untuk merangsang usahatani tebu dan investasi PG

5. Menteri Perdagangan Penetapan perlindungan non-tarif dan tataniaga untuk

menjamin harga gula minimum

6. a. Menteri Perindustrian

b. Menteri Pertanian a. Peta jalan (pergulaan nasional jangka panjang (2005-2025) road map) pembangunan industri

b. Rencana perluasan kebun tebu dan pabrik gula di

luar Jawa

Referensi

Dokumen terkait

Tahap-tahap pada siklus II sama dengan siklus I yaitu peneliti membuat persiapan pembelajaran dengan kegiatan program software membaca. Untuk dapat mencapai hasil

According to Munajat (2004) pro- duction of copal per tree was influenced very much by various factors such as: quality of growth site, tree age, stand density, genetic properties,

Perbedaan luas areal yang ditetapkan untuk kawasan sabuk hijau Seoul CapitalRegion ini dapat dilihat tidak hanya dalam besaran kontribusi suatu wilayah administrasi tertentu

Grafik waktu rata-rata pencarian bubu modifikasi berdasarkan daerah pengoperasiannya memberikan perbedaan satu sama lain seperti yang ditunjukkan pada Gambar 32.. membutuhkan

Moderating Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai tugas akademik guna menyelesaikan

Selain itu, tugas akhir ini disusun sebagai pembanding antara teori mengenai pengaruh kebijakan utang terhadap kinerja perusahaan yang telah penulis dapat selama perkuliahan

Maksud disusunnya Pedoman Standar Pelayanan Unit Penyelenggara Bandar Udara Tjilik Riwut Palangkaraya adalah untuk memberikan kepastian dan meningkatkan kualitas

Hasil Clusterisasi data obat yang dilakukan dengan algoritma k-means didapatkan setelah melakukan iterasi ke-4 yaitu terdapat kelompok obat yang pemakaian sedikit