• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

5 HASIL PENELITIAN

5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal

Produksi perikanan bubu yang tercatat di PPN Sibolga pada tahun 2011 mencapai 14.847 kg, sedangkan pada tahun 2012 sampai bulan Februari mencapai 11.245 kg. Data ini menjadi sangat kecil karena banyaknya nelayan yang tidak melaporkan hasil tangkapan kepada petugas perikanan. Data yang diperoleh pada tahun 2011 merupakan data dari 2 pemilik kapal bubu yang rutin melakukan pelaporan, sedangkan data pada 2012 merupakan data dari 9 pemilik usaha bubu. Agar dapat memperoleh kondisi perikanan bubu yang mendekati angka tepat, sebaiknya pemerintah memperhatikan teknik pengumpulan data yang ada di pelabuhan perikanan swasta.

Ikan yang menjadi target utama untuk ekspor pada penangkapan bubu adalah ikan kerapu merah, kerapu macan, kakap merah, kakap putih, jenaha dan kuwe. Ikan ini menjadi kategori ikan target utama untuk ekspor karena merupakan komoditas ekspor. Ikan target utama pasar lokal merupakan jenis ikan yang tidak masuk dalam dikategori ekspor. Jenis ikan target utama pasar lokal yang dihasilkan bubu antara lain pari, cumi-cumi, bayeman, ekor kuning, kurisi dan baronang. Hasil tangkapan sampingan pada bubu merupakan kelompok ikan yang tidak memiliki nilai jual dan biasanya dijadikan sebagai bahan pembuat ikan asin atau makanan ternak seperti ikan kepe-kepe, giro pasir, gabus laut, jabung (triger) dan butana garis.

Penentuan kualitas ikan karang bukan saja ditentukan oleh jenis, tetapi dapat juga dari ukuran dan kondisi ikan. Bagi nelayan bubu penangkapan ikan target utana akan sangat mempengaruhi pendapatan dalam satu tripnya. Hasil tangkapan bubu yang didaratkan pada pelabuhan perikanan di Sibolga didominasi ikan demersal ekonomis utama antara lain ikan kerapu, kakap, kuwe dan jenaha. Hasil tangkapan nelayan bubu biasanya diekspor ke negara Singapura dan Hongkong. Hal ini disebabkan nilai tukar penjualan menggunakan mata uang dolar. Untuk sortasi ikan, nelayan bubu mengenal istilah grade A dan bekas sortir (BS). Hasil wawancara dengan pedagang pengumpul, harga ikan hasil tangkapan bubu dapat dilihat pada Tabel 13.

(2)

Tabel 13 Daftar harga ikan hasil tangkapan bubu Tahun 2011

No Nama ikan Grade Ukuran (gram) Harga (Rp)

1 Kerapu merah A >1000 70.000 2 Jenaha A >700 35.000 3 Kerapu macan A >1000 28.000 4 Kakap merah A >700 23.000 5 Kakap putih A >700 20.000 6 Kuwe A >700 18.000

Sumber: Hasil wawancara nelayan Sibolga

Data staatistik perikanan Sibolga, ada 3 (tiga) kelompok ikan demersal ekonomis penting yang banyak diperdagangkan nelayan Sibolga. Tingkat pemanfaatan ikan demersal ini berbeda satu sama lainnya. Ketiga jenis kelompok ikan demersal tersebut adalah:

1) Ikan kakap

Data hasil tangkapan ikan kakap pada tahun 2006-2010, penagkapan ikan kakap didominasi oleh alat tangkap bubu sekitar 40,87%, pancing ulur 29,86% dan pukat ikan 29,28%. Alat tangkap standar ikan kakap yang sesuai berdasarkan nilai Fishing Power Index (FPI) adalah bubu. Ikan kakap merupakan salah satu ikan ekonomis penting yang banyak diekspor ke Hongkong dan Singapura.

Gambar 14 menunjukkan grafik MSY untuk ikan kakap berdasarkan data dinas perikanan kota Sibolga. Model Walter-hilborn menunjukkan effortoptimum

untuk ikan kakap merah sebanyak 60 unit bubu dan catchMSY2754,11 ton/tahun.

Gambar 14 Grafik maximum sustainable yield ikan kakap 2006 2007 2008 20092010 0 1000 2000 3000 0 50 100 150 Produksi   (ton) Jumlah bubu (unit) Ikan kakap

(3)

Grafik pemanfaatan ikan kakap pada Gambar 14 menunjukkan pada saat ini jumlah penangkapan ikan tersebut telah mencapai titik MSY. Peningkatan upaya penangkapan melalui bubu sebaiknya mulai dibatasi untuk menghindari terjadinya

overfishing. 2) Ikan kerapu

Hasil perhitungan nilai maximum sustainable yield (MSY) untuk ikan kerapu merah (kerapu sunu) menunjukkan tingkat eksploitasi yang belum optimal. Gambar 15 menunjukkan grafik produksi surplus ikan kerapu sampai pada tahun 2010. Data pemanfaatan ikan kerapu menunjukkan bahwa penangkapan ikan kerapu belum mengalami batas over fishing.

Gambar 15 Grafik maximum sustainable yield ikan kerapu

Tingkat upaya pemanfaatan ikan kerapu sampai pada tahun 2010 belum mencapai titik jumlah maksimum. Armada penangkapan ikan demersal khususnya bubu masih dapat ditingkatkan. Hal ini menggambarkan bahwa bubu sebagai alat tangkap perikanan demersal di Sibolga masih memiliki peluang yang cukup besar. Berdasarkan total hasil tangkapan, ikan kerapu di Sibolga masih berada di bawah nilai MSY. Pemanfaatan sumberdaya ikan kerapu secara bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek biologi akan membantu keberlanjutan usaha bubu. 3) Ikan kuwe

Ikan kuwe merupakan ikan yang hidup berasosiasi dengan ekosistem karang dan masih ditemukan pada pengoperasian bubu. Berdasarkan data Dinas Periukanan Sibolga sampai pada tahun 2010, bubu merupakan alat tangkap standar yang dapat digunakan untuk menangkap ikan kuwe dengan total hasil

2006 2007 2008 2009 2010 0 500 1000 1500 0 100 200 Produksi   (ton) Jumlah bubu (unit) Ikan kerapu 

(4)

tangkapan 44,8%, selain itu pukat ikan juga memiliki peran dalam menangkap ikan kuwe, terlihat dari nilai tangkapan sebesar 33,4%. Upaya penangkapan ikan kuwe khususnya pada ukuran ekonomis masih cukup rendah.

Berdasarkan data statistik perikanan Sibolga, nilai upaya penangkapan ikan kuwe menunjukkan effortoptimum sebanyak 59 unit bubu dan catchMSY 787,84

ton/tahun. Gambar 16 menunjukkan grafik MSY untuk pemanfaatan ikan kuwe berdasarkan kurva produksi surplus masih barada pada garis yang belum terindikasi kelebihan tangkap. Berdasarkan data statistik perikanan tahun 2009 sampai tahun 2010 produksi mengalami penurunan disebabkan banyaknya nelayan bubu yang beralih pada alat tangkap lain. Peralihan ini disebabkan tingginya biaya operasional yang dibutuhkan dalam pengoperasian alat tangkap bubu.

Gambar 16 Grafik maximum sustainable yield ikan kuwe

Dalam empat tahun terakhir, hasil penangkapan ikan kuwe masih berada di bawah garis MSY. Tingkat upaya pemanfaatan untuk jenis ikan kuwe juga masih belum mencapai titik maksimum. Bubu bukan merupakan alat tangkap yang paling baik dalam memanfaatkan sumberdaya ikan kuwe di pantai Barat Sumatera. Berdasarkan data statistika perikanan di Sibolga, pukat ikan merupakan alat tangkap standar yang digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan kuwe. Pemanfaatan ikan kuwe pada bubu paling rendah jika dibandingkan dengan ikan target utama untuk ekspor lainnya.

2006 2007 2008 2009 2010 0 300 600 900 0 20 40 60 80 100 120 140 Produksi   (ton) Jumlah bubu (unit) Ikan Kuwe

(5)

5.2 Teknik Pengoperasian Bubu nelayan 5.2.1 Konstruksi bubu nelayan

Bubu nelayan Sibolga memiliki bentuk persegi dengan satu funnel pada bagian sisi. Pada bagian alas bubu nelayan dilengkapi dengan tulang rangka yang terbuat dari rotan dengan diameter 2 cm. Bagian selimut atas bubu ditopang dengan tulang rangka sebanyak 5 ruas dengan diameter 2 cm, agar bubu tetap tegak. Pintu bubu terletak pada bagian alas sebagai lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan. Selimut bubu terbuat dari kawat besi berdiameter 0,2 cm dengan

mesh size 5 cm. Desain bubu nelayan nelayan Sibolga berdasarkan dimensi dan

ukuran penyusunnya dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Desain dan konstruksi bubu kawat nelayan Sibolga

Pembuatan bubu diawali dengan menyelesaikan rangka alas, rangka selimut atas, rangka bagian sisi depan dan belakang. Pembuatan funnel dilakukan secara terpisah karena selimut kawat pada bagian ini dibentuk sedemikian rupa untuk mengatur gerakan ikan saat memasuki bubu. Setiap sudut alas dibuat berbentuk siku dan diikat pada setiap persambungannya. Desain bubu nelayan telah dilakukan sejak awal tahun 1970 sampai saat ini. Desain ini dibawa oleh nelayan asing yang dahulu beroperasi di pantai Barat Sumatera.

Funnel bubu nelayan berbentuk silinder dan memiliki diameter yang

semakin mengkerucut. Diameter bagian depan funnel berukuran 44 cm, bagian tengah 29 cm dan bagian dalam 12 cm. Funnel yang dimiliki bubu nelayan

(6)

merupakan pintu satu-satunya jalan masuk ikan, sehingga bagian dinding dari

funnel dilengkapi dengan kawat berduri yang diarahkan ke bagian dalam bubu.

Pemberian kawat sebagai duri ini bersifat elastis dan searah dengan jalan masuk ikan, tujuannya agar ikan yang telah bergerak masuk diantara bagian funnel tidak mungkin keluar lagi. Desain bubu nelayan berdasarkan tampak muka dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18 Bubu nelayan berdasarkan tampak depan

Tinggi bubu nelayan dari rangka alas adalah 50 cm, sedangkan tinggi bubu dibagian tengah 60 cm. Perubahan tinggi bagian bubu disebabkan rangka rotan pada selimut atas memiliki elevasi sebesar 105o-. Desain seperti ini dirancang agar

selimut kawat lebih elastis dan ruang menjadi lebih besar. Semakin kecilnya ukuran diameter kawat bubu nelayan berpengaruh terhadap umur teknis alat tersebut. Sebelum tahun 2006 kawat selimut bubu nelayan diimpor dari Singapura dan memiliki diameter 0,3 cm, sedangkan saat ini kawat yang digunakan merupakan kawat galvanis yang berasal dari Batam dengan diameter 0,2 cm.

Desain rangka bubu nelayan tampak atas dapat menunjukkan konstruksi

funnel yang dirancang oleh nelayan Sibolga. Funnel tidak hanya dibuat

mengerucut, namun memiliki kemiringan dan berbelok pada bagian ujungnya. Kawat galvanis selimut bubu juga berfungsi dalam memperkokoh konstruksi bubu nelayan. Kawat selimut dirancang oleh nelayan menjadi 4 bagian. Bagian pertama digunakan untuk menutup rangka bubu dari bagian sisi samping menuju sisi lainnya. Bagian kedua digunakan untuk menutup bagian sisi depan sampai sisi belakang. Bagian ketiga untuk menutup sisi alas yang memiliki pintu untuk

(7)

mengeluarkan hasil tangkapan. Bagian keempat digunakan sebagai kawat funnel. Kerangka bubu nelayan tampak atas dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19 Desain bubu nelayan tampak atas

Teknologi pembuatan bubu besi ini sudah dilakukan oleh beberapa negara di dunia khususnya Amerika Serikat dan Jepang. Bubu didesain untuk memikat ikan masuk ke dalam dan mempersulit ikan untuk keluar kembali. Jika melihat bubu nelayan milik nelayan Sibolga, konstruksi dasar yang dimiliki hampir menyerupai bubu yang telah dikembangkan oleh nelayan Amerika Serikat pada awal tahun 1960 sampai 1970.

(8)

Konstruksi bubu yang didesain masyarakat nelayan Amerika dipublikasikan oleh Rose (1998). Desain konstukrsi bubu yang digunakan oleh nelayan di Amerika Serikat pada tahun 1970 dapat dilihat pada Gambar 20. Menurut Cann (1990) bubu untuk penangkapan ikan demersal banyak menggunakan selimut berbahan kawat karena harus memperhatikan profitabilitas dari pengembangan dan umur teknis alat.

5.2.2 Daerah penangkapan ikan

Nelayan Sibolga di pantai Barat Sumatera memiliki daerah pengoperasian bubu yang cukup luas, dimulai dari perairan Aceh sampai pada perairan Sumatera Barat. Ada 4 daerah penangkapan ikan yang digunakan nelayan Sibolga dalam mengoperasikan bubu. Daerah pengoperasian ini memiliki karakteristik dan kondisi lingkungan yang berbeda.

Pulau Mursala merupakan daerah kepulauan yang paling dekat dengan Sibolga. Perairan ini terletak pada sekitar 98o25''30’ Bujur Timur dan 01o47''25’ Lintang Utara (Gambar 21). Berdasarkan karakteristik perairannya, Pulau Mursala merupakan daerah perairan yang memiliki kedalaman 48 sampai 54 meter. Topografi perairan ini pada umumnya berkarang dengan substrat lumpur. Berdasarkan peta batimetri LANAL Sibolga penutupan karang paling tinggi di Pulau Mursala sekitar 5 meter.

(9)

Dilihat dari posisi perairan Pulau Mursala, bubu nelayan Sibolga banyak ditempatkan pada perairan yang mengarah ke Pulau Sumatera (main land). Penempatan bubu seperti ini memudahkan nelayan dalam proses pencariannya. Pulau mursala merupakan daerah yang memiliki penduduk cukup banyak, sehingga nelayan bubu menempatkan alat sedikit lebih jauh dari pantai. Penempatan titik pengoperasian bubu di perairan Pulau Mursala dilakukan pada 9 titik. Pengamatan pergeseran titik penempatan bubu menjadi salah satu aspek yang dikaji dalam stabilitas bubu di dasar perairan (Lampiran 4).

Penutupan karang pada perairan Pulau Mursala cukup banyak, hal ini dapat mempengaruhi pola pergerakan arus di dasar perairan. Berdasarkan sifatnya terhadap bentuk dasar perairan, arus akan lebih kuat jika melewati dasar perairan yang lebih landai. Penempatan bubu pada sela-sela karang akan membantu mengurangi gerak bubu. Pergeseran titik penjatuhan bubu nelayan dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Mursala

Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m)

1 10 18 20 2 61 4 61 3 26 80 84 4 7 10 12 5 17 3 17 6 56 99 114 7 60 22 64 8 49 48 69 9 94 55 108 Rata-rata 61.20

Pulau Pini merupakan daerah perairan yang termasuk pada daerah administratif Nias Selatan. Perairan Pulau Pini memiliki karakteristik dengan kedalaman 54 sampai 63 meter, topografi yang berkarang dan memiliki substrat perairan yang berlumpur. Penutupan karang berdasarkan peta batimetri milik LANAL Sibolga, yang paling tinggi sekitar 8 meter. Daerah pengoperasian bubu di perairan Pulau Pini dapat dilihat pada Gambar 22.

(10)

Gambar 22 Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Pini Pola pergeseran bubu nelayan di perairan Pulau Pini dapat menggambarkan karakteristik daerah penangkapan ikan di daerah tersebut. Pergeseran bubu nelayan yang terjadi di Pulau Pini tergolong sangat variatif yaitu dari 32 meter sampai 207 meter. Penyebaran bubu yang cukup berjauhan memberikan dampak terhadap pola pergeseran titik setting bubu di perairan Pulau Pini. Secara umum pergeseran titik bubu dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Pini

Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m)

1 5 46 46 2 11 30 32 3 56 46 72 4 62 33 70 5 157 58 168 6 5 164 164 7 14 56 57 8 132 160 207 9 43 55 70 Rata-rata 98.46

(11)

Hasil perhitungan rata-rata pergeseran bubu di perairan Pulau Pini adalah 98,46 meter. Kecepatan arus pada perairan ini selama melakukan pengoperasian diperoleh sebesar 1,1 m/s sampai pada 2,1 m/s. Pola pergerakan arus yang paling tinggi diperoleh saat angin musim barat sedang berlangsung.

Pulau Nias merupakan daerah pengoperasian bubu yang paling dekat pada laut lepas. Perairan ini memiliki karakteristik perairan dengan kedalaman 38 sampai 70 meter. Topografi perairan pada umumnya berkarang dengan substrat lumpur. Penutupan karang yang paling tinggi di daerah perairan Pulau Mursala sekitar 5 meter. Peletakan bubu nelayan pada daerah perairan ini dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23 Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Nias Pergerakan arus pada perairan Pulau Nias relatif lebih besar jika dibandingkan dengan Pulau Mursala dan Pini. Kecepatan arus saat proses penjatuhan bubu yang diperoleh pada perairan Pulau Nias adalah 1,6 m/s sampai 2,2 m/s. Daerah perairan Nias merupakan wilayah yang memiliki ekosistem terumbu karang paling luas dan masih dikategorikan dalam kondisi yang baik. Berdasarkan hasil pemetaan batimetri perairan Nias, ketinggian karang pada perairan ini sangat bervariasi seperti yang dimiliki Pulau Pini. Masyarakat banyak menempatkan bubu pada perairan terbuka karena kondisi terumbu karang yang lebih baik dibandingkan dengan perairan bagian timur Nias.

(12)

Secara umum pola pergeseran arus telah menyebabkan pergeseran bubu nelayan yang dioperasikan di Pulau Nias. Pergeseran titik pengoperasian bubu sangat bervarasi, yaitu dari 42,67 meter sampai pada 163,51 meter. Berdasarkan nilai rata-ratanya, pergeseran bubu di perairan Pulau Nias diperoleh sebesar 138,89 meter. Pergeseran jarak bubu pada perairan Nias secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Nias

Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m)

1 150 46 157 2 24 36 43 3 8 108 108 4 50 354 358 5 9 98 98 6 52 97 110 7 94 47 105 8 103 30 107 9 149 67 164 Rata-rata 138.89

Penempatan bubu nelayan sebagian bessar dilakukan di perairan barat Nias menyebabkan pergeseran yang lebih besar baik saat musim timur maupun musim barat. Perbandingan yang dilakukan dengan peta 135, menunjukkan perairan timur Nias juga memiliki ekosistem terumbu karang yang cukup baik. Nelayan tidak menempatkan bubu pada bagian timun pulau Nias didasarkan karena tingginuya aktivitas penangkapan dan banyaknya nelayan yang berdomisili di sekitar pantai. Hal ini dapat dicegah dengan menempatkan bubu pada perairan yang sedikit lebih jauh dari garis pantai.

Perairan Pulau Karang adalah perairan yang paling dekat dengan Pulau Sumatera. Perairan Pulau Karang merupakan perairan terbuka yang memiliki substrat pasir berlumpur. Topografi perairan ini berkarang dengan kedalaman tergolong dangkal dengan kisaran 21 sampai 39 meter. Penutupan karang yang paling tinggi di perairan Pulau Karang sekitar 6 meter. Posisi peletakan bubu nelayan pada perairan Pulau Karang dapat dilihat pada Gambar 24.

(13)

Perairan Pulau Krang yang sangat terbuka tidak dihalangi oleh pulau lain yang berukuran lebih besar. Kondisi Pulau karang yang sangat kecil menyebabkan arus pada daerah perairannya sangat dipengaruhi oleh pasang surut, angin, turbulensi dan proses termoklin. Gerakan air pada perairan Pulau Karang dapat bersifat vertikal maupun horizontal karena perairannya tergolong dangkal.

Gambar 24 Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Karang Paparan benua yang langsung berhadapan dengan perairan Pulau Karang menyebabkan pembentukan substrat pada perairan ini cenderung lumpur berpasir. Hal ini dapat dilihat dari titik penjatuhan bubu yang digunakan oleh nelayan Sibolga (Gambar 24). Perairan ini memiliki ekosistem karang yang cenderung tumbuh dengan baik karena selain dangkal kondisi air pada bersih. Ekosistem seperti ini membuat wilayah perairan karang cukup subur sebagai habitat ikan demersal. Penempatan bubu pada daerah ini sangat potensial mengingat keberadaan ekosistem karang sebagai tempat berkembangbiaknya ikan.

Kecepatan arus rata-rata pada saat kondisi normal adalah 1,6 m/s sampai 2,2 m/s. Kecepatan arus yang cukup tinggi telah menyebabkan pergeseran bubu di daerah pengoperasian Pulau Karang. Pada beberapa titik penempatan bubu nelayan di Pulau Karang, sering terjadi ghost fishing. Hasil perhitungan jarak antara penjatuhan dan pengangkatan bubu di Pulau Karang menunjukkan nilai yang paling besar di antara perairan lain. Sebaran data titik pergeseran bubu pada perairan Pulau Karang disajikan pada Tabel 17.

(14)

Tabel 17 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Karang

Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m)

1 134 54 145 2 359 119 378 3 8 130 130 4 72 81 108 5 55 86 102 6 247 368 443 7 205 98 228 8 25 47 53 9 43 165 171 Rata-rata 195.25

Secara umum bubu nelayan nelayan pantai Barat Sumatera dioperasikan pada karang yang tergolong pada terumbu karang pantai. Ekosistem karang ini banyak ditemukan pada sekitar garis pantai pulau-pulau kecil dengan kedalaman perairan tidak lebih dari 70 meter. Berdasarkan data batimetri milik Pangkalan Angkatan Laut Sibolga, tinggi karang yang berada pada sekitar paparan benua Samudera Hindia berkisar 5 sampai 11 meter.

Penentuan fishing ground oleh nelayan bubu Sibolga didasarkan pada beberapa karakteristik dasar perairan. Adapun kriteria pemilihan lokasi daerah pengoperasian bubu antara lain: terdapatnya gugus karang di sekitar lokasi penjatuhan bubu; memiliki jarak lebih dari 1 mil dari garis pantai atau pulau terdekat yang berpenduduk; dan kedalaman perairan berkisar antara 15 sampai 70 meter.

Tingginya potensi sumberdaya ikan demersal di pantai Barat Sumatera harus disesuaikan dengan pengoperasian bubu yang efektif. Berdasarkan pengamatan, pergeseran bubu nelayan pada daerah pengoperasian di empat wilayah perairan menunjukkan perbedaan. Pulau Karang merupakan daerah penangkapan ikan yang mengalami ghost fishing. Pergeseran titik pada daerah pengoperasian bubu yang berbeda, dapat dijadikan nelayan sebagai informasi dalam menempatkan bubu. Hasil penelitian menunjukkan pergeseran titik

(15)

pengoperasian bubu berdasarkan daerah perairan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 25.

Pergeseran bubu nelayan pada Pulau Karang memiliki rata-rata 195,25 meter, nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan pergeseran bubu pada ketiga daerah pengoperasian lainnya. Pulau Mursala memiliki pergeseran yang relatif paling kecil yaitu sebesar 61,20 meter. Hasil pergeseran titik operasi bubu nelayan menyertakan karakteristik daerah penempatan bubu. Posisi peletakan bubu yang lebih cenderung terbuka pada umumnya menyebabkan pergeseran yang lebih besar dibandingkan dengan karakteristik perairan yang lebih tertutup. Penempatan bubu pada Pulau Karang berada pada posisi yang menghadap laut lepas. Bubu nelayan yang ditempatkan pada Pulau Mursala berada pada bagian selatan pulau tersebut.

Gambar 25 Grafik rata-rata dan standar error pergeseran titik operasi bubu pada daerah pengoperasian yang berbeda

5.2.3 Operasi penangkapan ikan dengan bubu nelayan

Berdasarkan hasil survei terhadap nelayan bubu, pemilihan konstruksi bubu nelayan dan metode pengoperasian merupakan ilmu yang diperoleh nelayan secara turun temurun (intuisi). Nelayan tidak dapat memberikan alasan yang pasti terhadap pemilihan metode pengoperasian bubu nelayan saat ini. Beberapa faktor yang diidentifikasi pada percobaan bubu nelayan disajikan pada Tabel 18.

61.20 98.46 138.89 195.25 0 50 100 150 200 250

Pulau Mursala Pulau Pini Pulau Nias Pulau Karang

Rata rata   Pergeseran   Posisi   Bubu   Konvensional   (m) Daerah Penangkapan Ikan

(16)

Tabel 18 Faktor pengoperasian bubu nelayan Sibolga

No Faktor pengoperasian Penelaahan

Sudah Belum

1 Waktu penjatuhan bubu √

2 Teknik penjatuhan bubu √

3 Gerak jatuh bubu √

4 Posisi peletakan bubu di dasar perairan √

5 Lama perendaman √

Sumber: Hasil wawancara nelayan bubu, 2011

Hasil observasi yang dilakukan terhadap nelayan bubu Sibolga menggambarkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi metode pengoperasian bubu nelayan. Faktor tersebut anatara lain: 1) jarak lokasi penjatuhan bubu dari aktivitas nelayan lain; 2) hasil tangkapan dari pengoperasian sebelumnya; 3) Proses menemukan bubu yang telah dijatuhkan.

Pada prinsipnya pengoperasian bubu kawat nelayan dilakukan pada dasar perairan khususnya daerah yang memiliki karang pantai (fringing reef). Terumbu karang pantai tumbuh dan berkembang tidak jauh dari pulau yang terletak disepanjang pantai Barat Sumatera. Jenis terumbu karang pantai yang digunakan nelayan sebagai tempat peletakan bubu adalah reef flat yaitu karang yang memiliki permukaan mendatar (Froelich, 2002). Pengoperasian bubu oleh nelayan dibagi menjadi empat tahap yaitu pra setting, setting, towing dan hauling

(Hermawan, 2007).

Sebelum masuk ke tahap pertama yaitu persiapan alat tangkap, biasanya bubu yang sudah selesai dirakit dan dicat, direndam terlebih dahulu sebelum dioperasikan. Waktu perendaman ini 4 sampai 6 hari atau dilihat dengan ciri terdapatnya biota dan lumut yang melekat pada kawat bubu. Hal ini bertujuan untuk menghindari bau polymer cat yang melekat pada kawat bubu pada saat dioperasikan pertama sekali.

Setting, kegiatan ini meliputi persiapan bubu yang sudah ditempatkan pada

sisi kapal dan juga tali ris (main line) yang akan menghubungkan kedua bubu yang dijatuhkan ke dalam air. Setelah tiba di daerah fishing ground, kecepatan kapal motor dikurangi agar juru kemudi (tekong) bisa dengan mudah melihat topografi dasar perairan pada monitor. Setelah menentukan fishing ground yang

(17)

tepat maka juru kemudi memberikan perintah kepada anak buah kapal (ABK) untuk menjatuhkan bubu.

1) Penjatuhan bubu nelayan

Waktu penjatuhan bubu nelayan belum menjadi acuan yang konsisten dilakukan oleh nelayan. Nelayan dapat menjatuhkan bubu saat pagi, siang, sore dan bahkan malam hari. Hal tersebut dilakukan secara bersamaan dengan proses pencarian bubu. Jumlah bubu nelayan yang dapat dijatuhkan oleh nelayan dalam satu hari rata-rata 10 bubu, dengan jumlah maksimal 12 bubu dan minimal 5 bubu. Penjatuhan bubu dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama menempatkan bubu pada lokasi yang sama dengan lokasi saat diangkat, dilakukan bila jumlah hasil tangkapan sesuai. Pendekatan kedua dengan mencari lokasi baru, penjatuhan bubu dilakukan sesuai kriteria ekosistem yang mereka tentukan. Berdasarkan hasil wawancara, penjatuhan satu unit bubu membutuhkan waktu sekitar 1 sampai 3 menit.

Pemetaan dasar sebelum penjatuhan bubu nelayan dianalisis berdasarkan

conventional depth acoustic yang dimiliki nelayan. Hasil wawancara terhadap

nelayan, bubu yang ditempatkan pada karang yang topografinya landai cenderung mengalami pergeseran sampai pada tahap hilang. Diantara empat lokasi penjatuhan bubu yang ditentukan pada penelitian ini, Pulau Karang merupakan tempat peletakan bubu nelayan mengalami ghost fishing terbesar. Berdasarkan pengalaman nelayan bubu Sibolga menunjukkan bahwa dari 30 unit bubu yang dijatuhkan di perairan Pulau Karang akan hilang sekitar 2 sampai 3 pasang bubu.

Penjatuhan bubu dimulai saat kapal telah menemukan titik koordinat yang sesuai dengan bentuk topografi yang diinginkan nelayan. Kecepatan kapal akan diperlambat, kemudian salah satu bubu ditempatkan pada bagian sisi badan kapal untuk dijatuhkan. Sebelum bubu pertama dijatuhkan, tekong kapal akan melihat tanda-tanda di sekitar perairan. Pada umumnya tanda yang digunakan oleh juru mudi kapal adalah pulau kecil yang ada di sekitar daerah penjatuhan bubu. Tujuan pengamatan lingkungan di sekitar penjatuhan agar arah pencarian bubu saat

hauling dapat disesuaikan dengan penjatuhan bubu. Juru mudi akan menggunakan

(18)

Bubu nelayan yang dijatuhkan nelayan Sibolga menggunakan sistem rawai. Bubu ini menggunakan tali ris sebagai penghubung antara bubu pertama terhadap bubu yang lain. Tali ris yang digunakan memiliki panjang 24 meter dengan jarak penjatuhan setiap pasangan bubu sejauh 15 meter. Proses penjatuhan bubu diawali dengan pembersihan selimut kawat bubu, dilanjutkan dengan mengikatkan tali ris dan tali terajut. Beberapa kali pengoperasian, nelayan memberikan pemberat pada bagian dasar bubu dengan menggunakan batu karang yang telah diambil dari laut. Proses penjatuhan pasangan bubu berikutnya dimulai dengan menggerakkan kapal sesuai dengan arah topografi yang diinginkan juru mudi kapal. Biasanya penjatuhan pasangan bubu berikutnya kurang lebih 15 meter dari penjatuhan bubu pertama. Proses penjatuhan bubu dengan menggunakan tali ris penghubung akan mempermudah nelayan mencari bubu. Tali ris merupakan alat bantu yang akan disentuh oleh gancu saat proses penarikan, sehingga tali ris yang posisinya tidak mengkerut memastikan bubu berpeluang besar dapat ditemukan.

Proses penjatuhan bubu sangat mempengaruhi hasil tangkapan. Saat pengoperasian, nelayan akan menjatuhkan bubu sebagai sebuah tim karena mereka harus melakukan koordinasi. ABK akan mengikuti kode yang diberikan nahkoda kapal (tekong) sesaat setelah menemukan titik koordinat yang tepat. Proses penjatuhan bubu dilakukan pada bagian sisi sebelah kanan kapal nelayan. Bagan proses penjatuhan bubu kawat dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26 Diagram alir proses penjatuhan bubu nelayan Penentuan DPI

Kriteria:

1) Kedalaman > 30 meter 2) Topografi berkarang

3) Jauh dari garis pantai (>1 mil) 4) Memiliki substrat berlumpur

Kapal di perlambat dengan kecepatan <4 knot

Bubu 1 diletakkan di sisi kanan kapal

Mengikatkan tali ranjut sepanjang 3,5 m dan menghubungkan tali ris pada bubu lain

Kapal bergerak ke utara sejauh 10-15 m dan bubu kedua di jatuhkan

(19)

Bubu dijatuhkan tidak secara bersamaan agar tali ris (main line) dapat tetap renggang. Sebelum proses penjatuhan bubu, terlebih dahulu dilakukan pengukuran terhadap seluruh komponen penyusun bubu. Saat penjatuhan, kapal akan bergerak lambat (< 1 knot) dan tekong akan memperhatikan arah gerak haluan kapal. Perhatian kepada arah gerak kapal agar proses pencarian bubu lebih mudah, kapal akan bergerak ke arah yang berlawanan dengan saat penjatuhan.

Setelah menemukan fishing ground yang tepat, maka kapal akan berjangkar dan menyimpan titik koordinat dari posisi kapal. Ada beberapa kriteria penempatan bubu saat dijatuhkan ke dalam air yaitu: kedalaman air, bentuk dasar perairan, kondisi terumbu karang dan arus. Beberapa faktor lain adalah perairan yang jarang dikunjungi oleh nelayan bubu lain, untuk menghindari pencurian.

Penggunaan krieria yang konsisten dalam pengoperasian bubu diperoleh dari pengalaman nelayan Sibolga. Parameter perairan yang sering digunakan menjadi hasil pengamatan dalam penelitian pengoperasian bubu nelayan. Hasil identifikasi kriteria perairan saat penjatuhan bubu nelayan dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Kriteria perairan saat penjatuhan bubu nelayan

No Kriteria Nilai Parameter

Minimum Maksimum

1 Kedalaman air 30 meter 70 meter

2 Kecepatan arus 0,8 m/s 2,4 m/s

3 Sapuan tinggi karang 3 meter 8 meter

4 Substrat pasir berlumpur Lumpur

Kedalaman perairan menjadi salah satu faktor penting saat penjatuhan bubu. Nelayan Sibolga pada umumnya menjatuhkan bubu pada kedalaman di atas 30 meter untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih besar, sekaligus menghindari pengambilan bubu oleh nelayan atau alat tangkap lain. Dalamnya perairan sering mengakibatkan bubu yang dijatuhkan bergeser dari titik setting yang telah disimpan dalam alat akustik yang mereka miliki. Pada kedalaman 70 meter matahari sulit menembus kolom perairan, hal ini mempengaruhi para penyelam swallow tidak beroperasi pada kedalaman tersebut. Bagi nelayan bubu, pencurian hasil tangkapan oleh penyelam juga sering terjadi disekitar periaran yang dangkal.

(20)

Bentuk topografi dasar perairan adalah salah satu parameter utama yang digunakan oleh nelayan saat menjatuhkan bubu. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan mengikuti kebiasaan nelayan, bentuk topografi yang memiliki karang menjulang dan warna permukaan garis pada echosounder terlihat merah adalah pilihan yang paling tepat menjatuhkan bubu. Hal ini didasarkan pada pengalaman nelayan yang menyimpulkan bahwa pewarnaan merah pada layar menunjukkan dasar perairan yang sangat sesuai untuk peletakan bubu.

Arus permukaan saat penjatuhan bubu dapat diketahui pada daerah fishing

ground. Data kecepatan arus diambil pada posisi 98030'3170'' BT dan 1033''1172'''

LU pada lokasi yang menjadi stasiun tempat penjatuhan bubu (Lampiran 3). Kecepatan arus yang diperoleh berkisar antara 0,8 m/s sampai dengan 2,4 m/s. Kecepatan arus permukaan semakin besar saat daerah pengoperasian menuju laut terbuka yaitu Samudera Hindia. Hasil wawancara pada nelayan bubu mengungkapkan bahwa variabel arus bukan menjadi faktor utama yang diperhatikan saat menjatuhkan bubu. Nelayan bubu melakukan penjatuhan atau

setting saat gelombang pada permukaan laut kecil dan akan bersandar pada

pulau-pulau di sekitar pantai Barat Sumatera saat gelombang besar. 2) Pencarian bubu nelayan

Waktu yang dibutuhkan oleh nelayan untuk menemukan bubu nelayan di pantai Barat Sumatera berkisar antara 20 menit sampai pada 90 menit untuk satu pasang bubu. Lamanya kisaran waktu pencarian bubu sangat bervariasi dan tergantung pada daerah pengoperasian bubu. Berdasarkan stasiun percobaan, waktu pencarian bubu nelayan dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Waktu pencarian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera

No Daerah Pengoperasian Waktu

Minimum Maksimum

1 Pulau Mursala 27 55

2 Pulau Pini 20 60

3 Pulau Nias 35 84

4 Pulau Karang 54 120

Perhitungan waktu pencarian bubu dilakukan saat memulai pengangkatan. Pengangkatan dilakukan setelah gancu menyentuh tali ris (main line) pasangan

(21)

bubu. Tal ris tersebut telah ditambatkan pada tali terajut di bawah funnel bubu. Tali terajut (branch line) bubu memiliki ukuran panjang 3,5 meter dan pada bagian tengah dibuat untaian tempat menambatkan tali ris. Hasil analisis data waktu pencarian bubu nelayan berdasarkan empat daerah perairan pengoperasian menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan.

Waktu pencarian bubu nelayan tentunya dilihat dari pergeseran yang dialami oleh alat tangkap itu sendiri. Hasil wawancara nelayan menyatakan bahwa pergeseran bubu yang cukup jauh menyebabkan bubu tidak dapat ditemukan kembali saat pencarian. Waktu pencarian pada suatu daerah pengoperasian akan dihentikan jika telah melebihi 2 jam.

Bubu nelayan di perairan Pulau Pini memiliki waktu minimum tercepat untuk ditemukan, sedangkan waktu maksimum untuk menemukan bubu terletak di perairan Pulau Karang. Pulau Mursala sebagai wilayah perairan yang paling dekat ke Sibolga memiliki waktu rata-rata pencarian bubu sebesar 38,3 menit. Rata-rata waktu pencarian bubu tercepat adalah di Pulau Pini sedangkan waktu rata-rata terlama pencarian bubu adalah di Pulau Karang. Pencarian bubu di Pulau Karang membutuhkan waktu rata-rata 79,3 menit.

Pencarian titik pengangkatan bubu nelayan sangat ditentukan dengan bentuk topografi yang terlihat pada layar echosounder. Tekong akan mengingat kembali ciri-ciri topografi perairan saat penyimpanan titik koordinat setting. Bubu kawat yang dimiliki nelayan Sibolga pada umumnya memperhatikan posisi dan kondisi perairan yang disekitarnya. Salah satu kriteria yang paling diperhatikan oleh nelayan adalah bagaimana bubu tidak mudah ditemukan oleh nelayan lain karena perendaman bubu di pantai Barat Sumatera cukup lama.

Hasil perhitungan waktu pencarian bubu nelayan, nelayan Sibolga hanya mampu mencari 5 sampai 10 unit bubu dalam satu hari. Secara teknis, sistem kerja pengoperasian bubu nelayan dapat dikategorikan tidak efisien karena penggunaan waktu yang lebih lama akan meningkatkan biaya operasional. Bubu nelayan yang tidak ditemukan dalam waktu lebih dari 2 jam akan dianggap hilang dan pencarian tidak dilanjutkan lagi. Pengalaman ini sangat sering terjadi khususnya pada perairan Pulau Karang dan Nias Selatan. Waktu rata-rata pencarian bubu nelayan dapat dilihat pada Gambar 27.

(22)

Gambar 27 Waktu rata-rata pencarian bubu nelayan

Dengan melihat hasil perhitungan waktu rata-rata pencarian bubu nelayan, dapat diperkirakan ada beberapa faktor alam yang mempengaruhi waktu pencarian bubu. Adapun faktor tersebut antara lain:

1) Kedalaman perairan, pengoperasian bubu di laut yang semakin dalam akan mempersulit daya gerak gancu dalam menemukan tali ris. Disamping sulitnya menemukan tali ris, gerakan arus di dasar perairan sering mempersulit tekong dalam membedakan gancu yang telah terkait dengan arus dasar yang kuat.

2) Posisi perairan terhadap samudera, perairan yang terbuka merupakan perairan yang memiliki arus dasar lebih kuat, sehingga bubu akan bergeser mengikuti arah gerak arus.

3) Topografi dasar perairan, jenis substrat yang disenangi oleh ikan target merupakan jenis substrat berlumpur. Penempatan bubu di sekitar karang akan membantu menahan gerak bubu saat dibawa oleh arus.

5.2.4 Dampak pengoperasian bubu nelayan

Hasil pengamatan pengoperasian bubu nelayan terlihat saat bubu telah berhasil ditarik dari dasar perairan. Pada umumnya bubu nelayan yang tersangkut pada karang akan terlihat dari rusaknya selimut bubu dan ditemukannya beberapa bunga karang yang terkait pada bubu. Disamping kerusakan yang ditimbulkan terhadap ekosistem, bubu yang tersangkut pada karang menyebabkan kerugian

38.3 47,7 56,2 79.3 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 Pulau  Mursala

Pulau Pini Pulau Nias Pulau Karang

Waktu   rata rata   (menit) Daerah Pengoperasian Bubu nelayan

(23)

pada nelayan karena alat tersebut tidak dapat digunakan kembali dan ikan yang tertangkap sebagian ada yang lepas.

Kerusakan yang terjadi pada ekosistem karang di pantai Barat Sumatera khususnya daerah Kepulauan Nias, Pini, Mursala dan Pulau Karang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia dan bukan hanya bubu. Hasil observasi dan melalui wawancara menyimpulkan ada beberapa faktor penyebab kerusakan ekosisitem terumbu karang akibat pengoperasian bubu, faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21 Dampak pengoperasian bubu terhadap kerusakan karang No Jenis kerusakan Faktor penyebab

1 Patahan bunga karang Terkait pada selimut alas bubu atau tali ris saat pengoperasian

2 Terangkatnya terumbu dari dasar perairan

Ikut bersama bubu saat proses penarikan

3 Polusi dan pencemaran Ghost fishing

4 Menurunnya sumberdaya ikan demersal

Ghost fishing dan upaya

penangkapan yang berlebihan

5 Pecahnya terumbu karang Penggunaan alat bantu saat pencarian bubu

5.3 Kinerja Teknis Bubu Modifikasi

Untuk mencapai pengembangan kegiatan usaha perikanan demersal di pantai Barat Sumatera, perbaikan terhadap bubu nelayan dari aspek teknis dan metode pengoperasian adalah solusi yang ditawarkan dari penelitian ini. Kinerja teknis bubu dimulai dengan mengukur massa penyusun bubu dan mengamati stabilitas gerak bubu modifikasi saat mendarat di dalam air. Pergeseran bubu saat masa perendaman merupakan salah satu penentu keberhasilan ditemukannya bubu kembali. Hasil perbaikan bubu nelayan diamati dari tingkat produktivitas hasil tangkapan yang dapat diperoleh oleh bubu modifikasi.

5.3.1 Stabilitas gerak bubu modifikasi

Hasil perhitungan kecepatan gerak bubu modifikasi saat menyentuh dasar perairan pada kondisi arus normal adalah 0,34 m/dtk sedangkan bubu nelayan sebesar 0,22 m/dtk (Lampiran 4). Bubu yang diberikan pemberat cenderung bergerak secara vertikal dan tidak mengalami pergeseran yang signifikan dari titik

(24)

awal penjatuhan di atas kapal. Diameter rotan yang digunakan pada rangka bubu termodifikasi dibuat lebih kecil yaitu 0,2 cm dengan tujuan keseimbangan gerak bubu ditekankan pada bagian dasar yang telah diberi pemberat.

Hasil analisis regresi hubungan waktu penjatuhan bubu modifikasi menuju dasar perairan dengan kedalaman air dapat dilihat pada Gambar 28.

Gambar 28 Analisis hubungan waktu penjatuhan bubu modifikasi dengan kedalaman perairan

Untuk membantu nelayan agar bubu tidak jatuh terlalu jauh dari titik awal, percobaan ini melakukan pengukuran waktu yang diperlukan bubu sampai pada dasar perairan. Analisis regresi yang dilakukan menunjukkan nilai determinasi sebesar 97,31% dengan nilai korelasi 6,7110. Dengan adanya analisa gerak bubu saat penjatuhan maka nelayan dapat memperkirakan berapa lama bubu akan sampai di dasar perairan sehingga tidak terlalu jauh terbawa arus.

Jika kecepatan jatuh bubu dihubungkan dengan kecepatan arus di dasar perairan, maka semakin cepat bubu menyentuh dasar perairan akan membantu nelayan menemukan kembali bubu saat hauling. Bubu yang dioperasikan nelayan berada pada kisaran kedalaman 30 sampai 70 meter, pada analisis regresi maka waktu yang dibutuhkan bubu untuk menyentuh dasar perairan pada gerakan arus normal adalah sebesar 204,23 detik atau sekitar 3,4 menit.

y = 2.631x + 3.730 R² = 0.977 0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 5 10 15 20 25 30 Waktu   (detik) Kedalaman (m)

(25)

Gerak jatuh bubu nelayan yang digunakan sebagai perbandingan stabilitas gerak bubu modifikasi menunjukkan nilai kecepatan rata-rata 0,22 m/s. Nilai ini lebih redah dibandingkan dengan bubu modifikasi. Sebaran waktu penjatuhan bubu nelayan pada kedalaman tertentu dapat dilihat pada Gambar 29.

Gambar 29 Analisis hubungan waktu penjatuhan bubu nelayan dengan kedalaman perairan

Hasil analisis regresi dari dua jenis bubu memiliki persamaan dalam nilai korelasi dan determinasi. Kedua variabel tersebut sama-sama menunjukkan bahwa kedlaman perairan sangat berpengaruh nyata terhadap waktu yang dibutuhkan bubu menuju dasar perairan. Nilai determinasi pada bubu nelayan 98.60% sedangkan bubu modifikasi 98,67%. Nilai ini menujukkan bahwa pemberian pemberat pada bubu modifikasi tidak berpengaruh nyata terhadap pola arus tetapi memberikan pengaruh terhadap kecepatan jatuh bubu secara vertikal.

Untuk menjaga posisi bubu agar bukaan mulut bubu tidak mengarah ke dasar laut, maka pada bagian atas selimut bubu modifikasi diberikan pelampung. Pemberian pelampung menjaga proses gerakan bubu dalam air tetap sama seperti saat dijatuhkan dari atas kapal. Perhatian nelayan pada teknis penjatuhan bubu di pantai Barat Sumatera selama ini hanya difokuskan pada penentuan fishing

ground saja, sementara hilangnya bubu yang selama ini mereka jatuhkan dianggap

sebagai proses alamiah akibat arus semata. Hasil pengamatan gerak bubu y = 5.084x ‐4.488 R² = 0.986 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00 0 5 10 15 20 25 30 Waktu   (detik) Kedalaman (m)

(26)

modifikasi telah membuktikan bahwa penjatuhan bubu pada keempat stasiun secara keseluruhan dapat ditemukan kembali.

5.3.2 Operasi penangkapan ikan dengan bubu modifikasi

Pengoperasian bubu modifikasi secara umum memiliki prosedur penjatuhan dan pencarian yang hampir sama dengan bubu modifikasi. Perbedaan pengoperasian bubu modifikasi terletak pada perlengkapan bubu dan tali ris (main line) saat penjatuhan bubu.

1) Penjatuhan bubu modifikasi

Evaluasi peningkatan kerja bubu modifikasi saat proses penjatuhan diukur dari gerak bubu saat dijatuhkan. Variabel lain yang diukur adalah bagaimana arus mempengaruhi kedudukan bubu di dasar perairan. Secara umum dari keempat wilayah pengoperasian bubu, titik peletakan bubu modifikasi tidak jauh dari pengambilan titik bubu nelayan (Lampiran 5).

Hasil pengamatan titik koordinat penjatuhan bubu pada Pulau Mursala sebagian besar tetap berada pada koordinat saat dijatuhkan. Karakteristik perairan yang tertutup dari laut terbuka, menjadikan perairan lokasi penjatuhan bubu relatif stabil dari arus. Titik koordinat penjatuhan bubu dan pergeseran kedudukan bubu berdasarkan daerah pengoperasian dapat dilihat pada Tabel 22 sampai Tabel 25. Tabel 22 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di

Pulau Mursala

Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m)

1 5 4 6 2 2 5 5 3 2 5 5 4 2 10 10 5 7 3 7 6 6 4 7 7 4 8 9 8 6 8 10 9 6 1 6 Rata-rata 7,25

(27)

Pergeseran bubu pada perairan Pulau Mursala sudah lebih rendah dibandingkan dengan bubu nelayan. Bubu yang ditempatkan pada bagia selatan Pulau Mursala lebih terlindung dari gerak arus akibat pasang surut dan angin yang ditimbulkan oleh perbedaan suhu permukaan laut. Nilai pergeseran rata-rata bubu modifikasi di Pulau Mursala adalah 7,25 meter. Pola pergeseran seperti ini semakin memudahkan nelayan dalam menemukan kembali bubu yang telah dijatuhkan.

Karakteristik perairan Pulau Pini seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan perairan yang memiliki ekosistem karang yang masih baik. Pola penyebaran karang yang tinggi menyebabkan perairan ini memiliki topografi curam. Pengambilan titik koordinat pengoperasian bubu di Pulau Pini dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Pini

Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m)

1 10 5 11 2 7 6 9 3 3 10 11 4 8 5 9 5 5 7 8 6 7 8 11 7 2 6 7 8 6 9 10 9 11 3 12 Rata-rata 9,77

Nilai pergeseran bubu modifikasi setelah dijatuhkan pada perairan Pulau Pini terjauh adalah 12 meter, sedangkan pergeseran terdekat adalah 7 meter. Jarak rata- rata pergeseran bubu di Pulau Pini adalah 9,77 meter, nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan Pulau Mursala. Pergerakan arus di perairan Pulau Pini dapat disebabkan oleh gerakam massa air dari pasang surut, angin dan upwelling. Hal ini dapat terjadi karena perairan Pini lebih mendekati Samudera Hindia dibandingkan Mursala.

(28)

Hasil perekaman titik koordinat dari peletakan bubu modifikasi di Perairan Pulau Nias menunjukkan pergeseran yang tidak terlalu jauh. Dampak dari pergeseran yang relatif dekat ini, telah memudahkan proses pencarian bubu pada perairan Pulau Nias. Data koordinat peletakan bubu modifikasi di perairan Pulau Nias selama berlangsungnya penelitian dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Nias

Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m)

1 6 9 11 2 8 9 12 3 8 4 9 4 7 9 11 5 9 4 10 6 4 9 9 7 9 3 10 8 3 16 17 9 7 6 9 Rata-rata 10,93

Hasil perhitungan nilai rata-rata pergeseran bubu di perairan Pulau Nias sebesar 10,93 meter menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan bubu nelayan. Bubu nelayan mengalami pergeseran rata-rata sejauh 138,89 meter dimungkinkan karena dua faktor yaitu lama perendaman dan proses penjatuhan. Perairan terbuka sebagai daerah penjatuhan bubu modifikasi hampir sama dengan penjatuhan bubu nelayan, akan tetapi kedalaman perairan yang mencapai 70 meter membuat pemberat mampu membantu gerak jatuh bubu modifikasi. Pergerakan arus pada perairan ini hampir sama dengan karakteristik arus pada perairan Pulau Pini. Gerakan massa air menuju daratan akibat pasang surut adalah salah satu faktor utama pergeseran bubu di perairan Nias.

Data perekaman titik koordinat penjatuhan bubu modifikasi pada perairan Pulau Karang menunjukkan nilai pergeseran yang relatif lebih besar dari ketiga perairan lain. Pergeseran titik terjauh pada Lintang Utara sebesar 18 meter, sedangkan pada bujur Timur 14,92 meter. Pergeseran titik terendah pada Lintang Utara sebesar 5,15 meter sedangkan pada Bujur Timur sebesar 3,09 meter. Data

(29)

pergeseran titik penjatuhan bubu modifikasi pada daerah perairan Pulau Karang dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Karang

Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m)

1 5 5 7 2 12 4 13 3 14 15 20 4 11 15 19 5 19 8 20 6 10 11 15 7 6 11 12 8 9 3 10 9 9 6 11 Rata-rata 14,13

Pergerakan bubu pada perairan Pulau Karang yang terjauh berada pada sekitar 20 meter. Untuk nilai rata-rata pergeseran bubu di Pulau Karang diperoleh sebesar 14,13 meter. Nilai ini relatif lebih besar jika dibandingkan dengan daerah pengoperasian Pulau Mursala, Pini dan Nias. Secara umum nilai pergeseran titik operasi bubu modifikasi perairan Pulau Karang sudah lebih baik jika dibandingkan dengan pergeseran bubu modifikasi di sekitar perairan yang sama.

Faktor internal yang mempengaruhi semakin rendahnya pergeseran bubu modifikasi di keempat daerah penjatuhan bubu adalah pemasangan pemberat pada alas bubu modifikasi. Gerak jatuh yang lebih cepat membantu bubu untuk berada pada posisi yang relatif lebih stabil. Faktor eksternal yang mempengaruhi pola pergeseran bubu modifikasi adalah sistem perendaman bubu yang lebih singkat. Dengan melakukan perendaman yang lebih singkat maka pergeseran bubu akibat gerakan massa air akan dapat dikurangi.

Untuk membandingkan pergeseran titik penempatan bubu modifikasi, dapat kita lihat pada Gambar 30. Grafik pergeseran titik penempatan bubu modifikasi pada daerah pengoperasian yang telah ditentukan sebelumnya, dapat menjelaskan perbedaan untuk setiap pulau. Pada grafik dapat dilihat bagaimana pola pergeseran bubu modifikasi di pantai Barat Sumatera jika dibandingkan dengan

(30)

bubu nelayan nelayan. Pemberian modifikasi pada bubu kawat telah membantu mengurangi pergeseran bubu di dasar perairan.

Gambar 30 Grafik rata-rata dan standar error perbandingan pergeseran bubu modifikasi

Perbedaan daerah pengoperasian bubu modifikasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap pergeseran bubu di dasar perairan (Gambar 30). Nilai standar error pada pergeseran ini relatif lebih kecil dari bubu nelayan yaitu 7,25 sampai 14,13. Nilai standar error ini menunjukkan bahwa jarak antara nilai satu unit pergeseran bubu semakin rendah terhadap nilai tengahnya.

2) Pencarian bubu modifikasi

Hasil perhitungan waktu pencarian bubu modifikasi untuk empat daerah pengoperasian yang telah dilakukan di pantai Barat Sumatera menunjukkan nilai yang berbeda (Lampiran 3). Hasil pengukuran waktu pencarian bubu cukup beragam, namun berdasarkan wilayah perairan Pulau Mursala memiliki keragaman waktu yang paling rendah. Keragaman waktu pencarian bubu yang paling tinggi ditemukan pada perairan Pulau Pini. Hasil pengukuran waktu pencarian bubu modifikasi setelah proses perendaman dapat dilihat pada Gambar 31. 7.25 9.77 10.93 14.13 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

Pulau Mursala Pulau Pini Pulau Nias Pulau Karang

Rata rata   Pergeseran   Bubu   Modifikasi   (m) Daerah Penangkapan Ikan

(31)

Gambar 31 Waktu pencarian bubu modifikasi berdasarkan daerah pengoperasian Perhitungan waktu rata-rata yang dibutuhkan dalam mencari satu unit bubu modifikasi, dilakukan dengan pengulangan pada 9 titik di setiap perairan. Dari hasil pengolahan data waktu pencarian bubu modifikasi diperoleh rata-rata waktu tercepat pencarian berada pada lokasi Pulau Mursala yaitu 19,8 menit.

Gambar 32 Waktu rata-rata pencarian bubu modifikasi

Grafik waktu rata-rata pencarian bubu modifikasi berdasarkan daerah pengoperasiannya memberikan perbedaan satu sama lain seperti yang ditunjukkan pada Gambar 32. Untuk Pulau Pini, waktu rata-rata pencarian bubu modifikasi

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Pulau Mursala Pulau Pini Pulau Nias Pulau Karang

Lama   Pencarian   Bubu   (menit) Daerah Pengoperasian

Waktu Pencarian Minimum (menit) Waktu Pencarian Maksimum (menit)

19.8 23.8 28.4 33.0 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0

Pulau Mursala Pulau Pini Pulau Nias Pulau Karang

Waktu   rata rata(menit) Daerah pengoperasian Bubu Modifikasi

(32)

membutuhkan 23,8 menit. Waktu ini lebih cepat jika dibandingkan dengan pencarian bubu modifikasi di Pulau Karang dan Pulau Nias.

Proses pengangkatan bubu dimulai dengan pencarian titik koordinat lokasi bubu yang tersimpan pada echosunder garmin 178 C. Bubu yang diletakkan pada koordinat tertentu akan dicari kembali dengan memperhatikan arah kapal saat proses penjatuhan. Bila posisi kapal menghadap Utara-Selatan maka proses pencarian bubu harus menggunakan arah Timur-Barat. Penggunaan arah ini adalah salah satu teknik nelayan mempermudah menemukan tali ris bubu yang digunakan sebagai penghubung bubu.

Proses pengangkatan bubu dari dasar perairan setelah dilakukannya perendaman sangat terkait dengan pergeseran titik penempatan. Pergeseran bubu yang semakin jauh akan mempengaruhi waktu pencarian bubu saat hauling. Dari hasil pergeseran yang telah dipaparkan sebelumnya, terlihat Pulau Mursala yang memiliki pergeseran paling rendah memerlukan waktu yang paling sedikit untuk mengangkat bubu. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa penempatan bubu yang baik akan memperngaruhi efektivitas pengoperasian. Semakin baik kedudukan bubu di dasar perairan akan mempercepat proses pencarian bubu tersebut. Kesimpulan yang dapat diberikan dari waktu pencarian bubu membuktikan bahwa proses setting akan mempengaruhi kegiatan hauling.

Proses pengangkatan bubu yang menghasilkan angka 100% menjadi peluang nelayan Sibolga untuk mengembangkan metode pengoperasian bubu modifikasi di pantai Barat Sumatera. Bubu kawat nelayan Sibolga pada daerah perairan Pulau Karang sebaiknya mendapatkan perhatian khususnya dalam posisi penempatannya. Pulau karang merupakan daerah sekitar garis pantai pulau Sumatera yang tidak dilindungi oleh pulau besar, pengoperasian bubu saat arus kencang dapat menyebabkan terjadinya resiko kehilangan bubu.

5.3.3 Perbandingan konstruksi dan pengoperasian bubu modifikasi dengan bubu nelayan

Perbandingan bubu modifikasi dan nelayan pada prinsipnya tidak jauh berbeda. Perubahan diameter rangka pada alas menjadi lebih besar ditujukan untuk menahan massa pemberat agar konstruksi tidak mudah rusak. Untuk diameter selimut, bubu nelayan dan modifikasi dinyatakan sama, tetapi selimut

(33)

atas pada bubu modifikasi dilengkapi pelampung. Secara umum perbandingan antara bubu modifikasi dengan bubu nelayan dapat dilihat pada Tabel 26.

Perubahan bubu modifikasi dari milik nelayan pada dasarnya ditujukan untuk tiga hal yaitu; 1) perbaikan teknik operasi; 2) peningkatan nilai produksi; dan 3) peningkatan nilai efisiensi. Ketiga tujuan pokok perubahan bubu nelayan diukur dari nilai hasil tangkapan dan umur teknis yang dihasilkan bubu modifikasi.

Tabel 26 Perbandingan bubu nelayan dan bubu modifikasi

No Parameter Bubu nelayan Bubu modifikasi

1 Teknik Operasi:

Perendaman 7 - 10 hari 4 hari

Penjatuhan bubu Sistem rawai Sistem rawai Pelampung main line Tidak ada Ada

2 Waktu pencarian bubu

Minimum 20 menit 10 menit

Maksimum 120 menit 45 menit

3 Umur teknis bubu

Minimum 5 trip 8 trip

Maksimum 6 trip 12 trip

Perbedaan antara konstruksi bubu nelayan dan bubu modifikasi terletak pada pelengkap tali ris dan selimut bubu. Pemberian pemberat dan pelampung dilakukan untuk menjaga stabilitas gerak bubu saat akan menyentuh dasar perairan. Resultan gaya akibat arus horizontal dikurangi dengan mempercepat daya gerak bubu modifikasi yang diberi massa 2,75 kg pada setiap sudut. Perbedaan waktu perendaman bubu antara bubu nelayan dengan bubu modifikasi juga mempengaruhi metode pengoperasian dua jenis bubu tersebut.

Perbedaan waktu perendaman antara kedua bubu tersebut berimplikasi terhadap jumlah operasi selama umur teknis bubu. Bubu modifikasi memiliki jumlah operasi yang lebih banyak karena lama perendaman bubu yang tidak terlalu lama. Jumlah operasi bubu modifikasi dapat meningkat dua kali lipat dari bubu nelayan yaitu 8 sampai 12 trip selama umur teknis bubu.

Hasil lain yang terlihat menonjol antara bubu nelayan dengan bubu modifikasi adalah waktu pencarian bubu saat hauling. Waktu pencarian bubu

(34)

nelayan berkisar 20 sampai 120 menit, sedangkan bubu modifikasi memiliki waktu pencarian selama 10 sampai 45 menit. Hal ini disebabkan bubu nelayan lebih mudah bergeser terkena arus laut, berbeda dengan bubu modifikasi yang lebih stabil karena diberi pemberat. Selain itu akibat lamanya perendaman, alga yang menempel pada bubu nelayan lebih banyak sehingga menyebabkan bubu lebih berat saat diangkat dan menimbulkan kerusakan di banyak sisi. Perbedaan waktu pencarian bubu ini juga dipengaruhi oleh lamanya perendaman bubu. Bubu nelayan yang direndam dalam waktu lebih lama telah memberikan peluang pergeseran akibat kegiatan alam yang terjadi di dasar perairan. Fenomena alam yang mungkin menggeser kedudukan bubu adalah arus akibat pasang surut, arus akibat turbulensi, arus akibat lapisan termohalin dan akibat upwelling.

5.4 Produktivitas Bubu

Hasil tangkapan bubu secara umum menemukan jenis dan komposisi tangkapan yang relatif sama. Sebanyak dua puluh enam spesies ditemukan pada keempat daerah pengoperasian bubu (Lampiran 6). Hasil tangkapan ini didominasi oleh 4 (empat) famil ikan karang antara lain: Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap merah), Centroponidae (kakap putih) dan Carangidae (kuwe). Ikan ini merupakan kelompok ikan target utama untuk ekspor dalam usaha penangkapan dengan bubu.

5.4.1 Komposisi jenis dan jumlah hasil tangkapan

Data perhitungan jumlah individu ikan yang tertangkap pada keempat daerah pengoperasian bubu menunjukkan target utama untuk ekspor mendominasi jumlah hasil tangkapan. Jumlah target utama untuk ekspor tertinggi diperoleh pada daerah pengoperasian Pulau Pini dengan nilai 1049 ekor, nilai ini merupakan hasil tangkapan dari bubu modifikasi. Jumlah individu tertinggi pada bubu nelayan juga diperoleh dari daerah pengoperasian Pulau Pini dengan nilai 1042 ekor. Sebaran data individu ikan target utama untuk ekspor, target utama pasar lokal dan hasil sampingan dapat dilihat pada Gambar 33.

Jumlah total individu ikan yang tertangkap berdasarkan jenis bubu terendah diperoleh pada perairan Pulau Karang. Bubu modifikasi pada Pulau Karang

(35)

memperol sedangkan Pulau Kar produktivi G Perb menunjuk perairan P nelayan 15 didominas memiliki sekitar ane trigger fi ditemukan Prod (1995) al pendekata kriteria m mengguna individu b di daerah seperti yan

leh hasil tan n bubu nela rang menun itas yang cu Gambar 33 bandingan kkan nilai Pulau Murs 58 ekor. Jen si dari ikan ukuran tub emon laut. ish yang m n pada sekit duktivitas h at tangkap an biologi p memperkecil akan perend bycatch pad lain pada u ng dikemba 0 500 1000 1500 Jumlah   Jenis   Hasil   Ta ngkapan   (ekor) ngkapan tar ayan 301 e njukkan bah ukup rendah Grafik seba produktivi yang lebih sala by cac

nis ikan has n butana g buh maksim Ikan hasil s memiliki u tar karang k hasil tangka bubu mas pada pengem l spesies ha daman cuku da bubu di umumnya h angkan oleh BM BN P. MURSALA P rget utama ekor. Nilai hwa pengo h dibandingk aran jumlah itas jumla besar pada cth yang t sil samping garis. Ikan mal relatif k samping pa ukuran men keras. apan kedua sih memerl mbangan a asil tangkap up lama bis pantai Bara hanya meng h masyaraka BM BN P. PINI Perbandingan Je HTUE HTU untuk eksp jumlah ind perasian bu kan dengan individu ik ah individ a bubu mod tertangkap yang tertan ini merupa kecil dan b da bubu ne nyerupai ik a jenis bubu lukan perb lat tangkap pan. Metode sa menjadi at Sumatera ggunakan pe at Kupang. N BM B P. NIAS

enis Bubu  pad

UL HTS

por untuk e dividu ikan ubu di daer n perairan la

kan yang ter du pada difikasi (Ga 173 ekor s ngkap pada akan jenis biasanya ba layan didom kan napole u ini, maka aikan. CCR p ramah ling e pengopera penyebab t a. Metode p erendaman BN BM S P. KAR a 4 DPI ekspor 227 n demersal

rah ini mem ainnya. rtangkap hasil sam ambar 33). sedangkan bubu modi ikan hias anyak tingg minasi oleh on dan ba a menurut RF meneka gkungan de asian bubu tingginya ju erendaman maksimal 3 BN ANG ekor, pada miliki mping Pada bubu fikasi yang gal di jenis anyak FAO ankan engan yang umlah bubu 3 hari

(36)

bubu Perse Kara indiv 34. Ga untuk modi juml Pini utam Pulau Pulau Sum hasil produ karan Nilai pers u nelayan m entase yang ang dengan vidu ikan ya ambar 34 P Berdasark k ekspor, ifikasi lebi ah hasil tan dengan nila ma untuk eks u Pini. Has u Karang de Secara ek atera menu l tangkapan uktivitas p ng yang cuk Perba ndi n gan   Jenis   B ubu   p ad a   4   DPI sentase hasi memiliki per g tertinggi p n nilai 66,3 ang tertang erbandingan kan perband empat dae ih baik dar ngkapan tar ai 72%. Pro spor memp il tangkapa engan nilai kologi, hasil unjukkan ba n ikan deme aling renda kup besar se 0% BM BN BM BN BM BN BM BN P.   MU R SAL A P.   PI NI P.   NI AS P.   KARANG g p il tangkapa rsentase jum pada bubu 37%. Perba kap pada k n persentase dingan pro erah penan ripada bub rget utama oduktivitas b eroleh nilai an sampinga sebesar 20% l penelitian ahwa ekosis ersal di dae ah di antar ebagai daera 20% 6 6 6 61 6 53.6 Presentas HTUE an jumlah i mlah individ modifikasi andingan s kedua jenis e jumlah ha oduktivitas ngkapan ik bu nelayan. untuk eksp bubu nelay i sebesar 70 an by-catch % penangkap stem yang erah tersebu ra daerah l ah persembu 40% 64.13% 1.62% 72.74% 69.03% 63.07% 1.11% 63.45% 65% se Jumlah pada J E HTUL HTS ndividu pa du tertinggi ditemukan sebaran dat bubu dapat asil tangkap menangkap kan menunj Bubu mo por tertinggi an dalam m 0% juga dite tertinggi d pan individu masih baik ut. Pulau k lainnya tida unyian ikan 60% 8 21.97 21.30% 1 20 23.99 23.02% 21.35% 27.81%

Jenis Hasil Tangk S da kedua j dengan nil n pada pera ta persenta t dilihat pad an kedua je p ikan tar jukkan kin odifikasi m i pada pera menangkap emukan pad diperoleh da u ikan di pa k akan mem karang yang ak memilik n karang. 80% 100% 7% % 18.17% 0.58% 9% % % 13.90% 17.08% 9.09% 10.39% 12.94% 15.88% 15.20% 18.54% kapan enis bubu, ai 69,03%. airan Pulau ase jumlah da Gambar enis bubu rget utama nerja bubu memperoleh airan Pulau ikan target da perairan ari perairan antai Barat mpengaruhi g memiliki ki gugusan %

(37)

(a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor

(b) Hasil tangkapan utama untuk lokal

(c) Hasil tangkapan sampingan

Gambar 35 Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Mursala (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 Jenaha Kakap  Bakau Gorara Kakap  Merah Kakap  Putih Kerapu  sunu Kerapu  lumpur Kerapu  macan Kerapu  merah Kerapu  Minyak Kerapu  putih Kuwe Rata rata   Juml ah   Ikan   (ekor ) Nama Ikan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Ayam ayam Baronang Bayeman Ekor Kuning Kurisi Merah Pari

Rata rata   Juml ah   Ikan Nama Ikan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Butana Garis Gabus Laut Ikan Giro Pasir Jabung Kepe kepe Lencam

Rata rata   Juml ah   Ikan   (ekor ) Nama Ikan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan

(38)

Sebaran data jumlah ikan target utama untuk ekspor, target utama pasar lokal dan hasil samping pada perairan Pulau Mursala dapat dilihat pada Gambar 35. Jumlah individu hasil tangkapan bubu modifikasi dan nelayan pada perairan Pulau Mursala didominasi jenis ikan kakap putih (lates calcarifer) dan kerapu macan (Epinepheluts fuscoguttus). Pada bubu nelayan sebaran rata-rata jumlah individu ikan kakap putih memiliki nilai 15 ekor/trip, sedangkan jenis ikan kerapu macan sebesar 13 ekor/trip. Pada bubu modifikasi jumlah individu ikan yang tertinggi berasal dari jenis kerapu macan dengan nilai 10 ekor/trip.

Sebaran data penangkapan individu ikan di perairan Pulau Mursala sebagian besar sama dengan daerah penangkapan lain. Produktivitas kedua jenis bubu menangkap ikan target utama pasar lokal memiliki persentase yang cukup berbeda. Pada bubu nelayan, ikan target utama pasar lokal yang tertinggi diperoleh dari jenis ikan ayam-ayam, sedeangkan pada bubu modifikasi ikan target utama pasar lokal paling tinggi berasal dari jenis bayeman (cheilinux

undulates). Ikan ayam-ayam (Naso brevisrostris) merupakan ikan dasar yang

memiliki pola berenang secara bergerombol. Bila ikan ini tertangkap pada suatu alat tangkap, biasanya akan memiliki jumlah yang cukup besar. Bubu nelayan yang memiliki perendaman lebih lama, memungkinkan ikan dari famili Acanthunidae dapat masuk dan berlingung dalam bubu. Hasil samping pada kedua jenis bubu didominasi oleh jenis ikan butana garis (Acanthurus nubilus). Jumlah hasil tangkapan pada bubu modifikasi rata-rata 6 ekor/trip, sedangkan pada bubu modifikasi 12 ekor/trip.

Persentase sebaran hasil tangkapan pada perairan Pulau Pini merupakan hasil yang paling tinggi, jika dibandingkan dengan daerah pengoperasian bubu lainnya. Jenis ikan target utama pada bubu modifikasi didominasi ikan kerapu macan (Epinepheluts fuscoguttus), sedangkan pada bubu nelayan didominasi oleh ikan kakap putih (lates calcarites). Untuk target utama pasar lokal, jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan bubu nelayan berasal adalah ikan ayam-ayam (Naso

brevisrostris), sedangkan pada bubu modifikasi didominasi ikan bayeman (Scarus

quoyi). Sebaran data jumlah ikan yang tertangkap pada Pulau Pini dapat dilihat

(39)

(a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor

(b) Hasil tangkapan utama untuk lokal

(c) Hasil tangkapan sampingan

Gambar 36 Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Pini (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan

0 5 10 15 20 25 30 35 40 Jenaha Kakap  Bakau Gorara Kakap  Merah Kakap  Putih Kerapu  sunu Kerapu  lumpur Kerapu  macan Kerapu  merah Kerapu  Minyak Kerapu  putih Kuwe Rata rata   Juml ah   Ikan   (ekor ) Nama Ikan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Ayam ayam Baronang Bayeman Ekor Kuning Kurisi Merah Pari

Rata rata   Juml ah   Ikan   (ekor ) Nama Ikan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Butana Garis Gabus Laut Ikan Giro Pasir Jabung Kepe kepe Lencam

Rata rata   Juml ah   Ikan   (ekor ) Nama Ikan 

(40)

Perbandingan produktivitas kedua jenis bubu dalam menangkap by-catch

dapat dilihat dari jenis dan jumlah ikan yang tertangkap. Pada perairan Pulau Pini bubu modifikasi memiliki hasil samping yang paling dominan dari jenis ikan butana garis (Acanthurus nubilus), hal yang sama juga diperoleh pada bubu nelayan.

Sebaran data hasil tangkapan ikan di Perairan Pulau Pini menunjukkan daerah tersebut sangat potensial sebagai daerah penangkapan ikan demersal. Bubu modifikasi dominan menangkap kerapu macan, sedangkan bubu nelayan dominan menangkap ikan kakap putih. Secara ekonomi produktivitas bubu modifikasi lebih baik daripada bubu nelayan karena nilai jual ikan kerapu macan lebih baik dari kakap putih. Jumlah individu ikan kerapu macan pada bubu modifikasi sebesar 31 ekor/trip sedangkan kakap putih pada bubu nelayan 29 ekor/trip.

Rata-rata bobot tangkapan bubu modifikasi kerapu macan di Pulau Pini adalah 41,11 kg, sedangkan bubu nelayan menangkap kakap putih sebesar 35,00kg. Jumlah ikan target utama untuk ekspor yang tertangkap pada perairan Pulau Pini baik pada bubu modifikasi dan nelayan telah melewati ukuran ekonomis untuk ekspor yaitu 1 kg untuk kerapu dan 0,6 kg untuk kakap putih.

Dengan melihat produktivitas bubu dalam menangkap ikan target utama untuk ekspor pada perairan Pulau Pini, nelayan dapat mengembangkan usaha bubu dengan memperbaiki metode yang ada saat ini. Produktivitas bubu dalam menangkap jumlah individu hasil samping masih tergolong tinggi. Ikan butana garis (Acanthurus nubilus) dari famili Acanthuridae dapat dijadikan indikator dalam mengukur kinerja kedua jenis bubu.

Hasil tangkapan jumlah individu ikan pada perairan Pulau Nias memiliki sebaran yang relatif sama dengan perairan Pulau Pini. Perairan Pulau Nias merupakan daerah yang paling mendekati perairan lepas dan memiliki kedalaman perairan yang paling tinggi diantara ketiga daerah pengoperasian bubu lainnnya. Penyebaran hasil tangkapan utama berdasarkan jumlah individu ikan didominasi oleh kerapu merah (Epinepheluts fuscoguttus) dan kakap putih (lates calcarites). Secara umum sebaran data jumlah hasil tangkapan ikan berdasarkan jenis di perairan Pulau Nias dapat dilihat pada Gambar 37.

(41)

(a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor

(b) Hasil tangkapan utama untuk lokal

(c) Hasil tangkapan sampingan (d)

Gambar 37 Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Nias (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan

0 5 10 15 20 25 Jenaha Kakap  Bakau Gorara Kakap  Merah Kakap  Putih Kerapu  sunu Kerapu  lumpur Kerapu  macan Kerapu  merah Kerapu  Minyak Kerapu  putih Kuwe Rata rata   Juml ah   Ikan   (ekor ) Nama Ikan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Ayam ayam Baronang Bayeman Ekor Kuning Kurisi Merah Pari

Rata rata   Juml ah   Ikan   (ekor ) Nama Ikan

Bubu Modifikasi Bubu Nelayan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Butana Garis Gabus Laut Ikan Giro Pasir Jabung Kepe kepe Lencam

Rata rata   Juml ah   Ikan   (ekor ) Nama Ikan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan

(42)

Ikan target utama pasar lokal berdasarkan jumlah individu, pada bubu modifikasi dan nelayan sama-sama didominasi oleh jenis ikan bayeman (Scarus

quoyi). Pada ikan yang menjadi hasil samping bubu modifikasi, jumlah individu

yang memiliki ukuran paling tinggi adalah ikan butana garis (Acanthurus nubilus).

Nilai rata-rata maksimum hasil tangkapan jumlah ikan bubu nelayan di Pulau Nias adalah 16 ekor/trip, sedangkan bubu modifikasi 20 ekor/trip. Dilihat dari nilai rata-rata hasil tangkapan, bubu yang dioperasikan, bubu modifikasi memperoleh ikan yang memiliki nilai ekonomis lebih baik dari bubu nelayan. Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan ikan yang mendominasi hasil tangkapan bubu modifikasi memiliki nilai jual yang lebih baik dari kakap putih. Ikan bayeman yang tertangkap pada kedua jenis bubu adalah ikan yang mendominasi hasil tangkapan kedua. Ikan ini pada umumnya tertangkap dalam ukuran yang besar relatif besar (> 1kg).

Tingginya hasil tangkapan sampingan pada bubu yang dioperasikan pada perairan Pulau Nias dimungkinkan karena proses perendaman bubu yang cukup lama. Ikan demersal yang menjadi hasil sampingan pada perairan Pulau Nias didominasi spesies butana garis (Acanthurus nubilus). Butana garis merupakan jenis kelompok ikan yang memiliki habitat di sekitar anemon laut dan berenang secara berkelompok. Data penangkapan ikan di Pulau Nias memperoleh spesies ikan Triger sp atau Jabung yang rendah. Jabung merupakan ikan karang yang memiliki gigi yang sangat tajam dan sifat predator terhadap sesama ikan demersal. Tertangkapnya ikan ini dalam bubu akan mengurangi produktivitas bubu terhadap jumlah ikan target terutama yang masih berukuran kecil.

Jumlah hasil tangkapan individu ikan oleh bubu nelayan pada perairan Pulau Karang menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan bubu modifikasi. Produktivitas sebaran jumlah individu ikan pada perairan Pulau Karang yang tertinggi ditemukan pada spesies kakap putih (Lates calcarites) dengan bobot 9 kg/trip dengan alat tangkap bubu nelayan. Bubu modifikasi memperoleh hasil tangkapan tertinggi pada jenis kerapu macan (Epinephelus

fuscoguttatus) sebesar 6 kg/trip. Data sebaran jumlah individu hasil tangkapan

Gambar

Gambar 18  Bubu nelayan berdasarkan tampak depan
Gambar 21  Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Mursala
Gambar 22  Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Pini  Pola pergeseran bubu nelayan di perairan Pulau Pini dapat menggambarkan  karakteristik daerah penangkapan ikan di daerah tersebut
Gambar 23  Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Nias  Pergerakan arus pada perairan Pulau Nias relatif lebih besar jika  dibandingkan dengan Pulau Mursala dan Pini
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat dampak positif yang telah di berikan oleh sekelompok kecil orang yang mengelolah air sumber di desa Tirtomarto Kecamatan Ampelgading Kabupaten Malang sangat bermanfaat

dalam dunia robotika dapat dilihat pada balancing mobile robot , yaitu mobile robot dengan dua roda yang roda tersebut diasumsikan sebagai kereta beroda dan badan

Untuk memastikan bahwa pengendalian intern dalam proses pengolahan data secara elektronik (electronic data processing/EDP) telah dilakukan dengan baik dan benar

Hasil: Ada perbedaan yang bermakna antara rerata rentang sendi ekstremitas atas dan bawah sendi yang besar pada pasien pasca stroke di Rejang Lebong sebelum dan sesudah

Di samping itu, hasil penelitian serupa yang dilakukan oleh Djannah, dan Drajat (2012), penelitian tersebut menunjukkan bahwa bimbingan kelompok teknik sosiodrama efektif

Hasil gambar diagram batang 4.20, bahwa pada lahan perkebunan apel semi organik persentase makrofauna tanah yang berperan sebagai predator cenderung lebih tinggi

1. Menjaga kesehatan reproduksi dengan cara melakukan hubungan seksual yang bersih dan aman. Menggunakan alat kontrasepsi, seperti kondom, pil, dan suntikan sehingga

Permasalahan yang akan diteliti sehubungan dengan tujuan tersebut antara lain adalah bentuk-bentuk tindak tutur ilokusi asretif, direktif dan ekspresif, dan makna tuturan